Efektifitas Fermentasi Gula Sebagai Atraktan Nyamuk

(1)

EFEKTIFITAS FER

FAK U

ERMENTASI GULA SEBAGAI ATRAKTA

SKRIPSI

OLEH: ALFI KURNIATI

NIM. 111000050

KULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

EFEKTIFITAS FER

S

FAK U

ERMENTASI GULA SEBAGAI ATRAKTA

Skripsi ini diajukan sebagai

Salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH: ALFI KURNIATI

NIM. 111000050

KULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(3)

(4)

ABSTRAK

Dampak nyamuk dan obat anti nyamuk dapat menimbulkan bahaya kesehatan bagi manusia, serta mahalnya alat perangkap nyamuk merupakan suatu permasalahan saat ini. Penelitian mengenai fermentasi gula sebagai atraktan nyamuk bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan jumlah nyamuk yang terperangkap dengan variasi fermentasi konsentrasi gula dan lama pengamatan. Penelitian ini dilakukan di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Medan.

Jenis penelitian ini bersifat Quasi Experiment, metode yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan disain faktorial. Faktor yaang pertama berupa fermentasi konsentrasi gula 0%, 5% 15%, 25%, dan 35%. Faktor yang kedua berupa lama pengamatan hari I, hari II, hari III. Hari IV, hari V, dan hari VI. Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret – Juni 2015. Sampel dalam penelitian ini nyamuk dewasa sebanyak 300 ekor pada masing-masing perlakuan. Data dianalisis menggunakan uji statistik Kruskal Wallis dan uji lanjut Duncan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dari kelima variasi fermentasi konsentrasi gula terhadap jumlah nyamuk yang terperangkap. Tidak terdapat perbedaan pada jumlah nyamuk yang terperangkap dengan lama pengamatan.

Fermentasi konsentrasi gula 35% menunjukkan konsentrasi yang efektif karena terdapat perbedaan yang nyata dari kelima variasi fermentasi konsentrasi gula lainnya, semakin tinggi bahan gula maka daya rekat dari fermentasi gula menjadi lebih sempurna. Lama pengamatan terhadap jumlah nyamuk yang terperangkap menunjukkan tidak terdapat perbedaan secara nyata mulai hari ke II sampai hari ke V, dan terjadi penurunan pada hari ke VI.

Fermentasi gula dapat menjadi suatu alternatif pengendalian vektor khususnya nyamuk sebagai atraktan yang aman bagi lingkungan dan manusia. Penggunaan fermentasi gula sebagai atraktan nyamuk pada suatu ruangan sebaiknya digunakan lebih dari satu.


(5)

ABSTRACT

The impact of mosquitoes and mosquito repellent can cause health hazards to humans, as well as the expensive of mosquito trap is a problem at this time. The purpose of study on the fermentation of sugar as a mosquito attractant is to determine whether there is any difference in the number of mosquitoes trapped by the fermentation of sugar concentration variation and long of observation. This research was conducted at the center for Environmental health Engineering field.

This study is quasi-experimental, and the method used is Completely Randomized Factorial Design (RAL) The first factor is fermented of sugar concentration which are; 0%, 5%, 15%, 25%, and 35%. The second factor is long observation on day-1, day-2, day-3, day-4, day-5, and day-6. This study was conducted from March until June 2015.. The sample used in this study is 300 adult mosquitoes for each treatment. Data were analyzed using Kruskal Wallis Statistical test and continued Duncan test.

The result showed that there is a difference of five variations fermentation of sugar concentration on the number of mosquitoes trapped. There is no difference in the number of mosquitoes trapped with long observations.

Fermentation of sugar concentration in 35% indicates as the effective concentration because there is a significant difference from five other variations of the fermentation of sugar concentration. The higher sugar material, the stronger the adhesion of the fermentation of sugar. Long observation of the number of mosquitoes trapped showed that there is no significant difference from day to day-2 until day-5, and start decline at day-6.

Fermentation of sugar can be used as an alternative for vector control especially the mosquito as the safe attractant for the environment and humans. The fermented sugar as a mosquito attractant should be used more than one in a room.


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Alfi Kurniati

Tempat Lahir : Bengkalis Tanggal Lahir : 03 Agustus 1993

Suku Bangsa : Jawa

Agama : Islam

Nama Ayah : Sulardi

Suku Bangsa Ayah : Jawa

Nama Ibu : Siti Rohana

Suku Bangsa Ibu : Jawa

Pemdidikan Formal

1. SD/Tamat Tahun : SDN 005 Bengkalis, Riau/2005 2. SLTP/Tamat Tahun : MTsN Bengkalis, Riau/2008 3. SLTA/Tamat Tahun : MAN Bengkalis, Riau/2011


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena berkt rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat beserta salam semoga senantiasa terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, para sahabatnya, hingga pada umatnya hingga akhir zaman, amin.

Penulis skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Judul yang penulis ajukan adalah Efektifitas Fermentasi Gula Sebagai Atraktan Nyamuk.

Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis dengan senang hati menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ayahanda tercinta Sulardi dan Ibunda Siti Rohana karena telah memberikan kasih sayangnya yang melimpah kepada penulis dan memberikan dukungan sehingga penulis bisa menyelesaikan pendidikan Sarjana Kesehatan Masyarakat.

2. Abang, kakak, saya yang selalu memberikan dorongan dan sokongan dana sihingga penulis bisa menyelesaikan pendidikan ini.


(8)

petunjuk kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi.

4. Bapak Ahadi Kurniawan, Ssi, DAPE, MscPH kepala Instalasi Laboratorium Entomologi dan Parasitologi di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan yang dengan sabar membimbing penulis dalam melakukan penelitian.

5. Julhija, Lindra Yeni Sukma, Zulia Avriska yang juga turut mendukung saya lewat doa, dan semangatnya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

6. Teman-teman seperjuangan yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semuanya. Demi perbaikan selanjutnya, saran dan kritik yang membangun akan penulis terima dengan senang hati. Akhirnya, hanya kepada Allah SWT penulis serahkan segalanya semoga dapat bermanfaat khususnya bagi penulis umumnya bagi kita semua.

Medan, Juni 2015 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR GRAFIK ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 5

1.3Tujuan Penelitian ... 5

1.3.1 Tujuan Umum ... 5

1.3.2 Tujuan Khusus ... 5

1.4Hipotesis Penelitian ... 6

1.5Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1Tinjauan Umum Mengenai Nyamuk ... 7

2.2Jenis Jenis Nyamuk ... 7

2.2.1 Nyamuk Aedes Aegypti ... 7

2.2.2 Nyamuk Culex ... 8

2.2.3 Nyamuk Anopheles ... 8

2.2.4 Nyamuk Mansonia ... 8

2.3Klasifikasi Nyamuk ... 9

2.3.1 Klasifikasi Nyamuk Ae. Aegypti ... 9

2.3.2 Klasifikasi Nyamuk Culex ... 9

2.3.3 Klasifikasi Nyamuk Anopheles... 9

2.3.4 Klasifikasi Nyamuk Mansonia ... 10

2.4Siklus Hidup Nyamuk ... 10

2.4.1 Siklus Hidup Nyamuk Ae. Aegypti ... 11

2.4.2 Siklus Hidup Nyamuk Culex ... 13

2.4.3. Siklus Hidup Nyamuk Anopheles ... 14

2.4.4. Siklus Hidup Nyamuk Mansonia ... 16

2.5Perilaku Nyamuk ... 16

2.5.1 Perilaku Nyamuk Ae. Aegypti ... 17

2.5.2 Perilaku Nyamuk Culex ... 18


(10)

2.6Suhu ... 20

2.7Kelembaban ... 21

2.8Peran Nyamuk Sebagai Vektor ... 21

2.9Peranan Nyamuk Terhadap Kesehatan Manusia... 22

2.10 Pengendalian Vektor ... 26

2.11 Fermentasi Gula ... 27

2.12 Kerangka Konsep ... 29

BAB III METODE PENELITIAN ... 30

3.1 Jenis Penelitian ... 30

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 30

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 30

3.2.2 Waktu Penelitian ... 30

3.3Objek Penelitian ... 30

3.4Metode Pengumpulan Data ... 31

3.4.1 Data Primer ... 31

3.4.2 Data Skunder ... 31

3.5Variabel dan Definisi Operasional ... 31

3.5.1 Variabel ... 31

3.5.2 Definisi Operasional ... 32

3.6Alat dan Bahan Penelitian ... 32

3.6.1 Alat Penelitian ... 32

3.6.2 Bahan Penelitian ... 33

3.7Prosedur Penelitian... 33

3.7.1 Cara Mendapatkan Nyamuk ... 33

3.7.2 Cara Membuat Cairan Fermentasi Gula ... 34

3.7.3 Cara Membuat Perangkap Nyamuk ... 34

3.7.4 Cara Melakukan Percobaan ... 36

3.7.5 Cara Pengukuran Kadar Etanol ... 37

3.8Metode Pengukuran ... 37

3.9Analisis Data ... 38

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 39

4.1Gambaran Lokasi Penelitian ... 39

4.2Pengukuran Suhu dan Kelembaban ... 39

4.2.1 Pengukuran Suhu ... 40

4.2.2 Pengukuran Kelembaban ... 41

4.3 Pengukuran Kadar CO2 dan Kadar Etanol ... 43

4.3.1 Pengukuran kadar CO2 ... 43

4.3.2 Pengukuran Kadar Etanol ... 44


(11)

BAB V PEMBAHASAN ... 53

5.1Suhu dan Kelembaban ... 53

5.1.1 Suhu ... 53

5.1.2 Kelembaban... 53

5.2Kadar CO2 dan Kadar Etanol ... 54

5.2.1 Kadar CO2 ... 54

5.2.2 Kadar Etanol... 54

5.3 Efektifitas Fermentasi Gula Sebagai Atraktan Nyamuk ... 55

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 58

6.1 Kesimpulan ... 58

6.2Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60 LAMPIRAN


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Hasil Pengukuran Suhu Ruangan Penelitian ... 40 Tabel 4.2 Hasil Pengukuran Kelembaban Ruangan Penelitian ... 41 Tabel 4.3 Hasil Rata-Rata Kadar CO2 dengan Perlakuan Fermentasi Konsentrasi

Gula 0%, 5%, 15%, 25%, dan 35% dengan Lama Pengamatan Hari I,

Hari II, Hari III, Hari IV, Hari V, dan Hari VI ... 43 Tabel 4.4 Hasil Pengamatan Jumlah Nyamuk yang Terperangkap pada Perlakuan

Fermentasi Konsentrasi Gula )%, 5%, 15%, 25%, dan 35% ... 45 Tabel 4.5 Hasil Rata-Rata Jumlah Nyamuk yang Terperangkap pada Perlakuan

Fermentasi Konsentrasi Gula 0%, 5%, 15%, 25%, dan 35% ... 46 Tabel 4.6 Hasil Rata-Rata Jumlah Nyamuk yang Terperangkap pada Fermentasi

Konsentrasi Gula 0%, 5%, 15%, 25%, dan 35% dengan Lama

Pengamatan Hari I, Hari II, Hari III, Hari IV, Hari V, dan Hari VI ... 47 Tabel 4.7 Hasil Uji Normalitas Jumlah Nyamuk yang Terperangkap pada

Perlakuan Fermentasi Konsentrasi Gula 0%, 5%, 15%, 25%, dan 35% ... 49 Tabel 4.8 Hasil Uji Normalitas Jumlah Nyamuk yang Terperangkap dengan Lama

Pengamatan Hari I, Hari II, Hari III, Hari IV, Hari V, dan Hari VI ... 49 Tabel 4.9 Hasil Uji Kruskal Wallis Jumlah Nyamuk yang Terperangkap pada

Perlakuan Fermentasi Konsentrasi Gula 0%, 5%, 15%, 25%, dan 35% ... 50 Tabel 4.10 Hasil Uji Kruskal Wallis Jumlah Nyamuk yang Terperangkap dengan

Lama Pengamatan Hari I, Hari II, Hari III, Hari IV, Hari V, dan Hari VI ... 50 Tabel 4.11 Hasil Uji Lanjut Duncan Jumlah Nyamuk yang Terperangkap pada

Perlakuan Fermentasi Konsentrasi Gula 0%, 5%, 15%, 25%, dan 35% ... 50 Tabel 4.12 Hasil Uji Lanjut Duncan Jumlah Nyamuk yang Terperangkap dengan

Lama Pengamatan Hari I, Hari II, Hari III, Hari IV, Hari V, dan Hari


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Botol Air Mineral ... 34

Gambar 3.2 Botol air mineral dipotong ... 35

Gambar 3.3 Simpan bagian atas air mineral ... 35


(14)

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. Grafik Garis Rata-Rata Jumlah Nyamuk yang Terperangkap Pada Perlakuan Konsentrasi Fermentasi Gula 0%, 5%, 15%, 25%, dan 35% dengan Lama Pengamatan Hari I, Hari II, Hari III, Hari IV, Hari V, dan Hari VI ... 64


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Selelsai Penelitian ... 64

Lampiran 2. Hasil Penelitian ... 65

Lampiran 3. Lembar Observasi Kadar Etanol... 67

Lampiran 4. Gambar ... 68


(16)

ABSTRAK

Dampak nyamuk dan obat anti nyamuk dapat menimbulkan bahaya kesehatan bagi manusia, serta mahalnya alat perangkap nyamuk merupakan suatu permasalahan saat ini. Penelitian mengenai fermentasi gula sebagai atraktan nyamuk bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan jumlah nyamuk yang terperangkap dengan variasi fermentasi konsentrasi gula dan lama pengamatan. Penelitian ini dilakukan di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Medan.

Jenis penelitian ini bersifat Quasi Experiment, metode yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan disain faktorial. Faktor yaang pertama berupa fermentasi konsentrasi gula 0%, 5% 15%, 25%, dan 35%. Faktor yang kedua berupa lama pengamatan hari I, hari II, hari III. Hari IV, hari V, dan hari VI. Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret – Juni 2015. Sampel dalam penelitian ini nyamuk dewasa sebanyak 300 ekor pada masing-masing perlakuan. Data dianalisis menggunakan uji statistik Kruskal Wallis dan uji lanjut Duncan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dari kelima variasi fermentasi konsentrasi gula terhadap jumlah nyamuk yang terperangkap. Tidak terdapat perbedaan pada jumlah nyamuk yang terperangkap dengan lama pengamatan.

Fermentasi konsentrasi gula 35% menunjukkan konsentrasi yang efektif karena terdapat perbedaan yang nyata dari kelima variasi fermentasi konsentrasi gula lainnya, semakin tinggi bahan gula maka daya rekat dari fermentasi gula menjadi lebih sempurna. Lama pengamatan terhadap jumlah nyamuk yang terperangkap menunjukkan tidak terdapat perbedaan secara nyata mulai hari ke II sampai hari ke V, dan terjadi penurunan pada hari ke VI.

Fermentasi gula dapat menjadi suatu alternatif pengendalian vektor khususnya nyamuk sebagai atraktan yang aman bagi lingkungan dan manusia. Penggunaan fermentasi gula sebagai atraktan nyamuk pada suatu ruangan sebaiknya digunakan lebih dari satu.


(17)

ABSTRACT

The impact of mosquitoes and mosquito repellent can cause health hazards to humans, as well as the expensive of mosquito trap is a problem at this time. The purpose of study on the fermentation of sugar as a mosquito attractant is to determine whether there is any difference in the number of mosquitoes trapped by the fermentation of sugar concentration variation and long of observation. This research was conducted at the center for Environmental health Engineering field.

This study is quasi-experimental, and the method used is Completely Randomized Factorial Design (RAL) The first factor is fermented of sugar concentration which are; 0%, 5%, 15%, 25%, and 35%. The second factor is long observation on day-1, day-2, day-3, day-4, day-5, and day-6. This study was conducted from March until June 2015.. The sample used in this study is 300 adult mosquitoes for each treatment. Data were analyzed using Kruskal Wallis Statistical test and continued Duncan test.

The result showed that there is a difference of five variations fermentation of sugar concentration on the number of mosquitoes trapped. There is no difference in the number of mosquitoes trapped with long observations.

Fermentation of sugar concentration in 35% indicates as the effective concentration because there is a significant difference from five other variations of the fermentation of sugar concentration. The higher sugar material, the stronger the adhesion of the fermentation of sugar. Long observation of the number of mosquitoes trapped showed that there is no significant difference from day to day-2 until day-5, and start decline at day-6.

Fermentation of sugar can be used as an alternative for vector control especially the mosquito as the safe attractant for the environment and humans. The fermented sugar as a mosquito attractant should be used more than one in a room.


(18)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Indonesia sebagai negara tropis, sangat cocok untuk berkembangnya berbagai flora dan fauna, termasuk vector yang sangat banyak jumlah dan jenisnya. Oleh karena itu penyakit akibat vector (vector born diseases) seperti infeksi bakteri, virus, ricketsia, parasit dan mikroba dapat berlangsung dengan baik karena agent dan vektornya sama-sama berkembang biak. Nyamuk merupakan salah satu vector yang menjadi masalah kesehatan di dunia. Populasi nyamuk di Indonesia cukup banyak dan menjadi penyebab beberapa penyakit penting yang dapat menimbulkan berbagai macam penyakit sehingga mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Populasi ini akan meningkat seiring dengan datangnya musim hujan karena banyaknya tempat yang dapat berperan sebagai tempat perindukan dan perkembangbiakan. tempat yang nyaman juga akan mempermudah nyamuk dalam berkembangbiak untuk memperbanyak populasi. Penyakit yang dibawa nyamuk akan menjadi semakin banyak di saat terjadi perubahan iklim seperti peralihan musim kemarau ke musim hujan atau sebaliknya (Suharmiati dan Lestari, 2006).

Nyamuk dapat menyebarkan berbagai penyakit pada manusia, diantaranya malaria yang disebarkan oleh Anopheles, demam berdarah yang disebarkan oleh nyamuk Aedes, encephalitis dan filariasis yang disebarkan nyamuk culex.

Nyamuk spp. merupakan vector utama dari demam berdarah dengue (DBD) yang terdiri dari Ae. Aegypti dan Ae. Albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir semua di pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian


(19)

1000 meter diatas permuksaan laut, karena pada ketinggian tersebut suhu udara rendah sehingga tidak memungkinkan bagi nyamuk untuk hidup dan berkembang biak (Siregar. 2004).

Nyamuk merupakan serangga yang sangat mengganggu karena selain menyebabkan rasa gatal dan sakit, beberapa jenis nyamuk merupakan vector atau penular berbagai jenis penyakit berbahaya, seperti demam berdarah, malaria, filariasis, dan chikungunya. Berbagai cara telah dilakukan manusia untuk menghindari serangan nyamuk baik secara alami maupun kimia. Mengatasi gangguan nyamuk secara kimia antara lain menggunakan anti nyamuk semprot atau lotion anti nyamuk yang sudah banyak beredar dipasaran. Sementara itu cara mengatasi nyamuk secara alami bias juga dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis tanaman penusir nyamuk, seperti laver, granium, dan pietrum (Kardina. 2005).

Bahaya yang disebarkan dan bahaya yang ditimbulkan oleh nyamuk, perlu dilakukan penanganan terhadap nyamuk, memberantas nyamuk yang menjadi vector dengue merupakan cara terbaik saat ini untuk mencegah penyebaran demam berdarah dengue. Dalam hal ini dapat dilakukan pemberantasan nyamuk dewasa dan larvanya, pemberantasan sarang nyamuk dewasa dan mencegah kontak dengan nyamuk yang bertindak sebagai vector (Bell, dkk. 2003).

Salah satu cara untuk pengendalian nyamuk dan terhindar kontak dengan nyamuk adalah dengan menggunakan anti nyamuk, seperti obat anti nyamuk bakar, semprot, oles dan elektrik. Penggunaan obat anti nyamuk ini dirasakan cukup efektif untuk menangkal nyamuk yang akan mendekat ke tubuh manusia. Akan tetapi bila ditelusur lebih jauh lagi, obat nyamuk yang kita gunakan ini


(20)

ternyata mengandung racun yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Racun yang ditimbulkan berasal dari beberapa bahan aktif, diantaranya propoxur (senyawa karbamat), dichlorovynil phospat (DDVP) dan diethyltoluamide (DEET). Bahan aktif ini dapat mengganggu kesehatan manusia terutama saluran pernafasan dan kulit. Bahan aktif dalam obat nyamuk akan masuk ke dalam tubuh manusia melalui sistem pernafasan dan kulit ke dalam peredaran darah dan menyebar ke sistem pernafasan dalam tubuh dan juga sistem susunan saraf pusat (otak). Saluran pernafasan dapat terstimulasi sehingga menyebabkan batuk dan juga dapat memicu reaksi alergi pada saluran pernafasan (asma). Selain itu juga dapat menyebabkan iritasi atau reaksi alergi pada kulit (Anonim, 2013).

Bahaya yang ditimbulkan oleh obat nyamuk dan dampak dari nyamuk itu sendiri, perlu dikembangkan suatu alat perangkap nyamuk yang aman dan ramah lingkungan, pengembangan metode lain untuk pengendalian nyamuk selain insektisida adalah penggunaan alat perangkap nyamuk (trapping). Perangkap ini memanfaatkan mekanisme alamiah sehingga lebih aman dan ramah lingkungan. Sebenarnya sudah tersedia alat perangkap nyamuk yang beredar luas dimasyarakat, namun harganya relatif mahal menjadikan alat ini tidak dapat diaplikasikan oleh masyarakat secara luas. Salah satu contoh alat perangkap nyamuk yang tersedia adalah perangkap nyamuk black hole, perangkap nyamuk ultraviolet, perangkap nyamuk elektrik insect killer, perangkap nyamuk mitsui, perangkap nyamuk LED super, dengan rentang harga muai dari Rp. 100.000 – 400.000. Hal itu yang mendorong perlunya pengembangan alat perangkap nyamuk dengan fermentasi gula yang murah, aman dan mudah digunakan.


(21)

Fermentasi gula menghasilkan beberapa senyawa kimia seperti etanol, asam laktat, dan hydrogen, selain itu fermentasi juga menghasilkan senyawa lain seperti asam butirat dan aseton. Seorang Ahli Kimia Jerman bernama Eduard Bucher pemenang Nobel Kimia tahun 1907, telah berhasil melakukan uji coba fermentasi yang mengungkapkan bahwa fermentasi sebenarnya diakibatkan oleh sekresi dari ragi zymase. Fermentasi gula akan menghasilkan bioetanol dan CO2, diharapkan senyawa tersebut mampu menarik nyamuk (atraktan) dan bersifat mematikan. Bioetanol mampu mematikan nyamuk dewasa dengan etanol yang dihasilkan dari ekstrak pare pada konsentrasi10,8% (Purnamasari. 2014).

Hsu dalam Fitriasih (2008) mendisain alat perangkap nyamuk (mosquito trap) yang terbuat dari botol air mineral bekas dengan melarutkan 50 gram gula pasir ke dalam air sebanyak 200ml dan ditambah 1 gram ragi, dalam penelitiannya alat ini terbukti efektif dapat menangkap nyamuk dengan percobaan yang dilakukan 1 minggu.

Menurut Fitriasih (2008) atraktan yang menggunakan fermentasi gula ragi jumlah kematian nyamuknya lebih tinggi dibandingkan dengan jenis atraktan yang menggunakan air rendaman jerami dan air sumur. Dengan demikian perlu adanya penelitian lebih lanjut mengingat bahan – bahan tersebut dapat diperoleh secara mudah dan murah, serta dapat diaplikasikan secara cepat, mudah, dan aman ke masyarakat luas.


(22)

1.2Rumusan Masalah

Bahaya yang ditimbulkan oleh nyamuk, anti nyamuk dan mahalnya alat perangkap nyamuk yang tersedia menimbulkan permasalahan sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai alat perangkap nyamuk yang ramah lingkungan dan mudah diaplikasikan ke masyarakat luas. Fermentasi gula merupakan suatu cairan yang mampu menjadi atraktan bagi nyamuk, dimana bahan dan alat yang digunakan mudah di dapat serta ramah lingkungan. Sehingga timbul pertanyaan seberapa efektivkah fermentasi gula sebagai atraktan nyamuk.

1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui efektivitas fermentasi gula sebagai atraktan nyamuk 1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui jumlah nyamuk yang terperangkap dengan fermentasi konsentrasi gula 0% (kontrol)

2. Untuk mengetahui jumlah nyamuk yang terperangkap dengan fermentasi konsentrasi gula 5% (10 gram gula )

3. Untuk mengetahui jumlah nyamuk yang terperangkap dengan fermentasi konsentrasi gula 15% (30 gram gula )

4. Untuk mengetahui jumlah nyamuk yang terperangkap dengan fermentasi konsentrasi gula 25% (50 gram gula)

5. Untuk mengetahui jumlah nyamuk yang terperangkap dengan fermentasi konsentrasi gula 35% (70 gram gula)


(23)

6. Untuk mengetahui konsentrasi optimum cairan fermentasi gula yang sebagai atraktan nyamuk

7. Untuk mengetahui lama pengamatan yang optimum cairan fermentasi gula sebagai atraktan nyamuk

1.4 Hipotesis Penelitian

Ho: Ada perbedaan signifikan fermentasi konsentrasi gula terhadap nyamuk yang terperangkap

Ha: Tidak ada perbedaan signifikan fermentasi konsentrasi gula terhadap nyamuk yang terperangkap

1.5 Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi kepada masyarakat bahwa fermentasi gula dapat digunakan sebagai perangkap nyamuk yang aman.

2. Sebagai masukan bagi penulis dan mahasiswa FKM, khususnya mahasiswa kesehatan lingkungan untuk menambah wawasan mengenai cara pengendalian nyamuk.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Mengenai Nyamuk

Nyamuk adalah salah satu komponen lingkungan manusia. Di lingkungan permukiman merupakan tempat perindukan nyamuk. Banyak penyakit khususnya penyakit menular seperti demam berdarah, Japanese encephalitis, malaria, filariasis ditularkan melalui perantara nyamuk (Achmadi. 2013).

Nyamuk tersebar luas di seluruh dunia mulai dari daerah kutub sampai ke daerah tropika, dapat dijumpai 5.000 meter diatas permukaan laut sampai kedalaman 1.500 meter di bawah permukaan tanah didaerah pertambangan (WHO, 1999).

2.2 Jenis Jenis Nyamuk 2.2.1 Nyamuk Aedes Aegypti

Nyamuk spp. merupakan vector utama dari demam berdarah dengue (DBD) yang terdiri dari Ae. Aegypti dan Ae. Albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir semua di pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian 1000 meter diatas permukaan laut, karena pada ketinggian tersebut suhu udara rendah sehingga tidak memungkinkan bagi nyamuk untuk hidup dan berkembang biak (Siregar. 2004).

Nyamuk Ae. Aegypti di sebut black-white mosquito, karena tubuhnya ditandai dengan pita atau garis-garis putih keperakan di atas dasar hitam. Di Indonesia sering disebut sebagai salah satu dari nyamuk-nyamuk rumah (soegijanto, 2004).


(25)

2.2.2 Nyamuk Culex

Nyamuk memiliki tubuh bewarna kecoklatan, promboscis bewarna gelap tetapi kebanyakan dilengkapi dengan sisik bewarna lebih pucat pada bagian bawah, scutum bewarna kecoklatan dan terdapat warna emas dan keperakan disekitr sisiknya. Sayap bewarna gelap, kaki belakang memiliki femur yang bewarna lebih puct, seluruh kaki bewarna gelap, kecuali pada bagia persendian. Nyamuk ini aktif pada malam hari, dan lebih menyukai menggigit manusia setelah matahari terbenam (Lestari, 2009).

2.2.3 Nyamuk Anopheles

Nyamuk Anopheles sering juga dikenal dengan salah satu nyamuk yang menularkan penyakit malaria. Cirri nyamuk ini hinggap dengan posisi menukik atau membentuk sudut. Warnanya bermacam – macam, ada yang hitam, ada pula yang kakinya bercak – bercak putih. Nyamuk Anopheles biasanya menggigit pada malam hari (Gandahusada, 1998).

2.2.4 Nyamuk Mansonia

Nyamuk Mansonia sering ditemui di rawa – rawa, sungai besar di tepi hutan atau dalam hutan. Larva dan pupa melekat dengan sifonnya pada akar – akar atau ranting tanaman air, seperti eceng gondok, teeratai, kangkung, dan lain sebagainya. Nyamuk Mansonia memiliki bentuk tubuh besar dan panjang, bentuk sayap asimetris dan memiliki warna tubuh kecoklatan. Nyamuk Mansonia

bersifat zoofilik / antropofilik, eksofagik, eksofilik, dan aktif pada malam hari (Pasiga, 2013).


(26)

2.3 Klasifikasi Nyamuk

2.3.1 Klasifikasi Nyamuk Ae. Aegypti

Menurut Soegijianto (2004) kedudukan nyamuk Ae. Aegypti dalam klasifikasi hewan, yaitu:

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Ordo : Diptera

Family : Culicidae

Genus : Aedes

2.3.2 Klasifikasi Nyamuk Culex

Menurut Dharmawan (1993) kedudukan nyamuk Culex dalam klasifikasi hewan, yaitu:

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Ordo : Diptera

Family : Culcidae

Genus : Culex

Spesies : Culex quinquenfasciatus Say. 2.3.3 Klasifikasi Nyamuk Anopheles

Menurut Borror (1992) kedudukan nyamuk Anopheles sp. dalam klasifikasi hewan, yaitu:

Kingdom : Animalia


(27)

Kelas : Insecta

Ordo : Diptera

Famili : Culcidae

Genus : Anopheles

Spesies : Anopheles sp. 2.3.4 Klasifikasi Nyamuk Mansonia

Kedudukan nyamuk Mansonia dalam klasifikasi hewan yaitu: Phylum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Ordo : Diptera

Genus : Mansonia

2.4 Siklus Hidup Nyamuk

Pada dasarnya, siklus hidup nyamuk berawal dengan peletakan telur oleh nyamuk betina. Dari telur muncul fase kehidupan air yang masih belum matang disebut larva (jamak = larvae), yang berkembang melalui empat tahap, kemudian bertambah ukuran hingga mencapai tahap akhir yang tidak membutuhkan asupan makanan yaitu pupa (jamak = pupae). Didalam kulit pupa nyamuk dewasa membentuk diri sebagai betina atau jantan, dan tahap nyamuk dewasa muncul dari pecahan di bagian belakang kulit pupa. Nyamuk dewasa makan, kawin, dan nyamuk betina memproduksi telur untuk melengkapi siklus dan memulai generasi baru (Achmadi, 2013).


(28)

2.4.1 Siklus Hidup Nyamuk Ae. aegypti

a. Telur

Telur nyamuk Ae. Aegypti berbentuk elips atau oval memanjang, warna hitam, ukuran 0,5 – 0,8 mm. Permukaan poligonal, tidak memiliki alat pelampung, dan diletakkan satu persatu pada benda – benda yang terapung atau pada dinding bagian dalam tempat penampungan air (TPA) yang berbatasan langsung dengan permukaan air. Dilaporkan bahwa dari telur yang dilepas, sebanyak 85% melekat didinding TPA, sedangkan 15% lainnya jatuh ke permukaan air (Soegijanto. 2004).

Telur Aedes spp. Dapat bertahan pada kondisi kering pada waktu dan insensitas yang bervariasi hingga beberapa bulan, tetapi hidup. Jika tergenang air, beberapa telur mungkin menetas dalam beberapa menit, sedangkan yang lain membutuhkan waktu lama terbenam dalam air, kemudian penetasan berlangsung dalam beberapa hari atau minggu. Bila kondisi lingkungan tidak menguntugkan, telur-telur mungkin berada dalam status diapauses dan tidak akan menetas hingga waktu istirahat berakhir. Telur-telur Aedes spp. dapat berkembang pada habitat container kecil (lubang pohon, ketiak daun, dan sebagainya) yang rentan terhadap kekeringan (Sayono, 2008).

b. Larva

Telur menetas menjadi larva yang sering juga disebut jentik. Larva nyamuk memiliki kepala yang cukup besar serta toraks dan abdomen yang cukup jelas. Larva dan kebanyakan nyamuk menggantungkan diri pada permukaan air. Jentik-jentik nyamuk biasanya menggantungkan tubuhnya agak tegak lurus pada permukaan air, guna untuk mendapatkan oksigen di udara (Sembel, 2009).


(29)

Larva nyamuk Ae. Aegypti tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan bulu – bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami 4 kali pergantian kulit (ecdysis), dan larva yang terbentuk berturut – turut disebut larva instar I, II, III, dan IV. Larva instar I, tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1 – 2 mm, duri – duri (spinae) pada dada (thorax) belum begitu jelas, dan corong pernafasan sudah (siphon) belum menghitam. Larva instar II ertambah besar, ukuran 2,5 – 3,9 mm, duri dada belum jelas, dan corong pernafasan sudah bewarna hitam. Larva instar IV telah lengkap struktur anatominya dan jelas tubuh dapat di bagi menjadi bagian kepala (chepal), dada (thorax), dan perut (abdomen) (Soegijanto. 2004).

c. Pupa

Stadium pupa ini merupakan tahapan akhir dari siklus hidup nyamuk dalam air. Pupa adalah fase inaktif yang tidak membutuhkan makan, namun tetap membutuhkan oksigen untuk bernafas. Untuk keperluan pernafasannya pupa berada didekat permukaan air. Umumnya nyamuk jantan yang terlebih dahulu keluar sedangkan nyamuk betina muncul belakangan (Supartha, 2008).

d. Nyamuk Dewasa

Nyamuk memiliki ukuran tubuh yang relatif kecil, memiliki kaki panjang dan merupakan serangga yang memiliki sepasang sayap sehingga tergolong pada ordo Diptera dan famili Culicidae. Tubuh nyamuk terdiri atas tiga bagian yaitu kepala, dada dan perut. Nyamuk jantan lebih kecil dari pada nyamuk betina (Lestari, 2010).


(30)

Nyamuk Ae. Aegypti memiliki ciri khas yaitu mempunyai warna dasar yang hitam dengan bintik-bintik putih pada bagiannya badannya terutama pada akinya. Morfologi yang khas adalah gambaran lira (lyre-form) yang putih pada punggungnya (Gandahusada, 2000). Nyamuk ini hidup didalam dan disekitar rumah. Boleh dikatakan bahwa nyamuk betina sangat menyukai darah manusia (antrothpillic) dari pada darah binatang. Nyamuk betina mempunyai kebiasaan menghisap darah berpindah-pindah berkali-kali dari satu individu ke individu lain (Soegijanto, 2004). Nyamuk Ae. Albopictus secara morfologis sangat mirip dengan nyamuk Ae. Aegypti yang membedakan hanyalah pada strip putih yang terdapat pada skutumnya. Pada Ae. Albopictus strukturnya juga bewarna hitam hanya berisi satu garis putih tebal dibagian dorsalnya (Supartha, 2008).

2.4.2 Siklus Hidup Nyamuk Culex

a. Telur

Nyamuk Culex meletakkan telur di atas permukaan air yang dapat mengapung karena di letakkan secara bergerombolan dan bersatu membentuk rakit. Seekor nyamuk mampu meletakkan 100-400 butir telur.

b. larva

Larva nyamuk culex memiliki siphon dengan beberapa kumpulan rambut yang membentuk sudut pada permukaan air. Larva culex memiliki 4 tingkatan, yaitu:

1. Larva Instar I, berukuran paling kecil 1 – 2 mm atau 1 – 2 hari setelah menetas. Duri-duri pada dada betina belum jelas dan corong pernafasan pada siphon belum jelas


(31)

2. Larva Instar II, berukursn 2,5 – 3,4 mm atau 2 – 3 hari setelah telur menetas. Duri – duri belum jelas, corong kepala mulai menghitam.

3. Larva Instar III, berukuran 4 -5 mm atau 3 – 4 hari setelah telur menetas. Duri-duri dada mulai jelas dan corong pernafasan bewarna coklat kehitaman.

4. Larva IV, berukuran paling besar yaitu 5 – 6 mm atau 4 – 6 hari setelah telur menetas (Kardinan, 2003)

c. Pupa

Merupakan stadium akhir nyamuk di dalam air. Pada stadium ini pupa tidak membutuhkan makan. Pupa membuuhkan 2 – 5 hari. Sebagian kecil pupa kontak dengan permukaan air, berbentuk terompet, panjang dan ramping, setelah 1 - 2 hari akan menjadi nyamuk culex (Kardinan, 2003).

d. Nyamuk Dewasa

Ciri – ciri nyamuk culex dewasa adalah bewarna hitam belang- belang putih, kepala bewarna hitam dan bewarna putih pada ujungnya. Pada bagian thorak terdapat 2 garis putih berbentuk kurva (Kardinan, 2003).

2.4.3 Siklus Hidup Anopheles a. Telur

Telur Anopheles berbentuk seperti perahu yang bagian bawahnya konveks dan bagian atasnya konkaf dan diletakkan di air langsung yang diletakkan secara terpisah yaitu satu persatu. Nyamuk dewasa mampu menghasilkan telur 50 – 200 butir telur. Telur menetas dalam waktu 2 – 3 hari (Safar, 2010)


(32)

. b. larva

Larva Anopheles mengapung sejajar dengan permukaan air, karena mereka tidak mempunyai siphon (alat bantu pernafasan). Lama hidup kurang lebih hari, dan hidup dengan memkan algae, bakteri dan mikroorganisme lain yang terdapat dipermukaan (Safar, 2010).

c. pupa

Pada stadium pupa terdapat tabung pernafasan yang disebut respiratoru trumpet yang berbentuk lebar dan pendek yang berfungsi untuk mengambil O2 dari udara. Bentuk fase pupa seperti kma, dan setelah beberapa hari pada bagian terbelah sebagai tempat keluar nyamuk dewasa (Safar, 2010).

d. Nyamuk dewasa

Nyamuk Anopheles jantan dapat hidup sampai satu minggu, sedangkan nyamuk betina mampu bertahan hidup selama 1 bulan. Nyamuk dewasa mempunyai prombocis yang berfungsi sebgai menghisap darah atau makanan lainnya (missal: nectar atau cairan lainnya sebagai sumber gula). Perkawinan terjadi setelah beberapa hari menetas dan kebanyakan perkawinan terjadi sekitar rawa (breeding place). Untuk membantu pematangan telur, nyamuk menghisap darah, dan beristirahat sebelum bertelur. Salah satu ciri khas dari nyamuk


(33)

2.4.4 Siklus Hidup Nyamuk Mansonia

a. Telur

Telur Mansonia terdapat pada permukaan bawah daun tumbuhan inang diletakkan saling berdekatan membentuk rakit, bentuk kelompok yang terdiri dari - 6 butir. Telurnya berbentuk lonjong dengan salah satu ujungnya meruncing.

b. Larva

Larva mansonia mempunyai siphon berujung lancip, bergigi dan berpigmen gelap. Ujung siphon ditusukkan ke akar tumbuhan air.

c. Pupa

Stadium pupa, Mansonia memiliki cororng pernafasan seperti diri dan bentuk segmen 10 juga seperti duri. Untuk menjadi nyamuk dewasa pupa membutuhkan waktu 1 – 3 hari (Gandahusada, Illahude, Wira Pribadi, 1998).

e. Nyamuk Dewasa

Nyamuk dewasa mansonia betina memiliki palpi lebih pendek dari promboscis dan pada jantan palpi lebih panjang dari promboscsi. Sisik dayap lebar asimetris, berselang – selang terang dan gelap.

2.5 Perilaku Nyamuk

Perilaku nyamuk berkaitan dengan gejala biologis dan selalu ada variasi. Variasi tingkah laku akan terjadi didalam spesies tunggal baik di daerah yang sama maupun yang berbeda. Perilaku ini sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang dikenal sebagai ransangan dari luar. Ransangan dari luar ini misalnya, perubahan cuaca/iklim/musim atau perubahan lingkungan baik alamiah maupun karena hasil samping kegiatan manusia. Ada 3 (tiga) macam tempat yang


(34)

diperlukan untuk siklus kelangsungan hidup nyamuk. Hubungan antara ketiga tersebut dapat dilukiskan dengan bagan sebagai berikut (Sumantri, 2010).

LINGKUNGAN

2.5.1 Perilaku Nyamuk Ae. Aegypti

1. Perilaku Makan

Ae. aegypti sangat antropofilik, walaupun ia juga bisa makan dari hewan berdarah panas lainnya. Sebagai hewan diurnal, nyamuk betina memiliki dua periode aktivitas menggigit, pertama di pagi hari selama beberapa jam setelah matahari terbit dan sore hari selam beberapa jam sebelum gelap. Puncak aktivitas menggigit yang sebenarnya dapat beragam bergantung lokasi dan musim. Jika masa makannya terganggu

Ae. aegypti dapat menggigit lebih dari satu orang. Perilaku ini semakin memperbesar efesiensi penyebaran epidemic. Dengan demikian, bukan hal yang luar biasa jika beberapa anggota keluarga yang sama mengalami awitan penyakit yang terjadi dalam 24 jam, memperlihatkan bahwa mereka terinfeksi nyamuk infektif yang sama. Ae. aegypti biasanya tidak

Perilaku Berkembang Biak

Perilaku Mencari Makan Perilaku Beristirahat


(35)

menggigit di malam hari, tetapi akan menggigit saat malam dikamar yang terang (WHO, 2004).

2. Perilaku Istirahat

Ae. aegypti suka beristirahat di tempat yang gelap, lembab, dan tersembunyi di dalam rumah atau bangunan, termasuk dikamar tidur, kamar mandi, kamar kecil, maupun didapur. Nyamuk ini jarang ditemukan di luar rumah, di tumbuhan, atau ditempat terlindung lainnya. Di dalam ruangan, permukaan istirahat yang mereka suka adalah di bawah furniture, benda yang tergantung seperti baju dan gorden, serta dinding (WHO. 2004).

3. Perilaku Berkembang Biak

Nyamuk betina mempunyai kemampuan memilih tempat perindukan atau tempat berkembang biak yang sesuai dengan kesenangan dan kebutuhannya. Ada spesies yang senang dengan tempat – tempat yang kena sinar matahri langsung, tetapi ada pula yang senang dengan tempat – tempat teduh. Spesies yang satu memilih tempat perindukan cukup baik dari air payau (campuran air tawar dengan air laut), spesies lainnya hanya mau berkembang biak di air tawar. Ae. aegypti senang meletakkan telur di air tawar yang bersih dan tidak langsung menyentuh tanah (Sumantri. 2010).

2.5.2 Perilaku Nyamuk Culex

1. Perilaku Makan

Nyamuk Culex mempunyai kebiasaan menghisap darah pada malam hari. Jarak terbang nyamuk culex rata – rata hanya 7 meter.


(36)

Nyamuk Culex sp. menggigit beberapa jam setelah matahari terbenam sampai sebelum matahari terbit. Dan puncak menggigit nyamuk ini adalah pada pukul 01.00 – 02.00 (Tanaya, 2013).

2. Perilaku Istirahat

Nyamuk Culex sp. setelah menggigit manusia dan hewan nyamuk tersebut akan beristirahat selama 2 – 3 hari. Setiap spesies nyamuk mempunyai kesukaan beristirahat yang berbeda – beda. Nyamuk Culex sp.

suka beristirahat didalam rumah, sedangkan diluar rumah seperti gua, lubang lembab, tempat yang bewarna gelap dan lain – lain merupakan tempat yang disenangi nyamuk untuk beristirahat. (Tanaya, 2013)

3. Perilaku Berkembang Biak

Nyamuk Culex sp. suka berkembang biak disemarang tempat misalnya di air yang kotor yaitu genangan air, got terbuka, dan saluran pipa (Tanaya. 2013).

2.5.3 Perilaku Nyamuk Anopheles

1. Perilaku Makan

Nyamuk Anopheles kebiasaan menghisap darah di dalam rumah, terjadi pada pukul 23.00 kemudian turun dan meningkat lagi pada pukul 02.00 dan 03.00 dini hari, sedangkan aktivitas menggigit diluar rumah terjadi peningktan pada puku 2400 dan kemudian meningkat lagi pada pukul 05.00 (Rosa, 2009).

2. Perilaku Beristirahat

Nyamuk Anopheles memiliki dua cara beristirahat yaitu istirahat yang sebenarnya selama waktu menunggu prosesperkembangan telur dan


(37)

istirahat sementara pada sebelum dan sesudah mencari darah. Nyamuk memiliki perilaku istirahat yang berbeda-beda, An. Sundaicus beristirahat ditempat-tempat yang tinggi sedangkan An. Aconitus banyak beristirahat ditempat dekat tanah (Depkes. 1999).

3. Perilaku Berkembang Biak

Perilaku berkembang biak Nyamuk Anopheles bermacam – macam sesuai dengan jenis anophelesnya. Anopheles Sundaicus, Anopheles subpictus dan Anopheles vagus senang berkembang bikan di air payau. Nyamuk Anopheles sundaicus, anopheles mucaltus menyukai tempat yang langsung mendapatkan sinar mathari. Air yang tidak mengalir sangat disenangi oleh nyamuk Anopheles vagus, indefinites, leucosphirus untuk berkembang biak. Sedangkan air yang tenang atau sedikit mengalir sangat disenangi oleh nyamuk Anopheles acunitus, vagus, barbirotus, anullaris

untuk berkembang biak (Nurmaini, 2003). 2.5.4 Perilaku Nyamuk Mansonia

Nyamuk Mansonia sp berkembang biak dalam kolam – kolam air tawar seperti kolam ikan. Larva – larva nyamuk ini bernapas dengan penetrasi akar tanaman air (Sembel. 2009). Nyamuk Mansonia menggigit diluar rumah dan pada malam hari (Santoso.2014).

2.6 Suhu

Menurut Yotopranoto dalam Yudhastuti (2005) dijelaskan bahwa rata-rata suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk 25-27oC dan pertumbuhan nyamuk akan berhenti sama sekali bila suhu kurang dari 10oC atau lebih dari 40oC.


(38)

Menurut Sumantri (2010) suhu akan mempengaruhi:

1) Untuk proses metabolisme, temperature berkisar antara 32-35oC, apabila lebih tinggi, maka fisiologis menjadi lambat.

2) Proses perkembangan, akan optimum pada suhu 25-27oC. 3) Gonotropic cycle.

4) Lama hidup nyamuk, bila suhu selalu lebih dari 27-30oC, umur nyamuk akan menjadi lebih pendek.

2.7 Kelembaban

Lembab mempengaruhi distribusi dan lama hidup nyamuk. Hutan lebih peka perubahan kelembaban daripada ditempat daerah kering (Sumantri, 2010). Tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan hidupnya nyamuk. Menurut Mardhihusodo dalam Yudhastuti (2005) kelembaban yang optimum untuk pertumbuhan embroisasi dan ketahanan hidup embrio nyamuk embrio nyamuk adalah berkisar 81,5% - 89,5%.

2.8 Peran Nyamuk Sebagai Vektor

Vektor penyakit adalah serangga penyebar penyakit atau arthropoda. Beda vektor dari vehicle adalah bahwa vehicle bahwa vehicle suatu penyebar penyakit yang tidak hidup seperti air, udara, makanan, dll. Sedangkan vektor adalah benda hidup yakni serangga (Slamet. 2005)

Saat nyamuk betina mencari mangsa untuk menghisap darah, maka nyamuk tersebut dapat membawa dan mentransmisikan (atau menularkan) mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit. Spesies nyamuk yang menghisap darah secara berkala atau secara oportunistis pada manusia akan lebih


(39)

besar kemungkinannya menjadi vector penular penyakit. Meskipun demikian ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Insekta tersebut harus dapat terinfeksi terlebih dahulu oleh mikroorganisme pathogen dan kemudian hidup dalam waktu yang cukup lama untuk dapat menularkannya. Nyamuk menyebarkan penyakit

yang disebabkan oleh mikroorganisme melalui dua cara mekanis dan biologis. Penyebaran secara mekanis terjadi saat mikroorganisme pathogen pada

bagian mulut nyamuk yang menghisap darah dari host yang terinfeksi dan dipindahkan ke host kedua pada saat pencarian darah selanjutnya. Satu-satunya penyakit berbasis nyamuk yang tercatat disebarkan oleh virus pada kelinci, yaitu

myxomatosis. Virus-virus lainnya bisa disebarkan melalui penyebaran secara mekanis adalah hanya di laboratorium dengan mengganggu nyamuk-nyamuk yang makan darah dan memaksa mereka untuk makan pada host lainnya. Penyebaran secara mekanis tidak dianggap metode yang berarti dalam penyebaran pathogen oleh nyamuk dari manusia atau binatang ke manusia.

Penyebaran secara biologis terjadi pada saat mikroorganisme pathogen mengalami perubahan yang penting pada struktur dan atau berlipat ganda di dalam nyamuk sebelum berpindah ke host yang baru (Achmadi, 2013).

2.9 Peranan Nyamuk Terhadap Kesehatan Manusia

Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk masih menjadi masalah bagi kesehatan masyarakat, baik diperkotaan maupun dipedesaan. Diantara penyakit yang dapat ditularkan melalui nyamuk, yaitu:

1. DBD (Demam Berdarah Dengue)

Demam berdarah dengue merupakan penyakit demam yang berlangsung akut menyerang baik orang dewasa maupun anak-anak tetapi lebih banyak


(40)

menimbulkan korban pada anak-anak usia dibawah 15 tahun, disertai dengan perdarahan dan dapat menimbulkan renjetan (syok) yang dapat mengakibatkan kematian penderita (Sudarto, 1996).

Demam berdarah dengue disebabkan oleh salah satu dari empat antigen yang berbeda, tetapi sangat dekat satu dengan yang lain, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 dari genus Flavivirus. Demam berdarah dengue adalah bentuk dengue yang parah, berpotensi menyebabkan kematian (Sembel, 2009).

Masa inkubasi penyakit DBD, yaitu peridode sejak virus dengue menginfeksi manusia hingga menimbulkan gejala klinis, antara 3-4 hari, rata-rata 4-7 hari. Penyakit DBD tidak ditularkan langsug dari orang ke orang. Penderita menjadi infektif bagi nyamuk pada saat viremia, yaitu beberapa saat menjelang timbulnya demam hingga saat masa demam berkhir, biasanya belangsung selama 3-4 hari (Ginanjar, 2008).

Demam dengue di Inonesia endemis baik di daerah pekotaan maupun di daerah pedesaan. Di daerh perkotaan vektor penularnya adalah nyamuk

Ae.aegypti sedangkan di daerah pedesaan Ae. albopiqtus. Namun sering terjadi bahwa kedua spesies nyamuk tersebut terdapat bersama-sama pada satu daerah, misalnya didaerah yang bersifat semi – urban. Hewan primata di daerah kawasan hutan dapat bertindak sebagai sumber infeksi penularan (Sudarto. 2009).

Nyamuk demam berdarah biasanya akan terifeksi virus dengue saat menghisap darah dari penderita yang berada dalam fase demam akut. Bila penderita tersebut digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terhisap masuk ke dalam lambung nyamuk. Selanjtunya virus akan


(41)

memperbanyak diri dan tersebar di berbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk di dalam kelenjar liurya. Setelah masa inkubasi ekstrinsik selama 8-10 hari, kelenjar air liur nyamuk yang terinfeksi menggigit dan menginnjeksikan air liur ke luka gigitan pada orang lain. Setelah masa inkubasi pada tubuh manusia selama 3-4 hari (rata-rata 4-6 hari), sering kali terjadi awitan mendadak penyakit ini yang ditandai dengan demam, sakit kepala, hilang nafsu makan, dan berbagai tanda serta gejala non spesifik lain termasuk mual, muntah dan ruam kulit (WHO, 2004).

Nyamuk mendapat virus demam berdarah dengue, demam dengue,

maupun orang yang tidak tampak sakit, namun dalam aliran darahnya terdapat virus dengue. Pada saat nyamuk menggigit orang tersebut, virus dengue akan terbawa masuk bersama darah yang diisapnya ke dalam tubuh nyamuk itu. Virus dalam tubuh nyamuk tersebut akan berkembang biak tanpa ia sendiri menjadi sakit demam berdarah. Dalam waktu 7 hari, virus dengue sudah tersebar diseluruh bagian tubuh nyamuk di kelenjar air liurnya. Jika nyamuk ini menggigit orang lain, virus dengue akan diindahkan bersama air nyamuk ke dalam tubuh orang tersebut (Nadesul, 1998).

2. Malaria

Malaria berasal dari bahasa Italia yitu mal = buruk dan area = udara. Secara harfiah malaria merupakan suatu penyakit yang sering terjadi pada daerah dengan udara buruk akibat luingkungan buruk. Malaria merupakan suatu penyakit infeksi demam berkala yang disebabkan oleh parasit Plasmodium (termasuk protozoa) dan ditularkan oleh nyamuk Anopheles betina (Zulkoni, 2010).


(42)

Penyakit malaria memiliki masa inkubasi yang bervariasi tergantung pada daya tahan tubuh dan spessies plasmodiumnya. Masa Inkubasi Plasmodium vivax yaitu 14 – 17 hari, Plasmodium ovale 11 – 16 hari, Plasmodium malariae 12 – 14 hari, dan Plasmodium falcifarum 10 – 12 hari (Entjang, 2003).

Penularan sporozoidt malaria terjadi memalui gigitan nyamuk Anopheles

betina, sesuai dengan daerah geografisnya. Penularan dalam bentuk aseksual (trofozoit) menimbulkan tropozoite induced malaria, yang dapat ditularkan melalui transfuse darah (transfusion malaria), melalui jarum suntik atau dari ibu ke bayi yang dikandungnya melalui plasenta (congenital malaria) (Soedarto, 2008). “Airport malaria” adalah malaria yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles

yang membawa parasit malaria dari daerah tropis ersama pesawat udara, menulari pegawai bandara atau orang – orang yang tinggal di sekitar bandara yang berada di daerah non-endemik malaria(Soedarto, 2009).

3. Filariasis

Filariasis merupakan suatu infeksi sistemik yang disebabkan oleh cacing filaria yang cacing dewasanya hidup dalam kelenjar limfe dan darah manusia, penyakit ini bila tidak mendapatkan pengobatan akan menimbulkan cacat mnetap berupa pembesaran kaki (disebut elephantiasis / kaki gajah), pembesaran lengan, payudara dan alat kelamin wanita maupun laki-laki (Zulkoni, 2010).

Cacing filaria merupakan parasit pada manusia dan hewan. Parasit yang hidup pada saluran limfatik yaitu whucheria bancrifti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Filarial tersebut dapat menyebabkan kaki gajah dan komplikasi pada saluran limfatik (Ideham, 2007).


(43)

Filariasis ditularkan oleh berbagai spesies nyamuk, dan sesuai dengan terdapatnya microfilaria di dalam darah tepi, dikenal periodic nocturnal

(mikrofilaria hanya ditemukan malam hari), subperiodic diurnal (microfilaria terutama dijumpai siang hari, malam hari jarang ditemukan) dab subperiodic nocturnal (microfilaria terutama dijumpai malam hari, jarang ditemukan disiang hari) (Soedarto, 2009).

2.10 Pengendalian Vektor

Pengendalian vector adalah semua usaha yang dilakukan untuk menurunkan atau menekan populasi vector pada tingkat yang tidak membahayakan bagi kesehatan masyarakat (Kusnoputranto, 2000). Di dalam upaya pengendalian vector nyamuk, beberapa metode yang dapat digunakan antara lain tindakan anti larva, tindakan terhadap nyamuk dewasa, dan tindakan terhadap gigitan nyamuk (Sumantri, 2010).

Pengendalian nyamuk dapat dibagi menjadi tiga : 1. Pengendalian Secara Mekanik

Program yang di canangkan oleh Pemenrintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan RI yaitu 3M : 1) Menguras secara teratur seminggu sekali dan menabur bubuk abate ke tempat penampungan air. 2) Menutup rapat-rapat tempat penampungan air. 3) Mengubur atau menyingkirkan kaleng-kaleng bekas, plastik dan barang bekas lainnya yang dapat menampung air hujan sehingga tidak mrnjadi sarang nyamuk. 2. Pengendalian Secara Biologis

Intervensi yang didasarkan pada pengenalan organism pemangsa, parasit, pesaing menurunkan jumlah nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian ini bisa


(44)

dilakukan dengan memelihara ikan yang relative kuat dan tahan, misalnya ikan mujair di bak atau tempat penampungan air lainnya sehingga sebagai predator bagi jentik dan pupa. Contoh jenis ikan lainnya yang juga cocok dijadikan untuk pengendalian larva ialah Panchax panchax (ikan kepala timah, Lebistus reticularis (Guppy = water ceto), Gambusia affinis (ikan gabus), dll.

3. Pengendalian Secara Kimiawi

Pegendalian secara kimia yang berkhasiat membunuh serangga (insektisida) atau hanya untuk menghalau serangga saja (repellent).

Kebaikan cara pengendalian ini ialah dapat dilakukan dengan segera dan meliputi daerah yang luas sehingga dapat menekan populasi serangga dalam waktu yang singkat. Keburukannya karena cara pengendalian ini hanya bersifat sementara, dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, kemungkinan timbulnya resistensi serangga terhadap insektisida dan mengakibatkan matinya beberapa pemangsa (Gandahusada, 2000).

2.11 Fermentasi Gula

Fermentasi berasal dari Bahasa Latin yang berarti merebus. Arti kata dari Bahasa Latin tersebut dapat dikaitkan atau kondisi cairan bergelembung atau mendidih. Fermentasi adalah suatu proses terjadinya perubahan kimia sepenuhnya suatu substrat organic melalui aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme (Sari, 2011)


(45)

Konversi gula menjadi alcohol dengan cara fermentasi yaitu gula sangat disukai oleh hampir semua makhluk hidup sebagai sumber energy, khamir dapat memecah pentose. Disakarid seperti sukrosa dan maltose difermentasi dengan cepat oleh khamir karena mempunyai enzim sukrase atau invertase dan maltase untuk mengubah maltose menjadi hektosa (Hidayat. 2006).

Gula adalah bahan yang umum dalam fermentasi. Beberapa contoh hasil fermentasi adalah etanol, asam laktat, dan hydrogen. Akan tetapi beberapa komponen lain dapat jugadihasilkan dari fermentasi seperti asam butirat dan aseton. Ragi dikenal sebagai bahan yang umum digunakan dalam fermentasi untuk menghasilkan etanol dan bir, anggur dan minuman beralkohol lainnya (Sari, 2011).

Fermentasi alcohol merupakan suatu reaksi pengubahan glukosa menjadi etanol (etil alcohol) dan karbondioksida. Organisme yang berperan yaitu

Saccharomyces cerevisiae (ragi) untuk pembuatn tape, roti, atau minuman keras.

Reaksi kimia:

C6H12O6 2C2H5OH + 2CO2 + 2H2O + 2ATP

Etanol disebut juga etil alcohol, alcohol murni, alcohol absolute, atau alcohol adalah sejenis cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, tak bewarna, dan merupakan alcohol yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Etanol termasuk ke dalam alcohol rantai tunggal, dengan rumus kimia C2H5OH dan rumus empiris C2H6O (Iwan, 2007).


(46)

Fermentasi gula yang menghasilkan bioetanol dan CO2, diharapkan senyawa tersebut mampu menarik nyamuk (atraktan) dan bersifat mematikan.

Setiadi, dkk (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa alat perangkap nyamuk yang ditambahkan CO2 dari proses fermentasi larutan gula dengan ragi menunjukkan kinerja terhadap jumlah nyamuk yang terperangkap lebih banyak 50 – 80% dibandingkan dengan alat perangkap nyamuk tanpa CO2.

Karbon dioksida (CO2) menjadi salah satu cara bagi nyamuk untuk menemukan mangsanya, sehingga nyamuk tertarik untuk menggigit manusia dikarenakan manusia menghembuskan CO2. CO2 yang dihasilkan dari fermentasi gula diharapkan dapat mengelabui nyamuk untuk mendekat ke alat perangkap nyamuk (Febrinastri. 2014).

2.12 Kerangka Konsep

Variable bebas variabel terikat

Faktor yang mempengaruhi

Fermentasi gula

- Konsentrasigula 0% - Konsentrasigula 5% - Konsentrasigula 15% - Konsentrasigula 25% - Konsentrasigula 35%

Jumlah nyamuk yang

terperangkap

- Suhu - kelembaban


(47)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis penelitian

Penelitian ini berbentuk eksperimen semu (Quasi eksperiment) yaitu meneliti fermentasi gula sebagai perangkap nyamuk dan tidak mengabaikan faktor yang mempengaruhi kehidupan nyamuk yaitu suhu dan kelembaban udara. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan faktorial. Percobaan dilakukan perlakuan dengan cairan fermentasi gula dengan konsentrasi 5%, 15%, 25%, 35%, dan kontrol 0%, yang dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan.

3.2 Lokasi dan Waktu penelitian 3.2.1 Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Medan.

3.2.2 Waktu penelitian

Waktu penelitian dilakukan pada bulan Maret – Juni 2015.

3.3 Objek Penelitian

Objek penelitian dalam penelitian ini adalah nyamuk dewasa yang diambil dari wadah pemeliharaan. Dimasukan ke dalam kandang perlakuan.berukuran 100 x 100 x 100 cm sebanyak 5 kotak. Jumlah nyamuk pada masing-masing perlakuan dan kontrol sebanyak 300 ekor. Jumlah sampel diambil berdasarkan kebutuhan penelitian yaitu 4500 ekor nyamuk dewasa.


(48)

3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer

Data primer diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Medan.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku dan jurnal serta literatur-literatur yang mendukung sebagai bahan kepustakaan.

3.5 Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1 Variabel

1. Variabel Bebas

Variabel bebas yaitu cairan fermentasi gula yang digunakan dalam perangkap nyamuk.

2. Variabel Terikat

Variabel terikat yaitu jumlah nyamuk yang terperangkap di dalam perangkap nyamuk.

3. Variabel yang Mempengaruhi

Variabel yang mempengaruhi yaitu terdiri dari lingkungan fisik: suhu dan kelembaban dengan kandang ditempatkan pada ruangan yan sama.


(49)

3.5.2 Definisi Operasional

1. Fermentasi gula adalah suatu reaksi yang menghasilkan bioetanol dan CO2, diharapkan senyawa tersebut mampu menarik nyamuk (atraktan) dan bersifat mematikan.

2. Jumlah nyamuk yang terperangkap adalah banyaknya nyamuk yang terperangkap dalam perangkap nyamuk akibat masing-masing perlakuan. 3. Suhu adalah temperatur udara di tempat melakukan penelitian berlangsung

yang diukur dengan menggunakan thermometer dan dinyatakan dalam derajat celcius.

4. Kelembaban adalah kandungan uap air di udara ditempat melakukan penelitian Selma penelitian berlangsung yang diukur dengan menggunakan alat hygrometer dan dinyatakan dalam persen.

3.6 Alat dan Bahan Penelitian 3.6.1 Alat Penelitian

a. Air Quality Indoor

b. Alcoholmeter c. Beaker glass

d. Botol air mineral kemasan ukuran 1500 ml untuk membuat perangkap nyamuk.

e. Gelas ukur 250 ml


(50)

g. Pipet h. Pisau

i. Timbangan analitik

3.6.2 Bahan Penelitian a. Aquadest

b. Gula c. Ragi

d. Nyamuk dewasa

3.7 Prosedur Penelitian

3.7.1 Cara Mendapatkan Nyamuk

Untuk mendapatkan nyamuk dewasa dilakukan dengan membiakkan nyamuk dengan cara sebagai berikut:

1. larva nyamuk dimasukkan ke dalam wadah pemeliharaan dan diberikan makan khusus menggunakan ekstrak hati

2. Amati wadah pemeliharaan setelah larva berubah menjadi pupa, pupa di hitung dan dipindahkan ke wadah yang lain dan di masukkan ke dalam kandang yang berukuran 100 x 100 x 100 cm sampai pupa berubah menjadi nyamuk dewasa.


(51)

3.7.2 Cara Membuat Cara membuat variasi rentang gula kedalam 200 ml air ditambahkan 1gram r menghasilkan gelem

3.7.3 Cara Membuat Botol dipotong fermentasi gula sebag bagian bawah, denga agar CO2 yang dikelua

uat Cairan Fermentasi Gula

buat larutan gula dan ragi yaitu dengan melarutka ula 10 gram, 30 gram, 50 gram, 70 gram seba air, aduk hingga gula terlarut dengan sempur ragi tanpa di aduk, diamkan cairan hingga ca lembung – gelembung dalam waktu ± 30 menit

uat Perangkap Nyamuk

potong, bagian atas disimpan kemudian diisi agai zat atraktan selanjutnya bagian atas botol gan dimasukkannya kembali diusahakan seke luarkan hanya keluar melalui lubang tengah saj

Gambar 3.1 Botol air mineral

utkan gula dengan sebagai perlakuan purna, kemudian cairan fermentasi nit.

isi dengan cairan botol dimasukkan ke kencang mungkin h saja.


(52)

Ga

Gambar 3.2 Botol air mineral dipotong


(53)

Gambar 3.4 B

3.7.4 Cara Melaku 1. Perangkap

berukuran 100 x 2. Dimasukka

ekor dalam 3. Dilakukan mengguna 4. Dihitung da

masing per 3, hari ke-5. Dilakukan pe

3.4 Bagian atas air mineral dimasukkan ke bagian ba

akukan Percobaan

kap nyamuk diletakkan ke dalam kandang an 100 x 100 x 100 cm sebanyak 5 kandang. ukkan nyamuk dewasa hasil pengembangbiakka

am masing-masing kandang.

kukan pengamatan, pengukuran suhu, kelembaban unakan Air Quality Indoor

ung dan catat jumlah nyamuk yang terperangka perangkap nyamuk tersebut setiap hari ke-1, ha

-4, hari ke-5, dan hari ke-6. kukan pengosongan kandang.

ian bawah

ng nyamuk yang

kkan sebanyak 300

ban dan kadar CO2

kap pada masing-1, hari 2, hari


(54)

ke-6. Dimasukkan nyamuk dewasa hasil pengembangbiakkan sebanyak 300 ekor dalam masing-masing kandang.

7. Lakukan hal yang sama disetiap pengulangan sebanyak 3 kali pengulangan.

3.7.5 Cara Pengukuran Kadar Etanol

1. Cairan fermentasi di masukkan di dalam gelas ukur

2. Masukkan alat alcoholmeter ke dalam gelas ukur yang berisi cairan fermentasi gula

3. Amati dan catat hasil pengukuran kadar etanol

4. Bersihkan gelas ukur dan lakukan hal yang sama sebanyak tiga kali pengulangan.

3.8 Metode Pengukuran

Persentase jumlah nyamuk yang terperangkap dihitung dengan rumus:

% = × 100%

Apabila angka jumlah nyamuk yang terperangkap pada kelompok kontrol kurang dari 5% angka diabaikan, apabila angka kematian pada kelompok kontrol antara 5 % - 20 % maka dikoreksi dengan rumus abbot yaitu:


(55)

1 =

!"" × 100%

Keterangan:

A1 = Jumlah nyamuk yang terperangkap setelah koreksi

A = Jumlah nyamuk yang terperangkap pada perlakuan

C = Kematian pada kontrol

3.9 Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam pengujian efektifitas fermentasi gula sebagai perangkap nyamuk terlebih dahulu di uji normalitas jika jika data menunnjukan tidak normal atau sig < 0,05 maka dilanjutkan dengan kruskal wallis, jika data menunjukkan sig > 0,05 maka menggunakan uji Anova satu arah untuk mengetahui perbedaan jumlah nyamuk yang terperangkap dan dilanjutkan dengan Duncan.


(56)

BAB IV

HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Lokasi Penelitian

Penelitian fermentasi gula sebagai atraktan nyamuk dilaksanakan di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Medan di Departemen Entomologi yang berukuran 4x7 meter, ruangan tersebut menggunakan AC (Air Conditioner) yang dihidupkan pada jam kerja mulai dari jam 08.00 – 16.00, tetapi jika pegawai dari departemen entomologi tidak masuk AC tetap dalam kondisi mati. didalam ruangan terdapat alat-alat seperti kandang nyamuk, mikroskop, komputer, wadah pemeliharaan nyamuk, dan perlengkapan kantor lainnya. Pengamatan dan pencatatan dilakukan selama 1 minggu setiap jam 10.00 WIB pada masing-masing perlakuan dan pengulangan.

4.2 Pengukuran Suhu dan Kelembaban

Suhu dan kelembaban merupakan salah satu variabel yang dapat mempengaruhi penelitian. Oleh sebab itu, suhu dan kelembaban perlu untuk diukur selama penelitian berlangsung. Pada penelitian ini pengukuran suhu dan kelembaban menggunakan alat Air Quality Indoor dan didapat hasil pada tabel dibawah ini :


(57)

4.2.1 Pengukuran Suhu

Tabel 4.1 Hasil Pengukuran Suhu Ruangan Penelitian Konsentrasi Cairan Fermentasi Konsesntrasi Gula Lama Pengamatan

Suhu Rata –

Rata Suhu o

C Pengulangan

I II III

0%

Hari I 24,5 25,1 24,7 24,7

Hari II 24,9 25,2 24,8 25,0

Hari III 26,0 25,7 26,5 26,1

Hari IV 25,8 24,9 25,5 25,4

Hari V 25,7 25,4 25,6 25,6

Hari VI 25,4 24,8 25,1 25,1

5%

Hari I 25,6 24,8 25,3 25,2

Hari II 27,3 26,8 27,1 27,1

Hari III 26,5 25,7 25,9 26,0

Hari IV 26,2 25,8 26,1 26,0

Hari V 26,7 26,2 26,3 26,4

Hari VI 25,4 25,9 25,6 25,6

15%

Hari I 25,1 27,5 26,9 26,5

Hari II 25,7 28,3 27,1 27,0

Hari III 26,1 26,2 26,3 26,2

Hari IV 25,5 26,3 25,9 25,9

Hari V 25,4 26,5 26,1 26,0

Hari VI 26,2 26,7 26,5 26,5

25%

Hari I 26,3 24,7 25,0 25,3

Hari II 25,1 25,3 25,2 25,2

Hari III 24,8 25,7 25,1 25,2

Hari IV 24,2 24,5 24,3 24,3

Hari V 24,1 24,7 24,3 24,4

Hari VI 24,3 24,9 24,2 24,5

35%

Hari I 26,2 25,7 25,5 25,8

Hari II 26,5 25,1 25,8 25,8

Hari III 27,5 25,2 27,2 26,6

Hari IV 29,2 26,7 28,3 28,1

Hari V 27,3 26,8 27,3 27,1


(58)

Dari Tabel 4.1 di atas dapat diketahui bahwa suhu ruangan pada saat penelitian pada fermentasi konsentrasi gula 0% yaitu berkisar 24,7 – 26,1oC, fermentasi konsentrasi gula 5% yaitu berkisar 25,2 – 27,1oC, fermentasi konsentrasi gula 15% yaitu berkisar 25,9 - 27,0oC, fermentasi konsentrasi gula 25% yaitu berkisar 24,3 – 25,3oC, dan fermentasi konsentrasi gula 35% yaitu berkisar 25,8 – 28,1oC. Maka suhu ruangan selama penelitian yaitu berkisar 24,3 – 28,1oC.

4.2.2 Pengukuran Kelembaban

Tabel 4.2 Hasil Pengukuran Kelembaban Ruangan Penelitian Konsentrasi Cairan Fermentasi Konsesntrasi Gula Lama Pengamatan

Suhu Rata –

Rata Suhu

% Pengulangan

I II III

0%

Hari I 62,1 63,2 61,8 62,4

Hari II 64,8 63,8 64,9 64,5

Hari III 79,9 72,1 70,3 74,1

Hari IV 79,1 69,8 72,4 73,8

Hari V 78,7 64,9 68,3 70,6

Hari VI 64,3 63,2 69,5 65,7

5%

Hari I 72,5 60,1 62,3 65,9

Hari II 85,4 70,1 73,2 76,2

Hari III 78,2 65,3 67,9 70,5

Hari IV 79,7 65,8 75,2 73,6

Hari V 70,3 64,9 70,1 68,4

Hari VI 60,3 61,7 60,9 61,0

15%

Hari I 61,3 78,2 70,3 69,9

Hari II 62,3 83,7 75,9 73,9

Hari III 63,3 68,2 63,4 64,9

Hari IV 62,9 68,2 62,8 64,6

Hari V 62,7 63,4 65,2 63,8

Hari VI 67,8 68,4 68,9 68,4

25%

Hari I 75,2 61,7 68,5 68,5

Hari II 68,3 68,5 68,7 68,5

Hari III 61,8 68,4 68,5 66,2

Hari IV 60,8 62,2 62,3 61,8

Hari V 61,1 62,9 61,7 61,9


(59)

35%

Hari I 63,8 62,3 62,9 63,0

Hari II 69,7 62,1 68,3 66,7

Hari III 78,2 62,7 75,2 72,0

Hari IV 88,6 73,8 88,3 83,6

Hari V 75,4 70,3 75,3 73,7

Hari VI 75,2 69,8 75,1 73,4

Dari Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa kelembaban ruangan pada saat penelitian pada fermentasi konsentrasi gula 0% yaitu berkisar 62,4 – 74,1%, fermentasi konsentrasi gula 5% yaitu berkisar 61,0 – 76,2%, fermentasi konsentrasi gula 15% yaitu berkisar 63,8 – 73,9%, fermentasi konsentrasi gula 25% yaitu berkisar 60,9 – 68,5%, dan fermentasi konsentrasi gula 35% yaitu berkisar 63,0 – 83,6%. Maka kelembaban ruangan selama penelitian yaitu berkisar 60,9-83,6%.


(60)

4.3 Pengukuran Kadar CO2 dan Kadar Etanol 4.3.1 Pengukuran Kadar CO2

Tabel 4.3 Hasil Kadar CO2 pada Perlakuan Fermentasi Konsentrasi Gula 0%, 5%, 15%, 25%, dan 35% dengan Lama Pengamatan Hari I, Hari II, Hari III, Hari IV,Hari V, dan Hari VI

Kosentrasi cairan fermentasi gula Waktu pengamatan

Kadar CO2 Rata –

rata kadar CO2 (ppm) Pengulangan

I II III

0%

Hari I 25 23 19 22

Hari II 29 19 23 24

Hari III 27 23 19 23

Hari IV 28 29 23 27

Hari V 39 12 23 25

Hari VI 23 13 18 24

5%

Hari I 1447 1224 1123 1256

Hari II 356 241 296 298

Hari III 249 135 187 190

Hari IV 97 69 109 92

Hari V 58 42 61 54

Hari VI 20 8 11 13

15%

Hari I 197 552 370 373

Hari II 532 611 325 489

Hari III 102 83 86 90

Hari IV 63 72 56 64

Hari V 150 132 137 140

Hari VI 399 403 576 459

25%

Hari I 838 729 782 782

Hari II 271 289 239 266

Hari III 443 381 341 388

Hari IV 89 83 107 93

Hari V 72 84 56 71

Hari VI 132 120 126 126

35%

Hari I 27 17 43 29

Hari II 58 95 68 74

Hari III 136 121 122 126

Hari IV 453 541 678 557

Hari V 658 487 542 562


(61)

Dari Tabel 4.3 di atas dapat diketahui bahwa rata – rata kadar CO2 pada fermentasi konsentrasi gula 0% yaitu 24,1 ppm, fermentasi konsentrasi gula 5% yaitu 319 ppm, fermentasi konsentrasi gula 15% yaitu 269,2 ppm, fermentasi konsentrasi gula 25% yaitu 287,7 ppm, dan fermentasi konsentrasi gula 35% yaitu 245,6 ppm.

4.3.2 Pengukuran Kadar Etanol

Pada penelitian fermentasi gula sebagai atraktan nyamuk dilakukan pengukuran kadar etanol menggunakan alat alcoholmeter, dari pengukuran yang dilakukan diketahui bahwa kadar etanol yang dihasilkan dari cairan fermentasi konsentrasi gula pada konsentrasi 0%, 5%, 15%, 25%, dan 35% dengan lama pengamatan setiap hari I, hari II, hari III, hari IV, hari V, hari VI dan dilakukan sebnyak 3 kali pengulangan yaitu rata – rata 0 %.

4.4 Jumlah Nyamuk yang Terperangkap Menggunakan Cairan Fermentasi Konsentrasi Gula

Penelitian mengenai efektivitas fermentasi gula sebagai atraktan nyamuk menggunakan sampel nyamuk sebanyak 4500 ekor nyamuk dewasa. Setiap perlakuan diberi masing – masing 300 ekor nyamuk dengan perlakuan fermentasi konsentrasi gula 0%, 5%, 15%, 25%, dan 35%. Perlakuan dilakukan dalam kandang yang berukuran 100 x 100 x 100 cm dengan pengulangan sebanyak tiga kali, dan pengamatan dilakukan setiap hari ke I, hari ke II, hari ke III, hari ke IV, hari ke V, dan hari ke VI. Hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:


(62)

Tabel 4.4 Hasil Pengamatan Jumlah Nyamuk yang Terperangkap Pada Perlakuan Fermentasi konsentrasi gula 0%, 5%, 15%, 25%, dan 35% dengan Lama Pengamatan Hari I, Hari II, Hari III, Hari IV, Hari V, dan Hari VI.

Perlakuan Pada Kosentrasi Fermentasi Gula Waktu Pengamatan

n Jumlah

Nyamuk yang Terperangkap Dengan Atraktan Fermentasi Gula

Rata – Rata Jumlah Nyamuk Yang Terperangkap Persentasi jumlah nyamuk yang terperangkap dengan atraktan fermentasi gula (%) I II III

0% Hari ke I 1 2 1 1 0,3

Hari ke II 9 4 7 7 2,3 Hari ke III 15 10 13 13 4,3

Hari ke IV 12 5 10 9 3

Hari ke V 11 7 10 9 3

Hari ke VI 9 8 9 9 3

Total 300 57 86 50 48 16

5% Hari ke I 15 2 11 9 3

Hari ke II 43 12 33 29 9,7 Hari ke III 22 10 18 17 5,7 Hari ke IV 24 14 21 20 6,7

Hari ke V 26 10 21 19 6,3

Hari ke VI 2 8 4 5 1,7

Total 300 132 56 108 99 33

15% Hari ke I 1 42 28 24 8

Hari ke II 3 70 48 40 13,3 Hari ke III 7 10 9 9 3 Hari ke IV 5 6 6 6 2 Hari ke V 4 11 9 8 2,7 Hari ke VI 13 19 17 16 5,3 Total 300 33 158 117 103 34,3

25% Hari ke I 24 2 9 12 4

Hari ke II 11 11 11 11 3,7 Hari ke III 2 11 8 7 2,3 Hari ke IV 0 4 3 2 0,7 Hari ke V 0 5 3 3 1 Hari ke VI 0 2 1 1 0,3


(63)

35% Hari ke I 8 3 6 6 2 Hari ke II 17 2 12 10 3,3 Hari ke III 45 5 32 27 9

Hari ke IV 122 24 89 78 26

Hari ke V 38 18 31 29 9,7 Hari ke VI 37 17 30 28 9,3 Total 300 267 59 210 179 59,7

Berdasarkan Tabel 4.4 diatas diketahui bahwa total rata - rata persentase jumlah nyamuk yang terperangkap ke dalam atraktan fermentasi konsentrasi gula pada konsentrasi 0% yaitu 16%, konsentrasi 5% yaitu 33%, konsentrasi 15% yaitu 34,3%, konsentrasi 25% yaitu 12%, sedangkan fermentasi konsentrasi gula pada konsentrasi 35% rata – rata jumlah nyamuk yang terperangkap yaitu sebanyak 59,7%. Maka total jumlah rata-rata tertinggi nyamuk yang terperangkap pada atraktan fermentasi konsentrasi gula terdapat pada konsentrasi 35% yaitu sebesar 59,7%. Terhadap jumlah nyamuk yang terperangkap pada kontrol tidak perlu dilakukan koreksi menggunakan rumus Abbot, karena tidak ditemukan jumlah nyamuk yang terperangkap lebih dari 5%.

Tabel 4.5 Hasil Rata – Rata Jumlah Nyamuk yang Terperangkap pada Perlakuan Fermentasi konsentrasi gula 0%, 5%, 15%, 25%, dan 35%

Perlakuan Pada Fermentasi konsentrasi

gula

n Rata – Rata Jumlah Nyamuk yang Terperangkap Persentase Jumlah Nyamuk yang Terperangkap (%)

0% 300 48 16

5% 300 99 33

15% 300 16 34,3

25% 300 36 12


(64)

Dari Tabel 4.5 merupakan nilai rata-rata jumlah nyamuk yang terperangkap pada masing-masing perlakuan konsentrasi 0%, konsentrasi 5%, konsentrasi 15%, konsentrasi 25%, dan konsentrasi 35%, selama 6 hari dan dilakukan 3 kali pengulangan dengan jumlah sampel sebanyak 300 ekor nyamuk. Nilai rata – rata tertinggi jumlah nyamuk yang terperangkap berdasarkan

fermentasi konsentrasi gula terdapat pada konsentrasi 35% yaitu 59,7%.

Tabel 4.6 Hasil Rata – Rata Jumlah Nyamuk yang Terperangkap Pada Fermentasi konsentrasi gula 0%, 5%, 15%, 25%, Dan 35% Terhadap Lama Pengamatan Hari I, Hari II, Hari III, Hari IV, Hari V, dan Hari VI

KonsentrasiFermentasi Gula

Lama Pengamatan n Rata – Rata

Jumlah Nyamuk yang Terperagkp

0% Hari I 3 1.33

Hari II 3 6.66

Hari III 3 12.66

Hari IV 3 9.00

Hari V 3 9.33

Hari VI 3 8.66

5% Hari I 3 9.33

Hari II 3 29.33

Hari III 3 16.66

Hari IV 3 19.66

Hari V 3 19.00

Hari VI 3 4.66

15% Hari I 3 23.66

Hari II 3 40.33

Hari III 3 8.66

Hari IV 3 5.66

Hari V 3 8.00

Hari VI 3 16.33

25% Hari I 3 11.66

Hari II 3 11.00

Hari III 3 7.00

Hari IV 3 2.33

Hari V 3 2.66


(65)

35% Hari I 3 5.66

Hari II 3 10.33

Hari III 3 27.33

Hari IV 3 78.33

Hari V 3 29.00

Hari VI 3 28.00

Dari Tabel 4.6 dapat diketahui bahwa jumlah rata – rata maksimum nyamuk yang terperangkap pada perlakuan fermentasi konsentrasi gula 0%, fermentasi konsentrasi gula 5%, fermentasi konsetrasi gula 15%, fermentasi kosentrasi gula 25%, dan fermentasi konsentrasi gula 35% dengan lama pengamatan selama hari I, hari II, hari III, hari IV, hari V, dan hari VI dengan tiga kali pengulangan. Pada konsentrasi 0% terdapat pada hari III yaitu 12.66 dan nilai minimum terdapat pada hari I yaitu 1.33, konsentrasi 5% nilai maksimum terdapat pada hari II yaitu 29.33 dan nilai minimum terdapat pada hari VI yaitu 4.66, konsentrasi15% nilai maksimum terdapat pada hari II yaitu 40.33 dan nilai minimum terdapat pada hari IV yaitu 5.66, konsentrasi 25% nilai maksimum terdapat pada hari I yaitu 11.66 dan nilai minimum terdapat pada hari VI yaitu 1.00, dan untuk konsentrasi35% nilai maksimum rata – rata jumlah nyamuk yang terperangkap terdapat pada hari IV yaitu 78,33 sedangkan nilai minimumya terdapat pada hari I yaitu 5.66.


(66)

Tabel 4.7 Hasil Uji Normalitas Jumlah Nyamuk yang Terperangkap pada Perlakuan Fermentasi Konsentrasi Gula 0%, 5%, 15%, 25%, dan 35%

Perlakuan pada konsentrasifermentasi gula

P Distribusi

0% .200 TN

5% .200 TN

15% .003 N

25% .108 TN

35% .014 N

Dari Tabel 4.7 diatas dapat diketahui bahwa terdapat dua data yang tidak berdistribusi normal yaitu pada perlakuan fermentasi konsentrasi gula 15% dan 35% karena nilai P < 0.05 maka pengujian dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis.

Tabel 4.8 Hasil Uji Normalitas Jumlah Nyamuk yang Terperangkap dengan Lama Pengamatan Hari I, Hari II, Hari III, Hari IV, Hari V, dan Hari VI

Lama Pengamatan P Distribusi

Hari I .046 TN

Hari II .000 TN

Hari III .046 TN

Hari IV .000 TN

Hari V .007 TN

Hari VI .109 N

Dari Tabel 4.8 diatas dapat diketahui bahwa jumlah nyamuk yang terperangkap berdasarkan lama pengamatan tidak berdistribusi normal karena terdapat nilai P < 0.05 yaitu terdapat pada lama pengamatan hari I, hari II, hari III, hari IV, dan hari V, maka pengujian dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis.


(1)

Gambar 5. Larutan Gula


(2)

(3)

(4)

Lampiran 5. Output SPSS

1. kosentrasi fermentasi gula

Dependent Variable:jumlah nyamuk yang terperangkap

kosentrasi fermentasi gula Mean Std. Error

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

0% 7.944 3.169 1.605 14.284

5% 16.444 3.169 10.105 22.784

15% 17.111 3.169 10.772 23.450

25% 5.944 3.169 -.395 12.284

35% 29.778 3.169 23.439 36.117

2. lama pengamatan

Dependent Variable:jumlah nyamuk yang terperangkap

lama pengamatan Mean Std. Error

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound hari ke 1 10.333 3.472 3.389 17.278 hari ke 2 19.533 3.472 12.589 26.478 hari ke 3 14.467 3.472 7.522 21.411 hari ke 4 23.000 3.472 16.056 29.944 hari ke 5 13.600 3.472 6.656 20.544 hari ke 6 11.733 3.472 4.789 18.678

3. kosentrasi fermentasi gula * lama pengamatan

Dependent Variable:jumlah nyamuk yang terperangkap

kosentrasi fermentasi gula

lama

pengamatan Mean Std. Error

95% Confidence Interval

Lower Bound

Upper Bound 0% hari ke 1 1.333 7.763 -14.194 16.861

hari ke 2 6.667 7.763 -8.861 22.194 hari ke 3 12.667 7.763 -2.861 28.194 hari ke 4 9.000 7.763 -6.528 24.528 hari ke 5 9.333 7.763 -6.194 24.861 hari ke 6 8.667 7.763 -6.861 24.194 5% hari ke 1 9.333 7.763 -6.194 24.861 hari ke 2 29.333 7.763 13.806 44.861 hari ke 3 16.667 7.763 1.139 32.194 hari ke 4 19.667 7.763 4.139 35.194 hari ke 5 19.000 7.763 3.472 34.528 hari ke 6 4.667 7.763 -10.861 20.194 15% hari ke 1 23.667 7.763 8.139 39.194 hari ke 2 40.333 7.763 24.806 55.861 hari ke 3 8.667 7.763 -6.861 24.194 hari ke 4 5.667 7.763 -9.861 21.194 hari ke 5 8.000 7.763 -7.528 23.528 hari ke 6 16.333 7.763 .806 31.861 25% hari ke 1 11.667 7.763 -3.861 27.194 hari ke 2 11.000 7.763 -4.528 26.528


(5)

hari ke 5 29.000 7.763 13.472 44.528 hari ke 6 28.000 7.763 12.472 43.528

Tests of Normality konsentrasi

konsentrasi gula

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. jumlah nyamuk

terperangkap

0% .159 18 .200* .951 18 .436 5% .109 18 .200* .946 18 .365 15% .254 18 .003 .760 18 .000 25% .184 18 .108 .827 18 .004 35% .229 18 .014 .771 18 .001 a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Tests of Normality Lama Pengamatan

lama pengamatan

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig.

jumlah nyamuk yang terperangkap

hari ke 1 .222 15 .046 .782 15 .002 hari ke 2 .314 15 .000 .783 15 .002 hari ke 3 .222 15 .046 .814 15 .006 hari ke 4 .355 15 .000 .622 15 .000 hari ke 5 .260 15 .007 .899 15 .093 hari ke 6 .200 15 .109 .885 15 .057 a. Lilliefors Significance Correction

Kruskal-Wallis Test Kosentrasi Gula

Ranks

konsentrasi gula N Mean Rank jumlah nyamuk

terperangkap

0% 18 36.08

5% 18 55.39

15% 18 47.78

25% 18 26.58

35% 18 61.67

Total 90

Test Statisticsa,b

jumlah nyamuk terperangkap Chi-Square 21.431

Df 4

Asymp. Sig. .000 a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: konsentrasi gula


(6)

Kruskal-Wallis Test Lama Pengamatan

Ranks

lama pengamatan N Mean Rank

jumlah nyamuk yang terperangkap

hari ke 1 15 34.50 hari ke 2 15 52.97 hari ke 3 15 50.43 hari ke 4 15 47.00 hari ke 5 15 47.00 hari ke 6 15 41.10

Total 90

Test Statisticsa,b

jumlah nyamuk yang terperangkap Chi-Square 4.955

Df 5

Asymp. Sig. .421 a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: lama pengamatan

Post Hoc Tests

jumlah nyamuk terperangkap

konsentrasi gula N

Subset for alpha = 0.05

1 2

Duncana 25% 18 5.94

0% 18 7.94

5% 18 16.44

15% 18 17.11

35% 18 29.78

Sig. .078 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 18.000.

jumlah nyamuk yang terperangkap

lama pengamatan N

Subset

1 2

Duncana,,b hari ke 1 15 10.33 hari ke 6 15 11.73

hari ke 5 15 13.60 13.60 hari ke 3 15 14.47 14.47 hari ke 2 15 19.53 19.53

hari ke 4 15 23.00