Perspektif Etika dalam Pemasaran docx
PERSPEKTIF ETIKA DALAM PEMASARAN
(Manuel G. Velasquez)
The customer is King merupakan sebuah ungkapan yang tidak sekedar menarik
pembeli, melainkan juga menunjukkan tugaspokok bagi produsen atau penyedia jasa untuk
mengupayakan kepuasan konsumen. Pelanggan harus diperlakukan baik secara moral
bukan hanya untuk memenuhi tuntutan etis, melainkan juga syarat mutlak untuk mencapai
kesuksesan bisnis.
Perhatian dari segi-segi etika mengenai perilaku kepada konsumen dikarenakan posisi
konsumen yang seringkali agak lemah. Seringkali meskipun sebutan konsumen adalah raja,
akan tetapi daya belinya sering kali rendah, konsumen tidak memiliki keahlian atau
pengetahuan khusus tentang suatu produk di pasaran, sehingga mereka seringkali menjadi
korban penipuan. Atas alasan tersebutlah bisnis memiliki kewajiban moral untuk melindungi
konsumen.
Hak-hak yang perlu dipertimbangkan dalam etika terhadap konsumen adalah Hak
atas keamanan: harus memerhatikan risiko tertentu untuk konsumen, khususnya risiko
untuk kesehatan dan keselamatan, Hak atas informasi: konsumen berhak untuk mengetahui
segala informasi yang relevan mengenai produk yang dibelinya, Hak untuk memilih:
konsumen berhak untuk memilih diantara berbagai produk dan jasa yang ditawarkan, Hak
untuk didengarkan: keinginan dan keluhan konsumen mengenai sebuah produk atau jasa
harus dipertimbangkan, Hak lingkungan hidup: konsumen berhak menuntut bahwa dengan
produk yang ia gunakan tidak akan merusak lingkungan, Hak konsumen atas pendidikan:
konsumen berhak dididik untuk dapat memberikan saran, kritik, atau keluhannya terhadap
suatu produk atau jasa.
Untuk mendasarkan tanggung jawab produsen atas produknya dikemukakan tiga teori,
yaitu (1)Teori Kontrak Menurut pandangan ini hubungan antara produsen dan konsumen
sebaiknya dilihat sebagai semacam kontrak dan kewajiban produsen terhadap konsumen
didasarkan pada kontrak tersebut. Oleh karena itu, konsumen harus berhati-hati sebelum
menanda tangani kontrak, dengan cara membaca secara teliti poin per poin dalam kontrak.
(2) Teori Perhatian Semestinya Kesulitan yang muncul dalam teori ini adalah tidak gampang
untuk mengartikan “semestinya”, produsen memang lebih mengetahui mengenai seluk beluk
produk dibandingkan dengan pengetahuan konsumen. Akan tetapi, produsen tidak selalu
tahu mengenai kelemahan sebuah produk karena bisa jadi kelemahan itu muncul setelah
pemakaian. (3) Teori Biaya Sosial Produsen bertanggung jawab atas semua kekurangan
produk dan setiap kerugian yang dialami konsumen dalam memakai produk tersebut.
Menurut teori ini, semua dampak negatif yang dihasilkan oleh senuah produk dibebankan
kepada produsen.
Bisnis mempunyai kewajiban terhadap konsumen berkaitan dengan kuaitas produk,
harganya, dan pemberian label serta pengemasan. (1) Kualitas produk: produsen harus
memberikan produk sesuai apa yang dijanjikan dan apa yang secara wajar boleh
diharapkan oleh konsumen. Salah satu caranya biasanya adalah dengan emeberikan
garansi. (2) Harga: harga dianggap adil karena disetujui oleh kedua belah pihak. Harga
menjadi tidak adil, jika terjadi penipuan atau manipulasi yang dilakukan produsen atau
distributor, ketidaktahuan konsumen, penyalagunaan kuasa, dan
manipulasi emosi. (3)
Pengemasan dan pemberian label Pengemasan dan pemberian label membrikan informasi
produk yang dibutuhkan konsumen. Selain itu juga dapat menjadi sarana promosi bagi
produsen.
Fungsi periklanan dalam pemasaran, Sepintas kita tahu bahwa iklan sarana
komunikasi produsen dan konsumen yang dimaksudkan untuk memberikan informasi
mengenai sebuah produk. Akan tetapi, jika dipahami secara keseluruhan, maka iklan
digunakan sebagai sarana promosi produk, yang akhirnya iklan dapat mempengaruhi
tingkah laku para konsumen sehingga produknya akan laris di pasaran. Dalam iklan tentu
saja menggunakan trik agar konsumen tertarik. Tak sedikit pula iklan yang beredar di media
diciptakan dengan semenarik mungkin hingga menambahkan hal-hal yang berbau
kebohongan agar konsumen dapat tertarik. Sebagai contohnya ada iklan parfum yang saat
di pakai seorang laki-laki membuat bidadari dari jatuh. Lalu ada trik iklan dengan iming-iming
pemberian hadiah bagi konsumen yang membeli sebuah produk namun hal tersebut
hanyalah manipulasi saja. Untuk itu Karena adanya kemungkinan terjadi manipulasi dalam
bisnis periklanan, dibutuhkan adanya kontrol yang tepat untuk mengimbangi kerawanan
tersebut. Kontrol oleh pemerintah Pemerintah pastinya memiliki tanggung jawab untuk
melindungi konsumen terhadap pengiklanan. Ada lembaga yang harus mengawasi praktek
periklanan dengan cukup efisien. Kontrol oleh para pengiklan Kontrol yang paling ampuh
dalam periklanan adalah pengaturan diri oleh dunia periklanan. Di Indonesia pengawasan
kode etik dipercayakan kepada Komisi Periklanan Indonesia. Kontrol oleh masyarakat
Masyarakat yang kritis terhadap nilai-nilai etika dalam periklanan mendirikan lembagalembaga konsumen di berbagai wilayah di Indonesia.
Empat faktor yang harus dipertimbangkan dalam menerapkan prinsip-prinsip etis. (1)
Maksud si pengiklan (2) Isi iklan harus benar. (3) Keadaan publik yang tertuju (4) Iklan
memiliki tradisi sendiri dalam penyajiannya.
ETIKA DALAM BISNIS GLOBAL
(Manuel G. Velasquez)
Kita sekarang hidup dalam era globalisasi ekonomi, dimana kegiatan ekonomi telah
mencakup ke setiap bagian di dunia, sehingga hampir semua Negara tercantum dalam
“pasar” sebagaimana dimengerti sekarang dan merasakan akibat pasang surutnya pasar
ekonomis. Hal ini menimbulkan konsekuensi jika dipandang dari sudut moral, baik
menimbulkan akibat positif maupun negative. Di satu pihak, globalisasi dapat meningkatkan
rasa persaudaraan dan kesetiakawanan antara bangsa-bangsa dan dengan demikian
melanjutkan tradisi perdagangan sejak dulu. Namun, segi negatifnya adalah globalisasi bisa
saja berakhir dalam suasana konfrontasi dan permusuhan, karena mengakibatkan
pertentangan ekonomi dan perang dagang, melihat kepentingan-kepentingan raksasa yang
dipertaruhkan disitu. Etika dalam bisnis Global berkaitan dengan beberapa masalah moral
yang khusus berkaitan dengan bisnis pada taraf internasional.
Norma-norma moral yang umum pada taraf internasional. Salah satu masalah besar
yang sudah lama disoroti serta didiskusikan dalam etika filosofis adalah relatif tidaknya
norma-norma moral. Richard De George membicarakan tiga jawaban atas pertanyaan
tersebut, yang kesemuanya ada benar maupun salahnya. Jawaban-jawaban tersebut
adalah : (1) Menyesuaikan Diri Jawaban ini mengatakan bahwa dalam bisnis internasional
kita harus menyesuaikan diri begitu saja dengan norma-norma etis yang berlaku di Negara
lain di mana kita mempraktekkan bisnis.Tetapi bila diteliti secara kritis, relativisme moral itu
tidak bisa diterima. Norma-norma penting berlaku sama di seluruh dunia. Sedangkan norma
non-moral untuk perilaku manusia bisa berbeda di berbagai tempat. (2) Rigorisme Moral
Pendangan kedua memilih arah terbalik, dimana pandangan ini mau mempertahankan
kemurnian etika yang sama seperti di negerinya sendiri. Perusahaan di luar negeri hanya
boleh melakukan apa yang dilakukan di Negaranya sendiri dan justru tidak boleh
menyesuaikan diri dengan norma etis yang berbeda di tempat lain. Namun pandanagan ini
sulit dipertahankan karena situasi setempat bisa saja berbeda dan tentu akan
mempengaruhi pandangan moral kita. (3) Immoralisme Naif Sedangkan menurut pandangan
ketiga, dalam bisnis internasional kita tidak perlu berpegang pada norma-norma etis. Mereka
berpendapat kita harus mematuhi ketentuan hukum yang berlaku, tetapi selain itu, kita tidak
perlu mematuhi norma-norma moral . Perusahaa yang terlalu memperhatikan etika akan
dirugikan, karena daya saingnya terganggu.
Setelah mempelajari ketiganya, terlihat tidak ada satupun yang dapat dibenarkan.
Tentu saja pandangan ketiga harus ditoak, namun kedua pandangan pertama mengandung
kebenaran. Pada bisnis internasional harus berpegang pada norma moral, dimana kita
harus pandai menyesuaikan diri dalam situasi tertentu. Namun kita juga tidak dapat
sepenuhnya meninggalkan norma etis yang kita miliki. Situasi yang berbeda akan
mempengaruhi kualitas etis suatu perbuatan.
Politik Dumping Pada Bisnis Internasional, Yang jelas termasuk pada etika bisnis
internasional adalah politik ‘dumping’ karena diangap kurang etis dan berlangsung dalam
hubungan dengan Negara lain. Politik dumping dapat dilakukan dengan berbagai motif.
Salah satu motif adalah jumlah produksi yang berlebih sehingga penjual akan memilih lebih
baik menjual dengan merugi daripada tidak terjual. Sedangkan motif lebih negative adalah
menjual dengan murah demi merebut monopoli pasar, dan setelah tercapai Ia akan bebas
menentukan harga pasar.
Politik dumping dianggap tidak etis karena melanggar etika pasar bebas. Kelompok
bisnis yang ingin terjun ke dalam bisnis internasional, dengan sendirinya melibatkan diri
untuk menghormati keutuhan sistem pasar bebas. Kompetisi yang adil merupakan satu
prinsip dasar dari etika pasar bebas. Sebaliknya tidak etis bila satu Negara menuduh
Negara lain melakukan dumping padahal maksudnya adalah melindungi pasar dalam
negeri. Maka dapat dikategorikan beberapa tindakan yang termasuk dumping dan tidak baik.
Adapun tindakan tersebut adalah menekan arga ekspor dengan memberikan upah yang
tidak adil. Untuk itu, standar upah buruh harus memiliki batas minimum, tidak boleh
menekan upah buruh serendah mungkin. Tindakan lain adalah penyusutan aktiva
sepenuhnya dibebankan pada harga produk dalam negeri, sedangkan factor tersebut tidak
diperhitungkan pada harga jual ke Negara lain.
Aspek-aspek Etis dari Korporasi Multinasional, Korporasi multinasional adalah
perusahaan yang mempunyai investasi langsung dalam dua Negara atau lebih. Perusahaan
yang mempunyai hubungan dagang dengan luar negeri, belum termasuk kategori ini.
Namun perusahaan yang memiliki pabrik di lebih dari satu Negara termasuk berstatus
korporasi multinasional. Dan karena memiliki kekuatan ekonomis yang sering kali sangat
besar, mereka menimbulkan masalah etis sendiri.
Masalah Korupsi/Suap, Korupsi dapat menimbulkan masalah besar bagi bisnis
internasional karena di satu negara dapat saja dipraktekkan sesuatu yang tidak dapat
diterima negara lain. Dan di sini timbul pertanyaan, tidakkah orang harus menyesuaikan diri
dengan kebudayaan negara tertentu untuk mencapai kesuksesas – yang termasuk budaya
suap?
(Manuel G. Velasquez)
The customer is King merupakan sebuah ungkapan yang tidak sekedar menarik
pembeli, melainkan juga menunjukkan tugaspokok bagi produsen atau penyedia jasa untuk
mengupayakan kepuasan konsumen. Pelanggan harus diperlakukan baik secara moral
bukan hanya untuk memenuhi tuntutan etis, melainkan juga syarat mutlak untuk mencapai
kesuksesan bisnis.
Perhatian dari segi-segi etika mengenai perilaku kepada konsumen dikarenakan posisi
konsumen yang seringkali agak lemah. Seringkali meskipun sebutan konsumen adalah raja,
akan tetapi daya belinya sering kali rendah, konsumen tidak memiliki keahlian atau
pengetahuan khusus tentang suatu produk di pasaran, sehingga mereka seringkali menjadi
korban penipuan. Atas alasan tersebutlah bisnis memiliki kewajiban moral untuk melindungi
konsumen.
Hak-hak yang perlu dipertimbangkan dalam etika terhadap konsumen adalah Hak
atas keamanan: harus memerhatikan risiko tertentu untuk konsumen, khususnya risiko
untuk kesehatan dan keselamatan, Hak atas informasi: konsumen berhak untuk mengetahui
segala informasi yang relevan mengenai produk yang dibelinya, Hak untuk memilih:
konsumen berhak untuk memilih diantara berbagai produk dan jasa yang ditawarkan, Hak
untuk didengarkan: keinginan dan keluhan konsumen mengenai sebuah produk atau jasa
harus dipertimbangkan, Hak lingkungan hidup: konsumen berhak menuntut bahwa dengan
produk yang ia gunakan tidak akan merusak lingkungan, Hak konsumen atas pendidikan:
konsumen berhak dididik untuk dapat memberikan saran, kritik, atau keluhannya terhadap
suatu produk atau jasa.
Untuk mendasarkan tanggung jawab produsen atas produknya dikemukakan tiga teori,
yaitu (1)Teori Kontrak Menurut pandangan ini hubungan antara produsen dan konsumen
sebaiknya dilihat sebagai semacam kontrak dan kewajiban produsen terhadap konsumen
didasarkan pada kontrak tersebut. Oleh karena itu, konsumen harus berhati-hati sebelum
menanda tangani kontrak, dengan cara membaca secara teliti poin per poin dalam kontrak.
(2) Teori Perhatian Semestinya Kesulitan yang muncul dalam teori ini adalah tidak gampang
untuk mengartikan “semestinya”, produsen memang lebih mengetahui mengenai seluk beluk
produk dibandingkan dengan pengetahuan konsumen. Akan tetapi, produsen tidak selalu
tahu mengenai kelemahan sebuah produk karena bisa jadi kelemahan itu muncul setelah
pemakaian. (3) Teori Biaya Sosial Produsen bertanggung jawab atas semua kekurangan
produk dan setiap kerugian yang dialami konsumen dalam memakai produk tersebut.
Menurut teori ini, semua dampak negatif yang dihasilkan oleh senuah produk dibebankan
kepada produsen.
Bisnis mempunyai kewajiban terhadap konsumen berkaitan dengan kuaitas produk,
harganya, dan pemberian label serta pengemasan. (1) Kualitas produk: produsen harus
memberikan produk sesuai apa yang dijanjikan dan apa yang secara wajar boleh
diharapkan oleh konsumen. Salah satu caranya biasanya adalah dengan emeberikan
garansi. (2) Harga: harga dianggap adil karena disetujui oleh kedua belah pihak. Harga
menjadi tidak adil, jika terjadi penipuan atau manipulasi yang dilakukan produsen atau
distributor, ketidaktahuan konsumen, penyalagunaan kuasa, dan
manipulasi emosi. (3)
Pengemasan dan pemberian label Pengemasan dan pemberian label membrikan informasi
produk yang dibutuhkan konsumen. Selain itu juga dapat menjadi sarana promosi bagi
produsen.
Fungsi periklanan dalam pemasaran, Sepintas kita tahu bahwa iklan sarana
komunikasi produsen dan konsumen yang dimaksudkan untuk memberikan informasi
mengenai sebuah produk. Akan tetapi, jika dipahami secara keseluruhan, maka iklan
digunakan sebagai sarana promosi produk, yang akhirnya iklan dapat mempengaruhi
tingkah laku para konsumen sehingga produknya akan laris di pasaran. Dalam iklan tentu
saja menggunakan trik agar konsumen tertarik. Tak sedikit pula iklan yang beredar di media
diciptakan dengan semenarik mungkin hingga menambahkan hal-hal yang berbau
kebohongan agar konsumen dapat tertarik. Sebagai contohnya ada iklan parfum yang saat
di pakai seorang laki-laki membuat bidadari dari jatuh. Lalu ada trik iklan dengan iming-iming
pemberian hadiah bagi konsumen yang membeli sebuah produk namun hal tersebut
hanyalah manipulasi saja. Untuk itu Karena adanya kemungkinan terjadi manipulasi dalam
bisnis periklanan, dibutuhkan adanya kontrol yang tepat untuk mengimbangi kerawanan
tersebut. Kontrol oleh pemerintah Pemerintah pastinya memiliki tanggung jawab untuk
melindungi konsumen terhadap pengiklanan. Ada lembaga yang harus mengawasi praktek
periklanan dengan cukup efisien. Kontrol oleh para pengiklan Kontrol yang paling ampuh
dalam periklanan adalah pengaturan diri oleh dunia periklanan. Di Indonesia pengawasan
kode etik dipercayakan kepada Komisi Periklanan Indonesia. Kontrol oleh masyarakat
Masyarakat yang kritis terhadap nilai-nilai etika dalam periklanan mendirikan lembagalembaga konsumen di berbagai wilayah di Indonesia.
Empat faktor yang harus dipertimbangkan dalam menerapkan prinsip-prinsip etis. (1)
Maksud si pengiklan (2) Isi iklan harus benar. (3) Keadaan publik yang tertuju (4) Iklan
memiliki tradisi sendiri dalam penyajiannya.
ETIKA DALAM BISNIS GLOBAL
(Manuel G. Velasquez)
Kita sekarang hidup dalam era globalisasi ekonomi, dimana kegiatan ekonomi telah
mencakup ke setiap bagian di dunia, sehingga hampir semua Negara tercantum dalam
“pasar” sebagaimana dimengerti sekarang dan merasakan akibat pasang surutnya pasar
ekonomis. Hal ini menimbulkan konsekuensi jika dipandang dari sudut moral, baik
menimbulkan akibat positif maupun negative. Di satu pihak, globalisasi dapat meningkatkan
rasa persaudaraan dan kesetiakawanan antara bangsa-bangsa dan dengan demikian
melanjutkan tradisi perdagangan sejak dulu. Namun, segi negatifnya adalah globalisasi bisa
saja berakhir dalam suasana konfrontasi dan permusuhan, karena mengakibatkan
pertentangan ekonomi dan perang dagang, melihat kepentingan-kepentingan raksasa yang
dipertaruhkan disitu. Etika dalam bisnis Global berkaitan dengan beberapa masalah moral
yang khusus berkaitan dengan bisnis pada taraf internasional.
Norma-norma moral yang umum pada taraf internasional. Salah satu masalah besar
yang sudah lama disoroti serta didiskusikan dalam etika filosofis adalah relatif tidaknya
norma-norma moral. Richard De George membicarakan tiga jawaban atas pertanyaan
tersebut, yang kesemuanya ada benar maupun salahnya. Jawaban-jawaban tersebut
adalah : (1) Menyesuaikan Diri Jawaban ini mengatakan bahwa dalam bisnis internasional
kita harus menyesuaikan diri begitu saja dengan norma-norma etis yang berlaku di Negara
lain di mana kita mempraktekkan bisnis.Tetapi bila diteliti secara kritis, relativisme moral itu
tidak bisa diterima. Norma-norma penting berlaku sama di seluruh dunia. Sedangkan norma
non-moral untuk perilaku manusia bisa berbeda di berbagai tempat. (2) Rigorisme Moral
Pendangan kedua memilih arah terbalik, dimana pandangan ini mau mempertahankan
kemurnian etika yang sama seperti di negerinya sendiri. Perusahaan di luar negeri hanya
boleh melakukan apa yang dilakukan di Negaranya sendiri dan justru tidak boleh
menyesuaikan diri dengan norma etis yang berbeda di tempat lain. Namun pandanagan ini
sulit dipertahankan karena situasi setempat bisa saja berbeda dan tentu akan
mempengaruhi pandangan moral kita. (3) Immoralisme Naif Sedangkan menurut pandangan
ketiga, dalam bisnis internasional kita tidak perlu berpegang pada norma-norma etis. Mereka
berpendapat kita harus mematuhi ketentuan hukum yang berlaku, tetapi selain itu, kita tidak
perlu mematuhi norma-norma moral . Perusahaa yang terlalu memperhatikan etika akan
dirugikan, karena daya saingnya terganggu.
Setelah mempelajari ketiganya, terlihat tidak ada satupun yang dapat dibenarkan.
Tentu saja pandangan ketiga harus ditoak, namun kedua pandangan pertama mengandung
kebenaran. Pada bisnis internasional harus berpegang pada norma moral, dimana kita
harus pandai menyesuaikan diri dalam situasi tertentu. Namun kita juga tidak dapat
sepenuhnya meninggalkan norma etis yang kita miliki. Situasi yang berbeda akan
mempengaruhi kualitas etis suatu perbuatan.
Politik Dumping Pada Bisnis Internasional, Yang jelas termasuk pada etika bisnis
internasional adalah politik ‘dumping’ karena diangap kurang etis dan berlangsung dalam
hubungan dengan Negara lain. Politik dumping dapat dilakukan dengan berbagai motif.
Salah satu motif adalah jumlah produksi yang berlebih sehingga penjual akan memilih lebih
baik menjual dengan merugi daripada tidak terjual. Sedangkan motif lebih negative adalah
menjual dengan murah demi merebut monopoli pasar, dan setelah tercapai Ia akan bebas
menentukan harga pasar.
Politik dumping dianggap tidak etis karena melanggar etika pasar bebas. Kelompok
bisnis yang ingin terjun ke dalam bisnis internasional, dengan sendirinya melibatkan diri
untuk menghormati keutuhan sistem pasar bebas. Kompetisi yang adil merupakan satu
prinsip dasar dari etika pasar bebas. Sebaliknya tidak etis bila satu Negara menuduh
Negara lain melakukan dumping padahal maksudnya adalah melindungi pasar dalam
negeri. Maka dapat dikategorikan beberapa tindakan yang termasuk dumping dan tidak baik.
Adapun tindakan tersebut adalah menekan arga ekspor dengan memberikan upah yang
tidak adil. Untuk itu, standar upah buruh harus memiliki batas minimum, tidak boleh
menekan upah buruh serendah mungkin. Tindakan lain adalah penyusutan aktiva
sepenuhnya dibebankan pada harga produk dalam negeri, sedangkan factor tersebut tidak
diperhitungkan pada harga jual ke Negara lain.
Aspek-aspek Etis dari Korporasi Multinasional, Korporasi multinasional adalah
perusahaan yang mempunyai investasi langsung dalam dua Negara atau lebih. Perusahaan
yang mempunyai hubungan dagang dengan luar negeri, belum termasuk kategori ini.
Namun perusahaan yang memiliki pabrik di lebih dari satu Negara termasuk berstatus
korporasi multinasional. Dan karena memiliki kekuatan ekonomis yang sering kali sangat
besar, mereka menimbulkan masalah etis sendiri.
Masalah Korupsi/Suap, Korupsi dapat menimbulkan masalah besar bagi bisnis
internasional karena di satu negara dapat saja dipraktekkan sesuatu yang tidak dapat
diterima negara lain. Dan di sini timbul pertanyaan, tidakkah orang harus menyesuaikan diri
dengan kebudayaan negara tertentu untuk mencapai kesuksesas – yang termasuk budaya
suap?