Implementasi Kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Pematangsiantar

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Publik
2.1.1 Pengertian Kebijakan Publik
Chandler dan Plano (dalam Tangkilisan, 2003:1) menyatakan bahwa
kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya-sumber
daya

yang

ada

untuk

memecahkan

masalah-masalah

publik


atau

pemerintah.Kebijakan tersebut telah banyak membantu para pelaksana pada
tingkat birokrasi pemerintah maupun para politisi untuk memecahkan masalahmasalah publik. Selanjutnya kebijakan publik akan disebut sebagai suatu bentuk
intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan
kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup,
dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas.
Easton (dalam Tangkilisan, 2003:2) memberikan pengertian kebijakan
publik sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang
keberadaannya mengikat.Sehingga cukup pemerintah yang dapat melakukan suatu
tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu
yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilainilai kepada masyarakat.
Sedangkan menurut Woll (dalam Tangkilisan, 2003:2) kebijakan publik
adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat,
baik secara langsung maupun melalui lembaga yang mempengaruhi kehidupan

Universitas Sumatera Utara

masyarakat. Dalam pelaksanaan kebijakan publik terdapat tiga tingkat pengaruh
sebagai implikasi dari tindakan pemerintah, yaitu:

a. Adanya pilihan kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh politisi,
pegawai pemerintah atau yang lainnya yang bertujuan menggunakan
kekuatan publik untuk mempengaruhi kehidupan masyarakat.
b. Adanya output kebijakan, dimana kebijakan yang diterapkan pada
level ini menuntut pemerintah untuk melakukan pengaturan,
penganggaran, pembentukan personil dan membuat regulasi dalam
bentuk program yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat
Kebijakan publik menurut Thomas Dye (dalam Subarsono, 2005:2) adalah
apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (public policy
is whatever governments choose to do or not to do). Konsep tersebut sangat luas
karena kebijakan publik mencakup sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah
ketika pemerintah menghadapi suatu masalah publik.Definisi kebijakan publik
dari Thomas Dye mengandung makna bahwa (1) kebijakan publik dibuat oleh
badan pemerintah, bukan organisasi swasta; (2) kebijakan publik menyangkut
pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan pemerintah.
Menurut James E. Anderson (dalam Subarsono, 2005:2) kebijakan publik
merupakan

kebijakan


yang

ditetapkan

oleh

badan-badan

dan

aparat

pemerintah.Walaupun disadari bahwa kebijakan publik dapat dipengaruhi oleh
para aktor dan faktor dari luar pemerintah.
Harold Laswell dan Abraham Kaplan (dalam Subarsono, 2005:3)
berpendapat bahwa kebijakan publik hendaknya berisi tujuan, nilai-nilai, dan
praktika-praktika sosial yang ada dalam masyarakat.Kebijakan publik tidak boleh

Universitas Sumatera Utara


bertentangan dengan nilai-nilai dan praktik-praktik sosial yang ada dalam
masyarakat. Ketika kebijakan publik berisi nilai-nilai yang bertentangan dengan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka kebijakan publik tersebut akan
mendapat resistensi ketika diimplementasikan. Suatu kebijakan publik harus
mampu mengakomodasi nilai-nilai dan praktika-praktika yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat.
2.1.2 Tahapan Kebijakan Publik
Dalam memecahkan sebuah permasalahan yang dihadapi kebijakan publik,
Dunn (dalam Tangkilisan, 2003:7) mengemukakan bahwa ada beberapa tahap
analisis yang harus dilakukan, yaitu:
1. Agenda Kebijakan (Agenda Setting)
Tahap penetapan agenda kebijakan ini adalah penentuan masalah publik
yang akan dipecahkan, dengan memberikan informasi mengenai kondisi-kondisi
yang menimbulkan masalah. Dalam hal ini isu kebijakan dapat berkembang
menjadi agenda kebijakan apabila memenuhi syarat, seperti: memiliki efek yang
besar terhadap kepentingan masyarakat, dan tersedianya teknologi dan dana untuk
menyelesaikan masalah publik tersebut. Menurut Dunn (dalam Tangkilisan,
2003:8) problem structuring memiliki 4 fase yaitu pencarian masalah (problem
search), pendefinisan masalah (problem definition), spesifikasi masalah (problem
specification) dan pengenalan masalah (problem setting).

2. Formulasi Kebijakan (Policy Formulation)
Formulasi kebijakan berarti pengembangan sebuah mekanisme untuk
menyelesaikan masalah publik, dimana pada tahap para analis kebijakan publik
mulai menerapkan beberapa teknik untuk menjustifikasikan bahwa sebuah pilihan

Universitas Sumatera Utara

kebijakan merupakan pilihan yang terbaik dari kebijakan yang lain. Dalam
menentukan kebijakan pada tahap ini dapat menggunakan analisis biaya manfaat
dan analisis keputusan, dimana keputusan yang harus diambil pada posisi tidak
menentu dengan informasi yang serba terbatas. Pada tahap ini diidentifikasi
kemungkinan kebijakan yang dapat digunakan melalui prosedur forecasting untuk
memecahkan masalah yang di dalamnya terkandung konsekuensi dari setiap
pilihan kebijakan yang akan dipilih.
3. Adopsi Kebijakan (Policy Adoption)
Adopsi kebijakan merupakan tahap untuk menentukan pilihan kebijakan
melalui dukungan para stakeholder atau pelaku yang terlibat. Tahap ini dilakukan
setelah melalui proses rekomendasi. Terdapat di dalamnya beberapa hal yaitu
identifikasi alternatif kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk merealisasikan
masa depan yang diinginkan; mengidentifikasi kriteria-kriteria tertentu untuk

menilai alternatif yang akan direkomendasi; dan juga mengevaluasi alternatifalternatif dengan menggunakan kriteria-kriteria yang relevan agar efek positif
alternatif kebijakan lebih besar daripada efek negatif yang akan terjadi.
4. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation)
Pada tahap ini suatu kebijakan telah dilaksanakan oleh unit-unit eksekutor
(birokrasi pemerintah) tertentu dengan memobilisasikan sumber dana dan sumber
daya lainnya (teknologi dan manajemen), dan pada tahap ini monitoring dapat
dilakukan. Implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan
untuk merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara
untuk mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah
diseleksi. Sehingga dengan mengorganisir, seorang eksekutif mampu mengatur

Universitas Sumatera Utara

secara efektif dan efisien sumber daya, unit-unit dan teknik yang dapat
mendukung pelaksanaan program, serta melakukan interpretasi terhadap
perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah
bagi realisasi program yang dilaksanakan.
Jadi, tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan
dengan apa yang terjadi setelah suatu perudang-undangan ditetapkan dengan
memberikan otoritas pada suatu kebijkan dengan membentuk output yang jelas

dan dapat diukur. Dengan demikian tugas implementasi kebijakan sebagai suatu
penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil melalui
aktivitas atau kegiatan dari program pemerintah.
5. Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation)
Tahap akhir dari proses pembuatan kebijakan adalah penilaian terhadap
kebijakan yang telah diambil dan dilakukan. Dalam penilaian ini semua proses
implementasi dinilai apakah telah sesuai dengan yang telah ditentukan atau
direncanakan dalam program kebijakan tersebut sesuai dengan ukuran-ukuran
(kriteria-kriteria) yang telah ditentukan. Evaluasi kebijakan dapat dilakukan oleh
lembaga independen maupun pihak birokrasi pemerintah sendiri (sebagai
eksekutif) untuk mengetahui apakah program yang dibuat oleh pemerintah telah
mencapai tujuannya atau tidak. Apabila ternyata tujuan program tidak tercapai
atau memiliki kelemahan, maka perlu diketahui apa penyebabnya sehingga
kesalahan yang sama tidak terulang di masa yang akan datang.

Universitas Sumatera Utara

2.2 Implementasi Kebijakan Publik
2.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan Publik
Kata implementasi dalam kamus Webster (dalam Wahab, 1991:50), secara

etimologi, diadopsi dari kata “to implement” yang berarti “to providemeans for
carrying out; to give practical effect to”, (menyajikan sarana untuk melaksanakan
sesuatu; menimbulkan dampak atau berakibat sesuatu).
Menurut Patton dan Sawicky (dalam Tangkilisan, 2003:78), implementasi
berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan
program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir,
menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Sehingga
dengan mengorganisir, seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan
efisien sumber daya, unit-unit dan teknik yang dapat mendukung pelaksanaan
program, serta melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang dibuat, dan
petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang
dilaksanakan.
Grindle (dalam Wahab, 1991:45) berpendapat bahwa implementasi
kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme
penjabaran keputusan-keputusan politik dalam prosedur-prosedur rutin lewat
saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah
konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh
sebab itu tidak terlalu salah jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan
aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan.
Mazmanian dan Sabatier (dalam Wahab, 1991:51), mengatakan bahwa

makna implementasi adalah apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program

Universitas Sumatera Utara

dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi
kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah
disahkannya

usaha-usaha

untuk

mengadministrasikannya

maupun

untuk

menimbulkan akibat ataupun dampak nyata pada masyarakat atau kejadiankejadian.
Menurut Riant Nugroho (2007), implementasi dikonseptualisasikan

sebagai suatu proses, atau sebagai rangkaian keputusan dan tindakan yang
ditujukan agar keputusan yang diterima oleh lembaga legislatif bisa dijalankan.
Implementasi diartikan dalam konteks keluaran, atau sejauh mana tujuan-tujuan
yang telah direncanakan mendapat dukungan, seperti tingkat pengeluaran belanja
bagi suatu program. Akhirnya, pada tingkat abstraksi yang paling tinggi, dampak
implementasi mempunyai makna bahwa telah ada perubahan yang bisa diukur ke
dalam masalah
Nakamura dan Smallwood (dalam Tangkilisan 2003:17) berpendapat
bahwa hal-hal yang berhubungan dengan implementasi kebijakan adalah
keberhasilan dalam mengevaluasi masalah dan kemudian menerjemahkannya ke
dalam keputusan yang bersifat khusus.
Menurut Jones (dalam Tangkilisan, 2003:17), implementasi merupakan
suatu proses yang dinamis yang melibatkan terus menerus usaha-usaha untuk
mencari apa yang akan dan dapat dilakukan. Dengan demikian implementasi
mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program ke
dalam tujuan kebijakan yang diinginkan. Tiga kegiatan utama yang paling penting
dalam implementasi keputusan adalah:

Universitas Sumatera Utara


1. Penafsiran, merupakan kegiatan yang menerjemahkan makna program ke
dalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan.
2. Organisasi, merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program ke
dalam tujuan kebijakan.
3. Penerapan, merupakan berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi
pelayanan, upah dan lainnya.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan
suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas
atau kegiatan sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai
dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri.
2.2.2 Model Implementasi Kebijakan
Dalam rangka mengimplementasikan kebijakan publik, dikenal beberapa
model implementasi kebijakan (Tangkilisan, 2003:20), antara lain:
1. Model Gogin
Untuk mengimplementasikan kebijakan dengan model Gogin,
maka perlu diidentifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi tujuantujuan formal pada keseluruhan implementasi, yakni:
1) Bentuk dan isi kebijakan, termasuk didalamnya kemampuan kebijakan
untuk menstrukturkan proses implementasi,
2) Kemampuan organisasi dengan segala sumber daya berupa dana
maupun insentif lainnya yang akan mendukung implementasi secara
efektif, dan

Universitas Sumatera Utara

3) Pengaruh lingkungan dari masyarakat dapat berupa karakteristik,
motivasi, kecenderungan hubungan antara warga masyarakat, termasuk
pola komunikasinya.
2. Model Grindle
Grindle menciptakan model implementasi sebagai kaitan antara
tujuan kebijakan dan hasil-hasilnya, selanjutnya pada model ini hasil
kebijakan yang dicapai akan dipengaruhi oleh isi kebijakan yang terdiri
dari; (1) kepentingan-kepentingan yang dipengaruhi; (2) tipe-tipe manfaat;
(3) derajat perubahan yang diharapkan; (4) letak pengambilan keputusan;
(5) pelaksanaan program; (6) sumber daya yang dilibatkan.
Isi sebuah kebijakan akan menunjukkan posisi pengambilan
keputusan oleh sejumlah besar pengambilan keputusan, sebaliknya ada
kebijakan tertentu yang lainnya hanya ditentukan oleh sejumlah kecil unit
pengambil kebijakan. Pengaruh selanjutnya adalah konteks lingkungan
yang terdiri dari: kekuasaan, kepentingan, strategi aktor yang terlibat;
karakteristik lembaga penguasa; kepatuhan dan daya tanggap. Oleh karena
itu, setiap kebijakan perlu mempertimbangkan konteks atau lingkaran
dimana tindakan administrasi dilakukan. Intensitas keterlibatan para
perencana, politisi, pengusaha, kelompok sasaran dan para pelaksana
kebijakan akan bercampur baur mempengaruhi efektifitas implementasi.
3. Model Van Meter dan Van Horn
Model implementasi kebijakan Van Meter & Van Horn
dipengaruhi oleh 6 faktor, yaitu: (1) standar kebijakan dan sasaran yang
menjelaskan rincian tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh; (2)

Universitas Sumatera Utara

sumber daya kebijakan berupa dana pendukung implementasi; (3)
komunikasi inter organisasi dan kegiatan pengukuran digunakan oleh
pelaksana untuk memakai tujuan yang hendak dicapai; (4) karakteristik
pelaksana, artinya karakteristik organisasi merupakan faktor krusial yang
menentukan berhasil tidaknya suatu program; (5) kondisi sosial ekonomi
dan politik yang dapat mempengaruhi hasil kebijakan; (6) sikap pelaksana
dalam memahami kebijakan yang akan ditetapkan.
Van meter dan Van Horn (dalam Samodra, Yuyun dan Agus,
1994:19) menegaskan bahwa pada dasarnya kinerja dari implementasi
kebijakan adalah penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran
kebijakan tersebut.
4. Model George C. Edward III
Menurut George C. Edward III (dalam Subarsono, 2005:90) ada
empat faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan
implementasi suatu kebijakan, yaitu:
1) Komunikasi
Persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif
adalah bahwa mereka yang melaksanakan kebijakan harus mengetahui
apa yang harus mereka lakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran
kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran supaya
meminimalisir distorsi implementasi. Jika tujuan dan sasaran kebijakan
tidak jelas atau tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran
maka sangat mungkin terjadi resistensi dari kelompok sasaran.

Universitas Sumatera Utara

Secara umum Edwards (Winarno, 2002:127) membahas tiga
indikator penting dalam proses komunikasi kebijakan, yakni:
a. Transmisi
Penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan
suatu implementasi yang baik pula. Seringkali terjadi masalah
dalam penyaluran komunikasi yaitu adanya salah pengertian
(miskomunikasi) yang disebabkan banyaknya tingkatan birokrasi
yang harus dilalui dalam proses komunikasi, sehingga apa yang
diharapkan terdistorsi di tengah jalan.
b. Kejelasan
Indikator

ini

mensyaratkan

kebijakan

yang

diimplementasikan oleh para pelaksana bukan hanya diketahui
secara detil tentang pedoman kebijakan, namun juga mengenai
kejelasan dari petunjuk teknis dalam melaksanakan kebijakan
tersebut.
c. Konsistensi
Perintah

yang

diberikan

dalam

pelaksanaan

suatu

komunikasi harus konsisten dan jelas untuk ditetapkan atau
dijalankan.Jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka
dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan.
2) Sumber Daya
Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas
dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber daya yang
diperlukan untuk melaksanakan kebijakan, maka implementasi tidak

Universitas Sumatera Utara

akan berjalan dengan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud
sumber daya manusia, sumber daya finansial dan fasilitas yang
dipergunakan.
Menurut Edward III (dalam Tangkilisan, 2003:66), sumber
daya merupakan hal penting dalam implementasi kebijakan yang baik.
Indikator yang digunakan untuk melihat sejauh mana sumberdaya
mempengaruhi implementasi kebijakan terdiri dari:
1. Staf
Sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah
staf atau pegawai (street-level-bureaucrats).Kegagalan yang sering
terjadi dalam implementasi kebijakan, salah satunya disebabkan
oleh staf/pegawai yang tidak cukup memadai, mencukupi, ataupun
tidak kompeten dalam bidangnya.Penambahan jumlah staf dan
implementor

saja

tidak

cukup

menyelesaikan

persoalan

implementasi kebijakan, tetapi diperlukan sebuah kecukupan staf
dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan
kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan.
2. Informasi
Dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua
bentuk yaitu: pertama, informasi yang berhubungan dengan cara
melaksanakan

kebijakan.

Kedua,

informasi

mengenai data

kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi
pemerintah yang telah ditetapkan.
3. Fasilitas

Universitas Sumatera Utara

Fasilitas

fisik

merupakan

faktor

penting

dalam

implementasi kebijakan. Implementor mungkin mempunyai staf
yang mencukupi, kapabel dan kompeten, tetapi tanpa adanya
fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi
kebijakan tersebut tidak akan berhasil.
3) Disposisi (Kecenderungan atau Tingkah Laku)
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh
implementor seperti komitmen, kejujuran dan sifat demokratis.
Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan
dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan
oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sifat atau
perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses
implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.
4) Struktur Birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan
kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi
kebijakan.Salah satu dari aspek struktur yang paling penting dari setiap
organisasi adalah adanya rincian tugas dan prosedur pelayanan yang
telah disusun oleh organisasi.Rincian tugas dan prosedur pelayanan
menjadi pedoman bagi implementor dalam bertindak. Selain itu
struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan
pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang
rumit dan kompleks. Pada akhirnya menyebabkan aktivitas organisasi
tidak fleksibel.

Universitas Sumatera Utara

Faktor-faktor yang menjadi perhatian Edward III (dalam
Tangkilisan, 2003:127) mengenai disposisi dalam implementasi
kebijakan terdiri dari:
1. Pengangkatan birokrasi
Sikap pelaksana akan menimbulkan hambatan-hambatan yang
nyata terhadap implementasi kebijakan bila personel yang ada
tidak melaksanakan kebijakan yang diinginkan oleh pejabatpejabat yang lebih atas. Karena itu, pengangkatan dan pemilihan
personel pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki
dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus lagi
pada kepentingan warga masyarakat.
2. Insentif
Insentif merupakan salah satu teknik yang disarankan untuk
mengatasi masalah sikap para pelaksana kebijakan dengan
memanipulasi insentif.Pada dasarnya orang bergerak berdasarkan
kepentingan dirinya sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para
pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana
kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu
mungkin akan menjadi faktor pendorong yang membuat para
pelaksana menjalankan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan
sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi atau organisasi.

2.3 Sistem Pelayanan Informasi
2.3.1 Pengertian Sistem

Universitas Sumatera Utara

Sistem adalah istilah yang berasal dari bahasa yunani “system” yang
artinya adalah himpunan bagian atau unsur yang saling berhubungan secara
teratur untuk mencapai tujuan bersama.Sistem adalah seperangkat komponen
yang saling berhubungan dan saling bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan.
Menurut Odgers (dalam Syafiie, 2002:15) secara umum sebuah sistem
yang ideal memiliki unsur-unsur yaitu masukan (input), pengolahan (processing),
keluaran (output), umpan balik (feedback), dan pengawasan. Keberadaan tiap
unsur tersebut sangatlah penting, karena masing-masing memainkan peranan yang
penting dalam menjalankan sistem.
2.3.2 Pengertian Pelayanan
Menurut Gronroos (dalam Ratminto, 2005:2), pelayanan adalah usaha
aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat
diraba) yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan
karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan
yang dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan konsumen/pelanggan.
Dalam pelayanan yang disebut konsumen (customer) adalah masyarakat
yang mendapat manfaat dari aktivitas yang dilakukan oleh organisasi atau petugas
dari organisasi pemberi layanan tersebut. Norman dalam Endang memberikan
karakteristik tentang pelayanan sebagai berikut (Jurnal Ilmu Administrasi, Nomor
1, 2004):
a. Pelayanan sifatnya tidak dapat diraba, pelayanan berlawanan sifatnya
dengan barang jadi.
b. Pelayanan itu kenyataannya terdiri dari tindakan nyata dan merupakan
pengaruh yang sifatnya adalah tindak sosial.

Universitas Sumatera Utara

c. Produksi dan konsumsi dari pelayanan tidak dapat dipisahkan secara
nyata, karena pada umumnya kejadian bersamaan dan terjadi di tempattempat yang sama.
2.3.3 Pengertian Informasi
Menurut Jogiyanto (dalam Syafiie, 2002:22) informasi adalah data yang
diolah menjadi bentuk yang lebih berguna dan berarti bagi yang menerimanya dan
menggambarkan suatu kejadian-kejadian (event) dan kesatuan nyata (fact and
entity) yang digunakan untuk pengambilan keputusan.
Syarat-syarat tentang informasi yang lebih rinci diuraikan oleh Parker
(Syafiie, 2002:35) yaitu:
1. Ketersediaan. Syarat yang mendasar bagi suatu informasi adalah
tersedianya informasi itu sendiri. Informasi harus dapat diperoleh bagi
orang yang hendak memanfaatkannya.
2. Mudah dipahami. Informasi harus memudahkan pembuatan keputusan,
baik yang menyangkut pekerjaan rutin maupun keputusan-keputusan yang
bersifat strategis.
3. Relevansi. Informasi yang diperlukan benar-benar relevan (sesuai dengan
kebutuhan) dengan permasalahan, misi, dan tujuan organisasi.
4. Bermanfaat. Sebagai konsekuensi dari syarat relevansi, informasi juga
harus bermanfaat bagi organisasi. Karena itu informasi juga harus dapat
tersaji ke dalam bentuk-bentuk yang memungkinkan pemanfaatan oleh
organisasi yang bersangkutan.

Universitas Sumatera Utara

5. Ketepatan waktu. Informasi harus tersedia tepat pada waktunya. Terutama
pada saat organisasi membutuhkan informasi ketika manajer hendak
membuat keputusan-keputusan krusial.
6. Keandalan. Informasi harus diperoleh dari sumber-sumber yang dapat
diandalkan kebenarannya. Pengolahan data atau pemberi informasi harus
dapat menjamin tingkat kepercayaan yang tinggi atas informasi yang
disajikan.
7. Akurasi. Informasi bersih dari kesalahan dan kekeliruan. Ini juga berarti
informasi harus jelas secara akurat mencerminkan makna yang terkandung
dari data pendukungnya.
8. Konsisten. Informasi tidak boleh mengandung kontradiksi di dalam
penyajian karena konsistensi merupakan syarat penting bagi dasar
pengambilan keputusan.
2.3.4 Pengertian Sistem Pelayanan Informasi
Pelayanan informasi adalah penyampaian berbagai informasi kepada
sasaran agar individu dapat mengolah dan memanfaatkan informasi tersebut demi
kepentingan hidup dan perkembangannya. Jadi pengertian sistem pelayanan
informasi di sini adalah suatu satuan (entity) yang terdiri dari dua komponen atau
lebih maupun subsistem yang terjalin satu sama lain untuk mencapai tujuan yaitu
kepuasan pengguna dengan jalan memberikan pelayanan informasi sesuai
keperluan pengguna baik melalui index, fulltext, dan hypertext (Lasa, 2005).
2.4 Perizinan
Perizinan

pada dasarnya merupakan suatu instrumen kebijakan yang

dilakukan oleh pemerintah dalam upaya mengatur kegiatan-kegiatan yang

Universitas Sumatera Utara

memiliki peluang menimbulkan gangguan bagi kepentingan umum melalui
mekanisme perizinan, pemerintah daerah dapat melakukan pengendalian yang
mungkin ditimbulkan oleh aktivitas sosial maupun ekonomi, mengalokasikan
barang publik secara efisien dan adil, mencegah asimetris informasi, dan
perlindungan hukum atas kepemilikan dan penyelenggara kegiatan. Kebijakan
perizinan harus didasarkan pada prinsip bahwa kegiatan yang berpeluang
menimbulkan gangguan pada dasarnya, kecuali memiliki izin terlebih dahulu dari
pemerintah atau instansi yang berwenang(Suhirman, 2002:24).
Perizinan berkaitan dengan aktivitas pengawasan terhadap aktivitas yang
menjadi objek perizinan. Pengawasan terhadap investasi sebagai aktivitas objek
perizinan akan mencakup 3 (tiga) aspek, yaitu: pemberi izin (aparat perizinan),
pelaku investasi (subjek perizinan), dan aktivitas investasi (objek perizinan).
Ketiga aspek dalam perizinan tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Pengawasan terhadap pemberi izin harus diartikan sebagai kebutuhan
untuk membenahi kondisi birokrasi, dengan melakukan pengawasan
secara intensif dan efektif terhadap aparat pemerintahan.
2. Subjek perizinan (pelaku investasi) juga menjadi faktor yang sangat
menentukan untuk memperkuat sistem pengawasan birokrasi itu
sendiri. Pelaku investasi harus memiliki visi investasi yang jelas dalam
kaitannya dengan kemanfaatan publik (public benefit) dari investasi
yang ditanamkan. Grand design mengenai peta investasi diharapkan
dapat ditempatkan dalam suatu strategi investasi yang mampu
meresistensi langkah-langkah pragmatis dalam investasi yang selalu

Universitas Sumatera Utara

berorientasi profit tanpa meninjau dari segi kemanfaatannya bagi
publik dan negara.
3. Aktivitas investasi harus dapat dilakukan secara mudah sejauh telah
dipenuhi syarat-syarat dalam perizinan, antara lain syarat yang
menyangkut investasi berwawasan lingkungan dan bersifat padat
karya. Wawasan lingkungan diperlukan agar investasi yang dilakukan
tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Sedangkan harus bersifat
padat karya artinya mampu membuka lapangan kerja bagi tenaga kerja
lokal.
Pertimbangan yang harus dimasukkan dalam penetapan suatu perizinan
(tujuan perizinan) yaitu:
a. Melindungi kepentingan umum (public interest)
b. Menghindari eksternalitas negatif
c. Menjamin pembangunan sesuai rencana, serta standar kualitas minimum
yang ditetapkan
Suhirman (2002:26) menyatakan bahwa sebagai instrumen pengendalian,
perizinan memerlukan rasionalitas yang jelas dan tertuang dalam bentuk
kebijakan pemerintah sebagai sebuah acuan. Perizinan pada dasarnya dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Lisensi (license) yaitu izin yang diperlukan untuk suatu kegiatan tertentu
yang tidak memerlukan ruang misalnya SIUP, izin prinsip, izin trayek,
SIM, dan lainnya
2. Izin (permit) yaitu izin yang berkaitan dengan lokasi serta pemanfaatan
dan kualitas ruang, misalnya izin lokasi; izin pemanfataan ruang, misalnya

Universitas Sumatera Utara

Surat Izin Tempat Usaha (SITU); lingkungan, misalnya AMDAL, HO,
konstruksi misalnya IMB, khusus pemanfataan SDA misalnya SIPA.
2.5 Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik
(SPIPISE)
Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi merupakan suatu
sistem berbasis web yang disusun berdasarkan prosedur-prosedur dan memakai
standarisasi khsusus yang bertujuan menata sistem pelayanan dan perizinan
investasi sehingga tercapai tertib administrasi di bidang pelayanan perizinan dan
juga membantu bagi petugas di jajaran Pemerintah Daerah khususnya Dinas
Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) dalam
menyelenggarakan layanan perizinan.
Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik
(SPIPISE) adalah sistem elektronik pelayanan perizinan dan nonperizinan yang
terintegrasi antara Badan

Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)

dan

Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang memiliki kewenangan
perizinan dan non perizinan, PDPPM (Perangkat Daerah Provinsi bidang
Penanaman Modal), dan PDKPM (Perangkat Daerah Kabupaten/Kota bidang
Penanaman Modal). SPIPISE pada hakikatnya adalah sistem elektronik pelayanan
perizinan investasi yang terintegrasi antara BKPM dengan daerah (dalam hal ini
adalah BPMPPT), sehingga proses pelayanan perizinan investasi yang
diselenggarakan oleh BPMPPT (Badan Penanaman Modal dan Pelayanan
Perizinan Terpadu) langsung dapat diakses dan terpantau oleh pemerintah.
Implementasi Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara
Elektronik (SPIPISE) diatur di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007

Universitas Sumatera Utara

tentang Penanaman Modal dan Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu serta Peraturan Kepala BKPM
Nomor 4 Tahun 2014 tentang Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi
Secara Elektronik.
Portal SPIPISE merupakan gerbang informasi dan layanan perizinan serta
nonperizinan penanaman modal Indonesia yang berbentuk piranti lunak.Karena
berbasis situs (website) sehingga mudah diakses oleh siapa saja, tidak seluruh
informasi yang disajikannya terbuka bebas. Hal ini untuk menjamin kerahasiaan
data dan informasi perusahaan, sehingga kepada masyarakat (terutama investor)
yang ingin memanfaatkan SPIPISE lebih jauh akan diberi hak akses sesuai tingkat
kebutuhannya. SPIPISE bertujuan untuk mewujudkan;
a. Penyelenggaraan pelayanan informasi di bidang penanaman modal;
b. Penyelenggaraan pelayanan perizinan dan

nonperizinan di bidang

penanaman modal secara elektronik;
c. Pelayanan perizinan dan non perizinan di bidang penanaman modal yang
mudah, cepat, tepat, transparan, dan akuntabel;
d. Integrasi informasi data pelayanan perizinan dan nonperizinan di bidang
penanaman modal; dan
e. Keselarasan kebijakan dalam pelayanan perizinan dan nonperizinan
penanaman modal antarsektor dan pusat dengan daerah
Untuk dapat menggunakan SPIPISE, masyarakat/penanam modal terlebih
dahulu mengajukan hak akses secara langsung ke BKPM maupun instansi
penanaman

modal

tingkat

provinsi

dan

kabupaten/kota

yang

telah

mengoperasikan SPIPISE.Penanam modal harus membawa dokumen berupa

Universitas Sumatera Utara

tanda pengenal pemohon berupa KTP/paspor; bukti sebagai pimpinan perusahan
atau badan usaha atau koperasi. Dalam hal penanam modal tidak dapat
mengajukan langsung hak akses ke BKPM, PDPPM, atau PDKPM, penanam
modal dapat menunjuk pihak lain dengan memberikan surat kuasa asli bermeterai
cukup yang dilengkapi identittas diri yang jelas dari penerima kuasa.
SPIPISE terdiri dari 3 (tiga) menu utama pada tampilan website-nya, yaitu:
Informasi Penanaman Modal, Pelayanan Penanaman Modal, dan Pendukung.
Pada menu Informasi Penanaman Modal menyediakan beberapa informasi, antara
lain; (a) panduan penanaman modal; (b) direktori PTSP di bidang penanaman
modal; (c) data realisasi penanaman modal yang disediakan untuk publik; (d)
peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal; (e) potensi dan
peluang penanaman modal melalui sistem informasi potensi investasi daerah
(SIPID); (f) jenis, persyaratan teknis, mekanisme penelusuran posisi dokumen
pada setiap proses, biaya dan waktu pelayanan; (g) tata cara layanan pengaduan
penanaman modal; (h) pelayanan informasi publik kepada masyarakat; (i) data
referensi yang digunakan dalam pelayanan perizinan dan nonperizinan di bidang
penanaman modal; (j) penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan penanaman
modal; (k) seluruh informasi yang bersifat publik dan berkaitan secara langsung
maupun tidak langsung dengan penanaman modal yang dikelola oleh BKPM.
Pada menu Pelayanan Penanaman Modal terdiri dari sistem elektronik,
antara lain; (a) pelayanan perizinan dan nonperizinan di bidang penanaman
modal; (b) pelayanan penyampaian LKPM; (c) pelayanan pencabutan serta
pembatalan perizinan dan nonperizinan; (d) integrasi data antara SPIPISE dan
sistem pada instansi teknis dan/atau instansi terkait dengan penanaman modal; (e)

Universitas Sumatera Utara

penelusuran proses penerbitan perizinan dan nonperizinan di bidang penanaman
modal (online tracking system); (f) jejak audit (audit trail).
Pada menu pendukung terdiri dari sistem elektronik, yaitu; (a) pengaturan
penggunaan jaringan elektronik; (b) pengelolaan keamanan sistem elektronik dan
jaringan elektronik; (c) pengelolaan informasi yang ditampilkan dalam SPIPISE;
(d) pengaduan terhadap pelayanan perizinan dan nonperizinan dan masalah dalam
penggunaan SPIPISE; (d) pelaporan perkembangan penanaman modal dan
perangkat analisis pengambilan keputusan yang terkait dengan penanaman modal;
(f) pengelolaan pengetahuan sebagai pendukung analisis dalam pengambilan
putusan pengembangan kebijakan penanaman modal; (g) penyediaan panduan
penggunaan SPIPISE.
2.6 Definisi Konsep
Konsep adalah suatu hasil pemaknaan dalam intelektual manusia yang
memang merujuk ke gejala nyata ke dalam empirik.Konsep adalah sarana
merujuk kedua empiris, dan bukan merupakan refleksi sempurna (mutlak) dunia
empiris bahkan konsep bukanlah dunia empiris itu sendiri.
Untuk memberikan batasan yang jelas tentang penelitian yang akan
dilakukan maka penulis mendefinisakan konsep-konsep yang digunakan sebagai
berikut:
a. Implementasi kebijakan adalah penerapan dari keputusan yang telah
dibuat oleh pemerintah, yang diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan dalam keputusan kebijakan sebelumnya dengan masyarakat
sebagai objeknya. Model George Edward menjadi indikator dalam
mengukur implementasi kebijakan, antara lain:

Universitas Sumatera Utara

1. Komunikasi
2. Sumberdaya
3. Disposisi
4. Struktur Birokrasi
b. Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik
(SPIPISE) adalah kebijakan pemerintah dalam bidang pelayanan
perizinan dan nonperizinan dan ditujukan untuk memudahkan pelayanan
kepada masyarakat.
c. Implementasi Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara
Elektronik (SPIPISE) merupakan tindakan yang diambil oleh pemerintah
untuk mencapai tujuan dalam menata sistem pelayanan perizinan dan
nonperizinan yang mudah, cepat, tepat, transparan, dan akuntabel dan
juga membantu bagi petugas di jajaran pemerintah daerah khususnya
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP)
dalam menyelenggarakan pelayanan perizinan dan nonperizinan.
2.7 Hipotesis Kerja
Sejalan dengan teorinya George Edward III maka penulis merumuskan
hipotesis kerja yaitu “Implementasi Kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan
Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Dinas Penanaman Modal dan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Pematangsiantar meliputi
elemen-elemen Komunikasi, Sumber Daya, Disposisi, dan Struktur Birokrasi”.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Sosialisasi Sistem Pelayanan Informasi Dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) Pada Kantor Penanaman Modak Di Kota Cimahi

3 50 67

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU SATU PINTU DI BIDANG PENANAMAN MODAL DALAM RANGKA MENINGKATKAN IKLIM INVESTASI DI KOTA SURAKARTA.

0 0 9

Implementasi Kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Pematangsiantar

0 2 10

Implementasi Kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Pematangsiantar

0 0 1

Implementasi Kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Pematangsiantar

0 0 9

Implementasi Kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Pematangsiantar Chapter III V

1 7 77

Implementasi Kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Pematangsiantar

3 17 3

Sistem Pelayanan Perizinan SIUP dan TDP Secara Elektronik Melalui Aplikasi Sistem Informasi Manajemen Perizinan di Kantor Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Sragen - UNS Institutional Repository

0 0 16

Inovasi Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Boyolali - UNS Institutional Repository

0 0 14

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SISTEM PELAYANAN INFORMASI DAN PERIZINAN INVESTASI SECARA ELEKTRONIK (SPIPISE) DI KABUPATEN LEBAK

0 0 423