Penetapan Kadar Sukrosa Dalam Kembang Gula Dengan Metode Titrimetri

(1)

PENETAPAN KADAR SUKROSA DALAM KEMBANG GULA

DENGAN METODE TITRIMETRI

TUGAS AKHIR

OLEH:

INTAN WULANDARI DAMANIK

NIM 122410015

PROGRAM STUDI DIPLOMA III

ANALIS FARMASI DAN MAKANAN

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENETAPAN KADAR SUKROSA DALAM KEMBANG GULA

DENGAN METODE TITRIMETRI

TUGAS AKHIR

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Ahli Madya Pada Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan

Fakultas FarmasiUniversitas Sumatera Utara

OLEH:

INTAN WULANDARI DAMANIK NIM 122410015

PROGRAM STUDI DIPLOMA III

ANALIS FARMASI DAN MAKANAN

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

PENETAPAN KADAR SUKROSA DALAM KEMBANG GULA

DENGAN METODE TITRIMETRI

TUGAS AKHIR

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Ahli Madya Pada Program Diploma III Analis Farmasi dan Makanan

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Oleh:

INTAN WULANDARI DAMANIK NIM 122410015

Medan, 2015 Disetujui Oleh: Dosen Pembimbing,

Sri Yuliasmi, S.Farm., M.Si., Apt. NIP 198207032008122002

Disahkan Oleh: a.n. Dekan, Wakil dekan I,

Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt. NIP 195807101986012001


(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji dan syukur kehadirat Allah SWT., yang telah memberi rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan yang diakhiri dengan penulisan tugas akhir dengan judul Penetapan Kadar Sukrosa dalam Kembang gula dengan Metode Titrimetri.

Penulisan tugas akhir ini merupakan salah satu persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Tugas akhir ini disusun berdasarkan apa yang penulis lakukan pada Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di Medan.

Selama menyusun tugas akhir ini, penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi USU.

2. Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt., selaku Ketua Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi USU.

3. Ibu Sri Yuliasmi, S.Farm, M.Si, Apt., selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan tugas akhir.

4. Bapak Drs. I Gede Nyoman Suandi, M.M., Apt., selaku Kepala Balai Besar POM (BPOM) di Medan.


(5)

5. Ibu Lambok Okta SR, S.Si., M.Kes., Apt., selaku Manajer Mutu di Balai Besar POM (BPOM) di Medan, yang memberikan izin tempat pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan.

6. Ibu Lucy Rahmadesi, S.Farm., Apt., selaku Koordinator Pembimbing Praktek Kerja Lapangan (PKL) beserta seluruh staf laboratorium Balai Besar POM (BBPOM) di Medan.

7. Bapak dan Ibu dosen beserta seluruh staf Fakultas Farmasi USU. 8. Ayahanda dan Ibunda, kedua adik penulis serta seluruh keluarga yang

telah memberikan doa restu, motivasi dan dorongan baik moril maupun materil sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan.

9. Teman-teman mahasiswa dan mahasiswi Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan angkatan 2012, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari kekurangan. Sangat diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun kesempurnaan tulisan ini. Akhirnya penulis berharap semoga tugas akhir ini bermanfaat bagi kita semua dan semoga Allah SWT memberikan rahmat dan berkah-Nya atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Amin.

Medan, Mei 2015 Penulis,

Intan Wulandari Damanik NIM 122410015


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Kembang gula ... 3

2.1.1 Penggolongan kembang gula ... 3

2.2 Sukrosa ... 5

2.3 Titrimetri ... 9

2.3.1 Penggolongan Titrimetri ... 12

2.3.2 Iodometri ... 14

BAB III METODE PENGUJIAN ... 17

3.1 Tempat Pengujian ... 17

3.2 Alat ... 17


(7)

3.4 Sampel ... 18

3.5 Prosedur ... 18

3.5.1 Pembakuan Natrium Tiosulfat ... 18

3.5.2 Gula sebelum inversi ... 18

3.5.3 Gula sesudah inversi ... 19

3.6 Interpretasi Hasil ... 20

3.7 Persyaratan ... 21

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

4.1 Hasil ... 22

4.2 Pembahasan ... 22

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 24

5.1 Kesimpulan ... 24

5.2 Saran ... 24

DAFTAR PUSTAKA ... 25


(8)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Tabel Ekivalen Natrium Tiosulfat ... 27


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Keterangan Sampel ... 26 Lampiran 2. Data dan Perhitungan ... 27 Lampiran 3. Gambar Alat, Pereaksi dan Sampel ... 30


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sukrosa merupakan senyawa kimia yang termasuk kedalam golongan karbohidrat. Sukrosa adalah disakarida yang apabila dihidrolisis berubah menjadi dua molekul monosakarida yaitu glukosa dan fruktosa. Sukrosa memiliki peranan penting dalam teknologi pangan karena fungsinya yang beraneka ragam. Sukrosa dengan kemurniaan yang tinggi dan kadar abu yang rendah baik untuk kembang gula (Anonimous, 2010).

Kembang gula atau permen merupakan salah satu makanan selingan berbentuk padat, dengan rasa manis, yang sifatnya mudah larut dalam air, serta mempunyai warna dan aroma yang menarik. Kembang gula pada dasarnya adalah campuran dari gula atau gula invert, air, rasa dan pewarna. Selain berbahan dasar gula, komponen rasa, juga sangat penting dalam pembuatan permen. Rasa yang digunakan untuk bahan pangan dapat berupa rasa alami atau sintetik, namun seiring dengan banyaknya indikasi yang menunjukkan bahwa secara umum bahan sintetik dapat membahayakan bagi kesehatan (Faridah, 2008).

Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, sukrosa dapat menyebabkan kerusakan gigi karena bahan bakar bakteri yang menghasilkan plak yang menyebabkan gigi berlubang. Mengonsumsi sukrosa dan makanan manis


(11)

lainnya dapat meningkatkan risiko gigi berlubang dan masalah gigi lainnya. Selain itu, sukrosa dan gula lain sering ditambahkan ke dalam makanan olahan untuk meningkatkan rasa, meningkatkan kalori tetapi bukan zat gizi yang sebenarnya. Hal ini dapat menyebabkan penambahan berat badan (Winarno, 1992).

Penetapan kadar sukrosa dapat dilakukan dengan metode titrimetri dan polarimetris. Pengukuran kadar gula (sukrosa) secara polarimetris cukup sulit, menggunakan alat yang disebut polarimeter. Titrimetri merupakan proses yang sederhana, pelaksanaannya mudah dan murah. Kadar sukrosa dalam gula murni dapat ditentukan dengan cara polarimetris dan cara titrasi, karena kadar sukrosa yang dihasilkan dengan kedua cara tersebut tidak berbeda.

Berdasarkan hal tersebut diatas maka penulis tertarik untuk menguji kadar sukrosa dalam kembang gula. Adapun pengujian dilakukan selama penulis melakukan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di Medan. Analisis penetapan kadar sukrosa dalam kembang gula dilakukan dengan metode titrimetri.

1.2 Tujuan

Untuk mengetahui apakah kadar sukrosa yang terdapat dalam kembang gula memenuhi persyaratan kadar sukrosa yang telah ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 3547.1:2008.

1.3 Manfaat

Manfaat yang diperoleh dari penetapan kadar sukrosa dalam kembang gula adalah agar dapat mengetahui produk pangan yang beredar di pasaran memenuhi


(12)

persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) sehingga produk tersebut layak untuk dikonsumsi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kembang Gula

Kembang gula atau permen merupakan salah satu makanan selingan berbentuk padat, dengan rasa manis, yang sifatnya mudah larut dalam air, serta mempunyai warna dan aroma yang menarik. Kembang gula adalah jenis makanan selingan berbentuk padat dibuat dari gula, glukosa atau pemanis lain atau dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diijinkan (SNI, 2008).

Kembang gula terbagi atas dua bagian yaitu kembang gula bagian keras dan kembang gula bagian lunak. Kembang gula bagian lunak terdiri dari kembang gula lunak jelly dan kembang gula lunak bukan jelly.

2.1.1 Penggolongan Kembang Gula

Menurut SNI (2008) kembang gula digolongkan menjadi dua bagian yaitu: 1. Kembang gula keras adalah jenis makanan selingan berbentuk padat, dibuat

dari gula atau campuran gula dengan pemanis lain, dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan (BTP) yang diijinkan, bertekstur keras, tidak menjadi lunak jika dikunyah.

2. Kembang gula lunak adalah jenis makanan selingan berbentuk padat, dibuat dari gula atau campuran gula dengan pemanis lain, dengan atau tanpa


(13)

penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan (BTP) yang diijinkan, bertekstur relatif lunak atau menjadi lunak jika dikunyah.

Kembang gula lunak tergolong menjadi dua bagian yaitu: a. Kembang gula lunak bukan jelly

Kembang gula lunak bukan jelly adalah kembang gula bertekstur lunak, yang diproses sedemikian rupa dan biasanya dicampur dengan lemak, gelatin, emulsifier dan lain-lain sehingga dihasilkan produk yang cukup keras untuk dibentuk namun cukup lunak untuk dikunyah dalam mulut sehingga setelah adonan masak dapat langsung dibentuk dan dikemas dengan atau tanpa perlakuan aging.

b. Kembang gula lunak jelly

Kembang gula lunak jelly adalah kembang gula bertekstur lunak, yang diproses dengan penambahan komponen hidrokoloid seperti agar, gum, pektin, pati, keragenan, gelatin dan lain-lain yang digunakan untuk modifikasi tekstur sehingga menghasilkan produk yang kenyal, harus dicetak dan diproses aging terlebih dahulu sebelum dikemas. Aging adalah penyimpanan produk dalam kondisi dan waktu tertentu untuk mencapai karakter produk yang diinginkan.

Penggunaan sukrosa dalam pembuatan hard candy umumnya sebanyak 50-70% dari berat total. Hasil penelitian Wahyuni (1998) menunjukkan bahwa peningkatan kadar sukrosa akan meningkatkan kekentalannya. Untuk pembuatan hard candy dapat digunakan sukrosa dalam bentuk granular atau gula cair. Agar dihasilkan permen dengan kejernihan yang baik atau penampakan mirip air,


(14)

dibutuhkan gula dengan tingkat kemurnian yang tinggi dan rendah kandungan abunya (Anonymous, 2010).

2.2 Sukrosa

Sukrosa merupakan senyawa kimia yang termasuk kedalam golongan karbohidrat. Sukrosa adalah disakarida yang apabila dihidrolisis berubah menjadi dua molekul monosakarida yaitu glukosa dan fruktosa. Sukrosa memiliki peranan penting dalam teknologi pangan karena fungsinya yang beraneka ragam. Sukrosa dengan kemurniaan yang tinggi dan kadar abu yang rendah baik untuk kembang gula keras (Anonimous, 2010).

Karbohidrat memegang peranan penting dalam alam karena merupakan sumber energi utama bagi manusia yang harganya relatif murah dan mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan misalnya rasa, warna, tekstur.Semua karbohidrat berasal dari tumbuh-tumbuhan. Melalui proses fotosintesis, klorofil tanaman dengan bantuan sinar matahari mampu membentuk karbohidrat dari karbon dioksida (CO2) berasal dari udara dan air (H2O) dari tanah. Karbohidrat yang dihasilkan adalah karbohidrat sederhana glukosa (Almatsier, 1998).

Semua jenis karbohidrat terdiri atas unsur-unsur karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (0). Perbandingan antara hidrogen dan oksigen pada umumnya adalah 2 : 1 seperti halnya dalam air, oleh karena itu diberi nama karbohidrat. Dalam bentuk sederhana, formula uum karbohidrat adalah CnH2nOn. (Almatsier, 1998).

Pada umumnya karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu monosakarida, disakarida, dan polisakarida. Molekul karbohidrat paling


(15)

sederhana yang tidak terikat pada karbohidrat lain dinamakan gula sederhana atau monosakarida. Disakarida adalah senyawa yang terdiri dari dua monosakarida terikat, sedangkan polisakarida adalah rantai panjang yang tersusun dari banyak monosakarida (Anthony, 1992).

Sukrosa atau sakarosa dinamakan juga gula tebu atau gula bit. Secara komersial gula pasir yang 99% terdiri atas sukrosa dibuat dari kedua macam bahan makanan tersebut melalui proses penyulingan dan kristalisasi. Sukrosa juga terdapat di dalam buah, sayuran dan madu. Bila dicernakan atau dihirolisis, sukrosa pecah menjadi satu unit glukosa dan satu unit fruktosa. Pada pembuatan sirup sebagian sukrosa (gula pasir) akan terurai menjadi glukosa dan fruktosa, yang disebut gula invert. Sukrosa tidak memiliki sifat-sifat mereduksi, karena itu untuk menentukan kadar sukrosa harus dilakukan inversi terlebih dahulu menjadi glukosa dan fruktosa. Gula invert secara alami terdapat di dalam madu dan rasanya lebih manis daripada sukrosa (Almatsier, 1998).

Sifat-sifat sukrosa yaitu:

− Kenampakan dan kelarutan, semua gula berwarna putih, membentuk kristal yang larut dalam air.

− Rasa manis, semua gula berasa manis, tetapi rasa manisnya tidak sama. − Hidrolisis, disakarida mengalami proses hidrolisis menghasilkan

monosakarida. Hidrolisis sukrosa juga dikenal sebagai inversi sukrosa dan hasilnya berupa campuran glukosa dan fruktosa disebut “gula invert”. Inversi dapat dilakukan baik dengan memanaskan sukrosa bersama asam atau dengan menambahkan enzim invertase.


(16)

− Pengaruh panas, jika dipanaskan gula akan mengalami karamelisasi.

− Sifat mereduksi, semua monosakarida dan disakarida kecuali sukrosa berperan sebagai agensia pereduksi dan karenya dikenal sebagai gula reduksi (Gaman dan Sherrington, 1994)

Sukrosa adalah disakarida (mempunyai dua monosakarida) yairu glukosa dan fruktosa. Ia mempunyai rumus empiris: C12H22O11. Proses pemecahannya disebut Hidrolisis (penguraian oleh air). Hidrolisis sukrosa oleh asam atau enzim menghasilkan gula invert, yaitu campuran glukosa dan fruktosa dalam jumlah mol yang sama. Reaksi hidrolisis sukrosa adalah

C12H22O11 + H2O C6H12O6 + C6H12O6 Sukrosa Glukosa Fruktosa

Glukosa merupakan monosakarida yang terpenting kadang-kadang disebut gula darah (karena dijumpai dalam darah), gula anggur (karena dijumpai dalam buah anggur), atau deksteosa (karena memutar bidang polarisasi ke kanan). Binatang menyusui (mamalia) dapat mengubah sukrosa, laktosa (gula susu), malsa, dan pati menjadi glukosa, yang kemudian dapat digunakan sebagai energi oleh organisme itu, atau disimpan sebagai glikogen (suatu polisakarida). Bila organisme itu memerlukan energi, glikogen diubah lagi menjadi glukosa. Karbohidrat yang berlebh dapat diubah menjadi lemak; oleh karena itu orang bisa gemuk meskipun tidak memakan lemak. Karbohidrat dapat juga diubah menjadi steroid (seperti kolesterol) dan secara terbatas menjadi protein (untuk sintesis protein diperlukan juga sumber nitrogen). Sebaliknya, suatu organisme dapat mengubah lemak dan protein menjadi karbohidrat (Fessenden, 1986).


(17)

Fruktosa merupakan gula yang termanis dari semua gula yang dikenal dengan nama levulosa. Sumber fruktosa merupakan hasil hidrolisa dari gula sukrosa. Fruktosa mempunyai rumus kimia yang sama dengan glukosa, C6H12O6, namun strukturnya berbeda. Susunan atom dalam fruktosa merangsang jonjot kecapan pada lidah sehingga menimbulkan rasa manis. Gula ini terutama terdapat dalam madu bersama glukosa, dalam buah, nektar bunga, dan juga di dalam sayur. Sepertiga dari gula madu terdiri atas fruktosa. Fruktosa dapat diolah dari pati dan digunakan secara komersial sebagai pemanis. Di dalam tubuh, fruktosa merupakan hasil pencernaan sukrosa (Almatsier, 1998).

Prinsip menurut SNI 2008, sukrosa dihidrolisis menjadi gula reduksi. Jumlah gula reduksi ditentukan dengan cara seperti pada penetapan kadar gula reduksi. Hasil kali faktor kimia dengan selisih kadar gula sesudah dan sebelum inversi menunjukkan kadar sukrosa. Gula reduksi seperti glukosa, fruktosa, maltosa dan laktosa akan mereduksi larutan Luff Schoorl menjadi CuO2. Jumlah larutan gula yang mereduksi larutan Luff Schoorl ditentukan dengan cara titrasi dengan larutan natrium tiosulfat (SNI, 2008).

Menurut SNI 01-2892-1992, cara uji gula ada dua metode yaitu metode Luff Schoorl dan metode Lane Eynon. Pada penetapan sukrosa dalam kembang gula ini menggunakan metode Luff Schoorl, karena sangat menguntungkan dalam menganalisa gula yang termasuk sukrosa yang merupakan rasa manis dasar sukrosa adalah disakarida, yang apabila direduksi akan menghasilkan monosakarida yang bersifat pereduksi. Monosakarida tersebut akan mereduksikan CuO dalam larutan Luff menjadi Cu2O. Kelebihan CuO akan direduksikan dengan


(18)

KI berlebih, sehingga dilepaskan I2. I2 yang dibebaskan tersebut dititrasi dengan larutan Na2S2O3. (SNI, 1992).

Sukrosa memiliki fungsi positif dan negatif bagi tubuh. Adapun fungsi positif sukrosa bagi tubuh, tubuh menggunakan sukrosa sebagai bahan bakar untuk energi, seperti pengguna yang lain, karbohidrat yang lebih kompleks. Selama pencernaan, tubuh memecah karbohidrat seperti pati, serat dan sukrosa menjadi glukosa molekul gula. Ketika glukosa memasuki usus, itu diserap ke dalam aliran darah dan kemudian dibawa ke dalam sel tubuh, di mana ia diubah menjadi energi. Sukrosa alami, seperti yang ditemukan dalam buah, belum tentu buruk (Winarno, 1992).

Sedangkan fungsi negatif sukrosa bagi tubuh menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, sukrosa dapat menyebabkan kerusakan gigi karena bahan bakar bakteri yang menghasilkan plak yang menyebabkan gigi berlubang. Mengonsumsi sukrosa dan makanan manis lainnya dapat meningkatkan risiko gigi berlubang dan masalah gigi lainnya. Selain itu, sukrosa dan gula lain sering ditambahkan ke dalam makanan olahan untuk meningkatkan rasa, meningkatkan kalori tetapi bukan zat gizi yang sebenarnya. Hal ini dapat menyebabkan penambahan berat badan (Winarno, 1992).

2.3 Titrimetri

Titrimetri atau analisis volumetri yakni pemeriksaan jumlah zat yang didasarkan pada pengukuran volume larutan pereaksi yang dibutuhkan untuk bereaksi secara stoikiometri dengan zat yang ditentukan. Suatu cara pemeriksaan jumlah zat kimia yang luas pemakaiannya. Hal ini disebabkan karena beberapa


(19)

alasan. Pada satu segi, cara ini menguntungkan karena pelaksanaannya mudah, murah dan cepat, ketelitian dan ketepatannya cukup tinggi. Pada segi lain, cara ini menguntungkan karena dapat digunakan untuk menentukan kadar berbagai zat yang mempunyai sifat yang bebeda-beda (Rivai, 1995).

Analisis dengan metode titrimetri didasarkan pada reaksi kimia seperti: aA + tT produk

Dimana a molekul analit A, bereaksi dengan t molekul pereaksi T. Pereaksi T yang disebut titran, ditambahkan secara kontinu, biasanya melalui sebuah buret dalam wujud larutan yang diketahui konsentrasinya secara pasti yang disebut larutan standar yang ditetapkan dengan suatu metode yang disebut standardisasi. Penambahan titran tetap dilakukan hingga jumlah T secara kimiawi sama dengan jumlah A. Selanjutnya akan dikatakan titik ekivalen dari titrasi telah tercapai. Agar diketahui kapan harus berhenti menambahkan titran, kimiawan dapat menggunakan bahan kimia, yaitu indikator, yang dapat bereaksi dengan titran yang berlebih dengan melakukan perubahan warna. Perubahan warna ini bisa saja terjadi persis pada titik ekivalen tetapi bisa juga tidak. Titik dalam titrasi dimana indikator berubah warnanya disebut titik akhir. Tentu saja diharapkan, bahwa titik akhir ini sedekat mungkin dengan titik ekivalen. Pemilihan indikator untuk membuat kedua titik sama adalah suatu aspek yang penting dalam analisis titrimetri (Day & Underwood, 2002).

Day dan Underwood (2002) menjelaskan bahwa suatu reaksi harus memenuhi kondisi berikut agar dapat digunakan dalam analisis titrimetri :


(20)

1. Harus terdapat suatu reaksi yang sederhana yang dapat dinyatakan dengan suatu persamaan kimia, zat yang ditetapkan harus bereaksi lengkap dengan reagensia dalam proporsi yang stoikiometrik dan ekivalen.

2. Reaksi harus praktis berjalan sekejap atau berjalan dengan sangat cepat sekali (kebanyakan reaksi ionik memenuhi kondisi ini). Dalam beberapa keadaan, penambahan suatu katalis akan menaikkan kecepatan reaksi itu.

3. Harus ada perubahan yang mencolok dalam energi bebas, yang menimbulkan perubahan dalam beberapa sifat fisika atau kimia larutan pada titik ekivalen.

Selesainya titrasi harus dapat diamati dengan suatu perubahan yang dapat dilihat jelas. Ini dapat dilihat dengan beubahnya warna atau dengan terbentuknya endapan (kekeruhan). Perubahan ini dapat diamati karena larutan bakunya sendiri atau dengan bantuan larutan (zat lain) yang disebut indikator. Saat terjadinya perubahan yang terlihat menandakan titrasi harus diakhiri disebut titik akhir titrasi yang menyatakan volume larutan baku yang terpakai dari buret sekian mililiter (Rohman, 2007).

Suatu titrasi yang ideal adalah jika titik akhir titrasi sama dengan titik ekivalen teoritis. Titik akhir titrasi adalah titik dalam suatu titrasi dimana suatu indikator berubah warna. Titik ekivalen adalah titik dalam suatu titrasi dimana jumlah ekivalen titrasi sama dengan jumlah ekivalen analit. Dalam kenyataannya selalu ada perbedaan kecil. Beda ini disebut dengan kesalahan titrasi yang dinyatakan dengan mililiter larutan baku. Oleh karena itu, pemilihan indikaor harus dilakukan sedemikian rupa agar kesalahan ini sekecil-kecilnya (Rohman, 2007).


(21)

2.3.1 Penggolongan Titrimetri

Pemeriksaan kimia secara titrimetri dapat digolongkan dengan berbagai cara, tergantung pada jenis interaksi kimia yang terjadi, cara melakukan titrasi dan jumlah cuplikan yang digunakan dalam pemeriksaan. Berikut ini adalah uraian mengenai penggolongan cara titrimetri.

Penggolongan titrimetri berdasarkan reaksi kimia. Reaksi kimia yang dapat terjadi antara pentiter dan zat yang ditentukan dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu: reaksi asam-basa, reaksi pembentukan-kompleks, reaksi pengendapan dan reaksi oksidasi-reduksi.berdasarkan itu, cara titrimetri juga terdiri atas empat jenis :

1. Titrasi asam-basa didasarkan pada reaksi perpindahan proton antarsenyawa yang mempunyai sifat-sifat asam-basa (protolisis). Dengan cara titrasi asam-basa, berbagai senyawa organik dapat ditentukan dengan mudah. Penentuan senyawa-senyawa tersebut biasanya dilakukan dalam larutan berair, tetapi pelarut nirair dapat juga digunakan, terutama untuk analisis senyawa-senyawa organik. Untuk titrasi basa, digunakan larutan baku asam kuat, misalnya HCl, H2SO4, HClO4. Sedangkan, asam dititrasi dengan larutan baku basa kuat, misalnya NaOH, KOH, tetra-alkilamonium hidroksida. Titik akhir titrasi ditetapkan dengan bantuan indikator asam-basa yang sesuai, atau secara potensiometri.

2. Titrasi kompleksometri didasarkan pada reaksi zat-zat pengompleks organik tertentu dengan ion-ion logam, menghasilkan senyawa kompleks yang mantap. Zat pengompleks yang sering digunakan adalah asam


(22)

etilendiaminatetra-asetat (EDTA), yang membentuk senyawa kompleks yang mantap dengan beberapa ion logam. Titik akhir titrasi ditetapkan dengan indikator logam atau secara potensiometri dan spektrofotometri. 3. Titrasi pengendapan didasarkan pada reaksi pembentukan endapan yang

sukar larut. Misalnya, ion-ion halida (kecuali fluorida) sering ditentukan dengan cara titrasi dengan larutan perak nitrat. Titik akhir titrasi ditentukan dengan bantuan indikator khusus atau secara potensiometri.

4. Titrasi oksidasi-reduksi didasarkan pada proses perpindahan elektron antara zat pengoksidasi dititrasi dengan larutan baku zat pereduksi kuat, misalnya Na2S2O3, TiCl3, asam aksorbat. Sebaliknya zat pereduksi dititrasi dengan larutan baku zat pengoksidasi kuat, misalnya KmnO4, KbrO3, K2Cr2O7. Titik akhir titrasi ditentukan dengan indikator oksidasi-reduksi yang sesuai secara potensiometri. Sedangkan pada titrasi iodometri (salah satu metode oksidasi-reduksi) digunakan larutan kanji sebagai indikator khusus (Rivai, 1995).

Penggolongan titrimetri berdasarkan cara titrasi yaitu: 1. Titrasi Langsung

Titrasi langsung dilakukan dengan cara menambahkan pentiter langsung ke dalam larutan yang mengandung zat yang ditentukan. Cara ini lebih disukai karena cepat, sederhana dan ketepatannya cukup tinggi. Cara ini dipakai bila tersedia pentiter, pelarut dan cara penentuan titik akhir yang sesuai, dan laju reaksi cukup tinggi. Jika persyaratan ini tidak dipenuhi maka digunakan titrasi kembali atau titrasi tidak langsung (Rivai, 1995).


(23)

2. Titrasi kembali

Titrasi kembali dilakukan dengan menambahkan larutan baku (pentiter pertama) dalam jumlah berlebihan kedalam larutan zat yang ditentukan. Kemudian kelebihan pentiter pertama yang tidak bereaksi dengan zat yang ditentukan dititrasi dengan larutan baku kedua (pentiter kedua). (Rivai, 1995). 3. Titrasi Tidak Langsung

Titrasi tidak langsung digunakan bila titrasi langsung tidak mungkin dilaksanakan. Cara ini memerlukan reaksi tambahan dengan zat yang ditentukan, terutama reaksi khas dan berpilih. Akibat dari reaksi ini sejumlah yang setara zat ketiga dilepaskan. Zat ketiga yang dilepaskan itu dititrasi dengan larutan baku (Rivai, 1995).

Penggolongan titrimetri berdasarkan jumlah sampel, teknik titrimetri dibedakan menjadi titrasi makro, titrasi semi mikro dan titrasi mikro. Cara makro menggunakan cuplikan 10-100 mg, volume pentiter 10-100 ml dan jumlah zat yang ditentukan 100-1000 mg. Cara semimikro menggunakan cuplikan 10-100 mg, volume pentiter 1-10 ml dan jumlah zat yang ditentukan 10-100 mg. Sedangkan cara mikro menggunakan cuplikan 1-10 mg, volume pentiter 0,1-1 ml dan jumlah zat yang ditentukan 1-10 mg (Rivai, 1995).

2.3.2 Iodometri

Pada prinsipnya penetapan kadar sukrosa dalam kembang gula yang dilakukan menggunakan metode analisa iodometri, titrasi yang melibatkan iodium. Dalam proses analitis, iodin dipergunakan sebagai sebuah agen


(24)

pengoksidasi (iodimetri), dan ion iodida dipergunakan sebagai agen pereduksi (iodometri).

Titrasi yang melibatkan iodium dapat dilakukan dengan dua cara yaitu titrasi langsung (iodimetri) dan titrasi tidak langsung (iodometri). Iodimetri adalah suatu proses analitis dimana suatu agen pereduksi dititrasi langsung dengan iodin, dan iodin bertindak sebagai agen pengoksidasi. Iodometri adalah suatu proses tidak langsung yang melibatkan iod. Ion iodida berlebih ditambahkan pada suatu agen pngoksidasi, membebaskan iodin, yang kemudian dititrasi dengan natrium tiosulfat (Day & Underwood, 2002).

Iodometri merupakan titrasi tidak langsung dan digunakan untuk menetapkan senyawa-senyawa yang mempunyai potensial oksidasi yang lebih besar daripada sistem iodium-iodida atau senyawa-senyawa yang bersifat oksidator. Pada iodometri, sampel yang bersifat oksidator direduksi dengan kalium iodida berlebihan dan akan menghasilkan iodium yang selanjutnya dititrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat. Banyaknya volume natrium tiosulfat yang digunakan sebagai titran setara dengan iodium yang dihasilkan dan serta dengan banyaknya sampel (Rohman, 2007).

Pada titrasi iodometri, analit harus berbentuk suatu oksidator yang cukup kuat, karena dalam metode ini, analit selalu direduksi dahulu dengan kalium iodida sehingga terbentuk iod. Iod inilah yang selanjutnya dititrasi dengan natrium tiosulfat (Svehla, 1985).

Pada prinsipnya, iodometri merupakan reaksi reduksi oksidasi karena terjadi perubahan bilangan oksidasi dari zat-zat yang terlibat dalam reaksi, dalam


(25)

hal ini transfer elektron dari pasangan pereduksi ke pasangan pengoksidasi. Oksidasi adalah pelepasan satu atau lebih elektron dari suatu atom, ion atau molekul. Sedangkan reduksi adalah penangkapan satu atau lebih elektron. Tidak ada dalam elektron bebas dalam sistem kimia, oleh karena itu pelepasan elektron (oksidasi) selalu diikuti penangkapan elektron (reduksi) (Svehla, 1985).

Pada iodometri titrasi selalu berkaitan dengan I2, secara teoritis untuk titrasi ini tidak memerlukan indikator, tapi karena warnanya dalam keadaan sangat lemah maka pada titrasi ini diperlikan indikator. Indikator yang digunakan adalah indikator amilum dan I2 akan bereaksi dan reaksinya adalah reaksi dapat balik (Svehla, 1985).

BAB III


(26)

3.1 Tempat dan Waktu Pengujian

Pengujian penetapan kadar sukrosa pada kembang gula dilakukan di Laboratorium Pangan dan Bahan Berbahaya, Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di Medan Jalan Willem Iskandar, Pasar V Barat I No. 2 Medan pada tanggal 03 Maret 2015.

3.2 Alat

Alat yang digunakan adalah batu didih, buret 50 ml, erlenmeyer 500 ml, labu ukur, neraca analitik dengan ketelitian 0,1 g, penangas air, penangas listrik, pendingin tegak, pipet volumetrik, termometer dan stopwatch.

3.3Pereaksi

Pereaksi yang digunakan adalah; larutan asam klorida (HCl) 25%; larutan asam sulfat (H2SO4) 25 %; larutan amonium hidrogen fosfat ((NH4)2HPO4) 10%; larutan indikator fenolftalein; larutan indikator kanji 0,5 %; larutan kalium iodida (KI) 20%; larutan Luff Schoorl; larutan natrium hidroksida (NaOH) 30%; larutan natrium tio sulfat (Na2S2O3) 0,1 N; larutan timbal asetat setengah basa.

3.4 Sampel

Sampel yang digunakan adalah permen Alpenlibe yang berasal dari pabrik PT Perfeth Van Melle Indonesia.


(27)

3.5 Prosedur

3.5.1 Pembakuan Natrium Tiosulfat (Na2S2O3)

Diimbang 0,21 g kalium bikromat (KBrO3), ditambahkan 100 ml akuades, dilarutkan hingga larut, diambahkan 3 g Kalium Iodida, ditambahkan 2 g Natrium bikarbonat, ditambahkan 5 ml HCl pekat, dikocok hingga tercampur, dibiarkan 10 menit ditempat gelap kemudian dititrasi dengan larutan Natrium tiosulfat menggunakan indikator larutan kanji pekat.

3.5.2 Gula Sebelum Inversi

Ditimbang 2 g contoh dan masukkan ke dalam labu ukur 200 ml, tambahkan air dan kocok; Tambahkan 5 ml Pb-asetat setengah basa dan dikocok; Teteskan 1 tetes larutan (NH4)2HPO4 10%. Apabila timbul endapan putih maka penambahan Pb-asetat setengah basa sudah cukup; Tambahkan 15 ml larutan (NH4)2HPO4 10%. Untuk menguji apakah Pb-asetat setengah basa sudah diendapkan seluruhnya, teteskan 1 tetes – 2 tetes (NH4)2HPO4 10%. Apabila tidak timbul endapan berarti penambahan (NH4)2HPO4 10% sudah cukup; Goyangkan dan tepatkan isi labu ukur sampai tanda garis dengan air suling, kocok 12 kali, biarkan dan saring; Pipet 10 ml larutan hasil penyaringan dan masukkan ke dalam Erlenmeyer 500 ml;

Ditambahkan 15 ml air suling dan 25 ml larutan Luff Schoorl (dengan pipet) serta beberapa butir batu didih; Hubungkan Erlenmeyer dengan pendingin tegak, panaskan diatas pemanas listrikusahakan dalam waktu 3 menit sudah harus mulai mendidih. Panaskan terus selama 10 menit (pakai stopwatch) kemudian angkat dan segera dinginkan dalam bak berisi es (jangan digoyang); Setelah


(28)

dingin tambahkan 10 ml larutan KI 20% dan 25 ml larutan H2SO4 25% (hati-hati terbentuk gas CO2); Titrasi dengan larutan natrium tiosulfat 0,1 N dengan indikator larutan kanji 0,5 % (V1); Dikerrjakan penetapan blanko dengan 25 ml air dan 25 ml larutan Luff Schoorl seperti cara diatas (V2).

3.5.3 Gula Sesudah Inversi

Ditimbang 2 g contoh dan masukkan ke dalam labu ukur 250 ml, tambahkan air dan kocok; Tambahkan 3 ml Pb-asetat setengah basa dan goyangkan; Teteskan 1 tetes larutan (NH4)2HPO4 10%.. Apabila timbul endapan putih maka penambahan Pb-asetat setengah basa sudah cukup; Tambahkan 15 ml larutan (NH4)2HPO4 10%. Untuk menguji apakah Pb-asetat setengah basa sudah diendapkan seluruhnya, teteskan 1 tetes – 2 tetes (NH4)2HPO4 10%. Apabila tidak timbul endapan berarti penambahan (NH4)2HPO4 10% sudah cukup; Goyangkan dan tepatkan isi labu ukur sampai tanda garis dengan air suling, kocok 12 kali, biarkan dan saring; Pipet 50 ml hasil penyaringan ke dalam labu ukur 100 ml;

Ditambahkan 25 ml HCl 25% pasang termometer dan lakukan hidrolisis diatas penangas air. Apabila suhu mencapai 680C – 700C suhu dipertahankan selama tepat 10 menit; Angkat dan bilas termometer dengan air lalu dinginkan; Tambahkan NaOH 30% sampai netral (warna merah jambu) dengan indikator fenolftalein. Tepatkan sampai tanda tera dengan air suling, kocok 12 kali; Pipet 10 ml larutan tersebut dan masukkan ke dalam Erlenmeyer 500 ml;

Ditambahkan 15 ml air suling dan 25 ml larutan Luff Schoorl (dengan pipet) serta beberapa butir batu didih; Hubungkan Erlenmeyer dengan pendingin tegak, panaskan diatas pemanas listrik usahakan dalam waktu 3 menit sudah harus


(29)

mulai mendidih. Panaskan terus selama 10 menit (pakai stopwatch) kemudian angkat dan segera dinginkan dalam bak berisi es (jangan digoyang); Setelah dingin tambahkan 10 ml larutan KI 20% dan 25 ml larutan H2SO4 25% (hati-hati terbentuk gas CO2); Titrasi dengan larutan natrium tiosulfat 0,1 N dengan indikator larutan kanji 0,5 % (V1); Dierjakan penetapan blanko dengan 25 ml air dan 25 ml larutan Luff Schoorl seperti cara diatas (V2).

3.6 Interpretasi Hasil

Sakarosa (%) = 0,95 x (% gula sesudah inversi - % gula sebelum inversi) dengan:

Gula sebelum inversi (%) = W 1 X fp

W x 100%

Gula sesudah inversi (%) = W 1 X fp

W x 100%

keterangan:

− W1 adalah bobot glukosa, berdasarkan Tabel Ekivalen Natrium Tiosulfat. Jumlah natrium tiosulfat 0,1 N yang diperlukan untuk mencari bobot glukosa dalam tabel adalah pengurangan volume titar blanko dengan volume titar contoh (V2 – V1).

− Fp adalah faktor pengenceran − W adalah bobot contoh (mg)


(30)

Persyaratan kadar sukrosa maksimal pada kembang gula yang digunakan pada pengujian ini berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 3547.1:2008 syarat sukrosa dalam kembang gula adalah 25-55%.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Berdasarkan pengujian yang dilakukan yaitu penetapan kadar sukrosa dalam kembang gula pada sampel permen “Alpenliebe” dengan metode titrimetri


(31)

berdasarkan cara titrasi tidak langsung (iodometri) diperoleh hasil kadar sukrosa sebelum inversi yaitu 25,11% dan kadar sukrosa sesudah inversi yaitu 70,52%, sehingga diperoleh kadar sukrosa yaitu 43,13%. Data dan perhitungan hasil pengujian dapat dilihat pada lampiran 2.

4.2 Pembahasan

Berdasarkan syarat yang dicantumkan Standar Nasional Indonesia 3547.1:2008 bahwa kadar sukrosa dalam kembang gula adalah 25-55%. Dari hasil pengujian didapat kadar sukrosa dalam kembang gula “Alpenlibe” adalah 43,13%, maka permen tersebut telah memenuhi syarat karena kadar sukrosa yang diperoleh tidak kurang dan tidak lebih daripada standar yang telah ditetapkan.

Kembang gula atau permen merupakan salah satu makanan selingan berbentuk padat, dengan rasa manis, yang sifatnya mudah larut dalam air, serta mempunyai warna dan aroma yang menarik. Kembang gula pada dasarnya adalah campuran dari gula atau gula invert, air, rasa dan pewarna. Selain berbahan dasar gula, komponen rasa juga sangat penting dalam pembuatan permen. Rasa yang digunakan untuk bahan pangan dapat berupa rasa alami atau sintetik, namun seiring dengan banyaknya indikasi yang menunjukkan bahwa secara umum bahan sintetik dapat membahayakan bagi kesehatan (Faridah, 2008).

Sukrosa dapat menyebabkan kerusakan gigi karena bahan bakar bakteri yang menghasilkan plak yang menyebabkan gigi berlubang. Mengonsumsi sukrosa dan makanan manis lainnya dapat meningkatkan risiko gigi berlubang dan masalah gigi lainnya. Selain itu, sukrosa dan gula lain sering ditambahkan ke


(32)

dalam makanan olahan untuk meningkatkan rasa, meningkatkan kalori tetapi bukan zat gizi yang sebenarnya. Hal ini dapat menyebabkan penambahan berat badan (Winarno, 1992).

Pada penetapan sukrosa dalam kembang gula ini menggunakan metode Luff Schoorl, sukrosa dihidrolisis menjadi gula reduksi yaitu glukosa dan fruktosa. Glukosa dan fruktosa akan mereduksi larutan Luff Schoorl menjadi CuO2. Jumlah larutan gula yang mereduksi larutan Luff Schoorl ditentukan dengan cara titrasi dengan larutan natrium tiosulfat. Jumlah gula reduksi ditentukan dengan cara seperti pada penetapan kadar gula reduksi. Hasil kali faktor kimia dengan selisih kadar gula sesudah dan sebelum inversi menunjukkan kadar sukrosa. (SNI, 2008).

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kadar sukrosa dalam kembang gula dengan metode titrimetri berdasarkan cara titrasi tidak langsung (iodometri) adalah 43.13%, maka dapat disimpulkan


(33)

bahwa sampel permen “Alpenliebe” memenuhi persyaratan kadar sukrosa yang ditetapkan pada SNI 3547.1:2008 adalah 25-55%.

5.2 Saran

Disarankan kepada penguji selanjutnya untuk melakukan uji parameter lainnya terhadap sukrosa seperti uji kadar abu, kadar air, uji kadar cemaran logam dan uji cemaran mikroba. Hal tersebut sangat dibutuhkan untuk mengetahui layak atau tidaknya suatu produk untuk dikonsumsi bagi masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. (1998). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.

Anonymous. (2010). Tekno Pangan dan Agroindustri. Volume I Nomor 6. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi IPB.

Anthony, Wilbraham, C., dan Michael, B, Matta. (1992). Pengantar Kimia Organik dan Hayati. Bandung; penerbit ITB.

Day, R. A. and A. L. Underwood. (2002). Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Faridah. (2008). Patiseri Jilid 3. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Fessenden. (1986). Kimia Organik Jilid 2. Jakarta: Erlangga


(34)

bahwa sampel permen “Alpenliebe” memenuhi persyaratan kadar sukrosa yang ditetapkan pada SNI 3547.1:2008 adalah 25-55%.

5.2 Saran

Disarankan kepada penguji selanjutnya untuk melakukan uji parameter lainnya terhadap sukrosa seperti uji kadar abu, kadar air, uji kadar cemaran logam dan uji cemaran mikroba. Hal tersebut sangat dibutuhkan untuk mengetahui layak atau tidaknya suatu produk untuk dikonsumsi bagi masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. (1998). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.

Anonymous. (2010). Tekno Pangan dan Agroindustri. Volume I Nomor 6. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi IPB.

Anthony, Wilbraham, C., dan Michael, B, Matta. (1992). Pengantar Kimia Organik dan Hayati. Bandung; penerbit ITB.

Day, R. A. and A. L. Underwood. (2002). Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Faridah. (2008). Patiseri Jilid 3. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Fessenden. (1986). Kimia Organik Jilid 2. Jakarta: Erlangga


(35)

Rivai, Harrizul. (1995). Asas Pemeriksaan Kimia. Jakarta: UI-Press.

Rohman, Abdul. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Standar Nasional Indonesia. (2008). SNI 3547.2.2008. Syarat Mutu Kembang

Gula Lunak. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.

Standar Nasional Indonesia. (1992). SNI 01-2892-1992. Cara Uji Gula. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.

Svehla,G, (1985). Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimakro. Edisi kelima. Jakarta: Kalman Media Pusaka.

Winarno, F.G. (1992). Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Lampiran 1. Keterangan Sampel

Penetapan Kadar Sukrosa pada Kembang Gula dengan Metode Titrimetri (Iodometri)

Nama sampel : Alpenlibe

Nama pabrik : PT Perfeth Van Melle Indonesia No. Reg : BPOM RI MD237110113396 No. Bets : B02262413

Komposisi : Gula, sirup, maltosa, minyak nabati, krim susu, pengatur keasaman, (asam laktat, natrium laktat), pewarna (natrium dioksida CI 77891, merah allura CI 16035, biru berlian CI 42090), garam perisa anggur, pengemulsi, ekstrak anggur Tanggal diterima : 03 Maret 2015


(36)

Rivai, Harrizul. (1995). Asas Pemeriksaan Kimia. Jakarta: UI-Press.

Rohman, Abdul. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Standar Nasional Indonesia. (2008). SNI 3547.2.2008. Syarat Mutu Kembang

Gula Lunak. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.

Standar Nasional Indonesia. (1992). SNI 01-2892-1992. Cara Uji Gula. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.

Svehla,G, (1985). Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimakro. Edisi kelima. Jakarta: Kalman Media Pusaka.

Winarno, F.G. (1992). Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Lampiran 1. Keterangan Sampel

Penetapan Kadar Sukrosa pada Kembang Gula dengan Metode Titrimetri (Iodometri)

Nama sampel : Alpenlibe

Nama pabrik : PT Perfeth Van Melle Indonesia No. Reg : BPOM RI MD237110113396 No. Bets : B02262413

Komposisi : Gula, sirup, maltosa, minyak nabati, krim susu, pengatur keasaman, (asam laktat, natrium laktat), pewarna (natrium dioksida CI 77891, merah allura CI 16035, biru berlian CI 42090), garam perisa anggur, pengemulsi, ekstrak anggur Tanggal diterima : 03 Maret 2015


(37)

Pemerian : Bentuk : Padat Rasa : Manis Warna : Ungu putih Bau : Normal

Lampiran 2. Data dan Perhitungan Titran : Natrium tiosulfat (Na2S2O3) Kesetaraan : 1 ml titran 0,1036

Nama Zat

N/M setara dengan 49,03 K2Cr2O7

Pengamatan Faktor Pengenceran Titran (ml) Wadah

+ Zat

Wadah

+ Sisa Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Zat Uji

Alpenlibe 2,0723 g 25

250

50 ×

100

10 16,9 13,8

Blangko 25,0

Tabel 2.1. Tabel Ekivalen Natrium Tiosulfat

Na2S2O3 0,1 M (ml) Glukosa, Fruktosa, Gula invert (mg) Laktosa (mg) Maltosa (mg)


(38)

2 4,8 7,3 7,8

3 7,2 11,0 11,7

4 9,7 14,7 15,6

5 12,2 18,4 19,6

6 14,7 22,1 23,5

7 17,2 25,8 27,5

8 19,8 29,5 31,5

9 22,4 33,2 35,5

10 25,0 37,0 39,5

11 27,6 40,8 43,5

12 30,3 44,6 47,5

13 33,0 48,4 51,6

14 35,7 52,2 55,7

15 38,5 56,0 69,8

Perhitungan:

a. Kadar Gula Sebelum Inversi Rumus :

Kadar Sukrosa = Titrasi Blanko−Titrasi sampel × Natrium tiosulfat

0,1

Perhitungan :

Kadar Sukrosa = (25,0−16,9) × 0,1036

0,1 = 8,3916

= 19,8 + (22,4−19,8) × 0,3916 = 20,81816

% Gula Sebelum Inversi =����� �������

����� ��� (�) × Faktor Pengenceran × 100 %

= 20,81816


(39)

b. Kadar Gula Sesudah Inversi Rumus :

Kadar Sukrosa = Titrasi Blanko−Titrasi sampel × Natrium tiosulfat

0,1

Perhitungan :

Kadar Sukrosa = (25,0−13,8) × 0,1036

0,1 = 11,6032

= 27,6 + (30,3−27,6) × 0,6032 = 29,22864

% Gula Sesudah Inversi = ����� ����

����� ��� (�)× Faktor Pengenceran × 100%

= 29,22864

2072 ,3 × 50 × 100% = 70,52 %

c. Kadar Sukrosa Rumus :

Ksukrosa = 0,95 × (Kadar gula sesudah inversi − Kadar gula sebelum inversi)

Perhitungan :

Kadar sukrosa = 0,95 × (70,52%−25,11%)


(40)

Lampiran 3. Gambar Alat Pereaksi dan Sampel


(41)

Gambar Pemanas Listrik (Erlenmeyer dihubungkan dengan pendingin tegak)

Lampiran 3. Lanjutan

Gambar Larutan Luff Schoorl Gambar. Hasil sebelum (kiri) dan sesudah (kanan) titrasi dengan Natrium tiosulfat


(42)

Gambar Sampel


(1)

Pemerian : Bentuk : Padat Rasa : Manis Warna : Ungu putih Bau : Normal

Lampiran 2. Data dan Perhitungan

Titran : Natrium tiosulfat (Na2S2O3) Kesetaraan : 1 ml titran 0,1036

Nama Zat

N/M setara dengan 49,03 K2Cr2O7

Pengamatan Faktor Pengenceran Titran (ml) Wadah

+ Zat

Wadah

+ Sisa Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah

Zat Uji

Alpenlibe 2,0723 g 25

250

50 ×

100

10 16,9 13,8

Blangko 25,0

Tabel 2.1. Tabel Ekivalen Natrium Tiosulfat

Na2S2O3 0,1 M (ml) Glukosa, Fruktosa, Gula invert (mg) Laktosa (mg) Maltosa (mg)


(2)

2 4,8 7,3 7,8

3 7,2 11,0 11,7

4 9,7 14,7 15,6

5 12,2 18,4 19,6

6 14,7 22,1 23,5

7 17,2 25,8 27,5

8 19,8 29,5 31,5

9 22,4 33,2 35,5

10 25,0 37,0 39,5

11 27,6 40,8 43,5

12 30,3 44,6 47,5

13 33,0 48,4 51,6

14 35,7 52,2 55,7

15 38,5 56,0 69,8

Perhitungan:

a. Kadar Gula Sebelum Inversi Rumus :

Kadar Sukrosa = Titrasi Blanko−Titrasi sampel × Natrium tiosulfat

0,1

Perhitungan :

Kadar Sukrosa = (25,0−16,9) × 0,1036

0,1 = 8,3916

= 19,8 + (22,4−19,8) × 0,3916 = 20,81816

% Gula Sebelum Inversi =����� �������

����� ��� (�) × Faktor Pengenceran × 100 %

= 20,81816


(3)

b. Kadar Gula Sesudah Inversi

Rumus :

Kadar Sukrosa = Titrasi Blanko−Titrasi sampel × Natrium tiosulfat 0,1

Perhitungan :

Kadar Sukrosa = (25,0−13,8) × 0,1036

0,1 = 11,6032

= 27,6 + (30,3−27,6) × 0,6032 = 29,22864

% Gula Sesudah Inversi = ����� ����

����� ��� (�)× Faktor Pengenceran × 100% = 29,22864

2072 ,3 × 50 × 100% = 70,52 %

c. Kadar Sukrosa

Rumus :

Ksukrosa = 0,95 × (Kadar gula sesudah inversi − Kadar gula sebelum inversi)

Perhitungan :

Kadar sukrosa = 0,95 × (70,52%−25,11%)


(4)

Lampiran 3. Gambar Alat Pereaksi dan Sampel


(5)

Gambar Pemanas Listrik (Erlenmeyer dihubungkan dengan pendingin tegak)

Lampiran 3. Lanjutan

Gambar Larutan Luff Schoorl Gambar. Hasil sebelum (kiri) dan sesudah (kanan) titrasi dengan Natrium tiosulfat


(6)

Gambar Sampel