T2 322014005 BAB III
38
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
“Kami memutuskan untuk mendorong kaum sipil anti-Komunis untuk membantu pekerjaan ini.. Kami telah melatih mereka dua atau tiga hari, Lalu mengirim mereka untuk membunuh orang
Komunis.” (Kolonel Sarwo Edhi Wibowo) 46
A. Konsep Penyelesaian Extrajudicial Killings 1965
Extrajudicial killings 1965 adalah pembantaian yang dilakukan tanpa proses Peradilan, tanpa melihat pada perundang-undangan yang ada yang mengatur tentang penghukuman bagi orang-orang yang melakukan kesalahan. Tindakan tersebut menurut Cessare Beccaria (1764), “No man may be called guilty before the judge has reached his
verdict”.47 Disamping itu juga melanggar UUD 1954 Pasal 1 Ayat (3); Pasal 27 Ayat (1); Pasal 28A, juga melanggar Dekralari Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 1; Pasal 2; Pasal 5; Pasal 7, Statuta Roma 1998 Pasal 66 dan KUHAP butir ke 3 huruf c.
Kini 50 (lima puluh) tahun sudah extrajudicial killings 1965 terhadap orang-orang PKI berlalu. Namun, hingga kini tidak ada upaya
46
Kontras, Menyusun Puzzle Pelanggaran HAM 1965 : Sebuah Upaya Pendokumentasian, 2011.
47
(2)
39
penyelesaian 1965 yang dilakukan oleh pemerintah. Bahwa pentingnya
penyelesaian extrajudicial killings 1965 adalah untuk menegakkan
keadilan sebagaimana dituntut oleh keluarga korban. Hal ini karena menyangkut masalah perampasan hak hidup manusia, dimana orang-orang PKI itu dibunuh tanpa proses pengadilan. Langkah-langkah penyelesaian pelanggaraan HAM berat masa lalu adalah perwujudan dari nilai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan yang terkandung dalam sila Pancasila yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak termasuk negara. Nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan merupakan salah satu elemen penting dari demokrasi yang telah diatur dalam UUD 1945. Upaya penyelesaian pelanggaran ham berat tahun 1965 tanpa ada penyikapan yang tegas dari Negara maka hal itu akan menjadi sia-sia dan yang terjadi adalah berlangsungnya pelanggaran HAM yang terus-menerus seperti munculnya stigma dan diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan para korban 1965. Disamping itu penyelesaian HAM berat tahun 1965 atau extrajudicial killings 1965 adalah upaya menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadilan sebagaimana UUD 1945, Pasal 28 H Ayat 2
yaitu : ”Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
Maka terhadap upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu adalah memberi kewajiban dan tanggung jawab kepada negara
(3)
40
untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM yang diatur dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999. Kewajiban dan tanggung jawab negara terjadi karena negara merupakan pengemban
kewajiban hukum untuk menyelenggarakan langkah-langkah
penyelesaian atas pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu.48
Dalam UU No. 39 tahun 1999, tentang HAM Pasal 71, yaitu : “Pemerintah wajib dan bertanggungjawab menghormati,
melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi
manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia”.
Mengapa kewajiban negara yang harus menyelesaikan? Karena menurut Masstricht Guidelines on Violations of Economic, Social and Cultural Rights, Maastricht, January 22-26, 1997, negara berkewajiban melindungi hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, dengan memberlakukan tiga jenis kewajiban pada Negara, yaitu:
1) kewajiban untuk menghormati, 2) melindungi dan
3) memenuhi.
Sehingga kegagalan untuk melakukan salah satu dari tiga kewajiban tersebut merupakan pelanggaran hak yang dilakukan oleh
48
Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK), Jalan Indonesia menuju Penyelesaian atas Pelanggaran HAM masa lalu demi Masa Depan Bangsa : Kerangka Dasar untuk Kerja Bersama berlandaskan Konstitusi. 18 Agustus 2015. Hal 8.
(4)
41
negara. Juga diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM) yang diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB
pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A, bahwa semua negara harus bertanggungjawab dan wajib melindungi warga negaranya yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak dasarnya yaitu hak hidup, hak kebebasan, hak untuk mendapat perlindungan, dll. Sebagaimana pendapat Sujatmoko, secara hukum negara merupakan pihak yang
berkewajiban untuk melindungi (protect), menjamin (ensure) dan
memenuhi (fulfil) Hak Asasi Manusia.49
Negara sebagai pemangku kewajiban, tidak dapat mengelak ataupun menolak kewajibannya yang sudah melekat secara otomatis
sebagai pengemban tugas (duty bearer), yaitu kewajiban untuk
melindungi HAM : negara harus memberikan jaminan perlindungan dan mencegah segala bentuk pelanggaran terhadap haak asasi manusia, baik yang dilakukan oleh negara maupun pelaku dari unsur non-negara. Kewajiban untuk menghormati dan memajukan HAM, negara harus mengeluarkan regulasi, kebijakan ataupun peraturan yang tidak bertentangan dengan nilai, norma dan aturan hukum HAM. Kewajiban untuk memenuhi HAM, negara harus melakukan tindakan nyata yakni dengan mengalokasikan anggaran, menyusun program dan membuat kebijakan-kebijakan dalam konteks menjamin pemenuhan hak asasi
49
(5)
42
manusia setiap warga negara dapat berjalan dengan baik tanpa
gangguan dan ancaman dari pihak manapun.50
Berkenaan dengan kewajiban negara, menurut Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) haruslah memenuhi beberapa hal, yaitu ::
a) Hak atas kebenaran, yang merupakan hak individual setiap
korban dan hak kolektif masyarakat untuk mengetahui pelanggaran-pelanggaran berat HAM yang terjadi, siapa pelakunya dan mengapa sampai terjadi;
b) hak atas keadilan, yang merupakan hak setiap korban dan
bagian dari tegaknya prinsip kedaulatan hukum;
c) hak atas pemulihan (reparasi), yang meliputi: kompensasi,
restitusi dan rehabilitasi bagi korban; dan,
d) jaminan agar pelanggaran tidak berulang lagi.51
Dalam konteks extrajudicial killings 1965 di Indonesia tentu
tidak jauh berbeda dengan konsep kewajiban sebagaimana KKPK ungkapkan. Begitu pula jika dilihat dalam perspektif hukum kebiasaan internasional sebuah negara dianggap melakukan pelanggaran berat hak
asasi manusia (gross violation of human rights) jika; 1) negara tidak
50
Chrisbiantoro. Kewajiban Negara dalam Penanganan Kasus-kasus Pelanggaran HAM dan Pelanggaran HAM yang berat di Indonesia. Kontras & Oak Foundation.2014. Hal. 2-3.
51
(6)
43
berupaya melindungi atau justru meniadakan hak-hak warganya yang
digolongkan sebagai non-derogable rights; atau 2) negara yang
bersangkutan membiarkan terjadinya atau justru melakukan melalui
aparat-aparatnya tindak kejahatan internasional (international crimes)
atau kejahatan serius (serious crimes) yaitu kejahatan genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.52
Oleh karena itu, sudah jelas bahwa siapa yang harus bertanggungjawab terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam hal ini adalah negara. Disini merujuk pada posisi dan peran negara sebagai state actor, yaitu yang menjalankan semua sendi kehidupan bernegara sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar. Disamping itu kewajiban negara tersebut juga lahir dari instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia.
Pelanggaran negara terhadap kewajibannya itu dapat dilakukan
baik dengan perbuatannya sendiri (acts of commision) maupun oleh
karena kelalaiannya sendiri (acts of ommission).53 Kewenangan negara
untuk bertanggungjawab tentu didasarkan pada negara sebagai subyek hukum internasional sekaligus sebagai subyek hak asasi manusia. Negara sebagai aktor atau pemangku kewajiban untuk bertangungjawab melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia, bagi
52
Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi Ibid. 53
Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (Penyunting/Editor), Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta : PUSHAM UII, 2008. Hal. 69.
(7)
44
warga negaranya, sebagaimana kontrak sosial dan politik negara dengan rakyatnya.
Tanggungjawab negara menurut Hingorani54 muncul sebagai
akibat dari adanya prinsip persamaan dan kedaulatan negara (equality
and sovereignty of state) yang terdapat dalam hukum internasional. Dan
jika merujuka pada Dictionary of Law55, dianggap sebagai “Obligation
of a state to make reparation arising from a failure to comply with a
legal obligation under international law.”
Berkenaan dengan pertanggungjawaban negara, Shaw melihat ciri-ciri penting tentang pertanggungjawaban yang kemudian disebut sebagai faktor dasar, yaitu :
1) adanya kewajiban hukum internasional yang masih berlaku di antara kedua negara yang bersangkutan;
2) bahwa telah terjadi suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban itu dan mewajibkan negara tersebut bertanggungjawab;
3) bahwa perbuatan melanggar hukum atau kelalaian tersebut menimbulkan kehilangan atau kerugian.
Tak jauh berbeda dari Shaw, Arechaga, juga melihat adanya kesepakatan doktrinal pada proposisi bahwa ada dua unsur yang penting untuk pembentukan tanggung jawab negara secara internasional, yaitu: a)
54
Hingorani, Modern International Law, Second Edition, Oceana Publications, 1984, Hal. 241.
55
Elizabeth A.Martin ed., 2002, A Dictionary of Law, Oxford University Press, New York, Hal. 477.
(8)
45
Pelanggaran dari suatu kewajiban hukum internasional; b) atribusi
pelanggaran itu untuk negara sebagai badan hukum56.
Setidaknya dari ciri-ciri penting yang Shaw serta kesepakatan doktrinal pembentuk tanggungjawab dari Arechaga dapat memberikan kejelasan tentang bagaimana negara dapat bertanggungjawab terhadap pelanggaran HAM masa lalu, meskipun tindakan itu dilakukan bukan oleh negara secara langsung, tetapi melalui organ-organ negara. Maka
dari itu, tindakan organ negara sebagaimana kasus extrajudicial killings
1965, tanggungjawabnya dapat dilimpahkan kepada negara.
Sebagaimana Pasal 4 Responsibility of States for Internationally
Wrongful Acts 2001 yang meliputi :
1. The conduct of any State organ shall be considered an act of that State under international law, whether the organ exercises legislative, executive, judicial or any other functions, whatever position it holds in the organization of the State, and whatever its character as an organ of the central Government or of a territorial unit of the State. 2. An organ includes any person or entity which has that status
in accordance with the internal law of the State.
Organ negara yang dimaksud Pasal 4 yaitu yang mencakup semua individu atau entitas kolektif yang membentuk organisasi Negara lembaga atau pejabat-pejabat negara yang berdasarkan undang-undang memiliki kewenangan untuk bertindak atas nama negara. Ini juga
56 E.J. de Arechaga and A Tanzi, “State Responsibility”
, dalam Mohammed Bedjaoui, International Law : Achievements and Prospects. Dordrecht : Martinus Nijhoff Publisher, 1991. Hlm. 348.
(9)
46
termasuk organ badan pemerintah teritorial dalam Negara atas dasar yang
sama seperti organ pemerintah pusat.57 Dalam konteks itu
pertanggungjawab negara terhadap pelanggaran kejahatan internasional
menurut Oentung Wahyoe58 juga didasarkan pada vicarious
responsibility of state. Masih menurut Wahjoe, negara dapat mempertanggungjawabkan jika memang ada keterlibatan negara yang
meliputi; kebijakan negara (product of state favoring policy), kehendak
negara (favored by state conduct) atau oleh negara (product of state
action).
Mensikapi tentang tanggungjawab negara sebagai pengemban kewajiban untuk penegakan HAM, maka pentingnya membuat
langkah-langkah atau mekanisme penyelesaian extrajudicial killings 1965 baik
melalui mekanisme yudisial atau non-yudisial.
B. Penyelesaian Melalui Mekanisme Yudisial
Pembunuhan, penahanan, penyiksaan, penghilangan paksa, serta pemerkosaan tanpa proses pengadilan yang terjadi pada tahun 1965 terhadap orang-orang PKI adalah tragedi terburuk dalam panggung sejarah politik bangsa indonesia. Oleh karena itu, tragedi kemanusiaan tidak saja melanggar Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948,
57
United Nations Legislative Series . Materials On the Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts. United Nation. New York. 2012 . Hal. 31
58
Wahjoe, Oentoeng. Hukum Pidana Internasional : Perkembangan Tindak Pidana International & Proses Penegakannya. Jakarta : Erlangga. 2011. Hal. 100.
(10)
47
Pasal 3, “Everyone has the right to life, liberty and security of person”.
(Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai induvidu).
DUHAM 1948, juga dengan tegas melarang terhadap penyiksaan atau perlakuan kejam, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 5 :“No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading
treatment or punishment”. (Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dikukum secara tidak manusiawi atau dihina).
Maka terhadap kejahatan HAM berat yang terjadi dimasa lalu adalah kewajiban negara untuk menyelesaikannya. Artinya, dengan adanya aturan hukum tersebut, tidak alasan bagi negara untuk tidak melakukan impunitas atau tidak mengadili pelanggaran HAM masa lalu, dalam hal ini korban 1965. Bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang
berat merupakan “extraordinary crimes” dan berdampak secara luas baik
pada tingkat nasional maupu internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseoarangn maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman,
(11)
48
keadilan dan kesejahteraan.59 Bahkan untuk mendapatkan kepastian
hukum yang adil atas peristiwa extrajudicial killings 1965, dijelaskan
dalam pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 “setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
Berkaitan dengan penegakan HAM juga dapat dilihat dari payung hukum Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 90, ayat (1) Setiap orang dan sekelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM.
Disamping itu berkenaan dengan prinsip-prinsip HAM internasional maka juga akan terkait dengan prinsipo-prinsip hukum internasional yang merupakan salah satu sumber hukum internasional
yang utama (primary), perjanjian internasional (treaty), hukum kebiasaan
internasional (customary international law). Maka dalam hukum
internasional ada instrumen-instrumen terkait yang mengatur tentang penegakan HAM, mekanisme pengaduan ditujukan melalui komite : International Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR), International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights CESCR), International Convention on the Elimination of All Forms of
59
Penjelasan UU No. 26 Tahun 2000, Undang-Undang HAM, Jakarta : Visimedia, 2007. Hal 128.
(12)
49
Racial Discrimination (CERD), Convention againts Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT).
Oleh karena itu proses penyelesaian pelanggaran HAM berat
masa lalu seperti extra judicial killings 1965 dapat dilakukan dengan,
pertama : mekanisme yudisial, yaitu : melalui konstruksi Hukum
nasional Indonesia yaitu : Pengadilan HAM Ad Hoc (UU No. 26 Tahun
2000, tentang Pengadilan HAM) atau dalam perspektif Hukum
Internasional, dimana pilihan penulis adalah melalui Hybrid Tribunal.
Sedangkan yang kedua : mekanisme Non Yudisial, menggunakan
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU No. 26 Tahun 2000) Pasal 47 ayat (1), yang berbunyi :
“Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang tejadi
sebelum berlakunya Undang-Undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi”.
Dan penyelesaian alternatif mekanisme Non Yudisial, penulis
menyarankan menggunakan Komisi Islah dan Rehabilitasi. Model
terakhir ini merupakan penyelesaian secara kultural “ala Indonesia”, dan terkesan bernuansa “teduh” serta familiar ditelinga orang-orang Indonesia. Model terakhir ini dapat dipakai ketika pada saatnya mekanisme Yudisial dan Non Yudisial (model KKR) akan ditolak oleh Militer dan Ormas Anti-Komunis, yang sekarang sudah terang-terangan
(13)
50
akan berperang melawan PKI dengan dikomandoi oleh Kivlan Zen, TNI serta Menhan.
Berikut ini akan penulis jabarkan model penyelesaian melalui mekanisme Yudisial, yaitu :
1. Pengadilan HAM Ad Hoc melalui UU No. 26 Tahun 2000.
Mekanisme penyelesaian Extrajudicial Killings 1965
dengan hukum nasional indonesia melalui pengadilan ad hoc, menunjukkan kesungguhan pemerintah untuk menyelesaiakan pelanggaran HAM masa lalu. melalui UU No. 26 Tahun 2000, tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Undang-Undang ini sebetulnya adalah adopsi dari Statuta Roma, meski ada beberapa hal yang dikurangkan, seperti Pasal 9 Statuta Roma 1998, tentang Elements of Crimes tetapi tidak dimasukkan didalam UU No. 26 Tahun 2000. Padahal ini sangat penting untuk menyamakan pandangan dikalangan penegak hukum dalam proses penyelesaian pelanggaran HAM. Terlepas politik hukum dibalik pembuatan UU No. 26 tahun 2000, tetapi semangat untuk menyelesaiakan pelanggaran HAM masa lalu setidaknya telah diakomodir dalam Undang-Undang ini. Bagaimanapun pengadilan Ad Hoc dengan UU No. 26 tahun 2000, pernah digunakan untuk mengadili pelanggaran HAM berat di Tim-Tim pasca jajak pendapat. Disamping itu pengadilan nasional merupakan “primary forum” untuk mengadili
(14)
51
para pelanggar HAM berat, dengan alasan 1) keterkaitan dengan masyrakat setempat, sehingga memiliki efek “deterrent”; 2) memudahkan mencari bukti-bukti, saksi-saksi dan para pelaku; 3)
tidak mahal dan lebih mudah dilaksanakan.60
Konstruksi penyelesaian extra judicial killings 1965, dengan
UU No. 26 Tahun 2000 berdasarkan pada Pasal 4, yaitu “Pengadilan
HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat”.
Berkenaan dengan pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Ad Hoc, diatur dalam Pasal 43, yaitu :
(1)Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.
Sesungguhnya Pasal 43, ayat (1) ini lebih longgar dibanding Statuta Roma 1998, yang tidak berlaku surut. Ini berarti bahwa
peluang besar penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu secara de
jure tidak ada kendala, karena payung hukumnya sudah jelas. Maka
seyogianya pemerintah secara tegas melaksanakan penyelesaian HAM melalui mekanisme hukum yaitu UU No. 26 tahun 2000. Apalagi upaya hukum yang telah dilakukan oleh korban ataupun keluarga korban extra judicial killings 1965 untuk mendapatkan keadilan serta terpulihkan hak-haknya sudah diajukan ke Komnas
60Muladi, „
Mekanisme Domestik untuk Mengadili Pelanggaran HAM Berat melalui Sistem Pengadilan atas dasar UU No. 26 Tahun 2000. Elsam. Jakarta : 2015.Hal.7.
(15)
52
HAM, sesuai dengan UU No. 39 tahun 1999, Pasal 90, yaitu; (1)
Setiap orang dan sekelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa hak assasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM.
Jika merujuk tentang pelanggaran HAM yang berat dalam Pasal 4, selalu merujuk pada Undang-Undang Nomor : 26 Tahun 2000, Pasal 7, yaitu :
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat, meliputi : a. Kejahatan genosida; dan
b. Kejahatan terhadap kemanusiaan.
Lantas, apakah extra judicial killings 1965 termasuk di
dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor. 26 Tahun 2000? Tentu saja jawaban atas pertanyaan itu, dapat dilihat pada Pasal 9, yaitu :
Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
a. Pembunuhan; b. Pemusnahan; c. Perbudakan;
d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebesan
fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. Penyiksaan;
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulkan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
(16)
53
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
i. Penghilangan orang secara paksa; j. Kejahatan apartheid.
1.a. The Elements of Crimes dari Crimes Agaianst Humanity pada Extra Judicial Killings 1965.
Meskipun dalam UU No. 26 Tahun 2000, tidak memuat the
elements ofcrimes, tetapi sebagai rujukan penulis tetap mengacu the Elements of Crimes, pada Statuta Roma 1998, karena disamping UU No. 26/2000 adalah adopsi dari Statuta Roma, juga karena pertimbangan semangat dan filosofi terhadap penyelesaian kemanusiaan.
Pada dasarnya konstruksi the elements of crimes secara
umum secara garis besar dapat memenuhi unsur subyektif
(criminals responsibility/mens rea) yang mencakup unsur-unsur : a) kesalahan; b) kemampuan bertanggung jawab, c) kesengajaan atau
kealpaan; d) tidak adanya alasan pemaaf. Sedangkan unsur obyektif
(criminal act/ actus reus) yaitu ; a) perbuatan itu memenuhi Undang-Undang; b) bersifat melawan hukum; c) tidak adanya alasan pembenar.
(17)
54
Adapun Elements of Crimes, Kejahatan terhadap
Kemanusiaan pada extra judicial killings 1965 adalah :
(1) Unsur material, yang berfokus pada Perbuatan
(Conduct), Akibat (Consequences), Keadaan-keadaan
(Circumstances) yang menyertai perbuatan;
(2) Unsur mental yang relevan, berfokus pada bentuk
kesengajaan (intent), pengetahuan (knowledge), atau
keduanya.
Berdasarkan unsur material dan unsur mental ini pada kasus
kejahatan terhadap kemanusiaan extrajudicial killings 1965, yang
telah penulis teliti, memang ada kesengajaan (intent) oleh alat negara
yaitu militer (RPKAD sekarang Kopasus) bersama Ormas Islam
untuk melakukan perbuatan (conduct). Tentu saja, dengan perbuatan
(conduct) tersebut alat negara atau militer (RPKAD) bersama ormas
islam mempunyai niat (jahat) untuk melakukan perbuatan “mass
murder” terhadap orang-orang PKI atau yang dituduh PKI. Pelaku ----militer dan ormas--- juga telah berniat menimbulkan akibat atau sadar bahwa hal tersebut akan terjadi dalam kaitannya dengan perbuatannya yaitu melakukan pembunuhan massal. Berdasarkan
dari pengetahuan (knowledge) pelaku memiliki kesadaran
(18)
55
(knowingly) akan tindakannya yang berakibat timbulnya kematian pada orang-orang PKI atau yang dianggap sebagai PKI.
Kenapa penulis menyebut pelaku adalah alat negara, karena penangkapan, penahanan pembunuhan dan penyiksaan dilakukan
oleh militer dengan dua hal ; pertama : Adanya instruksi Presiden
pada tanggal 3 Oktober 1965 kepada Mayor Jenderal Soeharto untuk memimpin operasi pemulihan keamanan dan ketertiban pasca G30S/PKI. Selanjutnya Soeharto menjadi Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) sebagai salah satu unsur Komando Pelaksana dari Komando Operasi Tertinggi (KOTI) yang dikukuhkan tanggal 12 November 1965 dengan Surat Keputusan Presiden No. 162/KOTI/1965. Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban dinyatakan sebagai salah satu Komando Utama Pelaksana Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopskamtib). Selanjutnya menurut Keputusan Presiden No.179/Koti/1965 tanggal 6 Desember 1965 tentang penentuan tugas dan organisasi Kopkamtib. Berdasarkan keputusan tersebut Kopkamtib menunjuk Staf Umum Angkatan Darat sebagai Staf Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban yang dilengkapi dengan perbantuan unsur-unsur dari Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian guna menjamin aspek
(19)
56
mengeluarkan Surat Keputusan No. Kep 69/10/1965 tentang pembentukan Tim Pemeriksa Pusat/Daerah dan susunan organisasi, tata cara, tata kerja, penyaluran, penampungan serta penyelesaian
terhadap tahanan/tawanan dalam rangka operasi
pembersihan/menumpas “Gerakan 30 September”.61
Kedua : tanggal 13 Maret 1966, dimana pemerintah mengeluarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor : XXV/MPRS/1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di seluruh Wilayah Negara Indonesia bagi PKI
dan Larangan setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau
Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Kembali pada Pasal 9, UU No. 26 Tahun 2000, bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b bahwa ssetiap kejahatan terhadap kemanusiaan harus menggambarkan pada dua element : a) perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dari serangan yang meluas (widespread) dan
sistematik (systematic) yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan pada penduduk sipil; b) keharusan adanya pengetahuan (with knowledge) pelaku bahwa perbuatan yang dilakukan
61
Poesponegoro, Marwati Djoened, Nugroho notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka. 2010. Hal 601. Lihat juga
http://muhammadridhorachman.blogspot.co.id/2012/07/komando-operasi-keamanan-dan-ketertiban.html, diakses 13 Juni 2016.
(20)
57
merupakan bagian dari atau dimaksudkan untuk menjadi bagian
serangan yang meluas atau sistematik terhadap penduduk sipil.62 Di
dalam Pasal 9, UU No. 26 tahun 2000, tentang Pengadilan HAM, juga tidak memberikan batasan harus lebih dari satu tindak pidana serangan yang meluas dan sistematik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil (pembunuhan, perkosaan, penyiksaan, dll). Artinya bahwa salah satu dari tindak pidana tersebut terpenuhi sudah cukup dinyatakan sebagai tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan.
Adapun untuk membuktikan bahwa extra judicial killings 1965 merupakan tindak pidana kejahatan terhadap kemanusian, akan diuraikan melalui The Elements of Crime sebagaimana Pasal 9 UU No.26 Tahun 2000, yaitu :
a) Salah satu perbuatan (actus reus/unsur obyektif)
Apakah extrajudicial killings 1965 terhadap
orang-orang PKI atau yang dianggap PKI merupakan salah satu perbuatan tindak pidana, seperti : Pembunuhan; Pemusnahan; Penyiksaan, penganiayaan; dll, (Pasal 9 UU No.26/2000)?
Berdasarkan penjelasan Pasal 9 huruf (a) yang dimaksud dengan “pembunuhan” adalah sebagaimana
62
(21)
58
tercantum dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sedangkan menruut KUHP Pasal 340;
“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun.”
Memang apa yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 9 huruf (a) UU NO. 26 Tahun 2000, bahwa pelanggaran HAM Berat adalah pembunuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Tetapi, pembunuhan yang dimaksud dalam Pasal 340 KUHP merupakan kejahatan biasa. Sedangkan Extra judicial killings 1965 telah memenuhi Pasal 9, yang dilakukan sebagai sebuah bagian dari sebuah serangan yang bersifat sistematik atau meluas, sehingga menjadi kejahatan “the most serious crime” ketika “the elements of crimes” sudah dapat terpenuhi.
Apa yang dimaksud pembunuhan sebagaimana Pasal 9,
pada konteks “extrajudicial killings 1965”, berbanding lurus
dengan fakta-fakta dilapangan berdasarkan hasil wawancara
dengan beberapa eks Tapol di Kendal.63 Extra judicial killings
1965 adalah suatu perbuatan tindak pidana pembunuhan terhadap pengurus, anggota dan simpatisan PKI serta
63
(22)
59
underbaw nya (Lekra, BTI, Gerwani). Prosesi pembunuhan 1965, diawali dari penjemputan secara paksa terhadap orang-orang PKI oleh Ormas anti PKI dan kemudian mereka diarak dari tempat kediamannya masing-masing sambil diikat oleh
massa Ormas yang dibackup oleh militer. Sebagaimana yang
penulis teliti, kasus pembantaian itu juga terjadi di wilayah Kabupaten Kendal. Orang-orang PKI itu dibawa ke Tahanan Pendopo Kawedanan Kaliwungu Kendal dan Padi Sentra Desa Plantaran. Pemisahan tempat tahanan itu untuk membedakan golongan berat dan ringan. Pendopo Kawedanan itu dikategorikan untuk tahanan berat (pengurus atau tokoh PKI), sehingga disebut golongan berat. Mereka yang ditahan golongan berat di Pendopo Kaliwungu, kebanyakan berujung pada kematian, karena tidak kuat mengalami siksaan berat. Seperti yang dialami Lurah Subuh (Kepala Desa Kedungsuren)
yang disiksa hingga mati didalam tahanan64.
Orang-orang PKI yang ditahan di Padi Sentra Plantaran Kaliwungu, dianggap sebagai golongan ringan, karena mereka tidak disiksa, tetapi menunggu jatah eksekusi mati yang dilakukan pada tengah malam oleh anggota Ormas yang terpilih. Anggota Ormas itu membuat List nama-nama yang
64
Wawancara dengan ES (mantan tahanan politik pulau Buru), tanggal 12 Nopember 2015.
(23)
60
harus dibunuh tiap malam. Istilah yang dipakai oleh Anggota Ormas adalah di BON (Pinjam). Modus BON (pinjam) tahanan pada malam hari tidak hanya terjadi di Kendal, di Pati, di penjara Wirogunan Jogjakarta. Ini artinya ada pola yang sama di seluruh Indonesia, bahwa untuk melakukan pembantaian harus dengan modus “BON Malam”. Lalu, Eksekusi dilakukan oleh anggota Ormas tersebut berdasarkan list nama-nama
tersebut menjelang pukul 21.00 – 24.00 WIB dengan cara
meminjam / BON tanahan antara 10 orang sampai 40 orang
tahanan. Pada tahapan selanjutnya tahanan yang di “BON
Malam”, dibawa ke tempat eksekusi baik di Hutan Darupono Kendal, Hutan Plumbon Mangkang Semarang (dulu masih
wilayah Kendal), Pantai Sendang Sikucing, dengan
menggunakan kendaraan Truk militer dengan dikawal
sedikitnya 2 – 3 orang petugas bersenjata. Sesampainya
dilokasi militer yang bertindak mengeksekusi para tahanan politik tersebut, menyuruh orang-orang PKI berbaris di pinggir lubang yang sudah dibuat sebelumnya. Para tahanan sebelum di eksekusi dipersilahkan untuk berdoa menurut keyakinan masing-masing, selanjutnya mereka diberondong oleh petugas yang bersenjata.
(24)
61
Masih banyak upaya unhuminity atau tindak pidana lain
seperti, penyiksaan terhadap orang-orang PKI pada tahun 1965, menurut penjelasn Pasal 9 huruf f, “yang dimaksud dengan “penyiksaan” dalam ketentuan ini adalah dengan sengaja dan melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat, baik fisik maupun mental, terhadap seorang tahanan atau seorang yang berada di bawah pengawasan. Oleh karena itu, sebagaimana penjelasan Pasal 9 apaa yang dilakukan terhadap orang-orang PKI termasuk dalam tindak pidana. Penyiksaan terhadap orang-orang PKI dilaksanakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, dimana mereka ditangkap.
Penyiksaan dilakukan oleh Ormas dan Tentara, tanpa ada sebab khusus atau kesalahan dan dilakukan selama proses penahanan. Menurut penuturan Ari, hampir tiap hari ia dan teman-temannya mendapat perlakukan kasar dari peetugas; seperti memukul, mencambuk, dan siksaan lain selama dalam penjara. Penyiksaan seperti itu sudah jamak terjadi pada tahanan politik 1965 sebagaimana terjadi di Pulau Buru, Nusa Kambangan, Wirogunan, dll. Oleh karena itu rentetan peristiwa ini merupakan tindak pidana kejahatan berat terhadap kemanusiaan.
(25)
62
Perbuatan diatas juga termasuk didalamnya
penghilangan orang secara paksa sebagaimana penjelasan Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000, dimana yang dimaksud dengan “penghilangan orang secara paksa” yakni penangkapan, penahanan, atau penculikan seseorang oleh atau dengan kuasa, dukungan atau persetujuan dan negara atau kebijakan organisasi, diikuti oleh penolakan untuk mengakui perampasan kemerdekaan tersebut atau untuk memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang tersebut, dengan maksud untuk melepaskan dan perlindungan hukum dalam jangka waktu yang panjang.
Dari penjelasan Pasal 9 huruf (i) UU No. 26 tahun 2000, tentang Pengadilan HAM, menurut pendapat Baskara T
Wardana, yaitu : bahwa pelaku menangkap (arrested),
menahan (detained) atau menculik (abducted) satu orang atau
lebih; atau menolak untuk mengakui penangkapan, penahanan atau penculikan, atau menolak memberikan informasi menyangkut nasib atau keberadaan orang atau orang-orang itu.65
65
Wardaya, Baskara T, Luka Bangsa Luka Kita : Pelanggaran HAM Masa Lalu dan Tawaran Rekonsiliasi. Yogyakarta : Galang Pustaka. 2014. Hal. 34.
(26)
63
b) Dilakukan sebagai bagian dari serangan (Actus reus/unsur obyektif)
Sebagaimana Pasal 9 UU No. 26 tahun 2000, bahwa tindakan dilakukan sebagai bagian dari serangan. Menurut penjelasan Pasal 9, yang dimaksud dengan “serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil” adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi.
Serangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia66,
serangan adalah perbuatan menyerang (menyerbu). Menyerang bisa diartikan sebagai mendatangi untuk melawan (melukai, memerangi, dsb). Sedangkan serangan menruut Komnas HAM RI memiliki unsur-unsur sebagai berikut :
Tindakan baik secara sistematis atau meluas yang dilakukan
secara berganda (multiplicity commission of acts) yang
dihasilkan atau merupakan bagian dari kebijakan Negara atau organisasi. “Tindakan berganda” berarti harus bukan tindakan yang tunggal atau terisolasi.
“Serangan” baik yang secara meluas ataupun sistematis, tidak harus merupakan “serangan militer” seperti diatur
66
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka. 1990. Hal. 823.
(27)
64
dalam hukum humaniter internasional, tetapi serangan dapat juga diartikan lebih luas, misalnya meliputi kampanye atau operasi yang dilakukan terhadap penduduk sipil. Serangan tersebut tidak hanya harus melibatkan angkatan bersenjata, atau kelompok bersenjata.
Persyaratan dianggap terpenuhi jika penduduk sipil adalah
obyek utama dari serangan tersebut.67
Yang dimaksud serangan berdasarkan fakta-fakta diatas yaitu, ditujukan terhadap orang-orang PKI menjadikan alasan
yang cukup untuk dikategorikan bagian dari “serangan”,
sehingga termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan.
c) Meluas atau Sistematis (actus reus/unsur obyektif)
Apa yang dimaksud dengan meluas atau sistematis
adalah merujuk pada perspektif “crimes againts humanity”
(Pasal 9 UU No.26 Tahun 2000) maupun Statuta Roma 1998
dan bukan kejahatan umum. Kata “meluas” menurut Laporan
Komnas HAM menunjuk pada “jumlah korban”, dan konsep ini menyangkut “massive”, sering atau berulang-ulang, tindakannya dalam skala yang besar, dan dilaksanakan secara kolektif dan berakibat serius. Meluas atau sisstematis itu
67
Komnas Ham, Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat. Jakarta : Komnasham RI. Hal. 23.
http://www.komnasham.go.id/sites/default/files/dokumen/Ringkasan%20Eksekutif___edit2b% 20(1)_0.pdf. Diakses Tanggal, 12 Januari 2016.
(28)
65
berarti harus memenuhi salah satunya. Artinya bahwa untuk memenuhi unsur “crimes againts humanity” sebagaimana Pasal 9 UU No.26/2000, peristiwa extra judicial killings 1965 dan tidaklah harus memenuhi kedua-duanya, sebab salah satu unsur saja terpenuhi maka sudah masuk kategori tersebut.
Misalnya dapat dilihat dalam yurisprudensi
International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) perkara “The Prosecutor versus Jean-Paul Akayesu”, case no. ICTR
-96-4-T68, yang dimaksud meluas adalah “concept of
’widespread’ may be defined as massive, frequent, large scale
action, carried out collectively with considerable seriousness and directed against a multiplicity of victims. Atau sebagai serangan besar-besaran, terus-menerus, dalam tindakan skala besar, yang dilakukan secara kolektif dengan sungguh-sungguh
dan ditujukan terhadap korban dalam jumlah banyak.”
Sedangkan sistematis masih menurut perkara “the prosecutor versus Jean-Paul Akayesu, didefinisikan sebagai :
“The concept of ’systematic’ may be defined as
thoroughly organised and following a regular pattern on the basis of a common policy involving substantial public or private resources. There is no requirement that this policy must be adopted formally as the policy of a state. There must however be some kind of preconceived plan or policy”.
68 ICTR, The Prosecutor versus Jean-Paul Akayesu”, case no. ICTR-96-4-T. 1998. Hal 235. www.un.org/en/preventgenocide/rwanda/pdf/AKAYESU%20-%20JUDGEMENT.pdf. Diakses tanggal 15 Juni 2016.
(29)
66
Sistematis' didefinisikan sebagai menyeluruh
terorganisir dan mengikuti pola yang teratur atas dasar kebijakan umum melibatkan sumber daya umum atau swasta. Tidak ada persyaratan bahwa kebijakan ini harus diadopsi secara resmi sebagai kebijakan negara. Namun harus ada semacam rencana atau kebijakan yang sudah ditetapkan .
Lalu, apakah unsur meluas atau sistematis ini telah
terpenuhi dalam peristiwa extrajudicial killings 1965?
Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dilapangan, sebaran korban “extra judicial killings 1965” terjadi di berbagai tempat di seluruh wilayah Indonesia. Menurut data Kontras, sebaran persekusi terhadap korban-korban peristiwa 1965, meliputi 12 Propinsi, 1653 bentuk pelanggaran yang terjadi kepada 593 korban (82 % dialami laki-laki, 15 % dialami oleh perempuan: dan 3 % dialami oleh korban yang belum teridentifikasi jenis
kelaminnya).69
Dan yang lebih menarik peristiwa extra judicial killings
1965, dilakukan secara sistematis dengan suatu pola tertentu
dan diorganisir secara rapi, sehingga cenderung sangat profesional dan direncanakan dalam waktu yang lama.
69
Kontras, Menyusun Puzzle Pelanggaran HAM 1965 : Sebuah Upaya Pendokumentasian. Jakarta. 2012. Hal 19.
(30)
67
Misalnya, Pasca 30 September 1965, dalam waktu yang singkat hampir semua pasukan (militer) sudah berada di daerah-daerah dan pasukan itu berkoordinasi dengan ormas-ormas setempat. Kemudian pasukan (militer) tersebut bersama Ormas-Ormas melakuikan identifikasi serta membuat daftar orang-orang PKI dan simpatisannya.
Berdasarkan keterangan saksi-saksi, pengambilan orang-orang PKI dan simpatisan yang didaftar dilakukan secara serempak oleh Ormas-Ormas untuk dibawa ke tahanan, dan di rumah tahanan itu sudah menunggu aparat keamanan (militer) dengan senjata lengkap. Dan hal ini terdapat suatu persamaan pola antara satu tempat dan tempat lainnya, sehingga ini jelas sangat sistematis.
d) Ditujukan kepada penduduk sipil (actus reus / unsur obyektif).
Apa yang dimaksud “ditujukan kepada penduduk sipil” menurut penjelasan Pasal ( UU No. 26 Tahun 2000, tentang Pengadilan HAM, yang dimaksud dengan “serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil” adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi. Adapun menurut
(31)
68
Yurisprudensi International Criminal Tribunal for Rwanda
(ICTR) terhadap perkara “The Prosecutor versus Jean-Paul
Akayesu”, case no. ICTR-96-4-T, bahwa yang dimaksud anggota penduduk sipil adalah orang-orang yang tidak mengambil bagian aktif dalam permusuhan, termasuk anggota pasukan bersenjata yang meletakkan senjata mereka dan orang-orang yang ditempatkan yang tidak dapat bertempur lagi ("hors de combat") karena sakit, luka, penahanan atau sebab lainnya. "
“Members of the civilian population are people who are hot taking any active part in the hostilities, including members of the armed forces who laid down their arms and those persons placed "hors de combat" by sickness, wounds, detention or any other cause.”70 Maka, terkait dengan “penduduk sipil”, berdasarkan fakta-fakta di lapangan, korban extra judicial killings 1965 adalah banyak warga sipil yang hanya menjadi simpatisan PKI atau dituduh memiliki keterkaitan dengan PKI, atau karena anggota keluarganya yang memiliki latar belakang PKI, atau pernah berhubungan dengan orang-orang PKI. Mereka semua penduduk sipil yang seharusnya tidak boleh di korbankan, sebagaimana Konvensi Jenewa Tahun 1949 ; Pasal 3, antara lain :
70
(32)
69
1) Orang-orang yang tidak turut serta aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota angkatan perang yang telah meletakkansenjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apapun, dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan kemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas suku, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu. Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan tetap akan dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut diatas pada waktu dan ditempat apapun juga : (a) tindakan kekerasan atas jiwa, dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, pengudungan, perlakuakn kejam dan penganiayaan; (b) penyanderaan; (c) perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perilaku yang menghina dan merendahkan martabat; (d) menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului kepeutusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab;
2) Yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat.
Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977
meskipun tidak ada kaitannya dengan extra judicial killings
1965, tetapi Konvensi Jenewa adalah bagian dari hukum
humaniter internasional, ada beberapa Pasal yang sangat relevan dan yang secara khusus melindungi orang yang tidak mengambil bagian dalam permusuhan (penduduk sipil) dan
mereka yang tidak lagi terlibat dalam permusuhan
sebagaimana elements of crimes pada kasus extra judicial
(33)
70
Berdasarkan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM serta fakta-fakta kontruksi extra judicial killings 1965 diatas, bahwa seharusnya pemerintah segera melaksanakan Pengadilan Ad Hoc, sebagaimana Pasal 43, ayat (1) Pelanggaran hak assi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Ham Ad Hoc.
Sebagaimana juga dijelaskan dalam UU No. 39 tahun
1999, tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 90, ayat (1) Setiap
orang dan sekelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM. Bukankah pelanggaran HAM masa lalu menurut UU No. 26 tahun 2000 Pasal 46 tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa? Bukankah ajuan laporan pelanggaran HAM sebagaimana Pasal 90 UU No. 39 Tahun 1999, juga sudah dilakukan oleh Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPRKROB) serta Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YKPK 65), yang juga ditindak lanjuti oleh Rekomendasi Komnas HAM kepada Jaksa Agung, untuk dilakukan penyidikan sebagaimana UU No. 26 tahun 2000,
(34)
71
Pasal 21 Ayat (1) Penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung.
Bahwa extrajudicial killings 1965 terhadap orang-orang
PKI berdasarkan UU No. 39 tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM adalah melanggar hak asasi manusia yang berat, dan ini
merupakan extraordinary crimes. Bahkan berdasarkan uraian
diatas, serta fakta-fakta yang penulis dapatkan dari lapangan, terdapat bukti permulaan yang cukup, Pasal 7 huruf (b) Kejahatan terhadap kemanusiaan, serta telah memenuhi “the elements of crimes” atau Unusr Obyektif, dengan mengacu pada UU No. 26 tahun 2000, Pasal 9, yaitu :
a) Salah satu perbuatan (actus reus/unsur obyektif)
b) Dilakukan sebagai bagian dari serangan (Actus
reus/unsur obyektif)
c) Meluas atau Sistematis (actus reus/unsur obyektif)
d) Ditujukan kepada penduduk sipil (actus reus /
unsur obyektif).
Dan juga bentuk-bentuk perbuatan yang mengarah pada kejahatan terhadap kemanusian sebagai bagian dari serangan meluas dan sistematis ditujukan kepada penduduk sipil yang berupa :Pembumuhan (Pasal 9 huruf a); Pemusnahan (Pasal 9
(35)
72
huruf b); Perbudakan (Pasal 9 huruf c); Pengusiran atau Pemindahan penduduk secara paksa (Pasal 9 huruf d); Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang (Pasal 9 huruf e); penyiksaan (Pasal 9 huruf f).
Jika mengacu pada keterangan tersebut diatas, telah terjadi pelanggaran Hak Asasi manusia yang berat Pasal 1 Ayat (1) UU No. 26/2000 serta berdasarkan pada Pasal 1 ayat (3) Pengadilan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap
pelanggaran hak asasi manusia yang berat.” Juncto Pasal 20 ayat (1), yaitu :
“Dalam hal Komisi nasional Hak Asasi Manusia berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik”.
Bukti permulaan yang cukup menurut penjelasan Pasal
20 Ayat (1) UU No. 26 tahun 2000, bahwa: “Dalam ketentuan
ini yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup”
adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana bahwa seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai
(36)
73
Adapun Penyidik dalam hal ini sebagaimana Pasal 21
Ayat (1) Penyidik perkara pelanggaran hak asasi manusia
yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung.
Namun, meskipun the element of crimes, dalam
pelanggaran berat kejahatan terhadap kemanusiaan, tidak
selalu berbanding lurus dengan realitas yang ada.
Bagaimanapun upaya melalui mekanisme pidana nasional yaitu Pengadilan HAM Ad Hoc, UU No. 26 Tahun 2000; tentang Pengadilan HAM akan melalui berbagai kendala, menurut Indria Fernida karena beberapa alasan, yaitu :
1) pengalaman berjalannya Pengadilan HAM ad hoc untuk
kasus Timor Timur 1999 dan Tanjung Priok 1984, serta Pengadilan HAM permanen untuk kasus Abepura, Papua 2000 menunjukan tidak serta merta upaya pengadilan bisa mewujudkan akuntabilitas dan memenuhi rasa keadilan korban pelanggaran HAM. Secara keseluruhan, hingga saat ini tidak ada satu pun dari mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan pada peristiwa-peristiwa tersebut dan mendekam di balik penjara. Mereka semua bebas dengan berbagai cara. Mekanisme pengadilan khusus ini seolah menjadi formalitas praktek impunitas yang masih berurat akar di Indonesia.
(37)
74
2) kegagalan menghadirkan keadilan yang sejati juga terjadi di
Irak. Pasca invasi Amerika Serikat dan sekutunya,
dibentuklah suatu pengadilan khusus (the Supreme Iraqi
Criminal Tribunal). Meski didasari oleh aturan hukum domestik (serta hukum internasional), namun pengadilan ini sangat sarat dicampuri oleh kepentingan AS.
3) Pengadilan „komunitas‟ Gacaca (dibentuk pada 2001) di
Rwanda sebagai respon terhadap problem kejahatan berat genosida yang terjadi di sana. Pengadilan Gacaca ini dibentuk berdasarkan suatu campuran antara praktek tradisional masyarakat Rwanda dengan sistem pidana modern, yang juga mencakup ketentuan soal genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan.71
1b. Hambatan Pengadilan HAM Ad Hoc menurut UU No. 26 tahun 2000
Meskipun aturan hukum sudah jelas UU No. 39 tahun 1999 dan UU No. 26 tahun 2000, kemudian fakta-fakta juga sudah menunjukkan bahwa terjadi pelanggaran Ham berat sebagaimana
71
Fernida, Indria. Penegakan Hak Asasi Manusia, Akuntabilitas dan Penegakan Hukum di Indonesia. IDSPS Press 2009. Hal 5-7.
(38)
75
Pasal 7 Ayat (2) “kejahatan terhadap kemanusiaan”, Jucto Pasal 9, Jucto Pasal 43 Ayat (1), Juncto Pasal 46, Jucto UU No. 26 tahun 2000; tetapi jalan penyelesaian pelanggaran HAM berat masih panjang dan berliku. Hal itu karena beberapa hambatan, yaitu :
a) Bahwa UU No. 26 tahun 2000, merupakan Undang-Undang
yang didisain untuk gagal (design to fail), karena Pengadilan ad
hoc sebagaimana Pasal 43 Ayat (2) “Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Dengan melihat kondisi perpolitikan dewasa ini, dimana kondisi riil anggota DPR RI yang terbelah menjadi dua kelompok Koalisi Merah Putih (KMP) atau pendukung Prabowo (kelompok kanan) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pendukung Jokowi (Kiri Tengah) sangat sulit DPR RI mengusulkan pengadilan HAM ad hoc kepada Presiden untuk membuat Keppres . Disamping itu, kondisi masyarakat sekarang juga terbelah menjadi PRO (beberapa Aktifis) dan Anti-PKI (Kelompok Islam, Nasionalis dan TNI AD) soal permintamaan maaf terhadap PKI yang justru berujung pada permusuhan terhadap orang-orang PKI semakin mengkhawatirkan.
(39)
76
b) Bahwa pertanggungjawaban pidana menurut UU No. 26 tahun
2000, sesuai dengan Ketentuan Pidana Pasal 36, Pasal 37, Pasal
38, Pasal 39 dan Pasal 40 adalah individu atau sistem individual
responsibility sebagaimana disebutkan disana “setiap orang” Namun yang membedakan pada peradilan umum yaitu pada Pasal 42 pertanggungjawabannya ada pada “komando”. Konsep pertanggungjawaban komando/atasan yang berarti juga bisa dari militer atau atasan non militer. Hal ini akan menjadi lebih susah,
dikarenakan orang-orang (pelaku) extrajudicial killings 1965
sudah meninggal dan pikun (tua) sehingga tidak mungkin dimintai pertanggungjawaban pidana.
c) Pelaku extrajudicial killings 1965 melibatkan banyak pihak,
militer, tokoh ormas Islam, Orsospol, yang sifatnya massal, sehingga menimbulkan kegaduhan dan bahkan konflik sosial jika tokoh panutannya diseret-seret ke Pengadilan.
2. Pengadilan Hybrid (campuran)
Mekanisme Pengadilan dalam mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, seperti : genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, dapat menggunakan : a) National Court (berdasarkan UU No. 26 tahun 2000), b) Ad-Hoc Tribunals sebagaimana International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTFY)
(40)
77
dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), c) Hybrid
Tribunals, seperti East Timor Special Panels dan Special Court for
Sierra Leone, dan d) Permanent Tribunal (The International Criminal Court).
Bentuk pengadilan internasional urgensinya karena
memiliki keterkaitan dengan kejahatan internasional atau kejahatan di bawah yurisdiksi hukum internasional, seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Dalam perspektif hukum internasional, alasan bahwa kejahatan internasional harus dibentuk melalui pengadilan internasional adalah : 1) kejahatan
tersebut melanggar norma internsional yang bersifat jus cogens atau
preemptory norm); 2) terhadap pelaku kejahatan tidak boleh bebas tanpa hukuman (impunity); 3) kejahatan ham berat tidak mengenal
daluarsa (non-statutory limitation).
Proses penegakan hukum dalam konteks internasional
Secara teori dibagi menjadi dua hal, yaitu : 1) Direct Enforcement
System (Penegakan Hukum Secara Langsung) dan 2) Indirect Enforcement System (Penegakan Hukum Secara Tidak Langsung).
Direct Enforcement System merupakan penegakan hukum pidana internasional oleh mahkamah pidana internasional, seperti : Nuremberg, International Military Tribunal for the Far East
(41)
78
(ICTY), International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), dan
International Criminal Court (ICC). Sedangkan penegakan hukum
pidana internasional secara tidak langsung atau Indirect Enforcement
System adalah penegakan hukum pidana internasional melalui hukum pidana nasional di masing-masing negara, tempat kejahatan tersebut terjadi. Seperti : Hybrid tribunal di Timor Leste, Serra Leone, Kamboja.
Dalam konteks penyelesaian extrajudicial killings 1965,
melalui mekanisme yuridis menurut penulis dengan menggunakan hybrid tribunal. Dimana penyelesaian melalui Hybrid tribunals
menurut Andrey Sujatmoko72, dikarenakan faktor-faktor
unwillingness dan inability dari negara pelaku pelanggaran berat yang dapat menyebabkan mekanisme internasional mengambil alih fungsi pengadilan nasional. Meskipun hybrid tribunal tidak sepenuhnya bersifat internasional karena campuran hukum nasional dan internasional, disamping itu ada peran dunia internasional sehingga menjadikan internalisasi pengadilan nasional.
Berkenaan dengan extra judicial killings 1965, penulis
mengajukan penyelesaian salah satunya adalah Hybrid Tribunals
(campuran), karena alasan sebagai berikut :
72
Sujatmoko, Andrey, Tanggungjawab Negara atas Pelanggaran HAM Indonesia, Timor Leste dan lainnya. Jakarta : PT. Grasindo. Hal. 179.
(42)
79
a). Tidak ada keinginan politik (political will) pengadilan nasional
(local court) melalui UU No. 26 tahun 2000, yang dapat mengadili kejahatan HAM berat tahun 1965. Hal itu akan terkendala oleh Pasal 43 Ayat (2) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Tentu saja mengharapkan “political will” DPR RI untuk mengusulkan Pengadilan HAM ad hoc sangat mustahil pada kondisi politik Indonesia saat ini, dimana hampir anggota DPR RI justru berfikir tentang penolakan kebangkitan PKI.
b) Kondisi kehidupan sosial politik indonesia yang tidak kondusif dengan munculnya gerakan anti PKI yang terus digerakkan oleh militer dan Ormas (islam dan nasionalis). Meskipun mengadili pelanggaran HAM berat 1965 bukanlah menghidupkan PKI tetapi persepsi yang telah dibentuk oleh militer adalah kebangkitan PKI. c) Dikawatirkan bahwa jika dilaksanakan melalui proses peradilan Nasional justru akan menutupi atau melindungi para pelaku kejahatan sehingga terhindar dari penghukuman. Stereotipe terhadap peradilan yang tidak dapat berlaku secara independen dan tidak memihak.
(43)
80
Maka dari itu, dalam kondisi “deadlock” beberapa negara
yang mengalami nasib seperti itu (unwillingness dan inability)
melakukan penyelesaian melalui mekanisme Hybrid Tribunals
seperti Sierra Leone dengan Special Court of Sierra Leone dan
Timor Leste dengan Special Panels for Serious Crimes.
Hybrid tribunal disebut dengan pengadilan campuran, karena terdiri dari unsur-unsur yang bersifat campuran, seperti menyangkut kebangsaan orang-orang yang bekerja (hakim, jaksa, panitera) terdiri dari warga negara setempat maupun orang asing yang diangkat oleh PBB. Demikian pula dengan hukum yang digunakan adalah kombinasi antara hukum nasional setempat dengan
hukum internasional.73
Pengadilan campuran atau Hybrid Tribunal merupakan penemuan baru dalam bidang hukum pidana internasional yang disebut dengan “generasi ketiga” dari perkembangan pidana internasional. Perkembangan ini merupakan terobosan baru dalam penegakan hukum pidana HAM internasional dimana model ini dikelompokkan dari beberapa campuran Negara-negara dan komponen internasional yang menawarkan pendekatan yang tertuju
73
(44)
81
pada keadilan internasional secara keseluruhan pada satu sisi dan
keadilan dalam negeri di sisi lain.74
Pengadilan campuran, menurut United Nation adalah:
“defined as courts of mixed composition and jurisdiction, encompassing both national and international aspects, usually operating within the jurisdiction where the crimes occurred”.
This rule of law policy tool aims to serve two purposes:
First, to explore the potential positive impact hybrid courts may have on the domestic justice system of post-conflict States so as to ensure a lasting legacy for the rule of law and respect for human rights; Second, to examine how hybrid courts can receive the mandates and necessary political support required to be more effective in terms of legacy and capacity-building.75
Substansi dari hybrid tribunal dilakukan ketika hukum nasional mengalami kemandegan dalam penyelesaian kejahatan terhadap kemanusian dan genosida. Upaya hukum internasional adalah menghadirkan Hybrid Tribunal yaitu pengadilan campuran dari segi yuridiksi dan komposisi, yang meliputi aspek baik nasional maupun internasional, dimana pelaksanaannya di dalam yurisdiksi di mana kejahatan terjadi. Bahwa pilihan Hybrid Tribunal, bukanlah persoalan politis dan menggeser kedaulatan negara, tetapi ini adalah
74
http://te-effendi-pidana.blogspot.com/2012/07/hybrid-model-peradilan-pidana.html, diunduh 28 Februari 2015.
75
United Nations, Rule Of Law Tools for Post Conflict States : Maximizing the legacy of hybrid courts. New York and Geneva, 2008. Hal.1
(45)
82
persoalan hak asasi manusia yang menempati posisi sangat penting dalam hukum internasional.
Hybrid tribunals atau pengadilan campuran menurut Ethel Higonnet, merupakan kombinasi internasional dan lokal, hybrid juga adalah produk dari berbagi akuntabilitas peradilan antara negara-negara di mana mereka berfungsi dan juga Persatuan Bangsa Bangsa.
“Blending the international and the local, existing hybrids are products of judicial accountability sharing between the states in which they fucntion and the United Nations”.76 Adanya perpaduan unsur lokal dan internasional ini sesungguhnya adanya upaya untuk menghindari terjadinya impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM berat. Ini mungkin salah satu model penegakan hukum progresif, yang menurut Suparman Marzuki, menawarkan bentuk pemikiran dan penegakan hukum yang tidak
submisif terhadap sistem yang ada, tetapi afirmatif (afirmatif law
enforcement). Afirmatif berarti keberanian untuk melakukan pembebasan dari praktik konvensional dan menegaskan penggunaan
76 Higonnet, Ethel, “
Restructuring Hybrid Courts: Local Empowerment and National Criminal Justice Reform. Yale Law School. 2005. Student Scholarship. Hal 4. http://digitalcommons.law.yale.edu/student_papers.
(46)
83
satu cara yang lain, yang menerobos pakem-pakem praktik hukum
yang telah lama berlangsung.77
Oleh karena itu, pilihan hybrid tribunals memiliki kekuatan-keuatan internasional yang memiliki daya tekan dan kredibilitas dalam penyelenggaran peradilan HAM masa lalu. Ini senyampang
dengan pandangan Higonnet78 terkait hybrid tribunal menurutnya
teori setidaknya, hibrida dapat memanfaatkan kekuatan keadilan internasional dan manfaat dari penuntutan lokal. Masih menurut Higonnet disatu sisi, hibrida dapat memanfaatkan kredibilitas hukum internasional dan legitimasi khusus untuk lembaga-lembaga internasional, yang partisipasinya dapat meminjamkan pengadilan hibrida tingkat otoritas sebagai mekanisme yang adil untuk mengadili pelaku. Sedangkan Disisi yang lain, hibrida secara terstruktur dapat memasukkan keahlian lokal, yang berkaitan dengan penduduk lokal, dan membangun kembali sistem peradilan lokal sebagai tempat pelatihan bagi penegakan nilai-nilai hukum.
Adapun yang menarik dari hybrid adalah intervensi kekuatan lokal yang dapat mengancam proses penyelesaian pelanggaran HAM berat dapat diminimalisir karena melibatkan pihak-pihak internasional. Oleh karena itu penyelesaian melalui
77
Marzuki, Suparman, Pengadilan HAM di Indonesia : Melanggengkan Impunity. Jakarta : Erlangga, 2012. Hal. 276.
78
(47)
84
hybrid tribunal diharapkan menjadi jalan terbaik bagi penegakan hukum baik secara internasional maupun secara nasional. Substansi dari alternatif penyelesaiaan model hybrid tribunal ini adalah bahwa penegakan hukum harus dilakukan dengan tanpa kompromi dan juga demi mengurangi implikasi politik yang dapat menimbulkan “imunitas” pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan karena adanya perlindungan hukum nasional dari penguasa. Pada dasarnya kemunculan pengadilan hibrid karena dilatar belakangi berbagai varian politik dasar hukum yang berbeda-beda. Dan menurut Arie
Siswanto79, dasar hukum pembentukan pengadilan hibrid terbagi
menjadi tiga kategori, yaitu : pengadilan hibrid yang dibentuk berdasarkan perjanjian antara PBB dengan negara, pengadilan hibrid
yang dibentuk oleh PBB atau pemerintah internasional (international
administration) di suatu negara, dan pengadilan hibrid yang dibentuk oleh suatu negara namun mendapatkan dukungan internasional.
Namun, apapun dalil-dalil pembentukan hybrid tribunlas, paling tidak memiliki perspektif yang sama tentang tujuan terbentuknya pengadilan tersebut, yaitu :bahwa pengadilan hibrid pada hakekatnya adalah mewujudkan perdamaian dan keadilan berdasarkan standar hukum internasional dengan cara mengakhiri
79
Siswanto, Arie, Hukum Pidana Internasional. Yogyakarta : CV. Andi Offset. 2015. Hal 302.
(48)
85
impunitas bagi pelaku kejahatan internasional, melalui keterlibatan
komponen-komponen hukum internasional. 80
Oleh karena itu, dalam penyelesaian extrajudicial killings
1965 ini, indonesia dapat menyelesaiakan model pengadilan “hybrid” (campuran), sebagaimana contoh negara-negara yang telah melakukan terlebih dahulu, seperti :
1) Sierra Leone
Konflik berdarah di Sierra Leone sepanjang awal tahun 1999 yang mengakibatkan hampir 50 ribu jiwa tewas dan
menimbulkan krisis berkepanjangan. Berbagai upaya
penyelesaian konflik berdarah dilakukan oleh masyarakat internasional. Lantas pada 16 Januari 2002 terbentuklah
Pengadilan khusus untuk Sierra Leone atau The Special Court
for Sierra Leone (SCSL) dari hasil kesepakatan antara Pemerintah Sierra Leone dan PBB. Dasar hukum pengadilan khusus untuk Sierra Leone adalah resolusi Dewan Keamanan 1315 (2000) tanggal 14 Agustus 2000. Salah satu tujuannya adalah dalam rangka mengadili orang-orang yang memikul tanggungjawab terbesar atas pelanggaran serius terhadap hukum kemanusiaan internasional dan hukum Sierra Leone yang dilakukan di wilayah Sierra Leone sejak tanggal 30 November
80
(49)
86
1996.81 Disamping itu Resolusi 1315 Dewan Keamanan PBB
memberidat kepada Sekjen PBB untuk memulai pembicaraan tentang pembentukan pengadilan khusus guna menangani
kejahatan internasional di Sierra Leone.82 Pengadilan hybrid di
Sierra Leone didirikan melalui negosiasi dengan pemerintah yang berdaulat, dengan ruang lingkup peran domestik yang lebih besar. Peran Sierra Leone dalam struktur Mahkamah Khusus dipengaruhi oleh keputusan pemerintah untuk menunjuk staf internasional untuk beberapa posisi kunci yang seharusnya diisi
oleh Sierra Leone83.
Menurut Herman S dan Ikaningtyas, bahwa
pembentukan lembaga peradilan internasional ad hoc SCSL dengan struktur kelembagaan SCSL yang terdiri dari beberapa elemen nasional Sierra Leone serta elemen internasional dari berbagai negara yang menempati struktur kelembagaan peradilan internasional Ad Hoc SCSL, seperti para hakim
(judges), penuntut umum (prosecutor) serta pengacara
(lawyer)84.
81
Shaw, Malcolm N, Hukum Internasional, (terj). Bandung 2013. Hal. 405. 82
Siswanto. Op.Cit. Hal.303. 83
Office of The United Nations High Commisioner for Human Rights. Rule Of Law Tools for Post Conflict States : Maximizing the legacy of hybrid courts. New York : United Nation. 2008. Hal. 10.
84
Janu, Aditya, Suryokumoro, Herman dan Ikaningtyas, Mekanisme The Special Court for Sierra Leone (SCSL) dalam Menyelesaiakan Kasus Pelanggaran Berat (Studi Kasus
(50)
87
Struktur Organ kelembagaan peradilan SCSL menurut
Shaw85, pengadilan khusus terdiri atas majelis (dua majelis
persidangan dan satu majelis banding), dan dibagi menjadi tiga tingkat peradilan, yaitu Trial Chamber I, Trial Chamber II dan Appeal Chambers serta Prosecutor. Ketiga hakim memiliki kedudukan yang berbeda-beda, yaitu : Trial Chamber I merupakan peradilan tahap pertama dalam SCSL yang memiliki
tugas melakukan proses pemeriksaan terhadap proses
penuntutan awal kepada tersangka kejahatan terhadap kemanusiaan. Terdiri dari satu hakim nasional Sierra Leone dan dua hakim internasional. Trial Chamber II, merupakan peradilan tahap pertama yang berperan untuk memutuskan seorang terdakwa bersalah atau tidak berdasarkan kesaksiann bukti serta
argumen yang dipaparkan para pihak dalam persidangan86.
Terdiri dari tiga hakim yaitu satu hakim nasional Sierra Leone dan dua hakim internasional. Adapun untuk Appeal Chambers bertugas memeriksa dan memutus banding atas perkara yang
sudah diputus Trial Chambers87. Terdiri dari dua hakim
Nasional Sierra Leone dan tiga Hakim Internasional.
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Civil War 1991-2002 di Sierra Leone. Makalah. Hal. 7.
85
Shaw. Op.Cit. Hal. 405 86
Aditya, Suryokumoro, Herman dan Ikaningtyas. Ibid. Hal. 8. 87
(51)
88
Semua hakim internasional yang duduk di dalam SCSL merupakan hakim yang ditunjuk secara resmi oleh sekertaris jendral PBB. Trial Chamber II disini Terakhir Appeal chamberss mendengarkan permohonan yang menolak segala keputusan yang dikeluarkan oleh peradilan sebelumny atau Trial Chambers. Presecutor merupakan salah satu dari tiga organ dari Pengadilan Khusus SCSL yang bertugas sebagai penuntut. Berkenaan dengan Yuridiksi menurut Shaw, bahwa Yuridiksi Pengadilan Khusus mencerminkan sifat hibrida yang ada pada pembentukan dan pengisian stafnya. Pengadilan memiliki yuridiksi berkaitan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. 2) Cambodia
Pengadilan campuran (hibryd) juga dilakukan Kamboja, hal itu dilakukan karena secara faktual Kamboja tidak ada unwilling dan unable untuk memulai proses peradilan. Kondisi unwilling dan unable dikarena sistem hukum nasional tidak berfungsi dan sumberdaya manusia yang terbatas, sehingga pengadilan domistik tidak dapat berjalan seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, untuk mengatasi kebuntuan itu pada tahun 2001, Majelis Nasional Kamboja mengesahkan sebuah undang-undang yang bertujuan membentuk pengadilan untuk mengadili kejahatan serius yang dilakukan rezim Khmer
(52)
89
Mereah dibawah Pol Pot tahun 1975-1979. Dasar hukum
peradilan yang kemudian dinamakan “Extraordinary Chambers
in the Courts of Cambodia berdasarkan pada perjanjian PBB
dan Pemerintah Kamboja. Yang dikenal dengan “March
Agreement”.
Menurut Shaw88, pada 13 Mei 2003, Majelis Umum
PBB menyetujui Rancangan Perjanjian antara PBB dan Kamboja yang mengatur tentang Majelis Luar Biasa dalam Pengadilan Kamboja, dengan tujuan mengadili para pemimpin
senior Demokratik Kampuchea dan mereka yang
bertanggungjawab atas kejahatan dan pelanggaran serius terhadap hukum pidana Kamboja.
Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia (ICCC), juga memiliki struktur pengadilan yang meliputi : Judicial Chambers (persidangan), Office of the Co-Prosecutor (Penuntut) dan Co-Investigating Judges (Hakim Penyelidik). Sedangkan Judicial Chambers, terdiri dari tiga bagian, yaitu : PreTrial Chamber, Trial Chamber, serta Supreme Court
Chamber89. Adapun proporsionalitas kedudukan Hakim pada
ketiga peradilan menunjukkan keberbedaan, yakni; Pre-Trial dan Trial Chamber terdiri dari dua hakim internasional dan tiga
88
Shaw, Op.Cit. Hal. 406-407. 89
(53)
90
hakim Nasional, sedangkan Supreme Court Chamber terdiri dari empat hakim Nasional dan tiga hakim internasional. Kewenangan hakim pada ketiga bagian Judicial Chamber, juga berbeda-beda, seperti : Pre-Trial Chamber memiliki wewenang memeriksa keberatan dan banding terhadap perintah yang dikeluarkan oleh Hakim Co-Investigasi. Trial Chamber disini berperan memutuskan apakah seorang terdakwa bersalah atau tidak bersalah berdasarkan saksi kesaksian, bukti dan argumen yang disampaikan oleh pihak selama persidangan Terakhir Supreme Court Chamber memiliki wewenang mendengar banding terhadap keputusan dan penilaian yang dikeluarkan oleh
Trial Chamber.90
Semua hakim internasional yang duduk dalam lembaga ECCC diangkat oleh Dewan Hakim Agung Kamboja (the Supreme Council of the Magistracy of Cambodia) atas usulan dari Dewan Keamanan PBB (DK PBB). Adapun Yurisdiksi Majelis Luar Biasa meliputi Kejahatan genosida sebagaimana didefinisikan dalam Konvensi Genosida 1948, kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana didefinisikan dalam Statuta Roma 1998 tentang Pengadilan Pidana Internasional dan
90
Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia.
(54)
91
pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1949, serta
kejahatan lain UU Kamboja 200191.
3) Timor Leste
Negara bekas koloni Portugal ini yang kemudian menjadi bagian dari Indonesia tahun 1975. Kemudian dalam perjalanannya Timor Timur yang kini bernama Timor Leste melakukan pemisahan diri melalui Referendum tahun 30 Agustus 1999 yang diawasi oleh UNAMET (United Nation Assistance Mission for East Timor) badan bentukan PBB yang bertugas memfasilitasi dan mengawasi pelaksanaan jajak pendapat. Potret berbeda terjadi pasca jajak pendapat yaitu muncul tindak kekerasan yang dikenal sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia.
Pada bulan Oktober 1999, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi Nomor 1272 Tahun 1999, sebagaimana kewenangan yang diatur dalam Bab VII Piagam PBB, mendirikan UNTAET (The United Nations Transitional Administration in East Timor) sebagai otoritas yang menangani peralihan kekuasaan di Timor Leste, berdasarkan Regulasi UNTAET 2000/15, tanggal 6 Juni 2000 dan Regulasi UNTAET 2000/11. Pada tanggal 6 Maret 2000 kemudian membentuk
91
(55)
92
panel yang memiliki yurisdiksi eksklusif atas kejahatan serius
yang terjadi di Timor Leste.92
Lebih lanjut berkenaan dengan yurisdiksi, menurut Mangai, UNTAET memiliki yurisdiksi atas genosida, kejahatan
perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, pembunuhan,
pemerkosaan, dan penyiksaan yang dilakukan di Timor Timur
antara 1 Januari – 25 Oktober 1999.93 Sedangkan Tholib
Effendi, membagi 3 (tiga) yurisdiksi Special Panels for Serious Crimes in East Timor, yaitu : 1) Yurisdiksi Temporal; dimana Panels (sebutan dari Peradilan khusus tersebut) berwenang mengadili siapapun yang melakukan tindak pidana antara tanggal 1 Januari 19 sampai dengan 25 Oktober sebagaimana dimaksudkan di dalam Pasal 10.2 Regulation 2000/11 jo Pasal 2.3 Regulation 20/15. 2) Yurisdiksi Teritorial; dimana berlaku untuk tindak pidana yang terjadi di seluruh wilayah teritorial Timor Timur. Yuriisdiksi Material; yaitu menurut Pasal 10.1 Regulation 2000/11 jo. Pasal 1.3 Regulation 2000/15 Yurisdiksi material dari Pels adalah untuk tindak pidana :a) Genosida; b)
92
Muhamadin, Safiq. Pengadilan Campuran Internasional (Hybrid-Tribunals) dalam Penyelesaian Kejahatan Internasional. Artikel. Hal. 6.
https://www.academia.edu/23792571/Pengadilan_Campuran_Hybrid-Tribunals_dalam_Penyelesaian_Kejahatan_Internasional?auto=download 93
Natarajan, Mangai (Terj). Kejahatan dan Pengadilan Internasional. Bandung : Nusa Media, 2015. Hal. 361.
(1)
146
dengan mengkombinasikan pada UU No. 26 Tahun 2000, Pasal 35. Kemudian salah satu konsepsi terbaik dalam penegakan HAM masa lalu adalah dengan melakukan pertanggungjawaban atas perbuatan yang telah dilakukan dan menimbulkan korban. Pertanggungjawaban negara sebetulnya dapat dilihat dari upaya melakukan pendayagunaan kewenangan atas instrumentasi hukum, yaitu, negara dalam menjalankan kewajibannya menggunakan segala kewenangannya terutama untuk membangun instrumentasi hukum sebagai sarana yang melindungi hak-hak masyarakat.
Kenyataannya, upaya pertanggungjawaban terhadap pemenuhan hak-hak korban perlanggaran HAM masa lalu yang hingga sekarang sangat sulit diwujudkan. Hak-hak korban pelanggaran HAM mencakup : a) hak untuk mengetahui kebenaran (right to know the truth), b) hak atas keadilan (right to justice) dan c) hak atas pemulihan (rights to reparation). Menurut RUU KKR, Pasal 1, ayat (1), Kebenaran adalah keadaan yang sesuai dengan peristiwa yang sesungguhnya terjadi dan dapat diungkap yang berkenaan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, baik mengenai korban, pelaku, tempat, waktu, pola maupun latar belakang terjadinya peristiwa tersebut.
Sesungguhnya, tingkat keberhasilan suatu negara untuk memberikan penghargaan bagi korban pelanggaran HAM yang berat
(2)
147
salah satunya dapat diukur dari kemampuannya dalam melakukan pemberian reparasi terhadap korban. Menurut Titon Slamet Kurniawan150, kewajiban reparasi oleh negara terhadap korban sangat signifikan juga karena kesulitan dalam melakukan proses hukum terhadap pelaku. Masih menurut Titon, hal itu berdasarkan prinsip keadilan dan dalam rangka mengimbangi dengan kewajiban negara untuk memberikan reparasi kepada korban.
Korban disini menurut RUU KKR Pasal 1, ayat (5), yang dimaksud dengan korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik maupun mental, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. Ketentuan lain mengenai korban terdapat dalam Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime Abuse of Power,151 yaitu :
“Victims, means persons who, individually or collectively,
have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffring, economic loss or substatial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within member states,
including those laws proscribing criminal abuse of power”.
150
Slamet, Titon K. Reparasi (Reparation) terhadap Korban Pelanggran HAM di Indonesia..PT. Citra Aditya Bakti. 2005. Hal 23.
151
Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power 1985. http://www.un.org/documents/ga/res/40/a40r034.htm
(3)
148
Di Indonesia sendiri, situasi politiknya sungguh berbeda bagi penerapan hak reparasi korban pelanggaran HAM berat, karena hal itu masih terkendala oleh aturan perundangan. Tetapi konsep yang hampir sama dengan reparasi diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000. Pasal 35, tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Menurut Ian Brownlie dalam Titon Slamet K, bahwa konsep dalam sistem tanggung gugat internasional mengacu pada semua tindakan yang penggugat harapkan supya dilakukan oleh negara tergugat dalam bentuk, antara lain : kompensasi (compensation), restitusi (restitution), permintaan maaf, hukuman terhadap individu yang bertanggungjawab, pengambilan langkah-langkah untuk mencegah terulangnya pelanggaran, dan berbagai bentuk satisfaksi (satisfaction) yang lain.152
Kompensasi dan rehabilitasi bukanlah sekadar urusan antara pelaku dan korban, tetapi juga merupakan tanggung jawab negara atas perlindungan dan pemenuhan hak-hak warga negara yang menjadi korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Menurut Juan E. Mendez ada beberapa langkah yang harus dilakukan pemerintah menyikapi terjadinya pelanggaran HAM berat sebagai bentuk tanggungjawabnya kepada rakyat. Salah satunya yaitu : korban dan keluarganya berhak
152
(4)
149
mendapatkan reparasi baik material maupun moral sebagai bentuk penghormatan terhadap harga diri korban.153
Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terkait pelanggaran HAM selain mengacu pada konsep “Islah” juga merujuk pada UU No. 26 Tahun 2000, Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi Pasal 35, ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) :
(1) Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli watisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi;
(2) Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan pengadilan HAM;
(3) Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bisa juga merujuk pada RUU KKR yang baru 2015 dan sudah masuk prolegnas prioritas, tentang rehabilitasi dan kompensasi diatur dalam Pasal 1, ayat (7) dan ayat (8), yaitu :
Ayat (7) :
Kompensasi adalah pemberian negara kepada Korban atau Keluarga Korban untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk perawatan kesehatan fisik dan mental.
153
Bhatara Ibnu Reza. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: Suatu Kritik .Jakarta : IMPARSIAL The Indonesian Human Rights Watch. 2003.
(5)
150 Ayat (8) :
Rehabilitasi adalah pemulihan harkat dan martabat seseorang yang menyangkut kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Meskipun ada beberapa klausul yang hilang dalam Draf RUU KKR 2015, dibandingkan dengan UU No. 26 Tahun 2000, dan UU No. 27 Tahun 2004, dimana ada klausul yang hilang yaitu tentang restitusi yaitu menurut Boven dalam Titon Slamet K154, upaya mengembalikan situasi yang ada sebelum terjadinya pelanggaran HAM, misalnya : pengembalian kebebasan, kehidupan keluarga, kewarganegaraan, tempat tinggal, pekerjaan, atau hak milik. Sedangkan makna yang hampir sama terdapat dalam penjelsan Pasal
35 UU No. 26 tahun 2000. Yang dimaksud “restitusi” adalah ganti
kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi dapat berupa : a) pengembalian harta milik; b) pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan; atau c) penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
Berdasarkan penjelasan Pasal 35 UU N.26 tahun 2000, yang
dimaksud dengan “Kompensasi” adalah ganti kerugian yang diberikan
oleh negara, karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggungjawabnya. Begitu pula yang
154
(6)
151
dimaksud dengan “rehabilitasi” adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain.
Secara lebih lanjut proses rehabilitisai harus mengacu pada
semangat awal yaitu semangat “islah” yang dibangun dalam konsep
penyelesaian extrajudicial killings 1965. Islah juga mengatur
bagaimana “diyat” atau kompensasi itu wajib diberikan karena “diyat”
merupakan bagian dari pengganti “Qishas”, dimana setelah korban
memaafkan kemudian muncul “diyat” atau kompensi. Meskipun
dalam “islah” itu bersifat individual sebagaimana dalam kasus
Tanjung Priok dan Talangsari, tetapi dalam kasus extrajudicial killings
1965, negara yang harus bertanggungjawab terhadap proses “islah dan rehabilitasi” termasuk hukum pengganti yaitu “Diyat”, karena negara
memiliki kewajiban untuk to protect (melindungi) hak-hak warga negaranya untuk tidak dilanggar.