Kejadian Edema Sistoid Makula Paska Operasi Katarak Dengan Pemeriksaan Optical Coherence Tomography Di RSUP. H. Adam Malik Medan Dan RSUD. Dr. Pirngadi Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

KERANGKA TEORI

2.1.1. DEFINISI
Edema sistoid makula paska operasi katarak atau post cataract
extraction (pseudophakic) cystoid macular edema atau dikenal dengan
istilah Irvine-Gass syndrome adalah cystoid macular edema yang timbul
setelah operasi katarak. (Jackson TL,2008; Rotsos TG, Moschos
MM,2008)
Cystoid macular edema (CME) adalah adanya penumpukan cairan
dalam lapisan outer flexiform dan inner nuclear layer pada daerah sentral
retina (sekitar fovea) yang berbentuk kista. (Kanski JJ, Milewski SA,
2002). Ciri khas CME yaitu edema dalam retina yang mengandung kista
berbentuk sarang lebah (honeycomb-like cystoid spaces) (American
Academy of Ophthalmology,2011-2012).
Bila waktunya singkat, CME biasanya tidak membahayakan.
Namun pada kasus dengan waktu lebih lama, akan terjadi penggabungan

kista-kista kecil berisi cairan menjadi kista yang lebih besar yang
kemudian akan membentuk lapisan lubang pada fovea dengan kerusakan
penglihatan sentral yang irreversible.
Secara histologi, CME dikarakteristikkan dengan kista besar (large
cystic spaces) yang mengandung eksudat serous didalam lapisan outer

Universitas Sumatera Utara

flexiform layer dan kista kecil dengan eksudat didalam lapisan inner
nuclear layer. (Quillen DA, Blodi BA,2002).

2.1.2. KLASIFIKASI
Irvine-Gass syndrome dibedakan atas:


Angiography CME, yaitu CME tanpa gejala dan hanya terdeteksi
melalui

pemeriksaan


fluorescein

angiography

(tampak

adanya

kebocoran kapiler perifovea) atau melalui pemeriksaan optical
coherence tomography (OCT).


Clinical CME, yaitu CME dengan gejala penurunan penglihatan,
biasanya

20/40

atau

kurang.


(American

Academy

of

Ophthalmology,2011-2012)

2.1.3. EPIDEMIOLOGI
Irvine-Gass syndrome merupakan penyebab umum penurunan
ketajaman penglihatan setelah operasi katarak. Angiography CME
terdapat pada 40-70% setelah operasi ICCE dan sekitar 1-19% setelah
operasi ECCE atau fakoemulsifikasi. Clinical CME, insidensinya 2-10%
setelah ICCE dan 1-2% setelah ECCE dengan kapsul posterior utuh.
Resiko clinical CME setelah fakoemulsifikasi dengan kapsul posterior utuh
lebih rendah. (American Academy of Ophthalmology,2011-2012).

Universitas Sumatera Utara


Insidensi tertinggi pada kedua CME (Angiography CME dan clinical
CME) terjadi pada 6-10 minggu setelah operasi. (American Academy of
Ophthalmology,2011-2012).

2.1.4. FAKTOR RESIKO
Faktor resiko yang berhubungan dengan CME paska operasi
katarak adalah jenis operasi katarak dan implantasi IOL, komplikasi
operasi (seperti robekan kapsul posterior, kehilangan vitreous, vitreous
yang keluar ke COA atau perlengketan ke insisi, trauma iris, prolap iris,
inflamasi post operasi) dan faktor preoperasi (yaitu usia lanjut, penyakit
diabetes melitus, hipertensi dan umur lebih dari 60 tahun). (Bourgault S, et
al,2010)
Jenis operasi katarak berhubungan dengan hasil operasi dan
komplikasi yang terjadi, seperti CME. Perubahan teknik operasi katarak
dari insisi luas (Intra Capsular Cataract Extraction dan Extra Capsular
Cataract Extraction) menjadi insisi kecil (fakoemulsifikasi) berhubungan
dengan penurunan angka kejadian komplikasi tersebut. Hal ini dapat
dijelaskan bahwa sedikitnya kerusakan blood–aqueous barrier pada
fakoemulsifikasi dengan continuous curvilinear capsulorhexis yang utuh
dibandingkan


Extra Capsular Cataract Extraction (ECCE). (Rossetti L,

Autelitano A. 2000).
Implantasi IOL berhubungan dengan peningkatan kejadian CME.
Anterior chamber IOL meningkatkan resiko CME dibandingkan posterior

Universitas Sumatera Utara

chamber IOL. (Loewenstein A, Zur D. 2010). Beberapa penelitian
menunjukkan adanya insidensi yang lebih tinggi dan waktu timbul yang
lebih lama (sejalan dengan prognosis yang buruk) pada mata dengan irissupported IOL. (American Academy of Ophthalmology,2011-2012)
Komplikasi operasi katarak

seperti ruptur kapsul posterior dan

kehilangan vitreous meningkatkan resiko timbulnya CME. Komplikasi
kehilangan

vitreous


pada

operasi

fakoemulsifikasi

lebih

sedikit

menimbulkan CME dibanding operasi ECCE. Hal ini dapat dijelaskan
karena kecilnya insisi dan lebih stabilnya operasi pada fakoemulsifikasi
dibanding ECCE. (Ah-Fat FG,et al, 1998)
Perlengketan vitreous ke insisi memperpanjang lama komplikasi
CME dan membuat prognosa yang buruk. Terjepitnya iris juga merupakan
faktor resiko timbulnya CME. (Loewenstein A, Zur D. 2010).
Pecahan lensa yang tertinggal, merupakan komplikasi yang
berhubungan dengan peningkatan kejadian CME dan menimbulkan
penurunan tajam penglihatan yang berat. Hal ini disebabkan karena

pecahan lensa yang tertinggal sering menyebabkan peradangan yang
berat dan waktu operasi yang lebih lama. (Cohen SM, Davis A, Cukrowski
C. 2006).
Penderita diabetes, khususnya yang belum timbul retinopati
diabetik merupakan faktor resiko CME. Angka kejadian CME pada pasien
diabetes, walaupun tidak ada retinopati diabetik, lebih besar dari pasien
yang tidak mempunyai riwayat penyakit diabetes. (Pollack A, dkk, 1992).

Universitas Sumatera Utara

Pasien dengan uveitis meningkatkan resiko timbulnya CME, dan
merupakan penyebab buruknya hasil operasi katarak pada pasien ini.
Perlu melakukan kontrol inflamasi pre operasi dan menambahkan obat
post operasi yang berhubungan dengan resiko ini. (Hooper PL, Rao NA,
Smith RE,1990).

2.1.5. PATOGENESA
Patogenesa CME belum diketahui. Peningkatan permeabilitas
kapiler perifoveal yang berhubungan dengan ketidakstabilan pembuluh
darah dalam mata merupakan jalur utama timbulnya CME. (American

Academy of Ophthalmology, 2011-2012). CME disebabkan adanya
kebocoran cairan akibat kerusakan inner blood retinal barrier. (Khurana
AK,2007)
Walaupun patogenesa CME paska operasi katarak belum diketahui
secara pasti, mekanisme utama
inflamasi.

Trauma

operasi

diperkirakan berhubungan dengan

menyebabkan

pelepasan

phospolipid

membrane sel. Dengan enzim phospolipase A2, phospolipid diubah

menjadi

asam arachidonat. Asam arachidonat dimetabolisme oleh

cyclooxygenase-1 dan 2 menjadi prostaglandin yang merupakan mediator
utama inflamasi. (Cho H, Madu A. 2009).
Difusi posterior dari mediator inflamasi diduga menyebabkan
kerusakan blood-retinal barrier (BRB). Blood-retinal barrier (BRB)
bertanggung jawab mencegah perpindahan plasma ke dalam retina dan
menjaga homeostasis retina. Kerusakan BRB menyebabkan peningkatan

Universitas Sumatera Utara

permeabilitas kapiler perifovea sehingga menimbulkan penumpukan
cairan intraretina dan membentuk kista. (Tsilimbaris MK, dkk, 2013)
Pada operasi katarak, manipulasi operasi menyebabkan berbagai
tingkatan trauma iris. Iris merupakan jaringan yang aktif bermetabolisme
dan melepaskan mediator inflamasi ketika terjadi trauma sehingga dapat
menimbulkan komplikasi CME. (Lobo C, 2012)
Traksi vitreo makula berperan menimbulkan CME. Vitreous

berhubungan dengan internal limiting membrane, yang bersambungan
dengan Muller fiber. Sehingga sel Muller dapat dipengaruhi traksi vitreous
menimbulkan CME. (Lobo C, 2012)

2.1.6. DIAGNOSA
CME dikenali dengan penurunan tajam penglihatan yang tidak
diketahui penyebabnya, dengan karakteristik petaloid appearance of cystic
space pada pemeriksaan fluorescein angiografi atau dengan peningkatan
ketebalan retina pada pemeriksaan OCT. (American Academy of
Ophthalmology,2011-2012).
Penurunan tajam penglihatan dimulai dari ringan sampai sedang
yang tidak berhubungan dengan gejala lain. Jika edema menetap akan
terdapat penurunan tajam penglihatan yang permanen. (Khurana
AK,2007)
Pada edema sistoid makula paska operasi katarak, gejala
penurunan

tajam penglihatan

biasanya


20/40 atau kurang yang

Universitas Sumatera Utara

berhubungan dengan skotoma sentral, dan bisa tanpa gejala. (Kanski JJ,
Milewski SA,2002).
Pada pemeriksaan slit lamp biomicroscopy atau funduscopi,
tampak hilangnya daerah cekungan fovea, adanya penebalan retina dan
daerah kista yang banyak di dalam sensori retina. Namun pada awal
kasus perubahan kista akan sulit dikenali dan yang terlihat adanya bercak
kuning (yellow spot) pada foveola. (Kanski JJ, Milewski SA,2002).
Secara

klinis

menegakkan

kasus

CME

pada

pemeriksaan

funduscopi tampak Honey-comb appearance di daerah makula oleh
karena adanya multiple cystoid oval spaces. Pemeriksaan funduskopi
paling baik dengan fundus contact lens +90 D dengan slit lamp. (Khurana
AK,2007)
Pada pemeriksaan fluorescein angiografi, pada early venous phase
tampak

adanya

sumber

edema

sebagai

akibat

ketidaknormalan

permeabilitas kapiler retina perifovea, dengan gambaran multiple small
focal fluorescein leaks. Pada late venous phase, tampak peningkatan
hiperfluorescein dan penggabungan focal fluorescein leaks.

Pada late

phase, tampak hiperfluorescein berbentuk daun bunga atau flower fetal
pattern. Hal ini disebabkan adanya penumpukan fluorescein dalam
ruangan mikrokistik pada lapisan outer plexiform layer retina dengan
susunan berbentuk jari-jari dari serat di sentral foveola (Henle layer).
(Kanski JJ, Milewski SA, 2002).

Universitas Sumatera Utara

Optical coherence tomography (OCT) memperlihatkan gambaran
penebalan retina yang luas disertai gambaran kista (low reflectivity) pada
lapisan inner nuclear dan outer plexiform layers. Gambaran tersebut
sesuai dengan histopatologi yang menunjukkan adanya pembengkakan
pada glia Muller. Kadang gambaran low reflectivity dapat terlihat dibawah
lapisan neurosensori retina yang menunjukkan adanya cairan subretina.
(American Academy of Ophthalmology,2011-2012)
Gambaran OCT pada CME menunjukkan ruangan kista (cystoid
spaces)

yang

tampak

bulat,

daerah

dengan

pantulan

rendah

(hiporeflective) di dalam neurosensori retina. Gambaran ini secara khas
terletak di lapisan outer retinal layers namun bila makin besar dapat
membentang dalam seluruh lapisan retina dan meluas sampai internal
limiting membrane. Khusus pada edema sistoid makula paska operasi
katarak, daerah hiporeflective terletak pada inner retina sebagai pengganti
outer retina. (Joussen AM, dkk, 2007)
Ketebalan retina normal didaerah makula yaitu sentral makula
ketebalannya 163 µm, inner superior makula 258 µm, inner inferior makula
254 µm, inner temporal makula 241 µm, inner nasal makula 255 µm.
Pada outer superior makula 224 µm, outer inferior 210 macula µm, outer
temporal makula 221 µm, outer nasal macula 232 µm. (Bouma BE,
Tearney GJ. 2002)

Universitas Sumatera Utara

2.1.7. DIAGNOSA BANDING
Permeabilitas yang tidak normal pada kapiler retina perifovea,
ditemukan pada berbagai kondisi dan merupakan penyebab timbulnya
macular edema yaitu:






Retinopati diabetik
Central/branch retinal vein occlusion
Uveitis (khususnya pars planitis)
Retinitis pigmentosa
Age Related Macular Degeneration (AMD)

2.1.8. PENATALAKSANAAN
Resolusi spontan dapat terjadi sekitar 95% pada kasus tanpa
komplikasi, biasanya terjadi dalam 6 bulan. Karena tingginya angka
resolusi spontan maka sulit mengevaluasi efektifitas pemberian obat pada
CME, namun layak dalam melakukan pengobatan mata dengan bukti
klinis

peradangan

intraokuler.

(American

Academy

of

Ophthalmology,2011-2012)
Terapi farmakologi pada CME dapat dilakukan untuk terapi
pencegahan yang sama baiknya untuk terapi pengobatan. Pada terapi
pencegahan, resiko CME dapat dikurangi dengan pemberian obat
profilaksis pre-operatif dan post-operatif menggunakan

indometasin

topikal/sistemik, atau ketorolak topikal. Beberapa penelitian menunjukkan
dengan pemberian indometasin topikal/sistemik efektif dalam menurunkan

Universitas Sumatera Utara

insidensi angiography CME. NSAID topikal lain mungkin memberikan efek
yang sama, namun belum ada penelitian yang mendukung.

Topikal,

periokular atau sistemik kortikosteroid juga dapat diberikan sama seperti
prostaglandin inhibitor atau karbonik anhidrase inhibitor yang diyakini
dapat meningkatkan transport cairan melalui RPE. (American Academy of
Ophthalmology,2011-2012)
Pada pengobatan penyakit yang telah didiagnosa CME dapat
diberikan ketorolac topikal 0,5 % atau prednison asetat 1 %. Pada suatu
penelitian klinis dengan ketorolac topikal 0,5 % atau prednison asetat 1 %
memberikan efek yang baik pada CME kronik. Untuk memperbaiki tajam
penglihatan, kombinasi ketorolac topikal 0,5 % dan prednison asetat 1 % 4
kali sehari memberikan hasil yang lebih baik daripada pemberian obat
satu

jenis

saja.

Kortikosteroid

dalam

pengobatan

CME,

angka

berulangnya kembali penyakit tinggi ketika terapi steroid dihentikan.
(American Academy of Ophthalmology,2011-2012)
Pemberian ketorolac topikal 0,5 % atau prednison asetat 1 %
selama 2 bulan kemudian ditapering off selama 1 bulan. Apabila
pemberian obat topikal gagal, dimana oedem tetap sampai 3 bulan, maka
ditambah acetazolamid 250 mg atau injeksi triamcinolone sub tenon 40
mg. (Jackson TL,2008)
Triamcinolon acetonide intra vitreal lebih efektif, namun formulasi
obat ini yang mengandung bahan pengawet benzyl alkohol potensial
toksis. Resiko toksis dapat dikurangi dengan menggunakan triamcinolone

Universitas Sumatera Utara

tanpa

pengawet.

pencegahan CME.

Penggunaan

NSAID

topikal

bermanfaat

untuk

Pada suatu penelitian, dengan menggunakan

ketorolac topikal selama 3 hari akan mengurangi insidensi CME pada
pemeriksaan OCT, namun pada clinical CME belum ditemukan.
(American Academy of Ophthalmology,2011-2012)
Terapi bedah diindikasikan ketika sumber yang menimbulkan
clinical CME diketahui serta tidak respon terhadap pemberian obat.
Nd:YAG laser atau vitrektomi dapat digunakan untuk menghilangkan
perlengketan vitreous terhadap insisi katarak sehingga membebaskan
traksi vitreomakula. Tindakan ini bermanfaat pada pasien chronic CME
khususnya ketika obat tidak respon dan adanya uveitis ringan. Tindakan
operasi memperbaiki letak IOL dapat bermanfaat pada kasus IOL
malposisi, adanya perlengketan vitreous pada IOL atau yang berkontribusi
menimbulkan uveitis kronis. (American Academy of Ophthalmology,20112012).

Universitas Sumatera Utara