Barbie dalam Tiga Cerpen Konstruksi Keca
BARBIE DALAM TIGA CERPEN:
KONSTRUKSI KECANTIKAN DAN PEREMPUAN ARTIFISIAL/FISIKAL/IDEAL
Bramantio
Prolog
Barbie tidak lagi menjadi monopoli sekaligus realisasi mini impian anak‐anak. Kesan itulah yang
saya peroleh ketika membaca tiga cerpen Indonesia. Sosok Barbie ternyata muncul menjadi
sesuatu yang menarik dan berperan sebagai katalisator yang membangun struktur cerita dan
dunia fiktif. Hal itu, diakui atau tidak, tentu memiliki relasi dengan konteks pemikiran yang
melingkupi ruang dan waktu kemunculan karya. Ketiga cerpen yang saya maksud adalah
“Barbie” karya Clara Ng (pernah dimuat di Koran Tempo, Minggu, 9 September 2007, dan
diterbitkan kembali dalam buku kumpulan cerpen Malaikat Jatuh dan Cerita‐cerita Lainnya
pada 2008), “Bercinta dengan Barbie” karya Eka Kurniawan (dalam buku kumpulan cerpen
Gelak Sedih dan Cerita‐cerita Lainnya, 2005), dan “Barbie dan Monik” karya Teguh Winarsho
(pernah dimuat di Kompas, Minggu, 17 Oktober 2004). Saya menganggap ketiga cerpen ini
menarik untuk dibaca kembali karena ketiganya memiliki struktur penceritaan yang berbeda
dalam menghadirkan Barbie, dua di antaranya berada di dalam arena fantastik. Sebagai
konsekuensinya, ketiga cerpen ini bisa saja menghadirkan asumsi memiliki pandangannya
masing‐masing dalam menyikapi Barbie.
Tiga Cerpen, Satu Barbie
Cerpen “Barbie” karya Clara Ng dibuka dengan sebuah paragraf yang diawali dengan “Ini kota
luka. Kota duka jika malam tiba. Kota yang hitamnya menganga seperti langit‐langit mulut
naga. Kota yang sudut‐sudutnya ditenun oleh bayangan kelam seperti jaring laba‐laba.”
Rangkaian kalimat pembuka itu yang menggabungkan kata “luka” dan “duka” dalam kalimat
yang berurutan secara tidak langsung memberikan semacam peringatan kepada pembacanya
tentang hal‐hal yang akan muncul di dalam cerpen ini, yang tentu saja berkaitan dengan
sesuatu yang mengerikan. Hal ini masih ditambah dengan munculnya “hitam” dan “bayangan”
pada dua kalimat sesudahnya, yang berkonotasi dengan hal‐hal buruk dan negatif.
Cerpen yang menceritakan kehidupan di sebuah toko mainan itu memiliki dua tokoh sentral
yang sekaligus menjadi pusat penceritaan, yaitu Babi Abu‐abu dan Barbie. Cerita dibawakan
oleh narator yang berada di luar cerita yang menjalin interaksi dengan pembaca. Hal itu
tampak pada bagian‐bagian yang secara langsung menyebut pembaca sebagai “kau” serta
sejumlah pertanyaan dan komentar tentang yang sedang terjadi pada tokoh cerita sebagai
1
berikut, “Kau pasti mengenalnya” dan “Apakah sesungguhnya dia diselimuti cahaya rupawan
ataukah ada yang salah dengan mata Babi Abu‐abu?” Kalimat‐kalimat itu dapat dipahami
sebagau usaha narator untuk melibatkan pembaca ke dalam aktivitas berceritanya, seperti
seorang jurucerita yang sedang bercerita kepada audiens, atau pendongeng yang bercerita
kepada anak‐anak. Munculnya narator yang seperti itu memperkuat kesan bahwa cerpen
“Barbie” berada di dalam arena fantastik, sehingga peristiwa‐peristiwa yang terjadi di
dalamnya pun semestinya dibaca sebagai peristiwa fantastik, bukan sebagai peristiwa real.
Lebih lanjut, sebagai konsekuensi hal itu dan dipadukan dengan toko mainan yang identik
dengan anak‐anak sebagai latar cerita, cerpen itu memunculkan asumsi tentang pesan implisit
uang diusungnya, hal‐hal yang muncul di permukaan memiliki kemungkinan mewakili gagasan‐
gagasan yang tidak sekadar berkaitan dengan boneka dan sebuah dunia bernama toko mainan.
Relasi antara Babi Abu‐abu dan Barbie pun perlu dipahami bukan sekadar relasi antara dua
boneka, tetapi bisa jadi sebagai simbol relasi antarmanusia dan refleksi realitas. Di samping itu,
melalui kalimat‐kalimat yang dipakai narator juga dapat dipahami jarak yang dibangun antara
narator dengan pembaca, dan dalam hal ini cerpen “Barbie” memiliki jarak yang dekat dengan
pembacanya karena secara langsung menggunakan kata ganti “kau.” Dengan adanya jarak
yang seperti itu, sejak awal meskipun di satu sisi tampak sebagai cerita fantastik, di sisi lain
justru memperlihatkan kedekatan dengan realitas yang diwakili pembacanya.
Babi Abu‐abu adalah tokoh yang merasa terbuang karena ia tidak lagi disukai sebagai mainan
dan ditinggalkan karena para pengunjung toko mainan lebih memilih Barbie:
Babi Abu‐abu menatap gerombolan kanak‐kanak, di tempatnya berdiri. Tiap hari
dia menatap mereka yang melintas beberapa kali di sampingnya. Dia berada
disebelah rak yang berisi payung mungil berwarna salem. Payung itu selalu laku,
entah musim kemarau apalagi musim penghujan. Sedikit yang berhenti di
depannya. Sejak bertahun‐tahun, para kanak‐kanak itu terlalu sibuk untuk
menoleh kepada Babi Abu‐abu. Mereka senang menghampiri tetangga jauhnnya
yang lebih cantik dan terkenal. Barbie. Kau pasti mengenalnya. Perempuan cantik
yang tubuhnya sempurna bagai dewi. Dia berada di rak yang tingginya selevel
dengan bahu kanak‐kanak, agar pandangan mata mereka dapat langsung terarah
kepada kecantikannya. Mereka telah mengenal rambut pirangnya yang tergerai
memesona, lekuk tubuhnya yang langsing semampai, serta aneka baju indah yang
dikenakannya. Rak Babi Abu‐abu selalu sepi dari kerubungan pembeli. Tiap hari
Babi Abu‐abu menatap dinding yang dicat warna‐warni dari kejauhan. Terkadang
dia cemburu dengan kanak‐kanak perempuan itu, yang sedang menimang‐nimang
Barbie. Barbie selalu tersenyum jelita dengan lagaknya yang sempurna. Sepetak
rak itu kian ramai didatangi beberapa orang. Babi Abu‐abu semakin terpojok,
menenun semesta sunyi.
Melalui kutipan itu dapat diketahui bahwa sejak awal cerita Babi Abu‐abu dan Barbie
diposisikan sebagai dua kubu yang berseberangan: Babi Abu‐abu sebagai yang terbuang dan
2
Barbie sebagai yang dicintai. Hal itu diperkuat dengan penyebutan warna yang mewakili
keduanya: abu‐abu yang identik dengan kemuraman dan secara langsung melekat pada diri
Babi sebagai nama belakangnya, dan “dinding yang dicat warna‐warni” sebagai tempat Barbie
yang tentu saja identik dengan keceriaan dan kebahagiaan.
Kemunculan anak‐anak sebagai pihak yang memberi nilai kepada Babi Abu‐abu dan Barbie
dapat dibaca sebagai bentuk penilalaian yang jujur. Dengan bekal pemahaman yang masih
minimal tentang kehidupan, anak‐anak di dalam cerpen ini telah membentuk nilainya sendiri
tentang yang buruk dan yang baik. Yang buruk dan yang baik di sini pun tampak sekadar
berkaitan dengan standar‐standar fisikal. Barbie dianggap lebih baik daripada Babi Abu‐abu
hanya berdasarkan “rambut pirangnya yang tergerai memesona, lekuk tubuhnya yang langsing
semampai, serta aneka baju indah yang dikenakannya.” Berkaitan dengan standar fisikal itu,
yang dianggap baik pun adalah “rambut pirang,” “tubuh langsing semampai,” dan “aneka baju
indah,” yang tampak sangat Barat. Kondisi yang menempatkan standar Barat sebagai yang
positif sesungguhnya telah tampak sejak awal cerita: “Jika siang, di dalamnya penuh bocah‐
bocah yang berlarian, dikejar‐kejar oleh perempuan kampungan. Para pembantu dan
pengasuh. Bocah mengenakan baju berharga gaji pak satpam. Atau bocah yang tasnya
bermerek, impor asli bukan barang tembakan.” Kemunculan “perempuan kampungan” untuk
menyebut “para pembantu dan pengasuh” pada bagian itu tampak memunculkan penilaian
atas perempuan yang berprofesi sebagai pembantu dan pengasuh. Mereka dengan mudah
dianggap sebagai perempuan kampungan yang tentu saja tidak sekadar sebutan bagi
perempuan yang berasal dari kampung, tetapi juga mewakili hal‐hal yang bernilai rendah
bahkan negatif. Hal itu berbeda dengan Barbie yang meskipun tidak diketahui profesinya,
tetap dianggap memiliki nilai tinggi. Pengagungan standar Barat juga tampak pada kalimat‐
kalimat terakhir bagian itu: “Atau bocah yang tasnya bermerek, impor asli bukan barang
tembakan,” yang secara jelas memperlihatkan betapa Barat menjadi standar, khususnya
standar dalam hal‐hal fisikal.
Sekuen perkenalan kedua tokoh sentral itu disusul dengan gambaran toko mainan ketika
malam tiba, “Kereta api kembali bergerak penuh semangat. Boneka cantik mulai berdandan,
menggoda selusin tentara plastik. Para binatang berbulu berebutan menelan pil berwarna‐
warni, teler lalu mabuk. Ada pesta pora seks di ujung sana. Ini kota gila. Kota bahaya, kota
penuh goda.” Kutipan itu tampak melengkapi bagian sebelumnya tentang hal‐hal fisikal. Frasa
“pesta pora seks” memberi semacam penegasan bahwa di toko mainan itu, di “kota gila,” yang
fisikal dan seksual menjadi sebuah nilai yang dipegang teguh penghuninya. Para boneka cantik
3
berdandan di malam hari hanya untuk menggoda para tentara plastik, untuk kemudian
melakukan pesta seks. Dengan kata lain, para perempuan kota itu, secantik apa pun mereka,
tidak mempercantik diri untuk diri sendiri, mereka mempercantik diri hanya untuk lelaki.
Meskipun begitu, Barbie sebagai sosok yang cantik dan dianggap sempurna ternyata merasa
bosan dengan kondisinya. Ia pun menemui Babi Abu‐abu dan berkeluh kesah kepadanya:
“Aku bosan.”
Dari jauh terdengar gonggongan anjing. Jam mendetik teratur maju. Babi Abu‐abu
membuka mata, terkejut. Dalam keremangan, dia melihat sang pemilik suara itu
dalam wujud yang sempurna. Barbie. Dia melongok menatap mata Babi Abu‐abu
yang setengah terpejam. Babi Abu‐abu bertanya dalam hati, bagaimana mungkin
Barbie bosan? Dia mempunyai segala yang diinginkan oleh setiap mainan di kota
ini. Cantik. Populer. Kaya raya. Dipuja.”
Melalui kutipan itu dapat diketahui bahwa kebosanan Barbie menjadi hal yang mengherankan
bagi Babi Abu‐abu. Dalam pernyataan Babi Abu‐abu terdapat penegasan tentang cara kota itu
menilai seseorang, yaitu berkaitan dengan fisik dan materi, bukan sifat dan perilaku, dan hal‐
hal itulah “yang diinginkan oleh setiap mainan di kota ini.” Pada kutipan itu terdapat juga
“gonggongan anjing” yang memunculkan tanda tanya tersendiri. Di dalam konvensi cerita fiksi
maupun kehidupan real, gonggongan anjing tidak sekadar dipahami sebagai perilaku alami
binatang itu, tetapi juga berkaitan dengan ha‐hal yang menyiratkan ancaman, bahaya, suasana
mencekam, dan misterius. Seperti telah diketahui, di dalam cerpen ini gonggongan anjing
terjadi pada malam hari, dan hal itu semakin memperkuat kesan ancaman, bahaya, suasanan
mencekam, dan misterius. Dengan membaca seluruh rangkaian peristiwa pada kutipan itu,
dapat dipahami bahwa pertemuan Babi Abu‐abu dan Barbie adalah sesuatu yang tidak
sepenuhnya positif karena ada nuansa gelap yang melingkupunya. Kesan itu diperkuat oleh
peristiwa berikut:
“Temani aku.”
Ditatapnya Barbie yang sedang tersenyum molek kepadanya. Temani aku?
Sesungguhnya Babi Abu‐abu jarang mendapat sapa. Dari Barbie, apalagi tetangga.
“Temani ke mana?”
“Melihat bulan.”
Kemunculan “bulan” pada peristiwa itu memperkuat kesan misterius pada bagian sebelumnya.
Lebih lanjut, penjelasan tentang Babi Abu‐abu yang jarang mendapat sapa, baik dari Barbie
maupun tetangganya, dapat dipahami sebagai kondisi kota itu bahwa segala sesuatu yang
secara fisik tidak cantik atau indah dianggap sebagai sesuatu yang tidak baik pula sehingga
dijauhi. Bagian itu memperkuat adanya standar penilaian yang lebih mengutamakan hal‐hal
fisikal yang terdapat pada bagian sebelumnya.
4
Rangkaian peristiwa dengan bingkai suasana kelam itu dapat dipahami sebagai kesepian yang
dialami Babi Abu‐abu dan Barbie. Babi Abu‐abu merasa kesepian karena ia tidak memiliki
teman atau jarang mendapat sapa dari mainan lain, sedangkan Barbie merasa kesepian karena
ia bosan dengan hal‐hal di sekitarnya. Kondisi itu mengantarkan mereka berdua pada
pertemuan melihat bulan yang bermuara pada hubungan seks:
Ada seulas senyum Barbie. Napasnya terbang ke pipi Babi Abu‐abu. Lembut dan
indah. Lidah Barbie masuk, jauh ke dalam rongga mulut Babi Abu‐abu. Dia
mengulumnya. Rasanya hangat dan menggoda. Babi Abu‐abu merasa takut, tapi dia
tidak ingin berhenti. Dia mendesakkan seluruh kelelakiannya, lebih jauh lagi. Lebih
intim lagi. Barbie menjerit keras penuh kenikmatan. Malam berakhir penuh peluh
serta desah lelah. Purnama memenuhi putaran karma.
Jika dibaca lebih cermat, adegan seks antara Babi Abu‐abu dan Barbie tampak menegaskan
sikap para perempuan di kota itu pada bagian sebelumnya. Sejumlah kalimat di dalam kutipan
itu, meskipun juga menggambarkan antusiasme Babi Abu‐abu, memperlihatkan bahwa
Barbielah yang tampak lebih menikmati hubungan seks mereka. Lebih lanjut, sebagai
perempuan ternyata Barbie tidak segan berhubungan seks dengan Babi Abu‐abu yang jelas‐
jelas adalah babi. Pada bagian itu, Barbie yang pada awalnya tampak berkonotasi positif,
semacam standar penilaian tentang yang baik, mengalami pergeseran. Hal itu diperkuat
dengan bagian berikutnya yang menyatakan bahwa hubungan seks bagi Barbie ternyata bukan
sesuatu yang istimewa, hubungan seks sama sekali tidak melibatkan perasaan dan seolah tidak
lebih daripada pengisi waktu membunuh kebosanan:
“Kapan ketemu lagi?”
“Kapan‐kapan.”
“Besok malam?”
“Nggak kepengen.”
“Lusa?”
“Belum mood.”
“Tiga hari la…” Barbie melompat dari jendela. Dia melambai dan mengedipkan
mata. Babi Abu‐abu terpaku tak berdaya. Barbie berputar gemulai, menghilang
ditelan keriuhan kota.
Melalui kutipan itu jelas adanya bahwa Barbie tidak mau memberi kepastian kepada Babi Abu‐
abu tentang kapan mereka bisa bertemu lagi. Melalui jawaban‐jawabannya dapat dipahami
bahwa Barbie sesungguhnya tidak mau bertemu lagi dengan Babi Abu‐abu. Hal itu terbukti
benar ketika pada suatu malam Babi Abu‐abu melihat Barbie bersama lelaki lain:
Dua siluet yang berbeda mendekat, salin memilin sehingga terlihat menjadi
satu. Babi Abu‐abu nyaris roboh, tidak memercayai pandangannya. Barbie di sana,
sedang memagut laki‐laki lain penuh gairah. Laki‐laki tinggi besar berotot
sempurna. Sekelebat diam menyusup. Diam yang menyesakkan dada. Seluruh
sendi Babi Abu‐abu lemas, lalu amarah meledak, menghanguskan setiap butir
darah. Dia mengepalkan tinju lalu menyerbu masuk.
5
“Bajingan!” umpatnya. Dengan cepat disentakkan bahu lelaki besar itu. Lelaki
itu terkejut.
Barbie membelalak tak percaya. “Apa‐apaan ini?!” bentaknya keras,
menggapai kain untuk menutupi tubuh.
“Lelaki bangsat! Biadab! Mesum!”
Berbie terduduk di ranjang. Rambutnya acak‐acakan.
“Siapa dia? Usir dia keluar, Sayang!”
Barbie melompat berdiri. Dia meradang. Kedua tangannya bertumpu di
panggul. “Sialan kau!” jeritnya melengking kepada Babi Abu‐abu. “Kau yang
seharusnya keluar dari kamar ini, bukan dia!”
Babi Abu‐abu terpaku. Barbie tidak pernah berteriak seperti itu. Barbie tidak
pernah sekeji itu.
“Kau…” desahnya tidak percaya, “…mengusirku… pergi?”
“Karena kau gila.”
“Aku pacarmu, dan kau suruh aku keluar?”
“Dasar sakit! Emangnya sejak kapan kita pacaran?”
“Sejak kita bersama.”
“Ngimpi aja!”
“Aku sayang kamu.”
[…]
Babi abu‐abu melangkah masuk. “Aku mencintaimu, Barbie."
Barbie mendelik, mengobarkan bara kebencian yang bergemuruh.
Kesabarannya telah membubung lenyap. Dengan kasar dia mengambil majalah
lalu melemparkan majalah itu ke arah Babi Abu‐abu sekuat tenaga.
“Cinta? Cuih!” jeritnya melengking.
Babi Abu‐abu mengelak. Majalah terbang menabrak dinding. “Aku…”
“KELUAR!!! DASAR BABI GILA!!!”
Peristiwa pada kutipan itu memperlihatkan bahwa Barbie sesungguhnya tidak pernah
menganggap istimewa percintaan mereka pada malam sebelumnya. Lebih lanjut, terlepas dari
Babi Abu‐abu yang berharap terlalu besar pada Barbie untuk menjadi kekasihnya, Barbie
tampaknya memang tidak menganggap Babi Abu‐abu sebagai sosok yang pernah dikenalnya.
Barbie pun menganggap cinta sebagai sesuatu yang menggelikan bahkan memuakkan. Hal‐hal
fisikal sekali lagi menjadi yang terpenting di dalam dunia Barbie. Hal itu diperkuat dengan
munculnya “laki‐laki tinggi besar berotot sempurna” sebagai teman bercinta Barbie. Fisik tinggi
besar dan berotot sempurna merupakan fisik ideal bagi lelaki pada umumnya, dan dengan
dipertemukannya hal itu dengan Barbie sebagai pemilik fisik ideal bagi perempuan, semakin
nyatalah kedudukan keindahan fisikal sebagai hal terpenting. Kondisi yang seperti itu dan
perasaan disia‐siakan menjadikan Babi Abu‐abu naik pitam: “Terkutuklah kamu, hai
perempuan jalang! Bangsaaaaat!!!” Amarah Babi Abu‐abu pun bermuara pada peristiwa
mengerikan:
Hari Sabtu dan Minggu. Sudah dua hari toko mainan itu tutup. Disegel oleh
garis kuning polisi. Beberapa keluarga yang datang membawa sepasukan anak‐
anak dan pengasuhnya terkecoh. Mereka bergerombol sambil bertanya‐tanya apa
yang terjadi. Ada pengumuman yang tertempel di sehelai kertas pada pintu
6
tergembok.
“Ada apa sih?”
“Ada pembunuhan di toko mainan.”
“Hah! Pembunuhan apa?”
“Mayat dimutilasi.”
“Mutilasi?!”
“Mayat perempuan. Kepalanya ditaruh di antara bola‐bola pantai. Kedua
tangannya diletakkan di rak tongkat baseball. Sisa badannya tergeletak di tengah
lantai, bertebaran. Paha, panggul, dan perut. Diperkosa lalu dibunuh. Atau
dibunuh lalu diperkosa. Entahlah.”
Seorang ibu menutup telinga anaknya dengan tangannya.
“Sungguh mengenaskan!”
“Padahal perempuan itu cantik sekali.”
“Polisi sudah menemukan pembunuhnya?”
“Penyelidikan belum tuntas. Katanya, mungkin pembunuhnya orang sakit
jiwa yang mengaku‐aku pacarnya. Sekarang orang itu menghilang.”
“Benar‐benar gila.”
“Ini zaman edan.”
Melalui kutipan itu dan berdasarkan rangkaian peristiwa sebelumnya, meskipun tidak ada
penyebutan nama, dapat diketahui bahwa perempuan yang menjadi korban mutilasi adalah
Barbie, sedangkan pelaku pembunuhan dan mutilasi adalah Babi Abu‐abu. Motivasi
pembunuhan itu adalah perasaan disia‐siakan sebagai akibat perlakuan Barbie padanya. Di
satu sisi, Barbie sebagai pemilik kecantikan dan fisik yang dianggap ideal telah memandang
rendah Babi Abu‐abu tidak memiliki fisik yang dianggap ideal seperti lelaki tinggi besar berotot
sempurna. Di sisi lain, Babi Abu‐abu pun sesungguhnya juga menganggap rendah Barbie,
karena meskipun ia mencintainya, Barbie bagi Babi Abu‐abu tampak tidak lebih daripada objek
untuk dimiliki, sehingga ketika ia tidak dapat memilikinya, Barbie harus mati.
Akhir cerita yang demikian memperlihatkan bagaimana cerpen ini memandang Barbie.
Meskipun pada awalnya Barbie ditempatkan sebagai hal yang tampak positif, melalui cara
anak‐anak memandang Barbie yang berbeda dengan cara mereka memandang Babi Abu‐abu,
posisi Barbie lambat‐laun digeser sedemikian rupa hingga menjadi sesuatu yang tidak berharga.
Ada semacam kritik atas Barbie sebagai realisasi kecantikan dan perempuan ideal dengan
standar Barat. Kematian Barbie dengan cara mengenaskan pada cerpen itu dapat dibaca
sebagai kematian atas simbol kecantikan dan perempuan ideal, dan hal‐hal fisikal tidak akan
berumur panjang.
Lebih lanjut, kalimat “Ini zaman edan” yang dilontarkan oleh salah satu pengunjung tampak
mengacu pada konteks kekinian yang penuh peristiwa‐peristiwa yang tampak absurd dan jauh
dari yang terbayangkan sebelumnya. Hal itu diperkuat dengan bagian berikutnya: “Daun‐daun
runduk dalam bisu, seperti sedang memikirkan segala peristiwa dunia.” Rangkaian kalimat
7
penutup cerpen “Barbie” memberi semacam penegasan tentang realitas yang seperti itu: “Ini
kota luka. Kota duka. Kota yang hitamnya menganga seperti langit‐langit mulut naga. Kota
yang sudut‐sudutnya ditenun oleh bayangan kelam seperti jaring laba‐laba. Kau lihat malam
telah turun di kota ini? Ini kota yang berongga. Kota bergelimang dosa. Tanpa nama, tanpa
makna, tanka kata.”
Arena cerita fantastik yang digunakan cerpen “Barbie” tampak tepat untuk menggambarkan
segala peristiwa dunia yang absurd. Kemunculan tokoh Barbie dan Babi Abu‐abu yang
bunyinya secara sepintas memiliki kemiripan, Barbie Babi, Babi Barbie, juga menjadi penanda
atas karut‐marutnya dunia dan pola pemikiran berkaitan dengan nilai, khususnya nilai
kecantikan dan perempuan, yang tampak sekadar fisikal dan seksual.
Beralih ke cerpen “Bercinta dengan Berbie” karya Eka Kurniawan. Cerpen ini diceritakan oleh
narator di luar cerita dengan tokoh lelaki sebagai pusat penceritaan. Sebagai narator yang
berada di luar cerita, narator cerpen ini bertindak sebagai yang mahamengetahui tindakan dan
pikiran tokoh sehingga peristiwa‐peristiwa pun terjadi apa adanya, tidak muncul komentar‐
komentar yang cenderung memperlihatkan subjektivitas. Teknik seperti itu mampu
mendukung seluruh cerpen yang meskipun ada di dalam arena fantastik, tetap memiliki
lapisan lain yang berkaitan dengan realitas masyarakat.
“Bercinta dengan Barbie” menceritakan sepenggal kehidupan seorang lelaki yang memiliki
hubungan khusus dengan boneka Barbie. Cerpen itu diawali dengan rangkaian kalimat yang
menandai sekaligus memberi pijakan kepada pembacanya dalam menempatkan cerpen ini
sebagai cerita fantastik:
Suatu malam ia berhasil menemukan mantra yang sanggup membuat boneka
Barbie anaknya tumbuh membesar dan hidup. Mantra itu ia temukan dari sejilid
buku tua yang dicarinya di ruang‐ruang gelap perpustakaan kota, di mana buku‐
buku sihir lama disembunyikan petugas karena pengaruhnya yang cukup
berbahaya. Ia telah mengabaikan risiko ditangkap karena membaca buku sihir.
Melalui kutipan itu, selain memperoleh pijakan awal tentang cerita yang akan dihadapi, di
dalam pikiran pembaca juga akan muncul asumsi tentang yang akan terjadi pada Barbie.
Penjelasan yang diberikan tentang pengaruh berbahaya buku sihir yang digunakan si lelaki itu
juga memberikan semacam bocoran tentang bagaimana cerita itu akan berjalan dan
bagaimana akhir ceritanya, yang sedikit‐banyak tentu berkaitan dengan sesuatu yang buruk.
Barbie di dalam cerpen itu dihidupkan tidak sakadar untuk dihidupkan, tetapi berkaitan erat
8
dengan sosoknya sebagai perempuan yang dianggap ideal, termasuk dalam hal‐hal yang
berkaitan dengan seksualitas. Asumsi seperti itu pada bagian berikutnya memperoleh pijakan
yang semakin mantap:
Semua itu disebabkan rasa putus asanya melihat tubuh istrinya mendadak
berkembang liar menjadi satu sosok monster penuh bobot yang tak menyisakan
apa pun bagi nafsu berahinya: dagunya berlipat dua, dadanya melorot, perutnya
lembek, dan pahanya bahkan menyerupai bantal berisi kapuk tua. Sejak tanpa
sengaja ia melihat tubuh boneka anaknya, si Barbie berambut pirang, dengan
leher jenjang, dadanya bulat padat mencuat kembar, dan betisnya begitu liat
menggoda, tubuh ramping itu memberinya gagasan untuk menemukan satu
mantra sihir yang bisa membuat sosok boneka tumbuh membesar dan hidup
sebagai manusia.
Yang menjadi motivasi si lelaki menghidupkan boneka Barbie adalah keputusasaannya melihat
fisik istrinya. Seperti halnya pada cerpen “Barbie” karya Clara Ng, cerpen ini menempatkan
Barbie sebagai perwujudan kecantikan dan perempuan ideal, meskipun ia sesungguhnya tidak
lebih daripada boneka atau benda artifisial. Fisik alami perempuan, dalam hal ini diwakili istri si
lelaki, yang berubah dan berkembang sedemikian rupa dianggap sebagai monster. Lebih parah
lagi, si istri dianggap sebagai monster tidak sekadar berkaitan dengan bentuk dan bobot
tubuhnya, tetapi juga dalam kaitannya dengan memuaskan nafsu berahi si lelaki. Melalui
bagian kecil cerpen itu, tampak jelas bagaimana posisi si istri dan Barbie, manusia dan boneka,
yang pada hakikatnya memang berbeda tetapi dianggap setara oleh si lelaki dan dibandingkan
dalam hal kecantikannya, bahkan Barbie sebagai boneka memiliki posisi lebih tinggi daripada si
istri. Barbie dianggap lebih baik karena ia adalah sosok yang dibuat berdasarkan gambaran
ideal perempuan bagi lelaki. Barbie tetap dianggap lebih baik meskipun ia artifisial.
Lebih lanjut, kesan yang tampak bahwa Barbie di dalam cerpen tidak lebih daripada objek
pelampiasan nafsur secara jelas muncul pada bagian berikut:
Seorang gadis dengan kecantikan seamacam itu berada di atas tempat tidur
dalam keadaan menyerah sepenuhnya adalah anugerah bagi lelaki mana pun,
terutama jika ia memiliki seorang istri yang mulai terasa menyebalkan. Malam itu
ia bercinta dengan si cantik Barbie dalam suatu permainan cinta terindah yang
pernah dialaminya […] Di akhir percintaan yang edan‐edanan itu […] si lelaki
berkata kepada si cantik Barbie dengan selera humornya yang tiba‐tiba melimpah
didorong rasa terima kasih atas keindahan hidup: “Kau gadis cantik yang
sempurna, terima kasih untuk siapa pun di pabrik plastik yang membuatmu,
mereka sung‐sungguh punya selera seksual yang memadai.
Pernyataan si lelaki di akhir kutipan itu semakin memperkuat posisi Barbie sebagai objek
seksual. Si lelaki menganggap bahwa Barbie diciptakan tidak sebatas sebagai boneka yang
menjadi teman bermain bagi anak‐anak perempuan, tetapi lebih daripada itu yaitu sebagai
9
realisasi atas selera seksual yang memadai. Dengan begitu, keindahan fisik Barbie seolah tidak
dirancang untuk kepuasan Barbie sendiri sebagai perempuan, tetapi lebih pada tujuan untuk
memuaskan hasrat lelaki pada umumnya. Hal itu senada dengan yang muncul pada cerpen
“Barbie.”
Si lelaki di dalam cerpen pun tidak merasa puas dengan memiliki sosok Barbie yang hidup dan
bisa diajaknya berhubungan seks. Ia pun berbagi Barbie dengan lelaki‐lelaki lain:
Ia tahu dengan pasti banyak lelaki menderita di zaman modern karena istri‐
istri mereka mulai tak peduli dengan tubuhnya. Naluri bisnisnya muncul seketika.
Ia segera pergi ke toko dan membeli beberapa sosok boneka Barbie […] Boneka‐
boneka itu semuanya ia sihir, dan sejenak setelah mereka menjelma menjadi [sic!]
sosok‐sosok gadis menggairahkan, ia segera membuka tempat pelacuran dengan
nama toko yang cukup provokatif: “Bercinta dengan Barbie.”
Melalui kutipan itu dapat diketahui bahwa menurut si lelaki, yang dapat dianggap mewakili
lelaki pada umumnya, banyak lelaki menderita karena fisik istri mereka. Fisik alami perempuan
yang menjadi istri mereka dianggap sebagai sesuatu yang buruk dan bisa berpengaruh buruk
pada kehidupan mereka. Perempuan lagi‐lagi dianilai berdasarkan fisiknya, dan perempuan
bernilai tinggi jika ia memiliki fisik seperti Barbie. Selain itu, pada kutipan itu juga tampak
bahwa Barbie, yang dapat dianggap mewakili perempuan pada umumnya, dianggap tidak lebih
daripada komoditas yang dapat diperdagangkan, dihargai dengan materi berdasarkan
kemampuan mereka melayani dan memuaskan lelaki, tidak lagi dilihat berdasarkan
kepribadian dan sikapnya. Hal itu semakin nyata pada bagian berikutnya:
Pada hari pembukaan, seribu seratus dua puluh tujuh lelaki berbaris antri di
depan toko untuk mencoba tidur satu atau dua jam bersama gadis‐gadis cantik
bertubuh indah miliknya. Sebagian terbesar adalah suami‐suami yang bosan
dengan tubuh istrinya sebagaimana ia duga, dan sebagian kecil adalah duda‐duda
kesepian serta para lajang yang tak memiliki keberanian merayu teman kencannya
naik ke atas tempat tidur. Tokonya sama sekali tak mengecewakan, di sana semua
lelaki yang telah memperoleh kesempatan untuk bercinta dengan si cantik Barbie
atau teman‐temannya berkata bahwa itu adalah petualangan cinta paling dahsyat
yang dianugerahkan pabrik boneka untuk manusia. Ucapan mereka bukan omong‐
kosong, karena begitu mereka keluar kamar sambil menutup resleting celananya,
mereka segera berdiri lagi di barusan terakhir, antri menunggu kesempatan
berikutnya.
Pada bagian itu tampak bahwa para istri dan perempuan pada umumnya di dalam kehidupan
lelaki seolah tidak ada bedanya dengan barang atau materi, mereka ada untuk dimiliki, dipakai,
lalu bisa ditinggalkan atau dibuang ketika lelaki bosan. Kebosanan di sini pun tampak bukan
karena perempuan berubah menjadi sosok membosankan, tetapi lebih pada suatu kondisi
ketidakpuasan para lelaki melihat perubahan fisik istri mereka. Di samping itu, dengan
10
memunculkan duda‐duda kesepian, cerpen ini juga menghadirkan gambaran yang
memperlihatkan bahwa perempuan hanyalah pelengkap kehidupan lelaki yang kesepian, lelaki
dan perempuan seolah tidak saling menemani, tetapi hanya perempuanlah yang memiliki
kewajiban moril menemani laki‐laki, termasuk dalam urusan tempat tidur.
Meskipun pada awalnya bisnis si lelaki tampak menguntungkan, Bercinta dengan Barbie pada
akhirnya mendapat reaksi tajam dari para perempuan istri para lelaki pemakai jasa gadis‐gadis
Barbie:
Namun sebagaimana revolusi apa pun di setiap penjuru dunia, revolusi selalu
menghadapi penentangnya yang paling gigih. “Bercinta dengan Barbie” dikutuk
habis‐habisan oleh para istri yang mulai tak disentuh oleh suami‐suami mereka.
Mereka datang berbondong‐bondong menyeret para suami itu, melempari toko
pelacurannya dengan apel‐apel busuk. Bahkan pembunuhan‐pembunuhan gadis
Barbie yang disembunyikan suami‐suami mereka di tempat‐tempat tersembunyi
mulai muncul di koran dan di desas‐desus. Lelaki itu pulang ke rumah untuk
menengok Barbie cantiknya sendiri, merindukannya tengah telanjang di atas
tempat tidur. Namun ia menemukannya, telah mati ditusuk istrinya yang gembrot
menggunakan pisau dapur.
Kutipan itu semakin memperkuat posisi Barbie dan perempuan sebagai materi belaka. Bukan
hanya lelaki yang menganggap demikian, para perempuan pun ternyata menganggap Barbie
sebagai materi. Hal itu tampak pada peristiwa pembunuhan gadis‐gadis Barbie yang dilakukan
para istri yang cemburu dan marah atas perilaku suami mereka, para istri seolah tidak lagi
menghargai kehidupan gadis‐gadis Barbie. Gadis‐gadis Barbie memang berasal dari boneka
mati, tetapi pada saat itu mereka hidup dan tentu saja dapat dianggap mampu merasakan hal‐
hal yang terjadi pada mereka. Perempuan pun semakin terpuruk dalam keterpurannya. Lebih
lanjut, di sisi lain, peristiwa pembunuhan perempuan‐perempuan Barbie dapat dianggap
sebagai peristiwa pembunuhan atas idealisasi kecantikan dan perempuan, seperti yang juga
terdapat pada cerpen “Barbie”: Barbie sebagai simbol kecantikan dan perempuan ideal
terbantai habis oleh para istri sebagai simbol kecantikan dan perempuan real.
Peristiwa pembunuhan massal yang terjadi pada gadis‐gadis Barbie ternyata tidak membuat si
lelaki menghentikan aktivitasnya untuk memberikan kepuasan kepada orang‐orang secara
seksual dengan jasa para boneka:
Setelah memikirkannya selama tujuh hari tujuh malam, saat itu semua Barbie
cantiknya baik yang dijual maupun dijadikan gadis‐gadis penghibur di tokonya
sudah mati dibunuh perempuan‐perempuan marah, ia menemukan
pemecahannya yang paling brilian. Ia merasa dirinya begitu jenius, dan merasa
yakin bahwa ia orang paling berjasa untuk memecahkan salah satu masalah paling
mendasar dari manusia‐manusia modern: hampir semua lelaki hanya ingin
11
bercinta dengan gadis penggairah sebagaimana gadis‐gadis Barbie cantiknya, dan
semua perempuan merasa repot dan putus asa harus mempertahankan tubuhnya
dalam bentuk yang begitu minimal tapi mereka tetap ingin bercinta dan
membutuhkan lelaki. Merasa gagasan cemerlangnya tak bisa ditunda lebih lama,
ia segera pergi ke toko membeli banyak boneka. Kali ini ia tak hanya membeli si
cantik Barbie dengan teman‐temannya yang menggoda, namun juga membeli
boneka‐boneka pria yang oleh pabrik diberi nama Ken. Ia membacakan mantra itu
kembali dan mengubah semua bonekanya menjadi sosok‐sosok yang hidup.
Bisnisnya berputar lagi, bahkan lebih menggairahkan. Ia membagi tempat
pelacurannya menjadi dua, untuk lelaki yang ingin bercinta dengan gadis‐gadis
Barbie […] dan satu lagi diperuntukkan untuk perempuan‐perempuan yang
berbagi ranjang bersama Ken.
Rangkaian peristiwa itu lagi‐lagi berkaitan dengan realitas yang menampilkan kesan bahwa
yang terpenting di dalam kehidupan manusia adalah berhubungan seks dengan sosok‐sosok
yang menurut mereka ideal dan menggairahkan, bukan sosok‐sosok suami atau istri mereka.
Pada bagian itu juga terjadi pergeseran bahwa bukan hanya lelaki yang memiliki hasrat
bercinta dengan Barbie sebagai perempuan berfisik ideal, tetapi para perempuan pun memiliki
birahi untuk berbagi ranjang dengan Ken sebagai lelaki berfisik ideal, Ken dalam realitasnya
diciptakan sebagai pasangan Barbie sehingga ia memiliki fisik setara dengan Barbie.
Aktivitas si lelaki dalam berbisnis jasa pelayanan seks para manusia boneka itu dipahaminya
sebagai hal yang luhur:
Gagasan tersebut tampak berjalan sangat memuaskan. Dari rumah ke rumah
ia menyaksikan keluarga‐keluarga yang berbahagia. Suami duduk di beranda
menikmati teh bersama seorang Barbie, sementara istrinya berbaring di kolam
renang bersama si Ken. Anak‐anak berlari‐lari di antara mereka. Tawa ceria
terlempar dari mulut mereka semua. Ia senang telah membuat dunia menjadi
tempat yang lebih indah.
Kutipan itu memperlihatkan bahwa keharmonisan dan kebahagiaan keluarga ternyata tidak
datang dari dalam keluarga itu sendiri, tetapi ditopang sosok‐sosok eksternal yang dalam hal
ini adalah manusia boneka Barbie dan Ken sebagai pemuas hasrat seksual para suami dan istri.
Hal itu sekaligus memperlihatkan bahwa seksualitas menjadi hal signifikan dalam mewujudkan
kehidupan masyarakat yang harmonis. Meskipun begitu, gagasan si lelaki ternyata tidak
selamanya dapat berjalan baik:
Masalah baru muncul satu bulan kemudian […] Keluhan‐keluhan berdatangan
ke tokonya […] “Tadi malam aku melihat Kenku yang tampan bercinta dengan
Barbie, lalu pagi ini keduanya pergi entah ke mana” […] “Barbieku yang cantik
jatuh cinta kepada Ken milik istriku. Satu malam kami memergoki mereka bercinta
di gudang. Sekarang mereka kabur dan berencana menikah.
Perilaku Barbie dan Ken yang seperti itu pada awalnya tampak sebagai pesan yang diusung
12
oleh cerpen ini berkaitan dengan kembali ke realitas dan berpikir realistis. Barbie dan Ken
adalah sosok‐sosok ideal yang artifisial, kecantikan dan keindahan mereka sepenuhnya bersifat
fisikal dan sama sekali tidak berkaitan dengan aspek kepribadian atau pun moral. Dengan
kegagalan kedua yang dialami si lelaki dalam mempertahankan kelangsungan bisnisnya, cerita
tampak bergerak ke arah usaha untuk tidak lagi menilai manusia hanya berdasarkan fisiknya.
Hal itu semakin tampak pada bagian berikut:
Ia tak punya jalan keluar bagi orang‐orang malang itu. Dengan putus asa ia
menutup tokonya, memecat seluruh karyawan, dan dengan sekali mengucapkan
mantra ia mengembalikan seluruh boneka hidup itu kembali menjadi boneka.
Semua sudah berakhir, katanya kepada para pelanggan. “Hadapilah kenyataan,
tidurlah dengan istrik‐istri gembrot kalian,” ia berkata kepada para pelanggan
lelaki. Kepada para pelanggan perempuan ia berkata lain: “Hadapilah kenyataan,
bercintalah dengan suami‐suami kalian, meski tombak mereka tak juga mau
bangun.
Pada kutipan itu, meskipun si lelaki menyatakan “hadapilah kenyataan,” pernyataannya
tampak tidak tulus dan seolah masih memendam kekesalah atas kegagalannya. Ia
menghimbau para pelanggan kembali ke realitas dan melupakan manusia‐manusia boneka
rupawan, tetapi diikuti dengan menyebut “istri gembrot” dan “meski tombak mereka tak juga
mau bangun.” Arah yang dibangun untuk kembali ke realitas dan menerima para suami dan
istri apa adanya pun kembali berbelok dengan munculnya peristiwa di muara cerita:
Ide buruknya seketika muncul, jahat dan tanpa ampun. Ia membacakan
mantara itu dan mengubah istrinya menjadi boneka. Ia mengambil boneka‐
berwujud‐istrinya itu dan memberikannya kepada si anak. Jangan menangis,
Sayang, ini bonekamu. Si anak segera menerima boneka itu namun segera
membantingnya ke lantai dan menjerit. Gak mau, ini boneka buruk muka, aku
mau Barbieku. Sore itu ia berjalan penuh kebahagiaan ditemani si Barbie cantik
sambil menggendong anaknya menuju toko boneka. Boneka sang istrik ia buang
ke tong sampah sambil berkata, “Bahkan anak‐anak pun tak menyukainya.
Pada kutipan itu tampak bagaimana si lelaki tidak kuasa memenuhi kata‐katanya sendiri untuk
kembali ke realitas. Ia tetap menganggap bahwa fisik ideal Barbie jauh lebih berharga
dibandingkan istrinya. Ia pun menyihir istrinya menjadi boneka dan memberikannya kepada
anaknya untuk kemudian dibanting dengan alasan “boneka buruk muka.” Si istri pun,
perempuan yang sesungguhnya, berakhir di tong sampah. Bahkan di akhir cerita hidupnya pun,
perempuan tidak mati lalu dikubur, tetapi serupa barang bekas yang rusak dan menjadi
konsumsi tong sampah untuk kemudian digantikan oleh perempuan Barbie.
Terakhir, cerpen “Barbie dan Monik” karya Teguh Winarsho. Cerita dibuka dengan rangkaian
peristiwa tentang seorang perempuan bernama Lasmi yang gelisah memikirkan Puput anaknya
yang sedang sakit, dan pada saat itu ia juga membutuhkan uang untuk biaya pengobatan:
13
“Hari ini Lasmi perlu uang. Puput anak semata wayangnya yang baru masuk TK, sudah empat
hari sakit […] Lasmi sudah berusaha membawa Puput ke Puskesmas, tapi sakit Puput justru
bertambah parah. Kini Lasmi bermaksud membawa Puput ke dokter. Lasmi tahu, biaya dokter
tidak murah.” Cerpen ini berbeda dengan “Barbie” dan “Bercinta dengan Barbie” karena ia
sepenuhnya ada di dalam arena realisme. Cerpen ini diceritakan oleh narator di luar cerita
dengan Lasmi dan Mantosam sebagai fokus penceritaan yang muncul bergantian. Pergantian
fokus ini berdampak pada pembentukan suasanan di sekeliling Puput yang sakit, yang dilihat
melalui perspektif Lasmi sebagai ibu yang mengkhawatirkannya, dan Mantosam yang tidak
terlalu peduli dan justru asyik dengan urusannya sendiri. Dengan bergerak di dalam arena
realisme cerpen ini juga tampak lebih tegas dalam menghadirkan ironi, khususnya di dalam
kehidupan masyarakat kelas menengah ke bawah.
Kegelisahan Lasmi berkaitan dengan keterbatasan dana untuk pengobatan anaknya semakin
menjadi‐jadi ketika ia teringat akan Mantosam yang tak kunjung pulang memenuhi janji:
“Lasmi mengedar pandang ke sekeliling. Tampak suasanan pasar semakin ramai. Tapi tiba‐tiba
Lasmi gelisah, teringat Mantosam yang sudah dua malam tidak pulang. Ketika pergi Mantosam
berjanji akan membelikan boneka Barbie untuk Puput. Tapi hingga tadi pagi Mantosam belum
pulang. Puput kerap mengigau menanyakan boneka Barbienya.” Pada bagian itu boneka
Barbie tampak sekadar disebut sebagai boneka, bukan sebagai sesuatu yang memiliki fungsi
lain di dalam cerita seperti pada dua cerpen sebelumnya. Meskipun begitu, pada bagian‐
bagian berikutnya posisi Barbie berubah. Hal itu mulai tampak pada bagian berikut:
Aroma alkohol mengendap dalam kamar lima kali empat meter. Puntung
rokok, botol minuman, gelas, dan kartu domino berserak di sana‐sini. Laki‐laki itu,
Mantosam menggosok‐gosok mata baru bangun tidur. Jengah, menggerak‐
gerakkan tubuhnya yang terasa pegal Mantosam melirik perempuan di
sebelahnya. Serta‐merta mata Mantosam yang kuyu menyala. Perempuan itu,
Monik, selimutnya tersingkap hingga pahanya yang putih menantang Mantosam.
Berkali‐kali Mantosam menelan ludah, tak kuat menahan hasrat. Mantosam buru‐
melihat uang di dompet. Tersenyum. Uangnya masih cukup untuk bersenang‐
senang. Mantosam segera membangunkan Monik […] Sumpah serapah hampir
muntah dari mulut Monik jika Mantosam tidak segera mengeluarkan lembar‐
lembar uang dari dompet dikipas‐kipaskan di depan wajah Monik.
Pada bagian sebelumnya telah diketahui bahwa Mantosam adalah suami Lasmi dan ayah
Puput, tetapi pada kutipan itu muncul fakta bahwa Mantosam memiliki hubungan dengan
perempuan lain bernama Monik. Seperti halnya yang terjadi pada tokoh lelaki di dalam cerpen
“Bercinta dengan Barbie,” kemunculan peristiwa‐peristiwa yang saling memperkuat dan
memunculkan asumsi awal seperti itu akan mengarahkan pembaca pada pemahaman bahwa
Barbie di dalam cerpen itu mememiliki kedudukan yang lebih daripada sekadar boneka mainan.
14
Berkaitan dengan hal itu, Barbie di dalam cerpen itu dapat dianggap memiliki dua wujud, yaitu
boneka sebenarnya yang diidam‐idamkan Puput dan Monik sebagai Barbie mainan Mantosam.
Fakta cerita seperti itu semakin mempertajam ironi yang dihadirkan, mengingat di tempat
yang berbeda dan tanpa sepengatahuan Mantosam, Lasmi sedang berjuang menyelamatkan
nyawa anaknya dan harus menghadapi birokrasi rumah sakit yang seolah semakin mempersulit
kehidupan orang‐orang yang mendapat musibah. Mantosam pun pada akhirnya mengetahui
yang sebenarnya terjadi pada anaknya, dan menyadari kelalaiannya sebagai seorang ayang
yang telah menjanjikan boneka Barbie untuk Puput:
Mantosam kaget mendengar kabar dari tetangga sebelah bahwa Puput
dirawat di rumah sakit. Saat itulah Mantosam baru ingat jika beberapa hari ini
Puput sakit. Tapi Mantosam tidak menduga kalau akhirnya Puput masuk rumah
sakit. Mantosam tiba‐tiba merasa bersalah. Perasaan bersalah itu kian menusuk
ket
KONSTRUKSI KECANTIKAN DAN PEREMPUAN ARTIFISIAL/FISIKAL/IDEAL
Bramantio
Prolog
Barbie tidak lagi menjadi monopoli sekaligus realisasi mini impian anak‐anak. Kesan itulah yang
saya peroleh ketika membaca tiga cerpen Indonesia. Sosok Barbie ternyata muncul menjadi
sesuatu yang menarik dan berperan sebagai katalisator yang membangun struktur cerita dan
dunia fiktif. Hal itu, diakui atau tidak, tentu memiliki relasi dengan konteks pemikiran yang
melingkupi ruang dan waktu kemunculan karya. Ketiga cerpen yang saya maksud adalah
“Barbie” karya Clara Ng (pernah dimuat di Koran Tempo, Minggu, 9 September 2007, dan
diterbitkan kembali dalam buku kumpulan cerpen Malaikat Jatuh dan Cerita‐cerita Lainnya
pada 2008), “Bercinta dengan Barbie” karya Eka Kurniawan (dalam buku kumpulan cerpen
Gelak Sedih dan Cerita‐cerita Lainnya, 2005), dan “Barbie dan Monik” karya Teguh Winarsho
(pernah dimuat di Kompas, Minggu, 17 Oktober 2004). Saya menganggap ketiga cerpen ini
menarik untuk dibaca kembali karena ketiganya memiliki struktur penceritaan yang berbeda
dalam menghadirkan Barbie, dua di antaranya berada di dalam arena fantastik. Sebagai
konsekuensinya, ketiga cerpen ini bisa saja menghadirkan asumsi memiliki pandangannya
masing‐masing dalam menyikapi Barbie.
Tiga Cerpen, Satu Barbie
Cerpen “Barbie” karya Clara Ng dibuka dengan sebuah paragraf yang diawali dengan “Ini kota
luka. Kota duka jika malam tiba. Kota yang hitamnya menganga seperti langit‐langit mulut
naga. Kota yang sudut‐sudutnya ditenun oleh bayangan kelam seperti jaring laba‐laba.”
Rangkaian kalimat pembuka itu yang menggabungkan kata “luka” dan “duka” dalam kalimat
yang berurutan secara tidak langsung memberikan semacam peringatan kepada pembacanya
tentang hal‐hal yang akan muncul di dalam cerpen ini, yang tentu saja berkaitan dengan
sesuatu yang mengerikan. Hal ini masih ditambah dengan munculnya “hitam” dan “bayangan”
pada dua kalimat sesudahnya, yang berkonotasi dengan hal‐hal buruk dan negatif.
Cerpen yang menceritakan kehidupan di sebuah toko mainan itu memiliki dua tokoh sentral
yang sekaligus menjadi pusat penceritaan, yaitu Babi Abu‐abu dan Barbie. Cerita dibawakan
oleh narator yang berada di luar cerita yang menjalin interaksi dengan pembaca. Hal itu
tampak pada bagian‐bagian yang secara langsung menyebut pembaca sebagai “kau” serta
sejumlah pertanyaan dan komentar tentang yang sedang terjadi pada tokoh cerita sebagai
1
berikut, “Kau pasti mengenalnya” dan “Apakah sesungguhnya dia diselimuti cahaya rupawan
ataukah ada yang salah dengan mata Babi Abu‐abu?” Kalimat‐kalimat itu dapat dipahami
sebagau usaha narator untuk melibatkan pembaca ke dalam aktivitas berceritanya, seperti
seorang jurucerita yang sedang bercerita kepada audiens, atau pendongeng yang bercerita
kepada anak‐anak. Munculnya narator yang seperti itu memperkuat kesan bahwa cerpen
“Barbie” berada di dalam arena fantastik, sehingga peristiwa‐peristiwa yang terjadi di
dalamnya pun semestinya dibaca sebagai peristiwa fantastik, bukan sebagai peristiwa real.
Lebih lanjut, sebagai konsekuensi hal itu dan dipadukan dengan toko mainan yang identik
dengan anak‐anak sebagai latar cerita, cerpen itu memunculkan asumsi tentang pesan implisit
uang diusungnya, hal‐hal yang muncul di permukaan memiliki kemungkinan mewakili gagasan‐
gagasan yang tidak sekadar berkaitan dengan boneka dan sebuah dunia bernama toko mainan.
Relasi antara Babi Abu‐abu dan Barbie pun perlu dipahami bukan sekadar relasi antara dua
boneka, tetapi bisa jadi sebagai simbol relasi antarmanusia dan refleksi realitas. Di samping itu,
melalui kalimat‐kalimat yang dipakai narator juga dapat dipahami jarak yang dibangun antara
narator dengan pembaca, dan dalam hal ini cerpen “Barbie” memiliki jarak yang dekat dengan
pembacanya karena secara langsung menggunakan kata ganti “kau.” Dengan adanya jarak
yang seperti itu, sejak awal meskipun di satu sisi tampak sebagai cerita fantastik, di sisi lain
justru memperlihatkan kedekatan dengan realitas yang diwakili pembacanya.
Babi Abu‐abu adalah tokoh yang merasa terbuang karena ia tidak lagi disukai sebagai mainan
dan ditinggalkan karena para pengunjung toko mainan lebih memilih Barbie:
Babi Abu‐abu menatap gerombolan kanak‐kanak, di tempatnya berdiri. Tiap hari
dia menatap mereka yang melintas beberapa kali di sampingnya. Dia berada
disebelah rak yang berisi payung mungil berwarna salem. Payung itu selalu laku,
entah musim kemarau apalagi musim penghujan. Sedikit yang berhenti di
depannya. Sejak bertahun‐tahun, para kanak‐kanak itu terlalu sibuk untuk
menoleh kepada Babi Abu‐abu. Mereka senang menghampiri tetangga jauhnnya
yang lebih cantik dan terkenal. Barbie. Kau pasti mengenalnya. Perempuan cantik
yang tubuhnya sempurna bagai dewi. Dia berada di rak yang tingginya selevel
dengan bahu kanak‐kanak, agar pandangan mata mereka dapat langsung terarah
kepada kecantikannya. Mereka telah mengenal rambut pirangnya yang tergerai
memesona, lekuk tubuhnya yang langsing semampai, serta aneka baju indah yang
dikenakannya. Rak Babi Abu‐abu selalu sepi dari kerubungan pembeli. Tiap hari
Babi Abu‐abu menatap dinding yang dicat warna‐warni dari kejauhan. Terkadang
dia cemburu dengan kanak‐kanak perempuan itu, yang sedang menimang‐nimang
Barbie. Barbie selalu tersenyum jelita dengan lagaknya yang sempurna. Sepetak
rak itu kian ramai didatangi beberapa orang. Babi Abu‐abu semakin terpojok,
menenun semesta sunyi.
Melalui kutipan itu dapat diketahui bahwa sejak awal cerita Babi Abu‐abu dan Barbie
diposisikan sebagai dua kubu yang berseberangan: Babi Abu‐abu sebagai yang terbuang dan
2
Barbie sebagai yang dicintai. Hal itu diperkuat dengan penyebutan warna yang mewakili
keduanya: abu‐abu yang identik dengan kemuraman dan secara langsung melekat pada diri
Babi sebagai nama belakangnya, dan “dinding yang dicat warna‐warni” sebagai tempat Barbie
yang tentu saja identik dengan keceriaan dan kebahagiaan.
Kemunculan anak‐anak sebagai pihak yang memberi nilai kepada Babi Abu‐abu dan Barbie
dapat dibaca sebagai bentuk penilalaian yang jujur. Dengan bekal pemahaman yang masih
minimal tentang kehidupan, anak‐anak di dalam cerpen ini telah membentuk nilainya sendiri
tentang yang buruk dan yang baik. Yang buruk dan yang baik di sini pun tampak sekadar
berkaitan dengan standar‐standar fisikal. Barbie dianggap lebih baik daripada Babi Abu‐abu
hanya berdasarkan “rambut pirangnya yang tergerai memesona, lekuk tubuhnya yang langsing
semampai, serta aneka baju indah yang dikenakannya.” Berkaitan dengan standar fisikal itu,
yang dianggap baik pun adalah “rambut pirang,” “tubuh langsing semampai,” dan “aneka baju
indah,” yang tampak sangat Barat. Kondisi yang menempatkan standar Barat sebagai yang
positif sesungguhnya telah tampak sejak awal cerita: “Jika siang, di dalamnya penuh bocah‐
bocah yang berlarian, dikejar‐kejar oleh perempuan kampungan. Para pembantu dan
pengasuh. Bocah mengenakan baju berharga gaji pak satpam. Atau bocah yang tasnya
bermerek, impor asli bukan barang tembakan.” Kemunculan “perempuan kampungan” untuk
menyebut “para pembantu dan pengasuh” pada bagian itu tampak memunculkan penilaian
atas perempuan yang berprofesi sebagai pembantu dan pengasuh. Mereka dengan mudah
dianggap sebagai perempuan kampungan yang tentu saja tidak sekadar sebutan bagi
perempuan yang berasal dari kampung, tetapi juga mewakili hal‐hal yang bernilai rendah
bahkan negatif. Hal itu berbeda dengan Barbie yang meskipun tidak diketahui profesinya,
tetap dianggap memiliki nilai tinggi. Pengagungan standar Barat juga tampak pada kalimat‐
kalimat terakhir bagian itu: “Atau bocah yang tasnya bermerek, impor asli bukan barang
tembakan,” yang secara jelas memperlihatkan betapa Barat menjadi standar, khususnya
standar dalam hal‐hal fisikal.
Sekuen perkenalan kedua tokoh sentral itu disusul dengan gambaran toko mainan ketika
malam tiba, “Kereta api kembali bergerak penuh semangat. Boneka cantik mulai berdandan,
menggoda selusin tentara plastik. Para binatang berbulu berebutan menelan pil berwarna‐
warni, teler lalu mabuk. Ada pesta pora seks di ujung sana. Ini kota gila. Kota bahaya, kota
penuh goda.” Kutipan itu tampak melengkapi bagian sebelumnya tentang hal‐hal fisikal. Frasa
“pesta pora seks” memberi semacam penegasan bahwa di toko mainan itu, di “kota gila,” yang
fisikal dan seksual menjadi sebuah nilai yang dipegang teguh penghuninya. Para boneka cantik
3
berdandan di malam hari hanya untuk menggoda para tentara plastik, untuk kemudian
melakukan pesta seks. Dengan kata lain, para perempuan kota itu, secantik apa pun mereka,
tidak mempercantik diri untuk diri sendiri, mereka mempercantik diri hanya untuk lelaki.
Meskipun begitu, Barbie sebagai sosok yang cantik dan dianggap sempurna ternyata merasa
bosan dengan kondisinya. Ia pun menemui Babi Abu‐abu dan berkeluh kesah kepadanya:
“Aku bosan.”
Dari jauh terdengar gonggongan anjing. Jam mendetik teratur maju. Babi Abu‐abu
membuka mata, terkejut. Dalam keremangan, dia melihat sang pemilik suara itu
dalam wujud yang sempurna. Barbie. Dia melongok menatap mata Babi Abu‐abu
yang setengah terpejam. Babi Abu‐abu bertanya dalam hati, bagaimana mungkin
Barbie bosan? Dia mempunyai segala yang diinginkan oleh setiap mainan di kota
ini. Cantik. Populer. Kaya raya. Dipuja.”
Melalui kutipan itu dapat diketahui bahwa kebosanan Barbie menjadi hal yang mengherankan
bagi Babi Abu‐abu. Dalam pernyataan Babi Abu‐abu terdapat penegasan tentang cara kota itu
menilai seseorang, yaitu berkaitan dengan fisik dan materi, bukan sifat dan perilaku, dan hal‐
hal itulah “yang diinginkan oleh setiap mainan di kota ini.” Pada kutipan itu terdapat juga
“gonggongan anjing” yang memunculkan tanda tanya tersendiri. Di dalam konvensi cerita fiksi
maupun kehidupan real, gonggongan anjing tidak sekadar dipahami sebagai perilaku alami
binatang itu, tetapi juga berkaitan dengan ha‐hal yang menyiratkan ancaman, bahaya, suasana
mencekam, dan misterius. Seperti telah diketahui, di dalam cerpen ini gonggongan anjing
terjadi pada malam hari, dan hal itu semakin memperkuat kesan ancaman, bahaya, suasanan
mencekam, dan misterius. Dengan membaca seluruh rangkaian peristiwa pada kutipan itu,
dapat dipahami bahwa pertemuan Babi Abu‐abu dan Barbie adalah sesuatu yang tidak
sepenuhnya positif karena ada nuansa gelap yang melingkupunya. Kesan itu diperkuat oleh
peristiwa berikut:
“Temani aku.”
Ditatapnya Barbie yang sedang tersenyum molek kepadanya. Temani aku?
Sesungguhnya Babi Abu‐abu jarang mendapat sapa. Dari Barbie, apalagi tetangga.
“Temani ke mana?”
“Melihat bulan.”
Kemunculan “bulan” pada peristiwa itu memperkuat kesan misterius pada bagian sebelumnya.
Lebih lanjut, penjelasan tentang Babi Abu‐abu yang jarang mendapat sapa, baik dari Barbie
maupun tetangganya, dapat dipahami sebagai kondisi kota itu bahwa segala sesuatu yang
secara fisik tidak cantik atau indah dianggap sebagai sesuatu yang tidak baik pula sehingga
dijauhi. Bagian itu memperkuat adanya standar penilaian yang lebih mengutamakan hal‐hal
fisikal yang terdapat pada bagian sebelumnya.
4
Rangkaian peristiwa dengan bingkai suasana kelam itu dapat dipahami sebagai kesepian yang
dialami Babi Abu‐abu dan Barbie. Babi Abu‐abu merasa kesepian karena ia tidak memiliki
teman atau jarang mendapat sapa dari mainan lain, sedangkan Barbie merasa kesepian karena
ia bosan dengan hal‐hal di sekitarnya. Kondisi itu mengantarkan mereka berdua pada
pertemuan melihat bulan yang bermuara pada hubungan seks:
Ada seulas senyum Barbie. Napasnya terbang ke pipi Babi Abu‐abu. Lembut dan
indah. Lidah Barbie masuk, jauh ke dalam rongga mulut Babi Abu‐abu. Dia
mengulumnya. Rasanya hangat dan menggoda. Babi Abu‐abu merasa takut, tapi dia
tidak ingin berhenti. Dia mendesakkan seluruh kelelakiannya, lebih jauh lagi. Lebih
intim lagi. Barbie menjerit keras penuh kenikmatan. Malam berakhir penuh peluh
serta desah lelah. Purnama memenuhi putaran karma.
Jika dibaca lebih cermat, adegan seks antara Babi Abu‐abu dan Barbie tampak menegaskan
sikap para perempuan di kota itu pada bagian sebelumnya. Sejumlah kalimat di dalam kutipan
itu, meskipun juga menggambarkan antusiasme Babi Abu‐abu, memperlihatkan bahwa
Barbielah yang tampak lebih menikmati hubungan seks mereka. Lebih lanjut, sebagai
perempuan ternyata Barbie tidak segan berhubungan seks dengan Babi Abu‐abu yang jelas‐
jelas adalah babi. Pada bagian itu, Barbie yang pada awalnya tampak berkonotasi positif,
semacam standar penilaian tentang yang baik, mengalami pergeseran. Hal itu diperkuat
dengan bagian berikutnya yang menyatakan bahwa hubungan seks bagi Barbie ternyata bukan
sesuatu yang istimewa, hubungan seks sama sekali tidak melibatkan perasaan dan seolah tidak
lebih daripada pengisi waktu membunuh kebosanan:
“Kapan ketemu lagi?”
“Kapan‐kapan.”
“Besok malam?”
“Nggak kepengen.”
“Lusa?”
“Belum mood.”
“Tiga hari la…” Barbie melompat dari jendela. Dia melambai dan mengedipkan
mata. Babi Abu‐abu terpaku tak berdaya. Barbie berputar gemulai, menghilang
ditelan keriuhan kota.
Melalui kutipan itu jelas adanya bahwa Barbie tidak mau memberi kepastian kepada Babi Abu‐
abu tentang kapan mereka bisa bertemu lagi. Melalui jawaban‐jawabannya dapat dipahami
bahwa Barbie sesungguhnya tidak mau bertemu lagi dengan Babi Abu‐abu. Hal itu terbukti
benar ketika pada suatu malam Babi Abu‐abu melihat Barbie bersama lelaki lain:
Dua siluet yang berbeda mendekat, salin memilin sehingga terlihat menjadi
satu. Babi Abu‐abu nyaris roboh, tidak memercayai pandangannya. Barbie di sana,
sedang memagut laki‐laki lain penuh gairah. Laki‐laki tinggi besar berotot
sempurna. Sekelebat diam menyusup. Diam yang menyesakkan dada. Seluruh
sendi Babi Abu‐abu lemas, lalu amarah meledak, menghanguskan setiap butir
darah. Dia mengepalkan tinju lalu menyerbu masuk.
5
“Bajingan!” umpatnya. Dengan cepat disentakkan bahu lelaki besar itu. Lelaki
itu terkejut.
Barbie membelalak tak percaya. “Apa‐apaan ini?!” bentaknya keras,
menggapai kain untuk menutupi tubuh.
“Lelaki bangsat! Biadab! Mesum!”
Berbie terduduk di ranjang. Rambutnya acak‐acakan.
“Siapa dia? Usir dia keluar, Sayang!”
Barbie melompat berdiri. Dia meradang. Kedua tangannya bertumpu di
panggul. “Sialan kau!” jeritnya melengking kepada Babi Abu‐abu. “Kau yang
seharusnya keluar dari kamar ini, bukan dia!”
Babi Abu‐abu terpaku. Barbie tidak pernah berteriak seperti itu. Barbie tidak
pernah sekeji itu.
“Kau…” desahnya tidak percaya, “…mengusirku… pergi?”
“Karena kau gila.”
“Aku pacarmu, dan kau suruh aku keluar?”
“Dasar sakit! Emangnya sejak kapan kita pacaran?”
“Sejak kita bersama.”
“Ngimpi aja!”
“Aku sayang kamu.”
[…]
Babi abu‐abu melangkah masuk. “Aku mencintaimu, Barbie."
Barbie mendelik, mengobarkan bara kebencian yang bergemuruh.
Kesabarannya telah membubung lenyap. Dengan kasar dia mengambil majalah
lalu melemparkan majalah itu ke arah Babi Abu‐abu sekuat tenaga.
“Cinta? Cuih!” jeritnya melengking.
Babi Abu‐abu mengelak. Majalah terbang menabrak dinding. “Aku…”
“KELUAR!!! DASAR BABI GILA!!!”
Peristiwa pada kutipan itu memperlihatkan bahwa Barbie sesungguhnya tidak pernah
menganggap istimewa percintaan mereka pada malam sebelumnya. Lebih lanjut, terlepas dari
Babi Abu‐abu yang berharap terlalu besar pada Barbie untuk menjadi kekasihnya, Barbie
tampaknya memang tidak menganggap Babi Abu‐abu sebagai sosok yang pernah dikenalnya.
Barbie pun menganggap cinta sebagai sesuatu yang menggelikan bahkan memuakkan. Hal‐hal
fisikal sekali lagi menjadi yang terpenting di dalam dunia Barbie. Hal itu diperkuat dengan
munculnya “laki‐laki tinggi besar berotot sempurna” sebagai teman bercinta Barbie. Fisik tinggi
besar dan berotot sempurna merupakan fisik ideal bagi lelaki pada umumnya, dan dengan
dipertemukannya hal itu dengan Barbie sebagai pemilik fisik ideal bagi perempuan, semakin
nyatalah kedudukan keindahan fisikal sebagai hal terpenting. Kondisi yang seperti itu dan
perasaan disia‐siakan menjadikan Babi Abu‐abu naik pitam: “Terkutuklah kamu, hai
perempuan jalang! Bangsaaaaat!!!” Amarah Babi Abu‐abu pun bermuara pada peristiwa
mengerikan:
Hari Sabtu dan Minggu. Sudah dua hari toko mainan itu tutup. Disegel oleh
garis kuning polisi. Beberapa keluarga yang datang membawa sepasukan anak‐
anak dan pengasuhnya terkecoh. Mereka bergerombol sambil bertanya‐tanya apa
yang terjadi. Ada pengumuman yang tertempel di sehelai kertas pada pintu
6
tergembok.
“Ada apa sih?”
“Ada pembunuhan di toko mainan.”
“Hah! Pembunuhan apa?”
“Mayat dimutilasi.”
“Mutilasi?!”
“Mayat perempuan. Kepalanya ditaruh di antara bola‐bola pantai. Kedua
tangannya diletakkan di rak tongkat baseball. Sisa badannya tergeletak di tengah
lantai, bertebaran. Paha, panggul, dan perut. Diperkosa lalu dibunuh. Atau
dibunuh lalu diperkosa. Entahlah.”
Seorang ibu menutup telinga anaknya dengan tangannya.
“Sungguh mengenaskan!”
“Padahal perempuan itu cantik sekali.”
“Polisi sudah menemukan pembunuhnya?”
“Penyelidikan belum tuntas. Katanya, mungkin pembunuhnya orang sakit
jiwa yang mengaku‐aku pacarnya. Sekarang orang itu menghilang.”
“Benar‐benar gila.”
“Ini zaman edan.”
Melalui kutipan itu dan berdasarkan rangkaian peristiwa sebelumnya, meskipun tidak ada
penyebutan nama, dapat diketahui bahwa perempuan yang menjadi korban mutilasi adalah
Barbie, sedangkan pelaku pembunuhan dan mutilasi adalah Babi Abu‐abu. Motivasi
pembunuhan itu adalah perasaan disia‐siakan sebagai akibat perlakuan Barbie padanya. Di
satu sisi, Barbie sebagai pemilik kecantikan dan fisik yang dianggap ideal telah memandang
rendah Babi Abu‐abu tidak memiliki fisik yang dianggap ideal seperti lelaki tinggi besar berotot
sempurna. Di sisi lain, Babi Abu‐abu pun sesungguhnya juga menganggap rendah Barbie,
karena meskipun ia mencintainya, Barbie bagi Babi Abu‐abu tampak tidak lebih daripada objek
untuk dimiliki, sehingga ketika ia tidak dapat memilikinya, Barbie harus mati.
Akhir cerita yang demikian memperlihatkan bagaimana cerpen ini memandang Barbie.
Meskipun pada awalnya Barbie ditempatkan sebagai hal yang tampak positif, melalui cara
anak‐anak memandang Barbie yang berbeda dengan cara mereka memandang Babi Abu‐abu,
posisi Barbie lambat‐laun digeser sedemikian rupa hingga menjadi sesuatu yang tidak berharga.
Ada semacam kritik atas Barbie sebagai realisasi kecantikan dan perempuan ideal dengan
standar Barat. Kematian Barbie dengan cara mengenaskan pada cerpen itu dapat dibaca
sebagai kematian atas simbol kecantikan dan perempuan ideal, dan hal‐hal fisikal tidak akan
berumur panjang.
Lebih lanjut, kalimat “Ini zaman edan” yang dilontarkan oleh salah satu pengunjung tampak
mengacu pada konteks kekinian yang penuh peristiwa‐peristiwa yang tampak absurd dan jauh
dari yang terbayangkan sebelumnya. Hal itu diperkuat dengan bagian berikutnya: “Daun‐daun
runduk dalam bisu, seperti sedang memikirkan segala peristiwa dunia.” Rangkaian kalimat
7
penutup cerpen “Barbie” memberi semacam penegasan tentang realitas yang seperti itu: “Ini
kota luka. Kota duka. Kota yang hitamnya menganga seperti langit‐langit mulut naga. Kota
yang sudut‐sudutnya ditenun oleh bayangan kelam seperti jaring laba‐laba. Kau lihat malam
telah turun di kota ini? Ini kota yang berongga. Kota bergelimang dosa. Tanpa nama, tanpa
makna, tanka kata.”
Arena cerita fantastik yang digunakan cerpen “Barbie” tampak tepat untuk menggambarkan
segala peristiwa dunia yang absurd. Kemunculan tokoh Barbie dan Babi Abu‐abu yang
bunyinya secara sepintas memiliki kemiripan, Barbie Babi, Babi Barbie, juga menjadi penanda
atas karut‐marutnya dunia dan pola pemikiran berkaitan dengan nilai, khususnya nilai
kecantikan dan perempuan, yang tampak sekadar fisikal dan seksual.
Beralih ke cerpen “Bercinta dengan Berbie” karya Eka Kurniawan. Cerpen ini diceritakan oleh
narator di luar cerita dengan tokoh lelaki sebagai pusat penceritaan. Sebagai narator yang
berada di luar cerita, narator cerpen ini bertindak sebagai yang mahamengetahui tindakan dan
pikiran tokoh sehingga peristiwa‐peristiwa pun terjadi apa adanya, tidak muncul komentar‐
komentar yang cenderung memperlihatkan subjektivitas. Teknik seperti itu mampu
mendukung seluruh cerpen yang meskipun ada di dalam arena fantastik, tetap memiliki
lapisan lain yang berkaitan dengan realitas masyarakat.
“Bercinta dengan Barbie” menceritakan sepenggal kehidupan seorang lelaki yang memiliki
hubungan khusus dengan boneka Barbie. Cerpen itu diawali dengan rangkaian kalimat yang
menandai sekaligus memberi pijakan kepada pembacanya dalam menempatkan cerpen ini
sebagai cerita fantastik:
Suatu malam ia berhasil menemukan mantra yang sanggup membuat boneka
Barbie anaknya tumbuh membesar dan hidup. Mantra itu ia temukan dari sejilid
buku tua yang dicarinya di ruang‐ruang gelap perpustakaan kota, di mana buku‐
buku sihir lama disembunyikan petugas karena pengaruhnya yang cukup
berbahaya. Ia telah mengabaikan risiko ditangkap karena membaca buku sihir.
Melalui kutipan itu, selain memperoleh pijakan awal tentang cerita yang akan dihadapi, di
dalam pikiran pembaca juga akan muncul asumsi tentang yang akan terjadi pada Barbie.
Penjelasan yang diberikan tentang pengaruh berbahaya buku sihir yang digunakan si lelaki itu
juga memberikan semacam bocoran tentang bagaimana cerita itu akan berjalan dan
bagaimana akhir ceritanya, yang sedikit‐banyak tentu berkaitan dengan sesuatu yang buruk.
Barbie di dalam cerpen itu dihidupkan tidak sakadar untuk dihidupkan, tetapi berkaitan erat
8
dengan sosoknya sebagai perempuan yang dianggap ideal, termasuk dalam hal‐hal yang
berkaitan dengan seksualitas. Asumsi seperti itu pada bagian berikutnya memperoleh pijakan
yang semakin mantap:
Semua itu disebabkan rasa putus asanya melihat tubuh istrinya mendadak
berkembang liar menjadi satu sosok monster penuh bobot yang tak menyisakan
apa pun bagi nafsu berahinya: dagunya berlipat dua, dadanya melorot, perutnya
lembek, dan pahanya bahkan menyerupai bantal berisi kapuk tua. Sejak tanpa
sengaja ia melihat tubuh boneka anaknya, si Barbie berambut pirang, dengan
leher jenjang, dadanya bulat padat mencuat kembar, dan betisnya begitu liat
menggoda, tubuh ramping itu memberinya gagasan untuk menemukan satu
mantra sihir yang bisa membuat sosok boneka tumbuh membesar dan hidup
sebagai manusia.
Yang menjadi motivasi si lelaki menghidupkan boneka Barbie adalah keputusasaannya melihat
fisik istrinya. Seperti halnya pada cerpen “Barbie” karya Clara Ng, cerpen ini menempatkan
Barbie sebagai perwujudan kecantikan dan perempuan ideal, meskipun ia sesungguhnya tidak
lebih daripada boneka atau benda artifisial. Fisik alami perempuan, dalam hal ini diwakili istri si
lelaki, yang berubah dan berkembang sedemikian rupa dianggap sebagai monster. Lebih parah
lagi, si istri dianggap sebagai monster tidak sekadar berkaitan dengan bentuk dan bobot
tubuhnya, tetapi juga dalam kaitannya dengan memuaskan nafsu berahi si lelaki. Melalui
bagian kecil cerpen itu, tampak jelas bagaimana posisi si istri dan Barbie, manusia dan boneka,
yang pada hakikatnya memang berbeda tetapi dianggap setara oleh si lelaki dan dibandingkan
dalam hal kecantikannya, bahkan Barbie sebagai boneka memiliki posisi lebih tinggi daripada si
istri. Barbie dianggap lebih baik karena ia adalah sosok yang dibuat berdasarkan gambaran
ideal perempuan bagi lelaki. Barbie tetap dianggap lebih baik meskipun ia artifisial.
Lebih lanjut, kesan yang tampak bahwa Barbie di dalam cerpen tidak lebih daripada objek
pelampiasan nafsur secara jelas muncul pada bagian berikut:
Seorang gadis dengan kecantikan seamacam itu berada di atas tempat tidur
dalam keadaan menyerah sepenuhnya adalah anugerah bagi lelaki mana pun,
terutama jika ia memiliki seorang istri yang mulai terasa menyebalkan. Malam itu
ia bercinta dengan si cantik Barbie dalam suatu permainan cinta terindah yang
pernah dialaminya […] Di akhir percintaan yang edan‐edanan itu […] si lelaki
berkata kepada si cantik Barbie dengan selera humornya yang tiba‐tiba melimpah
didorong rasa terima kasih atas keindahan hidup: “Kau gadis cantik yang
sempurna, terima kasih untuk siapa pun di pabrik plastik yang membuatmu,
mereka sung‐sungguh punya selera seksual yang memadai.
Pernyataan si lelaki di akhir kutipan itu semakin memperkuat posisi Barbie sebagai objek
seksual. Si lelaki menganggap bahwa Barbie diciptakan tidak sebatas sebagai boneka yang
menjadi teman bermain bagi anak‐anak perempuan, tetapi lebih daripada itu yaitu sebagai
9
realisasi atas selera seksual yang memadai. Dengan begitu, keindahan fisik Barbie seolah tidak
dirancang untuk kepuasan Barbie sendiri sebagai perempuan, tetapi lebih pada tujuan untuk
memuaskan hasrat lelaki pada umumnya. Hal itu senada dengan yang muncul pada cerpen
“Barbie.”
Si lelaki di dalam cerpen pun tidak merasa puas dengan memiliki sosok Barbie yang hidup dan
bisa diajaknya berhubungan seks. Ia pun berbagi Barbie dengan lelaki‐lelaki lain:
Ia tahu dengan pasti banyak lelaki menderita di zaman modern karena istri‐
istri mereka mulai tak peduli dengan tubuhnya. Naluri bisnisnya muncul seketika.
Ia segera pergi ke toko dan membeli beberapa sosok boneka Barbie […] Boneka‐
boneka itu semuanya ia sihir, dan sejenak setelah mereka menjelma menjadi [sic!]
sosok‐sosok gadis menggairahkan, ia segera membuka tempat pelacuran dengan
nama toko yang cukup provokatif: “Bercinta dengan Barbie.”
Melalui kutipan itu dapat diketahui bahwa menurut si lelaki, yang dapat dianggap mewakili
lelaki pada umumnya, banyak lelaki menderita karena fisik istri mereka. Fisik alami perempuan
yang menjadi istri mereka dianggap sebagai sesuatu yang buruk dan bisa berpengaruh buruk
pada kehidupan mereka. Perempuan lagi‐lagi dianilai berdasarkan fisiknya, dan perempuan
bernilai tinggi jika ia memiliki fisik seperti Barbie. Selain itu, pada kutipan itu juga tampak
bahwa Barbie, yang dapat dianggap mewakili perempuan pada umumnya, dianggap tidak lebih
daripada komoditas yang dapat diperdagangkan, dihargai dengan materi berdasarkan
kemampuan mereka melayani dan memuaskan lelaki, tidak lagi dilihat berdasarkan
kepribadian dan sikapnya. Hal itu semakin nyata pada bagian berikutnya:
Pada hari pembukaan, seribu seratus dua puluh tujuh lelaki berbaris antri di
depan toko untuk mencoba tidur satu atau dua jam bersama gadis‐gadis cantik
bertubuh indah miliknya. Sebagian terbesar adalah suami‐suami yang bosan
dengan tubuh istrinya sebagaimana ia duga, dan sebagian kecil adalah duda‐duda
kesepian serta para lajang yang tak memiliki keberanian merayu teman kencannya
naik ke atas tempat tidur. Tokonya sama sekali tak mengecewakan, di sana semua
lelaki yang telah memperoleh kesempatan untuk bercinta dengan si cantik Barbie
atau teman‐temannya berkata bahwa itu adalah petualangan cinta paling dahsyat
yang dianugerahkan pabrik boneka untuk manusia. Ucapan mereka bukan omong‐
kosong, karena begitu mereka keluar kamar sambil menutup resleting celananya,
mereka segera berdiri lagi di barusan terakhir, antri menunggu kesempatan
berikutnya.
Pada bagian itu tampak bahwa para istri dan perempuan pada umumnya di dalam kehidupan
lelaki seolah tidak ada bedanya dengan barang atau materi, mereka ada untuk dimiliki, dipakai,
lalu bisa ditinggalkan atau dibuang ketika lelaki bosan. Kebosanan di sini pun tampak bukan
karena perempuan berubah menjadi sosok membosankan, tetapi lebih pada suatu kondisi
ketidakpuasan para lelaki melihat perubahan fisik istri mereka. Di samping itu, dengan
10
memunculkan duda‐duda kesepian, cerpen ini juga menghadirkan gambaran yang
memperlihatkan bahwa perempuan hanyalah pelengkap kehidupan lelaki yang kesepian, lelaki
dan perempuan seolah tidak saling menemani, tetapi hanya perempuanlah yang memiliki
kewajiban moril menemani laki‐laki, termasuk dalam urusan tempat tidur.
Meskipun pada awalnya bisnis si lelaki tampak menguntungkan, Bercinta dengan Barbie pada
akhirnya mendapat reaksi tajam dari para perempuan istri para lelaki pemakai jasa gadis‐gadis
Barbie:
Namun sebagaimana revolusi apa pun di setiap penjuru dunia, revolusi selalu
menghadapi penentangnya yang paling gigih. “Bercinta dengan Barbie” dikutuk
habis‐habisan oleh para istri yang mulai tak disentuh oleh suami‐suami mereka.
Mereka datang berbondong‐bondong menyeret para suami itu, melempari toko
pelacurannya dengan apel‐apel busuk. Bahkan pembunuhan‐pembunuhan gadis
Barbie yang disembunyikan suami‐suami mereka di tempat‐tempat tersembunyi
mulai muncul di koran dan di desas‐desus. Lelaki itu pulang ke rumah untuk
menengok Barbie cantiknya sendiri, merindukannya tengah telanjang di atas
tempat tidur. Namun ia menemukannya, telah mati ditusuk istrinya yang gembrot
menggunakan pisau dapur.
Kutipan itu semakin memperkuat posisi Barbie dan perempuan sebagai materi belaka. Bukan
hanya lelaki yang menganggap demikian, para perempuan pun ternyata menganggap Barbie
sebagai materi. Hal itu tampak pada peristiwa pembunuhan gadis‐gadis Barbie yang dilakukan
para istri yang cemburu dan marah atas perilaku suami mereka, para istri seolah tidak lagi
menghargai kehidupan gadis‐gadis Barbie. Gadis‐gadis Barbie memang berasal dari boneka
mati, tetapi pada saat itu mereka hidup dan tentu saja dapat dianggap mampu merasakan hal‐
hal yang terjadi pada mereka. Perempuan pun semakin terpuruk dalam keterpurannya. Lebih
lanjut, di sisi lain, peristiwa pembunuhan perempuan‐perempuan Barbie dapat dianggap
sebagai peristiwa pembunuhan atas idealisasi kecantikan dan perempuan, seperti yang juga
terdapat pada cerpen “Barbie”: Barbie sebagai simbol kecantikan dan perempuan ideal
terbantai habis oleh para istri sebagai simbol kecantikan dan perempuan real.
Peristiwa pembunuhan massal yang terjadi pada gadis‐gadis Barbie ternyata tidak membuat si
lelaki menghentikan aktivitasnya untuk memberikan kepuasan kepada orang‐orang secara
seksual dengan jasa para boneka:
Setelah memikirkannya selama tujuh hari tujuh malam, saat itu semua Barbie
cantiknya baik yang dijual maupun dijadikan gadis‐gadis penghibur di tokonya
sudah mati dibunuh perempuan‐perempuan marah, ia menemukan
pemecahannya yang paling brilian. Ia merasa dirinya begitu jenius, dan merasa
yakin bahwa ia orang paling berjasa untuk memecahkan salah satu masalah paling
mendasar dari manusia‐manusia modern: hampir semua lelaki hanya ingin
11
bercinta dengan gadis penggairah sebagaimana gadis‐gadis Barbie cantiknya, dan
semua perempuan merasa repot dan putus asa harus mempertahankan tubuhnya
dalam bentuk yang begitu minimal tapi mereka tetap ingin bercinta dan
membutuhkan lelaki. Merasa gagasan cemerlangnya tak bisa ditunda lebih lama,
ia segera pergi ke toko membeli banyak boneka. Kali ini ia tak hanya membeli si
cantik Barbie dengan teman‐temannya yang menggoda, namun juga membeli
boneka‐boneka pria yang oleh pabrik diberi nama Ken. Ia membacakan mantra itu
kembali dan mengubah semua bonekanya menjadi sosok‐sosok yang hidup.
Bisnisnya berputar lagi, bahkan lebih menggairahkan. Ia membagi tempat
pelacurannya menjadi dua, untuk lelaki yang ingin bercinta dengan gadis‐gadis
Barbie […] dan satu lagi diperuntukkan untuk perempuan‐perempuan yang
berbagi ranjang bersama Ken.
Rangkaian peristiwa itu lagi‐lagi berkaitan dengan realitas yang menampilkan kesan bahwa
yang terpenting di dalam kehidupan manusia adalah berhubungan seks dengan sosok‐sosok
yang menurut mereka ideal dan menggairahkan, bukan sosok‐sosok suami atau istri mereka.
Pada bagian itu juga terjadi pergeseran bahwa bukan hanya lelaki yang memiliki hasrat
bercinta dengan Barbie sebagai perempuan berfisik ideal, tetapi para perempuan pun memiliki
birahi untuk berbagi ranjang dengan Ken sebagai lelaki berfisik ideal, Ken dalam realitasnya
diciptakan sebagai pasangan Barbie sehingga ia memiliki fisik setara dengan Barbie.
Aktivitas si lelaki dalam berbisnis jasa pelayanan seks para manusia boneka itu dipahaminya
sebagai hal yang luhur:
Gagasan tersebut tampak berjalan sangat memuaskan. Dari rumah ke rumah
ia menyaksikan keluarga‐keluarga yang berbahagia. Suami duduk di beranda
menikmati teh bersama seorang Barbie, sementara istrinya berbaring di kolam
renang bersama si Ken. Anak‐anak berlari‐lari di antara mereka. Tawa ceria
terlempar dari mulut mereka semua. Ia senang telah membuat dunia menjadi
tempat yang lebih indah.
Kutipan itu memperlihatkan bahwa keharmonisan dan kebahagiaan keluarga ternyata tidak
datang dari dalam keluarga itu sendiri, tetapi ditopang sosok‐sosok eksternal yang dalam hal
ini adalah manusia boneka Barbie dan Ken sebagai pemuas hasrat seksual para suami dan istri.
Hal itu sekaligus memperlihatkan bahwa seksualitas menjadi hal signifikan dalam mewujudkan
kehidupan masyarakat yang harmonis. Meskipun begitu, gagasan si lelaki ternyata tidak
selamanya dapat berjalan baik:
Masalah baru muncul satu bulan kemudian […] Keluhan‐keluhan berdatangan
ke tokonya […] “Tadi malam aku melihat Kenku yang tampan bercinta dengan
Barbie, lalu pagi ini keduanya pergi entah ke mana” […] “Barbieku yang cantik
jatuh cinta kepada Ken milik istriku. Satu malam kami memergoki mereka bercinta
di gudang. Sekarang mereka kabur dan berencana menikah.
Perilaku Barbie dan Ken yang seperti itu pada awalnya tampak sebagai pesan yang diusung
12
oleh cerpen ini berkaitan dengan kembali ke realitas dan berpikir realistis. Barbie dan Ken
adalah sosok‐sosok ideal yang artifisial, kecantikan dan keindahan mereka sepenuhnya bersifat
fisikal dan sama sekali tidak berkaitan dengan aspek kepribadian atau pun moral. Dengan
kegagalan kedua yang dialami si lelaki dalam mempertahankan kelangsungan bisnisnya, cerita
tampak bergerak ke arah usaha untuk tidak lagi menilai manusia hanya berdasarkan fisiknya.
Hal itu semakin tampak pada bagian berikut:
Ia tak punya jalan keluar bagi orang‐orang malang itu. Dengan putus asa ia
menutup tokonya, memecat seluruh karyawan, dan dengan sekali mengucapkan
mantra ia mengembalikan seluruh boneka hidup itu kembali menjadi boneka.
Semua sudah berakhir, katanya kepada para pelanggan. “Hadapilah kenyataan,
tidurlah dengan istrik‐istri gembrot kalian,” ia berkata kepada para pelanggan
lelaki. Kepada para pelanggan perempuan ia berkata lain: “Hadapilah kenyataan,
bercintalah dengan suami‐suami kalian, meski tombak mereka tak juga mau
bangun.
Pada kutipan itu, meskipun si lelaki menyatakan “hadapilah kenyataan,” pernyataannya
tampak tidak tulus dan seolah masih memendam kekesalah atas kegagalannya. Ia
menghimbau para pelanggan kembali ke realitas dan melupakan manusia‐manusia boneka
rupawan, tetapi diikuti dengan menyebut “istri gembrot” dan “meski tombak mereka tak juga
mau bangun.” Arah yang dibangun untuk kembali ke realitas dan menerima para suami dan
istri apa adanya pun kembali berbelok dengan munculnya peristiwa di muara cerita:
Ide buruknya seketika muncul, jahat dan tanpa ampun. Ia membacakan
mantara itu dan mengubah istrinya menjadi boneka. Ia mengambil boneka‐
berwujud‐istrinya itu dan memberikannya kepada si anak. Jangan menangis,
Sayang, ini bonekamu. Si anak segera menerima boneka itu namun segera
membantingnya ke lantai dan menjerit. Gak mau, ini boneka buruk muka, aku
mau Barbieku. Sore itu ia berjalan penuh kebahagiaan ditemani si Barbie cantik
sambil menggendong anaknya menuju toko boneka. Boneka sang istrik ia buang
ke tong sampah sambil berkata, “Bahkan anak‐anak pun tak menyukainya.
Pada kutipan itu tampak bagaimana si lelaki tidak kuasa memenuhi kata‐katanya sendiri untuk
kembali ke realitas. Ia tetap menganggap bahwa fisik ideal Barbie jauh lebih berharga
dibandingkan istrinya. Ia pun menyihir istrinya menjadi boneka dan memberikannya kepada
anaknya untuk kemudian dibanting dengan alasan “boneka buruk muka.” Si istri pun,
perempuan yang sesungguhnya, berakhir di tong sampah. Bahkan di akhir cerita hidupnya pun,
perempuan tidak mati lalu dikubur, tetapi serupa barang bekas yang rusak dan menjadi
konsumsi tong sampah untuk kemudian digantikan oleh perempuan Barbie.
Terakhir, cerpen “Barbie dan Monik” karya Teguh Winarsho. Cerita dibuka dengan rangkaian
peristiwa tentang seorang perempuan bernama Lasmi yang gelisah memikirkan Puput anaknya
yang sedang sakit, dan pada saat itu ia juga membutuhkan uang untuk biaya pengobatan:
13
“Hari ini Lasmi perlu uang. Puput anak semata wayangnya yang baru masuk TK, sudah empat
hari sakit […] Lasmi sudah berusaha membawa Puput ke Puskesmas, tapi sakit Puput justru
bertambah parah. Kini Lasmi bermaksud membawa Puput ke dokter. Lasmi tahu, biaya dokter
tidak murah.” Cerpen ini berbeda dengan “Barbie” dan “Bercinta dengan Barbie” karena ia
sepenuhnya ada di dalam arena realisme. Cerpen ini diceritakan oleh narator di luar cerita
dengan Lasmi dan Mantosam sebagai fokus penceritaan yang muncul bergantian. Pergantian
fokus ini berdampak pada pembentukan suasanan di sekeliling Puput yang sakit, yang dilihat
melalui perspektif Lasmi sebagai ibu yang mengkhawatirkannya, dan Mantosam yang tidak
terlalu peduli dan justru asyik dengan urusannya sendiri. Dengan bergerak di dalam arena
realisme cerpen ini juga tampak lebih tegas dalam menghadirkan ironi, khususnya di dalam
kehidupan masyarakat kelas menengah ke bawah.
Kegelisahan Lasmi berkaitan dengan keterbatasan dana untuk pengobatan anaknya semakin
menjadi‐jadi ketika ia teringat akan Mantosam yang tak kunjung pulang memenuhi janji:
“Lasmi mengedar pandang ke sekeliling. Tampak suasanan pasar semakin ramai. Tapi tiba‐tiba
Lasmi gelisah, teringat Mantosam yang sudah dua malam tidak pulang. Ketika pergi Mantosam
berjanji akan membelikan boneka Barbie untuk Puput. Tapi hingga tadi pagi Mantosam belum
pulang. Puput kerap mengigau menanyakan boneka Barbienya.” Pada bagian itu boneka
Barbie tampak sekadar disebut sebagai boneka, bukan sebagai sesuatu yang memiliki fungsi
lain di dalam cerita seperti pada dua cerpen sebelumnya. Meskipun begitu, pada bagian‐
bagian berikutnya posisi Barbie berubah. Hal itu mulai tampak pada bagian berikut:
Aroma alkohol mengendap dalam kamar lima kali empat meter. Puntung
rokok, botol minuman, gelas, dan kartu domino berserak di sana‐sini. Laki‐laki itu,
Mantosam menggosok‐gosok mata baru bangun tidur. Jengah, menggerak‐
gerakkan tubuhnya yang terasa pegal Mantosam melirik perempuan di
sebelahnya. Serta‐merta mata Mantosam yang kuyu menyala. Perempuan itu,
Monik, selimutnya tersingkap hingga pahanya yang putih menantang Mantosam.
Berkali‐kali Mantosam menelan ludah, tak kuat menahan hasrat. Mantosam buru‐
melihat uang di dompet. Tersenyum. Uangnya masih cukup untuk bersenang‐
senang. Mantosam segera membangunkan Monik […] Sumpah serapah hampir
muntah dari mulut Monik jika Mantosam tidak segera mengeluarkan lembar‐
lembar uang dari dompet dikipas‐kipaskan di depan wajah Monik.
Pada bagian sebelumnya telah diketahui bahwa Mantosam adalah suami Lasmi dan ayah
Puput, tetapi pada kutipan itu muncul fakta bahwa Mantosam memiliki hubungan dengan
perempuan lain bernama Monik. Seperti halnya yang terjadi pada tokoh lelaki di dalam cerpen
“Bercinta dengan Barbie,” kemunculan peristiwa‐peristiwa yang saling memperkuat dan
memunculkan asumsi awal seperti itu akan mengarahkan pembaca pada pemahaman bahwa
Barbie di dalam cerpen itu mememiliki kedudukan yang lebih daripada sekadar boneka mainan.
14
Berkaitan dengan hal itu, Barbie di dalam cerpen itu dapat dianggap memiliki dua wujud, yaitu
boneka sebenarnya yang diidam‐idamkan Puput dan Monik sebagai Barbie mainan Mantosam.
Fakta cerita seperti itu semakin mempertajam ironi yang dihadirkan, mengingat di tempat
yang berbeda dan tanpa sepengatahuan Mantosam, Lasmi sedang berjuang menyelamatkan
nyawa anaknya dan harus menghadapi birokrasi rumah sakit yang seolah semakin mempersulit
kehidupan orang‐orang yang mendapat musibah. Mantosam pun pada akhirnya mengetahui
yang sebenarnya terjadi pada anaknya, dan menyadari kelalaiannya sebagai seorang ayang
yang telah menjanjikan boneka Barbie untuk Puput:
Mantosam kaget mendengar kabar dari tetangga sebelah bahwa Puput
dirawat di rumah sakit. Saat itulah Mantosam baru ingat jika beberapa hari ini
Puput sakit. Tapi Mantosam tidak menduga kalau akhirnya Puput masuk rumah
sakit. Mantosam tiba‐tiba merasa bersalah. Perasaan bersalah itu kian menusuk
ket