T2 322013035 BAB III

(1)

87

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kasus Posisi 1. Kronologi Kasus

Polda Jateng melakukan Penyidikan dugaan tindak pidana korupsi atas pemalsuan bukti setor dan validasi bank persepsi pembayaran pajak BPHTB / SSB dan PPh Final / SSP pada proses peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon, Kota Semarang tahun 2010 di Bank BTN Cab. Semarang dan Bank BPD Jateng Cab. Semarang sehingga diduga mengakibatkan kerugian Negara ± Rp 823.536.000,00 (delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu rupiah), dengan Pelaku

Bahwa dalam perkara ini Notaris tersebut dapat diduga telah melakukan kesewenang-wenangan, kelalaian karena yang seharusnya Notaris tersebut selaku orang yang dipercaya oleh kliennya untuk menyetorkan pembayaran pajak-pajak yang telah dipercayakan pengurusannya terhadap Notaris tersebut akan tetapi yang terjadi Notaris tersebut dengan tidak menyetorkannya akan tetapi memfiktifkan setoran pajak tersebut.

Bahwa dengan tidak menyetorkannya pembayaran pajak-pajak yang telah dipercayakan pengurusannya tersebut selanjutnya Setoran Bank Persepsi berikut validasi Bank Persepsi dan validasi Bank Persepsi pada


(2)

formulir SSB (BPHTB) dan SSP (PPh Final) untuk 2 peralihan hak tersebut adalah tidak benar/ dipalsukan, ditemukan fakta bahwa uang pembayaran pajak BPHTB dan PPh Final atas peralihan hak atas tanah dan bangunan S.HM No. 295/ Kalibanteng Kulon senilai total Rp 823.536.000,00 tidak dibayarkan ke Bank Persepsi dan tidak masuk ke Kas Negara yang diduga dilakukan oleh Pelaku dengan kronologi perkara sebagai berikut:

Bahwa pada pembayaran BPHTB di Bank BPD Jateng Cab. Semarang, diduga telah terjadi peralihan hak atas tanah dan bangunan HM 295/ Kalibantengkulon, Kota Semarang sebanyak 2 (dua) kali yaitu

a) Tanggal 25 Nopember 2010 dari Penjual ke Pembeli I sesuai AJB No. : 747/2010, tanggal 25 Nopember 2010 dengan nilai transaksi sebesar Rp 4.000.000.000,00.

b) Tanggal 3 Desember 2010 dari Pembeli I ke Pembeli II sesuai dengan AJB No. : 764/2010, tanggal.3 Desember 2010 dengan nilai transaksi sebesar Rp 4.000.000.000,00.

Atas 2 peralihan hak (AJB) tersebut di atas timbul kewajiban para pihak untuk pembayaran pajak, dengan penghitungan besaran masing-masing sebagai berikut :

a) PPh Final/SSP = 5%xNJOPPBB

Yaitu 5 % x 4.127.000.000,00 = Rp 206.384.000,00

b) BPHTB / SSB = NJOP PBB - NPOP TKP (Rp 20.000.000,00) x 5% Yaitu 4.127.000.000,00 - Rp 20.000.000,00 x 5% = Rp 205.384.000,00.

Kedua belah pihak (penjual dan pembeli) pada masing-masing AJB tersebut selaku wajib pajak telah menyerahkan/menitipkan uang pembayaran


(3)

pajaknya kepada Notaris dan PPAT Pelaku selaku PPAT yang menangani proses peralihan hak;

Total pembayaran pajak yang diserahkan melalui Notaris dan PPAT Pelaku sebesar Rp.823.536.000,00 yang dibayarkan oleh masing-masing pihak dalam 2 (dua) tahap sesuai pelaksanaan penandatanganan AJB yaitu tanggal 25 Nopember 2010 dan 3 Desember 2010, masing-masing sebesar Rp.411.768.000,00 di Kantor Notaris dan PPAT Pelaku, Jl. Kartini Raya No. 77 Semarang.;

Sebagaimana diuraikan diatas dimana proses peralihan hak atas sertifikat HM No. 295/ Kalibanteng Kulon, Pelaku secara sadar melakukan proses peralihan hak atas tanah dan bangunan sekaligus menawarkan diri untuk jasa pembayaran BPHTB dan PPh (Final) atas peralihan hak tersebut. Namun alih-alih Pelaku membayarkan pajak BPHTB dan PPh (Final) tersebut, justru Pelaku meminta kepada Pemalsu untuk dibuatkan bukti setor pembayaran BPHTB dan PPh (Final) tidak benar/palsu(fiktif) dan menggunakan bukti setor/ pembayaran BPHTB dan PPh (Final) yang tidak benar/palsu (fiktif) tersebut dengan secara sadar dan diketahui oleh Pelaku . Bahwa uang setoran pajak BPHTB dan PPh Final sejumlah Rp.823.536.000,00 yang berada dalam penguasaan Pelaku selaku Notaris/PPAT dari para wajib pajak tersebut adalah merupakan uang yang seharusnya milik Negara atau masuk pengertian keuangan Negara


(4)

sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

Akibat perbuatan Pelaku bersama-sama dengan Pemalsu dan Karyawan Pelaku I telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu diri Pelaku dan mengakibatkan kerugian keuangan Negara sebesar Rp.823.536.000,- (delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu rupiah) .

2. Hasil Penyidikan

Dugaan tindak pidana korupsi atas pemalsuan bukti setor dan validasi bank persepsi pembayaran pajak BPHTB / SSB dan PPh Final / SSP pada proses peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon, Kota Semarang tahun 2010 yang mengakibatkan kerugian Negara Rp 823.536.000,00 (delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu rupiah) yang diduga dilakukan oleh Pelaku dengan kronologi perkara sebagai berikut :

1. Pada tahun 2010 telah terjadi peralihan hak atas tanah dan bangunan HM 295/ Kalibantengkulon, Kota Semarang sebanyak 2 (dua) kali yaitu :

a. Tanggal 25 Nopember 2010 dari Penjual ke Pembeli I sesuai AJB No. : 747/2010, tanggal 25 Nopember 2010 dengan nilai transaksi sebesar Rp 4.000.000.000,00.

b. Tanggal 3 Desember 2010 dari Pembeli I (penjual) ke Pembeli II sesuai dengan AJB No. : 764/2010, tanggal 3 Desember 2010 dengan nilai transaksi sebesar Rp 4.000.000.000,00.


(5)

2. Atas 2 peralihan hak (AJB) tersebut di atas timbul kewajiban para pihak untuk pembayaran pajak, dengan penghitungan besaran masing-masing sebagai berikut :

a. PPh Final / SSP = 5% x NJOP PBB

Yaitu 5 % x 4.127.000.000,00 = Rp 206.384.000,00 b. BPHTB / SSB = NJOP PBB – NPOP TKP (Rp

20.000.000,00) x 5%

Yaitu 4.127.000.000,00 – Rp 20.000.000,00 x 5% = Rp 205.384.000,00

3. Kedua belah pihak (penjual dan pembeli) pada masing-masing AJB tersebut selaku wajib pajak telah menyerahkan / menitipkan uang pembayaran pajaknya kepada Notaris dan PPAT Pelaku selaku PPAT yang menangani proses peralihan hak ;

4. Total pembayaran pajak yang diserahkan melalui Notaris dan PPAT Pelaku sebesar Rp.823.536.000,00 yang dibayarkan oleh masing-masing pihak dalam 2 (dua) tahap sesuai pelaksanaan penandatanganan AJB yaitu tanggal 25 Nopember 2010 dan 3 Desember 2010, masing-masing sebesar Rp.411.768.000,00 di Kantor Notaris dan PPAT Pelaku , Jl. Kartini Raya No. 77 Semarang ;

5. AJB No. : 747/2010 tanggal 25 Nopember 2010, Setelah menerima uang pembayaran pajak BPHTB dan PPh Final sebesar Rp.411.768.000,00 pada tanggal 25 Nopember 2010 tersebut, PPAT Pelaku selanjutnya menghubungi Pemalsu (oknum broker pemalsu dan pengurusan peralihan hak di Kantor Pertanahan/pensiunan pegawai BPN Kota Semarang) untuk meminta tolong dibuatkan slip setoran pajak dari Bank Persepsi dan validasi formulir SSB dan SSP dengan kompensasi 10% dari nilai pajak ;

6. Kemudian berkas formulir SSB dan SSP yang sudah diisi nominal pajaknya serta sudah ditandatangani oleh PPAT Pelaku, tetapi belum ada validasi pembayaran dari Bank Persepsi diserahkan ke Pemalsu melalui Karyawan Pelaku I (karyawan PPAT Pelaku) di tempat kos nya Pemalsu ;

7. Pemalsu dalam memalsukan slip setoran dan validasi Bank Persepsi tersebut, bekerja sama dengan Karyawan Pelaku I (pelaku pemalsuan) ;


(6)

8. Selang 2 hari, formulir SSP dan SSB tersebut diserahkan kembali dari Pemalsu kepada Karyawan Pelaku I di kantor Notaris dan PPAT Pelaku dan kedua formulir tersebut sudah ada dilengkapi validasi Bank persepsi (stempel Bank, nama & tanda tangan Teller, Cap lunas) serta resi/ Slip setoran pembayaran pajak dari Bank Persepsi), kemudian Pemalsu menerima amplop coklat berisi uang melalui Karyawan Pelaku I sebagai kompensasi / fee dari Pelaku atas pekerjaan pemalsuannya tersebut ;

9. Untuk AJB No. : 764/2010 tanggal 3 Desember 2010, proses pembayaran pajak dari wajib pajak dan pemalsuannya sama dengan proses pada AJB No. : 747/2010 tanggal 25 Nopember 2010 , namun transaksi yang terakhir ini, Pemalsu tidak mendapat upah/ fee dari Pelaku sebagaimana yang telah dijanjikan karena terdapat kesalahan penulisan ;

10.Selanjutnya bukti pembayaran pajak BPHTB dan PPh Final tersebut (SSP, SSB dan resi/ Slip Setoran dari Bank Persepsi) dijadikan lampiran pendaftaran balik nama Sertifikat di Kantor Pertanahan Kota Semarang dan sertifikat telah beralih nama ke pembeli ;

11.Setelah menerima berkas SSP dan SSB tersebut Pemalsu kemudian menghubungi Karyawan Pelaku I (pelaku pemalsuan validasi pembayaran pajak) untuk mengambil berkas SSP dan SSB tersebut di kosnya Pemalsu di Jl. Singa Semarang (belakang pom bensin Majapahit), pada saat Karyawan Pelaku I mengambil berkas blangko SSB dan SSP tersebut, Pemalsu memberikan uang sebesar Rp.1.000.000,00 kepada Karyawan Pelaku I sebagai imbalan jasa memalsukan validasi pembayaran pajak tersebut; 12.Selang 2 hari, setelah proses pemalsuan validasi bank persepsi

selesai, formulir SSP dan SSB yang sudah divalidasi/ stempel palsu bank persepsi berikut slip setoran palsunya tersebut diserahkan kembali kepada Pemalsu oleh Karyawan Pelaku I di kosnya Pemalsu di Jl. Singa Semarang (belakang pom bensin Jl. Majapahit), selanjutnya dokumen SSP dan SSB yang telah divalidasi palsu berikut slip setoran palsu Bank Persepsi di serahkan oleh Pemalsu melalui Karyawan Pelaku I di kos Pak Pemalsu Jl. Singa Semarang (belakang pom bensin Jl. Majapahit)


(7)

13.Oleh Pelaku uang fee yang akan diberikan kepada Pemalsu tersebut dimasukkan ke dalam amplop coklat besar dan memerintahkan kepada Karyawan Pelaku I untuk memberikannya kepada Pemalsu, kemudian ketika Pemalsu datang ke Kantor Pelaku di Jl. Kartini Raya No. 77 Semarang, amplop coklat berisi uang tersebut diserahkan kepada Pemalsu ;

14.Setelah berkas SSP dan SSB berikut slip setoran palsunya tersebut diambil oleh Karyawan Pelaku I dari kosnya Pemalsu, selanjutnya diserahkan kepada Pelaku di ruang kerjanya dan oleh Pelaku dokumen SSB da SSP yang telah divalidasi/ distempel palsu Bank Persepsi berikut slip setoran palsunya kemudian diserahkan kepada Karyawan Pelaku II guna pengurusan di kantor Pertanahan Kota Semarang

15.Dalam proses pendaftaran peralihan hak SHM No. 295/ Kalibanteng Kulon dari Penjual ke Pembeli I, PPAT Pelaku menugaskan stafnya bernama Karyawan Pelaku II untuk mengurus proses peralihan hak dengan lampiran pendaftaran sebagai berikut:

a. Surat Pengantar dari PPAT; b. Akta Jual Beli;

c. Foto copy Kartu Keluarga (KK), atau Surat Nikah; d. Foto copy KTP penjual dan pembeli;

e. Blangko bukti pembayaran pajak BPHTB setoran SSB lembar ke 5;

f. Blangko bukti pembayaran pajak PPH setoran SSP lembar ke 5;

g. Sertifikat Aslinya.

16.Karyawan Pelaku II mendaftarkan proses peralihan hak tersebut pada tanggal 29 November 2010 dan proses peralihan hak selesai (sertifikat telah beralih nama menjadi a.n. Pembeli I) pada tanggal 1 desember 2010.

17.Pada proses peralihan hak yang pertama ini, proses pendaftaran peralihan hak di kantor Pertanahan Kota Semarang tanggal 29 Nopember 2010 dan selesai tanggal 1 Desember 2010 ;

18.Untuk proses peralihan hak yang kedua (AJB No. : 764/2010 tanggal 3 Desember 2010) dari Pembeli I ke Pembeli II, proses


(8)

pemalsuannya juga sama melalui Pemalsu dan Karyawan Pelaku I dengan janji fee atau imbalan sebesar 10%, namun sampai dengan proses peralihan hak selesai (sertifikat telah beralih kepemilikan dari Pembeli I menjadi atas nama Pembeli II) dan hingga perkara ini disidik) Pemalsu dan Karyawan Pelaku I belum mendapatkan fee dari Pelaku atas jasanya memalsukan validasi pembayaran pajak tersebut karena terdapat kesalahan penulisan ;

19.Pada proses peralihan hak yang kedua ini juga proses pendaftaran peralihan haknya juga sama dilakukan oleh Karyawan Pelaku II atas perintah dari Pelaku dengan menggunakan syarat kelengkapan salah satunya adalah bukti pembayaran pajak palsu (SSB dan SSP berikut resi setoran pajak Bank Persepsi) pada tanggal 6 Desember 2010 dan selesai tanggal 9 Desember 2010; 20.Berdasarkan hasil penyidikan ditemukan fakta bahwa Slip setoran

Bank Persepsi berikut validasi Bank nya pada formulir SSB (BPHTB) dan SSP (PPH Final) telah dipalsukan, dan uang pembayaran pajak BPHTB dan PPh Final atas peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM No. 295/ Kalibanteng Kulon senilai total Rp 823.536.000,00 tidak pernah dibayarkan ke Bank Persepsi dan tidak masuk ke Kas Negara (MPN).

Sebagaimana diuraikan diatas dimana proses peralihan hak atas sertifikat HM No. 295/ Kalibanteng Kulon, Pelaku secara sadar melakukan proses peralihan hak atas tanah dan bangunan sekaligus menawarkan diri untuk jasa pembayaran BPHTB dan PPh (Final) atas peralihan hak tersebut. Namun alih-alih Pelaku membayarkan biaya BPHTB dan PPh (Final) tersebut, justru Pelaku meminta kepada Pemalsu untuk dibuatkan bukti setor pembayaran BPHTB dan PPh (Final) tidak benar/palsu(fiktif) dan menggunakan bukti setor/ pembayaran BPHTB dan PPh (Final) yang tidak benar/palsu (fiktif) tersebut dengan secara sadar dan diketahui oleh Pelaku .


(9)

Bahwa uang setoran pajak (BPHTB dan PPh Final) sejumlah Rp.823.536.000,00 yang berada dalam penguasaan terdakwa Pelaku selaku Notaris/PPAT dari para wajib pajak tersebut adalah merupakan uang yang seharusnya milik Negara atau masuk pengertian keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

Akibat perbuatan Pelaku bersama-sama dengan Pemalsu dan Karyawan Pelaku I telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu diri Pelaku. dan mengakibatkan kerugian keuangan Negara sebesar Rp.823.536.000,-

Perbuatan Pelaku merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 dan pasal 9 UU RI No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.


(10)

B. Analisis Tidak Disetorkan Uang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Dalam kategori sebagai Tindak Pidana Korupsi

1. Dugaan terjadinya Tindak Pidana Korupsi Penggelapan uang pajak pada proses peralihan hak atas jual beli tanah dan bangunan

Dalam hasil penyidikan proses peralihan hak atas tersebut di atas, Pelaku telah dengan sadar telah melakukan proses peraihan atas tanah tersebut sekaligus menawarkan diri untuk membayarkan BPHTB da PPh Final atas peralihan ha tersebut. Akan tetapi hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Pelaku. Yang terjadi adalah Pelaku meminta kepada Pemalsu untuk membuat bukti pembayaran BPHTB dan PPh (Final) palsu, sementara uang sejumlah Rp. 823.536.000 yang diberikan oleh wajib pajak yang semestinya di setorkan ke kas negara berada dalam penguasaan Pelaku .

Secara hukum uang setoran pajak (BPHTB dan PPh Final) sejumlah Rp.823.536.000,00 yang berada dalam penguasaan Pelaku , sudah menjadi uang negara sejak terjadinya peralihan hak atas tanah, oleh karena itu adalah hak negara untuk menerima uang tersebut. Sehingga Pelaku sebagai pejabat yang dititipkan berkewajiban (diharuskan) untuk menyetorkan uang tersebut ke kas negara.


(11)

Tindakan lain yang mungkin dilakukan dimana perbuatan tesebut dilakukan dengan melanggar kewajiban hukum atau menyalahgunakan kewenangan dan jika perbuatan tersebut dapat mengakibatkan lenyap/ hilang sebagaian atau seluruhnya uang tersebut, maka sama artinya dengan melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian keuangan Negara.

Dalam proses pembalikan nama berikut pembayaran pajak BPHTB pada Negara terdapat perbuatan yang mengandung sifat melawan hukum yaitu uang setoran pajak PPh Final dan BPHTB sejumlah Rp 823.536.000,00 yang berada dalam kekuasaan Notaris dan PPAT Pelaku dari para wajib pajak tersebut, Penguasaan notaris/PPAT disebabkan karena kedudukannya sebagai PPAT yang menyelesaikan akta-akta peralihan hak atas tanah, namun notaris/PPAT bukan sebagai pemiliknya. Sifat uang Negara menjadi melekat / timbul atas sejumlah uang Rp 823.536.000,00 itu terjadi adalah sejak wajib pajak yang in casu pihak wajib pajak mempercayakan dan menyerahkan uang itu pada dan diterima notaris/PPAT, sebagai pejabat yang karena kedudukannya sebagai PPAT boleh menerima titipan untuk disetor ke kas Negara sehingga pertanggungjawaban pidana atas perbuatan tersebut adalah Notaris / PPAT Pelaku; Pemalsu (pensiunan pegawai BPN), dan Karyawan Pelaku I, Notaris / PPAT berwenang dan boleh menerima titipan pajak PPh Final dan pajak BPHTB sesuai tugasnya sebagai PPAT yang menyelesaikan akta-akta peralihan hak atas tanah berdasarkan atas kepercayaan menurut


(12)

hukum kebiasaan yang berlaku terus menerus dan diakui dan diterima masyarakat dan berlaku dalam praktik, dan telah diterima dalam birokrasi pengurusan hak-hak atas tanah dan peralihannya, maka dibenarkan notaris / PPAT menerima titipan pajak BPHTB yang langsung berhubungan dengan tugasnya hal tersebut bisa masuk pada ranah tindak pidana korupsi, karena uang pajak PPh Final dan pajak BPHTB sejak diserahkan/dipotong oleh notaris / PPAT dan berada dalam kekuasannya telah berubah sifat menjadi uang Negara. Maka terhadap uang Negara tidak dibenarkan melakukan perbuatan hukum yang lain dari pada perbuatan hukum yang menjadi kewajiban hukumnya untuk dilakukan/ harus dilakukan oleh seseorang pejabat in casu notaris/PPAT terhadap uang itu in casu menyetorkannya ke kas Negara. Apabila melakukan perbuatan yang lain itu sama dengan perbuatan melanggar kewajiban hukum yang artinya sama dengan perbuatan menyalahgunakan kewenangan jabatan, yang jika (dapat) menimbulkan lenyap/hilang sebagian atau seluruhnya uang tersebut akibat dari perbuatan itu, sama artinya dengan melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian keuangan negara, sehingga peristiwa tersebut bisa disangkakan Pasal 2 ayat (1) UU TPK, dengan analisis hukumnya bahwa rangkaian perbuatan Notaris/PPAT tidak membayarkan uang tersebut ke bank persepsi, tetapi memberikan dokumen berupa formulir SSP / PPh Final dan SSB / BPHTB yang telah diisi data wajib pajak kepada Pemalsu (pensiunan pegawai BPN)


(13)

untuk divalidasi / dipalsukan validasinya (stempel bank persepsi) dengan perjanjian diberi imbalan 10% oleh Pelaku; Kemudian Pemalsu menghubungi Karyawan Pelaku I untuk memvalidasi / dipalsukan validasinya (stempel bank persepsi) formulir SSP / PPh Final dan SSB / BPHTB dan akan memberikan imbalan kepadanya, selanjutnya bukti pembayaran pajak SSB / BPHTB dan SSP / PPh Final tersebut dijadikan lampiran pendaftaran balik nama Sertifikat di Kantor Pertanahan Kota Semarang dan sertifikat telah beralih nama ke pembeli, adalah merupakan wujud dari perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, dimana karena perbuatan itu masing-masing mereka mendapatkan kekayaan dari sebagian uang Negara tersebut, yang karena itu menimbulkan kerugian uang Negara, yang kedua rangkaian perbuatan itu telah mengandung sifat melawan hukum karena bertentangan dengan kewajiban hukumnya, dimana seorang notaris itu menyandang kewajiban hukum terhadap/mengenai perlakuan terhadap uang Negara, yang bila dilanggarnya itu sama artinya dengan mengandung sifat melawan hukum, sama artinya juga dengan penyalahgunaan kewenangan jabatan. Pada setiap penyalahgunaan wewenang jabatan selalu mengandung sifat melawan hukum, dan Bisa juga disangkakan Pasal 3 UU TPK, dengan analisis hukum Bahwa seluruh rangkaian perbuatan yang terjadi yang dilakukan notaris/PPAT tadi dapat dikualifiser sebagai perbuatan menyalahgunakan kewenangan jabatan, Sementara perbuatan Sdr. Pemalsu


(14)

dan Karyawan Pelaku I dapat dikualifiser sebagai perbuatan turut serta dalam perbuatan notaris/PPAT menyalahgunakan kewenangan jabatan. Sebagaimana diketahui bahwa bagi pelaku peserta tidak harus berkualitas yang sama dengan orang yang melakukan (pelaku pelaksanaannya), yang in casu sebagai Notaris/PPAT. Kedua orang itu bisa berkualitas sebagai pelaku peserta dalam hal Notaris/PPAT menyalahgunakan kewenangan jabatannya, meskipun kedua orang lainnya itu bukan seorang notaris ; Perbuatannya itu (dapat) menimbulkan kerugian keuangan Negara;

Berdasarkan hasil penelitian, bahwa proses peralihan hak atas jual beli tanah dan bangunan di Jalan Siliwangi 440 Kalibantengkulon semarang, dilaporkan bahwa uang pajak pada proses peralihan hak atas jual beli tanah dan bangunan telah disalahgunakan oleh PPAT dimana terjadinya Tindak Pidana Korupsi Penggelapan uang pajak pada proses peralihan hak atas jual beli tanah dan bangunan. Dengan cara memalsukan dokumen setoran SSB di bank BPD Jateng dan Setoran SSP di bank BTN Cab. Semarang seakan-akan sudah terjadi Pembayaran Pajak BPHTB setoran SSB & SSP sebesar Rp.411.768.000,-(empat ratus sebelas juta tujuh ratus enam puluh delapan rupiah) Oleh karena itu kasus ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana umum dan tindak pidana korupsi bukan kasus tindak pidana perpajakan, karena bukan dilakukan oleh wajib pajak.


(15)

2. Kewenangan PPAT dikaitkan dengan Uang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Sebagai Uang Negara dan Tindak Pidana Korupsi

Sebagaimana dalam Pasal 24 ayat (1) UU BPHTB, menyebutkan bahwa kewajiban pembayaran BPHTB adalah kewajiban dari Wajib Pajak dan bukan kewajiban PPAT/Notaris, karena dalam pasal tersebut dikatakan bahwa Pejabat PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak BPHTB berupa Surat Setoran BPHTB. Dalam penjelasan ayat tersebut dikatakan bahwa penyerahan bukti pembayaran pajak dilakukan dengan menyerahkan fotokopi pembayaran pajak (SSB) dan menunjukkan aslinya.

Oleh karena itu Notaris disini hanya berperan untuk membantu klien untuk menyetorkan pajak BPHTB. Undang-undang juga tidak mengatur, bahwa kewenangan PPAT untuk mengetahui kebenaran pembayaran BPHTB. Yang memeriksa Dinas Pendapatan Daerah dengan melakukan verifikasi dengan mencocokkan Nomor Surat Setoran dengan data yang ada.

Dengan demikian, kewenangan maupun tanggung jawab PPAT berkaitan dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan sesungguhnya hanya sebatas melakukan penandatanganan atau pengesahan terhadap SPPD-BPHTB


(16)

sebelum ditanda tanganinya akta peralihan yang diinginkan para pihak. Jadi tanggung jawab PPAT bukan menjadi tempat pembayaran pajak BPHTB, maka sebaiknya PPAT menolak dan menyarankan serta menghimbaukan kepada para kliennya untuk melakukan pembayaran pajak BPHTB di Dinas Pendapatan Daerah terlebih dahulu sebelum menandatangani akta peralihan hak atas tanah.

Lebih lanjut, dalam pelaksanaan pembayaran BPHTB, PPAT sebagai salah satu pejabat yang berwenang untuk membuat akta perolehan hak atas tanah dan bangunan selain berperan dalam membantu tugas kantor pelayanan pajak guna mengamankan penerimaan Negara dari sektor pajak, juga dapat menimbulkan akibat hukum bagi PPAT jika melanggar ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-undang BPHTB.

Dalam suatu transaksi jual beli tanah dan atau bangunan, pembeli biasanya karena tidak mau repot, menitipkan pembayaran BPHTB kepada notaris atau Pemalsu. Di sinilah peluang untuk melakukan pemalsuan terjadi.

Dari hasil penelitian penulis kasus Pelaku, SH Ssebagai Notaris/PPAT telah menerima penitipan pembayaran BPHTB dari kliennya untuk disetorkan. Akan tetapi tidak pernah mebayarkannya ke kas negara sebaliknya notaris telah melakukan pemalsuan surat setoran bea (SSB) perolehan hak atas tanah dan bangunan dan surat setoran pajak (SSP).


(17)

Sebagaimana dalam Undang-undang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) menentukan beberapa Pejabat yang berwenang dalam pemenuhan ketentuan BPHTB atas suatu perolehan hak atas tanah dan bangunan. PPAT/Notaris ini diberi kewenangan untuk memeriksa apakah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) terutang sudah disetorkan ke Kas Negara oleh Pihak yang memperoleh hak sebelum pejabat yang berwenang menandatangani dokumen yang berkenaan dengan perolehan dimaksud.

Pejabat yang dimaksud tersebut ditunjuk karena kewenangannya dalam pembuatan akta dan pengesahan terjadinya perolehan hak. Pejabat tersebut adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat Lelang dan Pejabat Pertanahan. Pejabat yang berwenang sebagaimana yang dimaksud oleh Undang-undang, dalam pelaksanaannya mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 ayat (3) dan Pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1997 dan UU PDRD:

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam pelaksanaan Undang-Undang tentang BPHTB mempunyai tugas pokok dan fungsi membuat serta menandatangani akta peralihan hak atas tanah dan atau bangunan setelah subyek/wajib pajak BPHTB menyerahkan bukti penyetoran biaya pajak ke Kas Negara. Kemudian Pejabat Pembuat Akta Tanah melaporkan pembuatan akta Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan tersebut


(18)

kepada Direktorat Jenderal Pajak selambat-lambatnya pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.1

Menurut Habib Adjie, apabila akta PPAT telah dapat menjawab pertanyaan mengenai telah terpenuhi kecakapan dan kewenangan sedang Kantor Pertanahan masih memerlukan persyaratan yang berkaitan dengan terpenuhinya kecakapan dan kewenangan, maka Kantor Pertanahan akan ikut bertangung jawab atau setidak-tidaknya telah mengurus sesuatu hal yang seharusnya menjadi tanggung jawab PPAT.2

Dalam UU No. 28 tahun 2009 disebutkan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah atau Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat wajib pajak menyerahkan bukti setoran pajak berupa SSB. Dalam penjelasan ayat tersebut dikatakan bahwa penyerahan bukti pembayaran pajak dilakukan dengan menyerahkan fotokopi pembayaran pajak (SSB) dan menunjukkan aslinya.

Berdasarkan UU PDRD, bahwa kewajiban pembayaran BPHTB adalah kewajiban dari Wajib Pajak dan bukan kewajiban PPAT/Notaris, karena dalam pasal tersebut dikatakan bahwa Pejabat PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak BPHTB berupa Surat Setoran BPHTB. Oleh karena itu, salah satu tugas Notaris disini

1 Adjie, Habib, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, PT Citra

Aditya

Bandung, Bandung, 2009, h 16.


(19)

berperan untuk membantu klien untuk menyetorkan pajak BPHTB. Undang-undang juga tidak mengatur bahwa kewenangan PPAT untuk mengetahui kebenaran pembayaran BPHTB.3 Yang memeriksa Dinas Pendapatan Daerah dengan melakukan verifikasi dengan mencocokkan Nomor Surat Setoran dengan data yang ada.4

Sehubungan dengan hal tersebut, bahwa dalam kasus tersebut Notaris telah menerima penitipan pembayaran BPHTB dari kliennya untuk disetorkan. Maka berdasarkan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang BPHTB, Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris maka kewajiban pembayaran BPHTB adalah kewajiban dari Wajib Pajak dan bukan kewajiban PPAT/Notaris akan tetapi karena notaris tersebut telah menerima penitipan uang pembayaran BPHTB tersebut dari kliennya maka Notaris tersebut bertanggung jawab dalam jabatannya untuk menyetorkan pajak BPHTB tersebut karena telah dipercaya oleh kliennya.

Oleh karena itu notaris dalam menjalankan jabatannya serta melaksanakan tugasnya dalam memberikan pelayanan kepada kliennya tetap menghormati dan menjunjung tinggi kode etik profesi dan senantiasa menghayati dan mengingat sumpah jabatannya.

Sebelum menjelaskan lebih lanjut terkait adanya penyalahgunaan wewenang dalam pemungutan BPHTB dalam kasus Pelaku, ada baiknya

3 Hasil wawancara dengan Pelaku, Notaris/PPAT, Semarang, 4 April 2016 4 Hasil wawancara dengan Pelaku, Notaris/PPAT, Semarang, 4 April 2016


(20)

disamakan persepsi bahwa pemungutan pajak apapun harus berdasarkan hukum. Selanjutnya, harus pula disepakati bahwa dasar hukum atau legalitas pajak dan retribusi daerah adalah peraturan daerah. Artinya, selama tidak ada peraturan daerah, maka pungutan apapun bentuknya termasuk pungutan liar, ilegal, dan masuk kategori perbuatan melawan hukum.

Untuk menyamakan persepsi tersebut, maka menurut Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang. Artinya, negara dengan kekuasaannya tidak bisa sewenang-wenang memungut pajak apapun tanpa ada dasar hukum atau undang-undang.

Menurut Sugiharto bahwa peningkatan pendapatan dari bidang pajak, dapat dilakukan dengan menetapkan strategi yang tepat dalam pemungutan pajak, banyak hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemungutan pajak antara lain adalah asas dalam pemungutan pajak.5 Dalam pemungutan pajak terkait beberapa asas yakni asas yuridis, ekonomis dan finansial:

1) Asas Yuridis

Menurut asas ini untuk menjamin bahwa pemungutan pajak mencerminkan keadilan maka hukum pajak harus memberikan jaminan hukum yang nyata bagi Negara maupun bagi warganya, oleh karena itu maka pajak yang dipungut untuk kepentingan negara harus berdasarkan


(21)

undang-undang. Di Indonesia landasan hukum pemungutan pajak untuk kepentingan negara adalah Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

2) Asas Ekonomi

Asas ekonomi lebih menekankan pada pemikiran bahwa negara menghendaki agar kehidupan ekonomi masyarakat terus meningkat, untuk itu maka pemungutan pajak diupayakan tidak menghambat kelancaran perkembangan ekonomi juga akan selalu memperhitungkan biaya untuk melakukan pemungutan pajak (collection ratio) relevan dengan jumlah penerimaan yang diharapkan. Selain itu tidak kalah pentingnya asas ekonomi dalam pemungutan pajak ini justru lebih dekat dengan fungsi pengaturan (regulerred).

3) Asas Finansial

Suatu pemahaman bahwa fungsi pajak adalah fungsi budget, yaitu fungsi pajak untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara, sehubungan dengan itu agar hasil pemungutan pajak besar maka biaya pemungutannya harus sekecil-kecilnya.

Mengingat bahwa pajak adalah pungutan paksa yang dilakukan oleh pemerintah kepada wajib pajak tanpa kontraprestasi secara langsung yang dapat ditunjuk, menurut Miyasto dalam Dewi Kania Sugiharti bahwa pungutan pajak harus memenuhi asas-asas sebagai berikut:


(22)

1) Asas legal, berdasarkan asas ini setiap pemungutan pajak harus didasarkan pada undang-undang. Oleh karena itu setiap peraturan perpajakan, baik yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah, maupun peraturan yang lebih rendah tingkatannya harus ada referensinya dalam undang-undang”.

2) Asas kepastian hukum, menurut asas ini ketentuan-ketentuan perpajakan tidak boleh menimbulkan keragu-raguan dan kebingungan, tetapi harus jelas dan mempunyai pengertian sehingga tidak bersifat ambigu. Ketentuan-ketentuan pajak yang dapat ditafsirkan ganda akan menimbulkan celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh para penyelundup pajak.

3) Asas efisien, dimana pajak yang dipungut dari masyarakat kemudian digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan administrasi pemerintah dan pembangunan. Oleh karena itu suatu pungutan pajak harus efisien, jangan sampai biaya pemungutannya justru lebih besar dari hasil penerimaan pajaknya sendiri.

4) Asas non distorsi, berdasarkan asas ini Pajak yang dipungut harus tidak menimbulkan distorsi di dalam masyarakat, terutama distorsi ekonomi, pengenaan pajak seharusnya tidak menimbulkan dampak kelesuan ekonomi dan menghambat perkembangan ekonomi tetapi sebaliknya dapat memberikan stimulasi terhadap perkembangan dunia usaha.


(23)

5) Asas kesederhanaan, dalam hal ini yang dimaksud bahwa aturan-aturan perpajakan, harus dibuat secara sederhana sehingga mudah dimengerti oleh masyarakat wajib pajak, maupun oleh fiskus sebagai pihak-pihak yang terkait dengan perpajakan. Sederhana dalam sistem maupun tata caranya sehingga wajib pajak mudah dalam melaksanakan kewajibannya maupun haknya. Aturan-aturan pajak yang rumit disamping akan menyulitkan dalam pelaksanaan perpajakan juga akan menimbulkan penafsiran yang berbeda sehingga dapat celah hukum (loopholes) dan memudahkan terjadinya penghindaran pajak, disamping itu juga dapat menimbulkan keengganan bagi wajib pajak.6 Asas-asas tersebut akan dijadikan notaris, untuk memposisikan diri, menimbang kebenaran informasi yang diberikan, hal ini berkaitan dengan landasan logis dari Notaris dalam menilai suatu transaksi, logis dalam mengkaji nilai riil dari transaksi tersebut.

Lebih lanjut, dengan pertimbangan Undang-Undang 22 tahun 1999 yang disempurnakan oleh Undang-Undang 32 tahun 2004 yang intinya terdapat pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, diharapkan terciptanya kemandirian pengelolaan pemerintahan daerah melalui sistem otonomi daerah. Atas dasar itulah, maka Pemerintah Pusat mengalihkan beberapa pemungutan pajaknya kepada


(24)

Pemerintah Daerah, salah satunya adalah Pajak BPHTB dengan dasar Undang-Undang 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Merujuk dalam kasus ini, maka suatu transaksi jual beli tanah dan atau bangunan, pembeli biasanya karena tidak mau repot, menitipkan pembayaran BPHTB kepada Notaris atau Pemalsu. Di sinilah peluang untuk menggunakan uang titipan tidak sebagaimana mestinya. Namun demikian, belum tentu kesalahan selalu ada pada notaris. Karena, bisa saja pemalsuan dilakukan justru oleh pembelinya sendiri.

Dengan cara memalsukan SSB dan SSP tersebut, yang mana telah dilaporkan dan dilakukan penyidikan oleh penyidik Kepolisian Daerah Jawa Tengah yang dapat dianalisis, sebagai berikut :

Bahwa pada bulan November sampai dengan Desember 2010 atau setidak-tidaknya pada tahun 2010 di Kota Semarang telah diduga terjadi tindak pidana korupsi atas pemalsuan bukti setor dan validasi bank persepsi pembayaran pajak BPHTB / SSB dan PPh Final / SSP pada proses peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon, Kota Semarang tahun 2010 yang mengakibatkan kerugian Negara Rp 823.536.000,00 (delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu rupiah) yang dilakukan oleh Pelaku. Pelaku, dkk, sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dan/ atau Pasal 3 dan/ atau pasal 9 UU Rl No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Rl No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 15 UU Rl No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Rl No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 88 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Sehubungan dengan hal tersebut, bahwa dalam kasus tersebut Notaris Pelaku melakukan proses pembalikan nama berikut pembayaran pajak


(25)

BPHTB dan PPh (Final) sebagaimana diuraikan diatas terdapat perbuatan yang mengandung sifat melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang di mana proses pembalikan nama sertifikat HM No. 295 Kalibanteng Kulon tersebut, Pelaku secara sadar menyalahgunakan kewenangan selaku PPAT yang mempunyai kewenangan melakukan proses peralihan hak atas tanah dan bangunan tetapi sekaligus menawarkan diri untuk jasa pembayaran BPHTB dan PPh (Final) atas peralihan hak tersebut.

Namun alih-alih Pelaku membayarkan biaya BPHTB dan PPh (Final) tersebut, Pelaku justru meminta bantuan sdr. Pemalsu (Pensiuan pegawai BPN Kota Semarang) untuk dibuatkan bukti setor pembayaran BPHTB dan PPh (Final) palsu dan menggunakan bukti setor/ pembayaran BPHTB dan PPh (Final) yang palsu (fiktif) tersebut dengan secara sadar dan diketahui oleh Pelaku . Bahwa uang setoran pajak (BPHTB dan PPh Final) sejumlah Rp. 823.536.000,00 yang berada dalam penguasaan Pelaku selaku Notaris / PPAT dari wajib pajak tersebut adalah merupakan uang yang seharusnya disetorkan ke Negara atau masuk pengertian keuangan Negara yang wajib disetorkan ke Kas Negara atau masuk pengertian keuangan Negara yang wajib disetorkan ke Kas Negara oleh Pelaku selaku Notaris / PPAT, dalam jumlah yang sama. Bahwa uang setoran pajak (BPHTB dan PPh Final) sejumlah Rp. 823.536.000,00 yang berada dalam penguasaan Pelaku selaku Notaris/ PPAT adalah merupakan uang yang seharusnya disetorkan ke


(26)

Negara atau masuk keuangan Negara karena uang setoran pajak BPHTB dan PPh (Final) adalah menjadi hak Negara, meskipun secara fisik belum dalam penguasaan Negara melainkan masih dalam penguasaan Pelaku selaku Notaris/ PPAT disebabkan karena kedudukannya sebagai PPAT yang menyelesaikan akta-akta peralihan hak atas tanah, yang menawarkan diri kepada para wajib pajak untuk membayarkan uang pajak tersebut.

Sifat uang Negara menjadi melekat / timbul atas sejumlah uang Rp. 823.536.000,00 itu terjadi adalah sejak wajib pajak yang in casu pihak wajib pajak mempercayakan dan menyerahkan uang itu pada dan diterima Notaris / PPAT, sehingga pejabat yang karena kedudukannya sebagai PPAT boleh menerima titipan untuk disetor ke Kas Negara tentunya melalui Bank Persepsi.

Maka terhadap uang yang seharusnya disetorkan ke Negara tidak dibenarkan melakukan perbuatan hukum yang lain dari pada perbuatan hukum yang menjadi kewajiban hukumnya untuk dilakukan/ harus dilakukan oleh seorang pejabat in casu notaris / PPAT (Pelaku ) terhadap uang itu in casu menyetorkannya ke Kas Negara. Maka apabila melakukan perbuatan tidak menyetorkan uang titipan yang seharusnya milik Negara sama dengan perbuatan yang melanggar kewajiban hukum yang artinya sama dengan perbuatan menyalahgunakan kewenangan jabatan, yang jika (dapat) menimbulkan lenyap / hilang sebagian atau seluruhnya uang tersebut akibat


(27)

perbuatan itu, sama artinya dengan melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian keuangan Negara, sama artinya dengan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/ atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Akan tetapi, permasalahan yang dibahas dalam kasus yang Penulis uraikan di atas juga merupakan kasus penggelapan uang titipan pembayaran pajak BPHTB dan PPh yang diduga dilakukan oleh Pelaku terhadap proses jual SHM No. 295/ Kalibanteng Kulon serta menggunakan bukti setor palsu BHTB / SSB dan PPh (final)/ SSP tersebut untuk syarat kelengkapan berkas pendaftaran peralihan hak SHM No. 295/ Kalibanteng Kulon. Akibat perbuatan tersebut, Negara mengalami kerugian sebesar Rp.823.536.000,00,. Mengkaji kembali terhadap sejak diberlakukannya Undang-Undang 28 tahun 2009, pemungutan BPHTB dari Pemerintah Pusat dialihkan kepada Pemerintah Daerah sejak 1 Januari 2011, seperti yang tercantum dalam Pasal 180, bahwa Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan tetap berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang ini. Ketentuan Pasal 180 tersebut tidak serta merta pada 1 Januari 2011 itu


(28)

Pemda bisa langsung memungutnya, sebab ada syarat yang harus dipenuhi, sebagaimana isi Pasal 184, bahwa peraturan pelaksanaan atas Undang-undang ini ditetapkan paling lambat satu tahun sejak Undang-Undang-undang ini diundangkan.

Dalam penjelasan dari Pasal 184 yang menyebutkan, peraturan pelaksanaan atas Undang-undang ini (Undang-Undang 28 tahun 2009) ada dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-495/MK/2010, bahwa persiapan yang diperlukan untuk pemungutan BPHTB antara lain : Landasan hukum pemungutan BPHTB berupa Peraturan Daerah tentang BPHTB; Sistem dan Prosedur pemungutan BPHTB, yang ditetapkan dengan peraturan Kepala Daerah; Data NJOP, untuk validasi pembayaran BPHTB; dan Melakukan sosialisasi tentang tata cara pemungutan BPHTB kepada pihak terkait termasuk Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Notaris, Kantor Lelang, dan kantor Pertanahan.

Dalam praktek sehari-hari, Wajib Pajak yang mewakilkan kepada Notaris/PPAT, menyetorkan BPHTB yang terhutang atas transaksi yang dibuat dihadapannya ( Jual Beli) ke Bank persepsi yaitu Bank BPD Jateng dan Bank Rakyat Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 7 Peraturan Walikota Nomor 24 Tahun 2011, Surat Setoran BPHTB ini harus diteliti lebih dahulu (verifikasi) oleh Dinas Pendapatan Kota Semarang, baru dapat dipergunakan sebagai lampiran dari akta pemindahan hak untuk didaftarkan di Kantor


(29)

Pertanahan Kota Semarang. Saat ini kegiatan verifikasi ini sudah mulai mengarah kepada hal-hal yang sifatnya kolektif. Penelitian dilakukan mencakup 2 hal, yaitu :

1) Kebenaran dari informasi yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD),

2) Kelengkapan Dokumen pendukung Surat Setoran BPHTB.

Berdasarkan pada Kasus Pelaku, dimana masalah yang timbul disebabkan karena tindakan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan Notaris/PPAT melalui kedudukan tugas dan tanggungjawabnya sebagai pejabat umum untuk menunjang tata cara pembayaran BPHTB.

Faktor utama tersebut, lahir dari praktek notaris, karena memang permasalahan-permasalahan tersebut sangat menghambat tugas/kerja notaris. Sanksi terhadap notaris sangat jelas tetapi kenyataannya dukungan administrasi guna mengefektifkan peran notaris dalam pemungutan BPHTB hadiah tidak maksimal, contoh lain adalah ketentuan praktek harus dibayar dulu BPHTB baru dilakukan penandatangan akta, padahal ketentuan lain sebelum akta ditandatangani belum terjadi peralihan hak, sehingga status kepemilikan antara pembayaran BPHTB dan sebelum penandatangan akta, tanah masih milik penjual, karena BPHTB belum merupakan bukti terjadinya peralihan objek tanah dan bangunan yang dimaksud. Dasar-dasar pemikiran


(30)

tersebut yang perlu direvisi kembali dalam pola administrasi baru menyangkut pengaturan dalam pemungutan BPHTB.

Secara hukum, untuk mengetahui penyalahgunaan wewenang (penggunaan wewenang yang melanggar hukum) harus dilihat dari segi sumber atau lahirnya wewenang. Ini sejalan dengan konsep hukum, “Di dalam setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan tertentu

tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan” (geen bevoegdheis zonder verantwoordelikjkheid atau there is no authoritu without responbility).7 Ini membuktikan bahwa dalam hukum administrasi di setiap penggunaan wewenang di dalamnya terkandung pertanggungjawaban, namun tidak semua pejabat yang menjalankan wewenang itu secara otomatis memikul tanggung jawab karena harus dapat melihat apakah pejabat yang bersangkutan yang memikul jabatan tersebut, baik dilihat dari cara memperoleh dan menjalankan wewenang. Menurut L.J.A Damen, yang

mengatakan bahwa “ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang diuji dengan asas spesialitas (specialiteitsbeginsel) yakni asas yang menentukan bahwa wewenang itu diberikan kepada organ pemerintahan dengan tujuan tertentu”. Jika menyimpang dari tujuan diberikannya wewenang ini dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang.8

7 Nur Basuki, Minarno, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana

Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Palangkaraya : Laksbang Mediatama, hal 75-76


(31)

Di dalam hukum administrasi asas legalitas/keabsahan (legaliteit beginsel/wetmatigheid van bestuur) mencakup tiga aspek, yaitu: wewenang, prosedur, dan substansi. Artinya wewenang, prosedur maupun substansi harus berdasarkan peraturan perundang–undangan (asas legalitas), karena pada peraturan perundang-undangan tersebut sudah ditentukan tujuan diberikannya wewenang kepada pejabat administrasi, bagaimana prosedur untuk mencapai suatu tujuan serta menyangkut tentang substansinya.

Indriyanto Seno Adji, memberikan pengertian penyalahgunaan wewenang dengan mengutip pendapatnya Jean Rivero dan Waline dalam

kaitannya “detournement de pouvoir” dengan “Freis Ermessen”, penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud yaitu :

1) Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan,

2) Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar diajukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya,

3) Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.

Selanjutnya jika dikaji dari sisi akibat atau dampak negatif yang sangat merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru


(32)

sampai saat ini, jelas bahwa perbuatan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia.9

Cara dan metode tindak kejahatan korupsi juga semakin canggih, kejahatan ini semakin bisa mengikuti perkembangan zaman dan juga mengikuti perkembangan aturan yang ada. Kejahatan ini bermetamorfosis dengan baik dan semakin rapi dalam prakteknya. Perilaku kejahatan ini mewabah tidak hanya dalam sisi masyarakat yang secara financial membutuhkan uang atau dengan kata lain melakukan kejahatan korupsi berdasarkan terdesak kebutuhan ekonomi, bahkan cenderung mewabah pada pegawai pemerintah yang dalam sisi ekonomi lebih mapan dan memiliki pendapatan yang tetap.

Public officials’ excessive desire for material wealth has been deemed as among the major causes of the rampaging corruption in Indonesia. This is believed to have contributed to the high demand for civil servant positions in the government. In fact, evidence suggests that there is even an underground market for those who are willing to pay a huge amount of money to succeed in civil servant recruitments.10

Sudut pandang ini timbul atas terlalu banyaknya kegagalan dalam upaya pemberantasan korupsi yang hanya melihat korupsi merupakan kejahatan yang didasarkan pada subjeknya yaitu manusia yang merupakan makhluk ekonomi yang memiliki kebutuhan. Salah satu upaya yang marak dilakukan adalah dengan berbagai perubahan kebijakan pemerintah secara

9 Lilik Mulyadi, Op. cit, 2007, hal 5


(33)

merata maupun pihak swasta untuk meningkatkan gaji Pemalsu, yang terbukti belum maksimal untuk menekan angka kejahatan korupsi. Oleh karena itu, menempatkan korupsi dalam kerangka manusia sebagai makhluk ekonomi atau homo economicus sungguh tidak memadai.

Barangkali karena kerangka pemikiran ini, pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan secepat harapan kita semua. Praktis hampir semua kebijakan pemberantasan korupsi dirancang berdasarkan kerangka pemikiran yang menggunakan asumsi homo economicus itu. Korupsi diberantas dengan menaikkan gaji dan meningkatkan hukuman untuk membuat efek jera. Bila penghasilan resmi dinaikkan, maka seseorang tidak akan tergoda untuk mencari tambahan penghasilan melalui cara-cara korupsi. Demikian juga ketika ancaman hukuman diperberat, seseorang tidak akan berani lagi melakukan korupsi.11

Namun penegakan hukum tidak akan pernah berhenti begitu saja, sebab bagaimanapun juga hukum akan terus mengikuti kemajuan jaman dan kebutuhan masyarakat. Metamorfosis hukum sama halnya juga dengan kejahatan, selalu akan berubah seiring jaman. Dalam hal ini yaitu permasalahan kejahatan korupsi, hukum di Indonesia juga terus berkembang. Berdasar pada salah satu tuntutan dari rakyat Indonesia adalah pemberanasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang diawali dengan adanya Ketetapan


(34)

MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Lalu secara yuridis normatif berbagai peraturan perundang-undangan sebagai sarana pemberantasan korupsi mulai tercipta, dinataranya yaitu Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, selanjutnya Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah dirubah ke dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Sehingga saat ini Indonesia memakai Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai salah satu cara untuk memberantas korupsi dengan pendayagunaan hukum pidana.

Dalam tata hukum Indonesia, istilah Korupsi sudah dikenal setelah diundangkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi, yang selanjutnya mengalami perubahan dan pembaharuan menjadi Undang-Undang Nomor 24 Prp 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, hingga Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan kini Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan sejak berlakunya KUHP (sejak Pemerintah Kolonial Belanda Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch, S 1915 No. 732, mulai berlaku 1 Januari 1918) sudah ada


(35)

pengaturan tindak pidana yang berkaitan dengan korupsi. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum pidana (termasuk dalam hukum pidana khusus) didayagunakan untuk menanggulangi tindak pidana korupsi. Undang-Undang tersebut merupakan salah satu sarana (penal) yang memerlukan sarana lain (non-penal) secara terpadu, dan kesemuanya itu sebagai pengoperasian perundang-undangan pidana dalam masyarakat, maka tidak dapat terpisahkan dari problema kemasyarakatan menyangkut politik, sosial, ekonomi, dan budaya.12

Pendayagunaan sanksi hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan, lebih konkretnya mengoperasikan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang merupakan perundang-undangan pidana dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi akan menghadapi problema keterbatasan kemampuannya. Mengingat tipe atau kualitas sasaran (yakni korupsi) yang bukan merupakan tindak pidana sembarangan (dilihat dari pelaku dan modus operandinya) sering dikategorikan sebagai White Collar crime. Oleh karena itu, upaya dengan sarana lainnya secara bersama-sama sudah seharusnya dimanfaatkan. Bahkan dalam perkembangannya, bukan hanya secara peraturan perundang-undangan saja yang dimaksimalkan dan


(36)

semakin berkembang, namun juga instansi dan metode dari para aparat penegak hukum untuk dapat memberantas korupsi yang merajalela di Indonesia.

C. Pemenuhan Unsur Tindak Pidana Korupsi Pada

Penyimpangan Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB)

Suatu perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai tindak pidana apabila perbuatan tersebut telah memenuhi seluruh unsur-unsur dari pasal atau aturan yang mengatur dimana perbuatan tersebut dinyatakan dilarang. Dalam hal adanya suatu dugaan tindak pidana, penegak hukum harus dapat menyidik untuk memperoleh kejelasan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku benar merupakan suatu tindak pidana. Proses hukum lalu berlanjut dengan penerapan sanksi untuk mengetahui peraturan apa saja yang telah dilanggar serta sejauh mana perbuatan pelaku melanggar perturan tersebut. Pada akhirnya, setelah melalui proses pembuktian, diputuskanlah sanksi pidana yang akan diterapkan kepada pelaku.

Menurut Utrecht Hukum adalah himpunan peraturan (baik berupa perintah maupun larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah. Tujuan hukum mempunyai sifat universal seperti


(37)

ketertiban, ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya hukum maka tiap perkara dapat di selesaikan melalui proses pengadilan dengan perantara hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku,selain itu Hukum bertujuan untuk menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak dapat menjadi hakim atas dirinya sendiri.

Dalam tata hukum Indonesia, istilah Korupsi sudah dikenal setelah diundangkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi, yang selanjutnya mengalami perubahan dan pembaharuan menjadi Undang-Undang Nomor 24 Prp 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, hingga Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan kini Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan sejak berlakunya KUHP (sejak Pemerintah Kolonial Belanda Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch, S 1915 No. 732, mulai berlaku 1 Januari 1918) sudah ada pengaturan tindak pidana yang berkaitan dengan korupsi. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum pidana (termasuk dalam hukum pidana khusus) didayagunakan untuk menanggulangi tindak pidana korupsi. Undang-Undang tersebut merupakan salah satu sarana


(38)

(penal) yang memerlukan sarana lain (non-penal) secara terpadu, dan kesemuanya itu sebagai pengoperasian perundang-undangan pidana dalam masyarakat, maka tidak dapat terpisahkan dari problema kemasyarakatan menyangkut politik, sosial, ekonomi, dan budaya.13

Dalam upaya pembuktian Tindak Pidana Korupsi, terjadi perbedaan pendapat diantara praktisi hukum mengenai apakah Perkara Pokok dari Tindak Pidana Korupsi harus dibuktikan terlebih dahulu atau tidak? apa yang sebenarnya menjadi sumber permasalahannya hingga menyebabkan perbedaan pandangan tersebut. Dalam hal ini, mencoba menemukan dan mengkaji sumber permasalahan tersebut, yang dimulai dari penguraian unsur tersebut.

(1). Setiap orang yang dengan sengaja:

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Unsur "Dengan Sengaja":

Jika dalam suatu perumusan tindak pidana digunakan istilah dengan sengaja, menurut doktrin harus ditafsirkan secara luas, artinya mencakup:


(39)

kesengajaan sebagai maksud (oogmerk), kesengajaan dengan kesadaran pasti atau keharusan (opzet bij zekerheids ofnoodzalijkheids bewustzqn), kesengajaan dengan menyadari kemungkinan (dolus eventualis). Sehingga pengertian dengan sengaja sebagai dikehendaki dan diinsyafi telah diperluas. Jadi menghendaki dan atau menginsyafi tidak hanya berarti apa yang betul-betul dikehendaki dan atau diinsyafi oleh pelaku, tetapi juga hal-hal yang mengarah atau berdekatan dengan kehendak atau keinsyafan itu.14

Penempatan unsur kesengajaan, dalam Pasal 2 ditempatkan pada awal perumusan delik sangat berpengaruh dalam pembuktian unsur-unsur selanjutnya dalam Pasal yang bersangkutan. Unsur kesengajaan diletakkan pada awal perumusan delik, atau dengan perkataan lain dibelakang unsur kesengajaan terdapat unsur-unsur : tindakan terlarang dan diancam pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum dan keadaan-keadaan tertentu. Maka ketiga unsur tersebut harus diliputi oleh unsur kesengajaan. Misalnya : delik dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999:

“Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri

atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara paling sedikit I (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)"."

14 Sianturi, EY Kanter, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni


(40)

Penempatan unsur kesengajaan di depan perumusan delik tersebut berarti pelaku harus mengetahui dan/atau menginsyafi :

 tindakannya dalam menempatkan harta kekayaan.  sifat melawan hukum dari harta kekayaan tersebut.

Unsur Diketahui dan Patut diduga:

Dilihat dari uraian unsur-unsur diketahui dan patut diduga dalam pasal 3 diatas, dapat dikatakan bahwa pasal tersebut diliputi oleh kesengajaan (diketahui), 46 tetapi mungkin pula diliputi kealpaan (patut diduga), atau dalam bahasa latinnya disebut (PRO PARTUS DOLUS PRO PARTUS CULPA (1/2 Dolus 1/2 Culpa).

Apabila perbuatan menempatkan harta kekayaan itu diketahui bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari kejahatan, maka perbuatan tersebut disengaja (DOLUS), sedangkan apabila asal-usul harta kekayaan yang ditempatkannya itu tidak diketahui berasal dari kejahatan tetapi si pelaku lalai dan kurang hati-hati dalam menilainya maka perbuatan tersebut menjadi lalai (CULPA).;

Akan tetapi dikarenakan pada awal perumusan delik dalam Pasal 3 telah dicantumkan unsur dengan sengaja, maka akan berakibat lain dengan unsur patut diduga, sehingga unsur kesengajaan harus termasuk didalamnya. Misalnya : dalam hal ini Jaksa hanya dapat mendakwa seseorang yang


(41)

sengaja menempatkan harta kekayaan (diatas 50 juta rupiah) yang dia ketahui bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari suatu kejahatan korupsi.

Apabila unsur patut diduga dalam Pasal 3 tidak diliputi unsur kesengajaan, maka Jaksa dapat membarengkan pembuktiannya, si pelaku yang menempatkan harta kekayaan tersebut mengetahui bahwa harta tersebut berasal dari korupsi atau seharusnya si pelaku patut menduga bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari kejahatan korupsi, sehingga Jaksa dalam hal ini dapat membuktikan secara alternatif yaitu harta kekayaan yang diketahui pelaku tersebut berasal dari korupsi atau dapat memfokuskan pada kealpaan si pelaku dalam menilai pengetahuannya terhadap harta kekayaan tersebut.

Kemudian dibantu dengan penjelasan Pasal 3 yang menyebutkan yang dimaksud dengan merupakan hasil tindak pidana yaitu sudah terdapat bukti permulaan yang cukup atas terjadinya tindak pidana, penjelasan tersebut bertujuan untuk dapat lebih mempermudah pembuktian korupsi dalam hal adanya perkara pokok tanpa menunggu proses perkara pokoknya tersebut ke tingkat pengadilan. Hal tersebut dapat diperbandingkan dalam pembuktian Pasal 480 KUHP soal Penadahan yang dalam rumusan pasal tersebut sebagian unsurnya diliputi oleh kesengajaan tetapi mungkin pula diliputi oleh kealpaan (Pro Partus Dolus Pro Partus Culpa), dimana perkara penadahan dapat diajukan dan diputus dalam sidang pengadilan tanpa menunggu pembuktian Perkara Pencuriannya.


(42)

Pasal 480 KUHP

Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah :

1. barangsiapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadai, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan, sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnva harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan.

Namun ada prinsip dasar dalam Pasal 480 KUHP yang membedakannya dengan korupsi, yaitu: Pelaku Kejahatan Pokoknya (misalnya si Pencurinya) tidak dapat dikenakan penadahan walaupun ia sendiri yang menjual barang hasil curiannya dengan hasrat mendapat untung (utwinsbejag). Dimana menurut Arrest Hoge Raad tahun 1927 mengenai Pasal 480 KUHP, ditentukan bahwa pencuri yang dengan hasrat untuk mendapat untung menjual sendiri barang curiannya, tidak dapat dikatakan penadahan (helen), sekalipun itu memenuhi unsur yang tersebut dalam Pasal

480 KUHP. Sebab Pasal 480 KUHP dinamakan “kejahatan yang mempermudah orang melakukan kejahatan”.15

Sedangkan yang dimaksud dengan korupsi adalah suatu proses untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan untuk menghindari penuntutan dan atau penyitaan, dengan

15 M Suharto, Hukum Pidana Materiil, Unsur-unsur Obyektif sebagai Dasar Dakwaan, Edisi


(43)

hasil akhir dari proses itu adalah hasil tindak pidana "menjelma" seolah-olah menjadi harta yang sah.

Sehingga pelaku korupsi selain dikenakan dakwaan Pasal 365 KUHP tetapi juga dapat dikenakan Dakwaan Tindak Pidana Pencucian Uang, apabila ia sendiri yang menempatkan harta kekayaan yang berasal dari hasil korupsi tersebut.

Berkaitan dengan kasus yang diteliti, bahwa Pelaku merupakan PPAT/Notaris yang terbukti melakukan tindak pidana dengan berbagai macam rentetan kasus diantarnya Penggelapan uang Pajak, Korupsi dalam hal ini penyalahgunaan wewenang dalam jabatan.

Atas kasus dugaan korupsi yang dilakukan Pelaku melalui pemalsuan SSB dan SSP, telah dilakukan penyidikan oleh penyidik Kepolisian Wilayah Polda Jateng yang dapat dianalisis, sebagai berikut :

Bahwa pada bulan November sampai dengan Desember 2010 atau setidak-tidaknya pada tahun 2010 di Kota Semarang telah diduga terjadi tindak pidana korupsi atas pemalsuan bukti setor dan validasi bank persepsi pembayaran pajak BPHTB / SSB dan PPh Final / SSP pada proses peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon, Kota Semarang tahun 2010 yang mengakibatkan kerugian Negara Rp 823.536.000,00 (delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu rupiah) yang dilakukan oleh Pelaku, dkk, sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat


(44)

(1) dan/ atau Pasal 3 dan/ atau pasal 9 UU Rl No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Rl No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 15 UU Rl No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Rl No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 88 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP,

Sehubungan dengan hal tersebut, bahwa dalam perbuatan Pelaku kasus tersebut Notaris Pelaku melakukan proses pembalikan nama berikut pembayaran pajak BPHTB dan PPh (Final) sebagaimana diuraikan diatas terdapat perbuatan yang mengandung sifat melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang di mana proses pembalikan nama sertifikat HM No. 295 Kalibanteng Kulon tersebut, Pelaku secara sadar menyalahgunakan kewenangan selaku PPAT yang mempunyai kewenangan melakukan proses peralihan hak atas tanah dan bangunan tetapi sekaligus menawarkan diri untuk jasa pembayaran BPHTB dan PPh (Final) atas peralihan hak tersebut. Namun alih-alih Pelaku membayarkan biaya BPHTB dan PPh (Final) tersebut, Pelaku justru meminta bantuan sdr. Pemalsu (Pensiunan Pegawai BPN Kota Semarang) untuk dibuatkan bukti setor pembayaran BPHTB dan PPh (Final) palsu dan menggunakan bukti setor/ pembayaran BPHTB dan PPh (Final) yang palsu (fiktif) tersebut dengan secara sadar dan diketahui oleh Pelaku . Bahwa uang setoran pajak (BPHTB dan PPh Final) sejumlah


(45)

Rp. 823.536.000,00 yang berada dalam penguasaan Pelaku selaku Notaris / PPAT dari wajib pajak tersebut adalah merupakan uang yang seharusnya milik Negara atau masuk pengertian keuangan Negara yang wajib disetorkan ke Kas Negara atau masuk pengertian keuangan Negara yang wajib disetorkan ke Kas Negara oleh Pelaku selaku Notaris / PPAT, dalam jumlah yang sama. Bahwa uang setoran pajak (BPHTB dan PPh Final) sejumlah Rp. 823.536.000,00 yang berada dalam penguasaan Pelaku selaku Notaris/ PPT adalah merupakan uang Negara atau masuk keuangan Negara karena uang setoran pajak BPHTB dan PPh (Final) adalah menjadi hak Negara, meskipun secara fisik belum dalam penguasaan Negara melainkan masih dalam penguasaan Pelaku selaku Notaris/ PPAT disebabkan karena kedudukannya sebagai PPAT yang menyelesaikan akta-akta peralihan hak atas tanah, yang menawarkan diri kepada para wajib pajak untuk membayarkan uang pajak tersebut.

Sifat uang Negara menjadi melekat / timbul atas sejumlah uang Rp. 823.536.000,00 itu terjadi adalah sejak wajib pajak yang in casu pihak wajib pajak mempercayakan dan menyerahkan uang itu pada dan diterima Notaris / PPAT, sehingga pejabat yang karena kedudukannya sebagai PPAT boleh menerima titipan untuk disetor ke Kas Negara tentunya melalui Bank Persepsi.


(46)

Maka perlakuan terhadap uang Negara tidak dibenarkan melakukan perbuatan hukum yang lain dari pada perbuatan hukum yang menjadi kewajiban hukumnya untuk dilakukan/ harus dilakukan oleh seorang pejabat in casu notaris / PPAT (Pelaku ) terhadap uang itu in casu menyetorkannya ke Kas Negara. Maka apabila melakukan perbuatan yang lain itu sama dengan perbuatan melanggar kewajiban hukum yang artinya sama dengan perbuatan menyalahgunakan kewenangan jabatan, yang jika (dapat) menimbulkan lenyap / hilang sebagian atau seluruhnya uang tersebut akibat perbuatan itu, sama artinya dengan melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian keuangan Negara, sama artinya dengan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/ atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selain itu, berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No. Pol. : SP. Sidik/96 a/III/2012/Reskrimsus dan No. Pol. : SP.Sidik/485/VII/2014/ Reskrimsus, serta No. Pol. : SP.Sidik/664/X/2014/ Reskrimsus, Pelaku ditetapkan sebagai Pelaku dalam kasus dugaan tindak pidana Korupsi atas proses peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon, Kota Semarang tahun 2010 yang menyebabkan tidak terbayarnya pajak PPh Final / SSP dan BPHTB / SSB (dan uang pajaknya dipergunakan secara pribadi oleh Pelaku ) sehingga mengakibatkan kerugian Negara sebesar Rp


(47)

823.536.000,00 (delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu rupiah).

Perbuatan Pelaku telah memenuhi unsur delik pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1), pasal 3 dan pasal 9 UU Rl No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan UU Rl No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan UU Rl No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, dengan uraian analisa pembuktian yuridis sebagai berikut:

1. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 31 tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Bunyi pasal

"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00".

Pembahasan dan Analisa Yuridis Unsur-Unsur Pasal di atas, sebagai berikut :


(48)

a. Setiap orang

Terdapat adanya orang yang bernama Pelaku sebagai Notaris/PPAT yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi dengan cara memalsukan bukti setor dan validasi bank persepsi pembayaran pajak BPHTB / SSB dan PPh Final / SSP pada proses peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon, Kota Semarang tahun 2010 yang menyebabkan tidak terbayarnya pajak PPh Final / SSP dan BPHTB / SSB ke Kas Negara sementara Negara telah berprestasi menyelesaikan proses peralihan (proses balik nama Sertifkan Hak Milik telah selesai menjadi atas nama pembeli) sehingga mengakibatkan kerugian Negara ± Rp 823.536.000,00 (delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu rupiah).

b. Unsur melawan hukum :

Unsur melawan hukum dalam hukum pidana terdapat ajaran

tentang “sifat melawan hukum” (SMH) terdiri dari SMH formil dan

SMH materil. SMH formil, hukum adalah hukum tertulis yaitu peraturan perundang-undangan (wet). Terpenuhinya sifat melawan hukum apabila pelaku melanggar atu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (onwetmatigedaad). SMH materil, hukum tidak hanya hukum tertulis tetapi juga hukum yang tidak tertulis (unwritten


(49)

law) hukum adalah recht. Terpenuhinya sifat melawan hukum apabila pelaku melanggar atau bertentangan dengan hukum (onrechtmatigedaad).

SMH materil terdiri dari SMH materil dalam fungsinya yang positif dan SMH materil dalam fungsinya yang negatif. SMH materil dalam fungsinya yang negatif sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 jo UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi (UUTPK)

“Yang dimaksud dengan secara melawan hukum

dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan

tersebut dapat dipidana”.

Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUTPK ini telah dicabut dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2006, sehingga UUTPK tidak menganut ajaran sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang positif. Oleh karena itu, terpenuhinya unsur melawan hukum apabila perbuatan pelaku melanggar atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang negatif terdapat dalam yurisprudensi, yaitu putusan MA No. 42/KR/1965 yang pada intinya menyatakan bahwa suatu perbuatan yang memenuhi


(50)

unsur-unsur tindak pidana korupsi, dapat hilang sifat melawan hukumnya, sehingga pelaku tidak dapat dipidana apabila:

1. Negara tidak dirugikan; 2. Terdakwa tidak dapat untung; 3. Kepentingan umum dilayani.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur melawan hukum terpenuhi apabila perbuatan pelaku bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan (onwetmatigedaad). Unsur melawan hukum tidak terpenuhi apabila:

1. Negara tidak dirugikan; 2. Terdakwa tidak dapat untung; 3. Kepentingan umum dilayani.

Berdasarkan kasus tindak pidana korupsi yang didakwakan dalam penggelapan pajak yang ada, bahwa perbuatan Pelaku tersebut telah melawan hukum formil, sebagai berikut :

1) Undang-undang No. 20 Tahun 2000 tentang BPHTB

a) Pasal 24 (1) : PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani Akta Pemindahan Hak atas tanah dan atau Bangunan setelah wajib pajak menyerahkan Bukti Pembayaran Pajak;


(51)

Penjelasan Pasal 24 (1) tersebut menyebutkan bahwa penyerahan bukti pembayaran pajak dilakukan dengan menyerahkan fotokopi pembayaran pajak dan menunjukkan aslinya.

b) Pasal 24 (3) : Kepala Kantor Pertanahan Kab./ Kota hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.

Pasal 25 (1) : PPAT/ Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang perolehan hak atas tanah dan bangunan kepada Dirjen Pajak selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya;

1) PP No. 37 tahun 1998 tentang PPAT, Pasal 26 (3) : PPAT Wajib mengirim laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya, yang diambil dari buku daftar akta PPAT kepada Kepala Kantor Pertanahan dan kantor-kantor lain sesuai ketentuan Undang – undang atau PP yang berlaku selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya.

2) Bahwa dalam penjelasan pasal 2 Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dimaksud dengan unsur melawan hukum adalah mencakup


(52)

perbuatan melawan hukum dalam arti formil, maka perbuatan Pelaku . Pelaku yang menggunakan bukti setor (termasuk validasi bank persepsinya) palsu untuk dipergunakan sebagai syarat dalam pendaftaran proses peralihan hak SHM 295 di kantor pertanahan kota Semarang, sementara Pelaku mengetahui dan sadar bahwa bukti setor BPHTB dan validasinya tersebut palsu adalah telah memenuhi unsur/ delik formil.

c. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

Pelaku dengan sengaja tidak membayarkan uang setoran pajak yang dititipkan oleh wajib pajak kepadanya sebesar Rp. 823.536.000.,00 dan menggunakan bukti setoran pajak palsu untuk pendaftaran proses peralihan hak atas tanah SHM No. 295/Kalibanteng Kulon, Kota Semarang di Kantor Pertanahan Kota Semarang adalah merupakan perbuatan memperkaya diri sendiri, karena dengan tidak disetorkannya uang tersebut untuk pembayaran pajak, maka kekayaannnya bertambah Rp 823.536.000,00 yang kemudian sebagian diserahkan kepada Pemalsu sebesar Rp. 30.000.000 dan Karyawan Pelaku I sebagai fee atas jasa mereka membuatkan bukti setor pajak dan validasi palsu, adalah merupakan perbuatan memperkaya orang lain,


(53)

karena pada akhirnya kekayaan Pelaku dan Karyawan Pelaku I bertambah sebesar bagian yang mereka terima;

Karena besarnya pajak yang dibayarkan tidak sesuai dengan

ketentuan, dimana perbuatan ini telah “memperkaya suatu diri sendiri”

Akibat diterimanya permohonan keberatan pajak dari wajib pajak, Pelaku tersebut menerima keuntungan dalam hal ini jelas telah merugikan Negara.

d. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara

Bahwa dengan terjadinya transaksi jual beli yang menimbulkan kewajiban pajak bagi para pihak selaku wajib pajak tersebut, kemudian tidak disetorkannya uang pembayaran pajak PPh (final) dan BPHTB yang sudah dititipkan oleh wajib pajak kepada Notaris ke Kas Negara tetapi digunakan untuk kepentingan pribadi Notaris/PPAT Pelaku tersebut, maka dengan mengacu pada definisi tentang kerugian negara bahwa kerugian negara terjadi karena berkurangnya aset negara baik yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum seseorang, dimana berkurangnya asset tersebut terjadi karena uang yang seharusnya tidak keluar dari kas negara tetapi ternyata keluar dari kas negara ataupun uang yang seharusnya masuk ke kas negara ternyata tidak dimasukan ke kas Negara, maka


(54)

kejadian tersebut setidak tidaknya dapat mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara.

Dengan demikian akibat perbuatan Pelaku . Pelaku bersama-sama Pemalsu dan Karyawan Pelaku I dengan melakukan pemalsuan bukti setor Pajak dan validasinya dan tidak menyetorkan uang titipan pembayaran pajak dari wajib pajak sebesar Rp 823.536.000,00 tersebut ke kas Negara, maka berakibat Negara dirugikan sebesar Rp.823.536.000,00.

Dari hasil uraian analisa pembuktian yuridis tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terhadap Pelaku telah cukup bukti melakukan perbuatan pidana yang memenuhi unsur/ delik Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Bunyi Pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:


(55)

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00".

a. Setiap orang

Terdapat adanya orang yang bernama Pelaku sebagai Notaris/PPAT yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi terkait terkait pemalsuan bukti setor dan validasi bank persepsi pembayaran pajak BPHTB / SSB dan PPh Final / SSP pada proses peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon, Kota Semarang tahun 2010 yang menyebabkan tidak terbayarnya pajak PPh Final / SSP dan BPHTB / SSB ke Kas Negara sementara Negara telah berprestasi menyelesaikan proses peralihan (proses balik nama Sertifkan Hak Milik telah selesai menjadi atas nama pembeli) sehingga mengakibatkan kerugian Negara Rp. 823.536.000,00 (delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu rupiah).

b. Dengan Tujuan Menguntungkan Diri Sendiri Atau Orang Lain Atau Suatu Korporasi

Pelaku dengan sengaja tidak membayarkan uang setoran pajak yang dititipkan oleh wajib pajak kepadanya sebesar Rp 823,536.000,00


(1)

a. orang yang melakukan (plager) adalah orang yang secara sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir/ elemen dari peristiwa pidana.

Dari pengertian orang yang melakukan (plager) dalam pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP ini bila dikaitkan dengan uraian peran serta masing-masing Pelaku , dimana masing-masing-masing-masing Pelaku hanya melakukan sebagian anasir perbuatan dari keseluruhan delik pidana korupsi yang dipersangkakan, maka tidak tepat untuk dipersangkakan kepada para Pelaku ;

b. orang yang menyuruh lakukan (doen plager) adalah orang yang menyuruh orang lain untuk melakukan perbuatan pidana, bukan orang itu sendiri yang melakukan perbuatan pidana melainkan menyuruh orang lain, jadi dipersyaratkan 2 orang atau lebih. Orang yang disuruh melakukan hanya sebagai alat (instrument) saja dan terhadapnya tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawaban pidana dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 44, 48 dan Pasal 51 KUHP serta tidak ada kesalah sama sekali darinya. Sehingga terhadap orang yang menyuruh lakukan bisa dipandang sebagai orang yang melakukan perbuatan pidana itu sendiri.


(2)

c. orang yang turut melakukan (made plager) atau dalam arti kata turut serta atau bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dipersyaratkan sedikitnya 2 orang dalam unsur delik turut melakukan. Ada 3 kategori dalam pengertian turut serta yaitu :

1) Semuanya melakukan seluruh anasir perbuatan pidana;

2) Salah satu orang melakukan seluruh anasir perbuatan pidana, dan lainnya hanya melakukan sebagain anasir perbuatan pidana;

3) Semuanya hanya melakukan sebagian anasir perbuatan pidana.

Melihat pengertian made plager tersebut bila dikaitkan dengan uraian perbuatan para Pelaku dimana masing-masing Pelaku hanya melakukan sebagian anasir dari keseluruhan delik pidana korupsi yang di persangkakakan, maka unsur “orang yang turut serta” khususnya pengertiaan nomor 3 yaitu kesemua Pelaku hanya melakukan sebagian anasir perbuatan pidana, maka sangatlah tepat untuk dipersangkakan kepada para Pelaku . Sehingga dari uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa unsur turut serta atau secara bersama-sama melakukan perbuatan pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP telah terpenuhi dalam perkara ini.

Bahwa Pasal 55 dipersangkakan dalam perkara ini adalah bertujuan untuk mengetahui peran serat masing-masing Pelaku mengingat perbuatan


(3)

yang dilakukan oleh masing-masing Pelaku yaitu Pelaku , Pemalsu (diajukan dalam berkas perkara tersendiri) dan Karyawan Pelaku I (diajukan dalam berkas perkara tersendiri) adalah satu rangkaian perbuatan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya untuk tujuan yang sama yaitu menggunakan bukti setor pajak PPh (final) dan BPHTB Palsu untuk proses peralihan hak, yang pada akhirnya adalah tidak terbayarnya uang pajak tersebut ke Kas Negara akibat tidak dibayarkannya uang pajak (BPHTB dan PPh (Final)) tersebut dan bukti pembayarannya digantikan dengan bukti pembayaran yang palsu. Bahwa perbuatan Pelaku satu dengan Pelaku lainnya tidak dapat dipjsahkan sebagai perbuatan sendiri-sendiri, dengan kata lain Pelaku tidak dapat melakukan anasir delik pidana secara keseluruhan tanpa adanya bukti setor pajak BPTHB dan PPh (final) palsu yang dibuat oleh Karyawan Pelaku I, begitu juga Karyawan Pelaku I yang membuat bukti setor palsu tidak dapat menjadi pidana apabila bukti setor palsu tersebut tidak dipergunakan oleh Pelaku untuk kepentingan pendaftaran peralihan hak atas tanah SHM No. 295/ Kalibanteng Kulon yang pada akhirnya merugikan keuangan Negara sebesar Rp. 823.536.000,00 karena tidak dibayarkannya uang setoran pajak PPh (final) dan BPHTB atas peralihan hak tersebut yang dititipkan oleh para pihak (penjual dan pembeli) selaku wajib pajak kepada Pelaku karena jabatannya selaku PPAT yang mempunyai kewenangan dan tugas memproses pendaftaran peralihan hak di Kantor Pertanahan Kota


(4)

Semarang. Sementara antara keduanya (Pelaku dan Karyawan Pelaku I) tidak akan terjalin kerja sama atau persekongkolan jahat apabila tidak ada Pemalsu yang bertugas sebagai broker yang menerima order/ pesanan dari Pelaku dan memberi pekerjaan kepada Karyawan Pelaku I untuk memalsukan bukti setor pajak tersebut.

Bahwa masing-masing Pelaku melakukan sebagian dari anasir delik pidana korupsinya, yaitu Karyawan Pelaku I bertugas membuat slip setoran Bank Persepsi untuk pembayaran pajak PPh (final) dan BPHTB berikut validasi Bank Persepsinya dan tanda tangan tellernya yang semuanya dipalsukan, sedangkan Pemalsu bertugas sebagai broker yang menerima pesanan dari Pelaku untuk membuat slip setoran dan validasi bank persepsi untuk bukti setoran pembayaran pajak (BPHTB dan PPh Final) palsu yang kemudian mekerjakan pekerjaan pemalsuan tersebut kepada Karyawan Pelaku I. Sementara Pelaku selaku PPAT adalah bertindak selaku yang memesan bukti setoran palsu tersebut selanjutnya menggunakannya untuk proses pendafatran peralihan hak atas tanah SHM No. 295/ Kalibanteng Kulon di Kantor Pertanahan Kota Semarang.

Ketiganya masing-masing memperoleh keuntungan dan kekayaan yaitu Pelaku sebesar Rp 823.536,000,00, dikurangi Rp.30.000.000,00 atau setidak-tidaknya sebagiannya dipergunakan untuk membayar fee kepada


(5)

Pemalsu dan Karyawan Pelaku I sebagai imbalan atas pelaksanaan pemalsuan tersebut.

Sebagaimana telah dibahas pada uraian analisa kasus dan analisa yuridis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Pelaku dapat diduga telah melakukan perbuatan tindak pidana korupsi dengan cara menggunakan bukti setor dan validasi bank persepsi atas pembayaran pajak BPHTB / SSB dan PPh Final / SSP dan validasi Bank Persepsi Bank BIN Cab. Semarang dan Bank BPD Jateng Cab. Semarang yang telah dipalsu pada proses peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon, Kota Semarang tahun 2010 yang menyebabkan tidak terbayarnya pajak PPh Final / SSP dan BPHTB / SSB (dan uang pajaknya dipergunakan secara pribadi oleh Pelaku ) sehingga mengakibatkan kerugian Negara sebesar Rp 823.536.000,00 yang dilakukan secara bersama - sama dengan Pemalsu dan Karyawan Pelaku I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/ atau Pasal 3 dan/ atau Pasal 9 Undang-undang Rl No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Rl No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 15 Undang-undang Rl No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Rl No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 88 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.


(6)

Berbagai penjelasan terkait kasus Pelaku memenuhi beberapa unsur-unsur dalam pasal-pasal yang disangkakan bahwa kejahatan korupsi di Indonesia sebenarnya dapat diberantas dengan baik melalui implementasi peraturan-peraturan yang tersedia, salah satunya yaitu melalui Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Seperti yang telah dipaparkan melalui berbagai penjelasan diatas, bahwa kasus yang melibatkan Pelaku tersebut sebenarnya telah membuka mata publik tentang bagaimana tindak pidana korupsi itu dijalankan.

Korupsi dalam pandangan mainstream dianggap merupakan penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi. Korupsi adalah pengalihan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi. Korupsi terjadi di sektor publik dan dilakukan oleh pejabat nakal yang melanggar hukum.16 Sehingga berkaca dari kasus Pelaku ini, bahwa hukum dapat ditegakkan melalui sebuah kerja sama dan skema yang apik dari aparat penegak hukum serta masyarakat yang aktif melawan korupsi. Kerja sama tersebut sejatinya dapat tercipta dengan adanya sistem yang baik serta kesadaran akan pemberantasan korupsi yang baik pula.