Essay Neraca Perdagangan Indonesia di ka

Essay Neraca Perdagangan Indonesia di kawasan ASEAN-China Free Trade Area
(Produksi dan Struktur Perdagangan dalam persfektif Merkantilisme)
Disusun Oleh : JOKO SURONO, SE

GAMBARAN UMUM
1. Struktur Produksi dan Perdagangan Global
1.1. Organisasi perdagangan bebas dunia
Setiap negara di dunia pasti membutuhkan hubungan dengan negara lain baik
dalam hubungan diplomatik, hubungan dagang maupun dalam hubungan politik. Dalam
hubungannya mengatur perdagangan antar bangsa, didirikanlah World Trade
Organization (WTO) pada tanggal 1 Januari 1995 yang tugas utamanya yaitu
mendorong perdagangan bebas, dengan mengurangi dan menghilangkan hambatanhambatan perdagangan seperti tariff dan non tariff (misalnya regulasi); menyediakan
forum perundingan perdagangan internasional; penyelesaian sengketa dagang dan
memantau kebijakan perdagangan di negara-negara anggotanya.
Sampai dengan tanggal 24 August 2012 terdapat 157 negara anggota WTO 1.
1.2. Organisasi perdagangan bebas regional
Indonesia yang berada di kawasan negara Asia Tenggara pada 1967 telah
bergabung dan mendirikan Association of South East Asian Nations (ASEAN).
Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara, atau ASEAN, didirikan pada tanggal 8
Agustus 1967 di Bangkok, Thailand, dengan penandatanganan Deklarasi ASEAN
(Deklarasi Bangkok) oleh Negara Pendiri ASEAN, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina,

Singapura dan Thailand.
Brunei Darussalam kemudian bergabung pada tanggal 7 Januari 1984, Vietnam
pada tanggal 28 Juli 1995, Laos dan Myanmar pada tanggal 23 Juli 1997, dan Kamboja
pada tanggal 30 April 1999, yang membentuk apa yang sekarang negara-negara
anggota ASEAN sepuluh (ASEAN-10).
(http://wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/org6_e.htm, diunduh tanggal 6 Januari
2013 jam 16:36 wib)
1

1

Sebagaimana tercantum dalam Deklarasi ASEAN, maksud dan tujuan dari ASEAN
adalah :


Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan pembangunan
budaya di kawasan melalui upaya bersama dalam semangat kesetaraan dan
kemitraan dalam rangka memperkuat landasan bagi masyarakat sejahtera dan




damai Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara;
Untuk mempromosikan perdamaian dan stabilitas regional dengan menghormati
keadilan dan supremasi hukum dalam hubungan antara negara-negara dari



kawasan dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip Piagam PBB;
Untuk mempromosikan kerjasama aktif dan saling membantu mengenai masalahmasalah yang menjadi kepentingan bersama di bidang ekonomi, sosial, budaya,



teknis, ilmiah dan administrasi;
Untuk memberikan bantuan satu sama lain dalam bentuk fasilitas pelatihan dan



penelitian dalam, bidang pendidikan profesional, teknis dan administratif;
Untuk berkolaborasi dengan lebih efektif untuk lebih memanfaatkan pertanian dan
industri, perluasan perdagangan mereka, termasuk studi tentang masalah

perdagangan komoditas internasional, peningkatan transportasi dan fasilitas




komunikasi dan peningkatan standar hidup masyarakat mereka;
Untuk mempromosikan studi Asia Tenggara, dan
Untuk mempertahankan kerjasama yang erat dan menguntungkan dengan
organisasi internasional dan regional yang ada dengan tujuan yang sama dan
tujuan, dan mengeksplorasi semua jalan untuk kerjasama yang lebih erat di antara
mereka sendiri.
ASEAN dan China menjalin Persetujuan Perdagangan Jasa dan mencapai tonggak

lain di ASEAN-China Summit di Cebu, Filipina sebagai pemimpin dari sepuluh negara
Anggota ASEAN dan China menyaksikan penandatanganan Perdagangan dalam
Perjanjian Jasa berdasarkan Persetujuan Kerangka Komprehensif Kerjasama Ekonomi
antara ASEAN dan China (Trade in Services Agreement/ selanjutnya disebut TISA) oleh
Menteri Ekonomi ASEAN dan Menteri Luar Negeri China.
TISA, mulai berlaku pada bulan Juli 2007, bertujuan untuk memperluas
perdagangan jasa di wilayah tersebut. Berdasarkan Perjanjian ini, jasa dan pemasok

2

jasa/ penyedia di wilayah ini akan menikmati akses pasar yang lebih baik dan
pengobatan nasional di sektor/ subsektor di mana komitmen yang telah dibuat.
Komitmen akses pasar Pihak TISA yang terkandung dalam paket pertama dari
jadwal tertentu komitmen yang melekat pada Perjanjian. TISA menyediakan untuk
liberalisasi pada cakupan besar sektor/ subsektor terutama di lebih dari 60 subsektor
tambahan dilakukan oleh Negara-negara Anggota ASEAN yang merupakan pihak
dalam GATS/ WTO.
Dalam hal tingkat ambisi, paket pertama juga menunjukkan komitmen akses pasar
yang lebih tinggi. Diharapkan perdagangan jasa di wilayah tersebut akan berkembang
dan tumbuh dalam skala melalui empat mode pelayanan, yaitu: lintas-perbatasan
pasokan, konsumsi luar negeri, kehadiran komersial, dan pergerakan orang alami.
Selain perdagangan meningkat, TISA juga diharapkan untuk membawa tingkat yang
lebih tinggi dari investasi di wilayah tersebut, terutama di sektor-sektor di mana
komitmen yang telah dibuat, yaitu :
(A) bisnis jasa seperti jasa komputer terkait, jasa real estate, riset pasar, konsultasi
manajemen;
(B) konstruksi dan jasa rekayasa terkait;
(C) pariwisata dan jasa perjalanan terkait;

(D) jasa angkutan, layanan-layanan pendidikan;
(E) jasa telekomunikasi;
(F) pelayanan sosial dan berhubungan dengan kesehatan;
(G) rekreasi, jasa budaya dan olahraga;
(H) jasa lingkungan, dan
(I) jasa energi.
Putaran

berturut-turut

negosiasi

akses

pasar

untuk

secara


substansial

meningkatkan tingkat komitmen dan memperluas cakupan subsektor TISA akan

3

dilakukan selama satu tahun berikutnya sebagai Perjanjian berisi agenda built-in untuk
kesimpulan dari paket kedua komitmen satu tahun dari berlakunya.
Kesepakatan TISA adalah kesepakatan kedua menyimpulkan dan ditandatangani di
awal Perjanjian Kerangka Komprehensif Kerjasama Ekonomi antara ASEAN dan China,
yang ditandatangani oleh Pemimpin pada November 2002. Trade In Goods Agreement
ditandatangani oleh Menteri Ekonomi ASEAN dari Negara Anggota dan China pada
bulan November 2004.
Dalam Asean Economic Community Blue Print yang ditandatangani di Singapura
tanggal 20 November 2007 mengenai Single Market and Production Base disebutkan :
An ASEAN single market and production base shall comprise five core elements: (i) free
flow of goods; (ii) free flow of services; (iii) free flow of investment; (iv) freer flow of
capital; and (v) free flow of skilled labour. In addition, the single market and production
base also include two important components, namely, the priority integration sectors,
and food, agriculture and forestry. [ CITATION Ase08 \l 1033 ]

Sebagaimana diketahui, sejak 1 Januari 2010, ASEAN-China Free Trade Area
(ACFTA) sebagai suatu kawasan perdagangan bebas untuk barang mulai diberlakukan
antara China dengan enam negara anggota Association of South East Asian Nations
(selanjutnya disebut ASEAN), yaitu Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia,
Singapura dan Thailand. Akan tetapi, empat negara anggota ASEAN lainnya seperti
Laos, Kamboja, Myanmar dan Vietnam baru akan memberlakukannya pada tahun
2015. ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) merupakan kesepakatan antara
negara-negara

anggota

ASEAN

dengan

China

untuk

mewujudkan


kawasan

perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan
perdagangan

barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa,

peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi
untuk mendorong hubungan perekonomian

para

Pihak

ACFTA

dalam

rangka


meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan China. Kesepakatan ini
mengatur barang-barang antar negara-negara di China dan ASEAN akan bebas masuk

4

antar negara dengan pembebasan tarif masuk. Artinya ACFTA bukan lagi sekedar
konsep melainkan telah menjelma sebagai sebuah realitas politik dan ekonomi.
Secara politik, ACFTA merupakan puncak keputusan strategis yang berani di tengah
kuatnya arus regionalisasi yang mencontoh model Uni Eropa (UE) dan semakin
menguatnya arus globalisasi.
Secara ekonomi, kekuatan-kekuatan ekonomi yang membentuk pasar regional
bersinergi

dengan

kekuatan-kekuatan

ekonomi


global

yang

mengagendakan

mekanisme perdagangan bebas.
Sejak kesepakatan digulirkan, para pihak berusaha untuk menindaklanjuti agar
momennya tetap terjaga sesuai dengan arah dan komitmen bersama yang diwujudkan
dalam bentuk beberapa kesepakatan lainnya. Suatu perjanjian yang mencakup
liberalisasi perdagangan untuk barang berlaku sejak 20 Juli 2005, disamping suatu
perjanjian yang meliputi liberalisasi perdagangan untuk jasa mulai berlaku sejak Juli
2007. Yang menarik adalah mengapa ASEAN bermitra dengan China? Bukan dengan
Jepang atau Korea Selatan misalnya? Ada empat alasan utama, yaitu :
1. Alasan Demografis. Konsumen ACFTA memang lebih besar dibandingkan dengan
konsumen Jepang dan Korea Selatan. Penduduk ASEAN-10 mencapai sekitar 581
juta jiwa merupakan pasar yang sangat potensial dibandingkan dengan pasar
Jepang dan Korea Selatan yang penduduk kedua negara tersebut hanya sekitar 177
juta jiwa.
2. Alasan preferensi produk. China melihat bahwa konsumen di negara-negara ASEAN

menunjukkan preferensi yang lebih terhadap produk dengan harga murah, dan tidak
menuntut standard produk dan kualitas teknik yang tinggi. Selain itu, China, Jepang
dan Korea Selatan tampaknya saling bersaing di pasar Internasional untuk mencari
pasar-pasar baru akan tetapi pengaruh China di kawasan Asia Tenggara lebih
dominan daripada Jepang dan Korea Selatan.
3. Alasan pengaruh China atau faktor China di negara-negara angota ASEAN.
Bahwasanya pengaruh China itu lebih dominan dibandingkan Jepang dan Korea
Selatan. Jepang memang dominan di negara-negara ASEAN berkat investasi
asingnya. Namun, pada tahun 2010, ASEAN secara sekaligus menuntaskan AFTA
5

dan ACFTA yang memperlihatkan fakta bahwa negara-negara di kawasan ASEAN
cenderung berintegrasi berkat tekanan atau godaan dari aktor eksternalnya dalam
hal ini adalah kekuatan dari China, walau investasi asing oleh Jepang menguasai
selama tiga dasawarsa sebelumnya di kawasan Asia Tenggara.
4. Alasan China yang mengandalkan ASEAN. China mengandalkan ASEAN, baik bagi
pasokan energi dan bahan baku untuk industrinya maupun pasar ekspor bagi
produk pertanian dan industrinya. Memang, China sangat rajin untuk mencari mitra
kerjasama di bidang energi di kawasan ASEAN, disamping upaya-upaya untuk
mengembangkan perdagangan yang dikaitkan dengan investasi di luar negeri .
Begitu pula sebaliknya, diharapkan ASEAN bisa mendapatkan pertumbuhan
regional 7-8 persen akibat terjadinya krisis keuangan global pada tahun 2009 yang
dimaksudkan agar ASEAN keluar dari kelesuan ekonomi.
Sejak itu pula, keenam anggota ASEAN, atau ASEAN-6, bersama-sama China
secara kolektif meletakkan tonggak sejarah bagi pola hubungan mereka. Hubungan
yang semula dipenuhi oleh kecurigaan tanpa hubungan diplomatik, kemudian berubah
menjadi hubungan yang bersahabat dalam hubungan diplomatik.
Sebagai suatu kawasan perdagangan bebas, ACFTA membentuk zona yang
memiliki hampir 1,926 miliar konsumen dengan pendapatan nasional per kapita yang
sangat bervariatif diantara anggotanya. Dengan jumlah konsumen sebesar itu, zona
ACFTA adalah Free Trade Area (selanjutnya disebut FTA) terbesar di dunia yang
mampu dibentuk oleh negara-negara berkembang atas dasar Gross Domestik Product
(GDP) dan perdagangannya, setelah China bergabung dalam World Trade Organization
(WTO). Dengan demikian ACFTA menjadi bersifat ambisius karena FTA ini tidak hanya
mengamankan liberalisasi perdagangan barang dan jasa semata melainkan juga
mendorong investasi dan kerjasama ekonomi yang lebih maju, yang bukan sekedar
kawasan perdagangan bebas, melainkan juga mulai mengarah kepada integrasi
ekonomi.
ACFTA di mata pemimpin politik Indonesia adalah suatu sukses diplomasi terbesar
pada era 1990-an, akan tetapi ACFTA di mata para pelaku ekonomi produsen di
6

Indonesia menjadi sebuah ancaman/ tantangan dan sekaligus peluang yang akan
menentukan arah dinamika perkonomian Indonesia ke depan. Artinya, ACFTA pun bisa
menjadi sebuah ancaman/ tantangan dan sekaligus peluang bagi Indonesia. Tujuan
akhirnya adalah masalah kesejahteraan di dua kawasan, ASEAN dan China.
Namun, penulis optimis tetapi juga pesimis menyikapi hal ini. Pendapat optimis penulis
adalah dalam hal pelaksanaan kesepakatan perdagangan ACFTA akan bermanfaat
bagi kepentingan geostrategis dan ekonomis bagi Indonesia juga negara-negara
ASEAN secara keseluruhan. Selain itu, pertumbuhan ekonomi China akan menjadikan
negara tersebut memiliki peranan yang signifikan di kawasan Asia.
Akan tetapi penulis juga pesimis menilai ACFTA ini yaitu kesepakatan perdagangan
ini akan memiliki potensi runtuhnya industri lokal di Indonesia sebagai akibat kurang
kompetitifnya produk lokal dengan produk dari China. Industri seperti tekstil, garmen,
dan alas kaki dikenal sebagai sektor padat karya yang menyerap tenaga kerja dalam
jumlah banyak. Dengan murahnya produk China, dikhawatirkan justru akan mematikan
produk lokal, terutama sektor Usaha Kecil dan Menengah (selanjutnya disebut UKM).
Bisa dikatakan ada beberapa kendala yang dihadapi UKM dalam menghadapi
ACFTA ini :


Jarang dan bahkan tidak memiliki akses ke luar negeri serta kurangnya promosi ke
luar negeri sehingga masih minimnya jumlah UKM yang dapat mengekspor






produknya ke luar negeri;
masih minimnya modal yang dimiliki para perajin UKM;
pengerjaan masih banyak dilakukan dengan cara manual;
biaya modal masih terlalu tinggi; dan
suku bunga pinjaman perbankan yang tinggi dibandingkan suku bunga yang berlaku
di China.
1.3 Sejauhmana ACFTA dioptimalkan oleh Indonesia?
Pada awal proses pembentukan ACFTA para Kepala Negara kedua pihak

menandatangani Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation
between the ASEAN and People’s Republic of China di Phnom Penh, Kamboja pada
tanggal 4 Nopember 2002. Protokol perubahan Framework Agreement ditandatangani
pada tanggal 6 Oktober 2003, di Bali, Indonesia. Protokol perubahan kedua Framework
7

Agreement ditandatangani pada tanggal 8 Desember 2006 dan Indonesia telah
meratifikasi Ratifikasi Framework Agreement ASEAN-China FTA melalui Keputusan
Presiden Nomor 48 Tahun 2004 tanggal 15 Juni 2004 tentang
Framework Agreement

on Comprehensive

Pengesahan

Economic Cooperation between the

Associaton of Southeast Asean Antions and the People’s Republic of China.
Selain itu pula, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan peraturan-peraturan yang
berkaitan dengan pelaksanaan ACFTA, yaitu :
• Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 355/KMK.01/2004 tanggal
21 Juli 2004 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang dalam rangka Early
Harvest Package ASEAN-China Free Trade Area.
• Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 57/PMK.010/2005 tanggal 7
Juli 2005 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track ASEANChina Free Trade Area.
• Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 21/PMK.010/2006 tanggal 15
Maret 2006 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track ASEANChina Free Trade Area.
• Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 04/PMK.011/2007 tanggal 25
Januari 2007 tentang Perpanjangan Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal
Track ASEAN-China Free Trade Area.
• Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 53/PMK.011/2007 tanggal 22
Mei 2007 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-China Free Trade
Area.
• Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 235/PMK.011/2008 tanggal
23 Desember 2008 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-China
Free Trade Area.
Adapun beberapa peluang pemberlakuan ACFTA untuk Indonesia antara lain :

8

- Dapat meningkatkan akses pasar ekspor ke China dengan tingkat tarif yang lebih
rendah bagi produk-produk nasional.
- Dapat meningkatkan kerjasama diantara pelaku bisnis di kedua negara melalui
pembentukan “Aliansi Strategis”.
- Dapat meningkatkan akses pasar jasa di China bagi penyedia jasa nasional.
- Dapat meningkatkan arus investasi asing asal China ke Indonesia.
- Terbukanya transfer teknologi antara pelaku bisnis di kedua negara.
Seiring dengan peluang yang ada tersebut diatas, tentunya banyak sekali tantangan
yang dihadapi oleh Pemerintah Indonesia terkait pemberlakuan ACFTA yaitu :
• Indonesia harus dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas produksi sehingga dapat
bersaing dengan produk-produk China.
• Indonesia harus dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif dalam rangka
meningkatkan daya saing.
• Indonesia harus menerapkan ketentuan dan peraturan investasi yang transparan,
efisien dan ramah dunia usaha.
• Indonesia harus meningkatkan kemampuan dalam penguasaan teknologi informasi
dan komunikasi termasuk promosi pemasaran dan lobby.
Selain itu hal terpenting lainnya adalah ASEAN dan China telah sepakat untuk
saling memberikan perlindungan investasi.
Kesepakatan ini memaparkan tentang kebijakan, peraturan, ketentuan, dan
prosedur investasi. Satu hal lagi yang sangat penting, kedua pihak sepakat mendirikan
one stop centre untuk memberikan jasa konsultasi bagi sektor bisnis termasuk fasilitasi
pengajuan perijinan
Dari

sudut

pandang

investor,

Persetujuan

Investasi

ASEAN



China

memberikan berbagai manfaat nyata seperti :
9

(i) jaminan perlakuan yang sama untuk penanam modal asal China ataupun ASEAN
antara lain dalam hal manajemen, operasi, likuidasi;
(ii) pedoman yang jelas mengenai ekspropriasi, kompensasi kerugian dan transfer serta
repatriasi keuntungan;
(iii) kesetaraan untuk perlindungan investasi dalam hal prosedur hukum dan
administratif. Apabila terjadi sengketa yang muncul antar investor dan salah satu
pihak, persetujuan ini memberikan mekanisme penyelesaian yang spesifik
disamping adanya kesepakatan semua pihak untuk terus berupaya menjamin
perlakuan yang sama atau non-diskriminatif.
Namun demikian, Perjanjian ASEAN-China akan menjadi bencana bagi Indonesia.
Mengapa?
Defisit perdagangan dengan China selama lima tahun dengan Indonesia
membengkak dan Indonesia merugi puluhan triliun dengan China. Indonesia hanya
mengalami surplus perdagangan dengan China pada tahun 2003. Tahun-tahun
berikutnya, Indonesia selalu mengalami defisit perdagangan dengan China. Berikut
Tabel Ekspor Indonesia ke China.

Perkembangan Ekspor 31 Kelompok Hasil Industri Ke Negara
Rep.rakyat Cina
(Dalam US$)
No
.
Kelompok Hasil Industri

2007
1.408.590.63
4

2008
2.008.074.99
1

2.038.024.537

2 Pengolahan Karet

736.384.439

896.381.903

831.682.371

3 Kimia Dasar

833.215.801

594.682.568

654.764.217

1 Pengolahan Kelapa/Kelapa Sawit

2009

2010
2.500.44
41
1.403.62
93
1.127.07
65

853.263.0
4 Pulp dan Kertas

706.001.517

938.040.771

629.462.722

5 Pengolahan Kayu

192.666.098

163.110.088

147.085.807

6 Elektronika

364.147.017

384.818.510

371.359.353

273.961.2

402.986.8

190.384.0
7 Makanan dan Minuman

227.882.914

227.036.906

82.245.634
10

300.721.5
8 Tekstil

161.962.314

174.873.766

180.589.195

336.513.368

325.760.860

352.789.553

227.071.736

215.718.695

441.812.460

46.256.376

33.716.940

37.161.736

68.313.71

69.098.739
20.933.233

92.001.087
23.604.928

55.833.616
30.255.194

66.681.98
40.998.57

16.916.188
19.160.300
15.067.717
33.264.239
33.004.492

16.527.088
21.974.129
36.902.676
38.464.606
21.398.441

13.048.617
23.581.217
24.273.640
20.419.412
18.248.563

20.983.97
29.550.92
31.434.12
20.385.92
31.072.59

346.124.3
9 Pengolahan Tembaga, Timah dll.
Besi Baja, Mesin-mesin dan
10 Otomotif
11 Barang-barang Kimia lainnya
Kulit, Barang Kulit dan
12 Sepatu/Alas Kaki
13 Plastik

288.822.6

14
15
16
17
18

Alat Olah Raga, Musik,
Pendidikan dan Mainan
Pengolahan Rotan Olahan
Pupuk
Alat-alat Listrik
Keramik, Marmer dan Kaca

19
20
21
22
23
24

Makanan Ternak
Pengolahan Tetes
Komoditi lainnya
Minyak Atsiri
Produk Farmasi
Kosmetika

1.336.803
764.084
9.944.780
3.345.899
3.811.835
1.380.895

1.360.592
2.835.067
6.662.500
2.787.227
2.458.340
2.188.641

14.253.275
3.389.303
9.353.117
1.871.807
2.619.322
2.173.639

10.188.32
7.687.04
9.978.04
3.555.87
4.334.26
4.422.26

25 Pengolahan Aluminium

9.531.918

7.241.335

12.940.905

3.661.72

26 Kamera dan Alat-alat Optis
Barang-barang Kerajinan
27 lainnya
28 Semen dan Produk dari Semen
29 Rokok

4.908.714

3.045.317

1.558.721

2.060.53

3.014.214
1.236.049
30.785

2.366.840
48.799
1.046.990

1.171.213
160.649
69.86

1.125.30
1.737.70
917.85

37.321

30.618

23.384

279.92

Peng. Emas, Perak, Logam
30 Mulia, Perhiasan dll.

31 Pengolahan Hasil Hutan Ikutan
208.262
18.304
Sumber: http://kemenperin.go.id/statistik/query_negara.php?negara=Rep.rakyat+Cina&jenis=i

0

1.92

Berikut Tabel Impor Indonesia dari China.

Perkembangan Impor 31 Kelompok Hasil Industri Dari Negara
Rep.rakyat Cina
(Dalam US$)
No
Kelompok Hasil Industri

2007

2008

2009
11

2010

.

13 Pulp dan Kertas

80.051.823

14 Komoditi lainnya

66.536.097

5.646.230.
118
3.042.059.
600
1.025.035.
193
1.096.223.
971
621.282.84
2
261.656.30
7
381.902.12
5
289.255.03
5
235.121.07
4
220.454.02
9
192.355.27
5
132.543.90
2
108.206.64
0
119.051.13
4

Alat Olah Raga, Musik, Pendidikan dan
15 Mainan

103.047.10
2

134.803.54
2

16 Rokok

83.856.996

17 Produk Farmasi

96.533.446

84.525.922
136.234.21
5

1 Besi Baja, Mesin-mesin dan Otomotif
2 Elektronika
3 Tekstil
4 Kimia Dasar
5 Alat-alat Listrik
6 Plastik
7 Pupuk
8 Pengolahan Aluminium
9 Keramik, Marmer dan Kaca
10 Barang-barang Kimia lainnya
11 Makanan dan Minuman
Kulit, Barang Kulit dan Sepatu/Alas
12 Kaki

2.993.364.
488
1.117.416.
403
346.300.05
5
735.520.89
4
317.171.42
0
142.910.35
9
142.063.88
9
186.707.82
6
132.723.81
1
156.287.34
4
152.557.23
4
95.242.151

4.912.777.
607
3.074.277.
345
1.034.915.
291
956.567.13
3
611.926.76
1
215.049.10
0
154.588.26
5
134.517.72
8
181.499.82
0
211.139.83
1
139.507.36
3
107.804.59
0
104.074.78
6
103.669.94
1

6.272.54
44
5.126.69
69
1.682.33
14
1.337.05
27
965.937.2

114.091.40
2
126.504.08
5
136.885.88
1

184.827.9

345.802.3

201.816.0

275.340.5

271.575.7

268.166.2

329.730.7

224.183.0

136.916.0

151.909.4

161.621.6

169.156.7

101.240.7
18 Pengolahan Kayu

82.789.128
119.560.91
9

64.364.533

19 Pengolahan Tembaga, Timah dll.

73.511.308
113.239.55
4

20 Pengolahan Karet

53.615.565

88.362.191

82.756.040

21 Kamera dan Alat-alat Optis

21.358.303

34.961.953

23.374.548

45.269.53

22 Minyak Atsiri

22.473.108

22.907.827

28.956.015

52.181.55

23 Makanan Ternak

20.372.987

20.588.515

43.643.967

36.982.09

122.416.8
88.208.464

129.068.9

12

24 Barang-barang Kerajinan lainnya

15.444.021

23.710.930

22.084.814

34.419.88

25 Pengolahan Tetes

5.501.566

11.191.861

17.359.505

18.847.48

Peng. Emas, Perak, Logam Mulia,
26 Perhiasan dll.

7.493.879

8.890.168

10.526.227

17.359.91

27 Semen dan Produk dari Semen

4.853.895

8.645.568

7.663.820

27.446.46

28 Pengolahan Hasil Hutan Ikutan
29 Kosmetika

5.327.725
12.071.020

5.998.179
15.867.247

7.129.834
12.219.517

14.289.77
12.069.73

2.562.479

5.951.108

10.776.848

4.511.54

31 Pengolahan Rotan Olahan
146.132
204.637
208.996
Sumber: http://kemenperin.go.id/statistik/query_negara.php?negara=Rep.rakyat+Cina&jenis=i

398.05

30 Pengolahan Kelapa/Kelapa Sawit

Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Perdagangan juga Kementerian
Perindustrian seharusnya melakukan pembenahan terhadap berbagai produk ekspor
yang ada, sebelum bersaing dengan produk China. Para pelaku usaha kecil menengah
(UKM) belum siap sepenuhnya menghadapi perdagangan bebas itu sebab ongkos
produksi dan biaya modal masih terlalu tinggi. Suku bunga bank juga rendah di China
hanya 5-7%, sedangkan di suku bunga perbankan di Indonesia mencapai 15% per
tahun.
Selain itu, ada masalah energi yang belum sepenuhnya tersedia bagi pelaku usaha,
biaya produksi masih sangat tinggi, sebab tidak ditopang ketersediaan bahan baku,
tingginya pungutan liar di masyarakat, pelabuhan, dan birokrasi, buruknya infrastruktur,
serta masih tingginya bunga kredit Usaha Kecil dan Menengah yang rata-rata di atas
16%.

Faktor

ini

yang

membuat

harga

produk

kita

belum

bisa

bersaing.

China merupakan kekuatan ekonomi terbesar ketiga dunia. Sedangkan kawasan
ASEAN merupakan mitra dagang dan investasi terbesar keempat China. ACFTA
ASEAN-China akan menciptakan sekitar 1,9 miliar konsumen di kawasan dengan
Gross

Domestic

Product

(GDP)

kawasan

sekitar

US$

2

trilliun.

FTA juga akan menciptakan nilai perdagangan US$1,23 triliun. FTA ini akan menjadi
yang terbesar secara populasi sedunia. Beberapa negara ASEAN bisa memanfaatkan
13

peluang

ini

seperti

Singapura,

Malaysia,

Thailand,

dan

Vietnam.

"Namun China jelas paling diuntungkan dan Indonesia amat mungkin paling dirugikan”.
Perlu terobosan radikal dari pemerintah untuk membuat pelaku usaha, utamanya UKM,
agar bisa bersaing di tingkat regional. Masih banyak produk UKM nasional sulit
bersaing di tingkat nasional, apalagi secara regional.
Dalam hal lain, Pemerintah menerapkan kebijakan tarif dan nontarif untuk
mengantisipasi dampak negatif ACFTA. Kebijakan tarif diantaranya penundaan
beberapa sektor yang diperkirakan dapat menggangu industri nasional.
Sementara kebijakan non-tarif yang harus dimaksimalkan antara lain :
1. Produk yang beredar wajib:
• Menggunakan Standar Nasional Indonesia (SNI).
• Menggunakan label halal.
• Menggunakan label berbahasa Indonesia.
2. Pengetatan pengawasan impor produk manufaktur di enam pelabuhan besar
(Pengetatan izin importir terdaftar + Pemberdayaan kinerja Bea dan Cukai).
3. Penanganan Unfair Trade : Anti Dumping, Safeguard.
4. Harmonisasi tarif, terutama bagi produk yang bahan bakunya masih masuk dalam
HSL (high sensivity list) seperti gula, beras, jagung, dan kedelai. Harmonisasi tarif agar
bea masuk impor barang jadi lebih besar dari bahan baku (gula vs permen).
Pengalaman menunjukkan sejak ACFTA diberlakukan 2004 sampai sekarang ada
beberapa produk yang bertambah ekspornya dari Indonesia ke China seperti produk
pertanian meningkat 300%, meskipun ada jenis tertentu agak defisit seperti jeruk dan
produk-produk peternakan.
Dari analisis penulis bahwa daya saing produk-produk industri dan manufaktur,
ditemukan daya saing produk Indonesia ke sesama negara ASEAN hanya 15% yang
daya saingnya bersifat kuat, hampir 60% lemah; sedangkan daya saing produk
Indonesia terhadap China yang kuat hanya 7%, sedang 29% dan lemah 55%.
14

Pasar Bebas Indonesia – China dalam Wadah ACFTA
Pemerintah Indonesia dan China menjalin kerjasama terkait ASEAN-China Free
Trade Agreement. Ada lima kesepakatan, di antaranya China mengizinkan pembukaan
cabang Bank Mandiri dan pinjaman kepada LPEI, serta membuka fasilitas kredit ekspor
untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia, membahas isu perdagangan investasi,
kerjasama keuangan dan pembangunan.
Beberapa isu yang dibahas dalam rangka realisasi ACFTA adalah finalisasi dari
Agreement on Expanding and Deepening Bilateral Economic and Trade Cooperation,
kerjasama di bidang standar produk, capacity building atau bantuan teknis di bidang
industri perkapalan, dan juga kemungkinan kerjasama di sektor tekstil dan produk tekstil
dan mesin; finalisasi dan persetujuan pembukaan cabang Bank Mandiri di CHINA;
implementasi Preferential Export Buyer’s Credit; partisipasi perusahaan China di
pembangkit listrik 10.000 MW tahap kedua; dan partisipasi Indonesia dalam World Expo
Shanghai China (WESC) 2010; dan Country of Honor di ASEAN-China Expo Nanning
dan implementasi ASEAN-China Free Trade Agreement.
Hasil kesepakatan China-Indonesia terkait ACFTA antara lain :
Pertama, pihak China sepakat untuk memfasilitasi akses pasar bagi beberapa buahbuahan tropis (pisang, nenas, rambutan) dan sarang burung walet Indonesia untuk
dapat memasuki pasar China.
Kedua, kedua pihak sepakat untuk membentuk Kelompok Kerja Resolusi Perdagangan
(Working Group on Trade Resolution/WGTR), yang bertujuan untuk memfasilitasi
perdagangan yang lancar di antara kedua negara; juga memfasilitasi pembukaan
Cabang Bank Mandiri di CHINA demi memperkuat hubungan transaksi langsung
perbankan.
Ketiga, atas permintaan Indonesia menyetujui pembukaan cabang Bank Mandiri di
China, sehingga akan memperkuat hubungan langsung transaksi perbankan kedua
negara.
15

Keempat, kerjasama antara Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dan China
Exim Bank dimana kedua pihak menandatangani perjanjian pinjaman sebesar US$ 100
juta dari CEB kepada LPEI. LPEI juga saat ini dalam tahap finalisasi MoU dan Industrial
& Commercial Bank of China (ICBC) untuk penyediaan kredit sebanyak US$ 250 juta
kepada LPEI. Pinjaman tersebut akan digunakan oleh LPEI sebagai fasilitas kredit
untuk mendukung perusahaan-perusahaan di kedua negara terkait dengan proyekproyek perdagangan dan investasi dalam berbagai sektor-sektor prioritas yang disetujui
oleh kedua belah pihak termasuk perdagangan dan investasi barang modal, proyekproyek sektor infrastruktur, energi dan konstruksi;
Kelima, kedua pihak setuju untuk memaksimalkan penggunaan Pinjaman Kredit Ekspor
Preferensial (Preferential Export Buyers Credit) sebesar US$ 1,8 miliar dan Pinjaman
Konsesi Pemerintah (Government Concessional Loan) sebesar 1,8 miliar RMB untuk
dapat dipergunakan oleh Indonesia dalam mengembangkan berbagai proyek
infrastruktur. Adapun proyek-proyek yang telah diselesaikan adalah proyek Jembatan
Suramadu dan pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara Labuhan Angin.
Keenam, kedua belah pihak telah menyelesaikan Perjanjian Perluasan dan
Pendalaman Kerjasama Bilateral Ekonomi dan Perdagangan (Agreement on Expanding
and Deepening Bilateral Economic Cooperation).
Ketujuh, membahas Agreed Minutes of the Meeting for Further Strengthening Economic
and Trade Cooperation) yang antara lain berisi :
a. Deklarasi Bersama antara Indonesia dan China mengenai Kemitraan Strategis yang
menjadi dasar untuk lebih memperkuat kerjasama perdagangan dan ekonomi antara
kedua negara.
b. Berdasarkan Deklarasi ini, kedua belah pihak akan mengembangkan perspektif
strategis dalam mengatasi kepentingan jangka panjang dan membawa hubungan ke
tingkat yang baru untuk kepentingan kedua bangsa dan negara.

16

c. Untuk mencapai tujuan tersebut, Perjanjian ACFTA tetap menjadi dasar strategis
dimana masing-masing pihak harus penuh mengimplementasikan perjanjian tersebut
secara menyeluruh dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.
d. Kedua pihak akan menetapkan pertumbuhan perdagangan bilateral yang tinggi dan
berkelanjutan, dimana jika terdapat ketidakseimbangan perdagangan, pihak yang
mengalami surplus perdagangan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan
termasuk mendorong impor lebih lanjut dan memberikan dukungan yang diperlukan.
e. Agreed Minutes ini merupakan upaya untuk menindaklanjuti perhatian beberapa
industri di Indonesia terkait dengan dampak dari ACFTA. Kedua pihak percaya bahwa
komitmen bersama antara kedua pemerintah, disertai dengan komitmen-komitmen dari
kedua komunitas bisnis, akan dapat mengatasi kekhawatiran tersebut.
Meningkatnya produk China yang masuk ke Indonesia tidak lepas dari faktor
kompetitf harga. Barang-barang impor dari China relatif lebih murah dibanding produk
dari industri lokal. Ditambah dengan pola konsumsi masyarakat Indonesia yang lebih
mencari barang murah), maka secara perlahan pasar produk lokal disaingi oleh produk
China.
Bila keran perdagangan bebas China-Indonesia sangat menguntungkan pemerintah
China, mengapa Indonesia tidak mampu memanfaatkannya secara maksimum?
Agaknya, Indonesia kurang jeli untuk mengambil kesempatan sebesar-besarnya dari
kesepakatan ini. Indonesia seharusnya dapat meningkatkan comparative advantage
terhadap produk dari China. Dan ini membutuhkan spesialisasi. Dengan adanya
spesialisasi, Indonesia akan mengimpor dari dan juga mengekspor ke China. Produkproduk unggulan Indonesia di antaranya karet, batu bara, gas, bahan baku logam
mineral mentah, tekstil, kertas, dan minyak sawit atau crude palm oil (CPO) memiliki
penetrasi pasar ke China cukup besar.
Dengan

demikian,

peranan

pemerintah

menjadi

sangat

diperlukan

dalam

menjalankan hasil kesepakatan ini. Pemerintah harus membenahi berbagai kebijakan
17

yaitu, pertama mengupayakan peningkatan kapasitas, produksi, dan kualitas komoditas
pertanian Indonesia. Selain itu, kebijakan untuk mendorong peningkatan daya saing
ekspor produk pertanian unggulan, seperti sawit, karet, cokelat, manggis, salak, nanas,
dan komoditas hortikultura lainnya. Perlu diperhatikan bahwa terjadi surplus neraca
perdagangan untuk komoditas perkebunan pada tahun 2008 meningkat hampir tiga kali
lipat menjadi 2,757 miliar dollar AS.
Kedua, pemerintah perlu untuk membuat suatu kebijakan yang memanfaatkan
murahnya produk China untuk mendorong produksi dengan pasar dalam negeri.
Murahnya harga produk akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat Indonesia akan
meningkat, sehingga diharapkan agar produsen lokal melihat dan memanfaatkan
peluang tersebut.
Ketiga, Pemerintah perlu mendorong peningkatan diferensiasi produk unggulan,
yaitu produk unggulan Indonesia jangan hanya mengandalkan komoditas yang telah
dianugerahkan
meningkatkan

Tuhan

untuk

kemampuan

masyarakat

untuk

Indonesia.

meningkatkan

Indonesia

produk

olahan

perlu

untuk

yang

dapat

meningkatkan nilai tambah bagi perekonomian Indonesia. Jadi produk unggulan kita
tidak hanya komoditas pertanian atau perkebunan, namun juga intermediate goods atau
bahkan final goods yang kompetitif terhadap produk China yang cenderung memiliki
comparative disadvantage.
Keempat, pemerintah perlu untuk mengurangi dan menghilangkan hambatan
perdagangan antar daerah yang acapkali muncul. Mahalnya harga produk di daerah
lain, seringkali disebabkan oleh ekonomi biaya tinggi yang dapat diminimalisir oleh
pemerintah. Penyediaan sarana transportasi dan komunikasi yang murah dan aman
sangat penting dalam usaha memperbaiki struktur harga produk domestik.
Secara umum, dengan adanya kesepakatan ACFTA ini, maka kesempatan terbuka
luas bagi Indonesia. Dengan adanya ACFTA akses pasar bagi Indonesia akan terbuka
luas, tidak hanya untuk produk pertanian dan pertambangan, tetapi juga jasa, seperti

18

pariwisata, jasa keuangan, pendidikan, investasi, dan faktor-faktor lingkungan hidup
serta HAM.
Kajian Komparatif Bisnis Ekonomi Indonesia vs China dalam ACFTA
Penyebab terbesar ketimpangan neraca perdagangan non-migas antara China dan
Indonesia adalah tingkat kompetitif bisnis-ekonomi Indonesia yang rendah dibanding
China. China unggul dalam berbagai faktor produksi barang dan jasa dibanding
Indonesia. Dengan upah tenaga kerja yang hampir sama, buruh China bekerja lebih
efisien, ulet dan telaten serta keahlian yang lebih memadai.
Setidaknya, ada 12 faktor umum yang mempengaruhi kompetitif bisnis/ ekonomi.
Dan semua faktor kompetitif bisnis di Indonesia berada dibawah China kecuali faktor
efisiensi pasar barang dan jasa. Sisanya seperti faktor sistem birokrasi yang cepattepat, infrastruktur, stabilitas ekonomi, inovasi bisnis, efisiensi tenaga kerja, suku bunga
perbankan dan ukuran pasar di Indonesia jauh tertinggal dibanding China.

Hal-hal penting terkait pelaksanaan ACFTA
Kondisi inftastruktur terutama jalan, transportasi dan pasokan listrik Indonesia masih
jauh di bawah China. Untuk mendukung ekonomi industrinya, China membangun
secara besar-besaran pembangkit listrik, system transportasi, jalan raya hingga stok air
bersih. Dengan mebangun fasltas-fasilitas tersebut dengan baik, maka China akan jauh
lebih baik, maka China akan jauh lebih baik menarik investor untuk masuk ke
negaranya. Dengan fasilitas yang memadai, maka biaya ekonomi akan jauh lebih
murah yang disertai kecepatan perpindahan barang dan jasa yang tinggi.
Tingkat suku bunga perbankan sangat mempengaruhi inflasi dan tingkat
pengembalian modal investasi (return of investment dan MARR). Suku bunga yang
terlalu rendah dapat menyebabkan kenaikan inflasi, dan sebaliknya. Sementara jika
19

suku bunga tinggi, maka inflasi dapat terkendali, namun disisi lain akan menyebabkan
resiko usaha sektor riil semakin berat akibat beban bunga yang harus dibayar.
Oleh karena itu, dunia perbankan harus jeli menjalankan fungsi intermediasinya
dengan benar antara tingkat suku bunga yang kompetitif terhadap return investasi di
sektor riil serta inflasi. Secara alamiah, sektor riil-lah yang menumbuhkan sektor
finansial, yang menentukan penghasilan sektor finansial, bukan sektor finansial yang
menentukan berapa harga yang harus dibayar oleh sektor riil kepadanya.
Dalam hal ini, tingkat kompetitif Indonesia masih jauh dibanding China. Suku bunga
kredit Indonesia mencapai lebih dari 10% per tahun, sementara pengusaha China
hanya membayar suku bunga tidak lebih 7%. Ini berarti pengusaha China akan jauh
lebih mudah memainkan harga yang lebih murah dibanding pengusaha Indonesia.
China vs Indonesia : Ekonomi Biaya Rendah versus Ekonomi Biaya Tinggi
Berdasarkan indeks kompetitif ekonomi China vs Indonesia, maka dapat
disimpulkan pula bahwa biaya ekonomi produksi Indonesia tergolong lebih tinggi
dibanding dengan China. Hal tersebut terutama disebabkan ketidakefisienan birokrasi
pemerintah yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dan ketidakstabilan politik.
Infrastruktur yang buruk meliputi kualitas jalan raya, alat transportasi, fasilitas
telekomunikasi, dan listrik. Itu pula yang menjadi alasan mengapa para investor asing
lebih suka mengambil alih (take over) pabrik di Indonesia daripada membangun pabrik
baru. Dan sebagian diantaranya lebih senang menginvestasi dalam bentuk pasar modal
(hot money).
Dengan disparitas kompetitif ekonomi Indonesia terhadap China, maka pelaksanaan
pasar bebas yang lebih luas pada Januari 2010 akan semakin memukul pengusaha
kecil Indonesia terutama pengusaha yang berada di daerah-daerah dengan kualitas
infrastruktur yang buruk disertai korupsi dan birokrasi yang tidak efisien. Persaingan
pasar bebas ini menjadi tidak fair dan dapat merugikan kepentingan masyarakat luas.
Perdagangan bebas akan akan mampu meningkatkan standar hidup melalui
keuntungan komparatif dan ekonomi skala besar apabila pihak-pihak yang bersaing
20

memiliki dan mendapat kualitas faktor-faktor ekonomi yang selevel/berimbang. Apabila
faktor-faktor biaya ekonomi mengalami ketimpangan yang tinggi, maka perdagangan
bebas hanya hanya merusak industri lokal di negara yang tidak kompetitif. Sebagian
pekerja sangat mungkin mengalami PHK bila seandainya industry lokal kehilangan para
pelanggannya.
Sementara dari segi positifnya atau keuntungannya ACFTA ternyata akan meberi
keuntungan bagi pebisnis jasa hotel dan pariwisata karena tentu hal itu akan
meningkatkan wisata dan tingkat hunan hotel sebagai dampak meningkatnya
kunjungan orang dari luar negeri.
Ancaman China dalam ACFTA
Dalam carut–marut industri nasional, timbul pertanyaan, apa yang akan terjadi
dengan dunia industri, khususnya industri kecil di Indonesia? Sejumlah kawasan
industri terancam gulung tikar dengan pemberlakuan ACFTA ini. China sudah
mempersiapkan sejak bertahun-tahun lalu, sedang Indonesia cuma dalam hitungan
bulan. Matangnya persiapan China terlihat dari murahnya harga produk dan besarnya
kapasitas produksinya sehingga membanjiri negara lain termasuk Indonesia, sejak dua
tahun lalu. Dengan demikian, China tinggal genjot produksi, sedangkan Indonesia
morat-marit menghadapi serbuan produk China.
Perdagangan bebas ASEAN-China selain membuat banyak industri nasional gulung
tikar,

mengancam

industri

kecil

menengah

dan

kawasan

ekonomi

khusus,

deindustrialisasi (kemunduran industri) di Indonesia karena kalah bersaing, juga akan
menyebabkan melonjak jumlah pengangguran. Pengusaha Indonesia yang tak mampu
bersaing dengan China akan gulung tikar minimal mengurangi kapasitas produksinya.
Dalam jangka pendek perdagangan bebas ini akan membuat angka pengangguran
membengkak ke level di atas rata-rata angka pengangguran tahun-tahun sebelumnya.
Perdagangan bebas akan memperburuk sektor manufaktur di Indonesia. Dalam
beberapa bulan ini tujuh instansi mulai menghitung kemungkinan daya tahan industri
manufaktur kita.
21

Padahal sudah jelas, perdagangan bebas dalam jangka pendek akan membuat
perusahaan yang tidak efisien bangkrut. Selain itu, akibat barang impor lebih murah,
volume impor barang konsumsi pun akan naik, sehingga menghabiskna devisa negara
dan membuat nilai tukar rupiah menjadi melemah. Selanjutnya, perusahaan akan juga
akan menahan biaya produksi melalui penghematan penggunaan tenaga kerja tetap.
Sehingga job security tenaga kerja menjadi rapuh dan angka pengangguran meningkat.
Padahal, industry merupakan sektor kedua terbesar setelah pertanian dalam menyerap
tenaga kerja. Situasi ketenagakerjaan ini akan menjadi penyakit kronis yang
merapuhkan fundamental ekonomi. Indonesia juga akan mengalami neto negative yang
tidak hanya merugikan industry dan ketenagakerjaan, tapi juga penerimaan negara dari
pajak.
Sangat disarankan, agar pemerintah melakukan negosiasi ulang kesepakatan ini,
terutama untuk sektor yang belum siap. Di sisi lain, pemerintah juga harus menyiapkan
industri domestik agar lebih kompetitif dengan produk China dengan memberikan
kemudahan

dalam

bentuk

pendanaan

dan

langkah

strategis

lainnya.

Oleh karena itu, hendaknya pelaksanaan perdagangan yang bebas didasarkan pada
faktor komparatif kualitas (fasilitas dan teknologi), kompetitif dan produk komplementer.
Produk-produk yang sudah mampu diproduksi oleh pengusaha lokal hendaknya
diproteksi seraya didorong untuk meningkatkan efisinsi biaya produksi. Sementara kita
membuka produk-produk berteknologi tinggi yang dapat kita manfaatkan sebagai faktor
mendukung (faktor produksi) industri yang menggunakan level teknologi dibawahnya.
Dan bila berbagai faktor ekonomi produksi tersebut tidak setara, maka akan terjadi
dominasi perdagangan. Dalam hal ini, China memiliki transportasi dan fasilitas yang
mumpuni dan sekarang telah menjadi “Negara Pabrik”, semua sektor mereka miliki,
mulai dari industri, sumber daya manusia, teknologi serta informasi telah berkembang
begitu pesat. Sementara itu Indonesia masih sangat jauh tertinggal. Akibatnya, produk
China akan ‘menguasai’ Indonesia. Hal ini menjadikan Indonesia semakin melekat
sebagai negara ‘konsumen’.

22

REVIEW
1. Apa kondisi terakhir dari ACFTA?
Saat ini setelah tiga tahun berjalan, ACFTA seolah-olah menjadi momok yang
mengancam keberadaan produsen lokal dan industri UKM di Indonesia. Banyak orang
mengkhawatirkan bahwa dengan berlakunya ACFTA, produk murah dari Cina akan
mulai membanjiri pasar dalam negeri. Hal tersebut pada akhirnya dapat berujung pada
matinya industri dalam negeri dan hilangnya jutaan lapangan pekerjaan. Cukup wajar
bila banyak orang takut. Selama dua tahun terakhir, neraca perdagangan IndonesiaCina telah bernilai negatif. Selain itu, sangat nyata dalam kehidupan sehari-hari bahwa
barang Cina telah membanjiri pasar dalam negeri. Cukup banyak pengusaha pun telah
menyatakan kesulitannya untuk bersaing dengan produk-produk murah Cina dan
beberapa ahli telah memperkirakan hilangnya ratusan ribu pekerjaan karena banyak
perusahaan akan gulung tikar karena kalah dalam persaingan. Semua kondisi ini
terlihat sangat menyudutkan Indonesia ketika dihadapkan dengan ACFTA.
2. Apa kondisi terakhir dari Indonesia?
Dari kajian ini dapat ditarik beberapa hal antara lain :
a. Secara normatif sesungguhnya ACFTA ini peluang bagi UKM di Indonesia untuk
memperbesar produksi, mengisi pasar bersama yang sangat besar untuk konsumen
sekiter 1,9 miliar orang.
b. Melihat daya saing produk industri dan manufaktur Indonesia sebagian besar lemah,
sementara daya saing produk dari negara lainnya (ASEANChina) lebih kuat, maka
kemungkinan tingkat produksi UKM dan produk domestik akan tertekan yang berarti
UKM yang bergerak dalam kegiatan produksi akan mengalami kesulitan (sekitar 57%
UKM bergerak di bidang produksi).
c. Dengan berkembangnya perdagangan dalam pasar bersama (ACFTA) maka volume
perdagangan akan meningkat, dengan demikian UKM yang bergerak di sektor jasa dan
perdagangan diperkirakan tidak akan mengalami kesulitan karena mereka menjual

23

sesuai selera pasar tanpa membedakan asal usul barang tersebut (UKM disektor jasa
dan perdagangan 29%).
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, diusulkan beberapa langkah sebagai berikut :
a. Penguatan daya saing global meliputi penanganan isu-isu domestik meliputi :
penataan lahan dan kawasan industri, pembenahan infrastruktur dan energi, pemberian
insentif (pajak maupun non pajak lainnya), membangun Kawasan Ekonomi Khusus
(KEK), perluasan akses pembiayaan dan pengurangan biaya bunga (KUR, Kredit
Ketahanan Pangan dan Energi, modal ventura, keuangan syariah, anjak piutang,
lembaga pembiayaan ekspor Indonesia dsbnya), pembenahan sistem logistik,
perbaikan pelayanan publik (NSW, PTSP/SPIPISE dsb), penyederhanaan peraturan
dan peningkatan kapasitas ketenagakerjaan).
b. Pengamanan pasar domestik melalui :
1. Pengawasan di border dengan meningkatkan pengawasan ketentuan impor dan
ekspor dalam pelaksanaan FTA, menerapkan Early Warning System untuk pemantauan
dini terhadap kemungkinan terjadinya lonjakan impor, pengetatan pengawasan
penggunaan Surat Keterangan Asal Barang (SKA) dari negara-negara mitra FTA,
pengawasan awal terhadap kepatuhan SNI, label, ingridien, kadaluarsa, kesehatan,
lingkungan, security dsb, penerapan instrumen perdagangan yang diperbolehkan WTO
terhadap industri yang mengalami kerugian yang serius akibat tekanan impor dan
penerapan instrumen anti dumping dan countervailing duties atas importansi yang un
fair.
2. Peredaran barang di pasar lokal meliputi task force pengawasan peredaran barang
yang tidak sesuai dengan ketentuan perlindungan konsumen dan industri dan
kewajiban penggunaan label dan manual berbahasa Indonesia, dan
3. Promosi penggunaan produksi dalam negeri dengan mengawasi efektivitas promosi
penggunaan produksi dalam negeri (Inpres Nomor 2 Tahun 2009) termasuk
mempertegas dan memperjelas kewajiban KLDI memaksimalkan penggunaan produk

24

dalam negeri revisi Kepres Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa
oleh Pemerintah.
c. Penguatan ekspor dengan penguatan peran perwakilan luar negeri, pengembangan
trading house, promosi pariwisata, perdagangan dan investasi, penanggulangan
masalah akses pasar dan kasus ekspor, pengawasan penggunaan SKA Indonesia,
peningkatan peran LPEI dalam mendukung pembiayaan ekspor dan optimalisasi trade
financing.
d. Bimbingan yang berkesinambungan agar UKM dan produk domestik dapat
menerapkan manajemen stok yang lebih adaptif terhadap pasar dan differensiasi pasar
yang memungkinkan terjadinya subsidi silang.
e. Perlu dilakukan kajian yang berkelanjutan terhadap kondisi UKM yang lebih
mendetail terhadap jenis dan variasi produk-produk pertanian dan industri kecil yang
mempunyai peluang pasar yang besar dan dapat dilakukan secara spesifik di berbagai
daerah.
f. Perlu diberi peran yang lebih besar kepada trading house (BLU/LLP dan atau Induk
Koperasi Perdagangan) untuk melakukan penetrasi produk-produk UKM di berbagai
negara ASEAN dan China yang dilaksanakan secara periodik, (misalnya selama satu
bulan pada tiap-tiap negara).
g. Perlu dilakukan koordinasi dan sinergitas aparat pusat dan daerah dalam menata
produk-produk yang dapat diproduksi UKM serta menggalakkan pemakaian produksi
dalam negeri.
h. Perlu dipertimbangkan keterpaduan para gerakan koperasi yang mempunyai bidang
usaha yang sama diantara negara kawasan Asean dan China (Transnational
Coperative), sehingga dapat membangun sinergisitas guna menciptakan efisiensi
sumberdaya yang dapat memberikan manfaat bagi rakyat banyak sebagaimana
koperasi susu di benua Eropa.
Jika usulan di atas diterapkan, keberadaan Indonesia dalam ACFTA akan efektif.
Secara tidak langsung, teori interdepedensi yang melatari kaitan mutualisme juga
25

terbukti karena hubungan kerjasama perdagangan RI-ASEANChina sejauh ini telah
menunjukkan gejala yang menguntungkan.
Program yang mungkin harus lebih dimasifkan oleh pemerintah adalah bagaimana
untuk terus meningkatkan fasilitas dalam negeri guna menunjang berbagai sektor
terutama pertanian. Insentif dan sosialisasi pertanian juga perlu ditingkatkan agar petani
Indonesia kian mampu bersaing menciptakan produksi yang handal.
Kemudian dalam hal birokrasi, pemerintah juga wajib mengawasi dengan ketat arus
masuk barang melalui badan bea dan cukai. Standarisasi produk yang telah disepakati
bersama harus terus dipantau pelaksanaannya. Barang-barang illegal di perbatasan
juga sedapat mungkin kian ditertibkan guna penerapan mekanisme kontrol yang
terarah.
Kepada masyarakat luas ada baiknya pemerintah terus mengkampanyekan untuk
tetap membeli produk dalam negeri yang kualitasnya juga harus diperhatikan oleh
pemerintah agar layak bersaing dengan produk impor.
Terakhir dalam hal investasi, sehubungan dengan bidang agrarian yang merupakan
sektor penunjang negeri ini, pemerintah dirasa wajib mengontrol laju investasi modal
asing dalam sektor tersebut agar tidak terjadi arus investasi yang justru akan merugikan
Indonesia. Juga sosialisasi mengenai globalisasi di dunia, layaknya dipahami bukan
sebagai hambatan, namun justru sebagai tantangan bagi rakyat negeri ini.
Keadaan perdagangan Indonesia dalam ACFTA sesungguhnya adalah harus bisa
memanfaatkan berbagai peluang yang terbuka sambil meningkatkan kompetitiveness
Indonesia dengan perbaikan dalam negeri. Bukan lagi saatnya meratap dan meminta
pasar Indonesia ditutup karena takut bersaing. Keterbukaan perdagangan harus
dianggap sebagai terbukanya peluang pasar ekspor yang luas sekaligus tersedianya
bahan baku industri dari impor yang murah. Untuk masalah dalam negeri, seharusnya
diselesaikan dengan perbaikan internal, bukan dengan menutup diri dan menyalahkan
pihak asing. Hanya dengan cara demikianlah Indonesia dapat mengambil nilai positif
dari ACFTA.
26

Daftar Pustaka

1. Azis, Iwan Jaya. 1994, “Indonesia”. Dalam John Williamson (Ed.). The Political
Economy of Policy Reform. Washington. D.C. : Institute for International Economics.
2. Pangestu, Mari. 1995. “Sekilas Pandang Perekonomian Indonesia selama 50 Tahun
Merdeka”. Dalam Bantarto Bandoro et al.