PSIKOLOGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DEFIN

PSIKOLOGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
DEFINISI, RUANG LINGKUP, DAN MODEL LAYANAN
PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus
Semester Gasal Jurusan Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

DISUSUN OLEH :
NURUL ISTIKHOMAH
1511505338

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA
SEPTEMBER 2017

PSIKOLOGI
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)
A. DEFINISI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)
Secara umum anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki
gangguan


perkembangan

atau

kelainan

lainnya

sehingga

penanganan secara khusus. Berkenaan dengan istilah

memerlukan

disability,

anak

berkebutuhan khusus merupakan anak yang memiliki keterbatasan baik fisik

maupun psikis. Istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa
dan anak cacat.
Adapun pengertian lain menyatakan bahwa anak berkebutuhan khusus
bersinggungan dengan perihal abnormalitas. Dalam hal ini terdapat penundaan
tumbuh kembang yang biasanya tampak di usia balita seperti baru bisa berjalan
di usia 3 tahun. Hal lain yang menjadi dasar anak tergolong berkebutuhan khusus
yaitu ciri-ciri tumbuh-kembang anak yang tidak muncul (absent) sesuai usia
perkembangannya seperti belum mampu mengucapkan satu katapun di usia 3
tahun, atau terdapat penyimpangan tumbuh-kembang seperti perilaku echolalia
atau membeo pada anak autis.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia 2013, menjelaskan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak
yang mengalami keterbatasan atau keluarbiasaan,baik fisik, mental-intelektual,
sosial, maupun emosional, yang berpengaruh secara signifikan dalam proses
pertumbuhan atau perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain yang
seusia dengannya.
Menurut Mulyono (2006), anak berkebutuhan khusus dapat dimaknai
dengan anak-anak yang tergolong cacat atau menyandang ketentuan dan juga
anak yang berbakat.
Banyak istilah yang dipergunakan sebagai variasi dari kebutuhan khusus,

seperti

disability,

impairment,

dan

handicap.

Menurut

World

Health

Organization (WHO), definisi masing-masing istilah adalah sebagai berikut:
Disability yaitu keterbatasan atau kurangnya kemampuan (yang dihasilkan dari

impairment) untuk menampilkan aktivitas sesuai dengan aturannya atau masih

dalam batas normal, biasanya digunakan dalam level individu. Impairment yaitu
kehilangan atau ketidaknormalan dalam hal psikologis, atau struktur anatomi
atau fungsinya, biasanya digunakan pada level organ. Handicap yaitu
ketidakberuntungan individu yang dihasilkan dari impairment atau disability
yang membatasi atau menghambat pemenuhan peran yang normal pada individu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus (Heward, 2002)
adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada
umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau
fisik. Anak berkebutuhan khusus (special needs children) dapat diartikan secara
sederhana sebagai anak yang lambat (slow) atau mangalami gangguan (retarded)
yang sangat sukar untuk berhasil di sekolah sebagaimana anak-anak pada
umumnya sehingga mereka memerlukan layanan yang spesifik dan berbeda
dengan anak-anak pada umumnya.
B. RUANG LINGKUP ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)
Secara singkat masing-masing jenis kelainan dijelaskan sebagai berikut :
1. Tunanetra/anak yang mengalami gangguan penglihatan
Tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatannya,
berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian, dan walaupun telah diberi
pertolongan dengan alat-alat bantu khusus masih tetap memerlukan
pelayanan pendidikan khusus.

2. Tunarungu/anak yang mengalami gangguan pendengaran
Tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya
pendengarannya sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara
verbal dan walaupun telah diberikan pertolongan dengan alat bantu dengar
masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
3. Tunadaksa/mengalami kelainan angota tubuh/gerakan
Tunadaksa adalah anak yang mengalami kelainan atau cacat yang
menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) sedemikian rupa sehingga
memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
4. Berbakat/memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa

Anak berbakat adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan
(inteligensi),

kreativitas,

dan

tanggungjawab


terhadap

tugas

(task

commitment) di atas anak-anak seusianya (anak normal), sehingga untuk
mewujudkan potensinya menjadi prestasi nyata, memerlukan pelayanan
pendidikan khusus.
5. Tunagrahita
Tunagrahita (retardasi mental) adalah anak yang secara nyata
mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental jauh di
bawah rata-rata sedemikian rupa sehingga mengalami kesulitan dalam tugastugas akademik, komunikasi maupun sosial, dan karenanya memerlukan
layanan pendidikan khusus.
6. Lamban belajar (slow learner) :
Lamban belajar (slow learner) adalah anak yang memiliki potensi
intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita. Dalam
beberapa hal mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon
rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik dibanding dengan
yang tunagrahita, lebih lamban dibanding dengan yang normal, mereka butuh

waktu yang lebih lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugastugas akademik maupun non akademik, dan karenanya memerlukan pelayanan
pendidikan khusus.
7. Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik
Anak yang berkesulitan belajar spesifik adalah anak yang secara nyata
mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus (terutama dalam hal
kemampuan membaca, menulis dan berhitung atau matematika), diduga
disebabkan karena faktor disfungsi neugologis, bukan disebabkan karena
factor inteligensi (inteligensinya normal bahkan ada yang di atas normal),
sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak berkesulitan
belajar spesifik dapat berupa kesulitan belajar membaca (disleksia), kesulitan
belajar menulis (disgrafia), atau kesulitan belajar berhitung (diskalkulia),

sedangkan mata pelajaran lain mereka tidak mengalami kesulitan yang
signifikan (berarti)
8. Anak yang mengalami gangguan komunikasi;
Anak yang mengalami gangguan komunikasi adalah anak yang
mengalami kelainan suara, artikulasi (pengucapan), atau kelancaran bicara,
yang mengakibatkan terjadi penyimpangan bentuk bahasa, isi bahasa, atau
fungsi bahasa, sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak
yang mengalami gangguan komunikasi ini tidak selalu disebabkan karena

faktor ketunarunguan.
9. Tunalaras/anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku.
Tunalaras adalah anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian
diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku
dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya,
sehingga merugikan dirinya maupun orang lain, dan karenanya memerlukan
pelayanan

pendidikan

khusus

demi

kesejahteraan

dirinya

maupun


lingkungannya.

C. MODEL LAYANAN PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
(ABK)
1) Bentuk Layanan Pendidikan Segregasi
Sistem layanan pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan yang
terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Pendidikan anak berkebutuhan
khusus melalui sistem segregasi maksudnya adalah penyelenggaraan
pendidikan

yang

penyelenggaraan

dilaksanakan

secara

khusus


dan

terpisah

dari

pendidikan untuk anak normal. Dengan kata lain anak

berkebutuhan kusus diberikan layanan pendidikan pada lembaga pendidikan
khusus untuk anak berkebutuhan khusus, seperti Sekolah Luar Biasa atau
Sekolah Dasar Luar Biasa, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, Sekolah
Menengah Atas Luar Biasa.

Sistem pendidikan segregasi merupakan sistem pendidikan yang paling
tua. Pada awal pelaksanaan, sistem ini diselenggarakan karena adanya
kekhawatiran atau keragaman terhadap kemampuan anak berkebutuhan
khusus untuk belajar bersama dengan anak normal. Selain itu, adanya
kelainan fungsi tertentu pada anak berkebutuhan khusus memerlukan layanan
pendidikan dengan menggunakan metode yang sesuai dengan kebutuhan
khusus mereka. Misalnya, untuk anak tuna netra, mereka memerlukan layanan

khusus berupa braille, orientasi mobilitas. Anak tuna rungu memerlukan
komunikasi total, bina persepsi bunyi: anak tuna daksa memerlukan layanan
mobilisasi dan aksesilbilitas, dan layanan terapi untuk mendukung fungsi
fisiknya.
Ada empat bentuk pelayanan pendidikan dengan sistem segregasi
yaitu:
a) Sekolah Luar Biasa (SLB)
Bentuk Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling
tua.

Bentuk

SLB

merupakan

bentuk

unit

pendidikan.

Artinya,

penyelenggaraan sekolah mulai dari tingkat persiapan sampai dengan
tingkat lanjutan diselenggarakan dalam satu unit sekolah dengan satu
kepala sekolah. Pada awalnya penyelenggaraan sekolah dalam bentuk unit
ini berkembang sesuai dengan kelainan yang ada (satu kelainan saja)
sehingga ada SLB untuk tuna netra (SLB-A), SLB untuk tuna rungu (SLBB), SLB untuk tuna grahita (SLB-C), SLB untuk tuna daksa (SLB-D), dan
SLB untuk tuna laras (SLB-E). Bahkan dalam Kebijakan dan Program
Direktorat Pembinaan SLB (2006), disebutkan jenis anak berkebutuhan
lainnya, yaitu : F. Tuna wicara; G. Tuna ganda; H. HIV/AIDS; I. Gifted; J.
Talented, dengan potensi bakat istimewa (Multiple Intelligences); K.
Kesulitan belajar; L. Lambat belajar; M. Autis; N. Korban penyalahgunaan
narkoba; O. Indigo.
Di setiap SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar dan tingkat
lanjut. Sistem pengajarannya lebih mengarah ke sistem individualisasi.

Selain ada SLB yang hanya mendidik satu kelainan saja, ada pula yang
mendidik lebih dari satu kelainan, sehingga muncul SLB-BC yaitu SLB
untuk Anak tuna rungu dan tuna grahita. SLB-ABCD, yaitu SLB untuk
anak tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, dan tuna daksa. Hal ini terjadi
karena jjumlah anak yang ada di unit tersebut sedikit dan fasilitas sekolah
terbatas.
b) Sekolah Luar Biasa Berasrama
Sekolah Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa
yang dilengkapi dengan fasilitas asrama. Peserta didik tinggal di asrama.
Pengelolaan asrama menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan sekolah,
sehingga di SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat
lanjut, serta unit asrama. Bentuk satuan pendidikannya pun juga sama
dengan bentuk SLB di atas, sehingga ada SLB-A untuk tuna netra, SLB
untuk tuna rungu (SLB-B), SLB untuk tuna grahita (SLB-C), SLB untuk
tuna daksa (SLB-D), dan SLB untuk tuna laras (SLB-E), serta SLB AB
untuk anak tuna netra dan tuna rungu.
Pada SLB berasrama terdapat kesinambungan program pembelajaran
yang ada di sekolah dengan di asrama, sehingga asrama merupakan tempat
pembinaan setelah anak di sekolah. Selain itu, SLB berasrama merupakan
pilihan sekolah yang sesuai bagi peserta didik yang berasal dari luar
daerah, karena mereka terbatas fasilitas antar jemput.
c) Kelas Jauh/Kelas Kunjung
Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga yang disediakan untuk
memberi layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal
jauh dari SLB atau SDLB. Penyelenggaraan kelas jauh/kelas kunjung
merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib
belajar serta pemerataan kesempatan belajar.
Anak berkebutuhan khusus tersebar di seluruh pelosok tanah air,
sedangkan sekolah-sekolah yang khusus mendidik mereka masih sangat
terbatas di kota/kabupaten. Oleh karena itu, dengan adanya kelas jauh/kelas
kunjung menjadi tanggung jawab SLB terdekatnya. Tenaga guru yang

bertugas di kelas tersebut berasal dari guru SLB-SLB di dekatnya. Mereka
berfungsi sebagai guru kunjung (itenerant teacher). Kegiatan admistrasinya
dilaksanakan di SLB terdekat tersebut.
d) Sekolah Dasar Luar Biasa
Dalam rangka menuntaskan kesempatan

belajar

bagi

anak

berkebutuhan khusus, pemerintah mulai Pelita II menyelenggarakan
Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Di SDLB merupakan unit sekolah yang
terdiri dari berbagai kelainan yang dididik dalam satu atap. Dalam SDLB
terdapat anak tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, dan tuna daksa.
Tenaga kependidikan di SDLB terdiri dari kepala sekolah, guru untuk
tuna netra, guru untuk tuna rungu, guru untuk tuna grahita, guru untuk tuna
daksa, guru agama, dan guru olah raga. Selain tenga kependidikan, di
SDLB dilengkapi dengan tenaga ahli.yang berkaitan dengan kelainan
mereka, antara lain dokter umum, dokter spesialis, fisioterapis, psikolog,
speech therapish, audiolog. Selian itu ada tenaga administrasi dan penjaga
sekolah.
Kurikulum yang digunakan di SDLB adalah kurikululum yang
digunakan di SLB untuk tingkat dasar yang disesuaikan dengan
kekhususannya. Kegiatan belajat dilakukan secara individual, kelompok
dan klasikal sesuai dengan ketunaan masing-masing.pendekatan yang
dipakai juga lebih ke pendekatan individualisasi. Selain kegiatan
pembelajaran, dalam rangka rehabilitasi di SDLB juga diselenggarakan
pelayanan khusus sesuai dengan ketunaan anak. Anak tuna netra
memperoleh latihan menulis dan membaca braille dan orientasi moobilitas;
anak tuna rungu memperoleh latihan membaca ujaran, komunikasi total
bina persepsi bunyi dan irama; tuna grahita memperoleh layanan mengurus
diri sendiri; anak tuna daksa memperoleh layanan fisioterapi dan latihan
koordinasi motorik.

Lama pendidikan di SDLB sama dengan lama pendidikan di SLB
konvensional uuntuk tingkat dasar, yaitu anak tuna netra, tuna grahita, dan
tuna daksa selama 6 tahun, dan anak tuna rungu 8 tahun.
Sejalan dengan perbaikan istem perundangan di RI yaitu UU RI no.2
tahun 1989 dan PPNo.72 Tahun 1991, dalam pasal 4 PP No.72 Tahun 1991
satuan pendidikan luar biasa terdiri dari:
a. Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dengan lama pendidikan minimal 6
tahun.
b. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB) minimal 3
tahun.
c. Sekolah Menengah Luar Biasa (SMALB) minimal 3 tahun.
Selain itu, pasal 6 PP No.72 Tahun 1991 juga dimungkinkan
penyelenggaraaan Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB) dengan lama
pendidikan satu sampai tiga tahun.
2) Bentuk Layanan Pendidikan Terpadu/Integrasi
Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi adalah sistem pendidikan
yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk
belajar bersama-sama dengan anak normal belajar dalam satu atap. Sistem
pendidikan integrasi disebut juga sistem pendidikan terpadu yakni sistem
pendidikan yang membawa anak berkebutuhan khusus kepada suasana
keterpaduan dengan anak normal. Keterpaduan tersebut dapat bersifat
menyeluruh, sebagian, keterpaduan dalam rangka sosialisasi.
Pada sistem keterpaduan secara penuh dan sebagian, jumlah anak
berkebutuhan khusus dalam satu kelas maksimal 10% dari jumlah siswa
keseluruhan. Selain itu dalam satu kelas hanya satu jenis kelainan. Hal ini
untuk menjaga beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika guru harus
melayani berbagai macam kelainan.
Untuk membantu kesulitan yang dialami oleh anak berkenutuhan khusus,
di sekolah terpadu disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat
berfungsi sebagai konsultan bagi guru kelas, kepala sekolah atau anak

berkebutuhan khusus itu sendiri. Selain itu GPK juga berfungsi sebagai
pembimbing di ruang bimbingan khusus tau guru kelas pada kelas khusus.
Ada 3 bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus menurut Depdiknas (1986), ketiga bentuk tersebut
adalah:
a) Bentuk Kelas Biasa
Dalam bentuk keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus belajar di
kelas biasa secara penuh dengan menggunakan kurikulum biasa. Oleh
karena itu, sangat diharapkan adanya pelayanan dan bantuan guru kelas
atau guru bidang studi semaksimal mungkin dengan memeperhatikan
petunjuk-petunjuk khusus dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar
di kelas biasa. Bentuk keterpaduan ini sering juga disebut dengan
keterpaduan penuh.
Dalam keterpaduan ini, guru pembimbing khusus hanya berfungsi
sebagai konsultan bagi kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau
orang tua anak berkebutuhan khusus. Sebagai konsultan, guru pembimbing
khusus berfungsi sebagai penasehat kurikulum, maupun permasalahan
dalam mengajar anakcberkebutuhan khusus. Oleh karena itu perlu
disediakan ruang konsultasi untuk guru pembimbing khusus.
Pendekatan, metode, cara penilaian yang digunakan pada kelas biasa
ini tidak berbeda dengan yang digunakan dalam seolah umum. Tetapi,
untuk beberapa mata pelajaran yang disesuaikan dengan ketunaan anak.
Misalnya, untuk anak tuna netra untuk pelajaran menggambar, matematika,
menulis, membaca, perlu disesuaikan dengan kondisi anak. Untuk anak
tuna rungu mata pelajaran kesenian, bahasa asing/bahasa Indonesia ( lisan)
perlu disesuaikan dengan kemampuan wicara anak.
b) Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus
Pada keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus, belajar di kelas
biasa dengan menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti pelayanan
khusus untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak
berkebutuhan khusus bersama dengan anak noormal. Pelayanan khusus

tersebut diberikan di ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing
khusus (GPK) dengan menggunakan pendekatan individu dan metode
peragaan yang sesuai. Untuk keperluan teersebut di ruang bimbingan
khusus dilengkai dengan peralatan khusus untuk memberikan latihan dan
bimbingan khusus. Misalnya untuk anak tuna netra, di ruang bimbingan
khusus disediakan alat tulis braille, peralatan orientasi mobilitas.
Keterpaduan pada tingkat ini sering disebut juga keterpaduan sebagian.
c) Bentuk Kelas Khusus
Dalam keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus mengikuti
pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus
pada sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan terpadu.
Keterpaduan ini disebut juga dengan keterpaduan lokal/bangunan atau
keterpaduan yang bersifat sosialisasi.
Pada tingkat keterpaduan ini, guru pembimbing khusus berfungsi
sebagai pelaksana program di kelas khusus. Pendekatan, metode, dan cara
penilaian yang digunakan adalah pendekatan, metode, dan cara penilaian
yang digunakan di SLB. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat fisik
dan sosial, yang artinya anak berkebutuhan khusus yang dipadukan untuk
kegiatan yang bersifat non akademik, seperti olah raga, ketrampilan, juga
sosialisasi pada waktu jam-jam istirahatatau acara lain yang diadakan oleh
sekolah.

DAFTAR PUSTAKA
Artikel Unnes : http://students.unnes.ac.id/pus/page/model-layanan-pendidikan-abk.
diakses pada tanggal 24 September 2017 pukul 14:32.
Mangunsong, F. 2009. Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Jilid I.
Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi
(LPSP3) Kampus Baru UI, Depok.
Utami, Oktaviani. 2014. Layanan Bimbingan Belajar bagi Anak Autistik di SDN
Inklusif Ngleri Playen Gunungkidul Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Ilmu
Pendidikan UNY, Yogyakarta.