Tradisi Lisan Marosong-Osong Pada Upacara Perkawinan Adat Angkola

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa yang dipakai suatu kelompok etnik, baik dalam tataran interaksional
makro maupun dalam tataran interaksional mikro, seperti dalam peristiwa tutur atau
tindak tutur tertentu, merupakan cerminan kebudayaan yang dianut oleh komunitas
tersebut. Komunitas dalam suatu adat menggunakan tuturan atau ungkapan yang sama
untuk menyebutkan suatu istilah adat atau ungkapan adat yang digunakan pada upacara
adat. Begitu pula istilah atau ungkapan adat Angkola yang menjabarkan maksud yang
bertujuan untuk mengungkapkan dengan bahasa adat atau hata adat.
Adat sebagai tradisi dilihat sebagai bentuk peristiwa budaya atau sebagai suatu
bentuk tradisi yang diciptakan kembali (invented culture) agar dapat dimanfaatkan,
dikembangkan, dan dilestarikan sebagai suatu bentuk tradisi suatu kebudayaan etnik,
dengan suatu alasan tertentu yang tetap perlu dijaga kelestariannya, digali, dan serta
dikembangkan potensi dan nilai-nilai adat sebagai tradisi. Kemudian adat sebagai tradisi
perlu mendapat perlindungan sebagai warisan tak benda budaya Indonesia, terutama
warisan yang bersifat tuturan.
Tuturan pada bahasa adat memiliki struktur kebahasaan yang menggunakan
sistem isyarat (language is a system of codes) berdasarkan konvensi antara anggota
guyub tutur kelompok masyarakat adat. Bahasa isyarat (silent language, gesture )
memiliki substansi utama yaitu gerak tubuh yang memberikan isyarat bermakna (nonvocalic, non-orthographic). Perspektif bahasa sebagai sistem simbol bermakna,


merupakan cerminan kebudayaan suatu kelompok masyarakat bersifat refleksif,

Universitas Sumatera Utara

sistematis, dan terstruktur yang digunakan suatu kelompok masyarakat untuk
mengungkapkan objek, peristiwa, dan hubungannya dalam dunia(de Vito, 1970:7).
Sedangkan bahasa sebagai sistem makna yang direalisasikan melalui sistem
semiotik, sistem semiotik kebahasaan sebagai suatu bentuk realisasi dari semiotik sosial
dalam konteks sosial yang berfungsi menghubungkan bentuk internal bahasa dan
kegunaannya menggunakan konsep fungsi bahasa seperti: fungsi makna pengalaman,
makna

pertukaran

atau

makna

antarpesona,


dan

makna

perangkaian

atau

pengorganisasian, demikian pula tuturan pada komunitas Angkola digunakan hampir
pada setiap upacara adat perkawinan.
Upacara adat perkawinan Angkola yang disebut dengan haroan boru adalah adat
istiadat sebagai warisan leluhur yang masih berada di tengah-tengah masyarakat, karena
adat istiadat merupakan tatanan yang mengatur kehidupan di masyarakat secara turun
temurun. Masyarakat yang beradat lebih tertib dalam menjalankan berbagai persoalan
kehidupan bermasyarakat
Upacara perkawinan tanpa disadari membentuk sistem kekerabatan dalam wujud
dalihan na tolu yang terdiri atas: mora, kahanggi, anak boru, di tambah mora ni mora

dan pisang raut. Sistem kekerabatan dalihan na tolu selalu terlibat dalam setiap urusan

masyarakat termasuk yang akan melaksanakan upacara perkawinan. Upacara
perkawinan adat Angkola terdiri dari tahapan-tahapan: 1) Manganaekkon Gondang; 2.)
Pajongjong Mandera; 3) marosong-osong 4) Marbondong; 5) Maralok-alok; 6)
Manortor; 7) Mambaen goar; 8) Mamanjangi Ipon; 9) Patuaekkon; 10) Mangupa; 11)

dan lain-lain.(Parsadaan Marga Harahap, 1993:316-385). Jadi, rangkaian upacara
perkawinan adat Angkola yang salah satunya tuturan marosong-osong.

Universitas Sumatera Utara

Tradisi tuturan marosong-osong pada upacara perkawinan adat merupakan alat
komunikasi yang digunakan oleh komunitas adat untuk menyampaikan maksud sesuai
dengan bahasa adat dan aturan adat yang berlaku. Dalam bersosialisasi, tuturan
marosong-osong merupakan proses komunikasi untuk menyampaikan pesan dari anak
boru sebagai pengirim kepada mora sebagai penerima dengan menggunakan tuturan
marosong-osong.

Pada upacara haroan boru yang masuk dalam kategori horja siriaon adat
Angkola, ada satu mata acara yang disebut dengan marosong-osong. Tuturan marosongosong merupakan acara adat dimana pihak anak boru dalam tatanan adat dalihan natolu


menghantarkan bantuan tumpak kepada mora (suhut). Bantuan ini sengaja diberikan
pihak anak boru sebagai bentuk partisipasi tanpa ada paksaan dari pihak mora (suhut),
tetapi ini merupakan kewajiban adat yang harus dipenuhi oleh pihak anak boru.
Marsong-osong yang berarti “dipikul” bersama. Acara tuturan marosong-osong

dilaksanakan dalam pesta perkawinan adat besar horja na godang dengan memotong
kerbau manyambol horbo yang dilaksanakan selama tiga hari tiga malam. Dalam
upacara ini pihak anak boru

beserta rombongan membawa bantuan untuk

disumbangkan secara bersama-sama kepada yang punya hajatan suhut bolon.
Contoh:
Mora: Songon na jou-jou, antara songon sora ni namarende
Na bahat hamu sauduran, na bahat sadalanan
Ise de hamu na ro on, sian dia hamu lao ro
Na giot tu dia hamu na ro on, anak ni parkouman

Universitas Sumatera Utara


„Seperti ada yang memanggil, juga seperti suara orang bernyanyi‟
„Kalian banyak seiring sejalan‟
„Siapa gerangan dan dari mana datangnya‟
„Mau kemana tujuannya, wahai saudara‟
Anak boru: Hami na bahat sauduran, na bahat sadalanan
Hami anak namboru munu, anak namboru sidol-dolan
Pakkalang ulang magulang, panaruan ni na lobi
Angke tarpistik da boru tulang tu pinggol simanangi nami
Na pajonjong horja siriaon mora nami di alaman ni Angkola on
On mada baen naro hami tu jolo munu siboru ni tulang...

„Kami yang banyak seiring sejalan‟
„Kami anak namboru kalian, anak namboru sidol-dolan‟
„Penghalang agar tak jatuh, pengantar yang lebih‟
„Terdengar kabar di telinga kami‟
„Bahwa mora mengadakan pesta kegembiraan di Angkola ini‟
„Ini lah sebabnya kami datang, duhai boru tulang‟
Dalam realitasnya upacara adat marosong-osong ini sudah jarang dilakukan
karena berbagai alasan, sehingga banyak generasi muda yang kurang memahami
aktivitas upacara ini. Ditambah pula hasil wawancara dengan infornan kunci


Universitas Sumatera Utara

mengatakan bahwa pada

banyak upacara

perkawinan jarang melakukan upacara

tuturan marosong-osong, sehingga ini merupakan suatu keprihatinan1.
Sejalan dengan pendapat di atas hasil penelitian Amri (2011) menyatakan bahwa
tradisi lisan yang dipakai pada upacara perkawinan adat di Tapanuli Selatan, telah
terjadi penyusutan pemahaman konsepsi makna leksikal padahal memiliki nilai-nilai
yang estetis dan pesan-pesan sebagai nasihat, upacara adat yang semakin renggang
dengan komunitas remaja sebagai pewaris adat.
Realitas di masyarakat menunjukkan bahwa, para petutur dan komunitas yang
melakukan tradisi marosong-osong semakin berkurang dan pemahaman tentang
kegiatan adat marosong-osong semakin meluntur. Hal ini akibat dari proses pewarisan
tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sementara perubahan kebudayaan
berjalan dengan cepat. Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-satunya yang penting dalam

upaya menjaga tradisi marosong-osong pada upacara adat Angkola sebagai pengetahuan
pada masa kini dan yang akan datang adalah sistem pewarisan adat Angkola.
Pentingnya pewarisan ini adalah berdasarkan kepada nilai-nilai kearifan lokal pada
rangkaian adat marosong-osong pada upacara perkawinan adat Angkola yang
merupakan produk kultural. Sebagai Produk kultural, tradisi budaya mengandung
berbagai hal yang menyangkut hidup dan falsafah hidup masyarakat adat yang mulai
hilang dari komunitas pemiliknya, misalnya sistem kekerabatan, sistem nilai, gotong
royong, tolong menolong, kaidah-kaidah sosial, etos kerja, bahkan cara bagaimana
dinamika sosial itu berlangsung (Pudentia, 2003: 1). Dengan kata lain, tradisi
marosong-osong pada upacara perkawinan adat Angkola mengandung nilai-nilai
1

Hasil wawancara pada hari Jumat, 25 April 2014 dengan H. Sutan Tinggibarani Siregar Baumi, G.
Gelar H. Sutan Tinggibarani.

Universitas Sumatera Utara

kearifan lokal (local wisdom) sehingga dapat memberikan panutan pada nilai-nilai
kultur yang perlu dijadikan sebagai warisan tak benda bagi masyarakat guyub tutur adat
Angkola.


1.2 Batasan Masalah
Tradisi tuturan marosong-osong pada upacara adat di Angkola digunakan untuk
membantu dan partisipasi pihak anak boru dalam tatanan adat dalihan natolu
menghantarkan bantuan (tumpak) kepada mora (sebagai suhut bolon) pada upacara
perkawinan adat (horja siriaon). Bentuk bantuan ini sengaja diberikan pihak anak boru
sebagai bentuk partisipasi tanpa ada paksaan dari pihak mora (suhut), tetapi ini
merupakan kewajiban adat yang harus dipenuhi oleh pihak anak boru.
Tradisi adat marosong-osong yang digunakan pada salah satu upacara adat
tersebut memiliki nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom), yang berfungsi mengatur
sistem kehidupan yang terbentuk dari hasil kesepakatan masyarakat adat yang dimulai
dari kebiasaan yang diproduksi secara sadar maupun tanpa sadar dari kehidupan
keseharian. Tradisi ini juga adalah hasil dari kesepakatan yang tidak tertulis itu
sebenarnya sudah ada pada surat tumbaga holing (di dalam jiwa masyarakat adat) dalam
menjalani kehidupan yang secara implisit (tersirat) mengandung nilai kearifan lokal,
sehingga melahirkan norma adat istiadat dan hukum adat, yang terakumulasi pada
tatanan adat. Kajian yang akan dibahas meliputi tiga fokus kajian yaitu: 1) Kajian
makna tuturan marosong-osong pada upacara perkawinan adat Angkola, 2) makna/
lambang-lambang pada marosong-osong upacara perkawinan adat Angkola, 3) nilainilai kearifan lokal yang terkandung dalam tuturan dan lambang-lambang


pada

marosong-osong upacara perkawinan adat Angkola.

Universitas Sumatera Utara

1.3 Rumusan Masalah
Masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah deskripsi tradisi lisan marosong-osong pada upacara perkawinan
adat Angkola?
2. Bagaimanakah analisis teks, koteks, dan konteks tradisi lisan marosong-osong
pada upacara perkawinan adat Angkola?
3. Apakah makna, fungsi, dan Kearifan yang terkandung pada tradisi lisan
marosong-osong adat Angkola?

1.4 Tujuan Penelitian
Merujuk pada tiga masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan tradisi lisan marosong-osong pada upacara perkawinan
adat Angkola.
2. Untuk menganalisis bentuk teks, koteks, dan konteks tradisi lisan marosongosong pada upacara perkawinan adat Angkola.


3. Untuk menemukan makna, fungsi, dan Kearifan lokal pada tradisi lisan
marosong-osong upacara perkawinan adat Angkola.

1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis, temuan penelitian ini diharapkan dapat:
a. Memperkaya kajian tradisi marosong-osong pada upacara perkawinan adat
Angkola sebagai kajian yang memiliki nilai-nilai kearifan lokal.

Universitas Sumatera Utara

b. Memperkaya kajian semiotik pada umumnya dan kajian tradisi lisan secara
spesifik.
c. Menjadi bahan acuan bagi para peneliti yang memofuskan perhatian pada bidang
bahasa dan budaya, terutama kajian adat Angkola.
d. Memahami makna tradisi lisan marosong-osong yang dipakai pada upacara
perkawinan adat Angkola.
e. Menemukan kearifan lokal tradisi lisan marosong-osong yang dipakai pada
upacara perkawinan adat Angkola.


1.5.2. Manfaat Praktis
Secara praktis, temuan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
masyarakat umum untuk:
a. Mengetahui tradisi lisan marosong-osong pada upacara perkawinan adat
Angkola.
b. Mengetahui makna tradisi lisan marosong-osong pada tradisi lisan yang dipakai
pada upacara perkawinan adat Angkola.
c. Mengetahui makna semiotika pada tradisi lisan marosong-osong

pada

perkawinan adat Angkola.
d. Sebagai upaya untuk melestarikan adat istiadat, budaya yang mulai ditinggalkan
komunitas pemakainya, sehingga adat budaya dapat terjaga sebagai kearifan
lokal dan sebagai kekuatan yang mempersatukan masyarakat pemakainya.

Universitas Sumatera Utara

1.6 Definisi Istilah
Pada tulisan ini digunakan istilah-istilah yang memiliki makna yang berbeda
dengan ilmu di luar linguistik, oleh karena itu penjelasan istilah pada penelitian ini
dimaksudkan agar ada persepsi yang sama mengenai istilah yang digunakan.
Penggunaan istilah tersebut sesuai dengan konsep istilah pada bidang linguistik, istilah
tersebut yaitu:

1. Tradisi lisan
Tradisi lisan adalah adalah proses kelisanan yang tercermin dalam aturan-aturan
tidak tertulis yang disimpan dalam dunia ingatan manusia dan diwariskan secara turuntemurun. Komunikasi adalah proses kegiatan berhubungan antara manusia dengan
sesamanya menggunakan seperangkat bahasa untuk menyampaikan pesan dalam
mempertahankan kelangsungan hidup manusia. Tradisi lisan adalah berbagai
pengetahuan dan adat istiadat yang secara turun temurun disampaikan secara lisan, lebih
jauh Roger Tol dan Prudentia (1995:2) dalam B. H. Hoed (2008:184).

2. Semiotik (semiotika)
Semiotik (semiotika) adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda
dalam kehidupan manusia (Hoed, 2007:3). Ilmu ini menganggap bahwa fenomena
sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari
sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda
tersebut mempunyai arti. Penelitian semiotik meliputi analisis teks, koteks, dan konteks
sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada (ditentukan) konvensi-

Universitas Sumatera Utara

konvensi tambahan dan meneliti ciri-ciri (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacammacam cara (modus) wacana mempunyai makna (Pradopo, 2003:119).

3. Marosong-osong,
Marosong-osong berasal dari kata usung yang berarti „dipikul‟ bersama.

kemudian menjadi kata berulang yang berawalan dan memperoleh perubahan huruf
(vokal) „u‟ menjadi „o‟ (perkasa alam, 2012:30) acara tuturan marosong-osong
dilaksanakan dalam pesta perkawinan adat ( horja na godang) dengan memotong
kerbau (manyambol horbo) yang dilaksanakan selama tiga hari tiga malam.
Dalam acara adat ini, pihak anak boru beserta rombongan membawa dana
bantuan untuk disumbangkan secara bersama-sama kepada suhut bolon „yang punya
hajatan‟ dan bantuan ini dimasukkan dalam sebuah bingkisan yang bentuknya
menyerupai sopo godang dan dihiasi sedemikian rupa dengan bahan dari umbut dan
buah-buahan yang disebut gala-gala , inilah yang disebut dengan osong-osong.
Bingkisan osong-osong dibalut dengan abit batak (ulos) dan ditancapkan beberapa
bendera-bendera kecil yang terdiri dari lembaran uang seratus ribu rupiah, lima puluh
ribu rupiah, dua puluh ribu rupiah sampai pecahan terkecil. Selain bentuk uang anak
boru dan juga membawa bantuan berupa beras, kelapa, kambing bahkan kerbau dan

lain-lain.

Universitas Sumatera Utara