T2 752013020 Bab III

BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

Pada bagian ini akan dibahas pertama-tama tentang gambaran Gereja
Kristen Muria Indonesia (GKMI) Salatiga. Selanjutnya akan dipaparkan tentang
keluarga dengan orang tua beda agama di GKMI Salatiga, orang tua Kristen
dalam keluarga beda agama di GKMI Salatiga kurang memahami PAK, peran
orang tua Kristen dalam pelaksanaan PAK di keluarga beda agama, dan PAK bagi
anak dalam keluarga dengan orang tua beda agama.

3.1. Sekilas tentang Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) Salatiga
Salatiga adalah salah satu kota yang terdapat di Jawa Tengah. Kota ini
memiliki luas 56.781 km², dengan jumlah penduduk 177.088 orang. 1 Penduduk
kota Salatiga sangat majemuk dalam agama, hal itu ditunjukkan bahwa dari
jumlah penduduk yang ada terdapat penduduk yang beragama Islam 77,29%,
Kristen Protestan 17,05%, Katolik 5,10%, Budha 0,50%, Hindu 0,06% dan
Kepercayaan 0,06%.2 Jumlah orang Kristen tersebut menjadi anggota di berbagai
gereja di Salatiga. Menurut data Badan Kerjasama Gereja-gereja se Salatiga
(BKGS) ada 94 gereja yang terdaftar menjadi anggota. 3 Daftar tersebut dapat

1


www.warnasalatiga.com/2014/03/16/profil-kota-salatiga. 6 juli 2015.
Ibid
3
Buku daftar anggota BKGS

2

44

mengalami peningkatan dalam setiap tahunnya karena ada gereja-gereja yang
sedang mengurus perijinannya dan belum masuk dalam keanggotaan BKGS. Dari
jumlah dan kondisi tersebut menunjukan bahwa jumlah orang Kristen yang ada di
kota Salatiga cukup signifikan. Gereja-gereja tersebar di empat kecamatan di kota
Salatiga yaitu kecamatan Argomulyo, kecamatan Sidomukti, kecamatan Sidorejo,
dan kecamatan Tingkir. Oleh karena itu gereja-gereja di Salatiga memiliki
kontribusi yang besar dalam pemerintah maupun kehidupan masyarakat di kota
Salatiga secara khusus. Kontribusi tersebut terlihat dari dilibatkannya BKGS
dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dibentuk bersama-sama
dengan pemerintah untuk menjaga kerukunan antar umat beragama di kota

Salatiga.
GKMI Salatiga berada di kecamatan Tingkir kelurahan Kutowinagun
Salatiga. Sebagaimana gereja-gereja pada umumnya memiliki sejarah berdirinya
masing-masing demikian juga GKMI Salatiga. Keberadaan GKMI Salatiga
diawali oleh penginjilan yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa dari GKMI di
daerah pantai utara yang berlajar di Universitas Kristen Satya Wacana pada tahun
1968-1969. Dari penginjilan tersebut beberapa orang bertobat dan menerima
Baptisan Kudus. Setelah memiliki beberapa anggota dilakukan persekutuan di
salah satu rumah keluarga jemaat yang telah menjadi percaya. Setelah beberapa
waktu persekutuan semakin berkembang dengan adanya anggota-anggota baru,
akhirnya tempat yang digunakan untuk mengadakan persekutuan tidak
mencukupi.

45

Oleh karena itu pada tahun 1978 mereka membeli tanah dan bangunan
yang ada di Jalan Candisari No. 3 Salatiga, untuk dijadikan tempat persekutuan
yang baru dan menetap. Setelah mendapat perijinan secara resmi dari pemerintah
untuk menggunakan tempat terebut sebagai tempat ibadah dan dukungan dari
masyarakat di sekitarnya, serta berdasarkan jumlah jemaat yang memadai dan

tempat ibadah yang dimiliki maka persekutuan tersebut pada tahun itu pula,
tepatnya pada tangga 26 Mei 1978 diresmikan menjadi gereja dewasa dengan
nama Gereja Kristen Muria Indonesia Salatiga dan menjadi bagian dari Sinode
GKMI.

Gambar 2: Foto Rumah Jemaat (Kel. Slamet Rasid) di Jalan Pahlawan,
tempat persekutuan pertama diadakan. Dalam keluarga ini dulu
anggotanya tidak semuanya beragama Kristen. Namun,
sekarang seluruh anggota dalam keluarga telah beragama
Kristen.

46

Gambar 3: Foto Gereja sekarang yang ada di Jalan Candisari no. 3 Salatiga.
Gereja ini berada di tengah-tengah masyarakat yang
penduduknya mayoritas tidak beragama Kristen. Oleh karena
itu, beberapa anggota gereja berasal dari keluarga beda agama.

GKMI Salatiga memiliki berbagai bidang pelayanan pembinaan jemaat,
seperti pelayanan kategorial (anak, remaja, pemuda, perempuan, sampai usia

lanjut). Sedangkan pembinaan keluarga, dimulai dari persiapan pernikahan sampai
dengan setelah menikah. Pembinaan setelah menikah terdapat persekutuan pasutri
(pasangan suami istri) dan persekutuan keluarga. Jumlah keluarga dalam
keanggotaan di GKMI mencapai 300 keluarga dari jumlah jemaat 816 orang.4
Berdasarkan sejarah banyaknya keluarga dalam anggota jemaat oleh karena
adanya penginjilan yang diterima anggota keluarga di GKMI Salatiga, salah satu
anggota keluarga seperti seorang ayah atau ibu bahkan anak dalam satu keluarga,
kemudian mereka mengajak juga seluruh anggota keluarganya untuk percaya.
Dalam konteks masyarakat yang mayoritas beragama Islam, hal tersebut juga
dapat terjadi dalam pemeluk agama Islam. Anggota keluarga dari agama Islam

4

Buku Induk GKMI Salatiga.

47

mengajak anggota keluarganya yang tidak beragama Islam untuk masuk menjadi
Islam. Dengan demikian perpindahan agama sangat dimungkinkan dalam
masyarakat yang majemuk, sehingga terjadi satu keluarga anggotanya beragama

berbeda.
Pembinaan lain terkait dengan keluarga, gereja mengadakan persekutuan
keluarga yang dilaksanakan setiap hari Kamis, pukul 19.00 WIB. Jumlah
kelompok persekutuan keluarga di GKMI Salatiga ada 16 kelompok, kelompokkelompok tersebut ada di Wilayah Gendongan berjumlah lima, masing-masing
satu kelompok di wilayah Ngentak, Pancuran, Gunungsari, Karangduwet, Celong,
Perum Wahid, Ledoksari. Empat kelompok lainnya ada di gereja cabang GKMI
Salatiga. Persekutuan keluarga yang diselenggarakan dihadiri oleh keluargakeluarga (ayah, ibu dan anak-anak). Jumlah kehadiran kurang lebih 5 – 10
keluarga. Tak terkecuali anggota yang juga keluarganya berbeda agama. Dalam
acara persekutuan tersebut mereka saling mendoakan, memuji Tuhan dan belajar
Firman Tuhan dalam bentuk Pendalaman Alkitab (PA).

48

Gambar 4: Foto salah satu Persekutuan Keluarga di salah satu kelompok di
GKMI Salatiga. Dalam persekutuan tersebut dihadiri juga para
ibu dari keluarga beda agama.

Keluarga dengan orang tua beda agama yang ada di GKMI adalah mereka
yang memiliki ayah dan ibu beda agama dan mereka yang menjadi suami atau
istri dalam keluarga, tetapi pasangannya tidak beragama Kristen. Perbedaan yang

dimaksud adalah agama Kristen dan Islam. GKMI Salatiga tetap memberikan
kesempatan yang sama bagi setiap anggotanya untuk terlibat dalam pelayanan
gerejawi, termasuk anggota gereja yang berasal dari keluarga beda agama. Mereka
dapat terlibat dalam pelayanan ibadah, persekutuan, diakonia maupun kesaksian.
Keterlibatan tersebut, mendorong dan memotivasi mereka untuk memiliki
semangat meskipun di keluarga mereka berbeda agama. Bahkan dengan
keterlibatan mereka dalam pelayanan menolong mereka untuk mampu bersaksi
bagi keluarganya. Sementara mereka sendiri terus mempertahankan imannya.

49

1.2.

Keluarga dengan orang tua beda agama di GKMI Salatiga
Gereja yang berada di tengah kemajemukkan agama seperti di Indonesia

memiliki ciri tersendiri, diantaranya gereja memiliki anggota-anggota yang tidak
semua berasal dari keluarga Kristen. Bahkan terdapat juga anggota gereja sebagai
istri atau suami di mana pasangannya tidak beragama Kristen. Hal itu tentu
menjadi pergumulan tersendiri baik bagi gereja maupun anggota yang

bersangkutan. Hal itu pula yang terjadi dalam Gereja Kristen Muria Indonesia
(GKMI) Salatiga. GKMI Salatiga memiliki 30 anggota-anggota yang berasal dari
keluarga dengan orangtua beda agama.5
Terjadinya keluarga dengan orang tua beda agama di GKMI Salatiga
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu sebelum pernikahan maupun setelah
pernikahan terjadi. Sebagaimana diungkapkan oleh Pdt. W dan Bapak Wd :
“Di jemaat ada keluarga sebagai istri yang beragama Kristen, tetapi
suaminya non Kristen. Hal itu karena dulu mereka sebelum menikah
memang beragama non Kristen. Setelah menikah si istri bertobat dan
pindah ke agama Kristen sampai sakarang, tetapi suaminya tidak.”6
“Beberapa keluarga dengan orangtua beda agama itu disebabkan sebelum
menikah mereka sudah beda agama, hanya untuk kepentingan proses
pernikahan mereka melakukan pernikahan sesuai salah satu agama, setelah
itu mereka tetap memegang agamanya masing-masing”7

Dari hasil wawancara tersebut menunjukan bahwa adanya keluarga dengan
orang tua beda agama dikarenakan beberapa fakor. Pertama, faktor perpindahan
5

Mereka yang merasal dari keluarga beda agama tersebar di dua wilayah, yaitu di GKMI Salatiga

yang di pusat (Salatiga) dan di gereja cabang yang ada masuk di wilayah kabupaten Semarang.
Gereja Cabang tersebut adalah Brangkongan, Sumberejo, Jangglengan dan Cukilan (Daerah
gereja cabang tersebut disebut GKMI Salatiga cabang Salatiga Timur).
6
Hasil Wawancara dengan Pdt. W, di Salatiga, hari Minggu, 12 April 2015, jam 14.00 WIB.
7
Hasil Wawancara dengan Pak Wd (Ketua Majelis), di Gunung Sari, Salatiga, Selasa, 14 April 2015.

50

agama setelah menikah. Faktor kedua adalah adanya perbedaaan agama yang
dimiliki oleh pasangan sebelum mereka menikah. Proses pernikahan mereka
lakukan dalam satu agama yang disepakati bersama sehingga setelah menikah
mereka kembali menjalankan agama masing-masing. Hal itu menurut Eoh juga
dapat diartikan sebagai pernikahan beda agama.8 Dari FGD kedua faktor tersebut
berkaitan dengan latar belakang keluarga masing-masing dari pasangan yang akan
menikah. Hal itu diungkapkan oleh ibu S dan ibu WW sebagai berikut:
“Kalau saya dulu memang sekeluarga dari non Kristen, keluarga besar
baik dari saya maupun suami juga non Kristen. Tetapi setelah menerima
Injil saya menjadi orang Kristen, tetapi suami saya tidak mau pindah juga

tidak melarang saya pindah agama ”9
Namun juga ada yang mempunyai pengalaman yang lain :
“Dulu saya melakukan pernikahan beda agama karena desakan dari calon
suami dan keluarganya, akhirnya saya memutuskan untuk menyetujuinya.
”10

Suami atau istri berpindah agama karena pemberitaan Injil yang diterima.
Dengan demikian terjadi perubahan hidup dalam keluarga khususnya terkait
dengan agama, tetapi perubahan agama tersebut tidak mempengaruhi keutuhan
keluarga. Dalam konteks masyarakat majemuk, hal itu sangat mungkin terjadi.
Sikap toleransi yang ada dalam masyarakat juga menjadi mendukung adanya
perpindahan agama tersebut.

8

Eoh, O, S, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta,
2001, hal.36.
9
Pengakuan ibu S dalam proses FGD, dia memiliki pengalaman sendiri setelah menjadi orang
Kristen meskipun keluarganya tidak. Minggu, 17 Mei 2015, jam 13.00 WIB.

10
Pernyataan ibu W dalam proses FGD, pengakuan tersebut didukung hampir semua peserta
yang lain karena mereka mengalami hal yang sama. Minggu,17 Mei 2015. Jam 13.00 WIB.

51

Sedangkan keluarga beda agama yang disebabkan oleh perbedaan agama
sebelum menikah atau karena pernikahan beda agama, mereka melakukan
pernikahan beda agama karena pengaruh yang kuat dari pasangan dan keluarga
pasangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pernikahan beda agama yang di
lakukan oleh jemaat GKMI Salatiga adalah karena faktor sosial. Sebagaimana di
jelaskan oleh Bossard, dalam hal ini keluarga dianggap sebagai memiliki otoritas
dalam penyelenggaraan nilai-nilai keagamaan termasuk pernikahan karena
pernikahan mengandung nilai agamis. Meskipun Undang-Undang Pernikahan di
Indonesia tidak mengatur pernikahan beda agama, termasuk gereja (GKMI) juga
tidak menyetujuinya, pernikahan beda agama tetap dilakukan. Dengan demikian
dalam pernikahan beda agama faktor sosial lebih menentukan dalam masyarakat.
Pernikahan beda agama yang dimaksud dalam hal inilah adalah
pernikahan dilangsungkan sesuai agama yang dipilih. Artinya mereka yang
hendak menikah oleh sebab beda agama maka harus memutuskan untuk memilih

satu agama untuk melaksanakan pernikahan. Dengan demikian pemilihan satu
agama dalam pelaksanaan pernikahan dari pasangan beda agama terjadi karena
terkandung unsur situasi yang memaksa pasangan melakukan hal tersebut.
Dengan membuat pilihan tersebut berarti ada satu orang dari pasangan yang harus
mengalah guna terlaksananya pernikahan mereka.

52

Gambar 5: Foto proses wawancara dengan Bapak Wd (ketua Majelis)
Komentar peneliti: Bapak Wd sebagai ketua Majelis memberikan keterangan
bahwa masalah pembekalan keluarga beda agama menjadi
kepedulian gereja.

GKMI Salatiga selama ini dalam mempersiapkan pernikahan melalui
konseling pra nikah tidak termasuk bagi pasangan yang berbeda agama. Hal
tersebut dikarenakan gereja tidak mengijinkan jemaatnya melakukan pernikahan
beda agama. Hal itu dikemukakan oleh bapak Wd sebagai Ketua Majelis :
“Biasanya gereja memotivasi pasangan yang beda agama untuk membuat
pilihan, jika mereka ingin pernikahan mereka diresmikan di gereja berarti
yang non Kristen harus menjadi orang Kristen. Pilihan peralihan agama
tidak boleh karena palaksanaan, tetapi kesadaran sendiri. Oleh karena itu
diberikan cukup waktu untuk mereka membuat keputusan, dan bagi
pasangan dari yang beragama non Kristen mereka harus mengikuti kelas
katekisasi baptisan dan dibaptis sebelum pernikahan”.11

11

Wawancara dengan Pak Wd, Minggu, 12 April , jam 14.00 WIB.

53

Meskipun gereja terkesan memaksa, namun gereja tidak mempengaruhi
keputusan yang dibuat oleh pasangan beda agama dalam menentukan pernikahan
yang akan mereka jalani, demikian ditegaskan oleh Pdt. W dalam wawancara
yang dilakukan oleh peneliti. Gereja juga terbuka terhadap keluarga yang berbeda
agama.
Dengan demikian keluarga dengan orang tua beda agama di GKMI
Salatiga terjadi karena perpindahan agama dan pernikahan beda agama. Dari hasil
observasi menunjukkan bahwa keluarga beda agama tersebut tetap memiliki relasi
dan interaksi yang kuat, keutuhan keluarga yang tetap terjaga meskipun mereka
berbeda agama. Perbedaan agama yang tidak menjadi persoalan dalam keluarga
juga membuktikan adanya toleransi yang tinggi terhadap perbedaan agama dalam
keluarga. Hal itu dikuatkan oleh Ariarajah yang menyebutkan sikap toleransi atas
perbedaan agama yang berkembang dalam masyarakat memungkinkan terjadinya
peningkatan pernikahan beda agama.12

1.3.

Orang tua Kristen dalam keluarga beda agama di GKMI
Salatiga kurang memahami PAK
Sebelum seseorang memasuki kehidupan rumah tangga atau dengan kata

lain membentuk sebuah keluarga tentunya memerlukan pembekalan. Dalam
kekristenan pembekalan tersebut dilakukan oleh gereja melalui apa yang disebut

12

Ariarajah, Wesley, S, Not Without My Neighbour, Tak Mungkin Tanpa Sesamaku, Jakarta BPK
Gunung Mulia, 2008, hal. 100.

54

dengan Bina Pranikah atau Konseling Pranikah. Pembekalan tersebut bertujuan
untuk membekali pasangan yang akan menikah dengan berbagai pengetahuan
terkait dengan kehidupan keluarga seperti relasi dan komunikasi dalam keluarga,
ekonomi keluarga, kesehatan keluarga, dan peran orang tua. Dengan demikian
mereka yang akan membentuk keluarga telah sungguh-sungguh memiliki bekal
yang cukup dalam memasuki kehidupan rumah tangga.
Pemberkatan pernikahan yang dilaksanakan oleh GKMI Salatiga adalah
bagi pasangan dari agama sama yaitu Kristen, dengan demikian keluarga yang
dihasilkan keluarga-keluarga Kristen. Namun dalam realita di gereja terdapat
anggota dari keluarga dengan orang tua beda agama di GKMI Salatiga.
Keluarga dengan orang tua beda agama tentu membawa dampak pagi
anak-anak. Seperti yang diungkapkan dari hasil penelitian Pattisiana, bahwa
perbedaan agama dari orang tua dapat berdampak bagi perkembangan iman
anak.13 Dengan demikian PAK diperlukan dalam keluarga beda agama.
Tanggungjawab pelaksanaan PAK dalam keluarga beda agama tentu menjadi
tugas utama orang tua yang beragama Kristen di dalam keluarga beda agama.
Orang tua Kristen dari keluarga beda agama di GKMI Salatiga dalam
melaksanakan PAK lebih banyak melibatkan dan mengharapkan gereja daripada
mengajarkan dirumah secara khusus. Hal itu dikemukakan oleh ibu Yn dan Pdt.
W:

13

Pattiasina, Marga H.E, Suatu Kajian Terhadap Perkembangan Iman Anak Dalam Keluarga Beda
Agama; Magister Sosiologi Agama, UKSW, 2010, hal. 77.

55

“Orang tua yang beragama Kristen di keluarga beda agama biasanya
mengajarkan PAK kepada anak-anaknya dengan cara mengajak beribadah
ke gereja setiap hari Minggu, pergi ke persekutuan keluarga yang
diselenggarakan gereja”.14
“Mereka mengajarkan PAK kepada anak-anak dengan memberikan contoh
langsung dalam sikap, seperti menjadi ibu yang baik di keluarga dan setia
beribadah. Anak-anaknya didorong untuk mengikuti kegiatan gereja
seperti Sekolah Minggu dan Komisi Remaja bagi yang telah remaja.
Dengan demikian anak-anak diharapkan melihat contoh orang tua dan
mendapatkan pengajaran dari gereja”.15
Dari hasil wawancara tersebut data peneliti validasi dengan teknik FGD, informan
mengemukankan :
“Saya tidak pernah mengajarkan agama Kristen di rumah kepada anak
karena saya sibuk bekerja, yang penting mereka tahu saya orang Kristen.
Jika mereka mau jadi orang Kristen ya saya senang, jika tidak saya tidak
mempermasalahkan”.16
“Saya tidak melaksanakan PAK di rumah karena saya sendiri masih sangat
minim pengetahuan tentang kekristenan jadi saya hanya mengajarkan
anak-anak sesesuai yang saya tahu, seperti berdoa dan pergi ke gereja”.17
“Kalau saya, mengajarkan PAK kepada anak-anak saya dengan cara
mendorong mereka untuk tidak hanya pergi ke gereja, tetapi aktif dalam
kegiatan gereja. Dengan demikian anak saya akan mendapatkan
pengetahuan yang banyak tentang agama Kristen”.18

Dengan demikian dari hasil wawancara dan FGD menunjukkan bahwa
orang tua Kristen dalam keluarga beda agama kurang memahami secara
mendalam tentang PAK keluarga. Hal itu ditunjukkan melalui: tindakan tidak
mengajarkan PAK keluarga dan membiarkan anak membuat keputusan sendiri
tentang agama yang hendak dianutnya tanpa pengarahan seperti yang
14

Wawancara dengan Yn, Kamis, 23 April, jam 19.00 WIB.
Wawancara dengan Pdt. W, Minggu, 12 April, jam 14.00 WIB.
16
FGD, Minggu 17 April, jam 13.00 WIB.
17
Ibid
18
Ibid
15

56

diungkapkan oleh Bpk M dalam FGD. Pemahaman yang kurang dari orang tua
Kristen di keluarga beda agama juga ditunjukkan melalui cara mereka
mengajarkan PAK keluarga lebih kepada melakukan rutinitas keagamaan secara
umum seperti berdoa dan mengajak anak pergi ke gereja di hari Minggu atau
persekutuan yang diadakan gereja di luar hari Minggu. Oleh karena itu, dalam
melaksanaan PAK orang tua lebih fokus mengarahkan anak-anak pada gereja,
dengan demikian tanggungjawab PAK keluarga lebih besar diberikan kepada
gereja.
Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan ada beberapa faktor yang
menjadi penyebab orang tua Kristen kurang memahami PAK keluarga. Pertama,
adalah faktor ekonomi keluarga. Hal itu tampak dari keluarga Bapak S dalam
FGD, karena tuntutan kebutuhan keluarga sehingga harus bekerja di luar kota,
sehingga ia tidak dapat mengajarkan PAK keluarga kepada anaknya. Kedua,
adalah faktor keterbatasan pengetahuan tentang iman Kristen dari orang tua yang
beragama Kristen itu sendiri. Hal itu dikarenakan perpindahan agama yang ia
jalani yaitu dari non Kristen menjadi orang Kristen dalam waktu belum lama
(setelah menikah dan memiliki anak). Oleh sebab itu, ia kurang mampu
mengajarkan PAK keluarga. Ketiga, faktor pemahaman orang tua Kristen bahwa
PAK keluarga di dapatkan lebih banyak melalui gereja. Pemahaman tersebut yang
menyebabkan orang tua Kristen dalam pelaksanaan PAK keluarga lebih banyak
mengarahkan anak-anak pada kegiatan gereja, seperti ibadah dan persekutuan.
Sementara itu dari gereja sosialisasi tentang PAK keluarga masih terbatas, seperti
yang dikemukakan oleh ibu R :

57

“Gereja memberikan penjelasan tentang PAK keluarga melalui khotbahkhotbah, pernah seminar bagi orangtua, hanya bagi orangtua yang dari
keluarga beda agama belum pernah”.19
Dalam FGD, informan mengemukakan :
“Saya mendengar tentang tugas PAK keluarga dari khotbah adalam ibadah
raya dan persekutuan pada waktu bulan Keluarga. ”20

Sementara informan lainnya mengungkapkan :
“Saya belum pernah medapatkan penjelasan tentang PAK khususnya di
keluarga beda agama seperti yang saya alami dari gereja”.21

Dengan demikian, kurangnya pemahaman orang tua terhadap PAK juga
disebabkan oleh kurangnya sosialisasi dari gereja tentang PAK keluarga. Hal itu
berdampak bagi kerja sama dari kedua lembaga yaitu keluarga dan gereja terkait
dengan pelaksanaan PAK keluarga. Westerhoff III menyatakan dari hasil
penelitiannya bahwa keluarga dalam hal ini menjadi sumber utama untuk
meletakkan nilai-nilai apa yang diteguhkan dan pemahaman atau gaya hidup yang
diturunkan. Sedang gereja sebagai komunitas iman mensosialisasikan dan
mengevaluasi terlaksananya PAK dalam keluarga.22 Dengan demikian untuk
tercapainya pelaksanaan PAK keluarga dalam hal ini diperlukan kerja sama dan
saling menopang dari pihak keluarga dan gereja.

19

Wawancara, dengan ibu R, Senin, 13 April 2015, jam 10.00 WIB.
FGD, pernyataan ibu Y, Minggu, 17 Mei 2015, jam 13.00 WIB. Pernyataan ibu Y didukung oleh
peserta lainnya dalam FGD.
21
FGD, pernyataan ibu S, Rabu, 20 Mei 2015, jam 18.00 WIB.
22
Westerhoff III, H, John, and Gwen Kennedy Neville, Generation to Generation, Conversation on
Religious Education and Culture, The Pilgrim Press, New York-Philadelphia, 1979.
20

58

Orang tua Kristen dalam keluarga beda agama di jemaat GKMI Salatiga
secara pendidikan juga terbatas. Hal itu ditunjukkan dari FGD peserta yang
berpendidikan perguruan tinggi hanya satu orang, lulusan Sekolah Menengah Atas
berjumlah dua orang, lulusan Sekolah Menengah Pertama satu orang, dan tiga
orang lulusan Sekolah Dasar. Dengan demikian faktor Sumber Daya Manusia
(SDM) dari orang tua Kristen dalam keluarga beda agama di GKMI Salatiga dapat
mempengaruhi kurangnya pemahaman mereka terhadap PAK keluarga. Miller
menjelaskan bahwa PAK keluarga tidak hanya berhubungan dengan kegiatan
ritual keagamaan, melainkan menjadikan PAK sebagai sistem nilai yang memberi
makna hidup.23 Oleh karena itu, orang tua Kristen dalam pelaksanaan PAK
diharapkan mampu membangun PAK menjadi sistem nilai dalam keluarganya
sehingga bermakna bagi keluarga. Pemahaman dan kemampuan inilah yang tidak
nampak pada orang tua Kristen dari keluarga beda agama di GKMI Salatiga.
Seperti yang ditunjukkan juga oleh Cooley bahwa keluarga sebagai
kelompok primer dari individu tidak dapat dipisahkan dari gereja sebagai
kelompok sekunder dalam aktivitas sosialnya terkait dengan PAK. 24 Dengan
demikian dalam praktik perlunya sosialisasi lebih jauh dari pihak gereja kepada
keluarga terkait dengan PAK keluarga sehingga mereka memiliki pengetahuan
yang mendalam.

23

Elizabeth Miller dalam Lemanna, Ann, Mary, and Riedmann, Agnes, Marriages and Families,
Making Choices in a Diverse Society, Thomson Higher Education, USA, 2009.
24
Susanto, S, Astrid, Phil, Dr, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Binacipta, Bandung,
1977.

59

Dengan pengetahuan yang mendalam orang tua Kristen dalam
melaksanakan PAK keluarga dan dapat mencapai tujuannya seperti yang
dijelaskan oleh Groome bahwa PAK tidak hanya persoalan melakukan rutinitas
mengikuti kegiatan keagamaan melainkan sebagai pendidikan nilai-nilai Kristen
(Kerajaan Allah, Iman Kristen, dan kebebasan manusia dalam beriman) dalam
prantik hidup sehari-hari.
Oleh karena itu, dapat penulis simpulkan bahwa dalam keluarga dengan
orang tua beda agama pemahaman tentang PAK keluarga masih kurang. Hal itu
disebabkan oleh faktor dari keluarga itu sendiri yaitu keterbatasan orang tua
Kristen dari keluarga beda agama tentang PAK keluarga dan faktor kurangnya
sosialisasi yang mendalam dari gereja. Oleh karena itu bahwa keluarga dan gereja
bersama-bersama-sama dalam pelaksanaan PAK dalam praktik masih sangat
lemah di GKMI Salatiga.
1.4.

Peran orang tua Kristen dalam keluarga beda agama.
Dalam perspektif PAK keluarga, keteladanan orang tua terhadap anak

sangat penting terkait dengan pelaksanaan PAK keluarga. Dari hasil wawancara,
orang tua dari keluarga beda agama orang tua yang beragama Kristen
melaksanakan PAK keluarga melalui memberikan nasehat-nasehat, mengajak
anak pergi beribadah di hari Minggu. Sementara orang tua yang beragama lain
cenderung memilih sikap membiarkan anaknya memilih agamanya sendiri dan
melakukan tugas-tugas keagamaan secara mandiri.

60

Dari teknik FGD diketahui bahwa para orang tua yang beragama Kristen
dalam keluarga beda agama melakukan PAK keluarga :
“Karena saya adalah Kristen dan pasangan saya tidak maka dalam
memberikan PAK kepada anak saya dengan cara melalui perbuatan saya
sendiri yaitu berusaha menjadi ibu yang baik dan bertanggungjawab atas
keluarga, rajin beribadah ke gereja, bahkan mengikuti pelayanan di gereja.
Dengan demikian mereka akan melihat dan dapat mencontoh.”25
“Saya mengajarkan melalui nasehat-nasehat, dan karena suami saya
mengijinkan saya mengajak anak saya untuk pergi beribadah ke gereja,
maupun mengikuti persekutuan yang diadakan oleh gereja”.26
“Karena saya sibuk bekerja, jadi saya menyerahkan tanggungjawab
pendidikan anak kepada istri termasuk pendidikan agama, tetapi istri saya
tidak melarang jika saya mengajak anak untuk pergi ke gereja bersama
dengan saya. Jadi saya mengajarkan PAK kepada anak melalui melibatkan
anak dalam kegiatan gereja yang saya ikuti. Di rumah, biasanya saya
mengajarkan melalui nasehat berdasarkan firman Tuhan baik kepada istri
maupun anak.”27

Dari hasil wawancara maupun FGD menunjukkan bahwa relasi yang
terjadi pada orang tua beda agama terkait dengan pendidikan agama adalah satu
kuat dan satu lemah dalam agama, sehingga pendidikan agama lebih di dominasi
oleh yang kuat sesuai dengan ungkapkan oleh Murtadho. Dalam hal ini orang tua
yang beragama Kristen lebih kuat dengan ditunjukkan adanya relasi yang baik
dari antara orang tua yang beda agama dalam keluarga-keluarga tersebut, dengan
demikian orang tua Kristen dapat mengajarkan PAK di tengah keluarga dengan
leluasa dan kuat kepada anak-anak. Dalam hal ini, orang tua Kristen juga telah
berhasil mengkomunikasikan dengan pasangannya yang non Kristen sehingga

25

FGD, pernyataan ibu An, Minggu, 17 Mei 2015, jam 13.00 WIB.
FGD, pernyataan ibu Dw, Minggu, 17 Mei 2015, jam 13.00 WIB.
27
FGD, Pernyataan Bpk. M, Rabu, 20 Mai 2015, jam 18.00 WIB.
26

61

perbedaan agama tidak menjadi konflik dalam interaksi mereka. Dalam hal ini
Bossard mengungkapkan bahwa jika terjadi masalah dalam interaksi orang tua
terkait dengan perbedaan agama, maka akan mempengaruhi perkembangan
anak.28 Oleh karena itu, jika tidak terjadi masalah interaksi orang tua tentang
perbedaan agama yang terjadi di antara mereka, maka anak tidak mengalami
hambatan dalam perkembangannya.

Gambar 6: Foto ibu W bersama-sama dengan anak-anaknya beribadah ke gereja.
Komentar peneliti : Terlihat dari foto tersebut ibu W sebagai orang tua yang
beragama Kristen dari keluarga beda agama. Dia
mengajarkan anaknya PAK dengan cara melibatkan mereka
dalam ibadah gereja.

Peran orang tua Kristen dalam pelaksanaan PAK di GKMI Salatiga
ditunjukkan melalui memberikan nasehat, contoh dalam hidup sehari-hari seperti
berdoa dan bekerja. Orang tua Kristen juga melibatkan langsung anak pada
kegiatan keagamaan, seperti mengajak mereka beribadah ke Gereja.

28

Bossard, H.S, James, The Sociologi of Chid Development, Harper And Brothers, United State of
America, 1954.

62

Dari teknik observasi, wawancara dan FGD dapat disimpulkan bahwa
dalam pelaksanaan PAK di keluarga dengan orang tua beda agama, orang tua
yang beragama Kristen memiliki peran ganda. Pertama, orang tua Kristen
bertanggungjawab sebagai komunikator. Dalam hal ini yaitu orang tua Kristen
dalam keluarga beda agama mengkomunikasikan dengan pasangannya yang non
Kristen agar PAK dapat terlaksana. Keberhasilan komunikasi orang tua Kristen
dari keluarga beda agama di GKMI Salatiga ditunjukkan melalui relasi dan
interaksi yang baik di antara orangtua beda agama, hal itu terlihat dari tidak
adanya larangan dari orang tua non Kristen terhadap orang tua Kristen
melaksanakan PAK dalam keluarga. Dengan demikian perbedaan agama tidak
menjadi sumber konflik dalam keluarga.
Peran kedua, orang tua Kristen adalah sebagai penanggungjawab utama
terlaksananya PAK dalam keluarga beda agama. Dalam hal ini orangtua Kristen
dari keluarga beda agama di GKMI Salatiga menjadi model atau teladan sekaligus
pengajar. Sebagai model atau teladan, ditunjukkan melalui menampilkan diri
dalam sosok orang tua yang baik dan bertanggungjawab dalam keluarga beda
agama. Disamping hal itu orang tua Kristen juga mengupayakan menjadi orang
Kristen yang taat, seperti rajin berdoa dan beribadah. Dengan keteladanan tersebut
pasangan non Kristen dan anak-anak dalam keluarga beda agama dapat
menyaksikan langsung kekristenan melalui orang tua Kristen. Sebagai pengajar
orang tua Kristen dari keluarga beda agama di GKMI Salatiga mengajarkan PAK
melalui pemberian nasehat-nasehat, menyuruh anak berdoa dan melibatkan
melibatkan anak dalam ibadah dan persekutuan di gereja. Dalam hal ini orang tua

63

Kristen menggunakan metode sosialisasi dan edukasi, artinya PAK dilaksanakan
melalui pembiasaan dan juga terencana.
Seperti yang diungkapkan oleh Hadinoto terkait dengan PAK keluarga
bahwa keberhasilan PAK keluarga dapat dilakukan dengan dua metode yaitu
sosialisasi dan edukasi secara bersama-sama.29 Metode sosialasasi yang dimaksud
adalah pelaksanaan PAK penerusan nilai-nilai kepada anak tanpa terencana untuk
memberikan identitas kelompok Kristen dan sebagai “induksi alamiah iman
Kristen”, serta interaksi sosial baik dalam keluarga maupun persekutuan.
Sedangkan metode edukasi, PAK dilaksanakan secara terencana dengan
melibatkan anak dalam proses belajar dan diupayakan terjadinya intentional
sosialisasi yaitu sosialisasi yang terus menerus melalui penciptaan “persektuan
belajar-mengajar”. Metode edukasi juga membawa anak pada pencapaian
kesadaran akan iman Kristen dalam lingkungan sehingga anak mampu
menganalisis situasi.
Dari data menunjukkan bahwa orang tua Kristen dalam keluarga beda
agama di GKMI Salatiga telah memadukan kedua metode tersebut di atas. Proses
sosialisasi ditunjukkan melalui tindakan-tindakan seperti mengajarkan berdoa, dan
mengajarkan

Firman

Tuhan,

dan

memberikan

contoh

sikap

yang

bertanggungjawab, anak pada akhirnya dapat belajar iman Kristen berdasarkan
apa yang didengar dan dilihat dari orangtuanya yang beragama Kristen.
Sedangkan metode edukasi ditunjukkan dengan cara sengaja dan terencana

29

Hadinoto, Atmadja, N.K, Dialog dan Edukasi, Keluarga Kristen dalam Masyarakat Indonesia,
BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000.

64

melibatkan

anak-anak

untuk

beribadah

ke

gereja

bersama-sama

dan

mengikutsertakan anak dalam kegiatan gereja lainnya seperti pembinaan
kategorial maupun persekutuan keluarga. Tetapi pada metode edukasi dalam PAK
keluarga yang dilaksanakan oleh orang tua Kristen dalam beda agama
menunjukkan masih hanya pada emansipasi yaitu melibatkan anak dalam kegiatan
ibadah. Sementara intetional sosialisasi yaitu menciptakan proses sosialisasi
secara sengaja melalui “persekutuan belajar-mengajar” dari orang tua Kristen
dengan anak Kristen tidak nampak.

65

Gambar 7: Foto FGD, Rabu, 20 Mei 2015, Jam 18.00 WIB

Gambar 8: Foto Proses FGD, Minggu, 17 Mei 2015, jam 13.00 WIB
Komentar penulis : Dari teknik FGD yang terdahulu terlihat jumlah ibu-ibu lebih
banyak dibandingkan dengan bapak-bapak. Hal itu
menunjukan bahwa dalam keluarga dengan orang tua beda
agama lebih didominasi oleh ibu-ibu. Artinya dalam
keluarga lebih banyak ibu yang beragama Kristen
dibandingkan dengan suami yang beragama Kristen.

66

Ibu di tengah keluarga memiliki peranan besar, bahkan karena perannya
anak-anak cenderung lebih memiliki hubungan dengan dekat dengan ibu
dibandingkan dengan ayah. Oleh karena itulah agama anak-anak juga sangat
dipengaruhi oleh ibu dalam keluarga tersebut, seperti yang di ungkapkan oleh para
informan :
“Banyak ibu-ibu yang karena kesetiaannya di keluarga dan gereja, anakanak mereka akhirnya menjadi orang Kristen juga”30
“Ibu A dalam gereja sangat tekun mengajak anaknya sejak kecil ke gereja
sehingga sampai besar ia menjadi orang Kristen seperti ibunya, tetapi
suaminya tidak mempersoalkan hal itu”.31
Dari wawancara tersebut menunjukkan bahwa agama anak-anak sangat
dipengaruhi oleh ibu atau maternal seperti yang di ungkapkan oleh Aini.32 Oleh
karena itu seorang ibu di tengah keluarga beda agama memiliki peranan besar
untuk memperkenalkan dan mengajarkan kepada anak tentang iman Kristen. Hal
itu juga disebabkan oleh karena interaksi yang dibangun oleh ibu dengan ayah
sangat kuat.
“Saya selalu terbuka dengan suami saya termasuk agama, apalagi tentang
keinginan saya untuk mendidik anak sesuai dengan agama Kristen. Puji
Tuhan suami saya tidak mempersoalkan”33
“Suami saya mempercayakan pendidikan agama kepada saya, jadi saya
didik anak saya sesuai agama Kristen”.34

30

Wawancara dengan ibu R (ketua kelompok Wilayah Ngentak), Senin, 13 Mei 2015, jam 10.00
WIB.
31
Wawancara dengan ibu N (Salah satu Penatua Gereja), Jumat, 24 April 2015, jam 19.00 WIB.
32
Aini, Nuryamin, Drs, Fakta Empiris Nikah Beda Agama, Jaringan Islam Liberal,
islamlib.com/?site=1&aid=678&cat=content&cid=12&title=fakta-empiris-nikah-beda-agama, 24
September 2014.
33
FGD, Minggu, 17 Mei, jam 13.00 WIB.
34
FDG, Minggu, 17 Mei, jam 13.00 WIB.

67

“Karena saya sibuk bekerja, jadi anak saya serahkan kepada istri yang
beragama non Kristen termasuk pendidikan agamanya sehingga anak saya
juga tidak Kristen seperti saya”.35

Interaksi yang baik antara suami dan istri sangat mempengaruhi
keberhasilan ibu untuk membawa anak-anak mereka kepada iman Kristen.
Interaksi tersebut diwujudkan dalam bentuk tidak ada permasalahan terhadap
pendidikan agama Kristen yang dilakukan oleh ibu kepada anaknya, bahkan
suami mendukung. Dengan demikian seperti yang dijelaskan dari hasil penelitian
sebelumnya tentang keluarga beda agama memiliki pengaruh kepada anak-anak.
Seperti yang diungkapkan oleh Asrori,36 bahwa anak-anak dapat memiliki kualitas
agama yang rendah karena perbedaan agama dari orangtuanya. Namun jika terjadi
interaksi yang kuat di antara orang tua termasuk dalam hal agama, maka anak
dapat memiliki kualitas agama yang tinggi, meskipun dari keluarga dengan orang
tua beda agama.
“Anak-anak saya sangat rajin berdoa, membaca Alkitab dan pergi ke
gereja meskipun tidak kami suruh”.37
“Anak saya telah memutuskan sendiri untuk di baptis, dan ia selalu terlibat
dalam pelayanan gereja.” 38

Anak-anak pada akhirnya memutuskan sendiri untuk menjalani agama
Kristen yang diajarkan oleh ibunya. Anak-anak Kristen oleh ibunya diarahkan
untuk rajin mengikuti kegiatan gereja selain hari Minggu dan bersekolah di
35

FGD, Rabu, 20 Mei, jam 18.00 WIB.
Asrori, Mohib, Kritisi Jurnal Millah Keluarga Beda Agama Dalam Masyarakat Jawa Perkotaan,
Sudi Kasus di Sinduadi Mlati Sleman Yogyakarta, www.gurutrenggalek.com/2010/01/kritisijurnal-millah-keluarga-beda.html?m=1
37
FGD, Rabu, 20 Mei 2015, jam 18.00 WIB.
38
FGD, Rabu, 20 Mei 2015, Jam 18.00 WIB.
36

68

sekolah Kristen. Dengan melakukan hal-hal tersebut, orang tua yang beragama
Kristen merasa telah melakukan PAK keluarga. Harapan mereka sangat besar
yaitu melalui gereja dan sekolah Kristen anak-anak mereka dididik agama Kristen
dengan baik dibandingkan yang anak-anak dapatkan di keluarga.
Di samping orang tua Kristen, orangtua yang non Kristen dalam keluarga
beda agama juga memiliki peran dalam pelaksanaan PAK. Yakni memberikan
dukungan atau tidak melarang pasangannya yang beragama Kristen untuk
melaksanakan PAK, hal itu terjadi karena interaksi yang kuat diantara orang tua
yang berbeda agama. Dukungan dari orang tua non Kristen dalam pelaksanaan
PAK sangat bermanfaat, meskipun para orang tua Kristen tetap mengharapkan
terjadinya

pelaksanan

PAK

keluarga

dilakukan

bersama-sama

dengan

pasangannya.
“Orangtua yang beragama Kristen harus melaksanakan PAK keluarga
sendiri, meskipun mendapatkan dukungan dari pasangannya yang non
Kristen”.39

Dengan demikian dalam keluarga beda agama orangtua Kristen juga harus
dapat menyingkirkan perasaan-perasaan kesendirian yang kadang muncul dalam
diri demi terlaksananya PAK dalam keluarga.
“Saya selalu berusaha mencoba mengajarkan PAK kepada anak-anak saya
dengan mengajak mereka beribadah, meskipun saya kadang merasa
sendirian dalam melaksanakan hal itu. Oleh karena itu saya selalu berdoa

39

Wawancara dengan ibu R, Hari Senin, 13 April 2015, jam 10.00 WIB.

69

agar suami saya menjadi Kristen agar kami bisa mengajarkan PAK
bersama”.40

Dalam hal ini menurut peneliti perlunya pendampingan dari gereja bagi
orang tua yang beragama Kristen. Dengan pendampingan tersebut diharapkan
dapat memperkuat orang tua Kristen dalam melaksanakan PAK keluarga, bahkan
seperti yang dikemukakan oleh Westerhoff III yaitu keluarga dan gereja bersamasama melaksanakan PAK keluarga.41

Gambar 9: Foto wawancara dengan Ibu R (ketua kelompok persekutuan keluarga
wilayah Ngentak
Komentar peneliti : Dalam wawancara tersebut ibu R, sebagai perempuan sangat
memahami perasaan kesendirian yang dialami orang tua
Kristen dalam melaksanakan PAK di keluarga beda agama,
khususnya ibu-ibu yang beragama Kristen. Oleh karena itu bu
R sangat mendukung orang tua Kristen dalam melaksanakan
PAK keluarga di keluarga beda agama.

40

FGD, Pernyataan ibu An, hal itu juga dirasakan oleh ibu-ibu peserta lain. Minggu, 17 Mei 2015,
jam 13.00 WIB.
41
Westerhoff III, H, John, and Gwen Kennedy Neville, Generation to Generation, Conversation on
Religious Education and Culture, The Pilgrim Press, New York-Philadelphia, 1979.

70

Dari data tersebut menunjukkan bahwa orang tua Kristen dalam
melaksanakan PAK di keluarga beda agama perlu mendapatkan dukungan dari
komunitas persekutuan gereja. Sehingga orang tua Kristen mampu mengatasi
kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan PAK terkait dengan perasaan yang dialami.
Menurut peneliti dalam hal ini dapat dicapai melalui “sahabat doa”, di mana
teman-teman dalam persekutuan gereja menjadi pendoa bagi orang tua Kristen
yang melaksanakan PAK dalam keluarga beda agama. Dengan demikian orang tua
Kristen mendapatkan dukungan dan penguatan dari persekutuan gereja sehingga
mampu pelaksanakan PAK di tengah keluarga beda agama yang dihadapi.
Dengan demikian peneliti simpulkan bahwa peran orang tua Kristen
sangat penting dalam pelaksanaan PAK dalam keluarga beda agama. Peran
tersebut meliputi tanggungjawab dalam mengkomunikasikan dengan pasangan
yang beda agama dan pelaksanaan PAK. Oleh karena itu, diperlukan dukungan
baik dari orang tua yang non Kristen maupun gereja.

1.5.

PAK bagi anak dalam keluarga dengan orang tua beda agama
Dalam PAK keluarga anak adalah murid dan orang tua adalah guru,

meskipun berbentuk informal. Tujuan dari PAK keluarga itu sendiri agar anakanak hidup dalam iman Kristen seperti yang diajarkan oleh orang tua. Dengan
demikian mereka menjadi generasi penerus bagi iman Kristen dalam keluarga.
Untuk mencapai hal tersebut seperti yang Groome sebutkan tentang muatan

71

PAK.42 Dalam PAK keluarga meliputi pendidikan bagi Kerajaan, dalam hal ini
anak mampu memahami bahwa dirinya dipanggil oleh Tuhan melalui Yesus
Kristus ke dalam hubungan dengan Allah sehingga menjadi anggota Kerajaan
Allah. Hal itu ditandai dengan adanya nilai-nilai dalam diri yaitu keadilan,
kebenaran, damai dan kesetaraan.
Berikutnya adalah pendidikan bagi iman Kristen, dalam hal ini anak
menjadi orang Kristen karena percaya kepada Tuhan Yesus, menyerahkan diri
dalam pimpinan Tuhan Yesus dan mampu melakukan apa yang Yesus firmankan.
Selanjutnya anak juga menerima kebebasan dalam menentukan imannya. Dari
penjelasan di atas menujukkan bahwa PAK bagi anak, tidak hanya bertujuan anak
dapat belajar PAK, tetapi anak menjadi orang Kristen dan memiliki pengalaman
imannya sendiri.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dalam keluarga
dengan orang tua beda agama tidak semuanya beragama Kristen. Hal ini
diungkapkan oleh ibu N :
“Di keluarga ibu W dari ketiga anaknya yang dua Kristen, dan yang satu
tidak. Hal itu karena anak yang pertama mengikuti agama ayahnya,
sedangkan anak kedua dan ketiga mengikuti ibunya yaitu Kristen”. 43
Demikian juga yang dijelaskan oleh Pdt. W :
“Anak-anak biasanya mengikuti agama salah satu dari orangtuanya
bergantung pada orangtua yang memberi pengaruh kuat soal agama dalam
keluarga tersebut. Jadi anak dari keluarga dengan orangtua beda agama

42

Groome, H, Thomas, Pendidikan Agama Kristen- Berbagi Cerita dan Visi Kita, BPK Gunung
Mulia, Jakarta 2011.
43
Wawancara dengan ibu N, Jumat, 24 April 2015, jam 19.00 WIB.

72

menjadi orang Kristen karena ibunya seorang Kristen dan memberikan
pengaruh yang kuat di keluarga”.44

Dari data tersebut peneliti validasi melalui FGD menunjukkan bahwa ada
empat keluarga yang anak-anaknya beda agama dalam keluarga.45 Anak-anak
yang masih kecil cenderung mengikuti agama ibunya, meskipun setelah dewasa
ada di antara mereka berpindah dari Kristen menjadi non Kristen. Hal tersebut
diungkapkan oleh para informan dalam FGD :
“Anak saya Kristen sampai sekarang sama dengan saya, meskipun suami
saya non Kristen”.46
“Waktu anak saya yang nomor satu masih kecil sering saya ajak untuk ke
gereja dan dirumah juga saya ajari berdoa. Hanya pada waktu ia masuk
sekolah di Sekolah Menengah Pertama, ia pindah menjadi non Kristen
mengikuti ayahnya”.47
“Anak-anak saya setelah dewasa menjadi non Kristen karena menikah
dengan orang yang tidak beragama Kristen”.48

Perpindahan agama yang ditunjukkan anak dari keluarga beda agama di
GKMI Salatiga, pada waktu anak kecil beragama Kristen setelah remaja atau
dewasa berpindah non Kristen. Perpindahan agama tersebut dikarenakan pengaruh
dari ayah yang beragama non Kristen dan pernikahan, hal itu membuktikan bahwa
anak-anak tidak cukup kuat dengan iman Kristen yang dimiliki sehingga mudah
berubah. Oleh karena itu, pelaksanaan PAK dalam keluarga beda agama harus

44

Wawancara dengan Pdt. W, Minggu, 12 April, jam 14.00 WIB
Keempat keluarga tersebut adalah keluarga Ibu W, Ibu Y, ibu S dan Bapak J yang manjadi
peserta FGD.
46
FGD, pernyataan ibu An, Minggu, 17 Mei 2015, jam 13.00 WIB.
47
FGD, pernyataan ibu W, 17 Mei 2015, jam 13.00 WIB.
48
FGD, pernyataan ibu S, Minggu, 17 Mei 2015, jam 13.00 WIB.
45

73

diarahkan tidak hanya pada rutinitas keagamaan, melainkan pengalaman iman
yang dapat membentuk anak menjadi orang Kristen yang kuat.
Selain karena faktor pengaruh orang tua yang non Kristen dan pernikahan,
terdapat faktor lain yang mempengaruhi perpindahan agama anak dalam keluarga
dengan orang tua beda agama. Faktor tersebut adalah keluarga besar seperti
kakek-nenek dan saudara-saudara ikut mempengaruhi. Hal itu disebabkan karena
mereka tinggal dalam satu rumah atau rumah bereka berdekatan dengan keluarga
besar. Jika keluarga besarnya beragama Kristen maka akan memperkuat peran
orang tua yang beragama Kristen dalam melaksanakan PAK keluarga, demikian
sebaliknya jika keluarga besar beragama non Kristen maka peran orang tua yang
beragama Kristen akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan PAK keluarga.
Setelah peneliti memvalidasi data melalui FGD, hasilnya hampir sama
dengan data dari hasil wawancara. Terdapat orang tua yang beragama Kristen
dalam keluarga beda agama mengalami hambatan dalam melaksanakan PAK
karena faktor keluarga besar. Hal ini dialami oleh bapak M :
“Ketika saya akan mengajak anak ke gereja justru dilarang oleh kakekneneknya karena mereka berbeda agama. Dan karena saya tempat tinggal
saya dekat saudara-saudara yang non Kristen saya akhirnya tidak jadi
mengajak anak saya ke gereja”.49
Berbeda dengan pengalaman ibu A,
“Saya dengan mudah mengajak anak ke gereja sehingga dia jadi orang
Kristen seperti saya karena keluarga besar saya Kristen dan sangat
mendukung saya, meskipun suami saya non Kristen”.50
49
50

FGD, pernyataan bapak M, Rabu, 20 Mei 2015, jam 19.00 WIB.
FGD, pernyataan ibu U, Rabu, 20 Mei 2015, jam 19.00 WIB.

74

Dari dua pernyataan yang berbeda dari informan di atas menunjukkan
bahwa pengaruh lingkungan dalam pelaksanaan PAK di keluarga berdasarkan
agama mayoritas dalam lingkungan keluarga tersebut. Kondisi ini tentu harus
diterima di tengah masyarakat majemuk. Sebagaimana gereja membangun
hubungan dengan masyarakat yang berbeda agama melalui dialog seperti yang
dikemukakan oleh Knitter.51 Dialog sangat penting bagi hubungan antar umat
beragama, tak terkecuali dalam keluarga jika terjadi perbedaan agama. Oleh
karena itu, menurut peneliti perlunya dialog yang dibangun oleh orang tua yang
beragama Kristen dengan lingkungannya yang beragama non Kristen agar terjadi
hubungan yang kuat tanpa kehilangan iman Kristen dan tetap mampu
melaksanaan PAK keluarga. Menurut peneliti dalam hal ini orang tua yang
beragama Kristen dapat melakukan dialog dengan lingkungan tentang perbedaan
agama karena pasangannya yang non Kristen tidak melarang pelaksanaan PAK
dalam keluarga.
Oleh karena anak adalah sasaran utama dari PAK dalam keluarga, maka
orang tua Kristen dalam melaksanakan PAK terdapat dua unsur penting yang
mendapatkan perhatian. Dua unsur tersebut adalah anak dan kemajemukan agama
dalam keluarga atau lingkungan. Terkait dengan unsur anak, orang tua Kristen
dapat merujuk pada teori Fowler tentang perkembangan iman, khususnya pada

51

Knitter, F, Paul, Satu Bumi Banyak Anggota, Dialog Multi-Agama dan Tanggungjawab Global,
Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2012, hal. 20.

75

masa kanak-kanak sampai remaja.52 Dengan memanfaatkan teori tersebut orang
tua Kristen dapat melaksanakan PAK berdasarkan kebutuhan anak sesuai dengan
usianya.
Unsur kedua adalah kemajemukan agama dalam keluarga dan lingkungan.
Dalam hal ini orang tua Kristen jemaat GKMI Salatiga dalam melaksanakan PAK
cenderung menutup diri dari lingkungan sehingga jika ada penolakkan dari
lingkungan karena beda agama, mereka segera menghentikan PAK keluarga. Oleh
karena itu, menghadapi kondisi tersebut dalam pelaksanaan PAK keluarga perlu
dilengkapi dengan pendidikan multikultulral. Penggabungan antara PAK dengan
Pendidikan Multikultural guna menyeimbangkan PAK keluarga agar tidak
semata-mata bertujuan untuk menjadikan anak memiliki iman Kristen, melainkan
juga memiliki sikap toleransi ditengah keluarga yang berbeda agama. Dalam hal
ini seperti yang diungkapkan oleh Kurniawati bahwa pendidikan multikultural
menolong anak untuk dapat memiliki pemahaman diri lebih luas dengan melihat
dirinya dari sudut pandang agama dan budaya lain. Menolong anak untuk
mengenal, memahami dan menghargai agama sendiri. Menolong anak
mengembangkan kekhususan agama yang dimiliki. Serta menolong anak untuk
dapat berpartisipasi dengan penuh dalam kehidupan di keluarga dan masyarakat
yang multikultural.
Dengan demikian orang tua Kristen dalam melaksanakan PAK keluarga
memberikan juga pengertian tentang agama lain yang dianut oleh orang tua non

52

Cremes, Agus, Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan menurut James W. Fowler, Sebuah
Gagasan Baru dalam Psikoloi Agama, Yogyakarta, Kanisius, 1995, hal. 96-218.

76

Kristen dan lingkungan. Anak juga dilibatkan dalam tindakkan-tindakkan
menghargai anggota keluarga yang beragama lain dalam melakukan ibadah
keagamaan. Oleh karena itu PAK keluarga menjadi sarana pengembangan sikap
toleransi antar umat beragama dalam keluarga. Dalam hal ini anak tidak hanya
diberikan kesempatan menerima dan memahami agama Kristen yang diajarkan
oleh orang tua yang beragama Kristen, tetapi juga belajar memahami agama lain
yang dianut oleh anggota keluarga yang lain. Dengan demikian anak mampu
melihat perbedaan setiap agama yang pada akhirnya sanggup untuk menghargai
agama lain.
Oleh karena itu, anak dari keluarga dengan orang tua beda agama justru
mendapatkan pendidikan agama yang lebih kompleks terkait baik dalam
pemahaman maupun praktek. Sikap toleransi yang tertanam pada anak dalam
keluarga beda agama tersebut dalam konteks masyarakat yang majemuk sangat
diperlukan, hal tersebut berkaitan dengan penciptaan kedamaian dalam hidup
bersama di tengah masyarakat.
Dengan demikian orang tua Kristen perlu memperoleh pemahaman terkait
dengan pendidikan multikultural agar dapat melaksanakan PAK keluarga di
tengah

keluarga

dan

lingkungan

yang

berbeda

agama,

serta

mampu

mengembangkan hubungan dengan lingkungan sehingga PAK keluarga tetap
dilaksanakan. Dalam hal ini gereja dapat menolong orang tua Kristen untuk
melengkapi pengetahuan tersebut.

77

Dengan memperhatikan kecenderungan terjadinya perpindahan agama
pada anak di dalam keluarga dengan orang tua beda agama, maka dalam
pelaksanaan PAK di keluarga perlu mendapatkan perhatian secara khusus dari
orang tua dan gereja. PAK keluarga ditujukan bagi anak-anak agar mereka
memiliki iman Kristen. Hal tersebut sama dengan untuk anak-anak dari keluarga
beda agama. Oleh karena dalam keluarga dengan orang tua beda agama anak tidak
hanya mendapatkan pengaruh dari PAK saja melainkan agama lainnya, maka
tujuan PAK keluarga tidak hanya agar anak memiliki iman Kristen, tetapi juga
dapat mempertahankan iman Kristennya.
Dengan tujuan di atas maka menurut peneliti orang tua yang beragama
Kristen dalam keluarga tersebut memiliki peranan yang sangat penting. Oleh
karena itu mereka harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang PAK keluarga
sehingga dapat melaksanakan PAK sesuai dengan konteks keluarga yang beda
agama. Dalam hal ini peran gereja sangat diperlukan untuk memperlengkapi para
orang tua. Sebagaimana diungkapkan oleh bapak W dan Ibu An :
“Menjadi tugas gereja untuk menolong orang tua Kristen dalam
pelaksanaan PAK di keluarga beda agama. Hal itu yang belum pernah
dilakukan oleh gereja”. 53
“Saya membutuhkan bantuan gereja dalam rangka menolong pemahaman
saya tentang PAK keluarga agar saya dapat melaksanakannya di keluarga
saya yang berbeda agama”.54

53

Wawancara dengan Bpk. Wd, Minggu, 14 April, jam 13.00 WIB.
FGD, Pernyataan ibu An, Minggu, 17 Mei 2015, jam 13.00 WIB, yang di dukung oleh peserta
lain dalam FGD tersebut.
54

78

Dari pernyataan-pernyataa tersebut para orang tua Kristen dalam keluarga
beda agama menyadari keterbatasannya tentang PAK keluarga dan d