Kewenangan Lembaga Adat Sulang Silima Di Bidang Pertanahan Pada Masyarakat Pakpak Di Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Seiring dengan paradigma otonomi daerah, secara umum melahirkan penguatan-penguatan politik di belahan daerah indonesia, tak terkecuali sampai kebelahan pulau Sumatera. Hal ini juga terlihat dari paradigma bangkitnya kekuatan-kekuatan identitas dan entitas budaya serta politik di Kabupaten Dairi.

Penguatan-penguatan Kekuatan politik budaya terlihat makin tumbuh subur di Sumatera Utara, di lain hal suku Pakpak mengalami ketertinggalan dibandingkan dengan suku-suku asli di propinsi Sumatera Utara. Bahkan sempat di klaim secara kasat mata akan kepunahan suku Pakpak tersebut. Hal ini di karenakan berbagai faktor yang memaksanya.

Namun yang menarik dari paradigma suku Pakpak adalah penguatan-penguatan kebudayaan di mulai dari fenomena adat. Fenomena adat tersebut mensyaratkan adanya kebangkitan ataupun kesadaran akan sebuah suku yang jauh tertinggal dibandingkan dengan suku-suku lain yang mendiami propinsi Sumatera Utara.

Pegunungan bukit barisan melintang di sepanjang pulau Sumatera dengan posisi yang jauh lebih dekat ke pantai barat. Tanah Pakpak Dairi terletak di lintangan ini. Kedudukannya diutara berbatasan dengan Karo, ditimur laut dengan Karo dan Simalungun, ditimur dengan Simalungun dan Samosir , ditenggara dengan Samosir


(2)

dan Humbang Hasundutan dan Tapanuli Tengah (Manduamas yang sejajar dengan Barus), dan Aceh (termasuk Singkil). Adapun perbatasan mulai dari barat daya hingga barat laut adalah Aceh.1

Kabupaten dairi terdiri dari 15 (lima belas) kecamatan yaitu Kecamatan Sidikalang, Kecamatan Gunung Sitember, Kecamatan Lae Parira, Kecamatan Berampu, Kecamatan Parbuluan, Kecamatan Pegagan Hilir, Kecamatan Siempat Nempu Hilir, Kecamatan Siempat Nempu Hulu, Kecamatan Silahisabungan, Kecamatan Silima Pungga-Pungga, Kecamatan Sitinjo, Kecamatan Sumbul, Kecamatan Tanah Pinem, Kecamatan Tigalingga, Kecamatan Siempat Nempu. dengan ibukota Kabupaten adalah Sidikalang.

Kecamatan Sidikalang terletak diantara 2E-3E lintang utara dan 98E-98E30’ bujur timur dan terletak diketinggian 700-1100 meter diatas permukaan laut dan ketinggian kota Sidikalang sebagai ibu kota Kecamatan Sidikalang dan sekaligus ibu kota Kabupaten Dairi adalah 1.066 m diatas permukaan laut.

Kecamatan Sidikalang memiliki luas wilayah : 70.67km2 atau total 4,20% dari total luas Kabupaten Daerah Tingkat II Dairi, yang memanjang dari arah utara ke tenggara dimana sebagian besar arealnya terdiri dari pegungungan yang bergelombang dan hanya sebagian kecil yang datar/rata.2

1http:/www.blogspot.com/2012/Sejarah Muasal Suku Pakpak.html, di Akses Tanggal 26 Mei

2013

2Kecamatan Sidikalang Dalam Angka Sidikalang In Figure,Integrasi Pengolahan Dan


(3)

Kecamatan Sidikalang sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Siempat Nempu di sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Kerajaan di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Berampu dan disebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Sitinjo/Sumbul.

Kecamatan Sidikalang terdiri dari 11 kelurahan/desa yaitu : Kelurahan Batang Beruh, Kelurahan Kalang, Kelurahan Sidiangkat, Kelurahan Huta Rakyat, Kelurahan Bintang, Kelurahan Belang Malum, Kelurahan Kuta Gambir, Kelurahan Bintang Marsada, Kelurahan Kalang Simbara, Kelurahan Bintang Hulu, Kelurahan Kota Sidikalang.

Kecamatan Sidikalang memiliki jumlah penduduk 44.202 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 22.120 jiwa dan perempuan 22.082 jiwa.

Kepadatan penduduk adalah sebanyak 625 jiwa per km persegi yang tidak merata pada setiap desa/kelurahan.3 Mata pencaharian penduduk di Kecamatan Sidikalang masih didominasi sektor pertanian yaitu sebesar 41,16%

Dari total luas Kecamatan Sidikalang terdapat luas tanah sawah 563 hektar. Luas tanah kering 3.894 hektar dan luas untuk bangunan dan halaman sekitarnya 1.725 hektar dan lainnya sekitar 930 hektar. Tanaman keras yang paling banyak adalah kopi (kopi arabika) dan produksi buah-buahan terbesar adalah pisang.

Karakteristik sosial adat istiadat di Kecamatan Sidikalang dipengaruhi oleh penduduk yang ada, seperti suku Pakpak, Karo, Toba, Simalungun, dan suku yang


(4)

lainnya serta sifatnya masih dipengaruhi oleh suku-suku tersebut, sehingga kegiatannya masih dipengaruhi oleh norma adat yang berlaku.

Suku asli yang mendiami Kabupaten Dairi dan khususnya Sidikalang adalah suku Pakpak. Dalam mayarakat Dairi di kenal Lembaga Adat Sulang Silima Marga, dimana Sulang Silima Marga memiliki peran dan kewenangan yang penting dalam masyarakat Sidikalang. Peran sentral yang dimiliki Sulang Silima adalah persoalan perkawinan, tanah, dan persoalan-persoalan peradatan.

Sampai hari ini secara turun temurun dapat kita temukan di tengah-tengah masyarakat yang berdomisili di Sidikalang, apabila hendak melakukan kepentingan yang berkaitan dengan pertanahan haruslah bersinergi dengan lembaga adat tersebut. Bersinergi dengan Lembaga Adat Sulang Silima tersebut adalah dengan berkoordinasi apabila hendak melakukan urusan yang berkaitan dengan pertanahan, baik melalui penyerahan kemudian untuk di teruskan menjadi kepemilikan tanah dalam jual beli, hibah, pinjam pakai dan semacamnya.

Dan di tambah dengan kewenangan yang dimiliki Lembaga Adat Sulang Silima Marga yang paling penting adalah mengenai penerbitan alas tanah. Satu-satunya lembaga yang berwenang di Sidikalang yang menerbitkan alas tanah untuk kepentingan fasilitas Negara/Pemerintah maupun individu adalah Sulang Silima Marga tersebut. Kemudian setelah penerbitan alas tanah tersebut bisa di teruskan ke pengurusan dan penerbitan sertipikat oleh lembaga yang terkait dalam hal ini adalah Badan Pertanahan Nasional Sidikalang.


(5)

Dikarenakan kebiasaan secara turun temurun dan keberadaan Sulang Silima Marga-Marga Suku Pakpak di tengah-tengah masyarakat, melalui Surat Edaran Bupati Dairi Nomor 590/8859 Pada Tanggal 18 (delapan belas) Oktober 2001, perihal keberadaan tanah ulayat/tanah marga, dijelaskan diawal pembuka surat edaran tersebut bahwa mencermati perkembangan akhir-akhir ini dan mensiasati kehidupan masyarakat pada era reformasi saat ini, mengacu kepada UUPA yaitu Undang-Undang No 5 Tahun 1960 Pasal 3 (Tiga) dan 5 (lima) jis. Peraturan Menteri Negara Agraria /Ka BPN No 2 Tahun 2000, bahwa untuk meminimalkan dan mengantisipasi persoalan pertanahan dikarenakan semakin meningkatnya kebutuhan akan tanah para pihak-pihak pemerintahan baik Para Camat, Para Kepala Desa dan Lurah serta Notaris/PPAT Se Kabupaten Dairi diminta arif dan bijaksana serta senantiasa membina kemitraan dan berdampingan secara serasi dengan Lembaga Adat.

Hal ini dilatar belakangi adanya persoalan tanah secara umum yang riwayat tanah tersebut berasal dari tanah marga tapi kemudian ditengah-tengah masyarakat diperjual belikan tanpa melibatkan Lembaga Adat Sulang Silima Marga, dan belakang hari pengurus Lembaga Adat Sulang Silima Marga melakukan protes atas status tanah tersebut, hal ini merupakan semakin tumbuh suburnya kesadaran masyarakat Pakpak akan kedudukannya sebagai pemangku ulayat disatu sisi, kemudian disatu sisi yang lain kebutuhan akan tanah semakin meningkat. di tambah dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk. Maka surat edaran tersebut di terbitkan guna mensepadankan pihak-pihak yang terkait untuk mencapai keselarasan


(6)

pertanahan di Kabupaten Dairi dan meminimalisir tumpang tindih ataupun carut marut persoalan pertanahan di Kabupaten Dairi.

Dan hal ini juga bisa di pahami bahwa secara umum riwayat tanah di Kabupaten Dairi awalnya adalah tanah ulayat dan seiring perkembangan zaman tanah-tanah ulayat tersebut banyak di keluarkan statusnya dari tanah ulayat untuk kemudian di manfaatkan sesuai kepentingan masyarakat baik secara individu maupun lembaga.

Dikarenakan status riwayat tanah adalah tanah ulayat , maka melalui surat edaran tersebut juga bermaksud untuk menegaskan kepada pihak-pihak yang terkait supaya meminimalisir persoalan tanah hendaknya melibatkan Sulang Silima Marga Suku Pakpak agar menjalin kemitraan. Dengan jalinan kemitraan tersebut pada akhirnya selaras dengan semangat pengakuan UUPA yang mengakui keberadaan hak ulayat dan juga meminimalisir tumpang tindih kepemilikan status tanah dan persoalan-persoalan lainnya.

Seiring dengan diterbitkannya Surat Edaran Bupati tersebut maka dampaknya meneguhkan bahwa Sulang Silima Marga Suku Pakpak semakin memiliki kewenangan yang cukup berpengaruh terkait pertanahan di Kabupaten Dairi khusunya Kota Sidikalang, dan juga tindak lanjut dalam surat edaran tersebut hendak lebih mengarahkan pada akhirnya akan diatur dalam Peraturan Daerah yang disampaikan melalui klausula ketiga dalam surat edaran Bupati tersebut.

Penguatan hukum adat dalam perkembangannya mengalami proses yang panjang, penguasa pada saat Indonesia memerdekakan sebagai sebuah bangsa melalui


(7)

proklasmasi 17 agustus 1945 telah menyadari bahwa hukum adat sebagai salah satu hukum asli bangsa Indonesia merupakan hukum yang harus diakui dan sekaligus sebagai benteng pertahanan jati diri bangsa.

Sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), hukum tanah di Indonesia dipengaruhi oleh keadaan pada zaman penjajahan adalah bersifat dualisme, dimana status hukum tanah ada yang dikuasai oleh hukum Eropa (burgerlijk wetboekdan ada yang dikuasai oleh hukum adat (hukum tanah adat).4

Tanah-tanah yang dikuasai oleh hukum Eropa disebut juga dengan tanah hak barat, “misalnyaTanah Eigendom, Tanah Erpacht,Tanah Opstal, dan lain-lain yang hampir semuanya terdaftar pada kantor pendaftaran tanah, menurut overscrijvingsordonnantieatau ordonasi balik nama (S. 1834-27)”. Tanah-tanah hak barat itu tunduk pada ketentuan hukum agraria barat, misalnya mengenai cara memperolehnya, peralihannya, lenyapnya, hapusnya), pembebanannya dengan hak-hak lain dan wewenang-wewenang serta kewajiban-kewajiban yang mempunyai hak-hak.

Tanah-tanah dengan hak Indonesia yaitu tanah yang tunduk pada hukum agraria adat, “antara lain adalah tanah ulayat, tanah milik (yayasan), tanah usaha, tanah gogolan.5

Tanah-tanah dengan hak Indonesia atau yang tunduk pada hukum adat hampir semua belum terdaftar kecuali tanah yang berstatus buatan atau ciptaan Pemerintah Kolonial yaitu, “Tanah Agrarische Eigendom, tanah milik di dalam kota Yogjakarta,

4Ahmad Fauzi Ridwan,Hukum Tanah Adat, Dewaruci Press, Jakarta, 1982, hal 11. 5Kartini Soedjendro,Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Berpotensi Konflik,


(8)

tanah-tanah milik di dalam kota, di daerah Surakarta dan tanah-tanah grant di Sumatera Timur.”6

Tanah adat merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang telah di kuasai sejak dulu, dan telah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa/negara yang bersangkutan, lebih-lebih yang corak agrarisnya berdominasi.

Di negara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat merupakan suatu condition sine qua non. Untuk mencapai tujuan itu di perlukan campur tangan penguasa yang berkompeten dalam urusan tanah khususnya mengenai lahirnya, berpindah dan berakhirnya hak milik atas tanah. Di lingkungan hukum adat, campur tangan itu di lakukan oleh kepala berbagai persekutuan hukum, seperti kepala atau pengurus desa. Jadi, jika timbul permasalahan yang berkaitan dengan tanah adat ini, maka pengurus-pengurus yang telah ada itulah yang menyelesaikannya.

Dalam hukum tanah adat ini terdapat kaedah-kaedah hukum. Keseluruhan kaedah hukum yang tumbuh dan berkembang di dalam pergaulan hidup antar sesama manusia adalah sangat berhubungan erat dengan pemanfaatan tanah sebaik-baiknya sekaligus menghindarkan perselisihan. Hal ini lah yang di atur dalam hukum tanah adat. Dari ketentuan-ketentuan hukum tanah ini akan timbul hak dan kewajiban yang berkaitan erat dengan hak-hak yang ada di atas tanah.


(9)

Hukum tanah di Indonesia dari zaman penjajahan terkenal besifat “dualisme”, yang dapat diartikan bahwa status hukum atas tanah ada yang dikuasai oleh hukum eropa disatu pihak, dan yang dikuasai oleh hukum adat, dipihak lain.7

Dualisme dalam hukum pertanahan juga mengakibatkan dualisme dalam penyelenggaraan dan prosedur peralihan hak atas tanah. Untuk itulah di perlukan unifikasi hukum pertanhan yang bersifat nasional. Oleh sebab itu, pada tanggal 24 September 1960 lahir Undang-Undan Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), maka hukum agraria lama yang lebih condong untuk kepentingan penjajah di hapuskan dan digantikan dengan hukum agraria baru yang besifat nasional.

Di dalam pasal 5 UUPA disebutkan bahwa “hukum agraria yang berlaku atas bumi air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan sengan kepentingan nasional dan Negara”.8

Dengan demikian, “landasan hukum yang di jadikan sendi-sendi dari hukum agraria nasional adalah hukum adat menurut versi UUPA”.9 Dari kenyatan tersebut maka jelaslah bahwa keberadaan tanah hak milik adat yang di akui berdasarkan UUPA masih dapat di temukan pada masa sekarang.

7Ahmad Fauzi Ridwan, Hukum Tanah Adat-Multi Disiplin Pembudayaan Pancasila,

Dewaruci Press, Jakarta, 1982, hal 12.

8Kartini Soedjendro,OpCit, hal 66. 9Ibid,hal 16.


(10)

Salah satu tujuan pokok UUPA adalah meletakkan dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat, dengan telah dilaksanakan pendaftaran tanah pada setiap tanah di seluruh Indonesia, berarti telah telah memberikan dasar-dasar untuk mewujutkan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah bagi rakyat Indonesia, terutama bagi rakyat petani sebagai masyarakat dapat dilindungi haknya.

Tujuan pendaftaran tanah meliputi pendaftaran untuk pertama kali, maupun untuk pendaftaran peralihan hak atas tanah, pelaksanaan pendaftaran tanah pertama kali diatur dalam Bab III Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, sedangkan yang berlaku pada saat sekarang ini, diatur dalam Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, dan untuk pendaftaran peralihan hak atas tanah diatur dalam Pasal 19 PP Nomor 24 Tahun 1997.

Pendaftaran tanah ini dapat dikelompokkan :

1. Pendaftaran tanah untuk pertama kalinya untuk tanah milik adat yang belum pernah didaftarkan.

2. Pendaftaran peralihan hak atas tanah.

Pendaftaran tanah yang merupakan kepunyaan bersama menurut hukum adat tidak dapat didaftarkan begitu saja tanpa ada musyawarah dari kaum dan pemilik tanah, oleh sebab itu petugas Kantor Pertanahan harus menanyakan terlebih dahulu pada pemilik tanah adat tersebut, apakah sudah merupakan kesepakatan bersama dari anggota kaum untuk mendaftarkan tanah adat tersebut. Untuk mendaftarkan tanah


(11)

adat haruslah ada kesepakatan atau persetujuan dari anggota kaum yang gunanya untuk menjaga jangan timbulnya sengketa nantinya.

Pembuatan dan penerbitan sertifikat hak atas tanah merupakan salah satu rangkaian kegiatan pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia sebagaimana diatur dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah. Disamping itu dengan dilakukannya pendaftaran tanh secara tertib dan teratur akan merupakan salah satu perwujudan dari pada pelaksanaan Catur Tertib Pertanahan.

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis merasa tertarik untuk mengetahui, mempelajari dan memahami bagaimana Kewenangan Lembaga Adat Sulang Silima Di Bidang Pertanahan Pada Masyarakat Pakpak Di Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi dan mengkaji ataupun mengupasnya dalam bentuk tesis dikarenakan kedudukan maupun peranan Sulang Silima Marga-Marga Suku Pakpak ditengah-tengah masyarakat Dairi sangat kuat secara yuridis bahkan boleh dikatakan bahwa alas tanah yang diterbitkan oleh Sulang Silima Marga-Marga Suku Pakpak merupakan “kunci” utama dalam melakukan proses untuk diteruskan dalam melakukan pendaftaran sertipikat tanah ataupun dalam hal transaksi tanah baik jual beli dan lain sebagainya. Sehingga penulis tertarik untuk mengupas tesis ini dengan judul:

“KEWENANGAN LEMBAGA ADAT SULANG SILIMA DI BIDANG

PERTANAHAN PADA MASYARAKAT PAKPAK DI KECAMATAN


(12)

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang sebagaimana telah diuraikan diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana kedudukan Lembaga Adat Sulang Silima Marga-Marga pada masyarakat Pakpak di Kecamatan Sidikalang?

2. Bagaimana kewenangan Lembaga Adat Sulang Silima dalam bidang pertanahan pada masyarakat Pakpak di Kecamatan Sidikalang?

3. Bagaimana hubungan hukum Lembaga Adat Sulang Silima dengan Pemerintah dalam penerbitan hak atas tanah pada masyarakat Pakpak di Kecamatan Sidikalang?

C. Tujuan Penelitian

berdasarkan pada permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui kedudukan Lembaga Adat Sulang Silima Marga-Marga pada masyarakat Pakpak di Kecamatan Sidikalang.

2. Untuk mengetahui kewenangan Lembaga Adat Sulang Silima dalam bidang pertanahan pada masyarakat Pakpak di Kecamatan Sidikalang.

3. Untuk mengetahui hubungan hukum Lembaga Adat Sulang Silima dengan Pemerintah dalam penerbitan hak atas tanah pada masyarakat Pakpak di Kecamatan Sidikalang.

D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis


(13)

Secara teori, diharapkan dengan adanya pembahasan mengenai tanah ulayat atau tanah marga maka pembaca dapat semakin mengetahui tentang perkembangan tanah adat dalam hukum agraria.

2. Secara Praktis

Secara praktis, pembahasan dalam tesis ini diharapkan dapat memperkaya bahan pustaka mengenai hukum pertanahan, menjadi masukan bagi kalangan praktisi yang berkepentingan terutama mengenai hak ulayat dalam hukum pertanahan Indonesia dan juga diharapkan menjadi bahan bagi mereka yang akan mendalami atau meneliti masalah hak ulayat atau tanah marga masyarakat hukum adat.

E. Keaslian Penelitian

Sepanjang yang diketahui berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran yang telah ada dilakukan khususnya di lingkungan Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Lembaga Adat Pada Masyarakat Pakpak : Kewenangannya di Bidang Pertanhan (Study di Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi)”, belum pernah dilakukan oleh peneliti lain, oleh karena itu penelitian ini adalah asli dan dapat di pertanggungjawabkan keasliannya secara akademis.

Adapun penelitian yang pernah dilakukan adalah :

1.”Kajian Hukum Mengenai Alat Bukti Kepemilikan Tanah Milik Adat Dalam Pendaftaran Tanah di Kota Padang Sidempuan”. Oleh : Idawati Harahap

2.”Suatu Kajian Hukum Status dan Eksistensi Tanah Marga Yang di Jadikan Fasilitas Umum Oleh Pemerintah Kabupaten Dairi”. Oleh : Enrico Nugraha Simatupang F. Kerangka Teori dan Konsepsi


(14)

1. Kerangka Teori

Teori adalah gejala untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkannya ketidak benarannya.10

Menurut M. Solly Lubis

Menetapkan landasan teori pada waktu di adakan penelitian ini tidak salah arah sebelum diambil rumusan landasan teori, yang menyebutkan bahwa landasan teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang membuat kerangka berfikir dalam penulisan.11

Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah : “mewujudkan keadilan (rechtsgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum (rechtszekerheid).”12 Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith (1723-1790). Guru besar dalam bidang filosofi moral dan sebagai ahli teori hukum dari Glasglow University pada tahun 1950,13 telah melahirkan ajaran tentang keadilan (justice).

10J.J.M. Wuisman, dalam M. Hisyam,Penelitian Ilmu-ilmu Ssosial, Asas-Asas, FE

UI,Jakarta, 1996, Hal 2003

11M Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, Cetakan ke II, 1994,

Hal 80

12Achmad Ali,Menguak Tabir Hukum, (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung

Agung Jakarta, 2002, Hal 85

13Bismar Nasution,Mengkaji Ulang sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato Pada

Pengukuhansebagai Guru Besar , USU-Medan, 17 April 2004, hal 4-5. Sebagaimana dikutip dari Neil Mac Cornick, “Adam Smith On Law”, Valvarasio University Law Review, Vol 15, 1981, hal 244

14Ibid, sebagaimana dikutip dari R. L. Meek, D.D. Raphael dan P.G. Stein, e.d, Lecture of


(15)

Smith mengatakan bahwa “tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian” (the end of justice is to secure from injury)14

Menurut Sajipto Raharjo,

Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan kekuasaan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak. Tetapi tdak disetiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang15

Penelitian ini menggunakan teori harmonisasi hukum sebagai wacana dan pisau analisis (tools of analysis). Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan, petunjuk, dinamika hukum yang terjadi, serta gejala yang diamati dan diteliti karena penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum yang diarahan secara khas ilmu hukum,maksudnya adalah penelitian ini berusaha untuk membongkar dan memahami tentang eksistensi dan dinamika hak ulayat serta hubungan hukumnya dengan pendaftaran tanah dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Titik tautnya adalah tanah jika kita berbicara menyangkut pembangunan dan kehidupan.”tanah adalah suatu benda bernilai ekonomis, sekaligus magis religio kosmis menurut pandangan bangsa Indonesia, ia pula yang sering memberi getaran didalam perdamaian dan sering pula menimbulkan goncangan dalam masyarakat, lalu ia juga yang sering menimbulkan sendatan dalam pembangunan16

15Sajipto Rahardjo,Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-V, Bandung, 2000, hal 53 16John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 1987,


(16)

Harmonisasi hukum diartikan sebagai upaya atau proses penyesuaian asas dan sistem hukum agar terwujud kesederhanaan hukum, kepastian hukum dan keadilan. Harmonisasi hukum sebagai suatu proses dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, mengatasi hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan di antara norma-norma hukum di dalam peraturan perundang-undangan, sehingga terbentuk peraturan perundang-undangan nasional yang harmonis, dalam arti selaras, serasi, seimbang, terintegrasi dan konsisten serta taat asas.

Langkah sistematik harmonisasi hukum nasional, bertumpu pada paradigma Pancasila dan UUD 1945 yang melahirkan sistem kenegaraan dengan dua asas fundamental, asas demokrasi dan asas Negara hukum yang di idealkan mewujudkan sistem hukum nasional dengan tiga komponen yaitu substansi hukum, struktur hukum, beserta kelembagaannya dan budaya hukum.

Langkah sistematik tersebut disatu sisi dapat di jabarkan dalam harmonisasi peraturan perundang-undangan dan di sisi lain di implementasikan dalam rangka penegakan-penegakan hukum

Melalui harmonisasi hukum akan terbentuk sistem hukum yang mengakomodir tuntutan akan kepastian hukum dan terwujudnya keadilan. Begitu pula dalam hal penegakan hukum, harmonisasi hukum akan dapat menghindari tumpang tindih bagi badan peradilan yang melakukan kekuasaan kehakiman dengan badan-badan pemerintah yang di beri wewenang melakukan fungsi peradilan menurut peraturan perundang-undangan.


(17)

Dasar dan orientasi dalam setiap langkah harmonisasi hukum adalah tujuan harmonisasi, nilai-nilai dan asas hukum, serta tujuan hukum itu sendiri, yakni harmoni antara keadilan, kepastian hukum dan sesuai tujuan (doelmatigheid). Pada akhirnya, pelaksanaan penegakan hukum perlu memperhatikan aktualisasi tata nilai yang terkandung dalam konstitusi dan prinsip-prinsip penegakan hukum yang baik (good law enforcement governance).17

Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan di buat dan di undangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam arti tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan logis dalam arti karena menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma yang ditimbulkan dari ketidak pastian aturan dapat berbentuk kontestasinorma,reduksinorma, ataudistorsinorma.18

Pasal 33 ayat (3) yang merupakan payung hukum tertinggi terhadap pengakuan hak-hak masyarakat dalam mempergunakan berbagai sumber kekayaan yang ada dibumi, seperti hutan dan tanah atau lahan yang tujuannya sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pasal ini mengamanatkan kepada pemerintah sebagai penyelenggara Negara untuk dapat mengelola bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dengan sebaik-baiknya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.19

17http.//www.blogspot.com/2009/penegakanhukum.html, diakses tanggal 20 Oktober 2012 18http://www.sosial-budaya.blogspot.com/2009/05/tujuan-dan-fungsihukum.html, diakses

tanggal 20 Oktober 2012

19http:/www.blogspot.com/2010/harmonisasi kedudukan hak ulayat dalam peraturan


(18)

Hak ulayat sebagai sebuah istilah teknis yuridis adalah hak yang melekat sebagai kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang/kekuasaan mengurus dan mengatur tanah seisinya dengan daya laku kedalam maupun keluar.

Titik berat hak ulayat adalah penguasaan atas tanah adat beserta seluruh isinya oleh masyarakat hukum adat. Penguasaan di sini bukanlah dalam arti memiliki tetapi hanya sebatas mengelola.

Hal ini dapat di lihat dalam peraturan perundang-undangan yang diterbitkan diantaranya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas, Undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Tenaga Listrik, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan, Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.20

Beberapa daerah telah mengeluarkan peraturan daerah sebagai pengakuan dan pengukuhan keberadaan masyarakat adat di wilayahnya tetapi masih banyak juga daerah yang belum menerbitkan peraturan daerah meskipun di tengarai ada masyarakat adat di wilayah tersebut. Di sisi lain dalam era reformasi, pemerintah di tuntut untuk dapat melakukan pembaharuan menyeluruh di segala bidang termasuk hukum.

20. htpp://wwwblogspot.com/2010/harmonisasi kedudukan hak ulayat dalam peraturan perundangan Indonesia.html, diakses tanggal 22 Oktober 2012


(19)

Tanah merupakan salah satu unsur esensial dalam kehidupan dan penghidupan umat manusia. Ada dua hal yang menyebabkan bahwa tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat yaitu :

1. Karena sifatnya yang merupakan suatu benda kekayaan yang bersifat tetap dan menguntungkan.

2. Karena tanah merupakan tempat tinggal persekutuan masyarakat adat, memberi penghidupan kepada persekutuan masyarakat adat bahkan merupakan tempat dimana para warga persekutuan meninggal dunia di kebumikan.

Hubungan antara masyarakat adat dengan tanah yang di dudukinya sangat erat, dimana tanah merupakan sumber penghidupan yang bersifat religio-magis. Hubungan erat dan bersifat religio magis ini kemudian mendorong masyarakat adat berusaha untuk memperoleh hak menguasai tanah. Mengingat pentingnya kedudukan tanah bagi masyarakat adat, maka bagaimanapun sederhana tingkat kebudayaannya masyarakat adat tentu mempunyai cara dan kebiasaan dalam pengaturan tanah meskipun tidak selalu dalam wujud dokumen tertulis, akan tetapi akses dalam suatu persekutuan pengelolaan tanah secara umum di kontrol dan di dukung oleh suatu jaringan kekerabatan yang kompleks.

Wujud hak ulayat tersebut berciri sebagai berikut.21

21Dirman dan Boedi Harsono, dalam tampil Anshari Siregar,Mempertahankan Hak Atas


(20)

1. Masyarakat hukum adat dan para anggota-anggotanya berhak untuk dapat mempergunakan tanah hutan belukar didalam lingkungan wilayah dengan bebas yaitu bebas untuk membuka tanah, memungut hasil, berburu, mengambil ikan, mengembala ternak, dan lain sebagainya.

2. Bagi yang bukan anggota masyarakat hukum adat tersebut dapat pula mempergunakan hak-hak itu hanya saja harus mendapatkan izin lebih dahulu dari kepala masyarakat hukum adat, dan membayar uang pengakuan atau recognitie(diakui setelah memenuhi kewajibannya).

3. Masyarakat hukum adat bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam lingkungan wilayahnya apabila pelakunya tidak dapat dikenal. 4. Masyarakat hukum adat tidak dapat menjual atau mengalihkan hak ulayat itu

untuk selama-lamanya kepada siapa saja.

5. Masyarakat hukum adat mempunyai hak campur tangan terhadap tanah-tanah yang digarap dan dimiliki oleh para anggota-anggotanya seperti dalam hal jual beli dan lain sebagainya.

Hak ulayat mengandung dua unsur/aspek, yaitu aspek hukum perdata dan aspek hukum publik. Aspek hukum perdata yaitu merupakan hak kepunyaan bersama para warga masyarkat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat, sedangkan aspek hukum publik yaitu sebagai kewenangan mengelola dan mengatur peruntukan, penggunaan dan penguasaan tanah ulayat tersebut baik dalam hubungan intern dengan para warganya sendiri maupunekstern dengan orang yang bukan warga atau orang luar.


(21)

Pada dasarnya setiap orang maupun badan hukum membutuhkan tanah karena tidak ada aktifitas orang maupun badan hukum apalagi yang disebut kegiatan pembangunan yang tidak membutuhkan tanah. Pembangunan untuk kepentingan umum yang di laksanakan Pemerintah tidak bisa di tawar ataupun ditunda, terlebih lagi di dalam Dasar Negara Pancasila di nyatakan bahwa kepentingan umum itu harus di pandang porsinya lebih besar dan di dahulukan dari kepentingan individu.

Demikian juga pihak swasta yang melaksanakan upaya pengembangan dan peningkatan usahanya, baik yang bernuasnsa untuk kepentingan umum maupun juga membutuhkan tanah. Belum lagi banyaknya anggota masyarakat yang nekat menduduki dan menguasai tanah tanpa alas hak yang sah bahkan dengan cara-cara yang terencana dan sengaja melakukan kekerasan untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu semakin cepat roda pembangunan berputar maka semakin luaslah tanah yang di butuhkan. Di wilayah yang padat penduduknya secara logis akan di laksanakan kegiatan pembangunan yang lebih luas. Dengan demikian pengambilan tanah-tanah yang lebih luaspun yang sudah di miliki/di kuasai oleh masyarakat tidak terelakkan akan menjadi korban.

Hak seseorang atas tanah yang semestinya harus di hormati, dalam pengertian tidak boleh orang lain melakukan tindakan yang melawan hukum untuk memiliki/menguasai lahan tersebut. Seyogianya jika ada hak seseorang atas tanah harus didukung oleh bukti hak dapat berupa sertipikat, bukti hak tertulis non sertipikat dan/atau pengakuan/keterangan yang dapat dipercaya kebenarannya. Jika


(22)

penguasaan atas tanah di maksud hanya di dasarkan atas kekuasaan, arogansi atau kenekatan semata, pada hakekatnya penguasaan tersebut sudah melawan hukum.

Tegasnya berdasarkan hukum tidak dapat di sebut bahwa yang bersangkutan mempunyai hak atau tanah itu atau dengan kata lain, penguasaan yang demikian tidak boleh di tolerir dan semestinya yang berwenang dengan segala wewenang yang ada padanya harus segera menggusurnya dari tanah tersebut karena jika berlarut-larut masalahnya semakin rumit untuk diselesaikan dan pengaruhnya sangat meluas (komplikatif) dan berdampak tidak baik (destruktif) di masa mendatang. Masalah ini semakin meningkat akhir-akhir ini karena jumlah penduduk Indonesia sebagai petani yang membutuhkan lahan untuk di olah warga.22

Jika pemerintah dengan jajarannya memerlukan sebidang tanah yang penggunaannya untuk kepentingan Negara dan/atau kepentingan umum dapat menempuh cara yang bersesuaian dengan status tanah yang diperlukan itu.

Jika tanah tersebut tanah Negara yang bebas cukup dengan mengajukan permohonan hak, tetapi jika tanah Negara tidak bebas cukup dengan mengajukan permohonan hak, tetapi jika tanah Negara tidak bebas dengan kata lain tanah tersebut telah di kuasai dan di usahai oleh orang/badan hukum lain tanpa alasan hak yang sah maka akan bertambah kewajiban si pemohon untuk membebaskannya jika permohonannya dikabulkan.

Selain itu yang positif dalam upaya pencegahan spekulasi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 3 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 yakni apabila tanah

22


(23)

telah di tetapkan sebagai lokasi pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan surat keputusan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan surat Keputusan penetapan lokasi oleh Bupati/Walikota atau Gubernur sesuai dengan kewenangannya.23 Maka tidak mengherankan apabila Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tanggal 3 Mei 2005 telah di revisi oleh Pemerintah dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tanggal 5 Juni 2006.24

Dalam prinsip “Negara Menguasi”, maka dalam hubungan antara Negara dan masyarakat, masyarakat tidak dapat disubordinasikan kedudukannya dibawah Negara karena Negara justru menerima kuasa dari masyarakat untuk mengatur tentang peruntukan, persediaan dan penggunaan tanah, serta hubungan hukum dan pembuatan hukum yang bersangkutan dengan tanah.

Saat sekarang kepentingan pemerintah daerah serta masyarakat dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang terus meningkat dan berkembang tentunya menjadi hal yang penting pula untuk kemajuan suatu daerah. Hal tersebut di lakukan dengan membangun infrastruktur, fasilitas-fasilitas umum diatas tanah hak ulayat yang bertujuan untuk laju pertumbuhan eonomi dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Tanah yang dulu di pandang dari sudut sosial yang tercakup dalam lingkup hukum adat, hak ulayat dan fungsi sosial, kini mulai dilihat dari kaca mata ekonomi,

23Muhammad Yamin, Abd Rahim Lubis (a),Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju,

Bandung 2008, hal 331


(24)

sehingga tepat apabila Persatuan Bangsa-Bangsa mensinyalir bahwa saat ini masalah pertanahan tidak lagi menyangkut isu kemasyarakatan tetapi telah berkembang menjadi isu ekonomi.25

Penggunaan tanah harus di sesuaikan dengan keadaaannya dan sifat dari hakikatnya, sehingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Tetapi dalam ketentuan tersebut tdak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat).

Kepentingan masyarakat dan perorangan haruslah saling berdampingan, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan, bagi masyarakat seluruhnya.26 Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal 2 ayat (2) UUPA yaitu “wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam mayarakat dan negara hukum indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur”.

2. Konsepsi

Dalam kerangka konsepsional di ungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang di pergunakan sebagai dasar penelitian hukum.27konsepsi di

25Muhammad Yamin, Abd Rahim (b),Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Medan,

Pustaka Bangsa Press, 2004, hal 26

26Ibid, hal 62

27Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,


(25)

terjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi sesuatu yang konkrit.

Konsepsi merupakan defenisi operasional dari intisari obyek penelitian yang dilaksanakan. Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu di pergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini di rumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau defenisi operasioanl sebgai berikut :

1. Status adalah keadaan atau kedudukan (orang, badan,dsb) dalam hubungan dengan masyarakat disekelilingnya.28

2. Eksistensi adalah hal berada;keberadaan29

3. Hak ulayat, sebutan yang dikenal dalam kepustakaan hukum adat dan dikalangan masyarakat hukum adat diberbagai daerah dengan nama yang berbeda-beda merupakan penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu yang merupakan tanah ulayat di Kabupaten Dairi.

4. Sulang Silima Marga, sebutan untuk lembaga adat Pakpak yang mengurusi persoalan peradatan di Kabupaten Dairi serta lembaga pemangku hak adat Suku Pakpak Kabupaten Dairi.

5. Suku pakpak adalah salah satu kelompok etnis di propinsi sumatera utara G. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian dan Metode Pendekatan

28http://www.Kamus Bahasa Indonesia.org, diakses tanggal 22 Oktober 2012 29http://www.Kamus Bahasa Indonesia.org, diakses tanggal 22 Oktober 2012


(26)

Sesuai dengan permasalahan maka sifat penelitian ini adalah deskriptif analitisyaitu penelitian yang bertujuan memberikan gambaran tentang Kewenangan Lembaga Adat Sulang Silima Di Bidang Pertanahan Pada Masyarakat Pakpak di Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris. Selain melihat perundang-undangan yang berlaku dibidang pertanahan yang berhubungan dengan tanah marga juga untuk mendapatkan jawaban permasalahan dari lapangan tentang Lembaga Adat Pada Masyarakat Pakpak : Kewenangannya di Bidang Pertanahan (Study di Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi).

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah Kecamatan Sidikalang, namun mengingat luasnya wilayah Kecamatan Sidikalang, yang terdiri dari 11 kelurahan dan desa, maka diambil 2 (dua) kelurahan sebagai sampel yaitu Kelurahan Batang Beruh dan Kelurahan Sidiangkat.

Pengambilan sampel pada dua kelurahan ini dilakukan dengan teknik purposive sampling, mengingat (2) dua kelurahan ini mayoritas penduduknya adalah suku Pakpak dan masih mengakui eksistensi dan peranan Sulang Silima.

3. Populasi dan Sampel

Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat adat yang terdapat di Kelurahan Sidiangkat dan Kelurahan Batang Beruh, Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi.

Sedangkan sampel yang diambil masing-masing dua puluh (20) orang masyarakat yang menjadi perwakilan dari Kelurahan Sidiangkat dan Kelurahan Batang Beruh.


(27)

4. Teknik Pengumpul Data

Untuk mendapatkan hasil yang obyektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat di pertanggung jawabkan hasilnya, maka dalam penelitian ini menggunakan 2 (dua) Teknik pengumpulan data yaitu:

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan di lakukan dengan menelaah semua literatur yang berhubungan dengan topik penelitian yang sedang di lakukan. Data ini di peroleh dengan mempelajari buku-buku, hasil penelitian, dokumen-dokumen perundang-undangan yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

b. Studi Lapangan

Dilakukan dengan pedoman wawancara kepada para pihak yang di anggap berkompeten dalam bidang pertanahan dan berwenang untuk memberikan penjelasan berkaitan dengan materi yang menjadi obyek penelitian, antara lain instansi-instansi terkait dengan masalah pendaftaran tanah marga/ulayat sepeti lembaga adat, Badan Pertanahan Kabupaten Dairi, serta masyarakat Dairi.

5. Alat Pengumpul Data

Untuk mendapatkan hasil yang obyektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya, maka dalam penelitian ini menggunakan 2 (dua) alat pengumpul data yaitu :

a. Studi Dokumen

Studi dokumen dilakukan dengan menelaah semua dokumen yang berkaitan dengan topik penelitian yang sedang dilakukan. Dokumen ini diperoleh dari Penetua-Penetua Adat.


(28)

Dilakukan wawancara langsung kepada pihak-pihak yang mengetahui dan berkompeten untuk memberikan penjelasan yang berkaitan dengan topik penelitian, antara lain Penetua Adat, instansi Pemerintah yang terkait dan masyarakat Sidikalang. 6. Sumber Data

Data penelitian ini di peroleh dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder:

a. Data Primer

Data primer yaitu data yang di peroleh langsung dari nara sumber, yakni pihak pejabat Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Dairi, Penatua Adat, serta masyarakat Dairi, sebagaimana di jelaskan dalam sampel yang di tunjuk sebelumnya

b. Data Sekunder

Dalam penelitian ini yang di jadikan sebagai data sekunder adalah berupa bahan-bahan kepustakaan hukum, Peraturan Perundang-Undangan yang relevan, serta dokumen-dokumen yang berkaitan dengan permasalahan yang di teliti.

7. Analisis Data

Data yang dikumpulkan baik dari penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan selanjutnya di analisis secara kualitatif, yaitu metode analisa yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang di peroleh dari penelitian lapangan menurut kualitas kebenarannya, kemudian di hubungkan dengan teori-teori yang di peroleh dari kepustakaan, sehingga di peroleh jawaban atas permasalahan yang di ajukan. Kemudian berdasarkan analisa tersebut ditarik kesimpulan dengan menggungkan metode deduktif.


(1)

telah di tetapkan sebagai lokasi pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan surat keputusan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan surat Keputusan penetapan lokasi oleh Bupati/Walikota atau Gubernur sesuai dengan kewenangannya.23 Maka tidak mengherankan apabila Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tanggal 3 Mei 2005 telah di revisi oleh Pemerintah dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tanggal 5 Juni 2006.24

Dalam prinsip “Negara Menguasi”, maka dalam hubungan antara Negara dan masyarakat, masyarakat tidak dapat disubordinasikan kedudukannya dibawah Negara karena Negara justru menerima kuasa dari masyarakat untuk mengatur tentang peruntukan, persediaan dan penggunaan tanah, serta hubungan hukum dan pembuatan hukum yang bersangkutan dengan tanah.

Saat sekarang kepentingan pemerintah daerah serta masyarakat dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang terus meningkat dan berkembang tentunya menjadi hal yang penting pula untuk kemajuan suatu daerah. Hal tersebut di lakukan dengan membangun infrastruktur, fasilitas-fasilitas umum diatas tanah hak ulayat yang bertujuan untuk laju pertumbuhan eonomi dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Tanah yang dulu di pandang dari sudut sosial yang tercakup dalam lingkup hukum adat, hak ulayat dan fungsi sosial, kini mulai dilihat dari kaca mata ekonomi,

23Muhammad Yamin, Abd Rahim Lubis (a),Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung 2008, hal 331


(2)

sehingga tepat apabila Persatuan Bangsa-Bangsa mensinyalir bahwa saat ini masalah pertanahan tidak lagi menyangkut isu kemasyarakatan tetapi telah berkembang menjadi isu ekonomi.25

Penggunaan tanah harus di sesuaikan dengan keadaaannya dan sifat dari hakikatnya, sehingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Tetapi dalam ketentuan tersebut tdak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat).

Kepentingan masyarakat dan perorangan haruslah saling berdampingan, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan, bagi masyarakat seluruhnya.26 Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal 2 ayat (2) UUPA yaitu “wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam mayarakat dan negara hukum indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur”.

2. Konsepsi

Dalam kerangka konsepsional di ungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang di pergunakan sebagai dasar penelitian hukum.27konsepsi di

25Muhammad Yamin, Abd Rahim (b),Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2004, hal 26

26Ibid, hal 62

27Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Edisi 1, Cetakan 7, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal 7


(3)

terjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi sesuatu yang konkrit.

Konsepsi merupakan defenisi operasional dari intisari obyek penelitian yang dilaksanakan. Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu di pergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini di rumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau defenisi operasioanl sebgai berikut :

1. Status adalah keadaan atau kedudukan (orang, badan,dsb) dalam hubungan dengan masyarakat disekelilingnya.28

2. Eksistensi adalah hal berada;keberadaan29

3. Hak ulayat, sebutan yang dikenal dalam kepustakaan hukum adat dan dikalangan masyarakat hukum adat diberbagai daerah dengan nama yang berbeda-beda merupakan penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu yang merupakan tanah ulayat di Kabupaten Dairi.

4. Sulang Silima Marga, sebutan untuk lembaga adat Pakpak yang mengurusi persoalan peradatan di Kabupaten Dairi serta lembaga pemangku hak adat Suku Pakpak Kabupaten Dairi.

5. Suku pakpak adalah salah satu kelompok etnis di propinsi sumatera utara

G. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian dan Metode Pendekatan

28http://www.Kamus Bahasa Indonesia.org, diakses tanggal 22 Oktober 2012 29http://www.Kamus Bahasa Indonesia.org, diakses tanggal 22 Oktober 2012


(4)

Sesuai dengan permasalahan maka sifat penelitian ini adalah deskriptif analitisyaitu penelitian yang bertujuan memberikan gambaran tentang Kewenangan Lembaga Adat Sulang Silima Di Bidang Pertanahan Pada Masyarakat Pakpak di Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris. Selain melihat perundang-undangan yang berlaku dibidang pertanahan yang berhubungan dengan tanah marga juga untuk mendapatkan jawaban permasalahan dari lapangan tentang Lembaga Adat Pada Masyarakat Pakpak : Kewenangannya di Bidang Pertanahan (Study di Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi).

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah Kecamatan Sidikalang, namun mengingat luasnya wilayah Kecamatan Sidikalang, yang terdiri dari 11 kelurahan dan desa, maka diambil 2 (dua) kelurahan sebagai sampel yaitu Kelurahan Batang Beruh dan Kelurahan Sidiangkat.

Pengambilan sampel pada dua kelurahan ini dilakukan dengan teknik purposive sampling, mengingat (2) dua kelurahan ini mayoritas penduduknya adalah suku Pakpak dan masih mengakui eksistensi dan peranan Sulang Silima.

3. Populasi dan Sampel

Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat adat yang terdapat di Kelurahan Sidiangkat dan Kelurahan Batang Beruh, Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi.

Sedangkan sampel yang diambil masing-masing dua puluh (20) orang masyarakat yang menjadi perwakilan dari Kelurahan Sidiangkat dan Kelurahan Batang Beruh.


(5)

4. Teknik Pengumpul Data

Untuk mendapatkan hasil yang obyektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat di pertanggung jawabkan hasilnya, maka dalam penelitian ini menggunakan 2 (dua) Teknik pengumpulan data yaitu:

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan di lakukan dengan menelaah semua literatur yang berhubungan dengan topik penelitian yang sedang di lakukan. Data ini di peroleh dengan mempelajari buku-buku, hasil penelitian, dokumen-dokumen perundang-undangan yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

b. Studi Lapangan

Dilakukan dengan pedoman wawancara kepada para pihak yang di anggap berkompeten dalam bidang pertanahan dan berwenang untuk memberikan penjelasan berkaitan dengan materi yang menjadi obyek penelitian, antara lain instansi-instansi terkait dengan masalah pendaftaran tanah marga/ulayat sepeti lembaga adat, Badan Pertanahan Kabupaten Dairi, serta masyarakat Dairi.

5. Alat Pengumpul Data

Untuk mendapatkan hasil yang obyektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya, maka dalam penelitian ini menggunakan 2 (dua) alat pengumpul data yaitu :

a. Studi Dokumen

Studi dokumen dilakukan dengan menelaah semua dokumen yang berkaitan dengan topik penelitian yang sedang dilakukan. Dokumen ini diperoleh dari Penetua-Penetua Adat.


(6)

Dilakukan wawancara langsung kepada pihak-pihak yang mengetahui dan berkompeten untuk memberikan penjelasan yang berkaitan dengan topik penelitian, antara lain Penetua Adat, instansi Pemerintah yang terkait dan masyarakat Sidikalang.

6. Sumber Data

Data penelitian ini di peroleh dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder:

a. Data Primer

Data primer yaitu data yang di peroleh langsung dari nara sumber, yakni pihak pejabat Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Dairi, Penatua Adat, serta masyarakat Dairi, sebagaimana di jelaskan dalam sampel yang di tunjuk sebelumnya

b. Data Sekunder

Dalam penelitian ini yang di jadikan sebagai data sekunder adalah berupa bahan-bahan kepustakaan hukum, Peraturan Perundang-Undangan yang relevan, serta dokumen-dokumen yang berkaitan dengan permasalahan yang di teliti.

7. Analisis Data

Data yang dikumpulkan baik dari penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan selanjutnya di analisis secara kualitatif, yaitu metode analisa yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang di peroleh dari penelitian lapangan menurut kualitas kebenarannya, kemudian di hubungkan dengan teori-teori yang di peroleh dari kepustakaan, sehingga di peroleh jawaban atas permasalahan yang di ajukan. Kemudian berdasarkan analisa tersebut ditarik kesimpulan dengan menggungkan metode deduktif.