Fonologi Bahasa Angola-Mandailing : Kajian Fonologi Generatif
BAB II
KONSEP, LANDASARN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Konsep adalah suatu rangkaian kegiatan yang terencana dan sistematis untuk
menemukan jawaban suatu permasalahan atau konsep adalah gambaran mental diri objek,
proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk
memahami hal-hal lain (Alwi, 2003:588).
2.1.1 Fonem dan Fitur Distingtif, Segmen Vokal dan Konsonan.
Dalam kajian Fonologi Struktural, fonem dianggap sebagai unsur bahasa yang terkecil
dan dapat membedakan arti atau makna (Gleason,1955: 9), sejalan dengan penelitian
fonologi yang merupakan suatu penelitian yang mendasar untuk mengetahui struktur
bunyi suatu bahasa. Berdasarkan definisi tersebut maka setiap bunyi bahasa, baik
segmental maupun suprasegmental apabila terbukti dapat membedakan arti dapat disebut
fonem. Setiap bunyi bahasa memiliki peluang yang sama untuk menjadi fonem. Namun,
tidak semua bunyi bahasa pasti akan menjadi fonem. Bunyi itu harus diuji dengan
beberapa pengujian penemuan fonem. Nama fonem, ciri-ciri fonem, dan watak fonem
berasal dari bunyi bahasa. Adakalanya jumlah fonem sama dengan jumlah bunyi bahasa,
tetapi sangat jarang terjadi.
Lain halnya dalam kajian Fonologi Generatif yang menganggap fitur distingtiflah
sebagai satuan terkecil yang membedakan makna. Fitur Distingtif merupakan suatu bentuk
perkembangan baru dari fonologi yang bertujuan menganalisis bunyi bahasa sampai ke
tahap ciri tertentu yang membedakan sebuah fonem dari yang lain. Tujuan utama teori ini
adalah untuk menemukan ciri-ciri minimal yang dapat digunakan untuk membedakan
bunyi-bunyi bahasa yang signifikan, dengan demikian dapat membedakan sebuah bahasa
dari yang lain. Teori ini diperkenalkan oleh Roman Jakobson seorang pendiri dan tokoh
utama Aliran Praha. Dalam pencariannya Jakobson menggunakan partikel-partikel
subfonemik yang tidak dapat diuraikan lagi menjadi bagian yang lebih kecil.
Berawal dari pendapat Bloomfield yang kurang memuaskan mengakibatkan muncul
beberapa paham lain mengenai fonem dan fitur distingtif. Pertama, pada kenyataanya
fonem-fonem itu dapat diuraikan menjadi beberapa ciri yang membedakannya satu dengan
yang lainnya. Kedua, pada saat teori itu dikemukakan oleh Bloomfield data fonetis ini
belum dapat digunakan sebagaimana mestinya karena pada saat itu fonologi masih
6
Universitas Sumatera Utara
mengalami empirisasi. Ketiga, karena ketiadaan data fisik mengenai bunyi-bunyi bahasa
maka penjelasan tentang bunyi-bunyi bahasa lebih didasarkan pada psikologis ( Jakobson,
R : 1971 ).
Bunyi ujaran terbentuk secara alamiah oleh dan di dalam alat-alat pengucapan. Bunyi
itu berkelompok dan membentuk dengan apa yang disebut kelas-kelas bunyi bahasa
alamiah ( nasal, vokal, hambat, frikatif, dan likuid) . Setiap kelompok itu pun akhirnya
memiliki karakter bunyi yang berbeda antara satu dengan yang lain. Dengan
memperhatikan letak dan pengucapan bunyi serta ditunjang oleh sifat dan kualitas bunyi
ujar itu, para ahli bahasa umumnya berpendapat bahwa ada seperangkat ciri yang
menandai perbedaan bunyi-bunyi itu, fitur distingtif inilah yang nantinya disebut sebagai
“basic units of phonology” atau unsur terkecil dalam fonologi. Namun, walaupun dalam
tatanan Fonologi Generatif menganggap fitur distingtiflah satuan unit terkecil, istilah
fonem masih diperbincangkan dan digunakan sebagai bagian di atas fitur distingtif yang
bisa disegmenkan sehingga setiap fonem mengandung ciri pembeda dan ciri fitur
distingtifnya tersendiri. Sehingga fonem dapat diselevelkan dengan sebutan segmen.
Berdasarkan ada tidaknya rintangan terhadap arus udara dalam saluran suara, bunyi
bahasa dibedakan menjadi dua kelompok yaitu vokal dan konsonan. Vokal adalah bunyi
bahasa yang dihasilkan tanpa penutupan atau penyempitan di atas glotis. Dengan kata lain,
vokal adalah bunyi bahasa yang arus udaranya tidak mengalami rintangan, sedangkan
konsonan adalah bunyi bahasa yang dihasilkan dengan berbagai hambatan atau
penyempitan aliran udara (Alwi dkk, 2003: 49 - 52).
Sistem segmen vokal dan konsonan diklasifikasikan dalam dua bunyi yaitu bunyi
segmental dan bunyi suprasegmental. Arus ujaran merupakan suatu runtutan bunyi yang
bersambung-sambung terus-menerus dan diselang-seling dengan jeda singkat atau jeda
agak singkat disertai dengan keras lembut bunyi, tinggi rendah bunyi, panjang pendek
bunyi, dan dalam arus ujaran itu ada bunyi yang dapat disegmentasikan sehingga disebut
bunyi segmental, tetapi yang berkenaan dengan keras lembut, panjang pendek, dan jeda
bunyi tidak dapat disegmentasikan yang disebut bunyi suprasegmental atau prosodi
(Chaer, 2007: 120). Jadi pada tingkat fonemik ciri-ciri prosodi itu seperti tekanan, durasi,
dan nada bersifat fungsional, atau dapat membedakan makna. Misalnya dalam BAM
/ba’gas/ (dengan tekanan pada suku kata pertama) bermakna ‘rumah tempat tinggal’ ,
sedangkan kata /bagas’/ (dengan tekanan pada suku kata kedua) yang bermakna ‘dalam’.
Dengan berbedanya letak tekanan pada kedua kata tersebut yang telah menunjukkan unsur
segmentalnya menyebabkan makna kedua kata itu berbeda.
7
Universitas Sumatera Utara
Untuk menentukan suatu bunyi dalam suatu bahasa merupakan salah satu segmen
vokal atau konsonan maka hal itu bisa diuji melalui pasangan minimalnya. Pasangan
minimal bertujuan untuk menciptakan kekontrasan yang pada gilirannya menunjukkan
segmen yang berbeda. Dua segmen yang saling mengantikan dalam kerangka yang sama
jika menghasilkan kata atau morfem yang berbeda dalam bahasa itu disebut kontras. Hal
ini dapat kita lihat pada BAM.
Misalnya:
1. /bolu/
:
/tolu/
→ /b/ dan /t/ pada awal kata
2. /hayu/
:
/halu/
→ /y/ dan /l/ pada tengah kata
3. /sale/
:
/sali/
→ /e/ dan /i/ pada akhir kata
Setiap segmen memiliki hubungan yang sistematis dalam lingkungan atau tempat
segmen itu direalisasikan. Perangkat lingkungan tempat perealisasian segmen dinamakan
distribusi (periksa Carr, 1994: 15) . Melalui distribusi ini dapat dilihat apakah sebuah
segmen dapat diekspresikan pada semua lingkungan atau hanya pada lingkungan tertentu
saja. Jika sebuah segmen mampu menempati diseluruh lingkungan, segmen itu
berdistribusi lengkap. Sebaliknya, bila segmen itu hanya menempati lingkungan tertentu
berarti segmen itu berdistribusi tidak lengkap.
2.1.2 Bahasa Angkola-Mandailing
Bahasa merupakan alat komunikasi yang dipakai untuk mengungkapkan pikiran dan
perasaan. Bahasa tidak dapat dipisahkan dari manusia, karena bahasa selalu mengikuti
setiap aktifitasnya. Samsuri (1987:3) mengatakan bahwa bahasa erat hubungannya dengan
pemakai bahasa, karena bahasa merupakan alat yang paling vital bagi kehidupan manusia.
Lebih lanjut Samsuri mengatakan bahwa fungsi bahasa adalah sebagai alat yang dipakai
untuk membentuk pikiran, perasaan, keinginan, dan perbuatan. Bahasa juga merupakan
alat untuk mempengaruhi manusia. Dari uraian di atas tampaklah bahwa bahasa adalah
dasar utama yang paling berakar pada manusia.
Masyarakat Indonesia pada umumya masyarakat yang dwibahasawan, sekurangkurangnya mengenal dua bahasa. Pertama bahasa daerah , sedangkan yang kedua adalah
bahasa Indonesia (Samsuri, 1987:56). Keanekaragaman bahasa daerah mencerminkan
kekayaan budaya nasional, maka sangat penting dijaga dan dilestarikan di tengah
masyarakat penuturnya.
8
Universitas Sumatera Utara
Bahasa daerah yang dipakai di wilayah nusantara menurut politik bahasa nasional
berkedudukan sebagai salah satu unsur kebudayaan nasional dan dilindungi oleh negara.
Salah satu di antara bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia adalah BAM. Hingga saat
ini BAM tetap dapat bertahan dari derasnya pengaruh bahasa lain terutama bahasa
Indonesia. Keberadaan BAM yang tetap bertahan tidak lepas dari pengaruh sikap dan
perilaku penuturnya.
BAM termasuk rumpun bahasa Melayu, tetapi bila dibedakan antara protomalaya
(Melayu Kono) dari Dutoromalaya (Melayu Muda, Melayu Pesisir) maka BAM adalah
cabang dari Protomalaya sebagaimana bahasa Jawa dan bahasa Toraja adalah cabang dari
bahasa Melayu Kuno (Anicetus, 2002: vii). BAM merupakan bahasa dari provinsi
Sumatera Utara yang masih satu keluarga dengan bahasa Batak Toba, bahasa Pakpak,
bahasa Simalungun, dan bahasa-bahasa di Sumatera Utara lainnya.
BAM digunakan masyarakat penutur bahasanya untuk berkomunikasi dan berinteraki
dengan sesamanya khususnya di daerah Kecamatan Sipirok. BAM juga merupakan salah
satu dari sekian banyaknya bahasa-bahasa daerah di nusantara yang secara gramatikal
mempunyai khas, sistem tata bahasa, dan arti kata tersendiri.
Ada perdebatan antara bahasa Mandailing dan Angkola yang menyatakan kedua
bahasa ini sama atau tidak. Bahasa Mandailing dan Angkola sebenarnya tidak terpisahkan
karena kedekatan kultural dan geografis. Berdasarkan hasil pemetaan bahasa yang
dilakukan oleh Tim Pemetaan Bahasa, Balai Bahasa Medan, Pusat Bahasa, tahun 2007
menunjukkan bahwa antara bahasa Angkola dan Mandailing tidak mempunyai perbedaan
yang signifikan. Penggunaan nama bahasa Angkola dan bahasa Mandailing tidak bisa
diterima sebab masing-masing masyarakat pengguna bahasa tersebut masih dapat
melakukan komunikasi dengan baik, walaupun pada beberapa makna tertentu mereka
saling tidak memahami. Setelah dilakukan penghitungan dialektometri terhadap kedua
bahasa tersebut, maka dapat dibuktikan bahwa penggunaan nama atau istilah bahasa untuk
bahasa Angkola dan Mandailing tidak bisa digunakan sebab persentase perbedaannya
hanya 48,75%. Ini berarti istilah yang cocok digunakan untuk bahasa bahasa tersebut
adalah Angkola Mandailing karena perbedaannya hanya pada subdialek. Jadi, bahasa
Angkola dan Mandailing merupakan satu bahasa yang sama.
Sibarani (1997) menjelaskan, pembagian linguistik bahasa Batak di Sumatera Utara
terdiri atas bahasa Batak Toba, bahasa Batak Karo, bahasa Batak Simalungun, bahasa
Batak Pakpak Dairi, dan bahasa Batak Angkola-Mandailing. Artinya Sibarani
menganggap bahasa Angkola dan Mandailing merupakan bahasa yang sama. Begitu pula
9
Universitas Sumatera Utara
dengan Kozok (1999) mengatakan bahasa Angkola dan Mandailing adalah dua bahasa
yang mempunyai sedemikian banyak persamaan sehingga pada umumnya disebut bahasa
Angkola-Mandailing saja. Berdasarkan hasil wawancara singkat peneliti terhadap
beberapa masyarakat di Kecamatan Sipirok, beberapa dari mereka mengaku bahasa yang
ia gunakan adalah bahasa Angkola, ada yang mengaku bahasa Mandailing, dan ada pula
yang mengaku bahasa Angkola-Mandailing.
Untuk itu berdasarkan beberapa fakta-fakta dan sumber referensi di atas, peneliti
memilih bahasa Angkola-Mandailinglah (BAM) yang menjadi nama dari objek penelitian
ini.
2.2 Landasan Teori
Menurut Kridalaksana (2002) dalam kamus linguistik, fonologi adalah bidang dalam
linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya. Muslich (2008)
mengatakan fonologi adalah kajian mendalam tetang bunyi-bunyi ujaran. Sedangkan
Schane (1992) secara singkat mengatakan fonologi adalah kajian linguistik yang
menelahan struktur bunyi.
Fonologi mempunyai dua cabang kajian. Pertama, fonetik yaitu cabang kajian yang
mengkaji bagaimana bunyi-bunyi fonem sebuah bahasa direalisasikan atau dilafalkan.
Fonetik juga mempelajari cara kerja organ tubuh manusia terutama yang berhubungan
dengan penggunaan bahasa. Chaer (2007) membagi urutan proses terjadinya bunyi bahasa
itu, menjadi tiga jenis fonetik, yaitu: fonetik artikulatoris atau fonetik organis atau fonetik
fisiologi, mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam
menghasilkan bunyi bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan, fonetik
akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam (bunyi-
bunyi itu diselidiki frekuensi getaranya, aplitudonya,dan intensitasnya), dan fonetik
auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga
kita ( Dew dan Jensen, 1997: 3 dalam Muclich, 2008: 8-10). Dari ketiga jenis fonetik
tersebut yang paling berurusan dengan dunia lingusitik adalah fonetik artikulatoris, sebab
fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu
dihasilkan atau diucapkan manusia. Sedangkan fonetik akustik lebih berkenaan dengan
bidang fisika, dan fonetik auditoris berkenaan dengan bidang kedokteran.
Kedua, fonemik yaitu
kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi
membedakan makna. Chaer (2007) mengatakan bahwa fonemik mengkaji bunyi bahasa
yang dapat atau berfungsi membedakan makna kata. Misalnya bunyi [labu] dan [rabu]
10
Universitas Sumatera Utara
jika dibandingkan perbedaannya hanya pada bunyi yang pertama, yaitu bunyi [l] dan
bunyi [r] . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua bunyi tersebut adalah fonem
yang berbeda dalam bahasa Indonesia, yaitu fonem [l] dan [r].
Sebuah fonem atau gabungan dari beberapa fonem yang dihembuskan dalam satu
ketukan sehingga membentuk sebuah kata disebut suku kata. Untuk memecahkan
permasalan suku kata para linguis menggunakan teori sonoritas dan teori prominans. Teori
sonoritas menjelaskan bahwa suatu rangkaian bunyi bahasa yang diucapkan oleh penutur
selalu terdapat puncak-puncak kenyaringan (sonoritas) di antara bunyi-bunyi yang
diucapkan. Puncak kenyaringan ini ditandai dengan denyutan nada yang menyebabkan
paru-paru mendorong udara keluar. Misalnya dalam BAM, kata /sega/ terdiri atas dua
puncak kenyaringan yaitu /e/ pada /se/ dan /a/ pada /ga/.
Teori
prominans
menitikberatkan
pada
gabungan
sonoritas
dan
ciri-ciri
suprasegmental, terutama jeda. Ketika rangkaian bunyi diucapkan selain terdengan satuan
kenyarngan bunyi, juga terasa adanya jeda di antaranya, yaitu kesenyapan sebelum dan
sesudah puncak kenyaringan. Atas anjuran teori ini , batas di antara bunyi-bunyi puncak
diberi tanda plus (+). Jadi kata /sega/ ditranskripsikan menjadi /se+ga/. Ini berarti kata
tersebut terdiri dari dua suku kata.
Berdasarkan teori sonoritas dan teori prominans diketahui bahwa sebagian besar
struktur suka kata terdiri dari satu bunyi sonor yaitu vokal, baik didahului konsonan atau
tidk didahului konsonan. Penyataan tersebut dirumuskan sebagai berikut:
(K) V (K)
Rumusan diatas menjelaskan bahwa vokal merupakan unsur yang harus dimiliki
dalam sebuah suku kata, sedangkan konsonan adalah unsur manasuka. Bunyi puncak
sonoritas suku kata disebut nuklus, konsonan yang mendahului vokal disebut onset, dan
konsonan yang mengikuti vokal disebut koda ( Muslich, 2008: 73-75 )
Fonologi Generatif merupakan teori yang mutahir untuk saat ini dan teori ini juga
akan diaplikasikan pada penelitian ini. Teori Fonologi Generatif muncul dan berkembang
seiring menurunnya pamor teori Fonologi Deskriptif dan Fonologis Struktural. Munculnya
teori ini sebagai konsekuensi logis perkembangan ilmu linguistik. Tata bahasa generatif
pertama kali dikenalkan oleh Noam Chomsky dalam bukunya yang berjudul Syntactic
Structure (1957). Menurut model tata bahasa generatif ini, proses pembentukan kalimat
harus melewati tiga rumus, yaitu rumus struktur frase, rumus transformasi dan rumus
11
Universitas Sumatera Utara
morfofonemik. Apabila ketiga rumus tersebut diterapkan, maka akan didapatkan hasil
yang berupa serangkaian fonem dalam bahasa yang bersangkutan dan digunakan dalam
struktur fonetik berupa ujaran yang didengar. Chomsky pada mulanya hanya berbicara
generatif pada level kalimat tetapi kemudian diterapkan dalam tataran lain seperti
morfologi dan fonologi. Namun teori Fonologi Generatif yang akan digunakan pada
penelitian ini yaitu teori yang dikemukakan oleh Schane (1992).
Salah satu yang membedakan Fonologi Struktural dengan Fonologi Generatif adalah
Fonologi Struktural menganggap satuan unit terkecil ialah fonem sedangan Fonologi
Generatif mengganggap fonem masih dapat diperkecil lagi sehinga satuan yang paling
terkecil ialah fitur distingtif. Untuk memahani fitur distingtif, penelitian ini tidak akan
terlepas dari segmen sabagai satuan yang terbentuk dari peragkat-perangkat sifat sebagai
satuan tak terbagi. Hubungan yang terdapat secara eksplilis dari setiap segmen adalah
yang dikenal sebagai fitur dalam tatanan Fonologi Generatif.
Konsep signifikansi dalam fonologi menyangkut perbedaan segmen pada level
fonetis, apakah bersifat fonemis atau alofonis. Segmen yang berbeda secara fonemis
digolongkan sebagai segmen asal. Untuk mengidentifikasi segmen asal akan diadopsikan
mekanisme Pike (1961: 73), yang menyebutkan bahwa segmen cendrung dimodifiksi oleh
segmen lain dalam lingkungannya. Dua prosedur dari mekanisme itu (yang lazim itu
lazim disebut pasangan minimal) yaitu 1) segmen yang secara fonetis mirip harus
digolongkan kedalam kelas yang berbeda apabila terdapat dalam lingkungan yang mirip
dan 2) segmen yang secara fonetis mirip harus digolongkan kedalam kelas yang berbeda
apabila terdapat dalam lingkungan yang sama.
Segmen fonologi memiliki dua tataran representasi, yaitu representasi fonemis dan
representasi fonetik. Kedua representasi ini selain berbeda dalam penggunaan notasi, juga
berbeda dalam tingkat keabstrakannya. Representasi fonemis dan dianggap lebih abstrak
dibandingkan representasi fonetis sebab rincian fonetisnya lebih terbatas. Bagaimana
realisasi dari kedua representasi ini ditunjukkan dalam bagan berikut.
representasi fonemis (/ /)
representasi fonetis ([ ])
Representasi di atas pada dasarnya menggambarkan proses penurunan sebuah segmen.
Schane (1992: 43) mengatakan apabila terjadi proses fonologis biasanya:
12
Universitas Sumatera Utara
1. Ada satu atau lebih segmen yang dipengruhi.
2. Segmen yang dipengaruhi itu akan mengalami perubahan.
3. Perubahan itu pada umumnya terjadi pada lingkungan tertentu.
Jika proses yang terjadi berlangsung secara sistematis tentunya dapat dikaidahkan.
Melalui kaidah fonologis, semua varian segmen dalam lingkungan yang berbeda dapat
diderivasikan dari segmen asalnya. Deskripsi proses derivasi dari sebuah segmen bisa
dipetakan dalam empat kaidah fonologis, (Schane 1993: 65) yaitu.
1. Kaidah perubahan ciri
Tujuan kaidah perubahan ciri yaitu ingin mengetahui tiga hal, 1) segmen mana
yang berubah, 2) bagaimana segmen itu berubah, dan 3) dalam kondisi apa
segmen itu berubah.
2. Kaidah pelepasan dan penyisipan
Pelepasan dan penyisipan dinyatakan dengan Ø, simbol nol. Segmen yang
mengalami pelepasan muncul di sebelah kiri tanda panah, dan Ø di sebelah kanan.
3. Kaidah permutasian dan perpaduan
4. Kaidah variabel
Keempat kaidah di atas tidak hanya diterapkan dalam sebuah segmen dalam suatu
morfem, tetapi juga pada hubungan antarmorfem atau di antara morfem-morfem yang
berdekatan. Untuk proses fonologis yang melibatkan sebuah segmen, terlihat pada bagan
berikut.
/x/
-----> [y] / z______z
Keterangan:
1. Segmen yang dipengaruhi muncul di sebelah kiri tanda panah ( /x/ ).
2. Perubahan itu muncul disebelah kanan ( [y] )
3. Lingkungan itu ditemukan sesudah garis miring ( z_____z)
4. ‘z_____z’ artinya perubahan terjadi apabila terdapat pada sesudah atau
sebelum konsonan atau vokal tertentu.
Selanjutnya Schane (1992) juga menyebutkan, tata bahasa generatif berhubungan
dengan proses fonologis dimana setiap bahasa mengalami proses fonologis yang tidak
hanya disebabkan adanya interaksi dengan bunyi lain tetapi juga dipengaruhi oleh aspekaspek morfologis ataupun sintaksis. Proses fonologis biasanya terjadi pada tingkat kata
maupun frasa. Proses fonologis yang terjadi pada tingkat kata sebagai satu unit morfem
13
Universitas Sumatera Utara
bebas maupun gabungan antara morfem terikat dengan morfem lain dan salah satu dari
bunyi morfem tersebut mengalami perubahan karena pengaruh bunyi dari morfem lain.
Proses fonologis lain terjadi pada tingkat frasa, yaitu pada saat perubahan bunyi terjadi
karena pengaruh faktor sintaksis. Ketika morfem bergabung mengalami perubahan,
perubahan itu juga terjadi dalam lingkungannya yang bukan berupa pertemuan kedua
morfem, misalnya posisi awal kata dan akhir kata atau hubungan antara segmen dengan
vokal bertekanan yang mana parubahan itu disebabkan dengan proses fonologis.
Perubahan bunyi-bunyi morfem biasanya berhubungan erat dengan proses
morfofonemik, yaitu perubahan bentuk fonemis sebuah morfem yang disebabkan oleh
segmen yang ada di sekitarnya atau dipengaruhi oleh syarat-syarat sintaksis atau syaratsyarat lainnya. Dalam hal ini fitur distingtif yang disebut “ultimate disctinctive entities of
language” yaitu partikel-partikel submorfemik yang tidak bisa untuk diuraikan lagi
menjadi bagian yang lebih kecil, secara garis besar dikelompokkan menjadi enam ciri
utama yaitu, 1) ciri golongan utama, 2) ciri berdasarkan cara artikulasi, 3) ciri berdasarkan
tempat artikulasi, 4) ciri batang lidah, 5) ciri tambahan, dan 6) ciri prosidi. Keenam ciri
tersebut memiliki 18 ciri pembeda pula. Namun dalam BAM hanya terdapat 5 ciri
pembeda dan melalui keenam ciri pembeda tersebut dapat dilihihat BAM memiliki 16 fitur
distingtif. Untuk pembuktian ada tidaknya sifat ciri-ciri pembeda itu digunakan
sistembiner (plus dan minus) (Schane, 1992: 27-43). Tanda plus (+) digunakan untuk
menyatakan bahwa sifat ciri pembeda itu ada, sebaliknya tan minus (-) digunakan untuk
menyatakan bahwa sifat ciri pembeda itu tidak ada. Berikut penjabaran mengenai kelima
ciri pembeda tersebut dalam BAM ( berdasarkan Schane, 1992: 28-35).
1. Ciri golongan utama
Persamaan dan perbedaan antara vokal dan konsonan dapat dilihat melalui ciri
ini dengan sifat yang berkaitan dengan silabitas, sonoritas, dan jenis penyempitan.
Ketiga ciri tersebut silabitas, sonoran, dan konsonantal memengaruhi sifat suatu
fitur. Ciri silabis menggambarkan peran yang dimainkan oleh suatu segmen dalam
struktur silabelnya. Pada umumnya, vokal [+sil] dan konsonan [-sil]. Ciri sonoran
merujuk ke kulaitas resonan suatu bunyi vokal selalu [+son], seperti halnya bunyi
nasal, likuid, dan semivokal. Bunyi obstruen-konsonan hambat, frikatif, afrikatif,
dan luncuran laringal [-son]. Ciri konsonantal merujuk ke hambatan yang
menyempit dalam rongga mulut, baik dalam hambatan total maupun geseran.
Bunyi hambat frikatif, afrikatif, nasal, dan likuid adalah [+kons], sedangkan vokal
14
Universitas Sumatera Utara
dan semivokal adalah [-kons]. Bunyi luncuran laringal juga digolongkan sebagai
[-kons] karena bunyi ini tidak memiliki penyempit dalam rongga mulut.
a. Konsonantal [kons]
Bunyi konsonantal ialah bunyi yang dihasilkan dengan cara berlakunya
penyekatan atau penyempitan pada terusan ujaran. Bunyi-bunyi tidak
konsonantal dihasilkan tanpa sembarang sekatan. Yang termasuk ke dalam
[+kons] adalah bunyi konsonan hambat [p, t, c, k, b, d, j, g, ?] , konsonan
frikatif [s, h], konsonan nasal [m, n, ŋ, ň], konsonan likuid [l, r]. Yang
termasuk ke dalam [-kons] adalah bunyi-bunyi vokal [a, i, u, ɛ, o, I, U] dan
semivokal [w,y].
b. Silabis [sil]
Silabis adalah bunyi yang menjadi puncak suku kata, sehingga apabila
bunyi tidak silabis tidak boleh dipuncakkan. Yang termasuk ke dalam [+sil]
adalah bunyi vokal [a, i, u, ɛ, o, I, U,] dan bunyi semivokal [y, w]. Yang
termasuk ke dalam [-sil] adalah konsonan hambat [p, t, c, k, ʔ, b, d, j, g] ,
konsonan frikatif [h, s], konsonan nasal [m, n, ŋ, ň], konsonan likuid [l, r],
dan semivokal [w, y].
c. Sonoran [son]
Bunyi sonoran dihasilkan dengan terusan ujaran terbuka luas dan
dengan itu tekanan udara di bagian dalam dan luar mulut menjadi seimbang.
Yang termasuk ke dalam [+son] adalah bunyi vokal [a, i, u, ɛ, o, I, U, ],
semivokal [w, y], likuid [l,r], dan nasal [m, n, ň, ŋ]. Yang termasuk ke dalam
[-son] adalah bunyi konsonan hambat [p, t, c, k, ʔ, b, d, j, g] , konsonan
frikatif [h, s]
2. Ciri daerah artikulasi
Secara sederhana, fitur distingtif yang didasarkan pada tempat artikulasi bunyi
ujar dapat dikelompokkan menjadi koronal dan anteror.
a. Koronal [kor]
15
Universitas Sumatera Utara
Bunyi koronal dihasilkan dengan cara menaikkan daun lidah ke
bahagian antara gigi (dental) dan lelangit keras (palatal). Yang termasuk ke
dalam [+kor] adalah bunyi hambat [t, d, j, c], konsonan frikatif alveolar [s],
konsonan likuid [l, r], konsonan nasal dental [n], dan konsonan nasal palatal
[ň]. Yang termasuk ke dalam [-kor] adalah bunyi vokal [a, i, u, ɛ, o, I, U, ],
semivokal [y,w] konsonan hambat [b, g, k, p, ?], konsonan frikatif glotal [h],
konsonan nasal bilabial [m], dan konsonan nasal velar [ŋ].
b. Anterior [ant]
Bunyi ujar dengan ciri ini dihasilkan dengan pusat penyempitan
sebagai sumber bunyi berada di sebelah depan pangkal gusi. Yang termasuk
ke dalam [+ant] adalah bunyi vokal, konsonan hambat bilabial [p, b],
konsonan hambat dental [d, t] , konsonan frikatif alveolar [s], konsonan nasal
bilabial [m], konsonan nasal dental [n], dan konsonan likuid [l, r]. Yang
termasuk ke dalam [-ant] adalah bunyi vokal [a, i, u, ɛ, o, I, U, ], semivokal
[w, y] konsonan hambat palatal [j, c], konsonan hambat velar [k,g], konsonan
hambat glotal [?] frikatif glotal [h].
3. Ciri berdasarkan cara artikulasi
Cara-cara pengucapan bunyi ujar, seperti dihambat (stops/plosives), dialirkan
(liquids), digeserkan (fricatives), dan seterusnya juga dengan menentukan ciri
distingtif. Pada garis besarnya, ciri-ciri itu dapat dibagi menjadi kontinuan,
pelepasan tidak segera, striden, nasal, dan lateral.
a. Kontituan [kont]
Kelompok bunyi ini dihasilkan dengan mengalirkan udara ke rongga
mulut dengan bebas. Yang termasuk ke dalam [+kont] adalah bunyi frikatif [s,
h] dan konsonan getar alveolar [r]. Yang termasuk ke dalam [-kont] adalah
bunyi vokal [a, i, u, ɛ, o, I, U, ], semivokal [w, y], konsonan hambat [p, t, c,
k, b, d, j, g, ?], konsonan nasal [m, n, ŋ, ň], dan lateral [l].
b. Pelepasan tidak segera [pts]
Pada dasarnya ada dua cara bagaimana bunyi yang dihambat di dalam
rongga mulut itu dilepaskan , yaitu 1) diletupkan segera setelah penutupan
16
Universitas Sumatera Utara
alat-alat ucap yakni untuk bunyi-bunyi hambat dan 2) secara perlahan-lahan
sehingga menghasilkan bunyi. Yang termasuk ke dalam [+pts] adalah bunyi
hambat palatal [c, j]. Yang termasuk ke dalam [-pts] adalah konsonan hambat
selain palatal [p, b, t, d, k, g, ?], konsonan frikatif [s, h], konsonan nasal [m, n,
ŋ, ň], konsonan likuid [l, r], vokal [a, i, u, ɛ, o, I, U, ], dan semivokal [w, y].
c. Striden [strid]
Striden merupakan kelompok segmen yang dihambat dengan
pelepasan dalam intensitas yang tinggi. Yang termasuk ke dalam [+strid]
merupakan bunyi konsonan frikatif glotal [h]. Yang termasuk ke dalam [-strid]
merupakan bunyi konsonan hambat [p, b, d, t, c, k, g, j, ?], konsonan nasal [m,
n, ŋ, ň], konsonan alveolar [s, l, r], vokal [a, i, u, ɛ, o, I, U, ], dan semivokal
[w, y].
d. Nasal [nas]
Bunyi ini ditandai dengan ditariknya langit-langit lunak ke bawah
dengan menyentuh bagian belakang lidah sehingga aliran darah berhembus
melewati hidung. Yang termasuk ke dalam [+nas] yaitu bunyi konsonan nasal
[m, n, ň, ŋ]. Yang termasuk ke dalam [-nas] yaitu bunyi konsonan hambat [p,
b, d, t, c, k, g, j, ?], konsonan frikatif glotal [h], konsonan alveolar [s, l, r],
vokal [a, i, u, ɛ, o, I, U, ], dan semivokal [w, y].
e. Lateral [lat]
Bunyi lateral dihasilkan dengan cara udara keluar melalui sisi lidah.
Yang termasuk ke dalam [+lat] adalah bunyi [l]. Yang termasuk ke dalam [lat] adalah bunyi vokal dan konsonan lainnya selain [l].
4. Ciri batang lidah
Fitur distingtif yang didasari pada ciri batang lidah dapat dikelompokkan
menjadi empat ciri yaitu tinggi, rendah, belakang, dan bulat.
a. Tinggi [ting]
Bunyi tinggi dihasilkan dengan cara mengangkat badan lidah ke arah
palatal. Yang termasuk ke dalam [+ting] adalah vokal tinggi [i, I, u, U],
17
Universitas Sumatera Utara
semivokal [w, y], hambat [c, j, k, g], dan konsonan nasal velar [ŋ] konsonan
nasal palatal [ň]. Yang termasuk ke dalam [-ting8] adalah bunyi vokal [a, , ɛ,
o], konsonan hambat [p, b, t, d, ?], konsonan frikatif [s, h], konsonan nasal
bilabial [m], konsonan nasal dental [n], konsonan likuid [l, r].
b. Rendah [ren]
Bunyi rendah dihasilkan dengan cara menarik badan lidah jauh ke
bawah dari bumbung mulut. Yang termasuk ke dalam [+ren] adalah bunyi
vokal [ɛ], konsonan frikatif glotal [h], dan konsonan hambat glotal [?].Yang
termasuk ke dalam [-ren] adalah bunyi vokal [a, i, u, o, I, U, ], konsonan
hambat [p, b, t, d, j, c, k, g, ?], konsonan frikatif [s], konsonan nasal [m, n, ň,
ŋ], dan konsonan likuid [l, r].
c. Belakang [bel]
Bunyi belakang dihasilkan dengan keadaan badan lidah ditarik ke
belakang. Yang termasuk ke dalam [+bel] adalah vokal [u, U, , o], semivokal
[w], konsonan hambat velar [k, g], konsonan nasal velar [ŋ]. Yang termasuk
ke dalam [-bel] adalah vokal [a, i, I, ɛ] konsonan hambat [p, b, t, d, j, c],
konsonan frikatif [s, h], konsonan nasal [m, n, ŋ], dan konsonan likuid [l,r].
d. Bulat [bul]
Bunyi bundar dihasilkan dengan cara membundarkan bibir. Yang
termasuk ke dalam [+bul] adalah bunyi vokal [u, U, o, ] dan semivokal [w].
Yang termasuk ke dalam [-bul] adalah vokal [a, i, I, ɛ], semivokal [y],
konsonan hambat [p, b, t, d, j, c, k, g, ?], konsonan frikatif [s, h], konsonan
nasal [m, n, ŋ, ň], dan konsonan likuid [l, r].
5. Ciri tambahan
Fitur distingtif yang didasarkan pada ciri batang tambahan dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu tegang dan bersuara.
a. Tegang [teg]
Yang termasuk ke dalam [+teg] adalah vokal [a, i, u, o], konsonan
hambat [p, b, t, d, j, c, k, g], konsonan frikatif [s, h], konsonan likuid [l, r],
18
Universitas Sumatera Utara
konsonan nasal [m, n, ŋ, ň], dan semivokal [w, y]. Yang termasuk ke dalam [teg] adalah vokal [I, U, ɛ, ] dan hambat glotal [?].
b. Bersuara [sur]
Bunyi yang dihasilkan sambil menggetarkan pita suara. Yang termasuk
ke dalam [+sur] adalah vokal [ a, i, I, u, U, o, , ɛ], semivokal [w, y], hambat
[b, d, k, ?], dan konsonan frikatif glotal [h]. Yang termasuk ke dalam [-sur]
adalah bunyi hambat [p, t, c, j, g], konsonan frikatif [s], konsonan likuid [l,r],
dan konsonan nasal [m, n, ň, ŋ].
Demikian di atas adalah beberapa pengertian tentang fitur distingtif yang akan
digunakan untuk membedakan ciri menurut fonetiknya sehingga akan terlihat bentuk
perubahan dalam kata menurut bunyi pada BAM. Perubahan bunyi yang dapat
memengaruhi ciri pembeda atau fitur distingtif itu dapat dikategorikan dalam kaidahkaidah fonologis.
2.3 Tinjauan Pustaka
Alwi (2005: 1198) mengatakan bahwa tinjauan pustaka adalah hasil meninjau,
pandangan, pendapat (sesudah menyelidiki atau mempelajari), sedangkan pustaka adalah
kitab, buku, prambon (Alwi, 2005:912). Tinjauan pustaka bertujuan menyelidiki
penelitian-penelitian terdahulu sehingga peneliti yang sekarang tahu kedudukan
penelitiannya.
Lapoliwa (1991) merupakan perintis penelitian bahasa Indonesia dalam bidang kajian
Fonologi Generatif. Lapoliwa (1981) penelitiannya yang berjudul “Fonologi Bahasa
Indonesia:
Suatu Pendekatan Generatif”, menemukan dalam bahasa Indonesia
mempunyai 23 bunyi konsonan dan 6 vokal. Ada 11 ciri pembeda untuk membedakan 29
segmen. Ada 27 kaidah fonologi, yaitu kaidah degiminasi, pelesapan trill, penyisipan
glotal stop, realisasi glotal stop dari /k/, pelesapan /h/, despirantisasi (naturalisasi) /f/,
naturalisasi /h/, pengedepanan (naturalisasi) /s/, naturalisasi /x/, penyisipan schwa,
pelesapan nasal dan asimilasi, penyatuan konsonan, pelesapan dua segmen pertama dari
/mǝn/, pelemahan vokal, penarikan kembali vokal, pelesapan schwa, nasalisasi vokal,
perendahan vokal, penyatuan vokal, penyisipan luncuran, desilabitasi, desilabitasi,
desimilasi vokal, akhir kata pinjaman, dan penempatan tekanan. Dalam penelitian itu
ditemukan adanya rangkaian konsonan s-t, s-l, k-t, k-s, k-d, k-n, k-l, k-r, k-z, p-t, h-t, h-k,
19
Universitas Sumatera Utara
h-s, h-b, h- l, h-y, h-w, s-h, m-r, m-l, l-m, dan b-r dan rangkaian vokal i-a, i-u, i-o, u-a, u-e,
u-u, a-i, a-u, a-e, a-a, o-a.
Fitri (2001) juga telah menganalisis fonologi bahasa Minang melalui teori Fonologi
Generatif dalam tulisannya yang berjudul “Fonologi Bahasa Minangkabau Di Sawah
Lunto Sijunjung” . Fitri mengatakan jumlah bunyi konsonan bahasa Minangkabau di
Sawah Lunto Sijunjung adalah sebanyak 17 buah segmen konsonan asal yaitu /p/, /b/, /t/,
/d/, /c/, /j/ ,/k/, /g/, /s/, /m/, /n/, /ñ/, /ŋ/, /r/, /l/, /w/, dan /y/ , dan secara fonemis ditemukan
lima buah segmen asal vokal yaitu /a, i, u, e, dan o/. Namun secara fonetis empat buah
segmen asal mengalami pengenduran yaitu /I, U, ε, dan / . Dengan demikian terdapat 9
segmen vokal. Dalam makalah ini ditemukan 19 segmen konsonan asal dan 9 segmen
vokal asal bahasa Minangkabau. Hasil penelitian Fitri mengatakan bunyi glotal frikatif tak
bersuara ([h]) dan bunyi glotal hambat tak bersuara ([ʔ]) tidak digunakan oleh masyarakat
Minangkabau di Sawah Lunto Sijunjung.
Ekayani (2004) dalam tulisannya yang berjudul “Sistem Fonologi Bahasa Kodi di
Pulau Sumba ”, telah mengkaji Fonologi Generatif. Penelitian ini berfokus pada sebuah
bahasa di Pulau Sumba, yakni bahasa Kodi (BK). Dua masalah yang melandasi penelitian
ini adalah (1) bagaimanakah inventarisasi fonem BK di Pulau Sumba dan (2)
bagaimanakah fitur distingtif inventarisasi fonem BK di Pulau Sumba? Analisis dilakukan
terhadap data 350 leksikon BK, yang dijaring melalui wawancara tidak terstruktur kepada
lima informan penutur asli BK. Dengan berpijak pada teori fonologi generatif, penelitian
kualitatif ini menghasilkan dua temuan.Temuan pertama adalah BK memiliki lima fonem
vokal /i, e, a, o, u/, dengan dua buah alofon di dalam, yaitu fonem /e/ dengan alofon [e]
dan [ɛ] serta fonem /o/dengan alofon [o] dan [ ]. BK memiliki 20 fonem konsonan, yakni
konsonan /p, t, c, k, ʔ, , ɗ, ɠ, m, n, ŋ, mb, nd, nj, ŋg, l, h, r, w, y/. Persukuan BK terdiri
atas minimum V (vokal) dan maksimum KV (konsonan+vokal), mengingat bahasa ini
merupakan bahasa vokalis terbuka. Jumlah suku terbanyak dalam leksikon adalah empat
suku, dengan pola KV.KV.KV.KV. Temuan kedua adalah bahwa atas dasar fitur distingtif,
fonem BK terbagi atas lima kelompok (atas dasar ciri golongan utama, ciri tempat
artikulasi, ciri cara artikulasi, ciri batang lidah, dan ciri tambahan) dan berjumlah 18 ciri
pembeda.
Shaumiwaty (2012) dalam penelitian yang berjudul “Fonologi Bahasa Gayo: Suatu
Analisis Fonologi Generatif”. Hasil penelitian ini menemukan 6 segmen vokal fonemis
/i,u,e,ǝ,o,a/ dan memiliki realisasi fonetik [i,u,e,ǝ,o,a,I,ʊ,Ԑ,Ɔ]. Konsonan Bahasa Gayo
ditemukan sebanyak 18 buah, yaitu /p,b,t,d,c,j,k,g,s,h,m,n, ɲ,ŋ,l,r,y,w/. Memiliki distribusi
20
Universitas Sumatera Utara
yang lengkap, yaitu dapat mendeskripsikan awal, tengah dan akhir kata. Segmen konsonan
/c,j,ɲ,y,w/ hanya dapat menduduki posisi awal dan tengah kata. Diperlukan 15 ciri-ciri
pembeda, segmen yang digambarkan sebanyak 24 buah, sehingga penggambaran
keseluruh segmen tersebut memakai 360 fitur. Ditemukan 136 kaidah redundansi yang
bisa digabung-gabungkan, sehingga menjadi 38 kaidah. Pola morfem pangkal asal
ditemukan dalam 24 macam, yaitu pola satu sukukata 6 macam, dan 4 macam, dua
sukukata 3 macam. Ditemukan 11 kaidah fonologi ( KF ) yang berguna untuk menjelaskan
proses fonologi yang terjadi. KF penambahan luncuran semivokal, KF penggantian
konsonan [k], KF penggantian konsonan [b], KF pelesapan konsonan [h], KF pelesapan
vokal [ǝ], KF penaksuaraan konsonan hambat, KF pengenduran vokal dan penempatan
tekanan dalam Bahasa Gayo.
Sartini (2012) juga telah meneliti Fonologi Generatif dalam tulisannya yang berjudul
“Bahasa Pergaulan Remaja: Analisis Fonologi Generatif”. Dalam penelitian ini
ditemukan analisis fonologi generatif, pada tipe-tipe kata yang terdapat dalam bahasa
pergaulan remaja cenderung singkat atau pendek. Pemendekan ini terjadi dalam dua
proses yaitu kontraksi dan akronim. Kecenderungan lain adalah modifikasi bentuk,
menggunakan verba dengan akhiran –in. Sedangkan ciri-ciri fonologis yang terdapat
dalam bahasa pergaulan remaja adalah cenderung menggunakan vokal /e, o dan ә/;
melesapkan bunyi, pengenduran , penguatan, dan perpaduan vokal.
Kajian fonologi yang telah dilakukan oleh penelitian terdahulu dapat memperkaya
khazanah penerapan teori Fonologi Generatif, khususnya pada bahasa-bahasa Nusantara.
Hal itu menjadi penting karena teori Fonologi Generatif tersebut lahir dari kajian pada
bahasa Inggris saja. Kajian tersebut akan dapat merumuskan, antara lain, bunyi-bunyi
yang khas pada bahasa tertentu; jumlah fitur yang diperlukan dalam penggambaran bunyibunyi bahasa Nusantara; dan kaidah-kaidah yang diperlukan dalam realisasi bentuk asal
dan turunannya. Demikian juga dengan kajian fonologi terhadap BAM sehingga dapat
ditemukan bagaimana kedudukan sistem fonologi BAM dengan menggunakan teori
Fonologi Generatif.
21
Universitas Sumatera Utara
KONSEP, LANDASARN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Konsep adalah suatu rangkaian kegiatan yang terencana dan sistematis untuk
menemukan jawaban suatu permasalahan atau konsep adalah gambaran mental diri objek,
proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk
memahami hal-hal lain (Alwi, 2003:588).
2.1.1 Fonem dan Fitur Distingtif, Segmen Vokal dan Konsonan.
Dalam kajian Fonologi Struktural, fonem dianggap sebagai unsur bahasa yang terkecil
dan dapat membedakan arti atau makna (Gleason,1955: 9), sejalan dengan penelitian
fonologi yang merupakan suatu penelitian yang mendasar untuk mengetahui struktur
bunyi suatu bahasa. Berdasarkan definisi tersebut maka setiap bunyi bahasa, baik
segmental maupun suprasegmental apabila terbukti dapat membedakan arti dapat disebut
fonem. Setiap bunyi bahasa memiliki peluang yang sama untuk menjadi fonem. Namun,
tidak semua bunyi bahasa pasti akan menjadi fonem. Bunyi itu harus diuji dengan
beberapa pengujian penemuan fonem. Nama fonem, ciri-ciri fonem, dan watak fonem
berasal dari bunyi bahasa. Adakalanya jumlah fonem sama dengan jumlah bunyi bahasa,
tetapi sangat jarang terjadi.
Lain halnya dalam kajian Fonologi Generatif yang menganggap fitur distingtiflah
sebagai satuan terkecil yang membedakan makna. Fitur Distingtif merupakan suatu bentuk
perkembangan baru dari fonologi yang bertujuan menganalisis bunyi bahasa sampai ke
tahap ciri tertentu yang membedakan sebuah fonem dari yang lain. Tujuan utama teori ini
adalah untuk menemukan ciri-ciri minimal yang dapat digunakan untuk membedakan
bunyi-bunyi bahasa yang signifikan, dengan demikian dapat membedakan sebuah bahasa
dari yang lain. Teori ini diperkenalkan oleh Roman Jakobson seorang pendiri dan tokoh
utama Aliran Praha. Dalam pencariannya Jakobson menggunakan partikel-partikel
subfonemik yang tidak dapat diuraikan lagi menjadi bagian yang lebih kecil.
Berawal dari pendapat Bloomfield yang kurang memuaskan mengakibatkan muncul
beberapa paham lain mengenai fonem dan fitur distingtif. Pertama, pada kenyataanya
fonem-fonem itu dapat diuraikan menjadi beberapa ciri yang membedakannya satu dengan
yang lainnya. Kedua, pada saat teori itu dikemukakan oleh Bloomfield data fonetis ini
belum dapat digunakan sebagaimana mestinya karena pada saat itu fonologi masih
6
Universitas Sumatera Utara
mengalami empirisasi. Ketiga, karena ketiadaan data fisik mengenai bunyi-bunyi bahasa
maka penjelasan tentang bunyi-bunyi bahasa lebih didasarkan pada psikologis ( Jakobson,
R : 1971 ).
Bunyi ujaran terbentuk secara alamiah oleh dan di dalam alat-alat pengucapan. Bunyi
itu berkelompok dan membentuk dengan apa yang disebut kelas-kelas bunyi bahasa
alamiah ( nasal, vokal, hambat, frikatif, dan likuid) . Setiap kelompok itu pun akhirnya
memiliki karakter bunyi yang berbeda antara satu dengan yang lain. Dengan
memperhatikan letak dan pengucapan bunyi serta ditunjang oleh sifat dan kualitas bunyi
ujar itu, para ahli bahasa umumnya berpendapat bahwa ada seperangkat ciri yang
menandai perbedaan bunyi-bunyi itu, fitur distingtif inilah yang nantinya disebut sebagai
“basic units of phonology” atau unsur terkecil dalam fonologi. Namun, walaupun dalam
tatanan Fonologi Generatif menganggap fitur distingtiflah satuan unit terkecil, istilah
fonem masih diperbincangkan dan digunakan sebagai bagian di atas fitur distingtif yang
bisa disegmenkan sehingga setiap fonem mengandung ciri pembeda dan ciri fitur
distingtifnya tersendiri. Sehingga fonem dapat diselevelkan dengan sebutan segmen.
Berdasarkan ada tidaknya rintangan terhadap arus udara dalam saluran suara, bunyi
bahasa dibedakan menjadi dua kelompok yaitu vokal dan konsonan. Vokal adalah bunyi
bahasa yang dihasilkan tanpa penutupan atau penyempitan di atas glotis. Dengan kata lain,
vokal adalah bunyi bahasa yang arus udaranya tidak mengalami rintangan, sedangkan
konsonan adalah bunyi bahasa yang dihasilkan dengan berbagai hambatan atau
penyempitan aliran udara (Alwi dkk, 2003: 49 - 52).
Sistem segmen vokal dan konsonan diklasifikasikan dalam dua bunyi yaitu bunyi
segmental dan bunyi suprasegmental. Arus ujaran merupakan suatu runtutan bunyi yang
bersambung-sambung terus-menerus dan diselang-seling dengan jeda singkat atau jeda
agak singkat disertai dengan keras lembut bunyi, tinggi rendah bunyi, panjang pendek
bunyi, dan dalam arus ujaran itu ada bunyi yang dapat disegmentasikan sehingga disebut
bunyi segmental, tetapi yang berkenaan dengan keras lembut, panjang pendek, dan jeda
bunyi tidak dapat disegmentasikan yang disebut bunyi suprasegmental atau prosodi
(Chaer, 2007: 120). Jadi pada tingkat fonemik ciri-ciri prosodi itu seperti tekanan, durasi,
dan nada bersifat fungsional, atau dapat membedakan makna. Misalnya dalam BAM
/ba’gas/ (dengan tekanan pada suku kata pertama) bermakna ‘rumah tempat tinggal’ ,
sedangkan kata /bagas’/ (dengan tekanan pada suku kata kedua) yang bermakna ‘dalam’.
Dengan berbedanya letak tekanan pada kedua kata tersebut yang telah menunjukkan unsur
segmentalnya menyebabkan makna kedua kata itu berbeda.
7
Universitas Sumatera Utara
Untuk menentukan suatu bunyi dalam suatu bahasa merupakan salah satu segmen
vokal atau konsonan maka hal itu bisa diuji melalui pasangan minimalnya. Pasangan
minimal bertujuan untuk menciptakan kekontrasan yang pada gilirannya menunjukkan
segmen yang berbeda. Dua segmen yang saling mengantikan dalam kerangka yang sama
jika menghasilkan kata atau morfem yang berbeda dalam bahasa itu disebut kontras. Hal
ini dapat kita lihat pada BAM.
Misalnya:
1. /bolu/
:
/tolu/
→ /b/ dan /t/ pada awal kata
2. /hayu/
:
/halu/
→ /y/ dan /l/ pada tengah kata
3. /sale/
:
/sali/
→ /e/ dan /i/ pada akhir kata
Setiap segmen memiliki hubungan yang sistematis dalam lingkungan atau tempat
segmen itu direalisasikan. Perangkat lingkungan tempat perealisasian segmen dinamakan
distribusi (periksa Carr, 1994: 15) . Melalui distribusi ini dapat dilihat apakah sebuah
segmen dapat diekspresikan pada semua lingkungan atau hanya pada lingkungan tertentu
saja. Jika sebuah segmen mampu menempati diseluruh lingkungan, segmen itu
berdistribusi lengkap. Sebaliknya, bila segmen itu hanya menempati lingkungan tertentu
berarti segmen itu berdistribusi tidak lengkap.
2.1.2 Bahasa Angkola-Mandailing
Bahasa merupakan alat komunikasi yang dipakai untuk mengungkapkan pikiran dan
perasaan. Bahasa tidak dapat dipisahkan dari manusia, karena bahasa selalu mengikuti
setiap aktifitasnya. Samsuri (1987:3) mengatakan bahwa bahasa erat hubungannya dengan
pemakai bahasa, karena bahasa merupakan alat yang paling vital bagi kehidupan manusia.
Lebih lanjut Samsuri mengatakan bahwa fungsi bahasa adalah sebagai alat yang dipakai
untuk membentuk pikiran, perasaan, keinginan, dan perbuatan. Bahasa juga merupakan
alat untuk mempengaruhi manusia. Dari uraian di atas tampaklah bahwa bahasa adalah
dasar utama yang paling berakar pada manusia.
Masyarakat Indonesia pada umumya masyarakat yang dwibahasawan, sekurangkurangnya mengenal dua bahasa. Pertama bahasa daerah , sedangkan yang kedua adalah
bahasa Indonesia (Samsuri, 1987:56). Keanekaragaman bahasa daerah mencerminkan
kekayaan budaya nasional, maka sangat penting dijaga dan dilestarikan di tengah
masyarakat penuturnya.
8
Universitas Sumatera Utara
Bahasa daerah yang dipakai di wilayah nusantara menurut politik bahasa nasional
berkedudukan sebagai salah satu unsur kebudayaan nasional dan dilindungi oleh negara.
Salah satu di antara bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia adalah BAM. Hingga saat
ini BAM tetap dapat bertahan dari derasnya pengaruh bahasa lain terutama bahasa
Indonesia. Keberadaan BAM yang tetap bertahan tidak lepas dari pengaruh sikap dan
perilaku penuturnya.
BAM termasuk rumpun bahasa Melayu, tetapi bila dibedakan antara protomalaya
(Melayu Kono) dari Dutoromalaya (Melayu Muda, Melayu Pesisir) maka BAM adalah
cabang dari Protomalaya sebagaimana bahasa Jawa dan bahasa Toraja adalah cabang dari
bahasa Melayu Kuno (Anicetus, 2002: vii). BAM merupakan bahasa dari provinsi
Sumatera Utara yang masih satu keluarga dengan bahasa Batak Toba, bahasa Pakpak,
bahasa Simalungun, dan bahasa-bahasa di Sumatera Utara lainnya.
BAM digunakan masyarakat penutur bahasanya untuk berkomunikasi dan berinteraki
dengan sesamanya khususnya di daerah Kecamatan Sipirok. BAM juga merupakan salah
satu dari sekian banyaknya bahasa-bahasa daerah di nusantara yang secara gramatikal
mempunyai khas, sistem tata bahasa, dan arti kata tersendiri.
Ada perdebatan antara bahasa Mandailing dan Angkola yang menyatakan kedua
bahasa ini sama atau tidak. Bahasa Mandailing dan Angkola sebenarnya tidak terpisahkan
karena kedekatan kultural dan geografis. Berdasarkan hasil pemetaan bahasa yang
dilakukan oleh Tim Pemetaan Bahasa, Balai Bahasa Medan, Pusat Bahasa, tahun 2007
menunjukkan bahwa antara bahasa Angkola dan Mandailing tidak mempunyai perbedaan
yang signifikan. Penggunaan nama bahasa Angkola dan bahasa Mandailing tidak bisa
diterima sebab masing-masing masyarakat pengguna bahasa tersebut masih dapat
melakukan komunikasi dengan baik, walaupun pada beberapa makna tertentu mereka
saling tidak memahami. Setelah dilakukan penghitungan dialektometri terhadap kedua
bahasa tersebut, maka dapat dibuktikan bahwa penggunaan nama atau istilah bahasa untuk
bahasa Angkola dan Mandailing tidak bisa digunakan sebab persentase perbedaannya
hanya 48,75%. Ini berarti istilah yang cocok digunakan untuk bahasa bahasa tersebut
adalah Angkola Mandailing karena perbedaannya hanya pada subdialek. Jadi, bahasa
Angkola dan Mandailing merupakan satu bahasa yang sama.
Sibarani (1997) menjelaskan, pembagian linguistik bahasa Batak di Sumatera Utara
terdiri atas bahasa Batak Toba, bahasa Batak Karo, bahasa Batak Simalungun, bahasa
Batak Pakpak Dairi, dan bahasa Batak Angkola-Mandailing. Artinya Sibarani
menganggap bahasa Angkola dan Mandailing merupakan bahasa yang sama. Begitu pula
9
Universitas Sumatera Utara
dengan Kozok (1999) mengatakan bahasa Angkola dan Mandailing adalah dua bahasa
yang mempunyai sedemikian banyak persamaan sehingga pada umumnya disebut bahasa
Angkola-Mandailing saja. Berdasarkan hasil wawancara singkat peneliti terhadap
beberapa masyarakat di Kecamatan Sipirok, beberapa dari mereka mengaku bahasa yang
ia gunakan adalah bahasa Angkola, ada yang mengaku bahasa Mandailing, dan ada pula
yang mengaku bahasa Angkola-Mandailing.
Untuk itu berdasarkan beberapa fakta-fakta dan sumber referensi di atas, peneliti
memilih bahasa Angkola-Mandailinglah (BAM) yang menjadi nama dari objek penelitian
ini.
2.2 Landasan Teori
Menurut Kridalaksana (2002) dalam kamus linguistik, fonologi adalah bidang dalam
linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya. Muslich (2008)
mengatakan fonologi adalah kajian mendalam tetang bunyi-bunyi ujaran. Sedangkan
Schane (1992) secara singkat mengatakan fonologi adalah kajian linguistik yang
menelahan struktur bunyi.
Fonologi mempunyai dua cabang kajian. Pertama, fonetik yaitu cabang kajian yang
mengkaji bagaimana bunyi-bunyi fonem sebuah bahasa direalisasikan atau dilafalkan.
Fonetik juga mempelajari cara kerja organ tubuh manusia terutama yang berhubungan
dengan penggunaan bahasa. Chaer (2007) membagi urutan proses terjadinya bunyi bahasa
itu, menjadi tiga jenis fonetik, yaitu: fonetik artikulatoris atau fonetik organis atau fonetik
fisiologi, mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam
menghasilkan bunyi bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan, fonetik
akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam (bunyi-
bunyi itu diselidiki frekuensi getaranya, aplitudonya,dan intensitasnya), dan fonetik
auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga
kita ( Dew dan Jensen, 1997: 3 dalam Muclich, 2008: 8-10). Dari ketiga jenis fonetik
tersebut yang paling berurusan dengan dunia lingusitik adalah fonetik artikulatoris, sebab
fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu
dihasilkan atau diucapkan manusia. Sedangkan fonetik akustik lebih berkenaan dengan
bidang fisika, dan fonetik auditoris berkenaan dengan bidang kedokteran.
Kedua, fonemik yaitu
kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi
membedakan makna. Chaer (2007) mengatakan bahwa fonemik mengkaji bunyi bahasa
yang dapat atau berfungsi membedakan makna kata. Misalnya bunyi [labu] dan [rabu]
10
Universitas Sumatera Utara
jika dibandingkan perbedaannya hanya pada bunyi yang pertama, yaitu bunyi [l] dan
bunyi [r] . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua bunyi tersebut adalah fonem
yang berbeda dalam bahasa Indonesia, yaitu fonem [l] dan [r].
Sebuah fonem atau gabungan dari beberapa fonem yang dihembuskan dalam satu
ketukan sehingga membentuk sebuah kata disebut suku kata. Untuk memecahkan
permasalan suku kata para linguis menggunakan teori sonoritas dan teori prominans. Teori
sonoritas menjelaskan bahwa suatu rangkaian bunyi bahasa yang diucapkan oleh penutur
selalu terdapat puncak-puncak kenyaringan (sonoritas) di antara bunyi-bunyi yang
diucapkan. Puncak kenyaringan ini ditandai dengan denyutan nada yang menyebabkan
paru-paru mendorong udara keluar. Misalnya dalam BAM, kata /sega/ terdiri atas dua
puncak kenyaringan yaitu /e/ pada /se/ dan /a/ pada /ga/.
Teori
prominans
menitikberatkan
pada
gabungan
sonoritas
dan
ciri-ciri
suprasegmental, terutama jeda. Ketika rangkaian bunyi diucapkan selain terdengan satuan
kenyarngan bunyi, juga terasa adanya jeda di antaranya, yaitu kesenyapan sebelum dan
sesudah puncak kenyaringan. Atas anjuran teori ini , batas di antara bunyi-bunyi puncak
diberi tanda plus (+). Jadi kata /sega/ ditranskripsikan menjadi /se+ga/. Ini berarti kata
tersebut terdiri dari dua suku kata.
Berdasarkan teori sonoritas dan teori prominans diketahui bahwa sebagian besar
struktur suka kata terdiri dari satu bunyi sonor yaitu vokal, baik didahului konsonan atau
tidk didahului konsonan. Penyataan tersebut dirumuskan sebagai berikut:
(K) V (K)
Rumusan diatas menjelaskan bahwa vokal merupakan unsur yang harus dimiliki
dalam sebuah suku kata, sedangkan konsonan adalah unsur manasuka. Bunyi puncak
sonoritas suku kata disebut nuklus, konsonan yang mendahului vokal disebut onset, dan
konsonan yang mengikuti vokal disebut koda ( Muslich, 2008: 73-75 )
Fonologi Generatif merupakan teori yang mutahir untuk saat ini dan teori ini juga
akan diaplikasikan pada penelitian ini. Teori Fonologi Generatif muncul dan berkembang
seiring menurunnya pamor teori Fonologi Deskriptif dan Fonologis Struktural. Munculnya
teori ini sebagai konsekuensi logis perkembangan ilmu linguistik. Tata bahasa generatif
pertama kali dikenalkan oleh Noam Chomsky dalam bukunya yang berjudul Syntactic
Structure (1957). Menurut model tata bahasa generatif ini, proses pembentukan kalimat
harus melewati tiga rumus, yaitu rumus struktur frase, rumus transformasi dan rumus
11
Universitas Sumatera Utara
morfofonemik. Apabila ketiga rumus tersebut diterapkan, maka akan didapatkan hasil
yang berupa serangkaian fonem dalam bahasa yang bersangkutan dan digunakan dalam
struktur fonetik berupa ujaran yang didengar. Chomsky pada mulanya hanya berbicara
generatif pada level kalimat tetapi kemudian diterapkan dalam tataran lain seperti
morfologi dan fonologi. Namun teori Fonologi Generatif yang akan digunakan pada
penelitian ini yaitu teori yang dikemukakan oleh Schane (1992).
Salah satu yang membedakan Fonologi Struktural dengan Fonologi Generatif adalah
Fonologi Struktural menganggap satuan unit terkecil ialah fonem sedangan Fonologi
Generatif mengganggap fonem masih dapat diperkecil lagi sehinga satuan yang paling
terkecil ialah fitur distingtif. Untuk memahani fitur distingtif, penelitian ini tidak akan
terlepas dari segmen sabagai satuan yang terbentuk dari peragkat-perangkat sifat sebagai
satuan tak terbagi. Hubungan yang terdapat secara eksplilis dari setiap segmen adalah
yang dikenal sebagai fitur dalam tatanan Fonologi Generatif.
Konsep signifikansi dalam fonologi menyangkut perbedaan segmen pada level
fonetis, apakah bersifat fonemis atau alofonis. Segmen yang berbeda secara fonemis
digolongkan sebagai segmen asal. Untuk mengidentifikasi segmen asal akan diadopsikan
mekanisme Pike (1961: 73), yang menyebutkan bahwa segmen cendrung dimodifiksi oleh
segmen lain dalam lingkungannya. Dua prosedur dari mekanisme itu (yang lazim itu
lazim disebut pasangan minimal) yaitu 1) segmen yang secara fonetis mirip harus
digolongkan kedalam kelas yang berbeda apabila terdapat dalam lingkungan yang mirip
dan 2) segmen yang secara fonetis mirip harus digolongkan kedalam kelas yang berbeda
apabila terdapat dalam lingkungan yang sama.
Segmen fonologi memiliki dua tataran representasi, yaitu representasi fonemis dan
representasi fonetik. Kedua representasi ini selain berbeda dalam penggunaan notasi, juga
berbeda dalam tingkat keabstrakannya. Representasi fonemis dan dianggap lebih abstrak
dibandingkan representasi fonetis sebab rincian fonetisnya lebih terbatas. Bagaimana
realisasi dari kedua representasi ini ditunjukkan dalam bagan berikut.
representasi fonemis (/ /)
representasi fonetis ([ ])
Representasi di atas pada dasarnya menggambarkan proses penurunan sebuah segmen.
Schane (1992: 43) mengatakan apabila terjadi proses fonologis biasanya:
12
Universitas Sumatera Utara
1. Ada satu atau lebih segmen yang dipengruhi.
2. Segmen yang dipengaruhi itu akan mengalami perubahan.
3. Perubahan itu pada umumnya terjadi pada lingkungan tertentu.
Jika proses yang terjadi berlangsung secara sistematis tentunya dapat dikaidahkan.
Melalui kaidah fonologis, semua varian segmen dalam lingkungan yang berbeda dapat
diderivasikan dari segmen asalnya. Deskripsi proses derivasi dari sebuah segmen bisa
dipetakan dalam empat kaidah fonologis, (Schane 1993: 65) yaitu.
1. Kaidah perubahan ciri
Tujuan kaidah perubahan ciri yaitu ingin mengetahui tiga hal, 1) segmen mana
yang berubah, 2) bagaimana segmen itu berubah, dan 3) dalam kondisi apa
segmen itu berubah.
2. Kaidah pelepasan dan penyisipan
Pelepasan dan penyisipan dinyatakan dengan Ø, simbol nol. Segmen yang
mengalami pelepasan muncul di sebelah kiri tanda panah, dan Ø di sebelah kanan.
3. Kaidah permutasian dan perpaduan
4. Kaidah variabel
Keempat kaidah di atas tidak hanya diterapkan dalam sebuah segmen dalam suatu
morfem, tetapi juga pada hubungan antarmorfem atau di antara morfem-morfem yang
berdekatan. Untuk proses fonologis yang melibatkan sebuah segmen, terlihat pada bagan
berikut.
/x/
-----> [y] / z______z
Keterangan:
1. Segmen yang dipengaruhi muncul di sebelah kiri tanda panah ( /x/ ).
2. Perubahan itu muncul disebelah kanan ( [y] )
3. Lingkungan itu ditemukan sesudah garis miring ( z_____z)
4. ‘z_____z’ artinya perubahan terjadi apabila terdapat pada sesudah atau
sebelum konsonan atau vokal tertentu.
Selanjutnya Schane (1992) juga menyebutkan, tata bahasa generatif berhubungan
dengan proses fonologis dimana setiap bahasa mengalami proses fonologis yang tidak
hanya disebabkan adanya interaksi dengan bunyi lain tetapi juga dipengaruhi oleh aspekaspek morfologis ataupun sintaksis. Proses fonologis biasanya terjadi pada tingkat kata
maupun frasa. Proses fonologis yang terjadi pada tingkat kata sebagai satu unit morfem
13
Universitas Sumatera Utara
bebas maupun gabungan antara morfem terikat dengan morfem lain dan salah satu dari
bunyi morfem tersebut mengalami perubahan karena pengaruh bunyi dari morfem lain.
Proses fonologis lain terjadi pada tingkat frasa, yaitu pada saat perubahan bunyi terjadi
karena pengaruh faktor sintaksis. Ketika morfem bergabung mengalami perubahan,
perubahan itu juga terjadi dalam lingkungannya yang bukan berupa pertemuan kedua
morfem, misalnya posisi awal kata dan akhir kata atau hubungan antara segmen dengan
vokal bertekanan yang mana parubahan itu disebabkan dengan proses fonologis.
Perubahan bunyi-bunyi morfem biasanya berhubungan erat dengan proses
morfofonemik, yaitu perubahan bentuk fonemis sebuah morfem yang disebabkan oleh
segmen yang ada di sekitarnya atau dipengaruhi oleh syarat-syarat sintaksis atau syaratsyarat lainnya. Dalam hal ini fitur distingtif yang disebut “ultimate disctinctive entities of
language” yaitu partikel-partikel submorfemik yang tidak bisa untuk diuraikan lagi
menjadi bagian yang lebih kecil, secara garis besar dikelompokkan menjadi enam ciri
utama yaitu, 1) ciri golongan utama, 2) ciri berdasarkan cara artikulasi, 3) ciri berdasarkan
tempat artikulasi, 4) ciri batang lidah, 5) ciri tambahan, dan 6) ciri prosidi. Keenam ciri
tersebut memiliki 18 ciri pembeda pula. Namun dalam BAM hanya terdapat 5 ciri
pembeda dan melalui keenam ciri pembeda tersebut dapat dilihihat BAM memiliki 16 fitur
distingtif. Untuk pembuktian ada tidaknya sifat ciri-ciri pembeda itu digunakan
sistembiner (plus dan minus) (Schane, 1992: 27-43). Tanda plus (+) digunakan untuk
menyatakan bahwa sifat ciri pembeda itu ada, sebaliknya tan minus (-) digunakan untuk
menyatakan bahwa sifat ciri pembeda itu tidak ada. Berikut penjabaran mengenai kelima
ciri pembeda tersebut dalam BAM ( berdasarkan Schane, 1992: 28-35).
1. Ciri golongan utama
Persamaan dan perbedaan antara vokal dan konsonan dapat dilihat melalui ciri
ini dengan sifat yang berkaitan dengan silabitas, sonoritas, dan jenis penyempitan.
Ketiga ciri tersebut silabitas, sonoran, dan konsonantal memengaruhi sifat suatu
fitur. Ciri silabis menggambarkan peran yang dimainkan oleh suatu segmen dalam
struktur silabelnya. Pada umumnya, vokal [+sil] dan konsonan [-sil]. Ciri sonoran
merujuk ke kulaitas resonan suatu bunyi vokal selalu [+son], seperti halnya bunyi
nasal, likuid, dan semivokal. Bunyi obstruen-konsonan hambat, frikatif, afrikatif,
dan luncuran laringal [-son]. Ciri konsonantal merujuk ke hambatan yang
menyempit dalam rongga mulut, baik dalam hambatan total maupun geseran.
Bunyi hambat frikatif, afrikatif, nasal, dan likuid adalah [+kons], sedangkan vokal
14
Universitas Sumatera Utara
dan semivokal adalah [-kons]. Bunyi luncuran laringal juga digolongkan sebagai
[-kons] karena bunyi ini tidak memiliki penyempit dalam rongga mulut.
a. Konsonantal [kons]
Bunyi konsonantal ialah bunyi yang dihasilkan dengan cara berlakunya
penyekatan atau penyempitan pada terusan ujaran. Bunyi-bunyi tidak
konsonantal dihasilkan tanpa sembarang sekatan. Yang termasuk ke dalam
[+kons] adalah bunyi konsonan hambat [p, t, c, k, b, d, j, g, ?] , konsonan
frikatif [s, h], konsonan nasal [m, n, ŋ, ň], konsonan likuid [l, r]. Yang
termasuk ke dalam [-kons] adalah bunyi-bunyi vokal [a, i, u, ɛ, o, I, U] dan
semivokal [w,y].
b. Silabis [sil]
Silabis adalah bunyi yang menjadi puncak suku kata, sehingga apabila
bunyi tidak silabis tidak boleh dipuncakkan. Yang termasuk ke dalam [+sil]
adalah bunyi vokal [a, i, u, ɛ, o, I, U,] dan bunyi semivokal [y, w]. Yang
termasuk ke dalam [-sil] adalah konsonan hambat [p, t, c, k, ʔ, b, d, j, g] ,
konsonan frikatif [h, s], konsonan nasal [m, n, ŋ, ň], konsonan likuid [l, r],
dan semivokal [w, y].
c. Sonoran [son]
Bunyi sonoran dihasilkan dengan terusan ujaran terbuka luas dan
dengan itu tekanan udara di bagian dalam dan luar mulut menjadi seimbang.
Yang termasuk ke dalam [+son] adalah bunyi vokal [a, i, u, ɛ, o, I, U, ],
semivokal [w, y], likuid [l,r], dan nasal [m, n, ň, ŋ]. Yang termasuk ke dalam
[-son] adalah bunyi konsonan hambat [p, t, c, k, ʔ, b, d, j, g] , konsonan
frikatif [h, s]
2. Ciri daerah artikulasi
Secara sederhana, fitur distingtif yang didasarkan pada tempat artikulasi bunyi
ujar dapat dikelompokkan menjadi koronal dan anteror.
a. Koronal [kor]
15
Universitas Sumatera Utara
Bunyi koronal dihasilkan dengan cara menaikkan daun lidah ke
bahagian antara gigi (dental) dan lelangit keras (palatal). Yang termasuk ke
dalam [+kor] adalah bunyi hambat [t, d, j, c], konsonan frikatif alveolar [s],
konsonan likuid [l, r], konsonan nasal dental [n], dan konsonan nasal palatal
[ň]. Yang termasuk ke dalam [-kor] adalah bunyi vokal [a, i, u, ɛ, o, I, U, ],
semivokal [y,w] konsonan hambat [b, g, k, p, ?], konsonan frikatif glotal [h],
konsonan nasal bilabial [m], dan konsonan nasal velar [ŋ].
b. Anterior [ant]
Bunyi ujar dengan ciri ini dihasilkan dengan pusat penyempitan
sebagai sumber bunyi berada di sebelah depan pangkal gusi. Yang termasuk
ke dalam [+ant] adalah bunyi vokal, konsonan hambat bilabial [p, b],
konsonan hambat dental [d, t] , konsonan frikatif alveolar [s], konsonan nasal
bilabial [m], konsonan nasal dental [n], dan konsonan likuid [l, r]. Yang
termasuk ke dalam [-ant] adalah bunyi vokal [a, i, u, ɛ, o, I, U, ], semivokal
[w, y] konsonan hambat palatal [j, c], konsonan hambat velar [k,g], konsonan
hambat glotal [?] frikatif glotal [h].
3. Ciri berdasarkan cara artikulasi
Cara-cara pengucapan bunyi ujar, seperti dihambat (stops/plosives), dialirkan
(liquids), digeserkan (fricatives), dan seterusnya juga dengan menentukan ciri
distingtif. Pada garis besarnya, ciri-ciri itu dapat dibagi menjadi kontinuan,
pelepasan tidak segera, striden, nasal, dan lateral.
a. Kontituan [kont]
Kelompok bunyi ini dihasilkan dengan mengalirkan udara ke rongga
mulut dengan bebas. Yang termasuk ke dalam [+kont] adalah bunyi frikatif [s,
h] dan konsonan getar alveolar [r]. Yang termasuk ke dalam [-kont] adalah
bunyi vokal [a, i, u, ɛ, o, I, U, ], semivokal [w, y], konsonan hambat [p, t, c,
k, b, d, j, g, ?], konsonan nasal [m, n, ŋ, ň], dan lateral [l].
b. Pelepasan tidak segera [pts]
Pada dasarnya ada dua cara bagaimana bunyi yang dihambat di dalam
rongga mulut itu dilepaskan , yaitu 1) diletupkan segera setelah penutupan
16
Universitas Sumatera Utara
alat-alat ucap yakni untuk bunyi-bunyi hambat dan 2) secara perlahan-lahan
sehingga menghasilkan bunyi. Yang termasuk ke dalam [+pts] adalah bunyi
hambat palatal [c, j]. Yang termasuk ke dalam [-pts] adalah konsonan hambat
selain palatal [p, b, t, d, k, g, ?], konsonan frikatif [s, h], konsonan nasal [m, n,
ŋ, ň], konsonan likuid [l, r], vokal [a, i, u, ɛ, o, I, U, ], dan semivokal [w, y].
c. Striden [strid]
Striden merupakan kelompok segmen yang dihambat dengan
pelepasan dalam intensitas yang tinggi. Yang termasuk ke dalam [+strid]
merupakan bunyi konsonan frikatif glotal [h]. Yang termasuk ke dalam [-strid]
merupakan bunyi konsonan hambat [p, b, d, t, c, k, g, j, ?], konsonan nasal [m,
n, ŋ, ň], konsonan alveolar [s, l, r], vokal [a, i, u, ɛ, o, I, U, ], dan semivokal
[w, y].
d. Nasal [nas]
Bunyi ini ditandai dengan ditariknya langit-langit lunak ke bawah
dengan menyentuh bagian belakang lidah sehingga aliran darah berhembus
melewati hidung. Yang termasuk ke dalam [+nas] yaitu bunyi konsonan nasal
[m, n, ň, ŋ]. Yang termasuk ke dalam [-nas] yaitu bunyi konsonan hambat [p,
b, d, t, c, k, g, j, ?], konsonan frikatif glotal [h], konsonan alveolar [s, l, r],
vokal [a, i, u, ɛ, o, I, U, ], dan semivokal [w, y].
e. Lateral [lat]
Bunyi lateral dihasilkan dengan cara udara keluar melalui sisi lidah.
Yang termasuk ke dalam [+lat] adalah bunyi [l]. Yang termasuk ke dalam [lat] adalah bunyi vokal dan konsonan lainnya selain [l].
4. Ciri batang lidah
Fitur distingtif yang didasari pada ciri batang lidah dapat dikelompokkan
menjadi empat ciri yaitu tinggi, rendah, belakang, dan bulat.
a. Tinggi [ting]
Bunyi tinggi dihasilkan dengan cara mengangkat badan lidah ke arah
palatal. Yang termasuk ke dalam [+ting] adalah vokal tinggi [i, I, u, U],
17
Universitas Sumatera Utara
semivokal [w, y], hambat [c, j, k, g], dan konsonan nasal velar [ŋ] konsonan
nasal palatal [ň]. Yang termasuk ke dalam [-ting8] adalah bunyi vokal [a, , ɛ,
o], konsonan hambat [p, b, t, d, ?], konsonan frikatif [s, h], konsonan nasal
bilabial [m], konsonan nasal dental [n], konsonan likuid [l, r].
b. Rendah [ren]
Bunyi rendah dihasilkan dengan cara menarik badan lidah jauh ke
bawah dari bumbung mulut. Yang termasuk ke dalam [+ren] adalah bunyi
vokal [ɛ], konsonan frikatif glotal [h], dan konsonan hambat glotal [?].Yang
termasuk ke dalam [-ren] adalah bunyi vokal [a, i, u, o, I, U, ], konsonan
hambat [p, b, t, d, j, c, k, g, ?], konsonan frikatif [s], konsonan nasal [m, n, ň,
ŋ], dan konsonan likuid [l, r].
c. Belakang [bel]
Bunyi belakang dihasilkan dengan keadaan badan lidah ditarik ke
belakang. Yang termasuk ke dalam [+bel] adalah vokal [u, U, , o], semivokal
[w], konsonan hambat velar [k, g], konsonan nasal velar [ŋ]. Yang termasuk
ke dalam [-bel] adalah vokal [a, i, I, ɛ] konsonan hambat [p, b, t, d, j, c],
konsonan frikatif [s, h], konsonan nasal [m, n, ŋ], dan konsonan likuid [l,r].
d. Bulat [bul]
Bunyi bundar dihasilkan dengan cara membundarkan bibir. Yang
termasuk ke dalam [+bul] adalah bunyi vokal [u, U, o, ] dan semivokal [w].
Yang termasuk ke dalam [-bul] adalah vokal [a, i, I, ɛ], semivokal [y],
konsonan hambat [p, b, t, d, j, c, k, g, ?], konsonan frikatif [s, h], konsonan
nasal [m, n, ŋ, ň], dan konsonan likuid [l, r].
5. Ciri tambahan
Fitur distingtif yang didasarkan pada ciri batang tambahan dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu tegang dan bersuara.
a. Tegang [teg]
Yang termasuk ke dalam [+teg] adalah vokal [a, i, u, o], konsonan
hambat [p, b, t, d, j, c, k, g], konsonan frikatif [s, h], konsonan likuid [l, r],
18
Universitas Sumatera Utara
konsonan nasal [m, n, ŋ, ň], dan semivokal [w, y]. Yang termasuk ke dalam [teg] adalah vokal [I, U, ɛ, ] dan hambat glotal [?].
b. Bersuara [sur]
Bunyi yang dihasilkan sambil menggetarkan pita suara. Yang termasuk
ke dalam [+sur] adalah vokal [ a, i, I, u, U, o, , ɛ], semivokal [w, y], hambat
[b, d, k, ?], dan konsonan frikatif glotal [h]. Yang termasuk ke dalam [-sur]
adalah bunyi hambat [p, t, c, j, g], konsonan frikatif [s], konsonan likuid [l,r],
dan konsonan nasal [m, n, ň, ŋ].
Demikian di atas adalah beberapa pengertian tentang fitur distingtif yang akan
digunakan untuk membedakan ciri menurut fonetiknya sehingga akan terlihat bentuk
perubahan dalam kata menurut bunyi pada BAM. Perubahan bunyi yang dapat
memengaruhi ciri pembeda atau fitur distingtif itu dapat dikategorikan dalam kaidahkaidah fonologis.
2.3 Tinjauan Pustaka
Alwi (2005: 1198) mengatakan bahwa tinjauan pustaka adalah hasil meninjau,
pandangan, pendapat (sesudah menyelidiki atau mempelajari), sedangkan pustaka adalah
kitab, buku, prambon (Alwi, 2005:912). Tinjauan pustaka bertujuan menyelidiki
penelitian-penelitian terdahulu sehingga peneliti yang sekarang tahu kedudukan
penelitiannya.
Lapoliwa (1991) merupakan perintis penelitian bahasa Indonesia dalam bidang kajian
Fonologi Generatif. Lapoliwa (1981) penelitiannya yang berjudul “Fonologi Bahasa
Indonesia:
Suatu Pendekatan Generatif”, menemukan dalam bahasa Indonesia
mempunyai 23 bunyi konsonan dan 6 vokal. Ada 11 ciri pembeda untuk membedakan 29
segmen. Ada 27 kaidah fonologi, yaitu kaidah degiminasi, pelesapan trill, penyisipan
glotal stop, realisasi glotal stop dari /k/, pelesapan /h/, despirantisasi (naturalisasi) /f/,
naturalisasi /h/, pengedepanan (naturalisasi) /s/, naturalisasi /x/, penyisipan schwa,
pelesapan nasal dan asimilasi, penyatuan konsonan, pelesapan dua segmen pertama dari
/mǝn/, pelemahan vokal, penarikan kembali vokal, pelesapan schwa, nasalisasi vokal,
perendahan vokal, penyatuan vokal, penyisipan luncuran, desilabitasi, desilabitasi,
desimilasi vokal, akhir kata pinjaman, dan penempatan tekanan. Dalam penelitian itu
ditemukan adanya rangkaian konsonan s-t, s-l, k-t, k-s, k-d, k-n, k-l, k-r, k-z, p-t, h-t, h-k,
19
Universitas Sumatera Utara
h-s, h-b, h- l, h-y, h-w, s-h, m-r, m-l, l-m, dan b-r dan rangkaian vokal i-a, i-u, i-o, u-a, u-e,
u-u, a-i, a-u, a-e, a-a, o-a.
Fitri (2001) juga telah menganalisis fonologi bahasa Minang melalui teori Fonologi
Generatif dalam tulisannya yang berjudul “Fonologi Bahasa Minangkabau Di Sawah
Lunto Sijunjung” . Fitri mengatakan jumlah bunyi konsonan bahasa Minangkabau di
Sawah Lunto Sijunjung adalah sebanyak 17 buah segmen konsonan asal yaitu /p/, /b/, /t/,
/d/, /c/, /j/ ,/k/, /g/, /s/, /m/, /n/, /ñ/, /ŋ/, /r/, /l/, /w/, dan /y/ , dan secara fonemis ditemukan
lima buah segmen asal vokal yaitu /a, i, u, e, dan o/. Namun secara fonetis empat buah
segmen asal mengalami pengenduran yaitu /I, U, ε, dan / . Dengan demikian terdapat 9
segmen vokal. Dalam makalah ini ditemukan 19 segmen konsonan asal dan 9 segmen
vokal asal bahasa Minangkabau. Hasil penelitian Fitri mengatakan bunyi glotal frikatif tak
bersuara ([h]) dan bunyi glotal hambat tak bersuara ([ʔ]) tidak digunakan oleh masyarakat
Minangkabau di Sawah Lunto Sijunjung.
Ekayani (2004) dalam tulisannya yang berjudul “Sistem Fonologi Bahasa Kodi di
Pulau Sumba ”, telah mengkaji Fonologi Generatif. Penelitian ini berfokus pada sebuah
bahasa di Pulau Sumba, yakni bahasa Kodi (BK). Dua masalah yang melandasi penelitian
ini adalah (1) bagaimanakah inventarisasi fonem BK di Pulau Sumba dan (2)
bagaimanakah fitur distingtif inventarisasi fonem BK di Pulau Sumba? Analisis dilakukan
terhadap data 350 leksikon BK, yang dijaring melalui wawancara tidak terstruktur kepada
lima informan penutur asli BK. Dengan berpijak pada teori fonologi generatif, penelitian
kualitatif ini menghasilkan dua temuan.Temuan pertama adalah BK memiliki lima fonem
vokal /i, e, a, o, u/, dengan dua buah alofon di dalam, yaitu fonem /e/ dengan alofon [e]
dan [ɛ] serta fonem /o/dengan alofon [o] dan [ ]. BK memiliki 20 fonem konsonan, yakni
konsonan /p, t, c, k, ʔ, , ɗ, ɠ, m, n, ŋ, mb, nd, nj, ŋg, l, h, r, w, y/. Persukuan BK terdiri
atas minimum V (vokal) dan maksimum KV (konsonan+vokal), mengingat bahasa ini
merupakan bahasa vokalis terbuka. Jumlah suku terbanyak dalam leksikon adalah empat
suku, dengan pola KV.KV.KV.KV. Temuan kedua adalah bahwa atas dasar fitur distingtif,
fonem BK terbagi atas lima kelompok (atas dasar ciri golongan utama, ciri tempat
artikulasi, ciri cara artikulasi, ciri batang lidah, dan ciri tambahan) dan berjumlah 18 ciri
pembeda.
Shaumiwaty (2012) dalam penelitian yang berjudul “Fonologi Bahasa Gayo: Suatu
Analisis Fonologi Generatif”. Hasil penelitian ini menemukan 6 segmen vokal fonemis
/i,u,e,ǝ,o,a/ dan memiliki realisasi fonetik [i,u,e,ǝ,o,a,I,ʊ,Ԑ,Ɔ]. Konsonan Bahasa Gayo
ditemukan sebanyak 18 buah, yaitu /p,b,t,d,c,j,k,g,s,h,m,n, ɲ,ŋ,l,r,y,w/. Memiliki distribusi
20
Universitas Sumatera Utara
yang lengkap, yaitu dapat mendeskripsikan awal, tengah dan akhir kata. Segmen konsonan
/c,j,ɲ,y,w/ hanya dapat menduduki posisi awal dan tengah kata. Diperlukan 15 ciri-ciri
pembeda, segmen yang digambarkan sebanyak 24 buah, sehingga penggambaran
keseluruh segmen tersebut memakai 360 fitur. Ditemukan 136 kaidah redundansi yang
bisa digabung-gabungkan, sehingga menjadi 38 kaidah. Pola morfem pangkal asal
ditemukan dalam 24 macam, yaitu pola satu sukukata 6 macam, dan 4 macam, dua
sukukata 3 macam. Ditemukan 11 kaidah fonologi ( KF ) yang berguna untuk menjelaskan
proses fonologi yang terjadi. KF penambahan luncuran semivokal, KF penggantian
konsonan [k], KF penggantian konsonan [b], KF pelesapan konsonan [h], KF pelesapan
vokal [ǝ], KF penaksuaraan konsonan hambat, KF pengenduran vokal dan penempatan
tekanan dalam Bahasa Gayo.
Sartini (2012) juga telah meneliti Fonologi Generatif dalam tulisannya yang berjudul
“Bahasa Pergaulan Remaja: Analisis Fonologi Generatif”. Dalam penelitian ini
ditemukan analisis fonologi generatif, pada tipe-tipe kata yang terdapat dalam bahasa
pergaulan remaja cenderung singkat atau pendek. Pemendekan ini terjadi dalam dua
proses yaitu kontraksi dan akronim. Kecenderungan lain adalah modifikasi bentuk,
menggunakan verba dengan akhiran –in. Sedangkan ciri-ciri fonologis yang terdapat
dalam bahasa pergaulan remaja adalah cenderung menggunakan vokal /e, o dan ә/;
melesapkan bunyi, pengenduran , penguatan, dan perpaduan vokal.
Kajian fonologi yang telah dilakukan oleh penelitian terdahulu dapat memperkaya
khazanah penerapan teori Fonologi Generatif, khususnya pada bahasa-bahasa Nusantara.
Hal itu menjadi penting karena teori Fonologi Generatif tersebut lahir dari kajian pada
bahasa Inggris saja. Kajian tersebut akan dapat merumuskan, antara lain, bunyi-bunyi
yang khas pada bahasa tertentu; jumlah fitur yang diperlukan dalam penggambaran bunyibunyi bahasa Nusantara; dan kaidah-kaidah yang diperlukan dalam realisasi bentuk asal
dan turunannya. Demikian juga dengan kajian fonologi terhadap BAM sehingga dapat
ditemukan bagaimana kedudukan sistem fonologi BAM dengan menggunakan teori
Fonologi Generatif.
21
Universitas Sumatera Utara