Pengaruh Stress Decreasing Resin (SDR) sebagai Intermediate Layer terhadap Ketahanan Fraktur pada Restorasi Klas I (in vitro)

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Bahan restorasi yang digunakan untuk menggantikan struktur jaringan keras gigi yang hilang harus memiliki karakteristik yang mendekati gigi asli. Salah satu bahan restorasi estetik yang mendekati gigi asli adalah resin komposit. Perkembangan resin komposit dimulai pada awal 1960 dengan sifat mekanik bahan yang lebih tinggi dibandingkan akriklik dan silikat, ekspansi koefisien termal yang rendah, perubahan dimensi yang minimal pada saat setting, dan ketahanan pemakaian dalam jangka waktu yang lama.12

Penyusutan dinilai sebagai kelemahan utama dari material restorasi resin komposit. Proses polimerisasi komposit dapat menyebabkan timbulnya stress yang dapat melebihi kekuatan ikatan disekitar gigi dan mengakibatkan kegagalan perlekatan interfasial restorasi yang dapat menyebabkan deformasi pada struktur gigi, kemudian terjadi microcracks dan selanjutnya menjadi fraktur.11 Sampai saat ini resin komposit terus dikembangkan untuk meningkatkan sifat fisik dan mekanik bahan tersebut.1 Stress Decreasing Resin (SDR) merupakan resin komposit yang dapat digunakan sebagai intermediate layer yang dapat mengurangi stress polimerisasi.25

2.1 Komponen Resin Komposit

Dalam kedokteran gigi, resin komposit didefinisikan sebagai sistem polimer yang diperkuat untuk merestorasi email dan dentin yang hilang dan mengembalikan fungsi estetik dengan mengembalikan warna gigi. Resin Komposit adalah campuran fisik dari metal, keramik, dan polimer. Tujuannya adalah untuk memanfaatkan keunggulan dari masing - masing bagiannya. Komponen utama dari resin komposit adalah bahan organik (resin), bahan inorganik (filler), bahan interfasial (coupling agent), dan bahan lainnya (akselerator dan inisiator).12


(2)

2.1.1 Matriks Resin Organik

Bahan organik (resin) membentuk matriks yang berbahan dasar metakrilat (25%-30%). Matriks tersebut umumnya menggunakan bisphenol A glycol dimethacrylate (Bis-GMA), triethylene glycol dimethacrylate (TEGDMA), urethane dimethacrylate (UDMA), dan bisphenol A hexaethoxylated dimetakrilat (BisEMA) (Gambar 1). Matriks resin komposit sangat mempengaruhi polimerisasi, reaktivitas, sifat mekanik, dan penyerapan airnya.26 Bis-GMA ini sangat kental, meningkatkan kekakuan pada rantai polimerisasi, mengalami penyusutan setelah polimerisasi dan menyerap air. Secara umum, ditambahkan pencair akrilat, triethylene glycol dimethacrylate (TEGDMA) atau bisphenol A hexaethoxylated dimetakrilat (Bis-EMA), untuk mengurangi kekentalan dan meningkatkan penyusutan akibat penyinaran (curing).12,26

Gambar 1. Struktur kimia matriks organik resin komposit, (a) bis-GMA (b) TEGDMA,(c) UDMA, (d) bis-EMA.12


(3)

2.1.2 Partikel Bahan Pengisi Inorganik (Filler)

Bahan inorganik (filler) biasanya kaca yang mengandung aluminium, barium, strontium, zinc, zirconium, atau kuarsa dengan ukuran yang berikisar antara 0.1-10 μm. Alternatif filler dapat berupa silika dengan ukuran partikel bervariasi antara 0.04 - 0.2 μm. Filler bersifat keras, kuat, tetapi rapuh (brittle). Filler mengurangi penyusutan ketika penyinaran dan menurunkan suhu ekspansi. Barium glasses

digunakan untuk radioopasitas. Resin komposit untuk gigi posterior memiliki filler

lebih besar daripada gigi anterior. Semakin kecil ukuran partikel filler, maka semakin baik dan mudah dipoles.27

2.1.1.3 Bahan Interfasial (coupling agent)

Bahan Interfasial (coupling agent) berfungsi sebagai pengikat filler ke matriks yang berfungsi sebagai penyerap tekanan, dan memungkinkan tekanan pada resin disebarkan diantara partikel-partikel filler melalui matriks yang lebih lemah. Aplikasi bahan coupling yang tepat dapat meningkatkan sifat mekanis dan fisik serta memberikan kestabilan hidrolitik dengan mencegah air menembus sepanjang perlekatan bahan pengisi dan resin. Bahan coupling ini merupakan bahan silane dan salah satu yang paling sering digunakan adalah γ-methacryloxypropyltriethoxysilane atau disingkat dengan γ-MPTS (Gambar 2). Ikatan yang kuat antara bahan pengisi dengan resin penting didapatkan agar penyaluran tekanan antara bahan pengisi dan resin efisien sehingga kemungkinan fraktur dan keausan restorasi dapat dihindari.26

Gambar 2. Struktur kimia bahan coupling agentγ- methacryloxypropyltriethoxysilane27


(4)

2.1.4 Akselerator dan Inisiator

Bahan lainnya adalah akselerator dan inisiator. Secara kimiawi, resin komposit cured mengandung benzoyl peroxide sebagai inisiator, dikombinasi dengan

tertiary aromatic amine accelerator untuk menghasilkan radikal bebas pada polimerisasi. Resin komposit yang light activated, mengandung camphorquinone dan

tertiary amine sebagai fotoinisiator, pigmen, dan penyerap UV. Pigmen ditambahkan untuk menghasilkan berbagai macam shades dan penyerap UV untuk menstabilkan kemungkinan perubahan warna.12,27

Gambar 3. Pembentukan radikal bebas dari champorquinone

2.2 Klasifikasi Resin Komposit

Resin komposit dapat diklasifikasikan ke berbagai jenis. Berdasarkan ukuran, jumlah, dan komposisi inorganic filler, resin komposit dibagi dalam beberapa jenis yaitu macrofill composites, microfill composites, hybrid composites (termasuk


(5)

traditional hybrid, microhybrid, dan nanohybrid) dan nanofill composites. Berdasarkan perbandingan volume matriks resin dan bahan pengisi yang mempengaruhi daya alir resin (viskositas), resin komposit dibagi atas dua yaitu resin komposit packable dan flowable.28

2.2.1 Resin komposit packable

Resin komposit packable (disebut juga moldable atau condensable) adalah produk pengembangan resin pengganti amalgam dengan sifat fisik yang cukup kuat untuk menahan tekanan oklusal dan lebih tahan aus pada gigi posterior. Bahan ini mengandung partikel pengisi dalam jumlah besar sehingga resin komposit ini memiliki viskositas yang sangat tinggi. Viskositas yang tinggi mengakibatkan adaptasi marginal yang kurang optimal, sehingga dibutuhkan resin komposit yang lebih flow sebagai intermediate layer untuk memperbaiki adaptasi marginal restorasi dengan gigi dan mengurangi stress polimerisasi.1,16,28

2.2.2 Resin Komposit flowable

Resin komposit flowable menggunakan partikel kecil berukuran antara 0.07-1µm dengan volume partikel pengisi yang bervariasi antara 40-70% sehingga komposit ini memiliki viskositas yang rendah dan mudah dipolis. Bahan ini mudah mengalir dengan bebas ke dalam kavitas dan dapat beradaptasi dengan baik terhadap dinding kavitas. Hal ini karena bahan ini mengurangi kandungan bahan pengisinya atau dengan meningkatkan jumlah dari diluents monomer (TEGDMA) dalam dimethacrylate komposit. Bahan pengisi yang berukuran kecil meliputi barium silicate, barium glass, barium borosilicate glass, barium fluorosilicate, synthetic silica, colloidal silica, quartz, trimethynol propane trimethacylate, urethane dimethacrylate. Bahan ini umumnya digunakan sebagai bahan pit dan fissure sealant, liner, dan bahan restorasi pada gigi dengan beban ringan.20,28

Pengurangan kandungan pengisi pada flowable komposit menghasilkan modulus elastisitas yang rendah. Flowable resin komposit lebih banyak mengandung


(6)

resin dibanding tradisional komposit menyebabkan flowable resin komposit memiliki nilai kekuatan yang lebih baik dan lebih tahan terhadap fraktur karena nilai modulus elastisitas yang lebih rendah.13,20

2.3 Polimerisasi Resin Komposit

Reaksi polimerisasi terdiri dari tahap inisiasi, propagasi, dan terminasi. Reaksi dimulai dari tahap inisiasi. Pada tahap ini terjadi pembentukan radikal bebas, ketika molekul inisiator (camphoroquinone) bereaksi terhadap cahaya dengan panjang gelombang yang sesuai dengan spektrum absorpsinya (468 nm). Radikal bebas memiliki elektron reaktif yang tidak memiliki pasangan. Bila radikal bebas bertemu dengan monomer resin yang memiliki ikatan karbon rangkap dua, maka elektron bebas akan berikatan dengan salah satu ikatan karbon. Tahap inisasi dilanjutkan dengan tahap propagasi, yaitu perpanjangan rantai melalui penambahan ikatan rangkap pada setiap unit monomer. Akibatnya terjadi penambahan rantai yang akan berhenti ada suatu titik. Ini disebut tahap terminasi (Gambar 4).12


(7)

Resin komposit berdasarkan mekanisme polimerisasi atau aktivasinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu resin komposit diaktivasi kimia dan resin komposit diaktivasi sinar.26

2.4 Stress Decreasing Resin (SDR)

Stress Decreasing Resin (SDR) adalah komposit yang mengandung komponen fluoride dan dipolimerisasi dengan menggunakan aktivasi sinar selama 20 detik serta bersifat radiopak. SDR diindikasikan sebagai intermediate layer restorasi kelas I dan II.Bahan ini memiliki karakteristik seperti resin komposit flowable dan dapat diaplikasikan menggunakan sistem aplikasi bulk dengan ketebalan 4 mm dan menyisakan 2 mm pada permukaan oklusal sebagai aplikasi resin komposit konvensional dengan viskositas tetap yang digunakan untuk merestorasi gigi pada permukaan oklusal sehingga meminimalisir stress polimerisasi karena mempunyai sifat fisis dan mekanik yang cukup baik sebagai intermediate layer. Bahan SDR digunakan bersamaan dengan bahan restoratif packable pada restorasi gigi posterior terutama pada kavitas kelas I dan kelas II. Bahan ini digunakan dengan diikuti aplikasi sistem adhesif pada dentin/enamel yang bersifat kompatibel.23,29

2.4.1 Komposisi Stress Decreasing Resin

SDR mengandung urethane dimetakrilat berbasis modulator polimerisasi yang berperan untuk mengurangi terjadinya shrinkage polimerisasi dan stress polimerisasi dengan memperlambat perkembangan modulus pada fase filling dengan tidak mengurangi derajat konversi polimerisasi. Selain itu, SDR juga mengandung formulasi kompleks antara komponen konvensional dan komponen terbaru. Bahan ini menpunyai kadar filler sebanyak 68% berat dan 44% volume.23,29


(8)

Tabel 1. Komposisi SDR dan fungsinya29

Komposisi Fungsi

SDR urethane dimethacrylate Mengurangi shrinkage dan mengurangi stress pada struktur resin

Resin dimethacrylate Struktur resin

Difungsional diluents Membentuk ikatan silang pada resin komposit

Barium dan Strontium alumino-fluoro-silicate-glasses (68% berat dan 45% volum)

Struktur partikel kaca dan fluoride

Sistem fotoinisiator Visible light curing

Colorants Universal shade

Modulator polimerisasi merupakan struktur molekular yang besar dengan suatu bagian kimia yang tertanam di dalam pusat monomer resin SDR yang berpolimerisasi untuk memenuhi perluasan polimerisasi tanpa terjadi peningkatan secara tiba-tiba terhadap kepadatan ikatan silang.29

Gambar 5. Struktur kimia resin komposit flowable SDR29

Monomer konvensional

Monomer SDR dengan modulator

 Berat molekul tinggi

 Pembentukan fleksibilitas

 Pembentukan stress yang rendah selama polimerisasi


(9)

Berat molekul yang tinggi dan pembentukan fleksibilitas di sekitar pusat modulator polimerisasi akan mengoptimalkan fleksibilitas dan struktur jaringan kimia SDR.29

2.4.2 Kelebihan Stress Decreasing Resin

Bahan SDR ini melalui perluasan fase curing dapat memaksimalkan derajat konversi secara keseluruhan dan meminimalisir stress polimerisasi sampai 60%-70% daripada resin komposit flowable konvensional. Selain itu, pengerutan volumetrik yang terjadi yaitu 3,6%. 29

Penelitian terbaru dari bahan restorasi menyebutkan bahwa efek SDR sebagai

intermediate layer di bawah resin komposit packable memberikan hasil yang baik. Dalam beberapa penelitian perbandingan SDR dengan dua resin komposit flowable

berbasis metakrilat menyatakan bahwa SDR memiliki tingkat penyusutan (shrinkage) paling rendah. SDR berbeda dengan resin komposit tradisional dikarenakan SDR menggunakan teknologi Stress Decreasing Resin(SDR) sehingga SDR dapat mengurangi penyusutan volume sebesar 20% dan hampir 80% mengurangi stress

polimerisasi dibandingkan resin komposit tradisional.22,29


(10)

Fotoinisiator yang masuk ke dalam resin ini dapat mempengaruhi proses polimerisasi, penggabungan hasil resin yang diaktifkan pada 60-70% lebih sedikit mengalami shrinkage daripada resin metakrilat berbasis konvensional. Proses curing

yang lama dapat memaksimalkan seluruh derajat konversi dan meminimalkan polimerisasi stress hingga 60% daripada resin komposit flowable konvesional, volumetrik shirnkage yang terjadi sekitar 3,5% dan stress yang dihasilkan selama polimerisasi adalah 1,4 MPa, sedangkan resin komposit flowable lainnya diatas 4 MPa.Hal ini disebabkan karena kadar filler pada SDR yaitu 849g/mol dibandingkan dengan resin komposit flowable konvesional yaitu 513 g/mol.29

Gambar 7. Stress polimerisasi SDR dibandingkan dengan resin komposit lain29

Bahan SDR tersedia dalam warna yang menyerupai sewarna gigi dan bersifat lebih radiopak daripada resin komposit flowable lainnya yaitu 2.2mm/Al, bahan ini lebih radiopak daripada dentin (1,0) dan enamel (2,0) sehingga mempermudah praktisi dalam membedakan interface antara struktur gigi alami dengan bahan restorasi.21-23,29

2.5 Sistem Adhesif

Adhesif berasal dari kata latin adhaerere yang berarti melekatkan. Adhesi merupakan ikatan antara atom atau molekul yang terbentuk dari dua material yang


(11)

berbeda sehingga membentuk suatu kontak yang erat. Secara terminologi, adhesi adalah suatu proses membentuk adhesive joint. Substrat dimana bahan adhesif diletakkan disebut sebagai adherend sedangkan bahan yang dipakai untuk melekatkan disebut sebagai adhesif. Material adhesif yang dipakai dalam bidang kedokteran gigi biasanya juga disebut juga dengan dental bonding. Material adhesif /

bonding agent digunakan untuk mendapatkan suatu kontak antara dua material yang berbeda.14,18

Syarat untuk terjadinya ikatan yang baik antara adheren dengan material adhesif diilustrasikan pada gambar 8. Syarat tersebut meliputi permukaan dari substrat harus bersih agar energi permukaan menjadi lebih tinggi sehingga material adhesif mampu membasahi permukaan substrat dengan baik, material adhesif harus mampu membasahi permukaan substrat dengan baik yang berarti mempunyai sudut kontak yang kecil sehingga mampu menyebar ke semua permukaan substrat, adanya kontak yang erat tanpa adanya udara yang terjebak ataupun kontaminasi dengan material lain, kekuatan antar permukaan harus memiliki kekuatan fisik, kimia dan kekuatan mekanik dalam melawan kekuatan debonding, serta material adhesif harus dapat terpolimerisasi dengan sempurna.14,18


(12)

2.5.1 Klasifikasi Sistem Adhesif

Perkembangan material adhesif dimulai sejak adanya penemuan etsa asam oleh Michael Buonocore. Penemuan ini membuka wawasan mengenai pentingnya penggunaan material adhesif untuk meningkatkan kekuatan rekat. Berdasarkan jumlah tahap-tahap dalam aplikasi klinisnya, bahan bonding diklasifikasikan menjadi beberapa macam, yaitu:28

2.5.1.1 Adhesif Etch-and-Rinse (disebut sebagai Total Etch)

a. Three-step total-etch adhesive

Three-step total-etch adhesive terdiri dari tiga tahap aplikasi yaitu tahap

etching, priming, kemudian bonding atau aplikasi dengan resin adhesive. Bahan primer dan adhesif berada dalam keadaan terpisah.

b. Two-step total-etch adhesive

Bahan primer dan adhesif digabung dalam satu kemasan, sehingga hanya terdiri dari dua tahap aplikasi yaitu tahap etching dan rinsing yang menggunakan bahan gabungan primer dan adhesif.

2.5.1.2 Adhesif Self-etch

Sistem adhesif self-etch terbagi atas dua, yaitu two-step self-etch adhesive

yang merupakan generasi ke 6 dan terdiri dari dua tahap aplikasi yaitu tahap aplikasi

self-etch primer, kemudian dilanjutkan dengan tahap aplikasi resin adhesif dengan

one-step self-etch adhesive dimana semua unsur bahan bonding dikombinasikan dalam satu kemasan sehingga lainnya terdiri dari satu tahap aplikasi (single application).

2.5.2 Adhesi Email Dengan Resin Komposit

Ikatan dengan email bersifat mikromekanik. Email yang dietsa selama 15 detik menggunakan asam fosforik 37 % kemudian dicuci untuk menghilangkan bahan etsa dan debri akan menghasilkan mikroporositas pada permukaan luar prisma email


(13)

sedalam 30 μm. Resin dengan viskositas rendah dapat berpenetrasi pada mikroporositas sehingga menghasilkan resin tag ke kedalaman kira-kira 50-100 μm. Namun setelah polimerisasi, resin akan kontraksi sekitar 1- 5%. Oleh karena itu resin harus berikatan dengan email sehat yang didukung oleh dentin yang sehat juga. Adhesi yang kuat karena komposisi anorganik email yang tinggi. Ikatan dengan email kuat, tetapi dapat berkurang jika terjadi hal-hal seperti prosedur penumpatan yang kurang baik, adanya kontaminasi email setelah dietsa, terdapat microcrack pada email

selama preparasi kavitas, dan batas kavitas pada email yang tidak didukung dentin atau fraktur.4,12,28

Gambar 9. Permukaan email gigi setelah diaplikasikan etsa 37% asam fosforik selama 15 detik

2.5.3 Adhesi Dentin dengan Resin Komposit

Ikatan dengan dentin kurang kuat dibandingkan ikatan dengan email mungkin disebabkan karena perbedaan komposisi dan struktur. Air berkompetisi dengan bonding sebagai substrat permukaan dan melisis ikatan resin. Struktur email homogen, sedangkan dentin heterogen.28

Dentin memiliki komponen anorganik sebanyak 50%, organik 25%, dan air 25%. Komponen anorganik dentin berupa hidroksiapatit dan komponen mineralnya terdapat didalam matriks organik (utamanya kolagen tipe I) dan berhubungan dengan pulpa melalui tubulus dentin, yang selalu terisi oleh cairan, dan setiap tubulus mengandung prosesus odontoblas. Setiap tubulus dikelilingi oleh jaringan


(14)

hipermineral yaitu dentin peritubuler, yang berbentuk seperti cincin dan dihubungkan dengan dentin intertubuler yang mengandung sedikit mineral. Oleh sebab itu tantangan untuk mendapatkan adhesi resin adalah antara adhesi secara kimia dengan dentin atau secara mikromekanis dengan tubulus, hampir sama dengan adhesinya dengan email.18

Adhesi secara kimia dengan resin, yang sifatnya hidrofobik, dan dentin yang selalu basah membutuhkan hilangnya jumlah air yang cukup untuk penetrasi resin sejauh mungkin ke dalam tubulus agar mendapatkan ikatan mekanis yang efektif. Metode adhesi secara mikromekanis adalah melalui „hybrid layer’. Jumlah, ukuran dan kedalam dentin memiliki kualitas yang berbeda. Oleh sebab itu, diperlukan sistem adhesif yang adekuat yang dapat mengakomodasi hidroksapatit, kolagen,

smear layer, serta tubulus dentin dan cairannya.28,30

2.6 Sifat Fisik Resin Komposit yang Mempengaruhi Ketahanan Fraktur 2.3.1 Kontraksi Polimerisasi

Kontraksi polimerisasi adalah salah satu sifat khas resin komposit. Nilainya berkisar antara 2%-6% dari total volume. Material resin mengalami kontraksi selama polimerisasi karena jarak antar unit monomer pada polimernya lebih dekat dibandingkan sebelum mengalami polimerisasi. Kontraksi polimerisasi terjadi karena ada dua faktor yang menurun, yaitu volume Van der Waals dan volume bebas. Volume Van der Waals adalah volume molekul yang terbentuk dari atoms dan panjang ikatan. Penurunan volume Van der Waals terjadi saat polimerisasi karena terjadi perubahan pada panjang ikatan (konversi rantai ganda menjadi tunggal). Volume bebas, baik monomer atau polimer, adalah volume oleh karena pergerakan rotasi dan termal. Ketika monomer konversi menjadi polimer maka terjadi penurunan volume bebas karena terjadi rotasi rantai polimer.12 Selain kontraksi volume, polimerisasi juga menyebabkan meningkatnya modulus elastisitas. Selama polimerisasi, terdapat suatu titik yang disebut titik gelasi (gel point). Titik gelasi adalah tahap peningkatan modulus elastisitas material komposit secara nyata


(15)

sehingga tidak terjadi deformasi plastis atau aliran material untuk mengkompensasi kontraksi volume.10,12

Fase polimerisasi komposit total terbagi dua, yaitu fase pragelasi dan pascagelasi. Pada fase pragelasi, kepadatan ikatan silang antar monomer masih rendah dan rantai polimer masih dapat berubah-ubah, sehingga masih terjadi pelepasan stres di dalam struktur komposit. Selama fase pascagelasi, bertambahnya kontraksi polimerisasi menimbulkan stres yang signifikan pada ikatan antara resin komposit dengan dinding kavitas dan struktur gigi di sekitarnya. Stres yang timbul pada fase pascagelasi tidak tersebar secara merata pada dinding kavitas dan kekuatan adhesi antara gigi dan komposit juga berbeda-beda di sepanjang permukaan yang beradhesi. Pada area yang kekuatan kontraksi polimerisasinya yang lebih besar daripada kekuatan ikatan komposit-struktur gigi pada area tersebut akan terbentuk celah yang akan menyebabkan kegagalan adhesi dan kebocoran mikro, dan lebih jauh lagi menyebabkan sensitivitas pasca tindakan dan karies sekunder.4,8,20

Banyaknya kontraksi volume tergantung dari berat molekul monomer, isi

filler, dan teknologi partikel filler. Stres akibat kontraksi polimerisasi terutama dipengaruhi oleh banyaknya kontraksi volume resin komposit dan viskoelastisitasnya. Kontraksi polimerisasi tidak dapat dihindari, sehingga memerlukan teknik prosedur klinis untuk mengatasi hal ini. Aplikasi resin komposit secara berlapis (incremental) dibandingkan dengan teknik bulk diyakini dapat mengurangi stress.

Pertimbangan klinis lainnya sebagai efek kontraksi polimerisasi adalah faktor konfigurasi kavitas (C-factor). C-factor adalah rasio dari area permukaan dari restorasi yang terikat dan tidak terikat yang mempunyai dampak besar terhadap pengerutan polimerisasi. Peningkatan C-factor menunjukkan adanya peningkatan jumlah area dari permukaan restorasi resin komposit yang terikat dengan dinding kavitas, yang kemudian menyebabkan pengerutan polimerisasi meningkat drastis.9,10

Selama proses polimerisasi, akan terjadi deformasi plastis atau flow pada resin komposit dan sebagian dapat mengkompensasi stress kontraksi. Deformasi plastis yang ireversibel terjadi saat tahap awal reaksi polimerisasi, ketika stres kontraksi melebihi batas elastisitas resin komposit. Sejalan dengan proses polimerisasi,


(16)

kontraksi dan flow menurun secara gradual dikarenakan bahan menjadi lebih kaku. Kompensasi melalui flow yang dipengaruhi oleh faktor konfigurasi kavitas. Semakin tinggi C-factor maka semakin besar stres kontraksi pada ikatan adhesif. Hanya permukaan yang bebas dengan dinding kavitas yang dapat berperan sebagai reservoir

deformasi plastis saat tahap awal polimerisasi. Restorasi kelas I dengan C-factor 5 memiliki resiko stres polimerisasi paling tinggi.9

Gambar 10. Faktor konfigurasi kavitas (C-factor)

2.6.2 Koefisien Ekspansi Termal

Material restorasi secara konstan mengalami perubahan akibat perubahan suhu dalam rongga mulut. Perubahan ini, dapat mempengaruhi kerapatan material restorasi dan gigi. Perubahan dimensi pada suatu substansi sebagai respon terhadap suhu diukur melalui koefisien ekspansi termal material tersebut. Material restorasi memiliki koefisien ekspansi termal yang berbeda dengan enamel dan dentin. Koefisien ekspansi termal gigi berada pada kisaran 11-14 x 10-6/oC, sedangkan

material resin komposit yang dipasarkan memiliki koefisien termal ekspansi pada kisaran 20-80 x 10-6/oC pada suhu antara 0-60oC. Perbedaan nilai koefisien ekspansi

termal yang jauh antara gigi dan resin komposit menyebabkan perbedaan perubahan dimensi pada saat terpapar oleh perubahan suhu dalam rongga mulut. Resin komposit dan struktur gigi mengalami ekspansi dan kontraksi yang berbeda sehingga dapat mengakibatkan deformasi koronal, crack, kemudian fraktur.


(17)

Permasalahan-permasalahan ini terjadi bila struktur gigi tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan yang timbul akibat variasi suhu.28

2.6.3. Modulus Elastisitas

Modulus elastisitas merupakan sifat resin komposit yang menyebabkan bahan tersebut menjadi kaku. Bahan dengan modulus elastisitas tinggi akan semakin kaku, sebaliknya bahan dengan modulus elastisitas rendah akan semakin fleksibel.Modulus elastisitas mempengaruhi adaptasi resin komposit pada permukaan gigi. Masalah yang dapat ditimbulkan oleh kontraksi polimerisasi adalah tekanan yang mengenai struktur gigi, terutama pada sisa tonjol gigi posterior dengan kavitas proksimal yang besar yang direstorasi resin komposit. Akibatnya terjadi kegagalan adhesi antara gigi dan restorasi, lalu terjadi kebocoran mikro dan perkolasi cairan atau fraktur gigi.10

Pengurangan kandungan pengisi pada flowable resin komposit menghasilkan modulus elastisitas yang rendah. Modulus elastisitas yang rendah menghasilkan kemampuan regang yang cukup tinggi sehingga dapat mengurangi ketegangan yang terjadi akibat pengerutan pada saat polimerisasi, serta dapat menghasilkan margin restorasi yang lebih kuat.12,20,28

2.7 Uji Ketahanan Fraktur

Dalam rongga mulut terjadi situasi yang dinamis, seperti gaya-gaya yang terjadi saat mastikasi. Gaya yang diterima gigi dan/ atau material restorasi akan menghasilkan reaksi yang berbeda yang mempengaruhi sifat mekanik material dan pada akhirnya akan mempengaruhi durabilitas/ ketahanannya dalam mulut.6

Ketahanan fraktur dapat diartikan sebagai ketahanan suatu material terhadap beban yang diterimanya hingga terjadi fraktur. Berbagai gaya kompleks yang terjadi pada saat mastikasi (tensile, compressive, shear, bending) dapat menyebabkan deformitas material hingga mengalami fraktur. Ketahanan fraktur dapat dihitung dengan alat uji tekan Torsee’s Electronic System Universal Testing Machine. Besar beban dalam Newton dihitung dari tumpatan dan jaringan gigi masih melekat hingga


(18)

terjadi fraktur. Nilai yang lebih besar memberikan gambaran ketahanan fraktur bahan yang lebih baik.6,7

Gambar 11. Alat uji ketahanan fraktur Torsee’s Electronic System


(19)

(1)

hipermineral yaitu dentin peritubuler, yang berbentuk seperti cincin dan dihubungkan dengan dentin intertubuler yang mengandung sedikit mineral. Oleh sebab itu tantangan untuk mendapatkan adhesi resin adalah antara adhesi secara kimia dengan dentin atau secara mikromekanis dengan tubulus, hampir sama dengan adhesinya dengan email.18

Adhesi secara kimia dengan resin, yang sifatnya hidrofobik, dan dentin yang selalu basah membutuhkan hilangnya jumlah air yang cukup untuk penetrasi resin sejauh mungkin ke dalam tubulus agar mendapatkan ikatan mekanis yang efektif. Metode adhesi secara mikromekanis adalah melalui „hybrid layer’. Jumlah, ukuran dan kedalam dentin memiliki kualitas yang berbeda. Oleh sebab itu, diperlukan sistem adhesif yang adekuat yang dapat mengakomodasi hidroksapatit, kolagen, smear layer, serta tubulus dentin dan cairannya.28,30

2.6 Sifat Fisik Resin Komposit yang Mempengaruhi Ketahanan Fraktur

2.3.1 Kontraksi Polimerisasi

Kontraksi polimerisasi adalah salah satu sifat khas resin komposit. Nilainya berkisar antara 2%-6% dari total volume. Material resin mengalami kontraksi selama polimerisasi karena jarak antar unit monomer pada polimernya lebih dekat dibandingkan sebelum mengalami polimerisasi. Kontraksi polimerisasi terjadi karena ada dua faktor yang menurun, yaitu volume Van der Waals dan volume bebas. Volume Van der Waals adalah volume molekul yang terbentuk dari atoms dan panjang ikatan. Penurunan volume Van der Waals terjadi saat polimerisasi karena terjadi perubahan pada panjang ikatan (konversi rantai ganda menjadi tunggal). Volume bebas, baik monomer atau polimer, adalah volume oleh karena pergerakan rotasi dan termal. Ketika monomer konversi menjadi polimer maka terjadi penurunan volume bebas karena terjadi rotasi rantai polimer.12 Selain kontraksi volume, polimerisasi juga menyebabkan meningkatnya modulus elastisitas. Selama polimerisasi, terdapat suatu titik yang disebut titik gelasi (gel point). Titik gelasi adalah tahap peningkatan modulus elastisitas material komposit secara nyata


(2)

sehingga tidak terjadi deformasi plastis atau aliran material untuk mengkompensasi kontraksi volume.10,12

Fase polimerisasi komposit total terbagi dua, yaitu fase pragelasi dan pascagelasi. Pada fase pragelasi, kepadatan ikatan silang antar monomer masih rendah dan rantai polimer masih dapat berubah-ubah, sehingga masih terjadi pelepasan stres di dalam struktur komposit. Selama fase pascagelasi, bertambahnya kontraksi polimerisasi menimbulkan stres yang signifikan pada ikatan antara resin komposit dengan dinding kavitas dan struktur gigi di sekitarnya. Stres yang timbul pada fase pascagelasi tidak tersebar secara merata pada dinding kavitas dan kekuatan adhesi antara gigi dan komposit juga berbeda-beda di sepanjang permukaan yang beradhesi. Pada area yang kekuatan kontraksi polimerisasinya yang lebih besar daripada kekuatan ikatan komposit-struktur gigi pada area tersebut akan terbentuk celah yang akan menyebabkan kegagalan adhesi dan kebocoran mikro, dan lebih jauh lagi menyebabkan sensitivitas pasca tindakan dan karies sekunder.4,8,20

Banyaknya kontraksi volume tergantung dari berat molekul monomer, isi filler, dan teknologi partikel filler. Stres akibat kontraksi polimerisasi terutama dipengaruhi oleh banyaknya kontraksi volume resin komposit dan viskoelastisitasnya. Kontraksi polimerisasi tidak dapat dihindari, sehingga memerlukan teknik prosedur klinis untuk mengatasi hal ini. Aplikasi resin komposit secara berlapis (incremental) dibandingkan dengan teknik bulk diyakini dapat mengurangi stress.

Pertimbangan klinis lainnya sebagai efek kontraksi polimerisasi adalah faktor konfigurasi kavitas (C-factor). C-factor adalah rasio dari area permukaan dari restorasi yang terikat dan tidak terikat yang mempunyai dampak besar terhadap pengerutan polimerisasi. Peningkatan C-factor menunjukkan adanya peningkatan jumlah area dari permukaan restorasi resin komposit yang terikat dengan dinding kavitas, yang kemudian menyebabkan pengerutan polimerisasi meningkat drastis.9,10

Selama proses polimerisasi, akan terjadi deformasi plastis atau flow pada resin komposit dan sebagian dapat mengkompensasi stress kontraksi. Deformasi plastis yang ireversibel terjadi saat tahap awal reaksi polimerisasi, ketika stres kontraksi melebihi batas elastisitas resin komposit. Sejalan dengan proses polimerisasi,


(3)

kontraksi dan flow menurun secara gradual dikarenakan bahan menjadi lebih kaku. Kompensasi melalui flow yang dipengaruhi oleh faktor konfigurasi kavitas. Semakin tinggi C-factor maka semakin besar stres kontraksi pada ikatan adhesif. Hanya permukaan yang bebas dengan dinding kavitas yang dapat berperan sebagai reservoir deformasi plastis saat tahap awal polimerisasi. Restorasi kelas I dengan C-factor 5 memiliki resiko stres polimerisasi paling tinggi.9

Gambar 10. Faktor konfigurasi kavitas (C-factor)

2.6.2 Koefisien Ekspansi Termal

Material restorasi secara konstan mengalami perubahan akibat perubahan suhu dalam rongga mulut. Perubahan ini, dapat mempengaruhi kerapatan material restorasi dan gigi. Perubahan dimensi pada suatu substansi sebagai respon terhadap suhu diukur melalui koefisien ekspansi termal material tersebut. Material restorasi memiliki koefisien ekspansi termal yang berbeda dengan enamel dan dentin. Koefisien ekspansi termal gigi berada pada kisaran 11-14 x 10-6/oC, sedangkan material resin komposit yang dipasarkan memiliki koefisien termal ekspansi pada kisaran 20-80 x 10-6/oC pada suhu antara 0-60oC. Perbedaan nilai koefisien ekspansi termal yang jauh antara gigi dan resin komposit menyebabkan perbedaan perubahan dimensi pada saat terpapar oleh perubahan suhu dalam rongga mulut. Resin komposit dan struktur gigi mengalami ekspansi dan kontraksi yang berbeda sehingga dapat mengakibatkan deformasi koronal, crack, kemudian fraktur.


(4)

Permasalahan-permasalahan ini terjadi bila struktur gigi tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan yang timbul akibat variasi suhu.28

2.6.3. Modulus Elastisitas

Modulus elastisitas merupakan sifat resin komposit yang menyebabkan bahan tersebut menjadi kaku. Bahan dengan modulus elastisitas tinggi akan semakin kaku, sebaliknya bahan dengan modulus elastisitas rendah akan semakin fleksibel. Modulus elastisitas mempengaruhi adaptasi resin komposit pada permukaan gigi. Masalah yang dapat ditimbulkan oleh kontraksi polimerisasi adalah tekanan yang mengenai struktur gigi, terutama pada sisa tonjol gigi posterior dengan kavitas proksimal yang besar yang direstorasi resin komposit. Akibatnya terjadi kegagalan adhesi antara gigi dan restorasi, lalu terjadi kebocoran mikro dan perkolasi cairan atau fraktur gigi.10

Pengurangan kandungan pengisi pada flowable resin komposit menghasilkan modulus elastisitas yang rendah. Modulus elastisitas yang rendah menghasilkan kemampuan regang yang cukup tinggi sehingga dapat mengurangi ketegangan yang terjadi akibat pengerutan pada saat polimerisasi, serta dapat menghasilkan margin restorasi yang lebih kuat.12,20,28

2.7 Uji Ketahanan Fraktur

Dalam rongga mulut terjadi situasi yang dinamis, seperti gaya-gaya yang terjadi saat mastikasi. Gaya yang diterima gigi dan/ atau material restorasi akan menghasilkan reaksi yang berbeda yang mempengaruhi sifat mekanik material dan pada akhirnya akan mempengaruhi durabilitas/ ketahanannya dalam mulut.6

Ketahanan fraktur dapat diartikan sebagai ketahanan suatu material terhadap beban yang diterimanya hingga terjadi fraktur. Berbagai gaya kompleks yang terjadi pada saat mastikasi (tensile, compressive, shear, bending) dapat menyebabkan deformitas material hingga mengalami fraktur. Ketahanan fraktur dapat dihitung dengan alat uji tekan Torsee’s Electronic System Universal Testing Machine. Besar beban dalam Newton dihitung dari tumpatan dan jaringan gigi masih melekat hingga


(5)

terjadi fraktur. Nilai yang lebih besar memberikan gambaran ketahanan fraktur bahan yang lebih baik.6,7

Gambar 11. Alat uji ketahanan fraktur Torsee’s Electronic System Universal Testing Machine.


(6)