Ekonomi Politik Rent Seeking Dalam Jarin

Jurnal Politik Muda, Vol. 4, No. 3, Agustus -Desember 2015, 276 - 284

Ekonomi Politik Rent-Seeking Dalam Jaringan
Kepentingan Pertambangan Emas Di Jember
(Studi : Pertambangan Emas Di Gunung Manggar Desa
Kesilir Kecamatan Wuluhan Kabupaten Jember - Jawa
Timur)
Uki Yunita*
Email :[email protected]
Abstrak
Pertambangan emas di Gunung Manggar Kabupaten Jember sejak tahun 2013 ramai oleh
para penambang dari luar wilayah Jember. Kegiatan pertambangan ini memberikan
berbagai persoalan, baik masalah lingkungan maupun masalah kepentingan ekonomi
politik. Masalah lingkungan tentu saja terjadi karena prosesnya yang terus menerus
melakukan penggalian lahan hutan dan bahan-bahan kimia yang digunakan akan
mencemari lingkungan hidup masyarakat sekitar Gunung Manggar. Sedangkan persoalan
kepentingan ekonomi politik ada di dalamnya, dimana terdapat pihak-pihak yang meraih
keuntungan pertambangan emas baik kelompok penambang maupun petugas atau birokrat
seperti pemerintah dan petugas perhutani yang membuat larangan atau kebijakan.
Hubungan keduanya merupakan proses perburuan rente, dimana dalam penelitian kualitatif
ini berusaha untuk menganalisa dan mengintepretasikan kepentingan ekonomi politik rentseeking. Dalam teori ekonomi politik rent-seeking, para birokrasi atau birokratic polity

yang menawarkan kebijakannya demi mendapatkan keuntungan secara pribadi. Tentu saja
kelompok penambang mencari perlindungan atas kegiatannya melalui relasi dan
pembagian keuntungan dengan para birokrat atau petugas setempat. Fenomena ini tentu
saja membuat masyarakat yang termarginalkan tidak mampu menolak kegiatan
pertambangan emas di Gunung Manggar itu. Dari hasil analisa penelitian rupanya terdapat
pluralitas dan jaringan kepentingan, baik kepentingan Pemerintah dan Perhutani maupun
kepentingan masyarakat Desa Kesilir. Sehingga sampai saat ini persoalan pertambangan
emas di Gunung Manggar masih belum dapat diselesaikan dengan baik.
Kata-kata kunci : lingkungan hidup, kepentingan ekonomi, rent-seeking, birokratic
polity, kelompok masyarakat.

Pendahuluan
Fenomena pertambangan emas di Jember cukup menarik untuk dibahas, sebab
dalam peristiwa pertambangan emas tersebut berkaitan erat dengan sumber daya alam dan
lingkungan sekitar. Tidak hanya itu, dalam praktek pertambangan emas selalu dikaitkan
dengan
kepentingan-kepentingan individu maupun kelompok individu itu dalam
memenuhi kebutuhan, salah satunya yaitu kebutuhan ekonomi dan hubungan-hubungan

276


Jurnal Politik Muda, Vol. 4, No. 3, Agustus -Desember 2015, 276 - 284

ekonomi individu dengan masyarakat maupun pemerintah. Hal ini tentu saja berdampak
pada praktek-praktek eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan oleh individu atau
kelompok individu yang berkepentingan. Sehingga dalam suatu proses pertambangan
emas, tentu saja terdapat kelompok yang diuntungkan dan kelompok yang dirugikan
seperti masyarakat yang menerima damak lingkungan. Pada pihak yang meraih
keuntungan tidak hanya diperoleh oleh kelompok penambang, akan tetapi juga terdapat
pihak yang memiliki kekuatan untuk melindungi adanya kegiatan pertambangan.
Kegiatan pertambangan di Indonesia misalnya, seperti PT.Freeport Indonesia yang
merupakan perusahaan penghasil emas dan tembaga terbesar di dunia. Perusahaan ini
adalah pembayar pajak terbesar kepada Indonesia dan merupakan perusahaan penghasil
emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Selain PT.Freeport sebagai perusahaan
tambang emas di Papua, juga terdapat Perusahaan Ok Tedi Ltd yang sejak pertengahan
1970-an yang telah melakukan kerja sama dengan pemerintah Papua New Guinea.
Pemerintah Papua New Guinea memperoleh jatah bersih sebesar 30% dari penambangan
tersebut. Selanjutnya, PT Bumi Indonesia yang merupakan salah satu perusahaan swasta
yang bergerak di bidang pertambangan batubara di Samarinda, Kalimantan Timur.
Batubara telah menarik penambang dunia ke Samarinda, ibukota Kalimantan Timur.

Pertambangan menempuh lebih 70% wilayah Samarinda.
Pertambangan yang berhubungan dengan lingkungan hidup dan Sumber Daya
Alam tidak pernah lepas dari dampak-dampak negatif. Pada pertambangan emas yang
dilakukan PT.Freeport misalnya, Freeport Indonesia sering dikabarkan telah melakukan
penganiayaan tehadap para penduduk setempat. Selain itu, pada tahun 2003 Freeport
Indonesia mengaku bahwa mereka telah membayar TNI untuk mengusir para penduduk
setempat dari wilayah mereka. Selain itu Pada 1984 perusahaan penambangan (Ok Tedi
Ltd) berupaya membangun sebuah bendungan penadah untuk menyimpan genangan
lumpurnya, namun bendungan tersebut ambrol selama proses pembuatannya sehingga
perusahaan menghentikan upaya tersebut. Sebuah bendungan beresiko tersebut tentunya
akan menimbulkan ancaman banjir bandang terhadap 30.000 warga desa di sungai hilir di
bawahnya. Lalu pada tambang batubara di Samarinda, meskipun 200 juta ton batubara
digali dan dikirim dari Kalimantan Timur setiap tahun, listrik di bumi Kalimantan ini
terlalu sering mengalami pemadaman.
Kemudian dalam fenomena lain terkait pertambangan, tidak semua kegiatan
pertambangan yang ada di Indonesia memiliki ijin dari pemerintah. Banyak wilayahwilayah yang berpotensi memiliki kandungan emas atau mineral lain tetapi belum ada ijin
legal atau ijin tertulis dari pemerintah untuk kegiatan eksplorasi pertambangan. Sebagai
contoh misalnya pada fenomena penambangan emas liar di Jember, seperti : kasus
tambang emas liar di Kecamatan Silo dimana terdapat tujuh orang yang tertangkap aparat
keamanan dan fenomena penambangan emas di Gunung Manggar Kecamatan Wuluhan

yang terdapat tiga orang yang tertangkap sedang mengeruk tanah di hutan yang dikelola
pihak Perhutani. Mereka dijerat dengan pasal 158 dan 161 UU RI No.4 tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Lalu, kegiatan pertambangan pasir besi di
Kabupaten Lumajang. Lumajang dikenal menjadi salah satu daerah penghasil pasir terbaik
di Indonesia. Di Lumajang, kawasan berlimpah pasir tersebar di sungai-sungai Kecamatan
Pronojiwo, Pasirian, Pasrujambe dan Candipuro. Lumajang memang sudah lama jadi
daerah tambang pasir tapi dalam dua tahun belakangan ini, merasakan bahwa aktivitas
eksploitasi pasir di Lumajang semakin besar. Warga Tempeh dan Pasirian terkesan pasrah
saja menerima keadaan. Warga juga kurang kompak, paling hanya protes pasang pohon
pisang di lubang jalanan.

277

Jurnal Politik Muda, Vol. 4, No. 3, Agustus -Desember 2015, 276 - 284

Apabila melihat persoalan yang ada, pada intinya pada kegiatan pertambangan
kelompok yang memperoleh keuntungan memiliki kerja sama (lobi) yang cukup baik
dengan pemerintah atau birokrasi yang memiliki peran penting dalam proses
penambangan. Kerja sama yang dilakukan tentu saja memiliki tujuan yang sama, yaitu
untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dari sumber daya yang dihasilkan. Dalam kerja

sama yang terjalin antara kelompok yang meraih keuntungan dalam proses penambangan
disebut dengan pemburu rente atau rent-seeking behaviour. Dimana dalan hal ini terdapat
jaringan beberapa kelompok dalam satu kepentingan yang sama yaitu mendapatkan
keuntungan dari proses pertambangan emas. Di dalam pembahasan juga terdapat birokrasi
penting yang mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap proses pertambangan,
sehingga birokrasi yang ada tidak terlepas dari praktik-praktik lobi di dalam ekonomi
politik pertambangan emas di Gunung Manggar.
Rent-SeekingdanBirocratic Polity
Terdapat dua kerangka teori yang digunakan dalam mengkaji penelitian ini,
pertama kita melihat terdapat beberapa praktek-praktek berburuan rente antara pemerintah
dengan kelompok penambang, lalu dari sini kita melihat adanya jaringan dari beberapa
birokrasi yang tidak dapat terlepas dari kepentingan-kepentingan ekonomi politik yang
ada. Sehingga peneliti menggunakan teori ekonomi politik Rent-Seeking dan teori
Birocratic Polity atau Birokrasi Otoritarian.
Penelitian ini menggunakan pendekatan ekonomi politik Rent-Seeking menurut
Krugger. Secara teoritis, kegiatan mencari rente (rent-seeking) harus dimaknai secara
netral, karena individu (kelompok) bisa memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi
yang legal (sah), seperti menyewakan tanah, modal (mesin), dan lain-lain. Kegiatan
mencari rente bisa didefinisikan sebagai upaya individual atau kelompok untuk
meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan regulasi pemerintah. Kelompok-kelompok

bisnis dan perseorangan (individu) mencari rente ekonomi ketika mereka menggunakan
kekuasaan pemerintah untuk menghambat penawaran atau peningkatan permintaan sumber
daya yang dimiliki.
Secara lebih jelas, Krueger menerangkan bahwa aktivitas mencari rente, seperti lobi
untuk mendapatkan lisensi atau surat izin, akan mendistorsi alokasi sumber daya sehingga
membuat ekonomi menjadi tidak efisien. Demikian halnya dengan contoh sehari-hari yang
biasa dijumpai di negara berkembang, dimana pejabat pemerintah menjual posisinya untuk
merekrut tenaga kerja. Pada saat pejabat pemerintah tersebut menerima uang sebagai
imbalan atas jasanya memasukkan seseorang menjadi pegawai tanpa kompetensi yang
memadai, maka implikasinya kinerja (ekonomi) negara tersebut akan buruk karena
ditangani pegawai-pegawai yang tidak cakap. Pada kategori ini, rent-seekin behavior tidak
sengaja membuat alokasi sumber daya ekonomi menjadi melenceng, tetapi juga secara
langsung mengikis kesempatan untuk mencapai efisiensi ekonomi yang lebih tinggi.
Berikut beberapa hal yang dapat dijelaskan mengenai perilaku mencari rente oleh
Kruegger. Pertama, bahwa masyarakat akan mengalokasikan sumber daya untuk
menangkap peluang hak milik (property rights) yang ditawarkan oleh pemerintah. Pada
titik ini, kemungkinan munculnya perilaku mencari rente sangat besar. Kedua, bahwa setia
kelompok atau individu pasti akan berupaya untuk mempertahankan posisi mereka yang
menguntungkan. Implikasinya, keseimbangan politik (political equilibrium) mungkin tidak
dapat bertahan dalam jangka panjang karena akan selalu muncul kelompok penekan baru

yang mencoba untuk mendapatkan fasilitas istimewa pula. Ketiga, bahwa di dalam
pemerintah sendiri terdapat kepentingan-kepentingan yang berbeda. Dengan kata lain,
kepentingan pemerintah tidaklah tunggal. Misalnya, setiap kepentingan pemerintah

278

Jurnal Politik Muda, Vol. 4, No. 3, Agustus -Desember 2015, 276 - 284

cenderung akan memperbesar pengeluaran untuk melayani kelompok-kelompok
kepentingan, sementara kementeriaan keuangan sebaliknya justru berkonsentrasi untuk
meningkatkan pendapatan.
Kemudian kerangka teori yang kedua adalah teori Birocratic Polity atau Birokrasi
Otoritarian Max Weber. Berdasarkan pengalaman Eropa Barat, Weber menggambarkan
perkembangan birokrasi yang seiring dengan perkembangan modernisasi masyarakat.
Menurut Weber perkembangan birokrasi seiring dengan perkembangan modernisasi, para
pengkritiknya lebih menegaskan lagi bahwa birokratisasi itu terjadi karena kebutuhan
kapitalisme untuk memproduksi dirinya sendiri. Tindakan birokrasi yang paling aktif
adalah melakukan tindak langsung. Dalam hal ini negara menggunakan sumberdayanya
untuk langsung menangani kegiatan ekonomi maupun militer. Kalau suatu komoditi
dimulai sangat strategis bagi kepentingan nasional, negara turun tangan langsung dalam

bisnis komoditi itu.
Kajian mengenai birokrasi pemerintah dapat dilacak secara mendalam dalam
tulisan Max Weber. Tulisan Weber mengenai birokrasi hanya mengabstraksikan tipe ideal
birokrasi yang dapat digunakan untuk menjawab suatu masalah tertentu pada kondisi
waktu dan tempat tertentu. Menurutnya, tipe ideal ini dapat digunakan sebagai model
komparatif antara organisasi dengan organisasi lainnya di dunia. Menurut Max Weber, tipe
ideal birokrasi dapat dilakukan beberapa cara, yang diantaranya bahwa individu pejabat
suatu personal bebas, akan tetapi akan dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan
tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatan-jabatannya. Pejabat tidak bebas
menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk
keluarganya. Dengan kata lain bahwa faktor politik bisa mempengaruhi proses tipe ideal
birokrasi yang rasional dan netral.
Pemburu Rente dan Kelompok Penambang
Pada pertambangan emas di Gunung Manggar muncul beberapa jaringan
kepentingan pada proses ekonomi politik. Kegiatan pertambangan emas tersebut diawali
dengan penemuan hal-hal yang irasional atau bersifat gaib. Ditemukan oleh seorang kyai
kandungan emas Gunung Manggar mulai ramai oleh penambang yang berdatangan dari
luar daerah Jember. Kegiatan pertambangan emas di Gunung Manggar dilakukan dengan
dua cara, yaitu dengan di glondong dan diayak secara tradisional. Hal ini tentu saja akan
berdampak pada lingkungan hidup masyarakat Desa Kesilir yang tinggal di lingkungan

tersebut, khususnya masyarakat petani tembakau di Desa Kesilir. Karena pada proses
pengolahan emas terdapat limbah yang mengandung air raksa yang akan memengaruhi air
untuk tanaman petani tembakau.
Dalam kegiatan pertambangan emas tentu saja terdapat pihak yang dirugikan dan
pihak yang diuntungkan. Apabila di atas telah disebutkan pihak yang dirugikan adalah
kaum petani tembakau dan masyarakat lingkungan tambang, maka pihak yang diuntungkan
adalah kelompok penambang dan pemburu rente. Kelompok penambang merupakan
beberapa individu yang bekerja sama dalam menggali satu lubang untuk mendapatkan
tanah yang mengandung emas. Sedangkan, yang disebut dengan pemburu rente disini
adalah pihak petugas dan birokrasi yang ikut merasakan keutungan ekonomi serta
memanfaatkan momen kegiatan pertambangan dengan memberikan sumber dayanya
melalui kerja sama yang dilakukan dengan kelompok penambang. Perilaku mencari rente
yaitu mengarah pada tindakan penambang kepada petugas yang menghalangi kegiatan
mereka dengan memberikan sebagian hasil yang mereka peroleh.

279

Jurnal Politik Muda, Vol. 4, No. 3, Agustus -Desember 2015, 276 - 284

Praktek perburuan rente disini melibatkan pemburu rente yang dimana ini termasuk

dalam jaringan kepentingan pertambangan emas di Gunung Manggar. Dalam jaringan
kepentingan pertambangan tersebut, salah satu pemburu rente dilakukan birokrasi
pemerintah secara perseorangan yaitu seorang petugas TNI yang bernama Eko. TNI
tersebut tidak hanya meminta sebagian hasil tambang dari kelompok penambang, bahkan
dia merupakan pengglondong yang memiliki beberapa anggota kelompok petugas TNI
juga yang ikut merasakan keuntungan pertambangan dengan meminta sebagian hasil
tambang dengan memberikan proteksi kepada kelompok penambang.
Dengan adanya praktik perburuan rente tersebut, tidak hanya membantu
penambang untuk tetap dapat memasuki area penambangan, akan tetapi ini bertujuan untuk
saling memberikan informasi apabila ada operasi penggrebekan dari petugas di tingkat
Jawa Timur. Petugas yang dimaksud disini yaitu selain TNI yang berjaga tetapi terdapat
pula mandor hutan yang juga ikut merasakan hasil tambang yang ada. TNI dan mandor
hutan ini merupakan pemburu rente yang termasuk juga dalam jaringan kepentingan
pertambangan emas di Gunung Manggar.
Jaringan kepentingan yang terjadi dalam kegiatan pertambangan emas yaitu
kelompok penambang sebagai individu yang memiliki sumber daya, kemudian pemburu
rente atau birokrasi yang ada seperti petugas mandor hutan dan pemerintah seperti petugas
TNI yang menerima rente, pengglondong atau pengepul emas yang sudah di proses yang
juga dilakukan oleh Eko seorang petugas TNI, lalu beberapa toko emas yang menerima
pembelian emas hasil dari kegiatan tersebut. Toko emas disini juga merupakan salah satu

dari jaringan kepentingan pertambangan emas yang ada di Gunung Manggar. Sebab toko
emas sendiri memberikan kontribusi yang cukup besar terutama pada kelompok
penambang ‘nampar’ yang ingin mendapatkan hasil pengolahan secara cepat.
Pada hakekatnya upaya perburuan rente yang dilakukan birokrasi terhadap
kelompok penambang membentuk jaringan ekonomi politik, dimana tujuan dari beberapa
anggota jaringan yang ada di dalamnya adalah sama-sama menginginkan keuntungan
ekonomi dari sumber daya alam yang tersedia. Mekanisme politik yang dianggap bisa
menjamin pencapaian tujuan itu adalah mekanisme yang tidak demokratis. Birokrasi disini
rupanya tidak hanya terdiri dari pemerintah dan petugas perhutani, nampaknya terdapat
hubungan jaringan sosial dengan Gus Yanto seorang kiya’i yang pertama kali mengetahui
kandungan emas di Gunung Manggar.
Apabila kita melihat sejarah dari munculnya kegiatan tambang emas di Gunung
Manggar, maka terdapat hal menarik yang dapat kita temukan. Rupanya para penambang
yang sangat berambisi memperoleh tanah yang memiliki kadar emas tinggi, tidak hanya
membagikan hasil jerih payahnya kepada petugas yang berjaga. Keyakinan yang dimiliki
penambang menjadikan mereka harus meminta petunjuk kepada Gus Yanto dimana
tempat-tempat strategis yang dapat digali agar mereka dapat menemukan kadar emas yang
banyak. Tentu saja Gus Yanto sendiri sebagai salah satu birokrasi agama yang berpengaruh
terhadap pertambangan emas di Gunung Manggar merupakan pemburu rente yang
dilakukan secara personal. Hal ini juga termasuk sebagai salah satu anggota jaringan
kepentingan pertambangan emas. Karena dengan petunjuk yang diberikannya, kelompok
penambang percaya peluang lokasi yang dapat memberikan butiran-butiran partikel emas
cukup besar.
Kemudian, keuntungan juga diperoleh oleh LMDH (Lembaga Masyarakat Desa
Hutan) dari fenomena pertambangan emas di Jember. Keuntungan yang diperoleh bukan
hasil dari perburuan rente, melainkan hasil hutan yang diberikan kepada masyarakat
sebagai pemangku hutan. Masyarakat setempat mungkin tidak dapat menerima secara

280

Jurnal Politik Muda, Vol. 4, No. 3, Agustus -Desember 2015, 276 - 284

langsung, akan tetapi dengan adanya LMDH yang mengelola dana tersebut ini dapat
digunakan sebagai fasilitas dan kesejahteraan masyarakat. Melalui LMDH seharusnya
masyarakat Desa Kesilir sebagai pemangku hutan juga dapat ikut merasakan hasil hutan
yang diperoleh. Dari keterangan Kepala Adm.Perhutani Jember bahwa 25% hasil hutan
akan dikembalikan kepada masyarakat. LMDH merupakan lembaga setingkat pemerintah
desa yang mengelola dana yang diberikan oleh perhutani sebagai dana masyarakat yang
digunakan untuk pembangunan.
Dua pernyataan yang berbeda atau tidak singkron antara birokrasi seperti elite
pemerintah dan petugas perhutani menimbulkan tanda tanya besar. Bagaimana tugas
seharusnya lembaga masyarakat desa hutan atau LMDH itu sendiri. Apakah LMDH
tersebut berjalan sesuai tugas yang diemban atau justru ikut merasakan hasil hutan dengan
25% hasil yang diberikan kepada desa. Mengapa keberadaan LMDH tersebut kurang
diakui oleh Kepala Desa Kesilir atau memang 25% dana yang diberikan itu tidak ada. Atau
bahkan dengan adanya pertambangan emas di Gunung Manggar pihak LMDH merupakan
salah satu jaringan kepentingan yang terlibat sebagai pemburu rente. Pertanyaanpertanyaan tersebut sampai saat ini cukup susah untuk menemukan jawabannya. Karena
LMDH sendiri sebagai pengelola dana bagi hasil dari hutan yang ada kurang nampak
keberadaannya. Ini cukup jelas bahwa dari hasil hutan sendiri terdapat pemainan politik
yang dilakukan terhadap 25% dana yang diberikan kepada masyarakat oleh LMDH dan
oknum anggota perhutani.
Dengan kata lain, dari adanya kegiatan pertambangan emas tersebut masih terdapat
beragam kepentingan ekonomi antara masing-masing jaringan. Jaringan kepentingan yang
terbentuk di dalamnya termasuk kelompok penambang itu sendiri yang juga terdapat
pengepul di dalamnya, anggota petugas TNI yang juga sebagai pengglondong dan
pengepul emas hasil olahan, mandor hutan sebagai anggota petugas perhutani, toko emas
yang membeli hasil olahan emas, Gus Yanto sebagai tokoh agama yang berkontribusi
terhadap penambangan, serta LMDH yang mengelola dana hasil hutan setingkat
pemerintah desa. Kemudian, ketika perbedaan ini sulit ditemukan persamaannya, maka
jalan keluar yang dapat diambil dari sikap masyarakat hanyalah diam. Karena disini
masyarakat hanya sebagai pihak yang terdapat pada lingkungan pertambangan emas,
masyarakat bukanlah pihak yang ikut merasakan gemerlapnya rupiah demi rupiah hasil
pertambangan emas. Masyarakat hanya sebagai pemangku hutan karena pihak-pihak dari
kegiatan pertambangan emas merupakan kelompok individu yang mempunyai kepentingan
ekonomi.
Keuntungan yang Diperoleh dan Dampak yang Diterima Masyarakat
Pendapatan yang cukup besar yang diperoleh Pak Miseni sebagai penggali lubang
yang saat ini kedalamannya lebih dari 45 meter ini menggugah semangat penambang dan
calon penambang lain untuk ikut serta mendapatkan rejeki dari Gunung Manggar dengan
mendapatkan butiran-butiran partikel emas. Pada kenyataannya, rumor gemerlapnya emas
Gunung Manggar tidak hanya terdengar di kawasan Jember saja. Masyarakat yang berasal
dari luar daerah seperti Banyuwangi, Tasikmalaya, Lumajang, dan daerah lain mulai
berdatangan. Akan tetapi dengan adanya fenomena pertambangan emas di Gunung
Manggar, banyak memengaruhi keadaan lingkungan yang berdampak pada sistem perairan
pertanian Desa Kesilir. Ini diakibatkan karena para penambang yang disebut dengan
nampar atau leles melakukan proses penyaringan serbuk emas dengan melakukan
pencucian di sepanjang sungai pertanian Desa Kesilir. Ini tentu saja dapat memengaruhi air

281

Jurnal Politik Muda, Vol. 4, No. 3, Agustus -Desember 2015, 276 - 284

yang ada di sungai karena telah terkontaminasi dengan zat-zat kimia. Hal ini pula yang
mulai di kawatirkan oleh masyarakat karena dapat mengancam pertaniannya. Rupanya
efek lingkungan gunung Manggar tidak hanya dirasakan masyarakat yang tinggal di kaki
Gunung Manggar, akan tetapi masyarakat Kesilir yang radius tinggal lebih dari 10 km juga
mulai merasakan dampak negatifnya. Kondisi lingkungan yang sedemikian rupa
merupakan dampak dari adanya eksploitasi alam yang sedang terjadi di Gunung Manggar.
Dalam jangka pendek efek lingkungan yang terjadi adalah ancaman bagi tanaman
pertanian masyarakat Desa Kesilir. Sekitar 90% masyarakat Desa Kesilir merupakan petani
tembakau Naos kwalitas impor, padi, jagung, serta palawija, dimana ini merupakan
tanaman unggulan bagi masyarakat Kabupaten Jember. Dengan adanya pertambangan
emas maka dampak lingkungan seperti pencemaran air sangat merugikan bagi pengairan
lahan pertanian masyarakat Desa Kesilir.
Pluralitas Kepentingan Birokrasi dan Masyarakat
Pada dasarnya masyarakat yang tinggal di Desa Kesilir tidak menghendaki kegiatan
pertambangan di Gunung Manggar. Hal ini karena masyarakat tahu bahwa fenomena
tersebut pasti akan membawa dampak negatif bagi lingkungan hidup mereka. Sebab
masyarakat sendiri mengaku tidak mampu melakukan apapun untuk mengehentikan
kegiatan tersebut. Ketidakmampuan masyarakat ini berdasarkan karakter masyarakat yang
tinggal di kaki Gunung Manggar, terutama masyarakat yang rata-rata sebagai buruh tani
dan berpendidikan rendah tidak memiliki kekuatan untuk bergerak dan menghentikan
kegiatan tersebut.
Ketidakmampuan masyarakat desa cenderung karena mereka lebih takut dengan para
penambang yang cenderung bersifat premanisme dibandingan petugas atau pemerintah.
Hal ini karena penambang dan kelompoknya sudah banyak yang masuk dan menempati
rumah-rumah warga yang ada di dusun tersebut. Karena para penambang membayar uang
persewaan rumah untuk ditinggali, maka banyak dari masyarakat yang menyewakan
rumahnya sebagai tempat kos para penambang. Ini jelas sekali bahwa dari banyaknya
pendatang sebagai penambang, maka ada keuntungan ekonomi yang diterima masyarakat
dari persewaan rumah tersebut. Maka disimpulakan hubungan masyarakat dengan
penambang sendiri di lingkungan tempat tinggalnya sudah cukup baik. Disini dapat kita
lihat ada ketergantungan faktor ekonomi masyarakat desa dengan penambang dimana
tentu saja ini menjadi semakin sulit bagi masyarakat untuk secara serentak menolak
kegiatan pertambangan emas.
Apabila kita melihat fenomena yang ada, seharusnya ini menjadi persoalan di tingkat
kabupaten. Tetapi disini anggota dewan sendiri cenderung diam dan hanya menganalisa
dari jauh dengan mata terbuka. Alasan utama mereka tidak melakukan apapun yaitu karena
persoalan kekuasaan dan wewenang. Karena pertambangan tersebut diolah oleh BUMN
seperti perhutani, maka disini DPRD Kabupaten Jember menganggap ini lebih pada
persoalan antara perhutani dengan pemerintah setempat bukan lagi masalah keselamatan
hidup masyarakat yang tinggal di lingkungan sekitarnya.
Selain terdapat beberapa masyarakat yang menolak kegiatan pertambangan emas di
Gunung Manggar, terdapat pula mereka yang menghendaki supaya ini dilegalkan agar
tidak ada lagi perselisihan antara masyarakat yang tidak setuju dan masyarakat yang setuju
ataupun antara penambang dengan petugas dan keamanan. Salah satu proposisi yang
diajukan oleh Buchanan untuk mencegah adanya pemburu rente adalah dengan membuat
regulasi yang memungkinkan pasar berjalan secara sempurna, yakni melalui peniadaan

282

Jurnal Politik Muda, Vol. 4, No. 3, Agustus -Desember 2015, 276 - 284

halangan masuk (no barrier to entry) bagi pelaku ekonomi dan peningkatan persaingan
(competition). Bila kedua syarat itu terpenuhi, dengan sendirinya pemburu rente akan
lenyap. Sebaliknya, pemburu rente akan merajalela ketika jalan masuk ke pasar dihalangi
sehingga tanpa sadar akan memunculkan pasar baru bagi pencari rente. Pendeknya, bila
halangan masuk ke pasar semakin besar maka setiap pelaku bisnis akan berupaya sekuat
tenaga untuk memengaruhi pemerintah atau pihak lain yang dianggap bisa membantunya
masuk ke pasar. Adanya masyarakat yang terbagi atas dua kelompok masyarakat yakni
kelompok masyarakat yang menolak dan tidak setuju, lalu masyarakat yang diam tetapi
setuju dengan pertambangan. Terbaginya dua kelompok ini membuktikan bahwa
kepentingan masyarakat sudah terpecah menjadi dua, maka hal ini akan mempersulit
lahirnya kekuatan baru bagi masyarakat untuk sama-sama mengehentikan kegiatan
pertambangan emas di Gunung Manggar.
Langkah Birokrasi Perhutani dan Pemerintah
Kebijakan yang dibuat berkaitan dengan pertambangan emas di Gunung Manggar
yaitu dalam UU No. 32 tahun 2009 pasal 76 ayat (1) dijelaskan pula wewenang pejabat
Negara untuk memberikan sanksi yang tegas terhadap penanggung jawab usaha yang
melakukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. Berdasarkan kebijakan yang dibuat
tersebut, maka petugas keamanan seperti Polsek Wuluhan melakukan suatu koordinasi
dengan beberapa pihak seperti pihak Perhutani, Dinas Lingkungan Hidup dan
Perindustrian, serta seluruh kepala desa yang ada di Kecamatan Wuluhan. Koordinasi yang
dilakukan Polsek Wuluhan diantaranya dengan melaksanakan taktik atau semacam teknis
untuk menjaga keamanan Gunung Manggar. Teknis atau taktik itu dapat kita sebut dengan
BKU, BKU adalah melaksanakan pergerakan personil yang banyak di Gunung Manggar.
Pada format politik “otoriterisme birokratik” cukup jelas bahwa tugas pemerintah
dalam menyikapi persoalan dilakukan bersama kelompok kepentingan melalui proses
tawar-menawar. Ini yang sering dilakukan pihak Perhutani Wuluhan dengan kelompok
penambang dalam mengambil keputusan terhadap penangkapan yang dilakukan kepada
penambang emas di Gunung Manggar, mereka meminta perhutani mempertimbangkan
tindakan yang dilakukan demi kepentingan bersama anggota kelompoknya.Selanjutnya,
dari petugas Perhutani Kabupaten Jember juga sudah melakukan tindakan untuk
menyelesaikan persoalan Gunung Manggar. Yaitu dengan rutin berkomunikasi dengan
LSM yang tidak menyetujui pertambangan emas, disini perhutani melakukan upaya
pendekatan kepada para tokoh agama dan masyarakat dengan mengikuti kegiatan agama,
seperti shalat Jum’at dan berkomunikasi dengan mereka terkait bahaya tambang emas
Gunung Manggar.
Kesimpulan
Dalam kegiatan pertambangan emas keuntungan ekonomi dari hasil sumber daya
alam tersebut justru diraih oleh kelompok penambang dari luar wilayah lingkungan
pertambangan. Dimana dalam teori rent-seeking terdapat sebuah jaringan kepentingan
yang di dalamnya terdapat hubungan saling menguntungkan (lobi) antara kelompok
penambang dengan pemburu rente. Pemburu rente disini dilakukan secara perseorangan
oleh oknum-oknum yang ikut meraih keuntungan dalam pertambangan emas. Pemburu
rente memberikan proteksi kepada kelompok penambang dalam kegiatan pertambangan
emas dengan meminta sebagian hasil tambang emas yang diperoleh. Selain itu cukup jelas

283

Jurnal Politik Muda, Vol. 4, No. 3, Agustus -Desember 2015, 276 - 284

bahwa masyarakat lingkungan pertambangan yang merasakan dampaknya. Dampak yang
dirasakan tidak hanya masyarakat petani tetapi juga masyarakat pengguna air lainnya. Ini
karena adanya pencemaran air akibat pengolahan hasil pertambangan yang ada di
sepanjang sungai.
Ketidakmampuan masyarakat karena terdapat pluralitas kepentingan ekonomi,
pendidikan, dan strata sosial yang ada di dalam masyarakat sendiri. Kepentingan ekonomi
seperti masyarakat yang benar-benar menolak karena mereka yang mendapatkan dampak
pencemaran lingkungan secara langsung dan masyarakat yang cenderung pasrah (diam)
karena keuntungan ekonomi yang ikut dirasakan. Faktor pendidikan karena rata-rata
masyarakat yang diam mempunyai riwayat pendidikan rendah sehingga masyarakat kurang
tanggap terhadap persoalan lingkungan. Kemudian mayoritas masyarakat yang diam tidak
hanya dari kalangan stratifikasi rendah seperti kelompok masyarakat buruh tani, tetapi
kelompok elit seperti birokrasi yang ada di desa dan DPRD sendiri cenderung diam karena
merasa persoalan ini bukan tanggung jawab mereka. Sehingga pluralitas kepentingan
dalam masyarakat desa tersebut dapat memecah-belahkan kekuatan masyarakat yang
tinggal di lingkungan pertambangan. Respon pemerintah sendiri seperti tindakan yang
dilakukan dengan patroli gabungan dan sosialisasi kepada masyarakat nampaknya ini tidak
efektif. Terlebih lagi terdapat LSM yang mengajukan pertambangan emas ini dilegalkan
oleh perhutani supaya tidak terjadi konflik.

Daftar Pustaka
Burhan, Bungin.2007.Penelitian Kualitatif.Jakarta:Kencana.
Low,Nicholas dan Brendan Gleason.2009.Politik Hijau : Kritik Terhadap Politik
Konvensional
Menuju
Politik
Berwawasan
Lingkungan
dan
Keadilan.Bandung:Penerbit Nusa Media.
Mas’oed,Mohtar.1997.Politik,Birokrasi dan Pembangunan.Yogyakarta.Pustaka Pelajar.
Ma’arif,Samsul.2008.Rent Seeking Behaviour Dalam Relasi Birokrasi dan Dunia
Bisnis.Jurnal Administration.
Rachbini,
Didik
J.2004.Ekonomi
Politik
Kebijakan
dan
Strategi
Pembangunan.Jakarta:Granit
Yustika,Ahmad Erani.2009.Ekonomi Politik Kajian Teoritis Dan Analisis
Empiris.Yogyakarta:Pustaka Pelajar
e-book :
Rachbini,Didik J.2002.EKONOMI POLITIK
Publik.Jakarta:Ghalia Indonesia.

Paradigma

dan

Teori

Pilihan

284