Pancasila dalam Perspektif Islam (1)

PANCASILA
Perjanjian Luhur Bangsa dan Dasar Negara Republik Indonesia
Monday, June 8, 2015

Pancasila dalam Perspektif Islam
AKHIR-AKHIR ini banyak bermunculan upaya-upaya yang dilakukan baik oleh golongan yang
pro maupun yang kontra terhadap keberadaan Pancasila. M. Syafi’i Anwar
mengklasifikasikan paradigma pemikiran politik Islam yang berkembang di dunia kaum
muslimin, yang masing-masing memiliki pandangan tersendiri tentang Islam sebagai dasar
negara Indonesia.
Pertama, Substantif-Inklusif, yang memandang dan meyakini bahwa Islam sebagai agama
tidak merumuskan konsep-konsep teoritis yang berhubungan dengan politik, apalagi
kenegaraan.
Kedua, Legal-Eksklusif, yang memandang dan meyakini bahwa Islam bukah hanya agama,
tetapi juga sebuah sistem hukum yang lengkap, sebuah ideologi universal dan sistem yang
paling sempurna yang mampu memecahkan seluruh permasalahan kehidupan umat
manusia.
Dua kelompok besar ini juga tampak secara jelas di negara Indonesia. Satu kelompok yang
berupaya keras untuk mempertahankan agar Pancasila tetap menjadi pondasi NKRI, dan
kelompok lainnya getol dan rutin selalu mengobarkan semangat tentang konsep negara
Islam (dan al-Qur’an) sebagai pilar negara Indonesia.

Makalah ini mencoba untuk memaparkan secara singkat tentang Pancasila dalam
pandangan Islam, pandangan Islam terhadap Daulah Khilafah Islam di NKRI, pandangan
Islam terhadap kesanggupan Pancasila dalam menjawab problematika bangsa, dan konsepsi
Islam dalam penerapan ideologi bangsa.
a. Pancasila dalam pandangan Islam
Dalam suatu negara dibutuhkan suatu tata aturan yang bisa mengakomodir seluruh
masyarakat di bawah naungan negara tersebut.
Demikian halnya dengan Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bersama dalam sejarah
bahwa sejak lama Pancasila telah menopang dan mengakomodir berbagai suku, ras, dan
agama yang ada di Indonesia. Pancasila dirasa sangat sesuai dan tepat untuk
mengakomodir seluruh ras, suku bangsa, dan agama yang ada di Indonesia. Hal ini
dibuktikan bahwa sila-sila Pancasila selaras dengan apa yang telah tergaris dalam al-Qur’an.
Ketuhanan Yang Maha Esa. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu
mengajarkan kepada umatnya untuk selalu mengesakan Tuhan (misalkan QS. al-Baqarah:
163). Dalam kacamata Islam, Tuhan adalah Allah semata. Namun, dalam pandangan agama
lain Tuhan adalah yang mengatur kehidupan manusia, yang disembah.
Kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila kedua ini mencerminkan nilai kemanusiaan
dan bersikap adil (Qs. al-Maa’idah: 8). Islam selalu mengajarkan kepada umatnya untuk
selalu bersikap adil dalam segala hal, adil terhadap diri sendiri, orang lain dan alam.
Persatuan Indonesia. Semua agama termasuk Islam mengajarkan kepada umatnya untuk


selalu bersatu dan menjaga kesatuan dan persatuan (Qs. Ali Imron: 103).
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan. Pancasila dalam sila keempat ini selaras dengan apa yang telah digariskan alQur’an dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Islam selalu
mengajarkan untuk selalu bersikap bijaksana dalam mengatasi permasalahan kehidupan
(Shaad: 20) dan selalu menekankan untuk menyelesaikannya dalam suasana demokratis (Ali
Imron: 159).
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila yang menggambarkan terwujudnya
rakyat adil, makmur, aman dan damai. Hal ini disebutkan dalam surat al-Nahl ayat 90.
Namun, di sisi lain Hizbut Tahrir Indonesia (Zahro, 2006:98-99) secara tegas menolak
keabsahan UUD 1945. Asas demokrasi yang dianut oleh UUD 1945 merupakan titik awal
penolakan mereka terhadap UUD 1945 dan Pancasila. Mereka memandang UUD 1945 dan
Pancasila tidak sesuai dengan nurani ajaran al-Qur’an. Hal ini didasarkan pada beberapa
alasan sebagai berikut:
1. Sumber kemunculan demokrasi adalah manusia. Dalam demokrasi, yang berwenang
untuk menetapkan hukum atas segala perbuatan adalah akal manusia. Hal ini sangat
bertentangan dengan Islam, di mana yang berwenang menetapkan segala hukum adalah
Allah, bukan akal.
2. Akidah yang melahirkan ide demokrasi adalah akidah sekularisme, yakni pemisahan
agama dari kehidupan dan negara. Akidah ini memang tidak mengingkari eksistensi agama,

namun ia menghapuskan perannya untuk mengatur kehidupan bernegara. Konsekuensinya
adalah akidah ini memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat peraturan
kehidupannya sendiri.
3. Ide pokok demokrasi yang menjadikan kedaulatan di tangan rakyat sebagai sumber
kedaulatan, menyebabkan rakyat dapat menetapkan konstitusi, peraturan dan undangundang apapun berdasarkan pertimbangan mereka sesuai dengan kemaslahatan yang
mereka perlukan. Dengan begitu, rakyat melalui para wakilnya berhak melegalkan
perbuatan murtad, keyakinan paganisme atau animisme, perzinahan, homoseksual, dan
perbuatan lainnya yang diharamkan oleh syari’at Islam.
4. Asas nasionalisme yang terkandung pada UUD 1945 merupakan bagian
dari ta’assub(kefanatikan) yang dilarang dalam Islam. Semua aktivitas politik umat Islam
seharusnya ditujukan untuk kejayaan Islam dan umatnya secara universal. Nasionalisme
secara tidak langsung memecah-belah kesatuan teritorial Islam yang universal.
b. Pandangan Islam terhadap Daulah Khilafah Islam di NKRI
Dalam pandangan Hizbut Tahrir Indonesia, Islam harus dijalankan secara kaffah,
menyeluruh, total dalam berbagai bidang kehidupan. Mereka memandang bahwa
penegakkan syari’at Islam tidak dapat ditunda-tunda lagi. Ia harus mutlak dan segera untuk
diterapkan. Untuk itu, Hizbut Tahrir tidak mengenal adanya tadarruj (penahapan) dalam
proses penerapan syari’at Islam dalam suatu wilayah muslim. Hal ini didasarkan pada Qs. alMaidah ayat 3: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”.
Hizbut Tahrir memandang bahwa setelah turunnya ayat ini, kaum muslimin dituntut secara
global untuk melaksanakan dan menerapkan seluruh hukum Islam secara penuh.

Menurut Hizbut Tahrir, kegamangan negara-negara muslim dalam mengaplikasikan hukumhukum Islam secara kaffah sebagaimana konsep mereka di atas, adalah disebabkan oleh
pengaruh-pengaruh ideologi penjajah Barat yang berupa sosialisme, kapitalisme dan
demokrasi yang memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, mereka
berpendapat bahwa pendirian Daulah Islamiyah merupakan syarat yang utama untuk

melestarikan dan menjamin berlakunya hukum Islam secara kaffah. Tanpa itu, maka syari’at
Islam tidak dapat lestari dan terjamin penerapannya dalam setiap aspek kehidupan.
Daulah Islamiyah itu sendiri mempunyai beberapa aspek pokok yaitu: al-Khalifah alMu’awinun (para pembantu Khalifah), al-Wulat (para Gubernur), al-Qudat (para hakim), alJihaz al-Idary (aparat administrasi negara), al-Jaisy (angkatan bersenjata) dan Majlis alShura. Kesemua aspek-aspek pokok dalam Daulah Islamiyah tersebut harus ada secara
sempurna. Namun jika salah satu dari aspek-aspek Daulah Islamiyah tersebut tidak ada,
maka hal tersebut tidak menjadi masalah selama sang Khalifah masih ada, karena menurut
Hizbut Tahrir, Khalifah tunggal merupakan aspek yang utama dalam pendirian Daulah
Islamiyah, tanpanya Daulah Islamiyah tidak bisa berdiri. (Zahro, 2006: 97-98)
Namun, satu kesulitan terbesar yang akan dihadapi oleh konsep Daulah Islamiyah adalah
negara Indonesia yang majemuk, yang hidup didalamnya berbagai ras, suku bangsa dan
agama. Sehingga ketika Daulah Islamiyah benar-benar diterapkan dan konsekuensinya
adalah aturan-aturan dan perundang-undangan yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits
pun diaplikasikan, maka yang terjadi adalah tabrakan dan benturan pemahaman antara
Islam dengan agama-agama lain, yang mana hal ini akan semakin memicu permasalahan
yang semakin besar.
Islam dalam pandangan yang lebih egaliter menilai bahwa Pancasila mampu untuk

mengakomodir berbagai bentuk keanekaragaman di Indonesia. Dalam semua sila Pancasila
berbagai etnis bangsa dapat terayomi. Demikian halnya dengan agama-agama yang ada di
Indonesia. Dan hendaknya Pancasila dipelajari dengan penuh penghayatan, bukan hanya
sekedar menjadi hapalan wajib saja.
al-Qur’an menjelaskan bahwa hidup adalah untuk ber- ta’abbud, beribadah kepada Yang
Maha Esa (Qs. ad-Dzariyat: 56).
Pengejawantahan ta’abbud ini tidak hanya dilakukan dalam ritual resmi sholat saja,
melainkan dalam berbagai bidang kehidupan harus dilandasi dengan tujuan ta’abbud.
Sehingga ketika kehidupan dijalani dengan ikhlas untuk berta’abbud, maka konsekuensinya
adalah keadilan terhadap diri sendiri, keadilan terhadap sesama, keadilan terhadap alam;
kejujuran dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan; selalu berusaha untuk
menciptakan rasa kedamaian, kerukunan, kesatuan dan persatuan; yang pada dasarnya
Islam mengajarkan untuk selalu bersikap tawazzun, seimbang dalam segala hal.
Hal ini selaras dengan apa yang tercermin dalam sila Pancasila. Sila Ketuhanan Yang Maha
Esa menjadi core dari semua sila Pancasila lainnya. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab
diterapkan dengan dilandasi oleh sila pertama. Sila persatuan Indonesia harus dilaksanakan
atas dasar sila pertama. Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan juga dilandasi oleh sila pertama. Dan sila keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia pun demikian (Tafsir, 2007).
Dengan demikian Pancasila pada dasarnya mampu untuk mengakomodir semua lini

kehidupan Indonesia, sehingga tidak mungkin dipaksakan konsep khilafah untuk diterapkan
di negeri ini. Indonesia bukan negara Islam, dan Islam pun tidak memerintahkan untuk
menciptakan negara Islam. Nabi Saw. telah mengajarkan dan memberikan teladan kepada
kita tentang bagaimana hidup berdampingan dengan berbagai perbedaan ras, suku bangsa,
dan agama. Sebagaimana hal ini telah termaktub dalam Piagam Madinah. Bahkan dalam
suatu sabda beliau: Antum a’lamu bi umuri dun-yakum (kalian lebih mengerti tentang
urusan dunia kalian). Mengenai urusan keduniaan kita diberikan kebebasan untuk
mengaturnya, namun tetap harus dilandasi oleh ta’abbud. Tanpa tujuan ta’abbud ini niscaya
kehidupan yang kita jalani menjadi kosong tanpa tujuan yang berarti.