Distribusi dalam Ekonomi Islam (1)

DISTRIBUSI DALAM EKONOMI ISLAM*
Oleh: Muhammad Firliadi Noor Salim**
A. Pendahuluan
Dalam ekonomi makro Islam, distribusi adalah bagian penting dalam rangka
membentuk kesejahteraan bagi seluruh umat-Nya. Islam menuntut umatnya
mengedepankan moralitas dalam melaksanakan perekonomian untuk mencegah
adanya sifat-sifat egoisme dan kikir agar tidak terjadi adanya kesenjangan diantara
orang yang mempunyai materi berlebih dengan orang yang kekurangan.
Setiap kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh individu untuk mensejahterakan
dirinya, tidak boleh dilakukan dengan mengabaikan dan mengorbankan
kepentingan orang lain dan masyarakat secara umum.1 Bila hal itu terabaikan,
maka akan berdampak pada kehidupan sosial masyarakat, yang kaya akan
semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin.
Islam menuntun agar manusia berupaya menjalani hidup secara seimbang,
memperhatikan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat. Sebagai prasyarat
kesejahteraan hidup di dunia adalah bagaimana sumber-sumber daya ekonomi
dapat dimanfaatkan secara maksimal dan benar dalam kerangka Islam.
Dalam upaya mewujudkan dan memelihara sistem ekonomi yang dikehendakiNya, maka al-Quran dan sunnah memberi tuntunan kepada manusia, termasuk
perilaku ekonomi. Dalam konteks ini di samping menegaskan bahwa Allah swt.
bersama manusia terlibat dalam perolehan rezeki, juga menegaskan bahwa Dia
adalah penjamin rezeki. “tidak ada satu binatang melata pun dipermukaan bumi

ini, kecuali Allah menjamin rezekinya” (QS. Hud:6)2

B. Pengertian Distribusi
*
Diseminarkan dalam perkuliahan yang diampu oleh Dr. H. M. Hanafiah, M. Hum dan Dr. H. Syaifullah
Abdussamad, Lc. MA. mata kuliah Tafsir Ayat dan Hadis Ekonomi.
**
Penulis adalah mahasiswa Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin.
1
2

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), distribusi adalah penyaluran
(pembagian, pengiriman) kepada beberapa orang atau ke beberapa tempat;
pembagian barang keperluan sehari-hari (terutama dalam masa darurat) oleh
pemerintah kepada pegawai negeri, penduduk, dsb.3 Sedangkan menurut pakar
ekonomi, antara lain:4
1. Menurut David A. Revzan
Saluran Distribusi merupakan suatu jalur yang dilalui oleh arus barang-barang
dari produsen ke perantara dan akhirnya sampai pada pemakai. Pengertian
Distribusi yang dikemukakan tersebut masih bersifat sempit karena istilah barang

sering diartikan sebagai suatu bentuk fisik, sehingga akibatnya lebih cenderung
menggambarkan pemindahan jasa-jasa atau kombinasi antara baranf dan jasa.
2. Menurut The American Marketing Association
Saluran Distribusi merupakan suatu struktur unik organisasi dalam perusahaan
yang terdiri dari agen, dealer, pedagang besar dan pengecer melalui sebuah
komoditi, produk atau jasa dipasarkan. Definisi ini lebih luas dibandingkan
dengan definisi yang pertama. Dengan memasukkan istilah struktur menjadikan
definisi ini memiliki tambahan arti yang bersifat statis pada saluran dan tidak
dapat membantuuntuk mengetahui tentang hubungan-hubungan yang ada antara
masing-masing lembaga.
3. Menurut C. Glenn Walter
Saluran Distribusi adalah sekelompok pedagang dan agen perusahaan yang
mengombinasikan antara pemindahan fisik dan nama dari suatu produk untuk
menciptakan kegunaan pasar tertentu.
4. Menurut Philip Kotler
Saluran Distribusi sebagai himpunan perusahaan dari perorangan yang mengambil
alih hak, atau membantu dalam mengalihkan hak atas barang atau jasa tersebut
berpindah dari produsen ke konsumen.
Berdasarkan definisi tersebut dapat diketahui adanya beberapa unsur penting
yaitu:

3
4

1

a. Saluran Ditribusi merupakan sekelompok lembaga yang ada di antara
berbagai lembaga yang mengadakan kerjasama untuk mencapai suatu
tujuan.
b. Tujuan dari Saluran Distribusi adalah untuk mencapai pasar-pasar tertentu.
Dengan demikian pasar merupakan tujuan akhir dari kegiatan saluran.
c. Saluran Ditribusi melaksanakan dua kegiatan penting untuk mencapai
tujuan, yaitu mengadakan penggolongan dan mendistribusikannya.
Lalu bagaimana pengertin distribusi dalam ekonomi Islam? Yang dimaksudkan
dengan distribusi menurut Thahir Abdul Muksin Sulaiman, ialah pembagian hasil
penduduk kepada individu-individu, atau pembagian pemasukan penduduk untuk
setiap orang dari faktor-faktor produksi.5 Menurut Jaribah,6 makna distrtibusi
dalam ekonomi Islam tentu lebih luas lagi yaitu mencakup pengaturan
kepemilikan unsur-unsur produksi dan sumber-sumber kekayaan. Dimana Islam
memperbolehkan kepemilikan umum dan kepemilikan khusus dan meletakkan
bagi masing-masing bagi keduanya kaidah-kaidah untuk mendapatkannya dan

mempergunakannya, dan kaidah-kaidah untuk warisan, dan wasiat. Sebagaimana
ekonomi Islam juga memiliki politik dalam distribusi pemasukan, baik antara
unsur-unsur produksi maupun individu masyarakat dan kelompok-kelompoknya,
disamping pengembalian distribusi dalam sistem jaminan sosial yang disampaikan
dalam ajaran Islam.7
Islam mencegah penumpukan kekayaan pada sekelompok kecil masyarakat dan
menganjurkan distribusi kekayaan kepada semua lapisan masyarakat. Sumber
daya alam adalah hak manusia dipergunakan manusia untuk kemaslahatan, upaya
ini tidak akan menjadi masalah bila tidak ada usaha untuk mengoptimalkan
melalui ketentuan-ketentuan syariah.8

C. Mekanisme Distribusi Dalam Ekonomi Islam
5
6
7
8

2

Perbedaan dalam kehidupan manusia merupakan ketetapan Allah swt. Dengan

perbedaan inilah manusia mempunyai peran lebih di antara makhluk lain di
kehidupan ini. Perbedaan ini membawa pentingnya kerjasama antara satu orang
dengan orang lain dalam memenuhi kepentingan hidupnya. Perbedan merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan, tetapi dengan perbedaan ini bukan mennjadi
alasan manusia – antara satu orang dengan orang lainnya – untuk melegitimasi
kedudukannya di hadapan Allah swt. sebagai makhluk mulia atau hina.9
Secara umum, Islam mengarahkan mekanisme berbasis moral spiritual dalam
memelihara keadilan sosial pada setiap aktivitas ekonomi. Latar belakangnya
adalah ketidakseimbangan distribusi kekayaan adalah hal yang mendasari hampir
semua koflik individu maupu sosial. Upaya pencapain manusia akan kebahagian,
membimbing manusia untuk menerapkan keadilan ekonomi yang dapat
menyudahi kesengsaraan di muka bumi ini.10
Mekanisme distribusi kekayaan yang ada dalam sistem ekonomi Islam secara
garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok mekanisme: pertama,
mekanisme ekonomi, dan kedua, mekanisme non-ekonomi.
1. Mekanisme Ekonomi
Mekanisme ekonomi adalah mekanisme utama yang ditempuh Sistem Ekonomi
Islam untuk mengatasi persoalan distribusi kekayaan. Mekanisme dijalankam
dengan jalan membuat berbagai ketentuan yang menyangkut kegiatan ekonomi
yang berkaitan dengan distribusi kekayaan. Dengan sejumlah ketentuan-ketentuan

yang menyangkut berbagai kegiatan ekonomi tertentu, diyakini distribusi
kekayaan itu akan berlangsung normal.11 Dalam mewujudkan distribusi kekayaan,
maka mekanisme ekonomi yang ditempuh pada sistem ekonomi Islam di antara
manusia yang seadil-adilnya degan cara sebagai berikut:12

9
10
11
12

3

a) Membuka seluas-luasnya bagi berlangsungnya sebab-sebab hak milik dalam
hal milik pribadi.Yang berkaitan dengan hak milik pribadi menurut anNabhani (1990), yakni: 1). Bekerja, 2). Warisan, 3). Kebutuhan akan harta
untuk menyambung hidup, 4). Harta pemberian negara yang diberikan
kepada rakyat, 5). Harta-harta yang diperoleh untuk sesorang dengan tanpa
mengeluarkan harta atau tenaga apapun.
b) Memberikan

kesempatan


seluas-luasnya

bagi

berlangsungnya

pengembangan hak milik melalui kegiatan investasi.
c) Larangan menimbun harta benda walaupun telah dikeluarkan zakatnya.
Harta yang ditimbun tidak berfungsi ekonomi, pada gilirannya akan
menghambat distribusi karena tidak terjadi perputaran harta.
d) Membuat kebijakan agar harta beredar secara luas serta menggalakkan
berbagai kegiatan syirkah dan mendorong pusat-pusat pertumbuhan.
e) Pemanfaatan secara optimal hasil dari barang (SDA) milik umum yang
dikelola negara, seperti hasil hutan, barang tambang, minyak, air, dan
sebagainya demi kesejahteraan rakyat.

2. Mekanisme Non-Ekonomi
Mekanisme non-ekonomi adalah sebagai pendukung mekanisme ekonomi apabila
mekanisme ekonomi tidak dapat atau belum mampu berjalan untuk mangatasi

persoalan distribusi, baik karena sebab-sebab alamiah yang menimbulkan
kesenjangan atau pun kondisi khusus karena bencana alam, kerusuhan dan lain
sebagainya.13 Bentuk-bentuk pendistribusian harta dengan mekanisme nonekonomi tersebut antara lain:
a) Pemberian harta negara kepada negara yang dinilai memerlukan
b) Pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada para mustahik.
c) Pemberian infak, shadaqah, wakaf, hibah, dan hadiah dari orang yang
mampu kepada yang memerlukan.
d) Pembagian harta waris kepada ahli waris.
13

4

D. Tujuan Distribusi Dalam Islam
Ekonomi Islam datang dengan system distribusi yang merealisasikan beragam
tujuan yang mencakup berbagai bidang kehidupan, dan mengikuti politik terbaik
dalam merealisasikan tujuan – tujuan tersebut. Secara umum dapat kami katakana
bahwa system distribusi ekonomi dalam ekonomi islam mempunyai andil bersama
system dan politik syariah lainnya-dalam merealisasikan beberapa tujuan umum
syariat islam. Dimana tujuan distribusi dalam ekonomi islam di kelompokkan
kepada tujuan dakwah, pendidikan, sosial dan ekonomi. Berikut ini hal yang

terpenting kedalam tujuan tersebut adalah:14
a. Tujuan Dakwah
Yang dimaksud dakwah disini adalah dakwah kepada islam dan menyatukan hati
kepadanya. Diantaranya contoh yang paling jelas adalah bagian muallaf di dalam
zakat, dimana muallaf itu adakalanya orang kafir yang diharapkan keislamannya
atau dicegah keburukannya, atau orang islam yang di harapkan kuat
keislamannya. Sebagaimana system distribusi dalam ghanimah dan fa’i juga
memiliki tujuan dakwah yang jelas.15
Pada sisi lain, bahwa pemberian zakat kepada muallaf juga memiliki dampak
dakwah terhadap orang yang menunaikan zakat itu sendiri.
b. Tujuan Pendidikan
Secara umum, bahwa distribusi dalam perspektif ekonomi islam dapat
mewujudkan beberapa tujuan pendidikan, dimana yang terpenting adalah sebagai
berikut : a).Pendidikan terhadap akhlak terpuji, seperti suka memberi, berderma
dan mengutamakan orang lain. b). Mensucikan dari akhlak tercela, seperti kikir
dan mementingkan diri sendiri.16

14
15
16


5

c. Tujuan Sosial
Tujuan sosial terpenting dalam distribusi adalah sebagai berikut:
1) Memenuhi kebutuhan kelompok yang membutuhkan, dan menghidupkan
prinsip solidaritas di dalam masyarakat muslim.
2) Menguatkan ikatan cinta dan kasih sayang diantara individu dan kelompok di
dalam masyarakat.
3) Mengikis sebab-sebab kebencian dalam masyarakat, dimana akan berdampak
pada terealisasinya keamanan dan ketentraman masyarakat, sebagai contoh
bahwa distribusi yang tidak adil dalam pemasukan dan kekayaan akan
berdampak adanya kelompok dan daerah miskin, dan bertambahnya tingkat
kriminalitas yang berdampak pada ketidak tentraman.

d. Tujuan Ekonomi
Distribusi dalam ekonomi islam mempunyai tujuan-tujuan ekonomi yang penting,
dimana yang terpenting diantaranya dapat kami sebutkan seperti berikut ini :
1) Pengembangan harta dan pembersihannya, karena pemilik harta ketika
menginfakkan sebagian hartanya kepada orang lain, baik infak wajib maupun

sunnah, maka demikian itu akan mendorongnya untuk menginvestasikan
hartanya sehingga tidak akan habis karena zakat.
2) Memberdayakan sumber daya manusia yang menganggur dengan terpenuhi
kebutuhannya

tentang

harta

atau

persiapan

yang

lazim

untuk

melaksanakannya dengan melakukan kegiatan ekonomi. Pada sisi lain, bahwa
system distribusi dalam ekonomi islam dapat menghilangkan faktor – faktor
yang menghambat seseorang dari andil dalam kegiatan ekonomi ; seperti
utang yang membebani pundak orang – orang yang berhutang atau hamba
sahaya yang terikat untuk merdeka. Karena itu Allah menjadikan dalam zakat
bagian bagi orang-orang yang berhutang dan bagian bagi hamba sahaya.
3) Andil dalam merealisasikan kesejahteraan ekonomi, di mana tingkat
kesejahteraan ekonomi berkaitan dengan tingkat konsumsi. Sedangkan tingkat
konsumsi tidak hanya berkaitan dengan bentuk pemasukan saja, namun juga

6

berkaitan dengan cara pendistribusiannya di antara individu masyarakat.
Karena itu kajian tentang cara distribusi yang dapat merealisasikan tingkat
kesejahteraan ekonomi terbaik bagi umat adalah suatu keharusan dan
keniscayaan.
4) Penggunaan terbaik terhadap sumber ekonomi. Misalnya ketika sebahagian
harta orang yang kaya diberikan untuk kemashlahatan orang-orang miskin,
maka kemanfaatan total bagi pemasukan umat menjadi bertambah.17

E. Ayat dan Hadis Tentang Distribusi
1) AL-Quran
Dalam konteks kajian al-Quran, agak sulit menemukan terminologi yang bisa
digunakan untuk menunjuk konsep distribusi tersebut. Namun setidaknya, jika
distribusi dimaknai dengan transformasi harta atau aset, maka kita menemukan
banyak terma yang merujuk pada konsep dimaksud.18 Salah satu ayat yang banyak
diletakkan oleh beberapa penulis pada bab distribusi adalah QS. Al-Hasyr ayat 7.

            
            
             
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari
harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah,
untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orangorang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orangorang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka
terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.”

17
18

7

Berkenaan dengan tafsir ayat tersebut, M. Quraish Shihab menyatakan, Allah
telah menetapkan harta rampasan perang yang diperoleh dari Bani Nadhir
diserahkan Allah sepenuhnya kepada Rasulullah saw. maka ayat diatas
menjelaskan bahwa harta rampasan (fa’i) yang diperoleh pada masa-masa yang
akan datang. Di sini seakan-akan yang berkata “kami telah mengetahui bahwa
harta rampasan perang (fa’i) yang diperoleh dari Bani Nadhir adalah buat
Rasulullah. Bagaimana dengan harta rampasan perang yang lain dimasa
mendatang? Pertanyaan inilah (seolah-olah) yang dijawab oleh ayta diatas. Tetapi
jika memahami bahwa ayat yang lalu belum bisa memahami bawa ayat yang lalu
belum menjelaskan bagaimana pembagian fa’i yang diperoleh dari Bani Nadhir.
Maka ayat diatas menjelaskan hal tersebut sekaligus menjelaskan hukumhukumnya. Diantara ulam yang menganut pendapat ini adalah Imam Syafi’i.
Demikianlah penjelasan mufassir Zamakhsyari. Itu sebabnya ayat diatas
menggunakan kata “dan” pada awalnya karena ia berfungsi menjelaskan siapa
saja dan berapa banyak pembagian masing-masing dari harta rampasan secara
umum baik yang diperoleh dari Bani Nadhir maupun dari yang lain, kapan dan
dimana pun.19
Allah Swt. berfirman: Mâ afâ’a Allâh ‘alâ Rasûlih min ahl al-qurâ (apa saja harta
rampasan (fa’i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari
penduduk kota-kota). Secara bahasa, kata afâ’a berarti radda (mengembalikan).20
Dengan kata tersebut seolah ingin dikatakan, sesungguhnya harta dan perhiasan
itu diciptakan Allah Swt. sebagai sarana bagi hamba untuk ber-taqarrub kepadaNya. Ketika harta itu digunakan tidak pada fungsinya atau dikuasai oleh orang
kafir yang menggunakannya tidak pada fungsinya, maka harta itu telah keluar dari
tujuan awal diciptakan. Sebaliknya, ketika harta itu beralih kepada Muslim yang
membelanjakannya untuk kebaikan, berarti telah kembali pada tujuan semula.
Menurut kebanyakan mufassir, ayat ini merupakan bayân (penjelasan) terhadap
ayat sebelumnya.21 Dalam ayat sebelumnya dijelaskan tentang hakikat harta al19
20
21

8

fa’i (QS al-Hasyr [59]: 6). Dalam ayat ini dijelaskan bahwa al-fa’i adalah semua
harta yang diambil dari kaum kafir tanpa melalui jalan peperangan; tanpa
mengerahkan pasukan unta dan kuda; seperti halnya harta Bani Nadhir. 22 Semua
harta yang mereka tinggalkan itu disebut al-fa’i. Ketentuan itu tidak hanya
berlaku pada harta Bani Nadhir, namun juga semua yang negeri yang ditaklukkan
dengan cara yang sama, yakni tanpa mengerahkan kuda maupun unta.23 Jika
dalam ayat 6 disebutkan minhum (dari mereka), yakni dari kaum Yahudi itu, maka
dalam ayat 7 digunakan kata yang lebih bersifat umum: min ahl al-qurâ (dari
penduduk kota-kota). Artinya, semua negeri yang ditaklukkan tanpa melalui
peperangan.24
Tiadanya benturan fisik dalam peperangan itulah yang membedakan fa’i dengan
ghanîmah. Berbeda dengan harta fa’i, harta ghanîmah diperoleh dari kaum kafir
melalui jalan peperangan.25 Pembagian dan distribusinya pun dibedakan. Jika
pembagian ghanîmah dijelaskan dalam QS al-Anfal [8]: 1 dan 41, maka
pembagian fa’i dijelaskan dalam QS al-Hasyr [59]: 6 dan 7.
Berdasarkan QS al-Hasyr [59]: 6, harta fa’i tersebut diberikan secara khusus
kepada Rasulullah saw.;26 distribusinya pun menjadi otoritas Beliau. Dalam
kaitannya dengan harta Bani Nadhir, Beliau hanya membagi-bagikannya kepada
kaum Muhajirin dan tidak kepada kaum Anshar, kecuali dua orang, yakni Abu
Dujanah dan Sahal bin Hunaif, lantaran kondisinya yang miskin sebagaimana
dialami kaum Muhajirin.27
Selanjutnya dijelaskan mengenai alokasi harta fa’i itu. Allah Swt. berfirman: fa li
Allâh wa li al-Rasûl wa li dzî al-qurbâ wa al-yatâmâ wa al-masâkîna wa ibn alsabîl (maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orangorang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan).

22
23
24
25
26
27

9

Pertama: li Allâh (untuk Allah). Dialah yang berhak menetapkan alokasi harta
rampasan itu sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Allah Swt. telah memberikan
harta tersebut kepada Rasulullah saw.; otoritas pembagiannya pun diserahkan
kepada Beliau. Sekalipun ungkapan fa li Allâh wa li al-Rasûl seolah tampak
memberikan makna adanya dua bagian, sesungguhnya itu untuk menunjukkan
satu bagian.28 Tidak ada perbedaan pendapat bahwa setelah Beliau wafat, bagian
tersebut dipergunakan untuk kemaslahatan kaum Muslim.29
Kedua: dzî al-qurbâ (kaum kerabat Rasul). Kerabat Rasulullah saw. yang
dimaksudkan adalah Bani Hasyim dan Bani Muthallib.30 Dua kerabat Rasulullah
saw. itu, baik kaya maupun miskin, berhak mendapat bagian harta rampasan.
Menurut para mufassir, hal itu karena mereka tidak dibolehkan menerima harta
sedekah.31
Ketiga: al-yatâmâ (anak-anak yatim). Anak yatim adalah anak yang ditinggal mati
oleh ayahnya. Status yatim itu terus berlangsung hingga mereka balig. Kata athThabari, mereka adalah anak-anak kaum Muslim yang membutuhkan dan tidak
memiliki harta.32
Keempat: al-masâkîna (orang-orang miskin). Yang dimaksud adalah orang yang
tidak mempunyai apa-apa, tidak memiliki rumah, sedikit pakaian atau makanan.
Mereka bahkan ditimpa kelaparan. Kata miskin dalam ayat ini juga mencakup
kaum fakir. Menurut al-Biqai, dua kelompok tersebut, yakni fakir dan miskin, jika
hanya disebutkan salah satunya, maka itu mencakup kedua-duanya. Kedua
kelompok itu baru dibedakan jika disebutkan bersama-sama.33
Kelima: ibn al-sabîl. Yang dimaksud adalah orang yang kehabisan bekal dalam
perjalanan menuju ke tempat tinggalnya sehingga dia membutuhkan harta yang

28
29
30
31
32
33

10

dapat mengantarkannya sampai ke tujuannya. Ath-Thabari memberikan catatan,
perjalanan yang dilakukan itu bukan dalam rangka maksiat kepada Allah Swt.34
Selanjutnya Allah Swt. menjelaskan ‘illah (sebab disyariahkan) hukum tersebut
dengan firman-Nya: Kay lâ yakûna dûlatan bayna al-aghniyâ’i minkum (supaya
harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu saja).
Karena huruf kay termasuk harf al-‘illah (huruf yang menunjukkan makna
penyebab ditetapkannya suatu hukum), maka kalimat berikutnya merupakan ‘illah
atas ketentuan hukumnya.
Secara bahasa, kata dûlah berarti sesuatu yang dipergilirkan di antara suatu
kaum.35 Dengan demikian, ‘illah atau sebab disyariah-kannya hukum tentang
alokasi harta rampasan dari kaum kafir itu adalah agar harta tidak hanya beredar
dan berputar di kalangan orang-orang kaya saja. Dengan ketentuan pembagian
harta fa’i tersebut, kaum miskin pun bisa berkesempatan mendapatkan giliran
memiliki harta.
Allah Swt. berfirman: Wamâ âtâkum al-Rasûl fakhudzûhu wamâ nahâkum ‘anhu
fa intahû (apa yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah; apa dia larang atas
kalian, tinggalkanlah). Dalam konteks ayat ini, kalimat itu bermakna: Semua harta
ghanîmah dan fay’ yang diberikan oleh Rasulullah saw., ambillah. Sebaliknya,
yang Beliau larang, tinggalkanlah.36 Kendati konteks dan sebab turunnya ayat ini
berkenaan dengan pembagian ghanîmah dan fa’i, hukumnya berlaku umum dan
mencakup semua perkara yang dibawa Rasulullah saw., baik perintah maupun
larangan, ucapan maupun perbuatan, sebagaimana ditetapkan dalam kaidah: al‘Ibrah bi ‘umûm al-lafzh wa lâ bi khushûsh as-sabab (Pengertian dalil ditetapkan
berdasarkan keumuman ungkapannya, bukan karena kekhususan sebabnya).37
Kata al-îtâ’ (memberi) dalam kalimat tersebut bermakna al-amr (perintah).
Alasannya, kebalikan dari kata al-îtâ’ adalah an-nahy, yakni kalimat wamâ

34
35
36
37

11

nahâkum ‘anhu fa intahû (apa yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah). Lawan
dari kata al-nahy tidak lain adalah al-amr, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

"Jika aku memerintah kalian dengan suatu perintah, jalankanlah semampu kalian.

Jika aku melarang kalian dengan suatu larangan, jauhilah" (HR al-Bukhari).38
Kandungan ayat ini menjadi bukti kongkret totalitas Islam dalam mengatur
seluruh aspek kehidupan. Pengaturan mengenai harta fa’i dan ghanîmah jelas
menunjukkan bahwa Islam juga tidak hanya berkutat dalam urusan privat dan abai
terhadap urusan publik, sebagaimana yang dituduhkan kaum liberal.
Ayat ini juga memberikan prinsip dasar dalam distribusi kekayaan. Kekayaan
yang diciptakan Allah Swt. dan dianugerahkan manusia itu tidak boleh hanya
dinikmati segelintir orang saja. Lagi-lagi, mekanisme ini bisa diwujudkan jika ada
institusi negara yang berwenang atasnya.
2) Hadis

.

:

,

2947. Dari Sa’id bin Al Musayyab, dari Ma’mar bin Abdullah Al’Adawi,
bahwasanya Nabi SAW bersabda, ’’tidak ada orang yang menahan barang
(dagangan) kecuali orang yang durhaka (salah). ’’Sa’id sendiri pernah menahan
minyak. (HR.Ahmad,Muslim,dan Abu Daud)39

:

:

2949. Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata,’’Rasulullah SAW bersabda, Barang siapa
menahan suatu barang (dagangan) dengan maksud agar harganya mahal terhadap
kaum muslimin, maka ia telah durhaka.’’(HR.Ahmad)

38
39

12

,

:

:

2950. Dari Umar, ia berkata, ’’aku mendengar Nabi saw. bersabda, barang siapa
yang menahan makanan (keperluan) kaum muslimin, maka Allah akan
menimpakan padanya kerugian dan kebangkrutan.’’(HR.Ibnu Majah)

,

,

:

2842. Dari Abu Hurairah r.a, ia mengatakan, ’’Nabi SAW melarang mencegat
barang (dari luar daerah sebelum sampai di pasar). Jika ada seseorang yang
mencegatnya lalu membelinya, maka pemilik barang mempunyai hak pilih (untuk
melanjutkan transaksi atau tidak) bila telah sampai di pasar.’’(HR.Jama’ah kecuali
Al bukhari) 40

.

:

:

2935. Dari Uqbah bin Amir, ia mengatakan. ’’aku mendegar Nabi saw bersabda,
seorang muslim adalah saudara muslim lainya. Tidak dihalalkan bagi seorang
muslim menjual suatu barang kepada saudaranya yang di dalamnya mengandung
cacat, kecuali setelah ia menjelaskannya kepadanya.’’(HR.Ibnu Majah).41

,

:

:

2936. Dari watsilah, ia berkata, ’’Rasulullah SAW berkata, ’’tidaklah halal bagi
seseorang menjual sesuatu kecuali setelah menjelaskan kondisinya, dan tidaklah
halal seseorang yang mengetahui hal itu kecuali ia menjelaskanya.’’(HR.Ahmad)

:

40
41

13

2834. Dari Ibnu Umar r.a, ia mengatakan,’’Nabi SAW melarang orang kota
menjualkan untuk orang desa.’’(HR.Al Bukhari dan An-Nasa’i).42

,

:

,

2835. Dari jabir, bahwasanya Nabi saw bersabda, ’’janganlah orang kota
menjualkan (barang dagangan) orang desa. Biarkan orang-orang (melakukan
sendiri), di mana Allah memberikan rezeki kepada sebagian mereka dari sebagian
lainnya.’’(HR. Jama’ah kecuali Al Bukhari)

:
909. Ibnu Abbas r.a. berkata bahwa Rasulullah bersabda, barang siapa membeli
makanan, janganlah menjualnya hingga dia menerimanya dengan lengkap. 43

42
43

14

Kesimpulan
Dari tulisan ini dapat disimpulkan bahwa pengertian distribusi secara umum
mempunyai beberapa unsur yaitu: a. Saluran Ditribusi merupakan sekelompok
lembaga yang ada di antara berbagai lembaga yang mengadakan kerjasama untuk
mencapai suatu tujuan, b. Tujuan dari Saluran Distribusi adalah untuk mencapai
pasar-pasar tertentu. Dengan demikian pasar merupakan tujuan akhir dari kegiatan
saluran, dan c. Saluran Ditribusi melaksanakan dua kegiatan penting untuk
mencapai tujuan, yaitu mengadakan penggolongan dan mendistribusikannya.
Sedang pengertian distribusi dalam ekonomi Islam adalah:
Yang dimaksudkan dengan distribusi menurut Thahir Abdul Muksin Sulaiman,
ialah pembagian hasil penduduk kepada individu-individu, atau pembagian
pemasukan penduduk untuk setiap orang dari faktor-faktor produksi. Menurut
Jaribah, makna distrtibusi dalam ekonomi Islam tentu lebih luas lagi yaitu
mencakup pengaturan kepemilikan unsur-unsur produksi dan sumber-sumber
kekayaan
Distribusi dalam ekonomi Islam mengarahkan mekanisme berbasis moral spiritual
dalam memelihara keadilan sosial pada setiap aktivitas ekonomi. Dengan
mekanisme ekonomi dan didukung oleh mekanisme non-ekonomi, diharapkan
mampu untuk merealisasikan keadilan ekonomi dan mengurangi kesengsaraan di
muka bumi.
Distribusi dalam Islam mencakup tujuan: pertama, tujuan dakwah, kedua,tujuan
sosial, dan ketiga, tujuan ekonomi.
Salah satu saurat yang banyak dipakai oleh beberapa penulis dalam memaknai
distribusi dalam ekonomi Islam adalah QS. Al-Hasyr ayat 7. dan beberapa hadis
yang berhubungan dengan distribusi dalam ekonomi Islam.

15

Daftar Pustaka
Aditya, Elama Muncar, Universalitas Ekonomi Islam, Fokus Ekonomi, Vol.3 No.
1 Juni (2008)
Akmal Tarigan, Azhari, Tafsir Ayat-ayat Ekonomi: Sebuah Ekplorasi Melalui
Kata-kata Kunci dalam Al-Quran, (Bandung, Citapustaka Media Perintis,
2012)
al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Ringkasan Shahih Muslim, diterjemahkan
oleh Elly Lathifah, (Jakarta, Gema Insani, 2005)
al-Andalusi, Abu Hayyan, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1993)
Al-Biqai, Nazhm ad-Durar, vol. 7 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995)
Al-Haristi, Jaribah bin Ahmad, Fikih Ekonomi Umar Ibn Al-Khattab,
diterjemahkan oleh Asmuni Solihin Zamakhsyari, (Jakarta, Khalifa, 2006)
al-Kalbi, Ibnu Juzy, At-Tasyhîl li ‘Ulûm alQur’ân, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, 1993)
Al-Mubarak, Asy-Syekh Faisal Abdul Aziz, Nailul Authar, (Jakarta,Pustaka
Azam, 2006)
Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâmal-Qur’ân, vol. 9, 10.
Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 12 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1992)
Asy-Syanqithi, Adhwâ’ al-Bayân, vol. 8 (Beirut: 1195)
Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994)
Az-Zamakhsyari, Al-Kasyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995)
Az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 28 (Beirut: Dar al-Fikr, 1991)
Katsir, Ibnu, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 4 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub,
1997)
Muin, Rahmawati, Sistem Distribusi Dalam Perspektif Ekonomi Islam, Assets
Vol. 3 No. 1 (2013)
Nasution, Mustafa Edwin, et, al., Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam, (Jakarta,
Kencana, 2006)

16

Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam (terj), Jilid 1, (Yogyakarta, Bhakti
Wakaf, 1995)
Said, Muhammad, Pengantar Ekonomi Islam, (Pekanbaru, Suska Press, 2008)
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, Vol. 14, (Jakarta, Lentera Hati, 2003)

17