Buletin Edisi 4 Tahun 2012 – BSNP Indonesia

Pengantar Redaksi
Penanggungjawab
Moehammad Aman Wirakartakusumah
Pemimpin Redaksi
Edy Tri Baskoro
Redaksi Eksekutif
Richardus Eko Indrajit
Djemari Mardapi
Teuku Ramli Zakaria
Weinata Sairin

P

embaca yang budiman. Alhamdulillah, Buletin BSNP
edisi keempat dapat terbit sesuai yang direncanakan.
Edisi kali ini memuat tiga artikel, yaitu Paradigma
Pendidikan Nasional Abad XXI (bagian ke-6), Tidak ada
salah konsep dalam buku teks, dan salah konsep buku
teks matematika. Dua artikel terakhir ini ditulis sebagai
respon terhadap tulisan Utomo Dananjaya yang dimuat
di harian Kompas, Senin, 9 Juli 2012, dengan tujuan

untuk meluruskan opini yang terbentuk sebagai akibat
dari tulisan Utomo tersebut. Pada edisi keempat ini kami
juga menyajikan kegiatan BSNP baik dalam bentuk
berita maupun lensa kegiatan. Selamat membaca.

Redaksi Pelaksana
Bambang Suryadi
Penyunting/Editor
Mungin Eddy Wibowo
Zaki Baridwan
Djaali
Furqon
Johannes Gunawan
Jamaris Jamna
Kaharuddin Arafah
Desain Grais & Fotografer
Djuandi
Ibar Warsita

Daftar Isi

3-6

Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI
(Bagian VI)

7-11

Tidak Ada salah Konsep dalam Buku Teks

12-13

Salah Konsep Buku Teks Matematika

14-20

Berita BSNP:
- Lulusan SMK Dituntut Lebih Mandiri
- 281 Buku Lulus Praseleksi
- BSNP Tekankan Kebersamaan dan Sikap
Toleransi

- Pelaksanaan UNPK Tahap II

21-24

Lensa BSNP

Sekretaris Redaksi
Ning Karningsih
Alamat:
BADAN STANDAR NASIONAL
PENDIDIKAN

Gedung D Lantai 2,
Mandikdasmen
Jl. RS. Fatmawati, Cipete
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7668590
Fax. (021) 7668591
Email: info@bsnp-indonesia.org
Website: http://www.bsnp-indonesia.org


2

Keterangan Gambar Cover
Tim ahli standar proses berpose bersama Ketua, Sekretaris,
dan anggota BSNP seusai melaksanakan salah satu tahapan
kegiatan pemantauan dan evaluasi standar (atas). Responden
pemantauan standar sarana dan prasarana mengisi instrumen
pemantauan dalam kegiatan uji coba instrumen di Dinas
Pendidikan Provinsi Banten (bawah).

Vol. VII/No. 4/Desember 2012

PARADIGMA PENDIDIKAN
NASIONAL ABAD XXI (Bagian VI)
Tim BSNP

c. Pendidikan sebagai Pembangun
Tumbuhnya Rasa Kebangsaan
Dalam perjalanan kehidupan berbangsa,

tak dapat disangkal bahwa akhir-akhir ini
rasa kebangsaan (ke-Indonesia-an) menjadi
salah satu perhatian utama. Terjadinya
krisis ekonomi yang berkepanjangan,
ketimpangan pembangunan antardaerah
yang terus melebar, konflik antar
kelompok yang merebak di hampir semua
gugusan kepulauan Indonesia dan lainlain, sedikit banyak telah menurunkan
rasa percaya diri sebagian rakyat tentang
kemampuan bangsa ini untuk melanjutkan
usaha untuk mencapai cita-cita proklamasi.
Pada saat pesimisme semacam ini tumbuh,
di tingkat global juga terjadi perubahan
konstelasi kekuatan politik-ideologi yang
berdampak pada penataan ulang komposisi
kehidupan bangsa-bangsa yang tak jarang
berlanjut pada gugatan eksistensi suatu
bangsa. Krisis global ini memiliki dampak
psikologis terhadap Indonesia.


ita menyaksikan, bahwa setelah
kekuatan blok Soviet memudar
setahun setelah runtuhnya
tembok Berlin di tahun 1989, segera
muncul euphoria kemenangan ideologi
demokrasi liberal atas dua saingan
utamanya, yaitu komunisme dan nasionalisme fasis. Maka demokrasi pun
menjelma seperti virus, yang menurut
Snyder (2000: 16), telah menyebar dan
menyapu bekas negeri-negeri otoritarian
di Amerika Latin, Eropa Selatan, dan
Eropa Timur, dan bahkan kini menuju
Asia Timur. Inilah era kemenangan
liberalisme di mana tiap negara di dunia

K

terintegrasi dalam ekonomi pasar,
dan satu sama lain semakin dalam
mengalami ketergantungan ekonomi.

Fukuyama (1989) pun tanpa ragu menegaskan, era ini sebagai “the end of
history.” Pergulatan ideologis yang selama ini berjalan intens, dianggap telah
tamat.
Namun, di tengah euphoria kemenangan demokrasi liberal, segera
saja kekhawatiran muncul. Proses demokratisasi yang tadinya diyakini
akan membawa harapan baru terhadap
tatanan kehidupan politik dunia yang
lebih damai, atau menawarkan iklim
perdagangan bebas yang akan meningkatkan kemakmuran, atau era yang
mendorong lebih dihormatinya hak-hak
asasi manusia di seluruh dunia, ternyata
di tahun 1990-an diwarnai pula oleh
berbagai bentuk kekerasan komunal
yang penuh dengan tindak kekejaman di
luar batas. Korban-korban kemanusiaan
pun telah berjatuhan di banyak kawasan
seperti di Rwanda, Burundi, Somalia,
kawasan bekas Yugoslavia, Caucacus,
Tajikistan, Chechnya dan juga Indonesia.
Proses demokratisasi yang secara dramatis membawa perubahan, ternyata

menciptakan socio-political shock, yang
memperlihatkan bahwa perubahan sosial yang terjadi dengan cepat juga
semakin memungkinkan terjadinya bentuk-bentuk kekerasan intra-societal.
Kini suara bernada pesimistis pun
muncul. Di tengah antusiasme demokratisasi, Kaplan (1994) telah mengkhawatirkan munculnya “the coming
anarchy.” Francois Mitterand saat menjabat Presiden Perancis (1981-1995),
telah lebih dulu menyebut adanya bahaya “neotribalisme” yang bahkan dapat hadir di tengah demokrasi Eropa
yang sudah dewasa. Juga Presiden Bill

Vol. VII/No. 4/Desember 2012

3

Clinton dalam pidato pelantikan 1993,
di samping ia menyambut era baru ini
sebagai era yang menjanjikan kebebasan,
ia juga menandai adanya ancaman “ancient hatreds” (kebencian-kebencian
kuno) yang dapat tumbuh subur dan
mengancam peradaban manusia.
Ini semua menjelaskan, bahwa kita

bangsa Indonesia yang kini pun tak
lepas dari situasi transisi demokrasi
yang seringkali menghadapkan kita
dalam situasi kritis, karena kita pada
saat ini tepat berada pada persimpangan
jalan: jalan keselamatan atau jalan
kehancuran. Bila proses transisi ini tak
dapat kita lalui dengan baik, ancaman
yang kita hadapi tidak saja proses
disintegrasi bangsa (lepasnya wilayah
tertentu dari negara), tetapi yang lebih
mengkhawatirkan adalah kemungkinan
terjadinya proses disintegrasi sosial,
atau hancurnya social bond (kerekatan
sosial) dalam masyarakat. Bila social
bond hancur, akan tumbuh social
distrust (iklim tidak saling mempercayai)
di antara kelompok-kelompok sosial,
sehingga kelompok satu dengan yang
lain dalam masyarakat akan saling

curiga, saling bermusuhan atau bahkan
berupaya saling meniadakan. Dalam
situasi ini, tawuran massal gaya Thomas
Hobbes, war of all against all, bukan lagi
menjadi khayalan. Dan kini pertanyaan
pun muncul: akankah kita sebagai bangsa
dapat selamat melampaui masa-masa
kritis ini? Kondisi apakah yang harus
kita cermati bersama untuk mencegah
ancaman ini? Langkah-langkah apakah
yang harus segera kita lakukan untuk
penyelamatan?
Sejak awal berdirinya republik ini,
para pendiri negeri (the founding fathers) agaknya menyadari sepenuhnya
bahwa proses nation building merupakan agenda penting yang harus terus dibina dan ditumbuhkan. Bung
Karno, misalnya (lihat Sukarno, 1963:
3-6 dan 509), sejak awal berupaya membangun rasa kebangsaan dengan membangkitkan sentimen nasionalisme yang
menggerakkan “suatu iktikad, suatu
keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu adalah
satu golongan, satu bangsa.” Dengan


4

mengacu pada pendapat Ernest Renan
(1823–1892), Bung Karno mengatakan
bahwa keberadaan suatu bangsa hanya
mungkin terjadi bila ia memiliki suatu
nyawa, suatu asas-akal, yang tumbuh
dalam jiwa rakyat sebelumnya yang
menjalani satu kesatuan riwayat, dan
sekarang memiliki kemauan, keinginan
hidup menjadi satu. Bagi Bung Karno,
keinginan hidup menjadi satu bangsa
itu dasarnya bukan nasionalisme sempit atas kesatuan ras, bahasa, agama,
persamaan tubuh, ataupun sekadar
batas-batas negeri, namun lebih didasarkan pada nasionalisme yang
longgar, nasionalisme yang luhur, nasionalisme yang mementingkan kesejahteraan manusia Indonesia, dan yang
mengutamakan persahabatan dengan
semua kelompok (inklusif). Bung Karno pun mengutip ucapan Mohandas
Karamchand Gandhi (1869–1948): “Buat
saya, maka cinta saya pada pada tanahair itu, masuklah dalam cinta pada
segala manusia. Saya ini seorang patriot,
oleh karena saya manusia dan berbicara
manusia. Saya tidak mengecualikan siapa
juga”. Dengan demikian, Bung Karno
secara tegas menolak nasionalisme
yang ia sebut bersifat “chauvinis” dan
“provinsialistis” yang memecah belah.
Nasionalisme semacam ini, ia anggap
sebagai bentuk “assyabiyah yang dikutuk Allah.”
Untuk membangun rasa kebangsaan
ini tentu tak cukup hanya dengan membangkitkan
sentimen
nasionalisme
yang dikobarkan melalui pidato-pidato yang menggelora. Oleh karena
itu, begitu kemerdekaan bangsa ini diproklamasikan, dirumuskanlah sebuah
UUD 1945 yang pembukaannya secara
tegas menuangkan cita-cita Indonesia,
yaitu: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial”. Cita-cita inilah yang
menjadi modal awal merekatnya rasa
kebangsaan.

Vol. VII/No. 4/Desember 2012

Namun, setelah Indonesia memasuki
era kemerdekaan, nampaknya dalam
perjalanan bangsa selama ini terlalu
banyak elemen bangsa, terutama para
elit politik, sadar atau tidak, telah banyak
yang mengkhianati cita-cita luhur dan
menyia-nyiakan modal sosial yang telah
dicoba dibangun sejak masa-masa awal
kemerdekaan dengan susah payah.
Ketimpangan ekonomi jelas berpotensi memperkuat terjadinya ketegangan antarkelompok. Keadaan menjadi semakin rentan manakala garis
batas antarkelompok sosial ini menjadi
menebal akibat sekat-sekat sosial seperti
etnis, ras, agama, atau pun asal daerah
terintegrasi menjadi satu. Berbagai
kelompok berbeda satu sama lain, tidak
saja karena perbedaan ekonominya,
namun juga etnis, ras, agama dan asal
daerahnya. Di samping itu, derasnya
arus globalisasi yang ternyata sering
bersifat paradoksal, yang di satu sisi
membawa efek penyeragaman, di sisi
lain menumbuhkan kuatnya kesadaran
identitas kelompok, dengan akibat bertambah tajamnya fragmentasi sosial.
Akibat keadaan tersebut, Indonesia
belakangan ini terus diwarnai oleh konflikkonflik antara kelompok-kelompok yang
bersifat emosional dan brutal serta telah
memakan begitu banyak korban di banyak
tempat di Indonesia.
Dengan demikian, semangat persatuan, rasa kebangsaan, rasa nasionalisme
luhur atau tumbuhnya civic nationalism,
yakni “loyalitas terhadap seperangkat
cita-cita
politik
dan
kelembagaan
yang dianggap adil dan efektif” dalam
bingkai suatu negara (Snyder, 2000: 24)
jelas bukanlah suatu yang secara taken
for granted ada dan terbangun. Rasa
kebangsaan dapat menguat dan melemah
atau bahkan dapat hilang sama-sekali
tergantung dari cara bagaimana bangsa
itu mengelolanya. Karena itu, proses
nation building tidak boleh terhenti.
Dalam konteks inilah, kebijakan di
bidang pendidikan harus terkait dengan
tujuan menumbuhkan rasa persatuan dan
rasa kebangsaan. Rumusan kurikulum
pengajaran maupun arah penelitian dan
kegiatan sosial (pengabdian masyarakat)

yang dicanangkan di sekolah maupun
kampus, harus terkait langsung dengan
upaya nation building secara terus-menerus, yakni mendorong tumbuhnya
integrasi nasional dan integrasi sosial
yang kuat. Untuk tujuan tersebut, randangan kegiatan pendidikan dapat difokuskan pada tema-tema berikut:
1. Membangun pemahaman/kesadaran
tentang cita-cita pembangunan Indonesia sebagai bangsa yang didasarkan pada nasionalisme kewargaan
(civic nationalism) yang bertumpu
pada rasa kemanusiaan.
2. Membangun pemahaman/kesadaran
pentingnya toleransi dalam menjalankan kehidupan bersama dalam
rangka membentuk “kewargaan multikultural” (multicultural citizenship)
menuju masyarakat kreatif dan
responsif.
3. Merancang perangkat ajar dan tema-tema penelitian dan kegiatan
sosial yang mendorong tumbuhnya
pemahaman dan sikap saling menghormati pada kelompok adat, etnis,
agama, ras, perbedaan gender, asalusul, dan identitas lainnya.
4. Melatih ketrampilan mediasi dan negosiasi dalam rangka membangun
perdamaian melalui upaya-upaya
resolusi konflik dan transformasi
konflik.
Sebagaimana pembangunan watak
(character building), proses pembangunan rasa kebangsaan juga tak mungkin
hanya diemban oleh lembaga pendidikan
formal (sekolah maupun perguruan
tinggi) semata. Keterlibatan keluarga dan
komunitas yang bersifat responsif juga
sangat menentukan. Karena itu, adalah
tugas pemerintah untuk menciptakan
komunitas-komunitas responsif ini yang
mengemban misi kebangsaan.
Keseluruhan
proses
pendidikan
ini harus selaras dengan strategi nasional dalam menjalankan nation building
tersebut. Prinsip-prinsip dasar strategi
nasional untuk tujuan ini dapat dirumuskan dengan memperhatikan hal-hal
berikut: Pertama, nation building hanya
dapat terlaksana manakala dicanangkan
strategi nasional yang dilakukan secara

Vol. VII/No. 4/Desember 2012

5

kreatif untuk menumbuhkan “solidaritas
emosional” dalam bingkai kebangsaan.
Dengan kata lain, pemerintah dan tiap
komponen bangsa harus didorong untuk
menerapkan “seni mencinta” (the art of
loving) yang baik dalam berhubungan
dengan sesama anak bangsa, khususnya
yang memiliki perbedaan latar-belakang,
sehingga interaksi antarkelompok dapat
menumbuhkan rasa kebersamaan dalam
satu kebangsaan. Untuk inilah kita
memerlukan pemahaman budaya tiaptiap kelompok sehingga masing-masing
kelompok memiliki sensitivitas dalam
berinteraksi dengan kelompok lain. Lebih
jauh, pengelolaan negara juga harus
diarahkan sedemikian rupa sehingga
kebijakan-kebijakan yang dijalankan
tidak menciptakan rasa terpinggirkan.
Pengelolaan harus mampu menciptakan
the Indonesian Dream yang dinamis bagi
tiap-tiap warga-negara.
Kedua, nation building harus dilanjutkan dengan melakukan pengelolaan
kehidupan bernegara sedemikian rupa
sehingga menumbuhkan “solidaritas
fungsional,” yakni solidaritas yang didasarkan pada ikatan saling ketergantungan
satu sama lainnya, baik di bidang ekonomi, sosial maupun budaya yang relatif
seimbang.
Upaya pengembangan sistem pendidikan memerlukan peta jalan yang
jelas melalui perumusan tujuan yang
jelas dan ditindak-lanjuti dengan
metodologi cara pencapaiannya (proses) dan struktur pendukung yang
fungsional. Keseluruhan mekanisme
kerja ini memerlukan manajemen
yang kreatif namun konsisten yang
tidak hanya terpaku pada panduanpanduan baku, tetapi juga membuka
kemungkinan dikembangkannya perubahan-perubahan yang bersifat produktif. Dalam menyusun kebijakan,
kita memerlukan pemahaman mengenai arah perkembangan ilmu pengetahuan. Bagaimana merumuskan arah
pendidikan sehingga secara realistis dapat dijabarkan ke dalam langkah-langkah konkret sehingga hasilnya dapat terukur. Akhirnya, dari
keseluruhan proses ini, perlu kejelasan

6

bentuk masyarakat seperti apakah yang
ingin kita tuju sehingga masyarakat
tidak kehilangan arah pada saat kita
merumuskan visi, misi, dan strategi
pembangunan.
Untuk
terlaksananya
programprogram ini, diperlukan pemimpinpemimpin visioner, yang mampu
memberikan semangat, menjelaskan
arah perjalanan bangsa, mengambil
keputusan secara tegas dan konsisten,
serta menggalang kembali kecintaan
akan kebersamaan di hadapan semua
orang, terutama sekali di hadapan kaum
muda terpelajar dari semua golongan,
sehingga mereka bersama-sama bersedia
untuk bekerja dengan semangat tinggi
untuk cita-cita yang satu. Kita butuh
pemimpin yang mampu membangkitkan
ruh hidup bersama, yaitu ruh semangat
kebangsaan dalam konteks baru, dalam
konteks tatanan masyarakat yang kini
tumbuh secara dinamis. Para pemimpin
itu harus dapat menemukan “software
sosial baru” yang kuat untuk dapat
menopang dinamika perubahan sosial
yang kini tengah berlangsung.
Namun, bila kita menyadari bahwa
kini kita juga sedang mengalami krisis kepemimpinan, maka tak ada pilihan lain, bila bangsa ini masih ingin
bertahan hidup menghadapi tantangan zaman yang semakin keras,
kita harus melakukan upaya kolektif
untuk
melakukan
penanggulangan
masalah secara bersama-sama. Di
tiap-tiap komunitas perlu digalang
pembentukan “unit-unit reaksi cepat”
untuk mengatasi berbagai masalah yang
ada. Berbagai kelompok mediasi harus
ditumbuhkan untuk mengatasi konflik
yang muncul. Asosiasi orang-tua murid,
pemuda, seniman, wartawan dan lainlain perlu segera diaktifkan untuk
mempercepat terciptanya komunitas
responsif di lingkungannya masingmasing. Pada saat yang sama, kalangan
pendidik yang mengabdi di berbagai
lembaga pendidikan harus bangkit
untuk mengambil peranannya untuk
melakukan penyelamatan bangsa. l

Vol. VII/No. 4/Desember 2012

Tidak Ada Salah Konsep dalam Buku Teks
Bambang Suryadi*)
tomo
Dananjaya
Direktur
Institute for Education Reform
Universitas Paramadina kembali mempersoalkan kredibilitas BSNP.
Jika sebelum ini Utomo mempermasalahkan aspek legalitas pelaksanaan
Ujian Nasional, kali ini Utomo mempermasalahkan kesalahan konsep dalam
buku teks pelajaran Sekolah Dasar (SD),
melalui tulisannya di harian Kompas,
Senin, 9 Juli 2012, dengan judul “Salah
Konsep Buku Teks”.
Dengan motivasi dan semangat untuk
memberikan klarifikasi dan meluruskan
opini publik yang telah terbentuk, BSNP
melalui media ini perlu memberikan
penjelasan terhadap tulisan Utomo Dananjaya tersebut. Sikap BSNP ini bukan
sebuah sikap defensif, apologetik atau
berpolemik semata, tetapi sebuah sikap
apresiatif dan terbuka terhadap saran
maupun kritikan masyarakat.

U

Substansi Tulisan

*) Staf
Profesional
BSNP dan
dosen Fakultas
Psikologi UIN
Jakarta.

Dalam tulisannya, Utomo Dananjaya
secara substansi memberikan dua kritik
terhadap BSNP. Pertama ada kesalahan
konsep dalam tiga buku teks pelajaran
untuk Sekolah Dasar (SD), yaitu buku
teks pelajaran IPA, Matematika, dan IPS.
Kedua, lembaga yang paling bertanggungjawab atas kesalahan ini, menurut
Utomo Dananjaya, adalah BSNP, bukan
penulis atau penerbit buku. Untuk lebih
jelasnya, penulis ulas kembali “kesalahan
konsep buku teks” sebagaimana diklaim
oleh Utomo Dananjaya sebagai berikut.
Pertama, buku teks Ilmu Pengetahuan
Alam 2, karya Sri Purwanti, CV Arya DutaPusat Perbukuan. Pada Bab 8 tentang
sumber energi tertulis bahwa tujuan
pembelajaran adalah mengidentifikasi
sumber energi di lingkungan sekitar.
Menurut Utomo Dananjaya, kejanggalan terlihat mulai dari pembahasan
bentuk-bentuk energi: bunyi adalah bentuk energi, cahaya adalah bentuk energi, dan panas adalah bentuk energi.

Masing-masing dilengkapi gambar, pengganti kegiatan mengamati yang tidak
cukup untuk mengantarkan anak pada pemahaman tentang apa itu energi
sesungguhnya.
Masih menurut Utomo Dananjaya,
kejanggalan ini diperparah dengan pembahasan lanjutan tentang alat rumah
tangga. Pada halaman 102 tertulis, “di
rumah banyak alat rumah tangga -alatalat itu dapat menghasilkan energi- contohnya televisi, radio, dan telepon.
Kedua, buku teks Ilmu Pengetahuan
Sosial karangan Tri Jaya Suranto dan
A Dakir, PT Ghalia Indonesia PrintingPusat Perbukuan. Salah satu standar
kompetensi kelulusan ilmu pengetahuan sosial adalah memahami identitas diri dan keluarga. Identitas diri
diterjemahkan pengarang sebagai dokumen pribadi dan keluarga. Maka,
pembahasan ini masuk bagian berjudul
“Dokumen Pribadi dan Keluarga” dan
yang dibahas adalah akta kelahiran,
kartu keluarga, kartu tanda penduduk,
dan surat izin mengemudi.
Menurut Utomo Dananjaya, identitas diri bukan dokumen identitas
administratif, tetapi konsep mengenali
diri, karakter diri, kelebihan, dan
kekurangannya.
Ketiga, buku Matematika 2: Tematik. Pada halaman 72, tertulis: “Jadi
4x3=3x4”. Lalu pada halaman 74 terdapat
ilustrasi gambar untuk soal pembagian
6:3=2. “Jika dibalik, sebanyak 3 orang
mendapatkan 2 es krim. Kalimat matematiknya menjadi 2x3=6”.
Menurut Utomo Dananjaya, seharusnya kalimat matematikanya adalah
3x2=6. Jika dibalik: 6:3=2. Kalimat matematika tersebut adalah symbol dari 6
es krim yang dibagikan kepada 3 orang,
setiap orang mendapat 2 es krim atau
3 orang masing-masing mendapat 2 es
krim sehingga jumlahnya 6 es krim.
Utomo Dananjaya beranggapan bahwa
kalimat ini tak menyimpulkan secara benar dan menyimpang dari konsep.

Vol. VII/No. 4/Desember 2012

7

Utomo Dananjaya berpandangan
tiga contoh buku teks dengan kekeliruan
masing-masing mengandung kekeliruan
konsep yang menyesatkan anak didik.
Kekeliruan pemahaman bisa terbawa
sampai dewasa.
Sehubungan dengan klaim kedua,
Utomo Dananjaya pada akhir tulisannya menyebutkan: “Kekeliruan konsep, kekeliruan pengertian, bahkan
kekeliruan cetak ini justru terjadi
pada buku yang sudah dianggap layak
oleh BSNP. Jadi, jelaslah siapa yang
harus bertanggungjawab. Tidak bisa dilemparkan ke pengarang, apalagi guru
sebagai pengguna.
Nah, persoalannya adalah, apakah
klaim Utomo Dananjaya tersebut benar
atau salah? Sejauh mana respon BSNP
dan pakar IPA, Matematika, dan IPS
terhadap kritik Utomo Dananjaya? Jawaban terhadap dua pertanyaan ini akan
penulis ulas pada bagian berikut.

Respon BSNP
BSNP menyikapi tulisan Utomo
Dananjaya dengan tikap terbuka, apresiatif, dan professional. Hal ini dapat
dilihat dari kenyataan bahwa BSNP
tidak langsung bereaksi dengan sikap
polemik di media, melainkan BSNP
mengundang pakar dalam bidang Fisika,
Matematika, dan IPS untuk membahas
substansi tulisan Utomo. Kedua, setelah
mendengarkan pendapat mereka, BSNP
mengundang Utomo Dananjaya ke kantor BSNP untuk memberikan klarifikasi
sekaligus berdialog dengan para pakar
dan anggota BSNP.
Perlu dicatat pula, kenyataan yang
ada, setelah Kompas memuat tulisan tersebut, tidak ada tanggapan dari guru,
penulis, atau penerbit yang muncul di
media massa. Respon ini bisa dipahami
dari dua sisi. Pertama, apa yang ditulis
itu bukan hal yang seluruhnya benar.
Kedua, masyarakat sudah mengetahui
arah dan kecenderungan penulis (Utomo
Dananjaya) ketika mengangkat isu buku
teks pelajaran tersebut. Oleh karena itu,
sikap diam adalah pilihan terbaik. Bak
kata sebuah wisdom, silence is golden.
Diam itu emas.
Eko Indrajit Sekretaris BSNP menilai

8

tulisan Utomo Dananjaya sebagai wake
up call bagi BNSP. Sementara Weinata
Sairin anggota BSNP yang sekaligus
menjadi koordinator kegiatan penilaian
buku merasa cukup dikagetkan dengan
tulisan yang secara tajam mengkritik
BSNP. “Karena itu BSNP perlu melakukan
langkah-langkah konkrit untuk merespon
tulisan ini. Misalnya pada tahap yang
paling mudah adalah menggunakan hak
jawab melalui surat pembaca. BSNP juga
bisa menulis artikel untuk menjawab
pemikiran Utomo Dananjaya”, ucap
Weinata sambil menambahkan sebelum
langkah ini dilakukan, BSNP perlu mendengar pandangan para ahli pada bidang
Fisika, Matematika, dan IPS terhadap
tulisan Utomo Dananjaya.
Cara
menyampaikan
pendapat
yang tepat dan bijak juga disoroti anggota BSNP. F.A. Moeloek misalnya, berpandangan bahwa cara menyampaikan
pendapat ini lebih penting daripada
pendapat itu sendiri. Pendapat yang
benar dan baik, bisa tidak diterima,
jika disampaikan dengan cara yang kurang tepat dan bijak. “Jika saya sebagai
penulis, pendapat seperti ini akan saya
sampaikan secara langsung ke BSNP,
tidak melalui media cetak”, ungkap
Moeloek seraya mengusulkan BSNP
perlu mengundang penulis (Utomo Dananjaya) untuk berdialog dan bertukar
pandangan tentang buku teks pelajaran
tersebut.

Pandangan Pakar
Menindaklanjuti usulan FA Moeloek,
BSNP telah mengundang tiga orang pakar
dalam bidang IPA (Fisika), Matematika,
dan IPS untuk memberikan pandangan
mereka terhadap buku teks pelajaran
dan tulisan Utomo Dananjaya tersebut.
Untuk bidang IPA (Fisika) adalah Terry
Mart dari Universitas Indonesia, untuk
bidang Matematika adalah Wono Setya
Budhi dari ITB, dan untuk bidang IPS
adalah Etin Solihatin dari UNJ.
Terry Mart berpandangan bahwa apa
yang ditulis Utomo Dananjaya ada yang
benar secara Fisika, tetapi juga ada yang
salah. Permasalahannya adalah apakah
kata menghasilkan identik dengan men­
ciptakan. Menurut Terry, dua kata ini

Vol. VII/No. 4/Desember 2012

memiliki arti yang berbeda. Misalnya,
bekerja menghasilkan uang, harus dimaknai uang itu tidak diciptakan, tetapi dihasilkan. Dalam buku teks ini
banyak sekali kata menghasilkan. Ada
kesalahan pengungkapan oleh penulis
yang menyebabkan penafsiran yang
berbeda.
Untuk anak SD, tambah Terry
Mart, apa yang ditulis dalam buku ini
sudah cukup tepat, misalnya kompor
menghasilkan energi. “Menurut saya,
istilah menghasilkan yang ada di dalam
buku ini masih relevan, karena menghasilkan bukan menciptakan”, ucap
dosen Unversitas Indonesia tersebut
sambil memberikan pesan perlunya
kehati-hatian dalam mengungkapkan sesuatu dan memilih kata yang tepat.
Pakar Matematika dari ITB, Wono
Setya Budhi berpandangan bahwa dengan mengundang Utomo Dananjaya
ke BSNP merupakan kesempatan yang
bagus untuk berargumentasi. Menurut
Wono, saat ini belajar matematika
seperti belajar agama, dimana definisi
ibaratnya dokma yang harus sama dipakai untuk seluruh jenjang, dari SD
sampai perguruan tinggi. Padahal hal
tersebut seharusnya tidak demikian.
Definisi matematika dapat diambil
berbeda tanpa harus salah satu diantaranya disalahkan. “Jadi ini merupakan
pembelajaran yang baik bagi guruguru bahwa definisi matematika itu
tidak tunggal bergantung konteksnya”,
ucap Wono seraya menambahkan yang
bersangkutan sudah menulis tanggapan
terhadap tulisan Utomo Dananjaya dan
mengirimkannya ke Kompas, tetapi
tidak dimuat. Untuk lebih jelasnya, baca
tulisan Wono di bagian lain dari Buletin
ini.
Lebih lanjut Wono mengatakan
membaca sebuah buku tidak cukup
satu halaman kemudian memberikan
kritik, tetapi harus membaca secara keseluruhan. Memang dalam buku itu,
tambah Wono, ada kesalahan cetak,
yaitu 4x3 dibunyikan dalam narasinya
3x4.
Sementara itu Etin Solihatin ahli
IPS dari UNJ, berbeda pendapat dengan
Utomo dalam memaknai identitas diri
(karakter). Menurut Etin Solihatin KTP

dan SIM kurang cocok untuk identitas
diri bagi anak SD. Sedangkan kartu keluarga dan akte kelahiran sudah tepat.
Justru karakter diartikan sebagai identitas diri tidak tepat untuk anak SD.
Kesalahan Utomo Dananjaya, tambah
Etin, karena hanya membaca buku
IPS tersebut pada halaman 25 dan 26,
padahal ada penjelasan pada halaman
59. Sangat disayangkan penulis sekaliber
Utomo Dananjaya kurang cermat dalam
melakukan analisis dokumen dan terlalu
gegabah membuat kesimpulan.
Pandangan Etin diperkuat oleh FA.
Moeloek anggota BSNP yang mengatakan
bahwa untuk anak SD pengertian
identitas diri dikaitkan dengan kartu
keluarga dan akte kelahiran masih tepat
dan relevan. Sebaliknya, ketika identitas
diri dikaitkan dengan karakter terlalu
berat untuk anak SD. Senada dengan
Moeloek, Djemari Mardapi dengan mengutip teori perkembangan kognitif Piaget,
menegaskan anak SD belajar dari hal-hal
konkrit kemudian ke abstrak. Artinya,
tidak ada yang salah ketika menjelaskan
identitas diri dengan kartu keluarga dan
akte kelahiran.

Dialog dengan Utomo Dananjaya
Setelah mendengarkan pandangan
ketiga pakar tersebut, BSNP mengundang
Utomo Dananjaya untuk berdialog di
kantor BSNP pada hari Selasa, 7 Agustus
2012. Hadir dalam dialog ini pakar
Fisika Terry Mart (UI), pakar IPS Etin
Solihatin (UNJ), Kepala Puskurbuk Diah
Hartati, dan anggota BSNP. Sedangkan
Pakar Matematika Wono Setya Budhi
(ITB) berhalangan hadir.
Dalam pengantarnya, Eko Indrajit
Sekretaris BSNP yang memimpin dialog
saat itu, menjelaskan sistem pengembangan instrumen penilaian buku teks
pelajaran (BTP), instrumen yang dipakai
untuk menilai BTP, teknik penilaian
BTP, dan komposisi ahli dan guru yang
menilai BTP. Selain itu, tambah EKo Indrajit, BSNP juga menerima banyak
surat mengenai saran perbaikan BTP.
Diantaranya adalah dari Kedutaan Korea
di Jakarta yang pernah mengajukan
sikap keberatan tentang batas Negara
Korea dan Jepang karena ada kekeliruan

Vol. VII/No. 4/Desember 2012

9

sebagaimana tertulis dalam buku
Geografi.
Dalam forum dialog tersebut Utomo Dananjaya mengatakan bahwa yang
bersangkutan telah melakukan penelitian tentang BTP sejak tahun 2006. BTP
yang diteliti adalah BTP kelas II (pemula)
dan kelas V (kelas terakhir) SD.
Lebih lanjut Utomo mengakui bahwa ada perbedaan antara dirinya dan
pengarang buku dalam memahami konsep Matematika. Menurut penulis buku,
konsep tentang 3 x 2 sama dengan 2
x 3. Sebaliknya, Utomo perpandangan
bahwa 3x 2 adalah satu konsep dan 2
x 3 merupakan satu konsep yang lain.
Jadi keduanya tidak sama.
Menanggapi penjelasan tersebut,
Edy Tri Baskoro, anggota BSNP yang
nota bene juga Guru Besar Matematika
ITB menjelaskan tentang konsep
Matematika yang dikritisi oleh Utomo
Dananjaya.
Menurut Edy, 3 x 2 = 2 x 3 adalah
benar adanya. Secara umum, kita kenal bahwa perkalian bilangan bulat
memenuhi hukum komutatif. Jadi tidak
ada yang salah bila pengarang buku
teks ini menulis 3 x 2 = 2 x 3. Justru, hal
ini yang harus diperkenalkan sejak dini.
Tentu saja akan berbeda maknanya jika
seorang dokter menuliskan resep: 3 x 2

10

tablet sehari dibandingkan dengan 3 x
2 tablet sehari. Dengan logika berpikir
seperti ini, Edy Tri Baskoro menyimpulkan bahwa yang dikatakan oleh pak
Utomo itu tidak benar.
Mengenai buku IPA (konsep tentang energy), Utomo berpendapat bahwa energi tidak dapat diciptakan dan
dimusnakan melainkan diubah. Sehingga tulisan tentang televisi, radio, dan
telepon menghasilkan energi itu salah
konsep.
Menanggapi penjelasan dari Utomo,
Terry Mart (UI) mengatakan yang kurang
dari tulisan atau pemahaman Utomo
adalah konsep tentang energi yang diubah dengan mengambil energi dari
listrik. Terry sependapat dengan Utomo
bahwa energi itu tidak dapat diciptakan
melainkan diubah. Yang paling penting
memang adalah bagaimana menjelaskan
energi itu dapat diubah bentuknya
dengan menggunakan kata konversi,
meskipun istilah ini juga tidak benar.
Pakar IPS dari UNJ, Etin Solihatin
berpandangan identitas diri yang diasosiakan dengan akte kelahiran, KTP
dan kartu keluarga tidak salah sebab
dokumen tersebut merupakan contoh
konkrit yang mudah dipahami oleh
anak SD. Merujuk teori Piaget dan Hilda
Tabah, Etin mengatakan bahwa usia

Vol. VII/No. 4/Desember 2012

Byun Chul-hwan
(tengah) Konselor
Kedutaan Korea di
Jakarta berbincang
dengan Edy Tri
Baskoro tentang isi
buku teks pelajaran
sejarah di kantor
BSNP.

Lajur depan, dari
kiri ke kanan, Diah
Hartati Kepala
Puskurbuk,
Terry Mart Guru
Besar Fisika
UI, dan Utomo
Dananjaya,
saat berdialog
tentang buku teks

anak yang sesuai dengan tingkatan berpikir mereka masih berada pada fase
konkrit. Jadi apa yang dipelajari akan
lebih bermakna jika dimulai dari halhal yang lebih dekat dengan dirinya
seperti keluarga. Mengenai karakter
sebagai bagian dari identitas diri, tidak
disebutkan secara eksplisit dalam buku
teks tersebut, sebab guru yang akan
mengulasnya dalam proses belajar
mengajar.
Sangat disayangkan, meskipun sudah ada penjelasan dari anggota BSNP
dan pakar di bidang Matematika, IPA,
dan IPS, Utomo Dananjaya tetap bersikukuh dengan pandangannya.
“Sekali lagi dalam kesempatan ini

memberikan penilaian dan kesimpulan
sendiri. Namun, tidak berlebihan jika
ada pembaca yang menyimpulkan
bahwa tidak ada kesalahan fatal dalam
buku teks IPA, IPS, dan Matematika SD
sebagaimana yang diklaim oleh Utomo
Dananjaya.
Bagi BSNP, tulisan tersebut tetap ada
hikmahnya, yaitu sebagai wake up call
dan masukan untuk penyempurnaan
buku teks pelajaran. Lebih penting lagi,
penjelasan ini bukan untuk menentukan
siapa yang menang dan kalah atau siapa
yang salah dan benar, tetapi untuk dijadikan proses pembelajaran. Sebab
hal ini terkait dengan bidang keahlian.
Adalah sebuah kenaifan jika pada

saya ingin menekankan bahwa sesuai
dengan tulisan saya yang dimuat dalam
Kompas, ada salah konsep dalam buku
Matematika, IPA, dan IPS. Satu hal yang
membuat saya kecewa adalah setiap
buku yang terbit itu disertai dengan kata
pengantar dari Kepala Pusat Perbukuan
yang menyatakan bahwa buku ini telah
dinilai kelayakannya oleh BSNP. Oleh
karena itu yang harus bertanggung Jawab terhadap semua ini adalah BSNP”,
ucap Utomo Dananjaya.
Terlepas dari sikap Utomo Dananjaya
tersebut, setelah memperhatikan uraian
dan penjelasan dari para pakar Fisika,
Matematika, dan IPS, pembaca sudah bisa

zaman sekarang ini ada orang yang kurang menghormati bidang keahlian
orang lain.
Last but not least, BSNP sebagai
lembaga profesional dan independen,
mengucapkan terima kasih kepada
Utomo Dananjaya dalam usianya yang
tidak muda tetapi masih tetap dapat memberi kritikan kepada BSNP.
Dan kritikan ini akan lebih bijak jika
langsung disampaikan kepada BSNP,
bukan melalui media massa, jika spirit
dan semangat yang dibangun adalah
untuk meningkatkan mutu pendidikan
nasional, bukan sekedar mencari populeritas personal. l

Vol. VII/No. 4/Desember 2012

11

Salah Konsep Buku Teks
Matematika
Oleh Wono Setya Budhi1

ada hari Senin 9 Juli 2012
Kompas memuat tulisan Sdr
Utomo Danajaya tentang adanya
salah konsep di buku Matematika 2:
Tematik. Salah satu yang disebutkan
salah konsep adalah “Jadi 4 x 3 =3 x4”.
Langsung tampak bahwa penulis bukan
seorang matematikawan. Dugaan saya,
saudara penulis dan juga banyak guru
yang melihat hukum perhitungan yang
bersifat komutatif sebagai suatu hal
yang tidak realitis. Saya mencoba untuk
menjelaskan bahwa pemahaman ini
terjadi karena adanya dua pembicaraan
yang berbeda tetapi dianggap sama.
Definisi di matematika tidak harus
selalu sama di dua buku atau dua
pembicaraan yang berbeda. Hal ini
berbeda dengan hal-hal yang mempunyai
kebenaran mutlak atau pengetahuan
yang berasal dari satu orang atau
satu sumber. Definisi di matematika
dapat diambil berbeda oleh dua buku
tanpa harus salah satu di antaranya
merupakan kesalahan. Dalam satu
pembicaraan tentu suatu definisi harus
satu yang diambil. Demikian pula tulisan
3 x 4, apa artinya tulisan ini. Tetapi
terlebih dahulu, perhatikan perbedaan
menjawab pertanyaan berikut: “ Sehari
berapa kali saudara makan?”. Orang
berbahasa Indonesia akan menjawab 3
kali dan orang yang berbahasa Inggris
akan menjawab 3 times. Tetapi saya
dan orang yang berbahasa Jawa akan
menjawab “ping telu” atau kali 3. Oleh
karena itu orang berbahasa Indonesia
dan bahasa Inggris akan mengartikan
tulisan 3 x 4 sebagai 4+4+4 (tiga kali
atau 3 times). Tetapi saya dan orang
berbahasa Jawa boleh saja mengartikan
sebagai 3+3+3+3 (ping 4). Walaupun
saat ini saya harus menghormati orang
yang mengartikan tulisan tersebut

P

12

sebagai 4+4+4.
Apakah ini membingungkan karena
adanya perbedaan definisi? Tentu
saja tidak. Di matematika, kita lebih
mempelajari kalimat “Jika harga 1
kerbau adalah Rp 200 maka harga 2
kerbau adalah Rp 400”, yaitu kalimat
implikasi. Kita tidak mempertanyakan
tentang kebenaran tentang “harga
1 kerbau adalah Rp 200”, tetapi
lebih kepada hubungan sebab dan
akibat. Di matematika kita akan
mempertimbangkan bahwa kalimat
“harga 1 kerbau adalah Rp 200” bisa
benar dan bisa juga salah. Kalimat
tersebut benar untuk orang yang hidup
saat tahun 1970 dan tentu saja salah
untuk saat ini. Oleh karena itu definisi
di matematika dapat diambil salah satu
dari definisi yang mungkin dan harus
konsisten selama pembicaraan tersebut.
Selanjutnya, pada pembicaraan lain,
orang yang sama tentu dapat mengambil
definisi yang lain dan membahas
sebab dan akibat saja. Itulah sebabnya
sangat penting untuk melihat secara
jelas anggapan-anggapan awal dalam
pembahasan di matematika.
Kembali ke masalah 3 x 4 di atas.
Untuk orang berbahasa Indonesia
atau bahasa Inggris, tulisan tersebut
menggambarkan proses yang berbeda
dengan proses yang ada di pikiran orang
yang berbahasa Jawa. Untuk orang
berbahasa Indonesia, model dari tulisan
tersebut terlihat di Gambar 1. Sedangkan
untuk orang berbahasa Jawa, model
dari tulisan tersebut terlihat di Gambar
2. Tetapi jika ditanya: “Berapa banyak
kotak yang ada?”, maka jawaban dari
dua proses tersebut adalah sama, yaitu
12. Tulisan “3 x 4 =4 x 3” adalah tulisan
ringkas untuk menyatakan bahwa dua
proses tersebut mempunyai hasil akhir

Vol. VII/No. 4/Desember 2012

1

Pengajar
di ITB dan
Penulis Buku
Matematika

Tim penilai
menilai kelayakan
buyku teks
pelajaran dari
aspek kelayakan
isi, bahasa,
penyajian dan
kegraikaan.

yang sama, dalam hal ini jumlah kotak.
Selain perkalian angka dengan
dimensi yang sama, misalkan menghitung
luas persegi panjang , perlu diperhatikan
pula jika angka tersebut mempunyai
dimensi yang berbeda. Misalkan saja
siswa A mengerjakan empat soal untuk
tiga hari berturut-turut, tentu berbeda
dengan siswa B yang membuat tiga soal
untuk empat hari berturut-turut. Tetapi
jika ditanya berapa banyak soal yang
dibuat oleh siswa A dan siswa B, sekali
lagi keduanya membuat soal yang sama
banyak dan di matematika maupun
kehidupan sehari-hari, hasil tersebut
tetap 3x4=4x3=12. Jadi, disini harus
dibedakan antara proses yang terjadi,
dan pertanyaan tentang jumlah benda
yang terlibat. Sedangkan tulisan pada
resep 3 x 1 tablet atau 3 x 1 sendok tentu
tidak boleh diganti dengan 3 tablet x 1.
Disini proses yang diperlukan, bukan
hasil akhir.
Sebagai akhir tulisan, saya harapkan
dengan mempelajari matematika seperti
di atas, mengajar kepada siswa bahwa
sesuatu selalu dapat dipandang dari
berbagai sudut. Kita harus selalu dapat
menghargai pendapat orang lain tanpa
harus mengatakan bahwa pendapat kita
mempunyai kebenaran mutlak. Hal lain,

kita juga harus memberikan teladan
kepada siswa kita, bahwa suatu buku
harus dibaca dengan hati-hati. Dari
200 halaman tentu ada saja kesalahan
dan harus dilihat secara keseluruhan.
Ingatkan bahwa Michael Jordan, pebasket
yang terbaik, “hanya mempunyai”
kemampuan memasukkan kurang lebih
7 bola dari 10 kali usaha. Demikian pula
Lionel Messi, dia tidak harus membuat
gol pada setiap pertandingan, tetapi
banyak orang, termasuk saya, yang
menerima bahwa dia pemain sepak bola
terbaik saat ini.

Gambar 1

Gambar 2

Vol. VII/No. 4/Desember 2012

13

Berita BSNP*

LULUSAN SMK DITUNTUT
LEBIH MANDIRI

K

ementerian Pendidikan dan Kebudayaan
telah menetapkan kebijakan rasio SMA
dan SMK adalah 40 banding 60. Kebijakan ini
dimaksudkan untuk menyiapkan generasi
muda yang siap kerja sesuai dengan tuntutan dunia usaha dan industri. Seiring dengan kebijakan tersebut, Direktorat Pembinaan SMK Kemdikbud senantiasa melakukan
peningkatan mutu layanan dan inovasi
untuk menghasilan lulusan SMK yang
berkualitas. Salah satu usaha yang dilakukan
adalah revisi spektrum atau nama jurusan di
SMK.
“Perubahan atau revisi spektrum ini dilakukan berdasarkan masukan dari lapangan
sehingga mutu lulusan SMK memenuhi
tuntutan dari dunia usaha dan industri”,
ungkap seorang perwakilan dari Direktorat
Pembinaan SMK saat presentasi di BSNP
pada awal Agustus yang lalu.
Saat ini di SMK ada 6 Bidang Keahlian, 40
Program Studi Keahlian, dan 121 Kompetensi

14

Keahlian. Keenam bidang keahlian tersebut
adalah Teknologi dan Rekayasa, Tekonologi
Informasi dan Komunikasi, Kesehatan, Seni,
Kerajinan, dan Pariwisata, Agrobisnis dan
Teknologi serta Bisnis dan Manajemen.
Animo masyarakat untuk masuk SMK
sangat tinggi. Hal ini terlihat dari jumlah
siswa SMK yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah siswa SMK tahun 2011
mencapai lebih dari 4 juta siswa. Perkembangan yang paling cepat adalah bidang
Teknologi dan Rekayasa dengan jumlah
1.496.004 siswa.
Farid A Moeloek anggota BSNP berpandangan perlu ada usaha-usaha untuk
membuat lulusan SKM mandiri. Untuk itu
mereka perlu dibekali dengan keterampilan
hidup (life skills). “Karena mandiri, maka
murid-murid tidak akan bergantung kepada
perusahaan dan industri”, ungkap Moeloek.
Sependapat dengan Moeloek, Furqon mengatakan perlu strategi untuk me-

Vol. VII/No. 4/Desember 2012

Perwakilan
dari Direktorat
Pembinaan SMK
Kementerian
Pendidikan dan
Kebudayaan
mempresentasikan
revisi spectrum
SMK di BSNP

* Bambang
Suryadi

Berita BSNP
nanamkan jiwa kewirausahaan di kalangan
siswa SMK sehingga mereka tidak hanya bergantung kepada dunia usaha dan industri.
Untuk membantu siswa-siswa SMK bisa
mandiri, ada dua hal yang perlu diperhatikan,
yaitu modal dan pemasaran.
Menurut Djemari Mardapi, untuk diterima di dunia usaha dan industri, siswa SMK
harus memiliki keterampilan dasar (basic
skills). Mereka juga perlu mendapat bantuan
modal dan pembinaan supaya bisa usaha
mandiri. Selain itu perlu ditanamkan soft
skills termasuk akhlak mulia.
Sementara itu Edy Tri Baskoro menilai
SMK bersifat dinamis karena banyak tun-

tutan di dunia kerja yang begitu cepat berubah. Oleh karena itu SMK dituntut untuk
mengikuti perubahan yang terjadi di lapangan. Konsekuensinya spektrum jurusan
di SMK juga harus bersifat luas dan leksibel.
Untuk menghasilkan lulusan SMK yang
berkualitas, menurut T. Ramli Zakaria, perlu dibuat proses pembelajaran dimana murid-murid menyatu dengan alam dunia kerja
mereka. Sedangkan Weinata Sairin menekankan pentingnya buku teks pelajaran yang
menunjang proses belajar mengajar. “Bukubuku teks pelajaran yang menunjang pendidikan SMK perlu diperhatikan”, ungkap
Weinata yang mendapat dukungan dari seluruh anggota BSNP. l

281 BUKU LULUS PRASELEKSI

Herry Widiastono
(berbaju biru)
bersama
anggota tim ahli
penilaian buk teks
pelajaran dan
staf Puskurbuk
memaparkan hasil
praseleksi buku di
BSNP

S

alah satu wewenang BSNP adalah menilai
kelayakan buku teks pelajaran. Ada empat
jenis kelayakan yang dinilai, yaitu kelayakan
isi, bahasa, penyajian, dan kegraikaan buku
teks pelajaran. Dalam pelaksanaannya, BSNP
bekerjasama dengan Pusat Kurikulum dan
Perbukuan (Puskurbuk) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sampai akhir Agustus yang lalu, BSNP
bersama Puskurbuk telah melakukan praseleksi terhadap buku teks pelajaran. Menurut Weinata Sairin anggota BSNP dan
Koordinator kegiatan, dari 336 buku teks

pelajaran yang dinilai, 281dinyatakan lulus
dan akan diikutsertakan dalam proses penilaian berikutnya. Sedangkan 55 buku dinyatakan tidak lulus. “Tujuan praseleksai ini
adalah untuk memastikan bahwa buku teks
pelajaran tersebut sudah memenuhi Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar atau
SKKD yang telah ditetapkan oleh BSNP”, ucap
Weinata Sairin.
Rekapitulasi hasil praseleksi SK-KD untuk
336 buku teks pelajaran tersebut adalah
sebagai berikut.

Vol. VII/No. 4/Desember 2012

15

Berita BSNP
BSNP
Berita
NO.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

MAPEL/JENJANG
Kristen SD
Kristen SMP
Kristen SMA
Buddha SD
Buddha SMP
Buddha SMA
Khonghucu SD
Khonghucu SMP
Jerman SMA
Keterampilan SMP
Keterampilan SMA
Busana Butik SMK
Jasa Boga SMK
Patiseri SMK
Akuntansi SMK
Perbankan SMK
TOTAL

Menurut Tatok Hindarto anggota tim ahli
penilaian buku teks pelajaran, untuk buku
Keterampilan, salah satu faktor penyebab
banyak yang tidak lulus adalah karena tidak
ada aspek pengemasan.
Menanggapi hasil penilaian tersebut,
Djemari Mardapi berpandangan BSNP
perlu memberi kesempatan kepada
penulis buku untuk memperbaiki buku
yang dinyatakan tidak lulus karena faktor
pengemasan. Selain itu, juga perlu ada
jaminan dari penerbit untuk menerbitkan
buku yang sudah dinilai. Untuk buku SMK
perlu lebih hati-hati dalam menampilkan
gambar-gambar yang ada.

L
7
7
3
3
6
3
10
1
1
15
6
24
32
23
58
82
281

HASIL
TL
4
2
0
5
0
0
0
0
0
16
2
0
2
8
8
8
55

TOTAL
11
9
3
8
6
3
10
1
1
31
8
24
34
31
66
90
336

Menurut Djaali masih banyak sekolah
yang menggunakan buku yang tidak layak. Padahal banyak sekali buku yang sudah dinilai kelayakannya. “Oleh sebab itu
Puskurbuk perlu melakukan kajian berapa
banyak sekolah yang memakai buku yang
layak dan tidak layak”, ucap Djaali seraya
menambahkan ada persepsi di masyarakat
bahwa buku yang boleh dipakai hanya buku
yang berasal dari Buku Sekolah Elektronik
atau BSE.
Farid A Moeloek mengusulkan untuk
meningkatkan mutu buku teks pelajaran,
BSNP dan Puskurbuk perlu bekerjasama
dengan IKAPI sehingga permasalahan yang

HALAL BI HALAL: BSNP UTAMAKAN
KEBERSAMAAN DAN SIKAP TOLERANSI

S

ederhana namun penuh makna dan
sarat dengan keakraban, kekeluargaan,
kebersamaan, dan keharmonisan. Itulah kesan yang muncul dari pelaksanaan halal
bi halal BSNP yang diselenggarakan pada
tanggal 31 Agustus 2012 di Jakarta. Acara
dihadiri oleh anggota BSNP periode pertama
dan periode kedua, serta staf dan karyawan
BSNP. Namun karena alasan tertentu ada
anggota BSNP baik yang masih aktif maupun
yang sudah paripurna, berhalangan hadir
dalam acara tersebut.

16

Moehammad Aman Wirakartakusumah
Ketua BSNP dalam sambutannya mengatakan telah menjadi tradisi BSNP untuk melaksanakan halal bi halal dengan mengundang anggota BSNP beserta keluarga
dan seluruh staf. “Tujuan kegiatan ini
adalah untuk meningkatkan tali silaturahim
dan persaudaraan antar sesama anggota
dan staf sehingga dapat meningkatkan
produktiitas kerja”, ucap Aman seraya
menambahkan melalui acara seperti ini
diharapkan juga dapat menghilangkan

Vol. VII/No. 4/Desember 2012

Berita BSNP

Suasana halal bi
halal BSNP ditandai
dengan saling maafmemaafkan atas
segala kesalahan
dan kekhilafan serta
mendoakan untuk
kebaikan bersama.

rasa penat dan letih setelah menjalankan
rutinitas harian yang begitu padat.
M. Yunan Yusuf anggota BSNP paripurna
dalam tausiyahnya menjelaskan makna dan
urgensi halal bi halal. Menurut Yunan, istilah
halal bi halal adalah istilah khas di Indonesia
yang mengakar dengan nilai kultural umat
Islam di Indonesia. “Istilah ini tidak kita
temukan di negara lain tetapi memiliki makna yang dalam karena telah menjadi tradisi

sifat ketuhanan, diantaranya adalah sifat
bahwa Tuhan tidak makan, minum, dan
tidak melakukan hubungan seksual. Kemenangan ini sangat tergantung kepada hubungan silaturahim sesama manusia. Dengan melakukan silaturahim, Allah akan memanjangkan umur atau usia kita dan akan
melapangkan rezeki kita.
Dengan mengutif sebuah wisdom
yang dikirim melalui pesan singkat oleh

bagi umat Islam di Indonesia”, ungkap Yunan.
Yunan menambahkan, biasanya dalam
merayakan idul itri ada ucapakan khusus,
yaitu minal a’idin wal faizin. Minal ‘aidin
berarti kembali kepada itrah manusia
karena selama perjalanan hidup banyak hal
yang menyimpang dari itrahnya. Sedangkan
al-faizun berarti pemenang atau kembali
kepada kemenangan. Mengapa harus
menang? Selama sebulan penuh berpuasa
umat Islam dihadapkan berbagai tantangan
dan gangguan. Kemenangan sejati diraih
dengan menyempurnakan ibadah puasa
satu bulan penuh.
Selama menunaikan ibadah puasa,
tambah Yunan, manusia menyalin sifat-

anggota BSNP Weinata Sairin, M. Yunan
Yusuf menekankan pentingnya memaafkan:
Vincere est honestum, opprimere acerbum,
pulchrum ignoscere. Menang itu terhormat,
menghancurkan itu pahit, memaafkan itu
indah. Melahirkan kemenangan dalam
setiap perjuangan dan hidup saling memaafkan adalah bagian integral dari karakter
umat beriman.
Kebersamaan dan sikap saling menghargai dan toleransai antar ummat beragama
ditemukan di BSNP. “Karena itu siapa yang
ingin melihat sikap menghargai dan toleransi
antar umat beragama, silahkan datang ke
BSNP”, ucap Yunan yang langsung disambut
dengan tepuk tangan oleh para hadirin.

Vol. VII/No. 4/Desember 2012

17

Berita BSNP
Selain ceramah keagamaan dan saling
berjabat tangan untuk maaf memaafkan,
acara halal bi halal kali ini juga dilengkapi
dengan nyanyi bersama yang dikomandani
oleh Edy Tri Baskoro. “Lagu ini merupakan
ekspresi hati untuk menghilangkan

perasaan letih dan sedih karena rutinitas
sehari-hari yang kita lakukan”, ungkap Edy.
Acara menjadi lebih meriah ketika
Anggani Sudono membacakan puisi tentang
pendidikan dan Weinata membacakan puisi
tentang guru. l

PERSIAPAN PEMANTAUAN
Waktu Terbatas, Tugas Harus Tuntas

S

ekitar pukul 17.25 sore hari telpon di
sekretariat berdering. “Halo saya tim
standar yang akan melakukan pemantauan
di lapangan minggu depan, tetapi sampai
sekarang saya belum menerima surat tugas
dari BSNP. Mohon dikirim segera karena saya

Karningsih seorang staf sekretariat BSNP
dengan ramah. Menurut Ning, ungkapan
yang serupa juga diterima melalui layanan
pesan singkat (SMS) dan email.
Rasanya waktu yang tersedia lebih
sedikit dibanding tugas dan pekerjaan
yang harus diselesaikan. Begitu juga
jajaran staf dan karyawan yang ada, terasa
kewalahan karena banyak pekerjaan yang
harus diselesaikan. Sementara ruang kantor
sekretariat dan keuangan lebih terkesan
seperti gudang dibanding ruang kerja
sebuah institusi atau lembaga pemerintahan.
Itulah gambaran kesibukan dan beban kerja
di BSNP dalam mempersiapkan kegiatan
pemantauan dan evaluasi standar nasional
pendidikan. Suasana seperti itu terjadi sejak

Suasana kesibukan
di sekretariat
BSNP menjelang
pelaksanaan
pemantauan
standar.

perlu memesan tiket dan meminta izin dari
atasan saya”, ucap penelpon tersebut.
“Baik Bapak, akan kami kirim segera.
Mohon maaf jika ada keterlambatan, karena pada minggu ini ada dua standar yang
melakukan pemantauan”, jawab Ning

18

bulan Agustus sampai awal Oktober 2012.
Menurut Sisworo koordinator pemantauan standar, ada delapan standar yang
dipantau. Delapan standar tersebut adalah
standar proses, sarana dan prasarana,
biaya, pendidik dan tenaga kependidikan,

Vol. VII/No. 4/Desember 2012

Berita BSNP
pengelolaan, penilaian, buku teks pelajaran,
dan pendidikan nonformal. Kegiatan pemantauan dilaksanakan di 32 provinsi dan
di setiap provinsi melibatkan 40 responden
dan 5 orang panitia pelaksana. Sedangkan
dari BSNP untuk setiap tempat melibatkan
satu anggota BSNP, dua orang tim ahli, dan
dua orang pendamping.
Sementara itu Nurul Najmah, staf sekretariat mengatakan selama bekerja di BSNP
sejak tahun 2005 yang lalu, baru kali ini
menangani pekerjaan yang sangat rumit
dan kompleks.Waktu dan tenaga terbatas,
tetapi perkerjaan dan tugas harus tuntas.
“Sekretariat sudah menetapkan jadwal
kegiatan, tetapi ternyata bentrok dengan
kegiatan di dinas pendidikan, sehingga
harus dijadwalkan kembali”, ungkap Nurul.
Selama ini BSNP didukung oleh 6 staf
sekretariat dan 12 staf keuangan. Ketika
mereka harus mendampingi kegiatan
di daerah, jumlah tersebut tidak cukup.
Sementara masih banyak persiapan yang
harus dilakukan. Untuk mengatasi masalah
tersebut, BSNP melibatkan staf Balitbang dan
Puskurbuk. “Kita minta bantuan tenaga dari

Balitbang dan Puskurbuk supaya mobilitas
kegiatan tidak terganggu”, ujar Sugi di
tengah-tengah kesibukannya mengecek
persiapan pengepakan instrumen pada
pertengahan September yang lalu.
Secara terpisah Djaali anggota BSNP berpandangan bahwa penjadwalan kegiatan
yang ada, terlalu dekat rentang waktu antara
satu kegiatan dengan kegiatan lain. Hal ini
perlu