Penetapan Kadar Sukrosa Dalam Kembang Gula Dengan Metode Titrimetri

(1)

persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) sehingga produk tersebut layak untuk dikonsumsi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kembang Gula

Kembang gula atau permen merupakan salah satu makanan selingan berbentuk padat, dengan rasa manis, yang sifatnya mudah larut dalam air, serta mempunyai warna dan aroma yang menarik. Kembang gula adalah jenis makanan selingan berbentuk padat dibuat dari gula, glukosa atau pemanis lain atau dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diijinkan (SNI, 2008).

Kembang gula terbagi atas dua bagian yaitu kembang gula bagian keras dan kembang gula bagian lunak. Kembang gula bagian lunak terdiri dari kembang gula lunak jelly dan kembang gula lunak bukan jelly.

2.1.1 Penggolongan Kembang Gula

Menurut SNI (2008) kembang gula digolongkan menjadi dua bagian yaitu: 1. Kembang gula keras adalah jenis makanan selingan berbentuk padat, dibuat

dari gula atau campuran gula dengan pemanis lain, dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan (BTP) yang diijinkan, bertekstur keras, tidak menjadi lunak jika dikunyah.

2. Kembang gula lunak adalah jenis makanan selingan berbentuk padat, dibuat dari gula atau campuran gula dengan pemanis lain, dengan atau tanpa


(2)

penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan (BTP) yang diijinkan, bertekstur relatif lunak atau menjadi lunak jika dikunyah.

Kembang gula lunak tergolong menjadi dua bagian yaitu: a. Kembang gula lunak bukan jelly

Kembang gula lunak bukan jelly adalah kembang gula bertekstur lunak, yang diproses sedemikian rupa dan biasanya dicampur dengan lemak, gelatin, emulsifier dan lain-lain sehingga dihasilkan produk yang cukup keras untuk dibentuk namun cukup lunak untuk dikunyah dalam mulut sehingga setelah adonan masak dapat langsung dibentuk dan dikemas dengan atau tanpa perlakuan aging.

b. Kembang gula lunak jelly

Kembang gula lunak jelly adalah kembang gula bertekstur lunak, yang diproses dengan penambahan komponen hidrokoloid seperti agar, gum, pektin, pati, keragenan, gelatin dan lain-lain yang digunakan untuk modifikasi tekstur sehingga menghasilkan produk yang kenyal, harus dicetak dan diproses aging terlebih dahulu sebelum dikemas. Aging adalah penyimpanan produk dalam kondisi dan waktu tertentu untuk mencapai karakter produk yang diinginkan.

Penggunaan sukrosa dalam pembuatan hard candy umumnya sebanyak 50-70% dari berat total. Hasil penelitian Wahyuni (1998) menunjukkan bahwa peningkatan kadar sukrosa akan meningkatkan kekentalannya. Untuk pembuatan

hard candy dapat digunakan sukrosa dalam bentuk granular atau gula cair. Agar dihasilkan permen dengan kejernihan yang baik atau penampakan mirip air,


(3)

dibutuhkan gula dengan tingkat kemurnian yang tinggi dan rendah kandungan abunya (Anonymous, 2010).

2.2 Sukrosa

Sukrosa merupakan senyawa kimia yang termasuk kedalam golongan karbohidrat. Sukrosa adalah disakarida yang apabila dihidrolisis berubah menjadi dua molekul monosakarida yaitu glukosa dan fruktosa. Sukrosa memiliki peranan penting dalam teknologi pangan karena fungsinya yang beraneka ragam. Sukrosa dengan kemurniaan yang tinggi dan kadar abu yang rendah baik untuk kembang gula keras (Anonimous, 2010).

Karbohidrat memegang peranan penting dalam alam karena merupakan sumber energi utama bagi manusia yang harganya relatif murah dan mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan misalnya rasa, warna, tekstur.Semua karbohidrat berasal dari tumbuh-tumbuhan. Melalui proses

fotosintesis, klorofil tanaman dengan bantuan sinar matahari mampu membentuk karbohidrat dari karbon dioksida (CO2) berasal dari udara dan air (H2O) dari tanah. Karbohidrat yang dihasilkan adalah karbohidrat sederhana glukosa (Almatsier, 1998).

Semua jenis karbohidrat terdiri atas unsur-unsur karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (0). Perbandingan antara hidrogen dan oksigen pada umumnya adalah 2 : 1 seperti halnya dalam air, oleh karena itu diberi nama karbohidrat. Dalam bentuk sederhana, formula uum karbohidrat adalah CnH2nOn. (Almatsier, 1998).

Pada umumnya karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu monosakarida, disakarida, dan polisakarida. Molekul karbohidrat paling


(4)

sederhana yang tidak terikat pada karbohidrat lain dinamakan gula sederhana atau monosakarida. Disakarida adalah senyawa yang terdiri dari dua monosakarida terikat, sedangkan polisakarida adalah rantai panjang yang tersusun dari banyak monosakarida (Anthony, 1992).

Sukrosa atau sakarosa dinamakan juga gula tebu atau gula bit. Secara komersial gula pasir yang 99% terdiri atas sukrosa dibuat dari kedua macam bahan makanan tersebut melalui proses penyulingan dan kristalisasi. Sukrosa juga terdapat di dalam buah, sayuran dan madu. Bila dicernakan atau dihirolisis, sukrosa pecah menjadi satu unit glukosa dan satu unit fruktosa. Pada pembuatan sirup sebagian sukrosa (gula pasir) akan terurai menjadi glukosa dan fruktosa, yang disebut gula invert. Sukrosa tidak memiliki sifat-sifat mereduksi, karena itu untuk menentukan kadar sukrosa harus dilakukan inversi terlebih dahulu menjadi glukosa dan fruktosa. Gula invert secara alami terdapat di dalam madu dan rasanya lebih manis daripada sukrosa (Almatsier, 1998).

Sifat-sifat sukrosa yaitu:

− Kenampakan dan kelarutan, semua gula berwarna putih, membentuk kristal yang larut dalam air.

− Rasa manis, semua gula berasa manis, tetapi rasa manisnya tidak sama. − Hidrolisis, disakarida mengalami proses hidrolisis menghasilkan

monosakarida. Hidrolisis sukrosa juga dikenal sebagai inversi sukrosa dan hasilnya berupa campuran glukosa dan fruktosa disebut “gula invert”. Inversi dapat dilakukan baik dengan memanaskan sukrosa bersama asam atau dengan menambahkan enzim invertase.


(5)

− Pengaruh panas, jika dipanaskan gula akan mengalami karamelisasi.

− Sifat mereduksi, semua monosakarida dan disakarida kecuali sukrosa berperan sebagai agensia pereduksi dan karenya dikenal sebagai gula reduksi (Gaman dan Sherrington, 1994)

Sukrosa adalah disakarida (mempunyai dua monosakarida) yairu glukosa dan fruktosa. Ia mempunyai rumus empiris: C12H22O11. Proses pemecahannya disebut Hidrolisis (penguraian oleh air). Hidrolisis sukrosa oleh asam atau enzim menghasilkan gula invert, yaitu campuran glukosa dan fruktosa dalam jumlah mol yang sama. Reaksi hidrolisis sukrosa adalah

C12H22O11 + H2O C6H12O6 + C6H12O6 Sukrosa Glukosa Fruktosa

Glukosa merupakan monosakarida yang terpenting kadang-kadang disebut

gula darah (karena dijumpai dalam darah), gula anggur (karena dijumpai dalam buah anggur), atau deksteosa (karena memutar bidang polarisasi ke kanan). Binatang menyusui (mamalia) dapat mengubah sukrosa, laktosa (gula susu), malsa, dan pati menjadi glukosa, yang kemudian dapat digunakan sebagai energi oleh organisme itu, atau disimpan sebagai glikogen (suatu polisakarida). Bila organisme itu memerlukan energi, glikogen diubah lagi menjadi glukosa. Karbohidrat yang berlebh dapat diubah menjadi lemak; oleh karena itu orang bisa gemuk meskipun tidak memakan lemak. Karbohidrat dapat juga diubah menjadi steroid (seperti kolesterol) dan secara terbatas menjadi protein (untuk sintesis protein diperlukan juga sumber nitrogen). Sebaliknya, suatu organisme dapat mengubah lemak dan protein menjadi karbohidrat (Fessenden, 1986).


(6)

Fruktosa merupakan gula yang termanis dari semua gula yang dikenal dengan nama levulosa. Sumber fruktosa merupakan hasil hidrolisa dari gula sukrosa. Fruktosa mempunyai rumus kimia yang sama dengan glukosa, C6H12O6, namun strukturnya berbeda. Susunan atom dalam fruktosa merangsang jonjot kecapan pada lidah sehingga menimbulkan rasa manis. Gula ini terutama terdapat dalam madu bersama glukosa, dalam buah, nektar bunga, dan juga di dalam sayur. Sepertiga dari gula madu terdiri atas fruktosa. Fruktosa dapat diolah dari pati dan digunakan secara komersial sebagai pemanis. Di dalam tubuh, fruktosa merupakan hasil pencernaan sukrosa (Almatsier, 1998).

Prinsip menurut SNI 2008, sukrosa dihidrolisis menjadi gula reduksi. Jumlah gula reduksi ditentukan dengan cara seperti pada penetapan kadar gula reduksi. Hasil kali faktor kimia dengan selisih kadar gula sesudah dan sebelum inversi menunjukkan kadar sukrosa. Gula reduksi seperti glukosa, fruktosa, maltosa dan laktosa akan mereduksi larutan Luff Schoorl menjadi CuO2. Jumlah larutan gula yang mereduksi larutan Luff Schoorl ditentukan dengan cara titrasi dengan larutan natrium tiosulfat (SNI, 2008).

Menurut SNI 01-2892-1992, cara uji gula ada dua metode yaitu metode

Luff Schoorl dan metode Lane Eynon. Pada penetapan sukrosa dalam kembang gula ini menggunakan metode Luff Schoorl, karena sangat menguntungkan dalam menganalisa gula yang termasuk sukrosa yang merupakan rasa manis dasar sukrosa adalah disakarida, yang apabila direduksi akan menghasilkan monosakarida yang bersifat pereduksi. Monosakarida tersebut akan mereduksikan CuO dalam larutan Luff menjadi Cu2O. Kelebihan CuO akan direduksikan dengan


(7)

KI berlebih, sehingga dilepaskan I2. I2 yang dibebaskan tersebut dititrasi dengan larutan Na2S2O3. (SNI, 1992).

Sukrosa memiliki fungsi positif dan negatif bagi tubuh. Adapun fungsi positif sukrosa bagi tubuh, tubuh menggunakan sukrosa sebagai bahan bakar untuk energi, seperti pengguna yang lain, karbohidrat yang lebih kompleks. Selama pencernaan, tubuh memecah karbohidrat seperti pati, serat dan sukrosa menjadi glukosa molekul gula. Ketika glukosa memasuki usus, itu diserap ke dalam aliran darah dan kemudian dibawa ke dalam sel tubuh, di mana ia diubah menjadi energi. Sukrosa alami, seperti yang ditemukan dalam buah, belum tentu buruk (Winarno, 1992).

Sedangkan fungsi negatif sukrosa bagi tubuh menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, sukrosa dapat menyebabkan kerusakan gigi karena bahan bakar bakteri yang menghasilkan plak yang menyebabkan gigi berlubang. Mengonsumsi sukrosa dan makanan manis lainnya dapat meningkatkan risiko gigi berlubang dan masalah gigi lainnya. Selain itu, sukrosa dan gula lain sering ditambahkan ke dalam makanan olahan untuk meningkatkan rasa, meningkatkan kalori tetapi bukan zat gizi yang sebenarnya. Hal ini dapat menyebabkan penambahan berat badan (Winarno, 1992).

2.3 Titrimetri

Titrimetri atau analisis volumetri yakni pemeriksaan jumlah zat yang didasarkan pada pengukuran volume larutan pereaksi yang dibutuhkan untuk bereaksi secara stoikiometri dengan zat yang ditentukan. Suatu cara pemeriksaan jumlah zat kimia yang luas pemakaiannya. Hal ini disebabkan karena beberapa


(8)

alasan. Pada satu segi, cara ini menguntungkan karena pelaksanaannya mudah, murah dan cepat, ketelitian dan ketepatannya cukup tinggi. Pada segi lain, cara ini menguntungkan karena dapat digunakan untuk menentukan kadar berbagai zat yang mempunyai sifat yang bebeda-beda (Rivai, 1995).

Analisis dengan metode titrimetri didasarkan pada reaksi kimia seperti:

aA + tT produk

Dimana a molekul analit A, bereaksi dengan t molekul pereaksi T. Pereaksi T yang disebut titran, ditambahkan secara kontinu, biasanya melalui sebuah buret dalam wujud larutan yang diketahui konsentrasinya secara pasti yang disebut larutan standar yang ditetapkan dengan suatu metode yang disebut standardisasi. Penambahan titran tetap dilakukan hingga jumlah T secara kimiawi sama dengan jumlah A. Selanjutnya akan dikatakan titik ekivalen dari titrasi telah tercapai. Agar diketahui kapan harus berhenti menambahkan titran, kimiawan dapat menggunakan bahan kimia, yaitu indikator, yang dapat bereaksi dengan titran yang berlebih dengan melakukan perubahan warna. Perubahan warna ini bisa saja terjadi persis pada titik ekivalen tetapi bisa juga tidak. Titik dalam titrasi dimana indikator berubah warnanya disebut titik akhir. Tentu saja diharapkan, bahwa titik akhir ini sedekat mungkin dengan titik ekivalen. Pemilihan indikator untuk membuat kedua titik sama adalah suatu aspek yang penting dalam analisis titrimetri (Day & Underwood, 2002).

Day dan Underwood (2002) menjelaskan bahwa suatu reaksi harus memenuhi kondisi berikut agar dapat digunakan dalam analisis titrimetri :


(9)

1. Harus terdapat suatu reaksi yang sederhana yang dapat dinyatakan dengan suatu persamaan kimia, zat yang ditetapkan harus bereaksi lengkap dengan reagensia dalam proporsi yang stoikiometrik dan ekivalen.

2. Reaksi harus praktis berjalan sekejap atau berjalan dengan sangat cepat sekali (kebanyakan reaksi ionik memenuhi kondisi ini). Dalam beberapa keadaan, penambahan suatu katalis akan menaikkan kecepatan reaksi itu.

3. Harus ada perubahan yang mencolok dalam energi bebas, yang menimbulkan perubahan dalam beberapa sifat fisika atau kimia larutan pada titik ekivalen.

Selesainya titrasi harus dapat diamati dengan suatu perubahan yang dapat dilihat jelas. Ini dapat dilihat dengan beubahnya warna atau dengan terbentuknya endapan (kekeruhan). Perubahan ini dapat diamati karena larutan bakunya sendiri atau dengan bantuan larutan (zat lain) yang disebut indikator. Saat terjadinya perubahan yang terlihat menandakan titrasi harus diakhiri disebut titik akhir titrasi

yang menyatakan volume larutan baku yang terpakai dari buret sekian mililiter (Rohman, 2007).

Suatu titrasi yang ideal adalah jika titik akhir titrasi sama dengan titik ekivalen teoritis. Titik akhir titrasi adalah titik dalam suatu titrasi dimana suatu indikator berubah warna. Titik ekivalen adalah titik dalam suatu titrasi dimana jumlah ekivalen titrasi sama dengan jumlah ekivalen analit. Dalam kenyataannya selalu ada perbedaan kecil. Beda ini disebut dengan kesalahan titrasi yang dinyatakan dengan mililiter larutan baku. Oleh karena itu, pemilihan indikaor harus dilakukan sedemikian rupa agar kesalahan ini sekecil-kecilnya (Rohman, 2007).


(10)

2.3.1 Penggolongan Titrimetri

Pemeriksaan kimia secara titrimetri dapat digolongkan dengan berbagai cara, tergantung pada jenis interaksi kimia yang terjadi, cara melakukan titrasi dan jumlah cuplikan yang digunakan dalam pemeriksaan. Berikut ini adalah uraian mengenai penggolongan cara titrimetri.

Penggolongan titrimetri berdasarkan reaksi kimia. Reaksi kimia yang dapat terjadi antara pentiter dan zat yang ditentukan dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu: reaksi asam-basa, reaksi pembentukan-kompleks, reaksi pengendapan dan reaksi oksidasi-reduksi.berdasarkan itu, cara titrimetri juga terdiri atas empat jenis :

1. Titrasi asam-basa didasarkan pada reaksi perpindahan proton antarsenyawa yang mempunyai sifat-sifat asam-basa (protolisis). Dengan cara titrasi asam-basa, berbagai senyawa organik dapat ditentukan dengan mudah. Penentuan senyawa-senyawa tersebut biasanya dilakukan dalam larutan berair, tetapi pelarut nirair dapat juga digunakan, terutama untuk analisis senyawa-senyawa organik. Untuk titrasi basa, digunakan larutan baku asam kuat, misalnya HCl, H2SO4, HClO4. Sedangkan, asam dititrasi dengan larutan baku basa kuat, misalnya NaOH, KOH, tetra-alkilamonium hidroksida. Titik akhir titrasi ditetapkan dengan bantuan indikator asam-basa yang sesuai, atau secara potensiometri.

2. Titrasi kompleksometri didasarkan pada reaksi zat-zat pengompleks organik tertentu dengan ion-ion logam, menghasilkan senyawa kompleks yang mantap. Zat pengompleks yang sering digunakan adalah asam


(11)

etilendiaminatetra-asetat (EDTA), yang membentuk senyawa kompleks yang mantap dengan beberapa ion logam. Titik akhir titrasi ditetapkan dengan indikator logam atau secara potensiometri dan spektrofotometri. 3. Titrasi pengendapan didasarkan pada reaksi pembentukan endapan yang

sukar larut. Misalnya, ion-ion halida (kecuali fluorida) sering ditentukan dengan cara titrasi dengan larutan perak nitrat. Titik akhir titrasi ditentukan dengan bantuan indikator khusus atau secara potensiometri.

4. Titrasi oksidasi-reduksi didasarkan pada proses perpindahan elektron antara zat pengoksidasi dititrasi dengan larutan baku zat pereduksi kuat, misalnya Na2S2O3, TiCl3, asam aksorbat. Sebaliknya zat pereduksi dititrasi dengan larutan baku zat pengoksidasi kuat, misalnya KmnO4, KbrO3, K2Cr2O7. Titik akhir titrasi ditentukan dengan indikator oksidasi-reduksi yang sesuai secara potensiometri. Sedangkan pada titrasi iodometri (salah satu metode oksidasi-reduksi) digunakan larutan kanji sebagai indikator khusus (Rivai, 1995).

Penggolongan titrimetri berdasarkan cara titrasi yaitu: 1. Titrasi Langsung

Titrasi langsung dilakukan dengan cara menambahkan pentiter langsung ke dalam larutan yang mengandung zat yang ditentukan. Cara ini lebih disukai karena cepat, sederhana dan ketepatannya cukup tinggi. Cara ini dipakai bila tersedia pentiter, pelarut dan cara penentuan titik akhir yang sesuai, dan laju reaksi cukup tinggi. Jika persyaratan ini tidak dipenuhi maka digunakan titrasi kembali atau titrasi tidak langsung (Rivai, 1995).


(12)

2. Titrasi kembali

Titrasi kembali dilakukan dengan menambahkan larutan baku (pentiter pertama) dalam jumlah berlebihan kedalam larutan zat yang ditentukan. Kemudian kelebihan pentiter pertama yang tidak bereaksi dengan zat yang ditentukan dititrasi dengan larutan baku kedua (pentiter kedua). (Rivai, 1995). 3. Titrasi Tidak Langsung

Titrasi tidak langsung digunakan bila titrasi langsung tidak mungkin dilaksanakan. Cara ini memerlukan reaksi tambahan dengan zat yang ditentukan, terutama reaksi khas dan berpilih. Akibat dari reaksi ini sejumlah yang setara zat ketiga dilepaskan. Zat ketiga yang dilepaskan itu dititrasi dengan larutan baku (Rivai, 1995).

Penggolongan titrimetri berdasarkan jumlah sampel, teknik titrimetri dibedakan menjadi titrasi makro, titrasi semi mikro dan titrasi mikro. Cara makro menggunakan cuplikan 10-100 mg, volume pentiter 10-100 ml dan jumlah zat yang ditentukan 100-1000 mg. Cara semimikro menggunakan cuplikan 10-100 mg, volume pentiter 1-10 ml dan jumlah zat yang ditentukan 10-100 mg. Sedangkan cara mikro menggunakan cuplikan 1-10 mg, volume pentiter 0,1-1 ml dan jumlah zat yang ditentukan 1-10 mg (Rivai, 1995).

2.3.2 Iodometri

Pada prinsipnya penetapan kadar sukrosa dalam kembang gula yang dilakukan menggunakan metode analisa iodometri, titrasi yang melibatkan iodium. Dalam proses analitis, iodin dipergunakan sebagai sebuah agen


(13)

pengoksidasi (iodimetri), dan ion iodida dipergunakan sebagai agen pereduksi (iodometri).

Titrasi yang melibatkan iodium dapat dilakukan dengan dua cara yaitu titrasi langsung (iodimetri) dan titrasi tidak langsung (iodometri). Iodimetri adalah suatu proses analitis dimana suatu agen pereduksi dititrasi langsung dengan iodin, dan iodin bertindak sebagai agen pengoksidasi. Iodometri adalah suatu proses tidak langsung yang melibatkan iod. Ion iodida berlebih ditambahkan pada suatu agen pngoksidasi, membebaskan iodin, yang kemudian dititrasi dengan natrium tiosulfat (Day & Underwood, 2002).

Iodometri merupakan titrasi tidak langsung dan digunakan untuk menetapkan senyawa-senyawa yang mempunyai potensial oksidasi yang lebih besar daripada sistem iodium-iodida atau senyawa-senyawa yang bersifat oksidator. Pada iodometri, sampel yang bersifat oksidator direduksi dengan kalium iodida berlebihan dan akan menghasilkan iodium yang selanjutnya dititrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat. Banyaknya volume natrium tiosulfat yang digunakan sebagai titran setara dengan iodium yang dihasilkan dan serta dengan banyaknya sampel (Rohman, 2007).

Pada titrasi iodometri, analit harus berbentuk suatu oksidator yang cukup kuat, karena dalam metode ini, analit selalu direduksi dahulu dengan kalium iodida sehingga terbentuk iod. Iod inilah yang selanjutnya dititrasi dengan natrium tiosulfat (Svehla, 1985).

Pada prinsipnya, iodometri merupakan reaksi reduksi oksidasi karena terjadi perubahan bilangan oksidasi dari zat-zat yang terlibat dalam reaksi, dalam


(14)

hal ini transfer elektron dari pasangan pereduksi ke pasangan pengoksidasi. Oksidasi adalah pelepasan satu atau lebih elektron dari suatu atom, ion atau molekul. Sedangkan reduksi adalah penangkapan satu atau lebih elektron. Tidak ada dalam elektron bebas dalam sistem kimia, oleh karena itu pelepasan elektron (oksidasi) selalu diikuti penangkapan elektron (reduksi) (Svehla, 1985).

Pada iodometri titrasi selalu berkaitan dengan I2, secara teoritis untuk titrasi ini tidak memerlukan indikator, tapi karena warnanya dalam keadaan sangat lemah maka pada titrasi ini diperlikan indikator. Indikator yang digunakan adalah indikator amilum dan I2 akan bereaksi dan reaksinya adalah reaksi dapat balik (Svehla, 1985).

BAB III


(1)

1. Harus terdapat suatu reaksi yang sederhana yang dapat dinyatakan dengan suatu persamaan kimia, zat yang ditetapkan harus bereaksi lengkap dengan reagensia dalam proporsi yang stoikiometrik dan ekivalen.

2. Reaksi harus praktis berjalan sekejap atau berjalan dengan sangat cepat sekali (kebanyakan reaksi ionik memenuhi kondisi ini). Dalam beberapa keadaan, penambahan suatu katalis akan menaikkan kecepatan reaksi itu.

3. Harus ada perubahan yang mencolok dalam energi bebas, yang menimbulkan perubahan dalam beberapa sifat fisika atau kimia larutan pada titik ekivalen.

Selesainya titrasi harus dapat diamati dengan suatu perubahan yang dapat dilihat jelas. Ini dapat dilihat dengan beubahnya warna atau dengan terbentuknya endapan (kekeruhan). Perubahan ini dapat diamati karena larutan bakunya sendiri atau dengan bantuan larutan (zat lain) yang disebut indikator. Saat terjadinya perubahan yang terlihat menandakan titrasi harus diakhiri disebut titik akhir titrasi yang menyatakan volume larutan baku yang terpakai dari buret sekian mililiter (Rohman, 2007).

Suatu titrasi yang ideal adalah jika titik akhir titrasi sama dengan titik ekivalen teoritis. Titik akhir titrasi adalah titik dalam suatu titrasi dimana suatu indikator berubah warna. Titik ekivalen adalah titik dalam suatu titrasi dimana jumlah ekivalen titrasi sama dengan jumlah ekivalen analit. Dalam kenyataannya selalu ada perbedaan kecil. Beda ini disebut dengan kesalahan titrasi yang dinyatakan dengan mililiter larutan baku. Oleh karena itu, pemilihan indikaor harus dilakukan sedemikian rupa agar kesalahan ini sekecil-kecilnya (Rohman, 2007).


(2)

2.3.1 Penggolongan Titrimetri

Pemeriksaan kimia secara titrimetri dapat digolongkan dengan berbagai cara, tergantung pada jenis interaksi kimia yang terjadi, cara melakukan titrasi dan jumlah cuplikan yang digunakan dalam pemeriksaan. Berikut ini adalah uraian mengenai penggolongan cara titrimetri.

Penggolongan titrimetri berdasarkan reaksi kimia. Reaksi kimia yang dapat terjadi antara pentiter dan zat yang ditentukan dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu: reaksi asam-basa, reaksi pembentukan-kompleks, reaksi pengendapan dan reaksi oksidasi-reduksi.berdasarkan itu, cara titrimetri juga terdiri atas empat jenis :

1. Titrasi asam-basa didasarkan pada reaksi perpindahan proton antarsenyawa yang mempunyai sifat-sifat asam-basa (protolisis). Dengan cara titrasi asam-basa, berbagai senyawa organik dapat ditentukan dengan mudah. Penentuan senyawa-senyawa tersebut biasanya dilakukan dalam larutan berair, tetapi pelarut nirair dapat juga digunakan, terutama untuk analisis senyawa-senyawa organik. Untuk titrasi basa, digunakan larutan baku asam kuat, misalnya HCl, H2SO4, HClO4. Sedangkan, asam dititrasi dengan larutan baku basa kuat, misalnya NaOH, KOH, tetra-alkilamonium hidroksida. Titik akhir titrasi ditetapkan dengan bantuan indikator asam-basa yang sesuai, atau secara potensiometri.

2. Titrasi kompleksometri didasarkan pada reaksi zat-zat pengompleks organik tertentu dengan ion-ion logam, menghasilkan senyawa kompleks yang mantap. Zat pengompleks yang sering digunakan adalah asam


(3)

etilendiaminatetra-asetat (EDTA), yang membentuk senyawa kompleks yang mantap dengan beberapa ion logam. Titik akhir titrasi ditetapkan dengan indikator logam atau secara potensiometri dan spektrofotometri. 3. Titrasi pengendapan didasarkan pada reaksi pembentukan endapan yang

sukar larut. Misalnya, ion-ion halida (kecuali fluorida) sering ditentukan dengan cara titrasi dengan larutan perak nitrat. Titik akhir titrasi ditentukan dengan bantuan indikator khusus atau secara potensiometri.

4. Titrasi oksidasi-reduksi didasarkan pada proses perpindahan elektron antara zat pengoksidasi dititrasi dengan larutan baku zat pereduksi kuat, misalnya Na2S2O3, TiCl3, asam aksorbat. Sebaliknya zat pereduksi dititrasi dengan larutan baku zat pengoksidasi kuat, misalnya KmnO4, KbrO3, K2Cr2O7. Titik akhir titrasi ditentukan dengan indikator oksidasi-reduksi yang sesuai secara potensiometri. Sedangkan pada titrasi iodometri (salah satu metode oksidasi-reduksi) digunakan larutan kanji sebagai indikator khusus (Rivai, 1995).

Penggolongan titrimetri berdasarkan cara titrasi yaitu: 1. Titrasi Langsung

Titrasi langsung dilakukan dengan cara menambahkan pentiter langsung ke dalam larutan yang mengandung zat yang ditentukan. Cara ini lebih disukai karena cepat, sederhana dan ketepatannya cukup tinggi. Cara ini dipakai bila tersedia pentiter, pelarut dan cara penentuan titik akhir yang sesuai, dan laju reaksi cukup tinggi. Jika persyaratan ini tidak dipenuhi maka digunakan titrasi kembali atau titrasi tidak langsung (Rivai, 1995).


(4)

2. Titrasi kembali

Titrasi kembali dilakukan dengan menambahkan larutan baku (pentiter pertama) dalam jumlah berlebihan kedalam larutan zat yang ditentukan. Kemudian kelebihan pentiter pertama yang tidak bereaksi dengan zat yang ditentukan dititrasi dengan larutan baku kedua (pentiter kedua). (Rivai, 1995). 3. Titrasi Tidak Langsung

Titrasi tidak langsung digunakan bila titrasi langsung tidak mungkin dilaksanakan. Cara ini memerlukan reaksi tambahan dengan zat yang ditentukan, terutama reaksi khas dan berpilih. Akibat dari reaksi ini sejumlah yang setara zat ketiga dilepaskan. Zat ketiga yang dilepaskan itu dititrasi dengan larutan baku (Rivai, 1995).

Penggolongan titrimetri berdasarkan jumlah sampel, teknik titrimetri dibedakan menjadi titrasi makro, titrasi semi mikro dan titrasi mikro. Cara makro menggunakan cuplikan 10-100 mg, volume pentiter 10-100 ml dan jumlah zat yang ditentukan 100-1000 mg. Cara semimikro menggunakan cuplikan 10-100 mg, volume pentiter 1-10 ml dan jumlah zat yang ditentukan 10-100 mg. Sedangkan cara mikro menggunakan cuplikan 1-10 mg, volume pentiter 0,1-1 ml dan jumlah zat yang ditentukan 1-10 mg (Rivai, 1995).

2.3.2 Iodometri

Pada prinsipnya penetapan kadar sukrosa dalam kembang gula yang dilakukan menggunakan metode analisa iodometri, titrasi yang melibatkan iodium. Dalam proses analitis, iodin dipergunakan sebagai sebuah agen


(5)

pengoksidasi (iodimetri), dan ion iodida dipergunakan sebagai agen pereduksi (iodometri).

Titrasi yang melibatkan iodium dapat dilakukan dengan dua cara yaitu titrasi langsung (iodimetri) dan titrasi tidak langsung (iodometri). Iodimetri adalah suatu proses analitis dimana suatu agen pereduksi dititrasi langsung dengan iodin, dan iodin bertindak sebagai agen pengoksidasi. Iodometri adalah suatu proses tidak langsung yang melibatkan iod. Ion iodida berlebih ditambahkan pada suatu agen pngoksidasi, membebaskan iodin, yang kemudian dititrasi dengan natrium tiosulfat (Day & Underwood, 2002).

Iodometri merupakan titrasi tidak langsung dan digunakan untuk menetapkan senyawa-senyawa yang mempunyai potensial oksidasi yang lebih besar daripada sistem iodium-iodida atau senyawa-senyawa yang bersifat oksidator. Pada iodometri, sampel yang bersifat oksidator direduksi dengan kalium iodida berlebihan dan akan menghasilkan iodium yang selanjutnya dititrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat. Banyaknya volume natrium tiosulfat yang digunakan sebagai titran setara dengan iodium yang dihasilkan dan serta dengan banyaknya sampel (Rohman, 2007).

Pada titrasi iodometri, analit harus berbentuk suatu oksidator yang cukup kuat, karena dalam metode ini, analit selalu direduksi dahulu dengan kalium iodida sehingga terbentuk iod. Iod inilah yang selanjutnya dititrasi dengan natrium tiosulfat (Svehla, 1985).

Pada prinsipnya, iodometri merupakan reaksi reduksi oksidasi karena terjadi perubahan bilangan oksidasi dari zat-zat yang terlibat dalam reaksi, dalam


(6)

hal ini transfer elektron dari pasangan pereduksi ke pasangan pengoksidasi. Oksidasi adalah pelepasan satu atau lebih elektron dari suatu atom, ion atau molekul. Sedangkan reduksi adalah penangkapan satu atau lebih elektron. Tidak ada dalam elektron bebas dalam sistem kimia, oleh karena itu pelepasan elektron (oksidasi) selalu diikuti penangkapan elektron (reduksi) (Svehla, 1985).

Pada iodometri titrasi selalu berkaitan dengan I2, secara teoritis untuk titrasi ini tidak memerlukan indikator, tapi karena warnanya dalam keadaan sangat lemah maka pada titrasi ini diperlikan indikator. Indikator yang digunakan adalah indikator amilum dan I2 akan bereaksi dan reaksinya adalah reaksi dapat balik (Svehla, 1985).

BAB III