T2 322014017 BAB III

Bab III
Perbandingan Teori Monisme-Dualisme dan
Teori Internasionalisme

Isu

utama

pembahasan

Bab

ini

adalah

perbandingan antara teori monisme-dualisme klasik
atau

tradisional


dengan

teori

internasionalisme

berkenaan dengan kedudukan hukum internasional
dalam forum yudisial domestik (international law before
municipal court). Atas dasar analisis komparatif tersebut

penulis ingin mempertahankan argumen bahwa teori
internasionalisme

mampu

normativitas

kuat untuk

lebih


memberikan
penerapan

dasar
hukum

internasional oleh pengadilan domestik atau nasional
suatu negara. Dengan demikian, pembahasan ini ingin
mendukung prinsip bahwa “international law is law ”
yang implikasinya hukum internasional juga dapat
diaplikasikan

oleh

pengadilan

nasional

dan


teori

internasionalisme sebagai theoretical underpinning-nya
mengandung dasar normativitas lebih kuat ketimbang
teori monisme-dualisme.

A.Kelemahan Teori Monisme-Dualisme
1. Teori Monisme-Dualisme Bersifat Teori Ex Post
Kelemahan

pertama

dari teori monisme-

dualisme terletak pada sifatnya yang ex post.
Sebuah negara dapat dikatakan sebagai negara
monist atau dualist setelah dianalisa secara ex post
46


facto. 1 Ex post facto berarti “after the fact” atau

setelah kejadian. 2 Dengan analisis ex post facto
maka

posisi

teori

monisme-dualisme

dapat

digambarkan sebagai berikut: untuk membuat
kesimpulan

apakah

suatu


negara

menganut

monisme atau dualisme, maka akan dilihat terlebih
dahulu

praktik-praktik

dalam

sistem

konstitusional suatu negara yang mengekspresikan
karakter

masing-masing

teori


monisme

dan

dualisme tersebut. 3 Dalam pengertian demikian
teori monisme dan dualisme sangat sulit untuk
diberi

label

bersifat ex

sebagai
ante

dan

hukum

yang


seyogianya

mengharuskan.

Analisis

tersebut hanya sebatas menyatakan teori monisme
dan dualisme sebagai pernyataan deskriptif (“is”
statement); bukan pernyataan normatif (“ought”
statement).

Teori monisme-dualisme merupakan outflow
dari perspektif terhadap praktik-praktik negara 4
yang kemudian menimbulkan gejolak tersendiri
pada

forum

nasional


yang

berimplikasi

Martin Dixon, Textbook on International Law : Seventh Edition,
Oxford: Oxford University Press, 2007, hlm. 94.
2 Henry
Campbell Black, A Law Dictionary Containing
Definitions of The Terms and Phrases of American and English
Jurisprudence, Ancient, and Modern, New Jersey: The Lawbook
Exchange, 1995, hlm. 453.
3 Rebecca
M.M. Wallace, International Law: A Student
Introduction, London: Sweet & Maxwell, 1986), hlm. 33.
4 Robert Kolb, “The Relationship Between The International And
The Municipal Legal Order: Reflections On The Decision No.
238./2014 Of The Italian Constitutional Court”. Diunduh dari
http://www.qil-qdi.org/wpcontent/uploads/2014/12/02_Constitutional-Court-2382014_KOLB.pdf pada tanggal 27 Oktober 2015 pukul 20.47 WIB.
1


47

memunculkan berbagai pandangan yang saling
bertentangan

oleh

menginterpretasi

para

sistem

ahli

hukum

dalam


konstitusional

suatu

negara untuk menentukan apakah negara tersebut
monis atau dualis.
Konstitusi

Amerika

5

Sebagai contoh Article VI
Serikat

“All

menyatakan,

treaties made, or which shall be made, under the

authority of the United States, shall be the supreme
law of the land.” Seorang pengacara internasional

akan menganggap bunyi Konstitusi di atas sebagai
indikasi bahwa Amerika merupakan negara monis.
Tetapi di sisi lain, The US Supreme Court justru
memiliki

pandangan

mengembangkan

berbeda

pembedaan

treaties

dengan
yang

di

antaranya adalah non-self-executing treaty dimana
jenis treaty ini hanya bisa dilaksanakan apabila
sesuai dengan legislasi nasional. Tindakan the US
Supreme Court ini justru condong mendukung teori

dualisme yang berseberangan dengan pendapat
pengacara

internasional

sehingga

tidak

dapat

disimpulkan bahwa teori monisme-dualisme yang
bersifat

ex

post

ini

akan

menyelesaikan

pertentangan pandangan di antara keduanya.
Dengan demikian maka dapat disimpulkan
bahwa teori monisme-dualisme yang bersifat ex
post ini tidak cukup memadai sebagai instrumen

untuk mengatribusikan normativitas bagi hukum
internasional dalam sistem hukum nasional suatu
negara. Teori tersebut hanya bersifat penyimpulan
5

Basak Cali, Op. Cit., hlm. 142.
48

atau inferensi dari praktik-praktik negara dalam
sistem

konsitusionalnya

berkenaan

dengan

aplikabilitas hukum internasional melalui forum
legislatif dan yudisial domestik.

2. Teori Monisme-Dualisme Kurang Mengandung
Normative Content
Kelemahan kedua adalah teori monismedualisme
berkaitan

tidak

memiliki

dengan

isu

daya

mengharuskan

aplikabilitas

hukum

internasional. Oleh karena itu teori ini tidak dapat
digunakan dalam dasar pertimbangan putusan di
pengadilan (semisal kasus

mengenai tanggung

gugat internasional). Lord Steyn dalam kasus the
Tin Council Case antara J.H. Rayner (Mincing Lane)
Limited v Department of Trade and Industry pada

tahun 1990 di Inggris menjelaskan bahwa suatu
kasus tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan
monis atau dualis. 6 Pertanyaan mengenai apakah
suatu

negara

menganut

monisme

maupun

dualisme merupakan pertanyaan teoretis tanpa
implikasi

praktikal

7

karena

teori

monisme-

dualisme hanya digunakan untuk menjelaskan
interaksi antara hukum internasional dan hukum
nasional.8

Martin Dixon, 2007, Op.Cit., hlm. 94.
Benedetto Conforti, “Notes on the Relationship between
International Law and National Law” International Law FORUM du
droit international Vol. 3, 2001, hlm.18.
8 Onkemetse Tshosa, “The Status of International Law in
Namibian National Law: A Critical Appraisal of the Constitutional
Strategy”.
Diunduh
dari
http://www.kas.de/upload/auslandshomepages/namibia/Namibia
6

7

49

Article 27 the 1969 Vienna Convention on
The Law of Treaties menyatakan bahwa “A party
may not invoke the provisions of its internal law as
justification for its failure to perform a treaty”. Suatu

negara

tidak

dapat

menggunakan

hukum

nasionalnya sebagai alasan untuk ketidakpatuhan
terhadap

hukum

internasional.

9

Apabila

diterapkan dalam suatu sengketa, maka negara
tidak dapat mengelak dari kewajiban internasional
dengan alasan ia menganut teori dualisme.

3. Monism-Dualism Overlapping
Perbedaan
menganalisis

cara

suatu

monisme-dualisme
bervariasi
kedua

yang

teori

pandang
negara

dalam

berdasarkan

menghasilkan

menunjukkan

secara

praktisi

bersamaan

teori

kesimpulan

adanya

praktik

dalam

negara

tersebut. 10 Misalnya, Konstitusi Amerika Serikat
mencerminkan pendekatan keduanya yakni dualist
dan monist yang tergambarkan sangat kompleks.11
Kompleksitas lebih jauh nampak ketika negara
adalah monist terhadap treaty law tetapi dualist
terhadap hukum kebiasaan internasional 12 atau

_Law_Journal/2010_1/NLJ_section_1.pdf pada tanggal 27 Oktober
2015 pukul 10.45 WIB.
9 Louise Henkin, Op.Cit., hlm. 137.
10 Lihat pembahasan pada sub teori ex post monisme-dualime.
11 Anthony Aust, Handbook of International Law: Second
Edition, New York: Cambridge University Press, 2010, hlm. 76 dan
78.
12 Tom
Ginsburg, “Locking in Democracy: Constitutions,
Commitment, and International Law” 38 New York University
Journal of International Law and Politics 707, 2006, hlm. 174.
50

terhadap jenis hukum internasional lainnya dan
sebaliknya.
Amerika Serikat adalah negara monist secara
efektif, namun ia dikatakan dapat menjadi dualist
seiring dengan berkembangnya kekuasaannya

13

dan kini Amerika Serikat tengah berada pada
sistem campuran, yakni “jalan” ketiga di antara
monisme dan dualisme 14 . Seperti yang tertulis
pada Konstitusi Amerika Serikat bahwa treaties
“Law

merupakan

of

the

Land”

15

,

namun

praktiknya, sejarah membuktikan bahwa tidak
semua treaties menjadi law of the land di negara
Amerika Serikat.
Supreme Court Amerika Serikat membuat
kategori “self-executing” dan “non-self-executing”
treaties

dimana

kedua

treaties

jenis

ini

diperlakukan berbeda. 16 Pengategorian treaties di
atas

menekankan

pada

pertanyaan

apakah

perjanjian dapat dengan sendirinya berlaku di
Amerika

Serikat

implementasi

atau

dengan

harus

legislasi

atau

menunggu
tindakan

administratif yang tepat. 17 Terdapat dua kasus di
Amerika Serikat yaitu Sei Fujii v. California dan

Vicki C. Jackson, Constitutional Engagement in a
Transnational Era, New York: Oxford University Press, 2010, hlm.
65.
14 Tae-Ung Baik, Emerging Regional Human Rights Systems in
Asia, New York: Cambridge University Press, 2012, hlm. 69.
15 Ciri konstitusional monisme dalam Amerika Serikat.
16 Eric A. Posner dan Alan O. Sykes, Economic Foundations of
International Law , London: The Belknap Press of Harvard
University Press, 2013.
17Lori Fisler Damrosch dkk., Op.Cit., hlm. 694.
13

51

Foster v. Neilson yang menggambarkan kerangka

kedua jenis treaties tersebut.
Pada kasus Sei Fujii v. California, the Alien
Land Law negara California yang mengandung

pembatasan

kepemilikan

tanah

dinilai

inkonstitusional dengan Universal Declaration of
Human Rights dan the United Nations Charter. 18

Kasus ini menunjukkan bahwa UDHR dan UN
Charter adalah hukum internasional yang bersifat
self-executing sehingga dapat diterapkan langsung

di wilayah hukum nasional tanpa perlu adanya
transformasi ke dalam bentuk legislasi nasional.
Nampak bahwa hal ini sudah sesuai dengan sifat
negara monist. Namun pada kasus yang lain yaitu
Foster v. Neilson, praktik dualisme justru terjadi.

Dalam kasus tersebut, Chief Justice Marshall
berargumentasi bahwa sebuah perjanjian harus
dilihat juga sebagai kontrak antar negara, bukan
sebagai sebuah legislative act. 19 Oleh karena ia
merupakan

sebuah

kontrak,

maka

sifat

dari

perjanjian tersebut harus dilihat pada “bahasa
kontrak” yang kemudian hakim akhirnya memutus
bahwa perjanjian antara Amerika Serikat dan
Spanyol

dalam

amity,

settlement,

and

limits

tersebut adalah perjanjian yang non-self-executing
karena

terdapat

frasa

“shall be

ratified

and

18 Jane Dailey, “Race, Marriage, and Sovereignty in the New
World Order” Theoretical Inquiries in Law Vol. 10, 2009, hlm. 562.
19 Srini Sitaraman, State Participation in International Treaty
Regimes , Surrey: Ashgate Publishing Limited, 2009, hlm. 163.

52

confirmed” (harus diratifikasi dan dikonfirmasi). 20

Pemerintah

federal

seharusnya

menentukan

perjanjian bersifat self-executing

apakah suatu

atau non-self executing yang menuntut adanya
peraturan pelaksana atau tindakan administratif
lanjutan yang dibutuhkan.21
Apa yang digambarkan dalam kedua contoh
kasus di atas adalah adanya praktik monisme dan
dualisme dalam negara monist. Tidak hanya terjadi
di negara monist, kedua praktik tersebut juga
dapat terjadi di negara dualist.
Belgia merupakan negara yang secara formal
adalah

negara

dualist,

namun

pengadilan

negaranya menganut monisme kaitannya dengan
European Court of Human Rights (ECHR) dan
European Union (EU) Law.

22

Bahkan sebuah

laporan nasional memaparkan bahwa ECHR telah
memberikan pengaruh selama lebih dari 3 dekade
pada Belgia, lebih dominan daripada Perancis yang
notabene adalah negara monist 23 . Hal tersebut
disebabkan hakim Belgia menganggap konvensi
HAM merupakan supra-legislative yang diterapkan
secara

langsung,

beranggapan

tidak

sedangkan
dapat

hakim

diterapkan

Perancis
secara

Damos Dumoli Agusman, Op.Cit., hlm. 99.
Tae-Ung Baik, Loc.Cit.
22 Helen Keller dan Alex Stone Sweet, “Assessing Impact of the
ECHR on National Legal Systems” Yale Law School: Faculty
Scholarship Series Paper 88, 2008, hlm. 683.
23 Article 55 the Constitution of the Fifth Republic (France).
20

21

53

langsung sehingga tercipta adanya gap antara
status Convention’s de jure dan de facto.24
Ketimpangan teori tersebut nyatanya juga
terjadi di Indonesia. Di satu sisi, Indonesia nampak
menganut teori monisme.
Damos

25

Dumoli Agusman

Pertama,

yang

menurut

terlibat dalam

pembentukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2000

tentang

Perjanjian

Internasional

menerangkan bahwa Undang-Undang a quo tidak
ditujukan untuk mengklarifikasi status perjanjian
internasional

yang

diratifikasi

oleh

Indonesia

karena drafters dan Kementerian Luar Negeri telah
mengasumsi Indonesia adalah negara monisme.
Maksudnya
dibentuk

adalah,

untuk

Undang-Undang

kepentingan

tersebut

pencatatan

pada

Lembaran Negara sehingga dapat diketahui semua
warga

negara

Indonesia.

Kedua,

tindakan

Mahkamah Agung RI menggunakan prinsip the
diplomatic community

pada Article 31 the 1961

Vienna Convention on Diplomatic Relations untuk

menyelesaikan kasus Kedutaan Arab di Indonesia
meski ketentuan dalam Konvensi yang sudah
diratifikasi tersebut belum ditransformasikan ke
dalam hukum nasional. Dari kedua hal di atas,
maka dapat dilihat bahwa Indonesia adalah negara
monist.

Di

sisi

lain,

Indonesia

nampak

sebagai

negara dualist. 26 Contoh pertama adalah the 1982
Helen Keller dan Alex Stone Sweet, Loc.Cit.
Simon Butt, Op.Cit., hlm 7-9.
26 Ibid.

24
25

54

United Nations Convention on the Law of the Sea

(UNCLOS). Ratifikasi Konvensi tersebut dengan UU
No. 17 Tahun 1985 nyatanya tidak serta merta
mengganti UU No. 4 Tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia sampai 10 tahun kemudian ia terganti
dengan UU No. 6 Tahun 1996 yang menerapkan
UNCLOS.

Contoh

kedua

adalah

penolakan

Mahkamah Agung RI untuk menerapkan the 1958
New

York

Convention

on

Recognition

and

Enforcement of Foreign Arbitral Awards. Meski

Konvensi

tersebut

telah

diratifikasi

melalui

Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981, hal
tersebut tidak serta merta langsung berlaku di
Indonesia

karena

belum

ada

peraturan

pelaksananya.27 Penerapan Konvensi tersebut baru
dapat dilakukan setelah Peraturan Mahkamah
Agung

(PERMA)

yang

memperbolehkan

hakim

untuk mengaplikasi Konvensi tersebut. Dalam hal
ini, karakter dualisme sangat kuat dipraktikkan di
Indonesia.
Praktik-praktik negara di atas menunjukkan
terjadi

simpang-siur

atau

tumpang

tindih

(overlapping) praktik monisme dan dualisme dalam
suatu negara monist atau dualist. Overlapping ini
menyimpulkan bahwa pemisahan teori monismedualisme

nyatanya

nampak

kabur

pada

27 Sudargo Gautama, Indonesia dan Arbitrase Internasional,
Bandung: Alumni, 1992, hlm. 17-18.

55

praktiknya 28 dan tidak dapat digunakan secara
murni untuk menjustifikasi normativitas hukum
internasional

dalam

ruang

lingkup

nasional

sehingga perlu adanya dasar analisis lain yang
lebih memadai untuk memberikan normativitas
hukum

internasional

dalam

sistem

hukum

nasional suatu negara.

B.Teori Internasionalisme Sebagai Alternatif yang
Lebih Memadai
Teori

monisme-dualisme

kurang

memiliki

kandungan normatif di mana proposisi-proposisinya
sebagai preskripsi seyogianya bersifat ex-ante. Oleh
karena
pernah

itu

wajar kiranya

menggunakan

jika

teori

pengadilan tidak
monisme-dualisme

sebagai dasar argumen dalam putusannya. Hal itu
karena pengadilan harus memutuskan berdasarkan
hukum; a fortiori, teori monisme-dualisme hanya
sekadar teori, tidak ditanggapi sebagai hukum oleh
pengadilan.
Pada
hukum

dasarnya,

internasional

normativitas
dalam

penggunaan

wilayah

nasional

tergantung pada aturan konstitusional setiap negara,
bukan

atas

dasar

teori

monisme-dualisme.

29

Konstitusi ataupun aturan konstitusional menjadi
pegangan bagi para hakim untuk menggunakan
hukum internasional di ranah domestik. Namun

28 Thomas Cottier, “International Trade Law: The Impact of
Justiciability and Separations of Powers in EC Law” Working Paper
No. 2009/ 18, 2009, hlm. 3.
29 Martin Dixon, Op.Cit., hlm. 71.

56

sayangnya, teori monisme-dualisme tidak melihat
konstitusi sebagai dasar normativitas, melainkan
hanya melihat pada praktik negara semata dan
kemudian melakukan generalisasi secara ex post.
Negara yang dijustifikasi sebagai negara dualist
melalui teori monisme-dualisme akan mengatakan
bahwa “International law is not ipso facto part of
municipal law” (hukum internasional tidak serta

merta dianggap sebagai hukum nasional).
sebab

itu,

segala

hukum

30

internasional

Oleh
harus

menempuh proses transformasi melalui ratifikasi dan
peraturan nasional terlebih dahulu.
salah

satu

cara

pandang

dari

31

teori

Ini adalah
monisme-

dualisme yang lemah.
Proses transformasi 32 maupun inkorporasi 33
merupakan suatu metode bagaimana suatu negara
menginternalisasi

norma-norma

hukum

internasional34. Hal tersebut sebenarnya tidak lantas
menunjukkan apakah negara itu monist atau dualist.
Maksudnya, tidak menutup kemungkinan apabila
suatu

negara

melakukan

yang

proses

disebut

dualist

inkorporasi

juga

terhadap

perlu
norma-

norma hukum internasional tertentu. Apabila suatu
Martin Dixon, Op.Cit., hlm. 74.
Bahakal Yimer dkk., Loc.Cit.
32 Case Regina vs. Keyn (1876), definisi transformation adalah
suatu proses legislasi yang dibutuhkan untuk mengubah hukum
internasional menjadi bagian dari the law of the land. Damos
Dumoli Agusman, Op.Cit., hlm. 91.
33 Lauterpacht mengatakan bahwa inkorporasi adalah tindakan
negara untuk membuat hukum internasional dapat diterapkan di
hukum nasional tanpa mengubah dasar hukumnya. Damos
Dumoli Agusman, Op.Cit., hlm. 85.
34 Martin Dixon, Op.Cit., hlm. 75.
30

31

57

(dualist)

negara

dituntut

mutlak

untuk

selalu

menggunakan teori transformasi, maka hal ini akan
menjadi

kendala

besar

bagi

suatu

negara.

Transformasi membutuhkan waktu yang relatif lama
serta proses yang relatif panjang dan kompleks
sehingga negara akan kesulitan dalam menggunakan
hukum internasional.
Secara substansial, transformasi tidak absolut
untuk dilakukan. 35 Transformasi dibutuhkan apabila
hukum

internasional

secara

spesifik

memberi

mandat kepada negara untuk membuat legislasi
nasional lebih lanjut seperti sanksi pidana dan lainlain. Hal serupa dapat ditemui pada perjanjian
internasional TRIPs yang telah diratifikasi Indonesia
kemudian memberi kewajiban internasional kepada
Indonesia

untuk

mengharmonisasikan

seluruh

peraturan mengenai hak kekayaan intelektual.

36

Terhadap peraturan sejenis ini, maka transformasi
dibutuhkan.
Namun di sisi lain, perlu dipahami bahwa
terdapat norma-norma hukum internasional yang
sifatnya self-executing37, misal yang berkaitan dengan
hak asasi manusia. Terhadap norma sejenis ini, maka
teori

inkorporasilah

yang

tepat

diterapkan.

Inkorporasi diperlukan untuk norma-norma yang
bersifat dapat diterima

secara

universal

seperti

contoh kasus Roper v. Simmons dimana Missouri
Sarah H. Cleveland, Op.Cit., hlm. 10.
Titon Slamet Kurnia, Op.Cit., hlm. 71.
37 Penerapan perjanjian internasional/ treaties secara langsung.
Damos Dumoli Agusman, Op.Cit., hlm. 101.
35

36

58

Supreme Court akhirnya menghapuskan hukuman

pidana mati bagi anak di bawah umur dengan
menggunakan

pertimbangan

prinsip-prinsip

hukum

yang

ditarik

internasional

dari

terkait hak

asasi manusia. 38 Pada poin inilah hakim memiliki
peran besar dalam menginterpretasi norma hukum
internasional tanpa perlu adanya proses transformasi
untuk menggunakan norma tersebut.
Teori internasionalisme memiliki kelebihannya
sendiri

dalam

menyikapi

cara

pandang

teori

monisme-dualisme yang telah dijelaskan di atas. Jika
disandingkan

dengan

teori

monisme-dualisme,

konsep international constitution nampak berada di
jalur teori monisme
jawaban

dengan

39

namun teori ini memiliki

argumentasi

berbeda

dengan

sekedar jawaban ex post yang ditawarkan teori
monisme-dualisme.
Melalui teori international constitution, dasar
legitimasi penggunaan hukum internasional terletak
pada 3 hal yaitu konstitusi, interpretasi hakim, dan
kerangka perlindungan hak asasi manusia (bukan
pada cerminan praktik-praktik negara yang tidak
memiliki normativitas di pengadilan nasional). Teori
ini memberi peluang bagi setiap

negara

untuk

memanfaatkan hukum internasional dalam wilayah
domestik meski konstitusi negara tidak menyebutkan
secara

eksplisit

menginterpretasi

pada

teksnya.

konstitusi

tidak

Hakim

dapat

hanya

secara

38 Karen M. Hess dkk., Juvenile Justice: Sixth Edition, Belmont:
Wadsworth, 2013, hlm. 328.
39 Sarah H. Cleveland, Op.Cit., hlm. 108.

59

tekstual namun juga mencakup kontekstual. Artinya,
apabila konstitusi suatu negara tidak menyatakan
secara

eksplisit

bagaimana

posisi

hukum

internasional di ranah nasional (seperti tertuang
pada konstitusi Afrika Selatan yang dengan tegas
menyatakan posisi hukum internasional), maka teori
ini memberi jalan bagi hakim untuk melakukan
interpretasi
mendapat

terhadap

konstitusinya

legitimasi

internasional

sehingga

penggunaan

sesuai

dengan

ia

hukum

kepentingan

nasionalnya. Ini adalah sudut pandang yang ingin
dijunjung teori international constitution pada level
nasional.
Teori

international

memberi rambu-rambu
hukum

internasional

constitution

dalam
seperti

hal
apa

juga

telah

norma-norma
yang

dapat

diterapkan seorang hakim supaya terhindar dari
penerapan

hukum

internasional

terhadap

hukum

nasional.

terhadap

norma

hukum

yang

Pertimbangan
internasional

abusive

hakim
tertentu

merupakan wujud konkret bagaimana pengadilan
melakukan suatu filtering terhadap norma hukum
internasional yang dapat diberlakukan di negaranya.
Hal tersebut tercermin dalam kasus Sei Fujii v.
State. 40 Dalam kasus tersebut, pengadilan menilai

bahwa ketentuan hak asasi manusia dalam UN
Charter bersifat self-executing yang sesuai dengan
40 Sei Fujii v. State. 97 A.C.A. 154, 217 P. 2d 481 (1950).
Richard B. Lillich dan Frank C. Newman, International Human
Rights: Problems of Law and Policy , Canada: Little, Brown &
Company Ltd, 1979, hlm. 100.

60

Konstitusi AS sehingga hakim menilai ketentuan
tersebut dapat langsung diterapkan di pengadilan
nasionalnya

tanpa

harus

mendapati

proses

transformasi.
Sedangkan

pada

level

internasional,

teori

internasionalisme memiliki teori Transnational Legal
Proses yang mengandung daya keberlakuan hukum

internasional

yang

monisme-dualisme.

lebih

kuat

ketimbang

teori

Sebagaimana

dijelaskan

pada

Sub-judul sebelumnya, teori ini mempunyai 3 tahap
proses yakni interaksi, interpretasi, dan internalisasi
norma hukum internasional. Ketiga proses tersebut
dilandasi oleh kebutuhan negara dan subyek hukum
lainnya untuk memanfaatkan hukum internasional
di wilayah nasional yang kemudian menghasilkan
kewajiban internasional bagi setiap pihak untuk
patuh

atau

berlaku

sesuai

dengan

hukum

internasional. Alasan kepatuhan inilah yang menjadi
salah

satu

legitimasi

kuat

penggunaan

hukum

internasional di ruang lingkup nasional, sekaligus hal
yang tidak dapat dijelaskan oleh teori monismedualisme karena ia tidak mengaitkan bangunan
teorinya dari sisi ini.
Teori

Transnational

Legal

Proses

tidak

membedakan dikotomi tradisional mengenai aspek
pemisahan internasional-domestik dan publik-privat
sehingga teori ini menciptakan ruang “gerak” yang
lebih bebas bagi hukum nasional untuk mengadopsi
hukum internasional maupun hukum internasional
yang

mengadopsi

hukum

nasional.

Hal

ini

menerangkan bahwa hukum internasional juga dapat
61

diberlakukan dalam sistem hukum nasional setiap
negara. Justice Stephen Breyer dalam kasus Printz v.
United

States

berpendapat

meskipun

konstitusi

setiap negara berbeda, namun terdapat pengalamanpengalaman sama yang terjadi di negara-negara
dapat

menjadi

diterapkan

di

pertimbangan
suatu

negara

solusi
lain.

yang

41

bisa

Pernyataan

tersebut digambarkan dalam putusan pengadilan
nasional yang secara konsisten merujuk pada hukum
internasional dari jaman ke jaman.

42

Fenomena

tersebut merupakan gambaran bahwa sesungguhnya
international law is law yang berimplikasi dapat

diterapkannya di wilayah domestik pula dan turut
mendukung

pernyataan

Harold

Koh

mengenai

“International law as part of our law”. Bahwa ketika
suatu

negara

melakukan

3

proses

hukum

transnasional, maka negara tersebut tidak lagi secara
eksklusif bergerak di wilayah domestik lagi. Negara
tersebut
untuk

telah

mengambil

diterapkan

sebagai

hukum

internasional

bagian

dari

hukum

nasional.
Berdasarkan argumen komparatif antara teori
internasionalisme dan teori monisme-dualisme di
atas,

maka

dapat

disimpulkan

bahwa

teori

internasionalisme memiliki dasar normativitas yang
lebih kuat dan memadai ketimbang teori monismedualisme. Oleh karena itu, sudah selayaknya teori
monisme-dualisme

tidak

digunakan

untuk

41 Harold Hongju Koh, “International Law as Part of Our Law,”
The American Journal of International Law Vol. 98, 2004, hlm. 46.
42 Ibid, hlm. 48.

62

menjustifikasi

normativitas

penggunaan

hukum

internasional di forum pengadilan nasional karena
teori klasik ini justru akan menimbulkan masalah
praktikal di ranah domestik.

63