Indonesia di Antara Sistem Pemerintahan

INDONESIA DI ANTARA SISTEM PEMERINTAHAN
PARLEMENTER DAN SISTEM PRESIDENSIAL

Disuusun oleh:
Nama
: Nuzla Abidin
NIM
: 10.12.5104
Kelas
: 10.S1.SI.09
Jurusan
: Sistem Informasi
Nama Dosen : Mulyadi Erman, S.Ag, M.A

JURUSAN SISTEM INFORMASI
SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER
AMIKOM YOGYAKARTA
2013

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya, memohon pertolongan dari-Nya, meminta

ampunan dari-Nya dan meminta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan diri kita serta
keburukan amal perbuatan kita. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW.
Karena hidayah serta kesehatan yang di berikannya pula, Alhamdulillah, penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan judul “INDONESIA DI ANTARA SISTEM PEMERINTAHAN
PARLEMENTER DAN SISTEM PRESIDENSIAL” ini sebagai tugas dari mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan tepat pada waktunya. Pada kesempatan ini kami ucapkan terima
kasih kepada Bapak selaku dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang
telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan. , serta semua pihak yang telah membantu
sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya.
Akhirnya penulis mohon kritik dan saran untuk lebih sempurnanya makalah ini.
Selanjutnya penulis berharap makalah yang sederhana ini bermanfaat.

Yogyakarta, 22 Februari 2013

Penyusun

1

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

i

DAFTAR ISI

ii

BAB I

PENDAHULUAN

1

A. Latar Belakang

1

B. Perumusan Masalah


2

C. Tujuan Penelitian.

2

D. Manfaat Penelitian.

2

E. Metode Penelitian.

2

BAB II PEMBASAHAN

3

A. Pengertian Sistem Pemerintahan.


3

B. Pengertian Sistem Pemerintahan Parlementer Dan Presidensial

4

C. Ciri-Ciri Sistem Parlementer Dan Presidensil

5

D. Kelebihan Dan Kekurangan Sistem Parlementer Dan Sistem Presidensil

6

E. Sistem Pemerintahan Indonesia

7

BAB III PENUTUP


14

Kesimpulan

14

DAFTAR PUSTAKA

15

2

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika kita mengatakan bahwa sistem pemerintahan kita menganut sistem
presidensial, tetapi dalam prakteknya sistem tersebut masih belum diimplementasikan
secara murni dan konsekuen bahwa kita benar-benar menerapkan sistem pemerintahan
presidensial dengan presiden sebagai kepala negara dan juga sekaligus kepala
pemerintahan (dalam sistem parlementer, kepala pemerintahan dipegang oleh perdana

menteri).
Sistem presidensial kita masih belum bisa membuat pembatas yang jelas antara
posisi kewenangan eksekutif dan legislatif. Dalam konstitusi kita, dalam hal ini UUD
1945, redaksional tentang apa-apa yang menjadi kewenangan presiden, masih sering
bertabrakan dengan kekuasaan/kewenangan yang dimiliki oleh DPR.
Sistem pemerintahan mempunyai sistem dan tujuan untuk menjaga suatu kestabilan
negara itu. Namun di beberapa negara sering terjadi tindakan separatisme karena sistem
pemerintahan yang dianggap memberatkan rakyat ataupun merugikan rakyat. Sistem
pemerintahan mempunyai fondasi yang kuat dimana tidak bisa diubah dan menjadi statis.
Jika suatu pemerintahan mempunyai sistem pemerintahan yang statis, absolut maka hal
itu akan berlangsung selama-lamanya hingga adanya desakan kaum minoritas untuk
memprotes hal tersebut.
Secara luas berarti sistem pemerintahan itu menjaga kestabilan masyarakat, menjaga
tingkah laku kaum mayoritas maupun minoritas, menjaga fondasi pemerintahan, menjaga
kekuatan politik, pertahanan, ekonomi, keamanan sehingga menjadi sistem pemerintahan
yang kontinyu dan demokrasi dimana seharusnya masyarakat bisa ikut turut andil dalam
pembangunan sistem pemerintahan tersebut. Hingga saat ini hanya sedikit negara yang
bisa mempraktikkan sistem pemerintahan itu secara menyeluruh. Secara sempit, Sistem
pemerintahan hanya sebagai sarana kelompok untuk menjalankan roda pemerintahan
guna menjaga kestabilan negara dalam waktu relatif lama dan mencegah adanya perilaku

reaksioner maupun radikal dari rakyatnya itu sendiri. Berdasarkan latar belakang masalah
tersebut, maka penulis memberi judul “INDONESIA DI ANTARA SISTEM
PEMERINTAHAN PARLEMENTER DAN SISTEM PRESIDENSIAL”

3

B. Perumusan Masalah
Agar perumusan masalah ini tidak meluas maka penulis perlu membatasi ruang
lingkup sebagai berikut:
A. Pengertian Sistem Pemerintahan.
B. Pengertian Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial.
C. Ciri-ciri Pemerintahan Parlementer dan Presidensial.
D. Kelebihan dan kekurangan sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial.
E. Sistem Pemerintahan Indonesia

C. Tujuan Penelitian.
 Sebagai salah satu tugas dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan..
 Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Sistem Pemerintahan
 Pengelompokkan Sistem Pemerintahan
 Mengetahui Pelaksanaan Sistem pemerintahan Negara Indonesia.

 Kelebihan Sistem Pemerintahan Indonesia
 Kelemahan Sistem Pemerintahan Indonesia

D. Manfaat Penelitian.
1. Sebagai pedoman untuk menambah wawasan dalam menulis dan membuat suatu
karya ilmiah terutama pada makalah ini.
2. Sebagai referensi bagi penulis dalam pembuatan makalah beikutnya.
3. Sebagai bahan bacaan dan lebih memahami bagaimna tata cara penulisan
makalah.
E. Metode Penelitian.
Pada karya Ilmiah Ini, Saya membaca buku-buku dan tulisan yang berhubungan
dengan penulisan karya ilmiah serta yang berkaitan dengan masalah sistem pemerintahan
(Study Pustaka).

4

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sistem Pemerintahan.
Istilah sistem pemerintahan berasal dari gabungan dua kata sistem dan

pemerintahan. Kata sistem merupakan terjemahan dari kata system (bahasa Inggris) yang
berarti susunan, tatanan, jaringan, atau cara. Sedangkan Pemerintahan berasal dari kata
pemerintah, dan yang berasal dari kata perintah. Pada Kamus Bahasa Indonesia, kata-kata
itu berarti:
a. Perintah adalah perkataan yang bermakna menyuruh melakukan sesuatau
b. Pemerintah adalah kekuasaan yang memerintah suatu wilayah, daerah, atau,
Negara.
c. Pemerintahan adalaha perbuatan, cara, hal, urusan dalam memerintah
Maka dalam arti yang luas, pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang
dilakukan oleh badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif di suatu negara dalam
rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Dalam arti yang sempit, pemerintahan
adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif beserta jajarannya
dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Sistem pemerintaha diartikan
sebagai suatu tatanan utuh yang terdiri atas berbagai komponen pemerintahan yang
bekerja saling bergantungan dan memengaruhi dalam mencapaian tujuan dan fungsi
pemerintahan. Kekuasaan dalam suatu Negara menurut Montesquieu diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu :
 Kekuasaan Eksekutif yang berarti kekuasaan menjalankan undang-undang atau
kekuasaan menjalankan pemerintahan.
 Kekuasaan Legislatif yang berarti kekuasaan membentuk undang-undang

 Kekuasaan Yudikatif yang berarti kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran
atas undang-undang.
Komponen-komponen tersebut secara garis besar meliputi lembaga eksekutif,
legislatif dan yudikatif. Jadi, sistem pemerintaha negara menggambarkan adanya
lembaga-lembaga negara, hubungan antar lembaga negara, dan bekerjanya lembaga
negara dalam mencapai tujuan pemerintahan negara yang bersangkutan.

5

Tujuan pemerintahan negara pada umumnya didasarkan pada cita-cita atau tujuan
negara. Misalnya, tujuan pemerintahan negara Indonesia adalah melindungi segenap
bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan social. Lembaga-lembaga yang berada dalam satu sistem
pemerintahan Indonesia bekerja secara bersama dan saling menunjang untuk terwujudnya
tujuan dari pemerintahan di negara Indonesia.
B. Pengertian Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial
Sistem parlementer adalah adalah sebuah sistem pemerintahan di mana parlemen
memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki
wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan

pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Kepala
eksekutif (head of government) adalah berada di tangan seorang perdana menteri Adapun
kepada Negara (head of state) adalah berada pada seorang ratu, raja ataupun sultan,
misalnya di Negara Inggris, Malaysia
Sistem presidensial (presidensial), atau disebut juga dengan sistem kongresional,
merupakan sistem pemerintahan negara republik di mana kekuasan eksekutif dipilih
melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif.
Menurut Rod Hague, pemerintahan presidensiil terdiri dari 3 unsur yaitu:


Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat pejabatpejabat pemerintahan yang terkait.



Presiden dengan dewan perwakilan memiliki masa jabatan yang tetap, tidak bisa
saling menjatuhkan.



Tidak ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan
legislatif.
Dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak

dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik. Namun
masih ada mekanisme untuk mengontrol presiden. Jika presiden melakukan pelanggaran
konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal, posisi presiden
bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran tertentu, biasanya
seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya.
6

C. Ciri-Ciri Sistem Parlementer Dan Presidensil
a. Parlementer
.

Ciri-ciri pemerintahan parlemen yaitu:


Dikepalai oleh seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan sedangkan
kepala negara dikepalai oleh presiden/raja.



Badan legislatif atau parlemen adalah satu-satunya badan yang anggotanya dipilih
langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Parlemen memiliki kekuasaan
besar sebagai badan perwakilan dan lembaga legislatif



Kekuasaan eksekutif presiden ditunjuk oleh legislatif sedangkan raja diseleksi
berdasarkan undang-undang.



Perdana menteri memiliki hak prerogratif (hak istimewa) untuk mengangkat dan
memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departemen dan nondepartemen.



Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.



Kekuasaan eksekutif bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.



Kekuasaan eksekutif dapat dijatuhkan oleh legislatif.

b. Presidensil
Ciri-ciri pemerintahan presidensial yaitu :


Dikepalai oleh seorang presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala
negara.



Kekuasaan eksekutif presiden diangkat berdasarkan demokrasi rakyat dan dipilih
langsung oleh mereka atau melalui badan perwakilan rakyat.



Presiden memiliki hak prerogratif (hak istimewa) untuk mengangkat dan
memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departemen dan nondepartemen.



Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan eksekutif (bukan
kepada kekuasaan legislatif).



Kekuasaan eksekutif tidak bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.



Kekuasaan eksekutif tidak dapat dijatuhkan oleh legislatif.

7

D. Kelebihan Dan Kekurangan Sistem Parlementer Dan Sistem Presidensil
a. Sistem Parlementer
Kelebihan Sistem Pemerintahan Parlementer:


Pembuat kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian
pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan
legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai.



Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik jelas.



Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet
menjadi barhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.

Kekurangan Sistem Pemerintahan Parlementer:


Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan
parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.



Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bisa ditentukan
berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat
bubar.



Kabinet dapat mengendalikan parlemen. Hal itu terjadi apabila para anggota
kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai meyoritas. Karena
pengaruh mereka yang besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat
mengusai parlemen.



Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman
mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan manjadi bekal penting untuk
menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.

b. Sistem Presidensil
Kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensial:


Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak tergantung pada
parlemen.



Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu. Misalnya,
masa jabatan Presiden Amerika Serikat adalah empat tahun, Presiden Filipina
adalah enam tahun dan Presiden Indonesia adalah lima tahun.

8



Penyusun program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa
jabatannya.



Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif karena dapat
diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.

Kekurangan Sistem Pemerintahan Presidensial:


Kekuasaan eksekutif diluar pengawasan langsung legislatif sehingga dapat
menciptakan kekuasaan mutlak.



Sistem pertanggungjawaban kurang jelas.



Pembuatan keputusan atau kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar
antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas



Pembuatan keputusan memakan waktu yang lama.

E. Sistem Pemerintahan Indonesia
Sistem pemerintahan Negara RI Menurut UUD 1945.


Sistem Pemerintahan menurut UUD ’45 sebelum diamandemen:
1. Kekuasaan tertinggi diberikan rakyat kepada MPR.
2. DPR sebagai pembuat UU.
3. Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan.
4. DPA sebagai pemberi saran kepada pemerintahan.
5. MA sebagai lembaga pengadilan dan penguji aturan.
6. BPK pengaudit keuangan.



Sistem Pemerintahan setelah amandemen (1999 – 2002).
1. MPR bukan lembaga tertinggi lagi.
2. Komposisi MPR terdiri atas seluruh anggota DPR ditambah DPD yang dipilih
oleh rakyat.
3. Presiden dan wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat.
4. Presiden tidak dapat membubarkan DPR.
5. Kekuasaan Legislatif lebih dominan.
Berdasarkan penjelasan UUD ’45, Indonesia menganut sistem Presidensial. Tapi

dalam praktiknya banyak elemen-elemen Sistem Pemerintahan Parlementer. Jadi dapat
dikatakan Sistem Pemerintahan Indonesia adalah perpaduan antara Presidensial dan
Parlementer.

9

Ketika kita mengatakan bahwa sistem pemerintahan kita menganut sistem
presidensial, tetapi dalam prakteknya, sistem tersebut masih belum diimplementasikan
secara murni dan konsekuen bahwa kita benar-benar menerapkan sistem pemerintahan
presidensial dengan presiden sebagai kepala negara dan juga sekaligus kepala
pemerintahan (dalam sistem parlementer, kepala pemerintahan dipegang oleh perdana
menteri (PM)
Sistem presidensial kita masih belum bisa membuat pembatas yang jelas antara posisi
kewenangan eksekutif dan legislatif. Dalam konstitusi kita, dalam hal ini UUD 1945,
redaksional tentang apa-apa yang menjadi kewenangan presiden, masih sering
bertabrakan dengan kekuasaan/kewenangan yang dimiliki oleh DPR Dalam batang tubuh
(Pasal 10) UUD 1945 secara jelas memang disebutkan bahwa presiden republik Indonesia
memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL) dan
Angkatan Udara (AU).
Dalam posisi ini, tidak ada campur tangan legislatif (dalam hal ini DPR) atas posisi
presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas AD, AL, dan AU. Namun dalam
pasal selanjutnya (pasal 11), disebutkan bahwa presiden berwenang mengumumkan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, tetapi harus melalui
persetujuan DPR menyangkut stabilitas.
Sama halnya dengan pengangkatan duta dan konsul yang harus meminta
pertimbangan DPR. Hal ini dimaklumi mengingat pengumuman tentang perang,
perjanjian dan perdamaian dengan negara lain serta pengangkatan duta dan konsul
merupakan hal yang sangat strategis dan sensitif karena menyangkut stabilitas dan
kedaulatan (souvereignity) negara.
Namun hal yang tampak kontradiksi tampak dalam pasal 20 ayat (5) tentang
pembuatan peraturan perundang-undangan antara eksekutif dan legislatif (dalam hal ini
DPD tidak termasuk pihak yang ikut membentuk undang-undang) bahwa peraturan yang
disahkan (dalam hal ini undang-undang) harus melalui persetujuan bersama antara
eksekutif dan legislatif, salah satu pasal menyebutkan, bahwa dalam waktu 30 hari
undang-undang yang disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden, maka
undang-undang tersebut bisa disahkan.
Dalam posisi ini kemudian terdapat relasi yang terputus antara fungsi kekuasaan
eksekutif dan fungsi kekuasaan legislatif dimana posisi politik DPR lebih kuat ketimbang
eksekutif. Hal ini sama tentang sistem yang 'bukan-bukan' ini juga bisa ditemukan dalam

10

lembaga legislatif. Secara gamang kita masih belum jelas menyebutkan 'jenis kelamin'
penerapan konsep lembaga legislatif kita. Apakah bikameral (DPD dan DPR) unikameral
(MPR/DPR) atau bahkan trikameral (DPR-DPD-MPR). Sehingga ketika ada ahli
pemerintahan dari negara lain menanyakan sistem legislatif yang kita anut, maka kita
hanya meraba-raba saja dengan mengatakan antara unikameral, bikameral, atau bahkan
trikameral. Sistem legislatif kita adalah sistem yang 'bukan-bukan'.
Sistem yang 'bukan-bukan' ini bisa kita dapatkan jika mempelajari konsep pembagian
kekuasaan antara tiga cabang legislatif; MPR, DPR dan DPD. Dalam prakteknya, terdapat
diskriminasi konstitusi antara DPR dan DPD dalam hal pembuatan peraturan perundangundangan. Diskriminasi konstitusi ini terkesan menganaktirikan DPD dalam hal
pembuatan peraturan perundang-undangan yang hanya membentuk DPD tanpa diberikan
kewenangan membentuk undang-undang. Pengakuan Rakyat
Karena menurut pasal 22D UUD 1945 yang juga diatur dalam Pasal 42 ayat (1) UU
No 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, bahwa
DPD hanya diberikan kewenangan mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan
penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Ketika masuk pada
ayat (2) lebih lanjut disebutkan bahwa setelah DPD mengusulkan rancangan undangundang tersebut kepada DPR, maka DPR kemudian memanggil DPD untuk
membahasnya sesuai tatib DPR. Namun ketika tiba pada pengambilan keputusan, DPD
tidak dilibatkan. Pada posisi ini kemudian diskriminasi konstitusi ini terlihat. DPD hanya
dijadikan tameng mendapatkan pengakuan dari rakyat, bahwa pemerintah sudah
memperhatikan aspirasi rakyat didaerah dengan membentuk DPD, sementara kekuasaan
membentuk undang-undang tetap dimiliki oleh presiden dan DPR. DPD tak ubahnya
lembaga penunjang (auxilary agency) DPR yang bertugas memberikan nasehat dan
usulan, sementara ketika tahapan pengambilan keputusan, DPD tidak dilibatkan.
Perselingkuhan politik antara partai-partai di DPR membawa DPD pada bayang-bayang
ketidakpastian politik. DPD tetap diberikan kewenangan yang tumpul dan tetap mengekor
di belakang DPR. DPD dan DPR ibarat saudara tiri yang diperlakukan tidak proporsional
oleh konstitusi sebagai ibu kandung,
Demikian pula dengan pembagian job antara DPR dan DPD. DPD hanya diberi
kewenangan mengusulkan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi

11

daerah, termasuk perluasan dan penggabungan daerah. Dalam konteks yang lebih luas,
kedaulatan negara tetap dipegang oleh elit parpol di DPR. Konstalasi politik nasional
tetap berada dalam pengawasan dan kontrol DPR.
DPD tak ubahnya Dewan Pertimbangan Agung pada masa Orba. Kekuatan negara
yang dikendalikan parpol menyulitkan DPD melakukan penguatan kewenangan karena
pasti akan di tentang kalangan parpol di DPR. Kekuatan lobi yang maksimal pun belum
tentu menggoyahkan ratusan anggota DPR untuk rela `berbagi kue' dengan DPD.
Sementara yang kita inginkan adalah visi membangun dan menciptakan lembaga
legislatif yang kuat. Yang akan menunjang kerja-kerja pemerintahan, termasuk dalam hal
mekanisme kontrol. Masyarakat menginginkan terwujudnya dua kamar yang sama
kuatnya (strong becameralism) antara DPR dan DPD. Bukan konsep bikameralism lunak
(soft/weak bicameralisme), satu kamar mendominasi kamar lainnya (DPR mendominasi
DPD). Bukan pula konsep trikameralism, kamar yang satu hanya menjadi 'penonton' dua
kamar lainnya (MPR). Sistem legislatif di Indonesia adalah sistem legislatif 'abstraksamar', bukan bikameral, trikameral, maupun unikameral. Sehingga tidak mampu
menjalankan fungsi kontrol yang efektif, kritis-tajam.
Sistem yang 'bukan-bukan' juga kita dapatkan dalam konsep kekuasaan kehakiman
(yudisial) antara tiga cabang kekuasaan kehakiman MA, MK dan KY. Pasca amandemen
ketiga UUD 1945 yang membuka peluang terbentuknya Mahkamah Konstitusi (MK) dan
Komisi Yudisial (KY) pada Bab IX Pasal 24 B dan C, nampak bahwa dinamisasi struktur
ketatanegaraan kita mengalami tahap pendewasaan dan perkembangan yang cukup
signifikan.
Dibentuknya MK dengan salah satu alasannya untuk menyeimbangkan struktur
kekuasaan kehakiman dengan karakteristik perkara masing-masing, selain juga sebagai
pembagian fungsi dan tugas dalam sistem kekuasaan kehakiman yang selama ini
menjadikan MA sebagai pemain tunggal dalam wilayah peradilan. Selain itu, hadirnya
KY dengan tugas utamanya melakukan pengawasan terhadap kinerja hakim serta menjaga
keluhuran martabat hakim melambungkan opitimisme jutaan rakyat Indonesia yang
menginginkan sistem peradilan sehat, bersih, serta jauh dari nuansa KKN setelah sekian
lamanya wajah peradilan kita telah cukup telak ditampar dengan isu mafia peradilan
hingga menjatuhkan wibawa pengadilan.
Namun capaian tersebut tidak begitu saja melepaskan kejanggalan-kejanggalan
praktek ketatanegaraan kita. Dalam beberapa kasus, kesan antara antara pihak superior

12

dan inferior hingga membuka wilayah perseteruan antara tiga cabang kekuasaan
kehakiman ini menjadikan optimisme ini menjadi luntur kembali. Sama dengan
perseteruan antara DPR dan DPD, keangkuhan MA yang tidak ingin menjadi subyek
dalam pengawasan KY hingga mengajukan gugatan konstitusi ke MK menjadikan
wacana check and balances terkesan dipahami dan diterapkan setengah hati. Bahwa MA
lebih superior dibanding KY. Bahwa KY ibarat 'anak ingusan' yang belum punya
pengalaman. Penderitaan KY semakin bertambah dengan dikabulkannya gugatan MA
oleh MK hingga menjadikan KY seolah 'anak bawang' dalam permainan politik
kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Secara obyektif kita menilai, posisi KY memang lemah. Walaupun secara yuridis KY
dilegitimasi dengan UU No 22 Tahun 2004 (MK UU No 24/2003), namun karena
konstitusi tidak memberikan KY kewenangan peradilan. Maka posisi tawar (bargaining
position) KY memang tidak cukup kuat untuk

memaksa MK dan MA menerima

kehadirannya dalam diskursus kelembagaan antara cabang kekuasaan kehakiman.
Kekuasaaan peradilan tetap menjadi kewenangan MA dan MK dengan pembagian
wilayah perkara yang berbeda antara satu dengan lainnya.
Beberapa praktek ketimpangan konstitusi selama ini telah mengakibatkan
penyelenggaraan sistem pemerintahan tidak harmonis. Disamping itu, juga berakibat pada
menurunya kualitas produk legislasi yang dihasilkan akibat konflik internal (conflic of
interest) pada beberapa lembaga-lembaga negara. Ketidakdewasaan penyelenggara negara
dalam memaknai dan menjalankan amanah konstitusi menjadikan praktek ketatanegaraan
kita akan selamanya penuh dengan konflik.
Pemerintah dan Negara jadi satu, Pemerintah terlibat dalam pembikinan UU, Negara
adalah penguasa, Hak Warga Negara belum sepenuhnya sebagai pemberian Tuhan YME,
sebagian masih sebagai pemberian Negara, Sistem kenegaraan yang dianut baik dalam
UUD-45 yang asli maupun hasil amandemen masih mencampurkan paham otoriter yang
azasnya “Top-Down” dengan paham demokrasi yang azasnya “Bottom-Up”, Bahkan
posisi Kepala Negara tidak sebagai lembaga yang tertinggi dalam Negara, padahal
diseluruh dunia Kepala Negara adalah Lembatga Negara Tertinggi dalam sebuah negara.
UUD-45 yang asli Lembaga Negara Tertinggi adalah MPR, sedang Hasil amandemen
UUD-45 justru meniadakan posisi Kepala Negara, karena Presiden bukanlah sebagai
Kepala Negara, tapi Kepala Pemerintahan Negara. Hal ini menjadi sangat prinsip karena
posisi Kepala Negara haruslah mempunyai hak ”Can Do No Wrong”, untuk berbuat apa

13

saja demi kemanusiaan dan atau tegaknya kedaulatan negara. Lantas bagaimana kalau
negara kita diserang mendadak oleh negara lain, siapa yang akan memainkan hak “Can
Do No Wrong”. Lepas dari persoalan kadar keberanian presiden SBY, sumber
kegamangan pemerintah dalam menangani musibah kemanusiaan lumpur Lapindo juga
disebabkan sistem kenegaraan yang tidak secara tegas mengatur hak “Can Do No Wrong”
yang mestinya harus ditangan seorang Kepala Negara.
SISTEM DEMOKRASI CAMPURAN PARLEMENTER DGN PRESIDENSIAL
Sistem PARLEMENTER, ciri utamanya adalah:
Perdana Menteri diangkat oleh Parlemen, artinya legitimasi pemerintahan datangnya
dari parlemen, Program yang ditawarkan (dijual) dalam pemilu adalah program partai,
Program Pemerintah adalah program partai pemenang pemilu, Dalam Pemilu rakyat memilih
partai (Beberapa negara yang dipilih gambar Calon Anggota DPR, tapi yang dijual oleh calon
anggota DPR tetap yaitu program partai), Maka Ketua Partai otomatis calon Perdana Menteri,
Karena yang dipercaya rakyat adalah partai, maka partai lah yang membentuk kabinet
(pemerintahan), Sehingga disana dikenal istilah partai pemerintah, dan partai yang tidak
duduk dalam pemerintah disebut partai oposisi, Perdana Menteri setiap saat bisa jatuh karena
alasan politik, yaitu ketika dukungan di parlemen tidak lagi mayoritas. Untuk terwujudnya
”Chek and Balance” maka anggota DPR pun setiap saat juga bisa dicopot ditengah jalan
dengan alasan politik. Kewenang partai dalam mencopot anggota karena dalam pemilu yang
dipercaya (yang dicoblos) oleh rakyat adalah partai, DPR adalah wakil partai maka dalam
DPR ada lembaga Fraksi, Posisi Partai kuat, karena ia membuat program, menyusun kabinet
dan memilih pejabat –pejabat politis lainnya, Pemerintah dibentuk setelah pemilu DPR. Bila
di parlemen tidak mayoritas tunggal (50% + 1), maka partai pemenang terbesar berkoalisi
dengan partai lain, maka kabinet yang dibentuk disebut kabinet koalisi. Pemilu legislatif lebih
dahulu daripada pemilu Presiden
Sistem PRESIDENSIAL, ciri utamanya:
Rakyat langsung memilih presiden artinya legitimasi presiden (Pemerintah) langsung
dari Rakyat, Program yang dijual dalam pemilu bukan program partai, tapi program sang
Capres, Program pemerintah adalah program Capres pemenang pemilu yang ditawarkan saat
kampanye, Kabinet yang dibentuk adalah “Zaken” kabinet (Kabinet Ahli), Dalam
menjalankan pemerintahan, presiden tidak tergantung dari besar kecilnya dukungan DPR,
karena legitimasi presiden bukan dari DPR, tapi langsung dari rakyat. Bila Presiden tergangu
14

oleh DPR maka Presiden punya Hak veto terhadap keputusan DPR (Disanalah maka dalam
sistem presidensial Pemerintah tidak terlibat dalam membuat UU) dan Presiden juga punya
hak bertanya langsung kepada rakyat (referendum), Presiden dipilih oleh rakyat untuk untuk
jangka waktu tertentu (di Indonesia 5 tahun) maka Presiden tidak bisa dicopot ditengah jalan
karena alasan politik. Artinya dalam sistem presidensial tidak ada “impeach” politik. Begitu
pula untuk anggota DPR, seharusnya dipilih langsung oleh rakyat untuk jangka waktu
tertentu (di Indonesia 5 tahun) maka anggota DPR tidak boleh dicopot oleh partai, maka
disana lahir kondisi ”Chek and Balance” yang statis. Dengan kata lain, karena rakyat dalam
pemilu nyoblosnya gambar orang bukan gambar partai, maka partai tidak punya hak untuk
mencopot anggota DPR ditengah jalan karena alasan politik, DPR adalah wakil rakyat, maka
di DPR tidak dikenal lembaga Fraksi, Pemilu presiden dilaksanakan lebih dahulu dari pemilu
DPR, Tugas partai adalah mengembangkan ideologi dan mencari figure yang laku jual dalam
pemilu, Tidak ada dalam sistem Presidensial ketua partai jadi calon Presiden, Diseluruh dunia
tidak ada dalam sistem Presidensial Presiden dan Wakil Presiden lain Partai, Karena
legitimasi

datangnya

langsung

dari

rakyat,

maka

dalam

sistem

presidensial

mengakomodasikan calon independen. Pemilu Presiden dulu baru Pemilu Legislatif
BAGAIMANA DENGAN INDONESIA......?
Selama Orde Baru kita menggunakan sistem presidensial tapi pemilu nya memilih
partai. Tahun 2004 Pemilu sudah langsung artinya rakyat langsung mencoblos tanda gambar
Calon Presiden, tapi presiden bisa dicopot ditengah jalan karena alasan politik. Padahal
rakyat memilih presiden untuk jangka waktu 5 tahun. Sistem kita pakai adalah presidensial
tapi mengenal lembaga impeach politik. Anggota DPR bisa dicopot ditengah jalan dengan
alasan politik oleh partai, padahal rakyat dalam pemilu tidak pernah berhubungan dengan
partai, karena yang diilih rakyat adalah orang dengan cara mencoblos gambar calon anggota
DPR, sama sekali bukan partai, Pemilu 2004 dilaksanakan secara langsung, artinya legitimasi
presiden datangnya langsung dari rakyat, tapi kabinet yang dibentuk koalisi, DPR bukan
wakil rakyat tetapi wakil partai dan di DPR ada lembaga Fraksi (sehingga presiden terpaksa
menghitung jumlah dukungan di DPR), Ada lembaga “Fit and Proper Test” oleh DPR,
padahal rakyat tidak pernah memberi kuasa kepada partai untuk tugas-tugas tersebut. (Hal ini
terjadi karena amandemen UUD-45 tidak mengubah paradigma sistem kenegaraan, artinya
sistem kenegaraan hasil amandemen UUD-45 adalah turunan dari sistem Orde Baru)

15

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan


Untuk perubahan UUD-45, sesungguhnya oleh Bung Karno tanggal 18 Agustus
1845 sudah diingatkan bahwa UUD -45 adalah UUD kilat, UUD darurat. Bahkan
Bung Karno berpesan agar kelak kalau negara sudah dalam keadaan tenteram
anggota MPR akan dipanggil lagi untuk merumuskan UUD yang baru. Hal ini
tidak bisa lepas dari proses penyusunan batang tubuh UUD-45 yang hanya
disusun 1 hari dan didominasi oleh Moh Yamin dan Supomo, sebagai tokoh
yang paham hukum ketatanegaraan.



Masing-masing sistem demokrasi mempunyai kelebihan dan kekurangan, dan ketika
dicampur adukkan begitu saja maka keduanya justru saling mereduksi kelebihan masingmasing dan bahkan saling menegasikannya. Kelebihan sistem Presidensial pada kuatnya
stabilitas politik, hal ini terwujud karena Presiden dan anggota DPR sama-sama tidak bisa
dicopot ditengah jalan. Ketika sistem yang dirancang membenarkan Presiden bisa di
“impeach” (politik) dan juga bisa dicopot ditengah jalan dengan alasan politik, begitu
pula untuk anggota DPR bisa di PAW (Pergantian Antar Waktu) ditengah jalan dengan
alasan politik (yang hanya lazim terjadi dalam sistem parlementer), maka sistem
kenegaraan kita menjadi begitu rentan, karena posisi Presiden yang notabene Kepala
Negara negara setiap saat bisa digoyang. Berbeda dengan sistem parlementer yang
menempatkan posisi Kepala Negara terpisah dengan Kepala Pemerintahan, maka biarpun
terjadi instabilitas ditingkat pemerintahan, tidak berarti membahayakan stabilitas apalagi
eksistensi negara, karena masih ada Kepala Negara yang biasa



Belum lagi intervensi legislatif (DPR) terhadap eksekutif yang mestinya hanya terjadi
pada sistem parlementer, sehingga membuat peran eksekutif menjadi mandul karna
banyak direcoki oleh DPR.

16

DAFTAR PUSTAKA
 C.S.T. Kansil, Christine Hukum Tata Negara Republik Indonesia (Edisi Revisi 2008)
 Pengantar ilmu pemerintahan( inu kencana syafiee)
 R. SAIJA,SH.,MH SOSIOLOGI HUKUM
 Enskipedia bebas

17