Soal Iklan Politik di Media Televisi

SOAL IKLAN POLITIK DI MEDIA TELEVISI
Oleh Satrio Arismunandar

Seorang teman bertanya, apakah tokoh politik atau parpol bebas beriklan di TV,
berkaitan dengan kampanye politiknya? Kalau ditanya, apakah mereka boleh memasang
iklan, jawabannya tentu boleh. Tapi, jika ditanya, seberapa jauh “bebas beriklan” itu bisa
diterapkan dalam praktik, tentu harus ada penjelasan lebih lanjut.
Iklan politik, baik untuk kampanye seorang tokoh politik atau untuk parpol
tertentu, adalah sah-sah saja di negara demokratis. Hillary Clinton dan Barack Obama,
kandidat dari Partai Demokrat di Amerika, sama-sama beriklan di media massa dalam
pertarungan mereka untuk merebut kursi nominasi calon Presiden dari Partai Demokrat.
Dalam iklan itu, publik bisa mengetahui pandangan politik, visi, misi, dan program dari
tokoh bersangkutan.
Ada dua isu terkait iklan politik ini. Pertama, segi content. Yakni, pesan semacam
apa yang boleh dimuat atau ditayangkan. Kedua, siapa yang boleh memasang iklan
politik itu, dan bagaimana pengaturan penayangannya (soal keadilan dan pemerataan).
Untuk isu pertama, supaya relevan dan kontekstual, saya akan menjawab dalam
konteks politik Indonesia. Yakni, content itu pastilah tidak boleh bertentangan dengan
ideologi negara Pancasila, tidak boleh menyuruh membubarkan Negara Kesatuan RI,
tidak boleh menyinggung SARA (dalam arti mempertentangkan suku, agama, ras, dan
antar-golongan), dan harus sesuai dengan etika umum yang dianut media (menolak

tayangan beraroma pornografi, kekerasan, dan sebagainya).
Sejauh ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pemerintah juga tidak setuju
dengan materi iklan yang menjelek-jelekkan, memaki, mengkritik pihak lain (politisi,
kandidat, atau parpol pesaing). Kalau isinya memuji diri sendiri, atau mempromosikan
program, visi, dan misi sendiri, itu tentu boleh saja. Yang tak boleh, adalah menyerang
diri, program, visi, dan misi pihak lain. Tetapi sekarang ada usulan agar kritik semacam
ini diperbolehkan, supaya kampanye lebih dinamis. Namun, ini baru tahap usulan.
Untuk isu kedua, politisi atau parpol manapun, pada prinsipnya boleh beriklan di
TV. Tentu, jika yang beriklan ini adalah kandidat dalam Pilkada atau parpol untuk
Pemilu, tentu harus ikut aturan kampanye yang ditetapkan KPU.
1

Di sini, media juga harus berimbang, dalam arti tidak pilih kasih. Walaupun ada
media yang pemiliknya bisa dikatakan berpihak. Metro TV, yang dimiliki Surya Paloh
(tokoh Golkar, yang pernah maju di konvensi Partai Golkar untuk jadi Presiden RI),
misalnya, tentu dituntut harus bersikap proporsional terhadap kandidat atau parpol lain.
Lantas, bagaimana dengan kasus iklan Wiranto, Prabowo Subianto, Sutrisno
Bachir, yang gencar muncul di berbagai media saat ini? Sudah jelas, itu adalah iklan
politik, yang tersurat ataupun tersirat membawa pesan politik. Ada yang menuduh,
mereka mencuri start, karena iklan-iklan itu muncul ketika masa kampanye Pemilu 2009

belum dimulai.
Menurut saya, mereka justru memanfaatkan celah dalam undang-undang atau
ketentuan kampanye Pemilu, yang memang belum sempurna. Wiranto, Prabowo, dan
Sutrisno Bachir saat ini bukan (atau belum secara resmi ditetapkan sebagai) calon
Presiden atau calon Wakil Presiden dalam Pemilu 2009.
Oleh karena itu, iklan mereka tidak bisa serta merta dituduh sebagai “mencuri
start.” Lain halnya, jika mereka sudah resmi jadi calon Presiden atau Wapres, terus
memasang iklan di luar tanggal yang ditetapkan KPU. Itu baru jelas melanggar.
Yang tampaknya agak repot diatur adalah soal “keadilan dan pemerataan.”
Misalnya, apakah semua kandidat atau parpol harus diberi jatah durasi yang sama untuk
beriklan di satu media TV? Sebab, iklan itu terkait dengan uang.
Jika ada kandidat yang punya banyak uang, terus mau pasang iklan banyakbanyak, apakah harus dibatasi? Lalu, jika ada kandidat yang tak punya uang, dan karena
itu iklannya jarang muncul di media TV, apakah media (atau pemerintah) harus
“mensubsidi” mereka demi “keadilan dan pemerataan”?
Lalu, jika ada banyak parpol yang mau pasang iklan, dan semuanya ditayangkan
karena mendatangkan uang buat stasiun TV, dan karena itu tayangan TV jadi
membosankan, apakah masyarakat tidak protes? Soalnya, program acara musik, hiburan,
olahraga, dan lain-lain harus dikurangi durasinya, demi penayangan iklan politik. Jadi,
apa yang “adil dan merata” buat politisi dan parpol, mungkin justru dianggap tidak adil
oleh penonton TV!

Memang, masih banyak isu yang harus dibahas bagi penayangan iklan politik di
media TV. Banyak pro-kontra dalam pembahasannya. Sayang, halaman ini tidak cukup
panjang untuk membahas semuanya.
2

Banda Aceh, 11 Juni 2008
* Satrio Arismunandar, Executive Producer Trans TV, dosen Manajemen Industri Media
di Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), dan pengurus pusat AIPI (Asosiasi Ilmu
Politik Indonesia).

Biodata Penulis:
* Satrio Arismunandar adalah anggota-pendiri Aliansi Jurnalis Independen atau AJI (1994), Sekjen AJI
(1995-97), anggota-pendiri Yayasan Jurnalis Independen (2000), dan menjadi DPP Serikat Buruh Sejahtera
Indonesia (SBSI) 1993-95. Pernah menjadi jurnalis Harian Pelita (1986-88), Kompas (1988-1995), Majalah
D&R (1997-2000), Harian Media Indonesia (2000-Maret 2001), Produser Eksekutif Divisi News Trans TV
(Februari 2002-Juli 2012), dan Redaktur Senior Majalah Aktual – www.aktual.co (sejak Juli 2013).
Alumnus Program S2 Pengkajian Ketahanan Nasional UI ini sempat jadi pengurus pusat AIPI (Asosiasi
Ilmu Politik Indonesia) 2002-2011.

Kontak Satrio Arismunandar:

E-mail: satrioarismunandar@yahoo.com; arismunandar.satrio@gmail.com
Blog pribadi: http://satrioarismunandar6.blogspot.com
Mobile: 081286299061

3