Evaluasi Penggunaan Antibakteri pada Pasien Anak Penderita Diare di Ruang Perawatan Anak RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2015

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diare
2.1.1 Definisi Diare
Diare merupakan penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi
defekasi (buang air besar) lebih dari biasanya≥( 3 kali/ hari) disertai perubahan
konsistensi tinja (menjadi cair), dengan/ tanpa darah dan dengan/ tanpa lendir
(Suraatmaja, 2007).
Organisasi kesehatan dunia (WHO) mendefinisikan diare sebagai kejadian
buang air besar dengan konsistensi lebih cair dari biasanya, dengan frekuensi kali
atau lebih selama 1 hari atau lebih. Definisi ini lebih menekankan pada
konsistensi tinja daripada frekuensinya. Jika frekuensi BAB meningkat namun
konsistensi tinja padat, maka tidak disebut sebagai diare.
Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/ RSCM, diare diartikan sebagai
buang air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi
lebih banyak dari biasanya. Anak dikatakan diare bila frekuensinya lebih dari 3
kali (Hassan dan Alatas, 2005).
2.1.2 Klasifikasi Diare
Menurut Simadibrata (2006), diare dapat diklasifikasikan berdasarkan:
1. Lama waktu diare

a. Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 15 hari, sedangkan
menurut World Gastroenterology Organization Global Guidelines (2005)
diare akut didefinisikan sebagai bentuk tinja yang cair dan lembek dengan

8
Universitas Sumatera Utara

jumlah lebih banyak dari normal, berlangsung kurang dari 14 hari, dan akan
mereda tanpa terapi yang spesifik jika dehidrasi tidak terjadi.
b. Diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 15 hari.
2. Mekanisme patofisiologi
a Osmolalitas intraluminal yang meninggi, disebut diare sekretorik.
b Sekresi cairan dan elektrolit meninggi.
c Malabsorbsi asam empedu.
d Defek sistem pertukaran anion atau transport elektrolit aktif di enterosit.
e Motilitas dan waktu transport usus abnormal.
f Gangguan permeabilitas usus.
g Inflamasi dinding usus disebut diare inflamatorik.
h Infeksi dinding usus.
3. Ada tidaknya infeksi

a. Diare spesifik, yaitu diare yang disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, atau
parasit.
b. Diare non spesifik, yaitu diare yang disebabkan oleh makanan, minuman,
stres dan lainnya.
2.1.3 Etiologi Diare
Rotavirus merupakan penyebab utama diare dengan dehidrasi berat pada
anak dibawah 5 tahun di seluruh dunia. Rotavirus adalah virus RNA (Ribonucleic
Acid) yang tergolong dalam famili Reoviridae. Penularan rotavirus terjadi melalui
faecal-oral. Rotavirus akan menginfeksi dan merusak sel-sel yang membatasi
usus halus dan menyebabkan diare cair akut dengan masa inkubasi 24-72 jam.
Gejala yang timbul bervariasi dari ringan sampai berat, didahului oleh muntah-

9
Universitas Sumatera Utara

muntah yang diikuti 4-8 hari diare hebat yang dapat menyebabkan dehidrasi berat
b

dan berujung pada kematian (Kemenkes RI, 2011 ).
Sebagian besar pasien yang dirawat inap di rumah sakit akibat infeksi

rotavirus. Salmonella, Shigella dan Campylobacter merupakan bakteri patogen
yang juga paling sering menyebabkan diare. Mikroorganisme Giardia lamblia dan
Cryptosporodium merupakan parasit yang paling sering menimbulkan diare
infeksi akut. Selain Rotavirus, telah ditemukan juga virus baru yaitu Norwalk
virus. Virus ini lebih banyak pada kasus orang dewasa dibandingkan anak- anak
(Suharyono, 2008).
2.1.4 Patogenesis
Mekanisme yang menyebabkan timbulnya diare adalah gangguan osmotik,
gangguan sekresi, dan gangguan motilitas usus. Pada diare akut, mikroorganisme
masuk ke dalam saluran cerna, kemudian mikroorganisme tersebut berkembang
biak. Setelah berhasil melewati asam lambung, mikroorganisme membentuk
toksin (endotoksin), lalu terjadi rangsangan pada mukosa usus yang menyebabkan
terjadinya hiperperistaltik dan sekresi cairan tubuh yang mengakibatkan terjadinya
diare (Suraatmaja, 2007).
Pada diare kronis, jasad renik masuk ke dalam usus setelah berhasil
melewati rintangan asam lambung. Jasad renik tersebut berkembang biak di dalam
usus halus dan mengeluarkan toksin (toksin diaregenik) sehingga mengakibatkan
hipersekresi dan selanjutnya akan menimbulkan diare (Hasan dan Alatas, 2005).
2.1.5 Faktor Risiko
Faktor risiko yang menyebabkan diare seperti faktor lingkungan, faktor

perilaku masyarakat rendahnya pengetahuan masyarakat tentang diare serta

10
Universitas Sumatera Utara

malnutrisi. Contoh dari faktor lingkungan berupa sanitasi yang buruk serta sarana
air bersih yang kurang. Faktor perilaku masyarakat seperti tidak mencuci tangan
sesudah buang air besar serta tidak membuang tinja dengan benar. Tidak memberi
ASI secara penuh 4-6 bulan pertama kehidupan bayi mempunyai risiko untuk
menderita diare lebih besar, ini akibat kurangnya pengetahuan masyarakat
khususnya ibu tentang diare (Adisasmito, 2007).
Diare merupakan penyebab utama malnutrisi. Setiap episode diare dapat
menyebabkan kehilangan berat badan. Semakin buruk keadaan gizi anak, semakin
sering dan semakin berat diare yang dideritanya (Suharyono,2008). Ada 2
masalah yang berbahaya dari diare yaitu kematian dan malnutrisi. Diare dapat
menyebabkan malnutrisi dan membuat lebih buruk lagi karena pada diare tubuh
akan kehilangan nutrisi, anak- anak dengan diare mungkin merasa tidak lapar
serta ibu tidak memberi makan pada anak ketika mengalami diare (WHO, 2005).
2.1.6 Penatalaksanaan
Menurut Kemenkes RI (2011), prinsip tatalaksana diare pada balita adalah

LINTAS DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare), yang didukung oleh Ikatan
Dokter Anak Indonesia dengan rekomendasi WHO. Rehidrasi bukan satu-satunya
cara untuk mengatasi diare tetapi memperbaiki kondisi usus serta mempercepat
proses penyembuhan/ menghentikan diare dan mencegah anak kekurangan gizi
akibat diare juga menjadi cara untuk mengobati diare.
Adapun program LINTAS DIARE yaitu:
1. Rehidrasi menggunakan oralit osmolalitas rendah
2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut
3. Teruskan pemberian ASI dan makanan

11
Universitas Sumatera Utara

4. Antibiotik selektif
5. Nasihat kepada orang tua/ pengasuh
2.1.7 Pemberian Antibiotik Hanya Atas Indikasi
Antibiotik tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian
diare pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotik hanya bermanfaat pada
penderita diare dengan darah (sebagian besar karena shigellosis), suspek kolera
b


(Kemenkes RI, 2011 ).

2.2 Antibakteri
2.2.1 Definisi Antibakteri
Antibakteri adalah senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme (bakteri,
jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu proses
biokimia mikroorganisme lain (Setiabudy, 2007).
Antibakteri ialah suatu bahan kimia yang dikeluarkan oleh jasad renik atau
hasil sintesis atau semisintetis yang mempunyai struktur yang sama dan zat ini
dapat merintangi atau memusnahkan jasad renik lainnya (Wijaya, 2010). Istilah
antibiotik sering digunakan dalam arti luas dan dengan demikian tidak terbatas
pada hanya obat-obatan antibakteri yang dihasilkan fungi dan kuman melainkan
juga untuk obat-obat sintetis seperti sulfonamid, INH, nalidiksat, fluorkuinolon
dan zat-zat sintetis lainnya dengan kerja antibakteri, yaitu obat-obat tuberkulosis
dan metronidazole (Tan dan Rahardja, 2010).
2.2.2 Klasifikasi Antibakteri
1 Berdasarkan mekanisme kerja antibakteri
a. Menghambat metabolisme sel bakteri. Contohnya adalah sulfonamid,


12
Universitas Sumatera Utara

trimetoprim, asam p-aminosalisilat (PAS) dan sulfon.
b. Menghambat sintesis dinding sel bakteri. Contohnya adalah penisilin,
sefalosporin, basitrasin, vankomisin dan sikloserin.
c. Mengganggu keutuhan membran sel bakteri. Contohnya adalah polimiksin.
d. Menghambat sintesis protein sel bakteri. Contohnya adalah golongan
aminoglikosid, makrolid, linkomisin, tetrasiklin, dan kloramfenikol.
e. Menghambat sintesis asam nukleat sel bakteri. Contohnya adalah rifampisin
dan golongan kuinolon (Setiabudy, 2007).
b. Berdasarkan daya kerja
1. Zat-zat bakterisid, yang pada dosis biasa berkhasiat mematikan kuman.
Contohnya adalah penisilin, sefalosporin, polipeptida, rifampisin, kuinolon,
aminoglikosid, nitrofurantoin, INH, kotrimoksazol, dan polipeptida.
2. Zat-zat bakteriostatik, yang pada dosis biasa terutama berkhasiat
menghentikan pertumbuhan dan perbanyakan kuman. Contohnya adalah
kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida dan linkomisin (Tan dan Rahardja,
2010).
c. Berdasarkan luas aktivitas

1. Antibakteri narrow-spectrum (spektrum sempit). Obat-obat ini terutama
aktif terhadap beberapa jenis kuman saja, misalnya Penisilin G dan
Penisilin-V, eritromisin, klindamisin yang hanya bekerja terhadap kuman
gram positif sedangkan streptomisin, gentamisin, polimiksin-B, dan asam
nalidiksat yang aktif khusus hanya pada kuman gram-negatif.
2. Antibakteri broad-spectrum (spektrum luas) bekerja terhadap lebih banyak
pada

kuman

baik

gram-positif

maupun

gram-negatif

antara


lain

13
Universitas Sumatera Utara

sulfonamida,

ampisilin,

sefalosporin,

kloramfenikol,

tetrasiklin

dan

rifampisin (Tan dan Rahardja, 2010).
2.2.3 Prinsip Penggunaan Antibakteri
Penggunaan antibakteri sebagai terapi infeksi didasarkan pada prinsip:

1. Antibakteri Terapi Empiris
Penggunaan

antibakteri

untuk terapi

empiris adalah penggunaan

antibakteri pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya.
Tujuan pemberian antibakteri untuk terapi empiris adalah eradikasi atau
penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi,
sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi. Diindikasikan jika ditemukan
sindrom klinis yang mengarah pada keterlibatan bakteri tertentu yang paling
sering menjadi penyebab infeksi.
Dasar pemilihan jenis dan dosis antibakteri:
a. Data epidemiologi dan pola resistensi bakteri yang tersedia dikomunitas atau
dirumah sakit setempat.
b. Kondisi klinis pasien.
c. Ketersediaan antibakteri.

d. Kemampuan antibakteri untuk menembus kedalam jaringan atau organ yang
terinfeksi.
e. Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh polimikroba dapat digunakan
antibakteri kombinasi.
Lama pemberian antibakteri empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72
jam. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan
a

kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya (Kemenkes RI, 2011 ).

14
Universitas Sumatera Utara

2. Antibakteri untuk Terapi Definitif
Penggunaan antibakteri untuk terapi definitif adalah penggunaan
antibakteri pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan
pola resistensinya. Tujuan pemberian antibakteri untuk terapi definitif adalah
eradikasi atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab
infeksi, berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi. Diindikasikan sesuai dengan
hasil mikrobiologi yang menjadi penyebab infeksi.
Dasar pemilihan jenis dan dosis antibakteri:
a. Efikasi klinik dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik.
b. Sensitivitas.
c. Biaya.
d. Kondisi klinis pasien.
e. Diutamakan antibakteri lini pertama/ spektrum sempit.
f. Ketersediaan antibakteri (sesuai formularium rumah sakit).
g. Sesui dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) setempat yang terkini.
h. Paling kecil memunculkan risiko terjadi bakteri resisten.
Rute pemberian antibakteri oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk
terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan
menggunakan antibakteri parenteral. Jika kondisi pasien memungkinkan,
pemberian antibakteri parenteral harus segera diganti dengan antibakteri peroral.
Lama pemberian

antibakteri definitif berdasarkan pada efikasi klinis untuk

eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal yang telah dikonfirmasi. Selanjutnya harus
dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta
a

data penunjang lainnya (Kemenkes RI, 2011 ).

15
Universitas Sumatera Utara

2.3 Rasionalitas Penggunaan Antibakteri
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), setiap obat yang diresepkan
pada pasien haruslah memenuhi kriteria obat yang rasional. Pemakaian obat
secara rasional berarti hanya menggunakan obat-obatan yang telah terbukti
keamanan dan efektifitasnya dengan uji klinik. Suatu pengobatan dikatakan
rasional bila memenuhi beberapa kriteria tertentu. Kriteria pemakaian obat secara
rasional meliputi tepat indikasi, tepat obat, tepat penderita, tepat dosis dan cara
pemakaian, serta waspada efek samping.
2.3.1 Tepat indikasi
Indikasi pemakaian obat secara khusus adalah indikasi medik bahwa
intervensi dengan obat (antibakteri) memang diperlukan dan telah diketahui
memberikan manfaat terapeutik. Pada banyak keadaan, ketidakrasionalan
pemakaian obat terjadi oleh karena keperluan intervensi farmakoterapi dan
kemanfaatannya tidak jelas, seperti efek klinik yang paling berperan terhadap
manfaat terapetik. Hal ini akan menentukan evaluasi terhadap hasil terapi
(Wilianti, 2009).
2.3.2 Tepat obat
Pemilihan jenis obat harus memenuhi beberapa segi pertimbangan, yakni :
a. Kemanfaatan dan keamanan obat sudah terbukti secara pasti.
b. Obat (antibakteri) memiliki efektifitas yang telah terbukti.
c. Jenis antibakteri sesuai dengan sensitivitas dari dugaan kuman penyebab
berdasarkan terapi empirik (educated guess) atau sesuai dengan hasil uji
sensitifitas terhadap kuman penyebab jika uji sensitifitas dilakukan.
d. Derajat penyakit pasien: pasien dengan penyakit berat butuh obat yang bisa

16
Universitas Sumatera Utara

cepat mencapai kadar obat dalam plasma dan cepat mengeradikasi kuman
penyebab infeksi sehingga cepat meredakan penderitaan pasien.
e. Risiko dari pengobatan dipilih yang paling kecil untuk pasien dan imbang
dengan manfaat yang akan diperoleh. Risiko pengobatan mencakup toksisitas
obat, efek samping, dan interaksi dengan obat lain.
f. Biaya obat paling sesuai untuk alternatif-alternatif obat dengan manfaat dan
keamanan yang sama dan paling terjangkau oleh pasien (affordable).
g. Jenis obat yang paling mudah didapat (available).
h. Cara pemakaian paling cocok dan paling mudah diikuti pasien.
i. Sedikit mungkin kombinasi obat atau jumlah jenis obat.
Banyak ketidakrasionalan terjadi oleh karena pemilihan obat-obat dengan
manfaat dan keamanan yang tidak jelas atau pemilihan obat yang mahal padahal
alternatif yang sama dengan harga lebih murah juga tersedia (Wilianti, 2009).
2.3.3 Tepat pasien
Ketepatan pasien serta penilaiannya mencakup pertimbangan apakah ada
kontraindikasi atau adakah kondisi-kondisi khusus yang memerlukan penyesuaian
dosis secara individual (Wilianti, 2009).
2.3.4 Tepat dosis obat
Cara pemakaian obat memerlukan pertimbangan farmakokinetika, yakni:
cara pemberian, besar dosis, frekuensi pemberian dan lama pemberian, sampai ke
pemilihan cara pemakaian yang paling mudah diikuti oleh pasien dan paling aman
serta efektif untuk pasien (Wilianti, 2009).
2.3.5 Waspada efek samping obat
Waspada terhadap efek samping obat mencakup penilaian apakah ada

17
Universitas Sumatera Utara

keadaan yang merupakan faktor konsitusi terjadinya efek samping obat pada
penderita. Jika kemudian terjadi efek samping tertentu, bagaimana menentukan
dan menanganinya (Wilianti, 2009).

2.4 Penggunaan Obat yang Tidak Rasional
Penggunaan obat dikatakan tidak rasional jika kemungkinan dampak
negatif yang diterima oleh pasien lebih besar dibanding manfaatnya. Dampak
negatif dapat berupa:
a. Dampak klinis sepert terjadi efek samping dan resistensi kuman.
b. Dampak ekonomi seperti biaya tak terjangkau karena penggunaan obat yang
tidak rasional dan waktu perawatan yang lebih lama.
c. Dampak sosial seperti ketergantungan pasien terhadap intervensi obat (Binfar
dan Alkes, 2010).

2.5 Pediatri
Pediatri berasal dari bahasa Yunani yaitu pedos yang berarti anak dan
iatrica yang berarti pengobatan anak. Beberapa penyakit memerlukan penanganan
khusus untuk pasien pediatrik. Anak adalah masa kanak-kanak menggambarkan
suatu periode pertumbuhan dan perkembangan yang cepat. Penggunaan obat pada
anak-anak tidaklah sama dengan orang dewasa, sehingga hanya terdapat sejumlah
kecil obat yang telah diberi ijin untuk digunakan pada anak-anak, yang memiliki
bentuk sediaan yang sesuai (Prest, 2003).
Masa bayi dan anak merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan
yang sangat pesat. Penggunaan obat untuk anak merupakan hal khusus yang

18
Universitas Sumatera Utara

terkait dengan perbedaan laju perkembangan organ, sistem enzim yang
bertanggung jawab terhadap metabolisme dan ekskresi obat (Prest, 2003).
Agar dapat menentukan dosis obat disarankan beberapa penggolongan untuk
membagi masa anak-anak. The British Pediatric (BPA) mengusulkan rentang
waktu berikut yang disarankan pada saat terjadinya perubahan-perubahan biologis
(Prest, 2003).
Neonatus : Awal kelahiran sampai usia 1 bulan
Bayi

: 1 bulan sampai 2 tahun

Anak

: 2 tahun sampai 12 tahun

Remaja

: 12 tahun sampai 18 tahun

2.6 Rumah Sakit
Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan
upaya kesehatan dengan memberdayakan berbagai kesatuan personel terlatih dan
terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik untuk pemulihan dan
pemeliharaan kesehatan yang baik (Siregar, 2003).
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Kota Medan didirikan oleh
Pemerintah Kolonial Belanda pada tanggal 11 Agustus 1928 dengan nama
GEMENTA ZIEKEN HUIS dan semenjak tanggal 27 Desember 2001 telah
diserahkan kepemilikannya dari Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara kepada
Pemerintahan Kota Medan. Pada tanggal 6 September 2002, status kelembagaan
Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi ditetapkan menjadi Badan Pelayanan Kesehatan
Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Kota Medan. Sesuai Peraturan Daerah
Pemerintahan Kota Medan No. 3 Tahun 2009, sejak tanggal 4 Maret 2009 Badan

19
Universitas Sumatera Utara

Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Kota Medan berubah
menjadi Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Kota Medan. RSUD Dr.
Pirngadi Kota Medan adalah rumah sakit kelas B Pendidikan yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan medis spesialis dasar, spesialis luas, dan beberapa
subspesialis. RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan terletak di Jalan Prof. Haji
Mohammad Yamin No. 47, Kelurahan Perintis Kemerdekaan, Kecamatan Medan
Timur (Anonim, 2016).

2.7 Rekam Medik
Rekam medik adalah sejarah ringkas, jelas, dan akurat dari kehidupan dan
kesakitan penderita, ditulis dari sudut pandang medik. Data identifikasi dalam
rekaman medik pada umumnya terdapat dalam lembar penerimaan rumah sakit.
Lembaran ini pada ummnya mengadung informasi berkaitan seperti nomor rekam
medik, nama, alamat, penderita, nama suami/istri, no telepon rumah/kantor, jenis
kelamin, tempat tanggal lahir, status perkawinan, pekerjaan, nama dan alamat
dokter keluarga, diagnosis pada waktu penerimaan, tanggal dan waktu masuk
rumah sakit dan tempat dirumah sakit. Pada lembar penerimaan itu umumnya
terlampir formulir persetujuan untuk memberi kewenangan (otorisasi) bagi
penanganan medik dan bedah (Siregar, 2003).

20
Universitas Sumatera Utara