Hubungan Faktor Risiko dengan Kejadian Mioma Uteri di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Uterus

Uterus merupakan organ berongga yang berbentuk buah pir dan
berdinding tebal. Pada orang dewasa nullipara, panjang uterus 3 inci (8
cm), lebar 2 inci (5 cm), dan tebal 1 inci (2,5 cm). Uterus dibagi atas
fundus, corpus dan serviks uteri (Snell, 2012).
Fundus uteri adalah bagian uterus proksimal dan merupakan tempat
kedua tuba fallopi masuk ke uterus. Korpus uteri merupakan bagian uterus
yang terletak di muara tuba uterina. Ia merupakan bagian uterus yang
terbesar dan memiliki fungsi utama sebagai tempat janin berkembang.
Rongga yang terdapat di korpus uteri disebut juga kavum uteri (rongga
rahim). Kavum uteri berbentuk segitiga pada penampang bidang koronal,
tetapi pada penampang sagital hanya berbentuk celah. Ke arah bawah
korpus akan menyempit, yang berlanjut ke serviks uteri. Serviks
menembus

dinding

anterior


vagina

dan

dibagi

menjadi

portio

supravaginalis dan portio vaginalis servicis uteri. Rongga serviks, kanalis
servicis, berhubungan dengan rongga dalam korpus uteri melalui ostium
uteri internum dan dengan vagina melalui ostium uteri eksternum (Snell,
2012).
Korpus uteri ke anterior berhubungan dengan excavatio vesicouterina
dan facies superior vesicae. Sementara, korpus uteri ke posterior
berhubungan dengan excavatio rectouterina (cavum Douglasi) beserta
lengkung ileum atau kolon sigmoideum yang ada di rongga ini. Korpus
uteri ke lateral berhubungan dengan ligamentum latum serta arteri dan

vena uterine (Snell, 2012).
Posisi uterus dimana sumbu panjang uterus melengkung ke depan
terhadap sumbu panjang vagina dinamakan anteversi. Selanjutnya, sumbu
panjang corpus uteri melengkung ke depan setinggi ostium internum uteri

Universitas Sumatera Utara

pada sumbu panjang serviks uteri. Posisi ini disebut antefleksi. Pada
beberapa perempuan, fundus dan korpus uteri melengkung ke belakang
terhadap vagina sehingga uterus terletak di excavatio rectouterina (cavum
Douglasi). Pada keadaan ini, uterus dikatakan terletak retroversi. Bila
korpus uteri juga terletak melengkung ke belakang terhadap serviks uteri,
posisi ini dikatakan retrofleksi (Snell, 2012).
Struktur

uterus

terdiri

atas


perimetrium,

miometrium

dan

endometrium. Miometrium berdinding tebal dan dibentuk dari otot polos
yang disokong oleh jaringan ikat. Endometrium terdiri atas epitel selapis
kubik, kelenjar-kelenjar, dan stroma dengan banyak pembuluh darah yang
berlekuk-lekuk. Pertumbuhan dan fungsi endometrium sangat dipengaruhi
hormon steroid ovarium (Snell, 2012).
Arteri utama yang mendarahi uterus adalah arteri uterina, sebuah
cabang dari arteri illiaca interna. Arteri uterina menyilang diatas ureter
tegak lurus dan mencapai serviks setinggi ostium internum cervicis. Arteri
kemudian berjalan ke atas sepanjang pinggir lateral uterus di dalam
ligamentum latum dan akhirnya beranastomosis dengan arteri ovarica,
yang juga mendarahi uterus. Arteri uterina memberikan sebuah cabang
kecil yang berjalan untuk mendarahi serviks dan vagina (Snell, 2012).
Vena uteri mengikuti arteri dan bermuara ke dalam vena illiaca

interna. Saraf-saraf simpatik dan parasimpatik berasal dari plexus
hipogastricus inferior (Snell, 2012).
Uterus terfiksasi dengan baik oleh jaringan ikat dan ligamenta yang
menyokongnya. Ligamenta yang memfiksasinya adalah ligamentum
cardinal (Mackenrodt), ligamentum sakrouterina, ligamentum rotundum,
ligamentum latum dan ligamentum infundibulo-pelvikum (Snell, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 1.1 Anatomi Mioma Uteri
(Tortora, 2012)
Uterus juga berfungsi sebagai jalan bagi sperma yang berada di
vagina untuk sampai ke tuba falopi. Ia juga merupakan tempat implantasi
bagi ovum yang sudah dibuahi, perkembangan fetus selama kehamilan,
dan persalinan. Selama siklus reproduktif ketika implantasi tidak terjadi
uterus adalah sumber dari menstrual flow (Tortora, 2012).
Selama fase menstruasi, aliran menstruasi dari uterus terdiri atas 50150 mL darah, tissue fluid, mukus dan sel-sel epitel yang luruh dari
endometrium. Pelepasan ini disebabkan oleh kadar progesteron dan
estrogen yang menurun menstimulasi pengeluaran prostaglandin yang
menyebabkan arteriol spiral mengalami konstriksi. Dan hasilnya, sel-sel

yang disuplai oleh arteriol ini kekurangan oksigen dan mulai nekrosis.
Akhirnya, seluruh sratum fungsional meluruh. Pada saat ini uterus sangat
tipis karena hanya tersisa stratum basalis (Tortora, 2012).
Selama fase proliferatif, estrogen yang dilepaskan ke darah oleh
folikel-folikel ovum yang sedang berkembang menstimulasi perbaikan
dari endometrium. Sel-sel di startum basalis mengalami mitosis dan
membentuk stratum fungsional yang baru. Endometrium menebal, kelenjar

Universitas Sumatera Utara

endometrium berkembang dan arteriol bergulung dan memanjang
memasuki stratum fungsional (Tortora, 2012).

Gambar 1.2 Siklus reproduksi wanita
(Tortora, 2012)

2.2 Mioma Uteri

2.2.1


Definisi

Mioma uteri atau yang disebut juga leiomioma adalah tumor jinak
miometrium berbatas tegas dengan ciri tersendiri, bulat, keras,
berwarna putih hingga merah muda pucat, sebagian besar terdiri atas
otot polos dengan beberapa jaringan ikat (Benson, 2013). Leiomioma
menyebabkan sekitar 10% dari masalah ginekologi. Meskipun

Universitas Sumatera Utara

penyebabnya belum diketahui secara pasti, setiap tumor berasal dari
satu sel otot (Benson, 2013). Tumor bervariasi dalam ukuran mulai
dari yang kecil, nodul yang tidak tampak sampai tumor masif yang
mengisi pelvis (Kumar V., 2010).

Gambar 2.1 Leiomioma uterus pada berbagai lokasi anatomis
(Berek J., 2007)
2.2.2

Klasifikasi


Mioma uteri berasal dari miometrium dan klasifikasinya dibuat
berdasarkan lokasinya.


Mioma Submukosa (15%) (Padubidri, 2010)
Menempati lapisan di bawah endometrium dan menonjol ke dalam
(kavum uteri). Pengaruhnya pada vaskularisasi dan luas permukaan
endometrium menyebabkan terjadinya pendarahan ireguler. Mioma
jenis ini dapat bertangkai panjang sehingga dapat keluar melalui
ostium serviks. Yang harus diperhatikan dalam menangani mioma
bertangkai adalah kemungkinan adanya torsi dan nekrosis sehingga
risiko infeksi sangatlah tinggi (Prawirohadjo, 2011).

Universitas Sumatera Utara



Mioma Intramural (75%) (Padubidri, 2010)
Mioma intramural atau interstisial adalah mioma yang berkembang

diantara miometrium (Prawirohadjo, 2011).



Mioma Subserosa (10%) (Padubidri, 2010)
Mioma yang tumbuh dibawah lapisan serosa uterus dan dapat
bertumbuh ke arah luar dan juga bertangkai. Mioma subserosa juga
dapat menjadi parasit omentum atau usus untuk vaskularisasi
tambahan bagi pertumbuhannya (Prawirohadjo, 2011).

2.2.3

Etiologi

Menurut Lumsden (2007), Pertumbuhan dari fibroid sebagian
bergantung dengan hormon steroid dari ovarium yang bekerja melalui
reseptor yang ada pada fibroid maupun sel miometrium. Ada
kemungkinan besar bahwa kontrol pertumbuhannya berhubungan
dengan perubahan dalam apoptosis. Bcl-2, suatu inhibitor apoptosis,
meningkat signifikan pada sel mioma yang sudah di kultur dan selain

itu juga dipengaruhi oleh hormon steroid. Pada penelitian Ciavatini
(2013), Beberapa peneliti menghipotesakan bahwa progesteron dapat
menstimulasi pertumbuhan mioma dengan meningkatkan B-cell
lymphoma-(Bcl)-2 dan menurunkan tumour necrosis factor-(TNF)-α.
Ishikawa

et

al

(2010)

menyatakan

bahwa

estrogen

dapat


mempertahankan kadar progesteron reseptor (PR) dan dengan
perantaraan reseptornya, progesteron dapat menyebabkan pertumbuhan
mioma. Disebutkan juga bahwa estrogen dapat menstimulasi
pertumbuhan mioma dengan mensupresi fungsi normal p53.
Menurut Lumsden (2007), kelainan sitogenik terjadi pada 50%
dari kasus mioma uteri. Hal ini melibatkan translokasi atau delesi dari
kromosom 7, translokasi kromosom 12 dan 14 dan kadang-kadang

Universitas Sumatera Utara

penyimpangan bentuk dari kromosom 6. Kelainan sitogenik ini
biasanya tidak dijumpai pada jaringan miometrium yang normal.
Kelainan sitogenik berhubungan dengan ukuran tumor, lokasi dan
histologi. Sebagai tambahan, mutasi pada gen yang mengkode enzim
fumarat hidratase telah dibuktikan sebagai faktor predisposisi fibroid
multipel pada wanita, cutaneous leiomyoma dan papillary renal
cancer. Ketika terjadi perubahan genetik maka perubahan ini akan
dipengaruhi oleh promoter (hormon) dan efektor (growth factor).
Baik estrogen maupun progesteron merangsang pertumbuhan
mioma dan growth factor mengontrol proliferasi dari sel dan

tampaknya

menstimulasi

meningkatkan

pertumbuhan

pembentukan

matriks

mioma

dengan

ekstrasellular.

cara

Menurut

Beckmann et al (2010), estrogen dapat bekerja dengan merangsang
produksi reseptor progesteron di miometrium. Progesteron yang
berikatan pada reseptornya kemudian menstimulasi growth factor dan
menyebabkan pertumbuhan mioma.

2.2.4

Patogenesis

2.2.4.1 Tumorgenesis Fibroid

Beberapa penelitian menyatakan bahwa mioma berasal dari satu sel
neoplastik dalam otot polos miometrium (Berek J., 2007). Menurut
penelitian Bulun (2013), baik jaringan miometrium yang normal
maupun jaringan fibroid memiliki kumpulan sel yang mampu untuk
memperbaharui diri. Sel-sel ini disebut sebagai sel punca. Kumpulan
sel punca ini bertanggungjawab dalam proliferasi sel otot polos
miometrium yang normal. Proses ini yang berperan dalam pembesaran
uterus yang fisiologis selama kehamilan. Sel miometrium matur
menunjukkan tingkat Estrogen Receptor α ( ERα) dan Progesteron
Receptor

(PR)

yang

lebih

tinggi

dibanding

sel

punca.

Universitas Sumatera Utara

Kemungkinannya adalah proliferasi sel yang dependen estrogen dan
progesteron diperantai oleh ERα dan PR yang berada pada sel yang
matur. Faktor parakrin seperti ligand-ligand WNT yang dilepaskan sel
yang matur dapat bekerja pada sel punca dan menginduksi
pembaharuan diri dan proliferasi.
Perubahan genetik seperti mutasi MED12 atau perubahan
kromosom yang mempengaruhi HMGA2, dapat mengubah sel punca
miometrium menjadi sel punca fibroid. Sel fibroid ini dapat
memperbaharui diri dan mulai berproliferasi secara tidak terkontrol
sampai akhirnya berdiferensiasi menjadi sel fibroid yang matur. ERα
dan PR berkumpul pada sel fibroid yang matur dan menghantarkan
signal estrogen dan progesteron melalui mekanisme parakrin. Satu sel
punca yang berubah menjadi sel punca fibroid akan menimbulkan
tumor fibroid jinak dengan batas yang tegas yang meluas dalam
jaringan miometrium. Pembentukan matriks ekstraselluler juga
berkontribusi terhadap perluasan tumor (Bulun, 2013).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2 Tumorgenesis mioma uteri
(Bulun, 2013)

Universitas Sumatera Utara

2.2.4.2 Interaksi Antara Hormon Ovarium, Jalur β-catenin, TGF-β dan
MED12
Menurut Bulun (2013), karena jumlah ERα dan PR tinggi pada sel
miometrium dan sel fibroid yang matur dibanding pada sel punca,
estrogen dan progesteron mengirim signal ke sel punca fibroid melalui
reseptor

hormon

dengan

mekanisme

parakrin.

Estrogen

dan

progesteron akan meningkatkan ekskresi ligand WNT yang akan
bekerja melalui reseptor untuk mengaktivasi jalur β-catenenin–T-cell
transcription factor (TCF), yang kemudian menginduksi produksi
Transforming Growth Factor β (TGF-β) pada sel matur dan
menyebabkan pembentukan matriks ekstrasellular yang berlebihan.
Pada sel punca, MED12 yang normal merupakan modifier kerja βcatenin yang fisiologis. Namun, apabila terjadi mutasi pada MED12
atau ketiadaan dari MED12 akan menyebabkan kegagalan dalam
mencapai fungsi fisiologis. Ketiadaan MED12 atau mutasi MED12
pada sel punca juga telah dihubungkan dengan peningkatan reseptor
TGF-β yang kemudian berhubungan dengan SMAD dan MAPK dalam
memperantarai pembaharuan diri dan proliferasi sel punca

Gambar 2.3 Interaksi antara Hormon Ovarium, Jalur β-catenin, TGF-β dan
MED12
(Bulun, 2013).

Universitas Sumatera Utara

2.2.4.3 Efek Biologis Estrogen dan progesteron pada Jaringan Fibroid

Pada jaringan periferal (kulit dan jaringan adiposa), aromatase
mengkatalisis pembentukan estrogen, yang mencapai jaringan fibroid
melalui sirkulasi. Sebagai tambahan, aromatase pada jaringan fibroid
mengkonversi androstenedione yang berasal dari adrenal dan ovarium
menjadi estrogen secara lokal (Bulun, 2013).
Estradiol, suatu bentuk estrogen yang poten, menginduksi
pembentukan PR melalui ERα. PR penting untuk respon jaringan
fibroid terhadap progesteron yang disekresikan ovarium. Progesteron
dan PR sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan fibroid, meningkatkan
proliferasi sel dan ketahanannya dan meningkatkan pembentukan
matriks ekstraselular. Pada keadaan dimana tidak ada progesteron dan
PR, estrogen dan ERα tidak cukup bagi pertumbuhan fibroid (Bulun,
2013).

2.3 Faktor Risiko Mioma Uteri

1.

Umur

Mioma uteri ditemukan pada lebih dari 75% wanita pada usia
reproduktif (Eggert, 2012). Pertumbuhan mioma berhubungan dengan
hormon ovarium. Estrogen dan progesteron yang merupakan hormon
utama yang merangsang pertumbuhan mioma, disekresikan oleh
aktivitas reproduktif LH bersama dengan FSH sehingga relevan hanya
pada usia reproduktif (Oyeyemi, 2013).
Pada penelitian Ezeama (2012), disebutkan bahwa mioma tidak
ditemukan pada usia prepubertas, berkembang pada usia reproduksi
dan mengalami regresi saat menopause. Mioma paling sering

Universitas Sumatera Utara

menyebabkan gejala pada umur diantara 35 - 45 tahun. Namun, ia
mungkin sudah terbentuk secara mikroskopik sebelum umur 30 tahun.

2.

Paritas

Pada penelitian Parazinni (2006), didapatkan hasil bahwa resiko
mioma lebih rendah pada wanita yang pernah melahirkan dibanding
dengan wanita nullipara. Menurut Parker (2007), pada masa
postpartum, miometrium kembali ke berat, aliran darah dan ukuran sel
yang normal dengan apoptosis dan dediferensiasi. Proses remodelling
mungkin bertanggungjawab terhadap involusi mioma. Teori lain
mempostulasikan bahwa pembuluh darah yang mensuplai mioma
mengalami regresi selama involusi uterus, menyebabkan mioma
kehilangan sumber nutrisinya.
Menurut Khan (2014), walaupun efek protektif dari kehamilan
telah ditunjukkan namun masih sedikit yang diketahui tentang
mekanismenya. Ada beberapa pernyataan bahwa selama postpartum
remodelling, dapat terjadi apoptosis selektif pada lesi kecil. Iskemia
selama proses kelahiran telah diajukan sebagai mekanismenya.
Karenanya dapat disimpulkan bahwa jaringan fibroid atau mioma
mungkin memiliki kerentanan yang tinggi terhadap iskemia selama
proses kelahiran dan remodelling.

3.

Riwayat Keluarga

Pada penelitian Orseth (2014) disebutkan bahwa Hereditary
leiomyomatosis and renal cell cancer (HLRCC) dan multiple
cutaneous and uterine leiomyomatosis (MCUL) dicirikan dengan
mioma uteri, cutaneous leiomyomas dan yang jarang, papillary renal
cell carcinoma. Kelainan autosomal dominan ini disebabkan oleh
defek (missense mutation) dari fumarat hidratase, suatu enzim siklus

Universitas Sumatera Utara

krebs yang bertindak sebagai tumor supressor. Pada penelitian Parker
(2007) dikatakan bahwa wanita yang melaporkan kejadian mioma pada
dua keluarga tingkat pertama mempunyai kemungkinan dua kali lebih
besar memiliki strong expression dari VEGF-α (growth factor yang
berhubungan dengan mioma) dibandingkan dengan wanita yang
menderita mioma tanpa riwayat keluarga. Menurut Parker (2007) dan
Eggert (2012), adanya riwayat keluarga tingkat pertama (ibu/kakak)
yang menderita mioma uteri akan meningkatkan risiko mioma uteri
sebesar 2,5 kali.

4.

Status Haid

Pada penelitian Parazinni (2006) didapatkan hasil bahwa
dibandingkan dengan wanita premenopause, nilai OR multivarian
untuk mioma yang dideteksi secara klinis lebih rendah pada wanita
postmenopause (0.63, 95% CI, 0.55-0.72). Menurut Snell (2012),
setelah menopause, uterus mengalami atrofi, menjadi kecil, dan kurang
vaskular. Perubahan ini terjadi karena ovarium tidak lagi menghasilkan
estrogen dan progesteron. Pada anak-anak, fundus dan korpus uteri
tetap kecil sampai pubertas, kemudian membesar dengan cepat karena
pengaruh hormon estrogen yang dihasilkan ovarium.

5.

Usia Menarke

Menarke dini (16 tahun) akan
menurunkan risiko mioma uteri (Parker, 2007).

6.

Kontrasepsi Oral

Universitas Sumatera Utara

Menurut Parker (2007), tidak ada hubungan pasti antara
kontrasepsi oral dengan kejadian mioma uteri. Suatu penelitian
menyatakan peningkatan risiko mioma dengan kontrasepsi oral. Tetapi,
penelitian berikutnya menyatakan tidak ada peningkatan risiko dengan
pemakaian maupun durasi pemakaian kontrasepsi oral. Walaupun studi
lain menyatakan penurunan risiko, wanita dengan mioma lebih jarang
diresepkan kontrasepsi oral sehingga dapat mengakibatkan selection
bias.

7.

Berat Badan

Pada penelitian Parker (2007) disebutkan bahwa sebuah studi
prospektif menemukan bahwa risiko mioma meningkat 21% dengan
setiap kenaikan 10 kg berat badan dan kenaikan Body Mass Index.
Penemuan yang hampir sama juga dilaporkan pada wanita dengan
lemak tubuh >30%. Obesitas akan meningkatkan konversi dari
androgen adrenal menjadi estrone dan menurunkan sex hormonebinding globulin. Hal ini menyebabkan peningkatan estrogen yang
dapat menjelaskan peningkatan prevalensi dan pertumbuhan mioma.

Universitas Sumatera Utara

2.4 Kerangka Teori
Riwayat
Keluarga

Riwayat
Keluarga (+)

Mutasi fumarat hidratase
yang bertindak sebagai
tumor suppresor dan
adanya VEGF-α (Growth
factor yang berhubungan
dengan mioma)

Umur

Umur
Reproduktif

Paritas

Status
Haid

Nullipara
dan Infertil

Usia
Menarche

Masih Haid

Oral
Kontrasepsi

Menarche
dini

Berat
Badan

Overweight
dan Obese

Konversi Androgen Adrenal
Sex Hormone- Binding
Globulin
Paparan Estrogen dan
Progesteron
Mutasi Genetik
Sel Punca
Estrogen dan Progesteron
berikatan dengan reseptor

Ekskresi ligand WNT

Sel punca miometrium
menjadi sel punca fibroid
dan berproliferasi.

Aktivasi Jalur β-catenin -TCF
ERα da PR berku pul
pada sel fibroid matur
Induksi Produksi TGF-β

Pembentukan Matriks
Ekstraselular

Mioma Uteri

Gambar 2.4 Kerangka teori
(Bulun, 2013), (Parker, 2007)

Universitas Sumatera Utara