POLIGAMI DAN KETIDAKADILAN GENDER DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DI INDONESIA | Kholis | Al-Ahkam 1971 5449 2 PB

Al-Ahkam, 27 (2), 2017, 195-212

POLIGAMI DAN KETIDAKADILAN GENDER DALAM UNDANGUNDANG PERKAWINAN DI INDONESIA
Nur Kholis1, Jumaiyah2, Wahidullah3
Universitas Islam Nahdlatul Ulama (Unisnu), Jepara
e-mail: 1nurkholis@unisnu.ac.id; 2mayawahidah@unisnu.ac.id;
3wahidullah@unisnu.ac.id

Abstract
The article 4 clause 2 in the Act Number 1 Year 1974, mentioned that discrimination
against women (wife) potentially in increasing the divorce rates. It can be minimized by
creating a gender-based mindset, that will be the object of this research. This research
will use qualitative methods with normative juridical approach. This research found that:
firstly, that the Act Number 1 Year 1974 and its derivative laws such as Compilation of
Islamic Law (KHI), has not reach yet the Pancasila values and also justice and humanity
as the main mission of law. Secondly, the political configuration in the drafting of laws
and “black and white” in understanding of religious texts are contribute to creating
injustice. Thirdly, the justice is one of the goals of the law, so discrimination must be
eliminated. This research provides a recommendation that polygamy in article 4 clause 2
in the Act Number 1 Year 1974 must be removed, and become the principle of
monogamy absolutely.

[]
Diskriminasi terhadap perempuan (Isteri), sebagaimana tertuang pada Pasal 4 ayat 2 UU
No. 1 Tahun 1974, berpotensi menciptakan tingginya angka perceraian. Meminimalisasi
hal tersebut dengan membangun pemikiran berbasis keadilan gender merupakan
tujuan dalam penelitian ini. Adapun metode yang dipilih adalah kualitatif dengan
pendekatan yuridis-normatif. Hasil penelitian yang ditemukan; Pertama, bahwa UU No.
1 Tahun 1974 beserta perundang-undangan turunannya seperti KHI, masih jauh dari
nilai-nilai Pancasila dan misi utama hukum; yaitu nilai keadilan dan kemanusiaan.
Kedua, konfigurasi politik dalam produksi UU Perkawinan dan pemahaman teks agama
yang “hitam-putih” adalah kontributor terciptanya ketidakadilan. Ketiga, salah satu
tujuan hukum adalah keadilan, maka bentuk-bentuk diskriminasi harus dihapuskan.
Artikel ini merekomendasikan penghapusan poligami dalam pasal 4 ayat 2 UU No.1
Tahun 1974, dan menjadikan monogami bersifat mutlak.
Keywords:

marriage laws; gender inequity; polygamy

AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209


Volume 27, Nomor 2, Oktober 2017 ║195

Nur Kholis, Jumaiyah, Wahidullah

Pendahuluan
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang telah diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 (dan berlaku
secara efektif mulai tanggal 1 Oktober 1975) merupakan ijitihad hukum
bangsa Indonesia dalam menata keluarga Indonesia.1 Keberadaan hukum perkawinan ini juga ditegaskan sebagai aktualisasi nilai-nilai Pancasila,2 serta
sebagai kebutuhan yang mutlak adanya bagi negara dan bangsa Indonesia.3
Kata “mutlak” dalam memori penjelasan undang-undang tersebut memberikan penjelasan bahwa sebagai bangsa dan negara yang berdaulat
(merdeka), sudah seharusnya menata secara mandiri untuk warga negaranya
dan sistem hukumnya sesuai dengan prinsip-prinsip dan pegangan yang
berlaku bagi semua golongan dalam masyarakat Indonesia. Dengan kata lain,
Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia harus menjadi norma
hukum negara—termasuk khususnya terkait hukum perkawinan—dalam melakukan pembinaan hukum secara nasional dengan berbagai aspek; yaitu
meliputi subtansi, struktur maupun kultur.
Bagi masyarakat Indonesia, perkawinan sangat terkait dengan keyakinan
dan norma agama. Sekiranya Pasal 1 dari UU No. 1 Tahun 1974 memang telah
sejalan dengan falsafah Pancasila. Pasal tersebut menyebutkan:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Dari pasal tersebut dapat dipahami bahwa perkawinan di Indonesia
merupakan salah satu ritus atau praktik keagamaan, baik dalam prosesi
perkawinan maupun membinanya dikategorikan sebagai ibadah sosial. Konstruksi hukum yang dibangun dalam Pasal 1 tentang perkawinan ini dapat
memberikan kesan bahwa dengan ibadah/ritual berbentuk perkawinan maka
_______________
1Sesuai Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Undang-undang tersebut menjadi pengganti
dan sekaligus menyatakan tidak berlakunya perundangan-undangan peninggalan Belanda yaitu
KUH Perdata (BW) maupun peraturan lainnya tentang perkawinan. Lihat Soemiyati, Hukum
Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Yogyakarta: Liberty, 2007), h. 2.
2Sebagaimana dinyatakan dalam bagian “Menimbang” pada UU No. 1 Tahun 1974.
3Sebagaimana dinyatakan dalam “Penjelasan Umum” No. 1 pada UU No. 1 Tahun 1974.

196║ Volume 27, Nomor 2, Oktober 2017

AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209


Poligami dan Ketidakadilan Gender ….

kedua belah pihak dapat mencapai kehidupan yang kekal dan bahagia
berdasarkan orientasi tertinggi agama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan tidak hanya orientasi sekularisme semata, melainkan juga orienttasi asketisme dapat dirasakan kehadirannya.
Hal ini berbeda dengan konsep perkawinan KUH Perdata (Burgerlijk
Wetboek), khususnya sebagaimana pada ketentuan Pasal 26 KUHPerdata
(Burgerlijk Wetboek) yang memandang perkawinan hanya sebatas hubungan
keperdataan belaka.4 Misalnya buku I titel 5 Pasal 30 NBW berbunyi “De Wet
beschouwt het huwelijk alleen in zijn burgerlijke betrekkingen” (Undang-undang
memandang perkawinan hanya sebagai hubungan keperdataan semata).5
Bahkan, sebagaimana dinyatakan Djaja S. Meliala, bahwa hidup bersama di
Negara Belanda tanpa nikahpun dapat dicatatkan di hadapan pegawai
pencatat.6
Bukanlah sesuatu yang asing jika dikatakan bahwa hukum selalu hadir
dengan sarat muatan kepentingan.7 Sebagaimana pernyataan Sinzheimer,
bahwa hukum tidak lahir dan bergerak dari ruang yang hampa dan berhadapan
dengan hal-hal yang abstrak, melainkan ia selalu berada dalam suatu tatanan
sosial tertentu dan manusia-manusia yang hidup.8 Maka dapat diperkirakan
kiranya bahwa kehadiran UU No. 1 Tahun 1974 tidak terlepas dari muatan

kepentingan, baik kepentingan individu maupun kelompok. Jika memang benar
demikian, melihat proses dinamisasi produksi perundang-undangan, dapat
dikatakan bahwa setiap produk hukum telah “cacat” sejak lahir.
Mencermati Pasal 4 UU No. 1 Tahun 1974 tentang ketentuan pemberian
izin oleh Pengadilan terhadap suami untuk beristri lebih dari seorang
(poligami), rasanya dapat ditemui adanya aroma ketidakadilan di dalamnya.
Pasal tersebut menyatakan:
_______________
4R. Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Edisi Revisi, Burgerlijk
Wetboek (Jakarta: Pradnya Paramita, 1995), h. 8.
5Djaja S. Meliala, Hukum Perdata dalam perspektif BW (Bandung: Nuansa Aulia, 2013), h. 49.
6Djaja S. Meliala, Hukum Perdata dalam perspektif BW, h. 49.
7Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2010), h. 2.
8Esmi Warasih, Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis (Semarang: Suryadaru Utama, 2005), h.
3.

AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209

Volume 27, Nomor 2, Oktober 2017 ║197


Nur Kholis, Jumaiyah, Wahidullah

“Pengadilan dimaksud pada ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin
kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
(a) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
(b) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
(c) istri tidak dapat melahirkan keturunan.”
Artikel ini merupakan hasil penelitian kualitatif terhadap dokumen
Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974. Adapun pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan yuridis-normatif untuk menganalisis konteks
ketidakadilan gender dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, utamanya pasal 4 yang memuat ketentuan poligami.
Ketidakadilan Gender dan Konfigurasi Politik UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan
Untuk menjawab permasalahan ketidakadilan dalam Undang-Undang
Perkawinan di Indonesia, tulisan ini menggunakan analisis teori feminisme.
Sebagaimana dijelaskan Akhyar Yusuf Lubis, feminisme adalah paradigma
atau sebagai kajian sekaligus metodologi yang bertujuan untuk mengungkap
realitas sosial, budaya, politik dan sebagainya yang terdapat ketimpangan
gender, relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan, ketertindasan

perempuan, stereotipe yang tidak benar yang dilekatkan kepada kaum
perempuan.9 Bukan hanya sebagai kajian ataupun metodologi, feminisme juga
sebagai gerakan, ia memiliki tujuan (kepentingan). Ada beberapa tujuan yang
hendak dicapai dalam gerakan feminisme, yaitu: 1) Menyediakan informasi
dan analisis mengenai kehidupan kaum perempuan; 2) Mengupayakan perubahan serta menghilangkan ketidaksetaraan gender dan subordinasi kaum
perempuan; 3) Menjadikan kritik terhadap ilmu yang telah ada; 4) Mem_______________
9Akhyar Yusuf Lubis, Pemikiran Kritis Kontemporer: Dari Teori Kritis Hingga Multikulturalisme
(Jakarta: Rajawali Press, 2015), h. 95. Feminisme adalah gerakan yang memperjuangkan kesetaraan
gender. Kajian feminisme membedakan antara kategari seks dan gender. Seks adalah perbedaan
alamiah antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan gender perbedaan tidak alamiah melalui proses
sosial dan kultur panjang, yang cenderung mensubordinasikan dan menindas kaum perempuan.
Mustafied (ed.), Kontekstualisasi Turast; Telaah Regresif dan Progresif (Surabaya: De-aly, 2009), h. 8283. Sementara Nasarudin Umar menyatakan bahwa gender adalah laki-laki dan perempuan dari
sudut non-biologis. Nasarudin Umar, Argumentasi Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an (Jakarta:
Paramadina, 1999), h. 35.

198║ Volume 27, Nomor 2, Oktober 2017

AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209


Poligami dan Ketidakadilan Gender ….

perlihatkan perempuan sebagai perspektif mengenai ilmu pengetahuan yang
sebelumnya belum terlibat.10
Mansour Fakih,11 mendeskripskan perbedaan gender tersebut dengan menyatakan:
“Sebenarnya perbedaan gender bukanlah menjadi masalah, sepanjang tidak
melahirkan ketidakadilan gender, persoalannya perbedaan gender telah
melahirkan berbagai ketidakadilan...”

Ketidakadilan gender yang dimaksud termanifestasikan dalam beragam
bentuk. Pertama, terjadi marginalisasi (terutama pemiskinan ekonomi) terhadap perempuan. Kedua, terjadinya subordinasi pada salah satu jenis
kelamin, umumnya kepada kaum perempuan. Ketiga, pelabelan negatif
(strereotype) terhadap jenis kelamin tertentu, yang berakibat diskriminasi dan
berujung ketidakadilan. Keempat, kekerasan terhadap jenis kelamin tertentu,
umumnya terhadap perempuan. Kelima, beban kerja lebih panjang dan lebih
banyak (double burden). Semua manifes ketidakadilan gender di atas saling
terkait dan tersosialisasi dengan kuat sehingga menjadi konstruksi sosial dan
akhirnya dipahami menjadi kodrat.12
Berangkat dari ketidakadilan gender yang termanifestasikan dalam berbagai tindakan, maka tatanan hukum pun terbuka menjadi ruang ketidakadilan. Salah satunya adalah Undang-Undang Perkawinan. Seperti dinyatakan
Mahfud MD,13 bahwa produk hukum sangat dipengaruhi oleh konfigurasi

politik yang ada, karena ia memiliki energi lebih dibanding hukum itu sendiri.
Dengan demikian, apabila konfigurasi politik berpola otoriter maka ia akan
_______________
10Gerakan ini dimulai sekitar tahun 1830-1920, sebagai gelombang Pertama, tokohnya yaitu
Mary Wallstonescraft, Sojourner Truth, Elizabeth Candy Stanton dan Juane Ines. Gerakan pada
gelombang pertama titik tekannya pada penuntutan pada hak suara dan perjuangan sipil bagi
perempuan, dengan latar belakang faktor ketidakadilan dan ketertindasan serta upaya mengubah
situasi kondisi. Gelombang kedua, dimulai awal 1920 s.d 1960/1970, ia merupakan kelanjutan yang
pertama, dengan upaya menghasilkan teori-teori baru, berdasarkan pengalaman dan harapan kaum
perempuan dan juga dipengaruhi oleh teori kritis. Tokohnya antara lain Simon de Baouvoir, Betty
Friedan, Kate Millet dan Germaine Greer. Adapun feminisme gelombang ketiga dimulai pasca 1960an/1970-an dengan pengaruh kuat dari teori postmodernisme dan poststrukturalisme. Tokoh
gelombang ketiga yaitu: Helen Cixous, Luce Iragaray dan Yulia Kristeva. Lihat Akhyar Yusuf Lubis,
Pemikiran Kritis Kontemporer , h. 96-100.
11Mansour Fakih, Analisis Gender dan Trasformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 12.
12Ibid., h. 71-76.
13Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo, 2009), h. 20-22.

AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209


Volume 27, Nomor 2, Oktober 2017 ║199

Nur Kholis, Jumaiyah, Wahidullah

melahirkan produk hukum berwatak represif. Demikian halnya jika konfigurasi politiknya bias gender, maka ketidakadilan gender sangat potensial
tercipta. Variabel dominasi laki-laki yang begitu kuat dan ditambah pemahaman teks keberagamaan yang dipengaruhi pola diskriminatif dan berketidakadilan gender sangat menentukan produk hukum yang kemungkinan besar
juga berwatak tidak adil gender.
Kesejarahan proses penyusunan hingga penetapan Undang-Undang
Perkawinan yang memakan waktu lama, tidak bisa dilepaskan dari dinamika
perpolitikan di negeri ini. Ideologi pembangunan era Orde Baru14 menjadi
landasan pikir dan gerak untuk menciptakan stabilitas keamanan, ekonomi
dan politik, dan akhirnya diterima masyarakat sebagai kewajiban memberi
dukungan pada setiap aspek hukum. Sebagaimana disampaikan Mochtar
Kusuma Atmaja, ketika menjabat Menteri Kehakiman, hukum dapat berfungsi
sebagai sarana pembangunan (law as a tool of development), artinya hukum
difungsikan sebagai alat atau sarana untuk mengatur pembangunan.15 Teori
ini mengacu pada teori Roscou Pound16 yang menjelaskan bahwa hukum
memiliki tugas sebagai kontrol sosial dan sebagai pengubah masyarakat (law
as a tool of social engineering). Alat pengubah masyarakat yang dimaksud oleh
Pound adalah suatu proses mekanik. Hal itu terlihat dengan adanya perkembangan industri dan traksaksi-transaksi bisnis yang memperkenalkan

nilai dan norma baru, yang menjadi “pengubah” di tangan hakim melalui interpretasi ketika mengadili kasus secara seimbang (balance).17
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan
bagian penting dalam pembangunan untuk diwujudkan oleh Pemerintah
_______________
14Suriansyah Murhaini, Hukum dan Sejarah Hukum: Pengantar Singkat Memahami Sejarah
Hukum Indonesia (Yogyakarta: LaksBang Pressindo, 2016), h. 146.
15Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif Rekonstruksi terhadap Teori Hukum Pembangunan
dan Teori Hukum Progresif (Yogyakarta: Genta Publishing, 2014), h. 59-60.
16Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: Rajawali Press, 1987), h. 35-38.
Dijelaskan bahwa Roscoe Pound (1870-1964) yang mempopulerkan Amirika Serikat tentang aliran
Sociological Jurisprudence. Aliran ini dipelopori oleh Eugen Ehrlich (1826-1922) melalui karyanya
Fundamental Princiles of the Sosiologi of Law, yang menyatakan bahwa, “tata tertib dalam masyarakat
didasarkan pada peraturan-peraturan yang dipaksakan oleh negara”. Di samping itu Pound juga
dipengaruhi oleh pemikiran social utilitarianisme Rudolph von Ihering (1818-1892) yang menganggap bahwa hukum merupakan alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya.
17Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum (Jakarta: Media Grafika, 2017), h. 24.

200║ Volume 27, Nomor 2, Oktober 2017

AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209

Poligami dan Ketidakadilan Gender ….

Soeharto; di samping GBHN 1973. Dalam pidato kenegaraan pada tanggal 16
Agustus 1973, Soeharto menyatakan:
“Dalam membina keluarga yang berbahagia sangatlah perlu usaha yang
sungguh-sungguh untuk meletakkan perkawinan sebagai ikatan suami istri
atau calon suami istri dalam kedudukannya yang semestinya dan suci, seperti
yang diajarkan oleh agama yang kita anut masing-masing dalam negara yang
berdasarkan Pancasila ini. Karena itu, sudah seharusnya apabila negara memberi perlindungan yang selayaknya pada keselamatan perkawinan. Perlindungan yang diberikan kepada suami atau istri terhadap tujuan-tujuan yang
menyimpang dari keluhuran perkawinan.”18

Undang-Undang Perkawinan yang digadang-gadang oleh Pemerintah
Soeharto ternyata tidak semulus sebagaimana yang diharapkan. Sebulan
sebelum pengajuannya menjadi undang-undang, muncul reaksi keras dari
berbagai lapisan masyarakat Muslim berupa pernyataan penolakan atas RUU
tersebut. Banyak ulama, baik dari kalangan tradisonal maupun modernis, dari
Aceh sampai Jawa Timur, menolak RUU tersebut. Penolakan itu disampaikan
melalui beberapa media; khutbah di masjid-masjid, ceramah, pengajian, tulisan
di koran, demonstrasi-demonstrasi, dan surat pernyataan organisasi kemasyarakatan Islam.19
Isu “kristenisasi Indonesia” menjadi latar belakang penolakan terhadap
RUU tersebut. Di samping “isu akidah” penolakan juga dipicu oleh iklim politik
pada saat itu dimana kekalahan partai politik Islam dalam Pemilu 1971
dirasakan sebagai gejala depolitisasi Islam. Kecurigaan atas isu tentang kristenisasi sudah mencuat sejak tahun 1970-an terutama ketika dipicu pemberitaan media surat kabar di Timur Tengah yang pada waktu itu memberitakan bahwa berjuta-juta umat Islam di Indonesia masuk Kristen.20
Namun di saat bersamaan, komposisi dukungan terhadap “nasib perempuan” di dalam parlemen sangat minim. Bahkan pada masa itu boleh jadi
keberpihakan terhadap perempuan dapat dimaknai sebagai bentuk pertentangan terhadap ajaran agama (Islam). Para pemikir politik memang banyak yang
_______________
18Weinata Sairin dan J.M Pattiasina, Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dalam Perspektif
Kristen (Jakarta: Gunung Mulia, 1996), h. 200.
19Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (1966-1994), (Jakarta: Gema
Insani Press, 1996), h. 256.
20Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara, h. 256.

AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209

Volume 27, Nomor 2, Oktober 2017 ║201

Nur Kholis, Jumaiyah, Wahidullah

menulis tentang masalah perempuan, hanya saja dengan perspektif yang
memberikan legitimasi peran domestik perempuan, memberikan justifikasi
terhadap subordinasi serta ketidaktampakan perempuan di ranah publik (public
invisibility).21 Politik secara konsisten dapat dikatakan hanya ranah milik laki-laki
(male preserve). Hal yang demikian nyata-nyata memberikan legitimasi terhadap
peminggiran perempuan; dengan alasan ketidakmampuan perempuan, atau
tidak adanya kapasitas yang dimiliki oleh perempuan di bidang politik karena
kodratnya sebagai istri dan ibu rumah tangga.22
Selanjutnya dalam konfigurasi peta kekuatan politik pada waktu itu, terhadap produk hukum khususnya Undang-Undang Perkawinan, bahwa terdapat 2 (dua) alasan penolakan atasnya oleh umat Islam. Pertama, RUU
tersebut dinilai bertentangan ajaran Islam (hukum Islam) seperti sahnya perkawinan, prinsip monogami dan perkawinan antaragama. Kedua, masalah
kedudukan Peradilan Agama yang tidak disebutkan dalam RUU tersebut.
Dalam RUU tersebut hanya menyebutkan “Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum, hak pengadilan dan pengadilan.” Disinyalir hal ini terjadi karena
Departeman Agama tidak dilibatkan dalam peyusunan RUU tersebut.23
Dinamika24 dalam pembahasan RUU Perkawinan tersebut berakhir dengan kompromi antara Pemerintah dengan perwakilan umat Islam. RUU yang
semula berjumlah 73 pasal kemudian disempitkan menjadi 67 pasal.25 Maka
pada tanggal 22 Desember 1973 dalam sidang DPR akhirnya RUU tersebut
diterima dan disahkan oleh semua fraksi.
_______________
21Nalom Kurniawan, “Keterwakilan Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008”, dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 11 No. 4, Desember
2014, h. 714-736.
22Chusnul Mar’iyah, “Membaca Ulang Politik: Pendekatan Feminisme dan Metodologi Penelitian”,
Afirmasi; Jurnal Pengembangan Pemikiran Feminis, Vol. 02, Januari 2013, h. 239.
23Azyumardi Azra, dkk, Menteri-Menteri Agama RI; Biografi Sosial-Politik (Jakarta: INIS-PPIM,
1998), h. 5.
24Suasana pembahasan dan dinamika RUU Perkawinan dapat dibaca melalui beberapa sumber,
di antaranya: Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (1966-1994), (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996); Majalah Tempo, 8 September, 6 Oktober, 13 Oktober 1973, Panji
Masyarakat, No. 252, thn XX, 1 Agustus 1978. Risalah Resmi Rapat Pleno Terbuka ke-7 Pembahasan
RUU Perkawinan, selasa, 18 Agustus 1973 (penerbit DPR RI).
25Tentang penyempitan dari 73 menjadi 67 terdapat pasal yang dihapus dan adapula yang
dimasukkan pada item pasal yang sesuai. Pasal 14 mengenai Tata Cara Gugatan Perkawinan dan
Pasal 62 mengenai Pengangkatan Anak merupakan bagian dari pasal-pasal yang dihapus.

202║ Volume 27, Nomor 2, Oktober 2017

AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209

Poligami dan Ketidakadilan Gender ….

Dengan disahkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka
berlakulah peraturan tersebut secara nasional untuk masyarakat Indonesia,
yang tidak mengikat dalam penghapusan atas ketentuan peraturan perkawinan yang ada, seperti hukum Islam. Hal ini yang disampaikan Hazairin26dan
Soemiyati27 bahwa hukum perkawinan Islam masih dapat berlaku, sebagaimana diatur dalam Pasal 66 dan Pasal 2 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan:
“... dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh
telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.

Namun demikian,
“.. bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing
agamanya dan kepercayaannya.

Seiring dinamika yang berkembang, dan dalam “menjaga hubungan”
dengan kepentingan-kepentingan umat Islam, kemudian lahirlah UndangUndang No. 7 Tahun 1987 tentang Peradilan Agama, serta melalui Instruksi
Presiden No.1 Tahun 1991 serta berdasarkan SK. Menteri Agama No. 154
Tahun 1991 diterapkanlah Kompilasi Hukum Islam (KHI).28 KHI ini terdiri dari
Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, Buku III tentang Perwakafan.
Invertilitas sebagai Alasan Poligami: Refleksi Ketidakadilan Gender
Secara kodrati struktur organ biologis manusia baik laki-laki maupun
perempuan relatif berbeda, khususnya yang terkait dengan reproduksi, baik
sebagai laki-laki atau perempuan. Dalam kondisi normal keduanya dapat
saling melengkapi dengan dibuahi dan membuahi. Akan tetapi dalam kondisi
tidak normal keduanya menjadi rentan dengan risiko yang sama; yaitu terjadi
_______________
26Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h.10.
27Soemiyati,

Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Yogyakarta: Liberty,
2007), h. 2-3.
28Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1/1974 sampai KHI (Jakarta: Kencana, 2004), h. 27.

AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209

Volume 27, Nomor 2, Oktober 2017 ║203

Nur Kholis, Jumaiyah, Wahidullah

invertilitas (kemandulan). Invertilitas bukan hanya dapat dialami oleh
perempuan saja, akan tetapi juga dapat dialami oleh laki-laki.
Dengan demikian, berangkat dari kekurangan yang ada pada masingmasing pasangan perkawinan, terdapat ketentuan hukum yang tidak menguntungkan yang ditimpakan kepada salah satu pihak jika invertilitas yang
dialami istri menjadi alasan poligami. Sementara itu, tidak berakibat hukum
apapun jika kondisi yang sama dialami oleh suami. Pasal 4 Ayat 2 UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan:
“Pengadilan dimaksud pada ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin
kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
(a) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
(b) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

(c) istri tidak dapat melahirkan keturunan.”
Mencermati ketentuan perundang-undangan perkawinan di Indonesia
tersebut, muncul pertanyaan tentang keadilan dan kemanusiaan dalam
perspektif gender. Adilkah dan berkemanusiaankah ketentuan yang memenangkan salah satu pihak tersebut? Bagaimana cerminan amanat pada
Pasal 1 (yang mempertimbangkan aspek lahir dan batin sekaligus) jika
perkawinan karena sebab fisik semata dapat merubah ketentuan hukum yang
mendasar? Sementara perkawinan telah didefinisikan adalah bukan ikatan
lahir (fisik) semata tapi juga ikatan batin. Bukankan poligami yang diizinkan
karena cacat fisik seorang istri akan merusak ikatan batin yang bersangkutan
(terutama yang menjadi korban), sementara seorang istri tersebut sedang
tidak berdaya (tertindas) karena cacat fisik yang disandangnya? Bagaimana
jika yang mengalami cacat atau kekurangan fisik itu adalah seorang suami,
dapatkah putusan hukum pengadilan akan memutuskan hal yang sama atau
sepadannya?
Penindasan yang dilegalkan secara hukum dalam bentuk “poligami
sepihak” merupakan pintu masuk untuk menghilangkan makna dan marwah
perkawinan itu sendiri. Dan ketentuan semacam ini berpotensi menciptakan
kerancuan pemaknaan atas misi penciptaan keluarga bahagia berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Apa yang dinyatakan Pasal 4 Ayat 2 UU No.1 Tahun
1974 ini terkesan memahami perkawinan dari satu sudut pandang saja; yakni
204║ Volume 27, Nomor 2, Oktober 2017

AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209

Poligami dan Ketidakadilan Gender ….

kepentingan laki-laki. Perkawinan yang merupakan peristiwa yang sifatnya
sangat privat sekalipun ternyata masih didominasi laki-laki; alih-alih terjadi
kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam ranah publik. Nilainilai kemanusiaan, keadilan, kebijaksanaan, dan ketuhanan dalam sila-sila
Pancasila rasanya juga sulit ditemukan dalam pencermatan atas pasal tersebut.
Memperebutkan keadilan dan kemanusiaan memang merupakan isu yang
sensitif dan sarat polemik. Hal ini akan semakin menegang jika pandangan
yang digunakannya berbasis argumentasi teks keagamaan yang regresif serta
jumud. Ketidakadilan gender semacam ini seolah tersimpan dalam ruang
bawah sadar kolektif yang tidak bisa diungkit-ungkit lagi. Mempertanyakannya tidak jarang dianggap telah keluar dari common sense dari kehidupan
berbangsa, benegara dan beragama. Itu sebabnya, isu semacam ini kerapkali
tersembunyi dan terselubung dalam perhatian banyak kalangan, tidak
terkecuali dalam ranah putusan hukum sekalipun. Padahal dalam kenyataannya potensi kemampuan dan ketidakmampuan bereproduksi seseorang, baik
yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan, adalah sama. Keduaduanya memiliki peluang yang sama untuk bisa memiliki keturunan atau tidak.
Harapan mendapatkan keturunan dalam perkawinan adalah kewajaran,
karena itu fitrah, akan tetapi persoalan ketidakmampuan untuk “membuahi”
ataupun “dibuahi” menjadi tidak wajar jika hanya ditimpakan kepada
perempuan—yang dalam konteks perkawinan adalah sebagai istri.
Dalam sidang uji materiil UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di
Mahkamah Konstitusi, Pemerintah yang diwakili oleh Dirjen Bimas Islam
Departemen Agama, Nasaruddin Umar, 29 menyajikan data yang menunjukkan
poligami justru menjadi salah satu penyebab utama perceraian. Menurutnya,
catatan dari Pengadilan Agama di seluruh Indonesia pada 2004, terjadi 813
perceraian akibat poligami. Pada 2005 angka itu naik menjadi 879 dan pada
2006 melonjak menjadi 983.
“Data-data ini menunjukkan poligami justru melanggengkan dan menyebabkan perceraian. Poligami jadi penyebab utama bubarnya suatu perkawinan,…
juga menyebabkan terlantarnya perempuan dan anak-anak”.

_______________
29Nasarudin
Umar, “Poligami Justru
kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=78883.

AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209

Jadi

Penyebab

Perceraian”,

dalam

www.

Volume 27, Nomor 2, Oktober 2017 ║205

Nur Kholis, Jumaiyah, Wahidullah

Syarat izin dari istri yang harus diperoleh seorang suami untuk berpoligami, seperti yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan, dimaksudkan untuk menghindari dampak buruk poligami. Hal ini mengingat UndangUndang Perkawinan sama sekali tidak menutup pintu untuk berpoligami,
melainkan hanya mengatur syarat-syaratnya. Dalam praktiknya, Pengadilan
Agama cukup banyak mengeluarkan izin berpoligami. Fenomena hukum
semacam ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Perkawinan masih membuka jalan bagi seorang pria untuk memiliki istri lebih dari satu sepanjang
memenuhi syarat yang telah ditentukan.
Data menunjukan bahwa pada 2004, Pengadilan Agama seluruh Indonesia
mengeluarkan 800 izin poligami dari 1016 permohonan. Pada 2005 terdapat
803 izin dari 989 permohonan, dan pada 2006 terdapat 776 izin dari 1148
permohonan.30
Dari data tersebut, sekiranya perlu dianalisis bagaimana peran seorang
hakim, terutama di Pengadilan Agama, dalam merespon aturan hukum
perkawinan di Indonesia jika dikaitkan dengan isu kesetaraan gender. Hal ini
mengingat secara normatif segala keputusan hukum tentang perkawinan di
Pengadilan Agama selalu mengacu pada UU No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam (KHI) sebagai aturan pendukungnya. Bagaimana pula hubungan
antara pemahaman hakim Pengadilan Agama tentang gender dan aturan
hukum perkawinan. Pertanyaan inilah yang pernah menjadi basis penelitian
para pemerhati isu keadilan gender di Indonesia. Di antaranya adalah
Syarafuddin yang melakukan penelitian tentang persoalan tersebut di
Pengadilan Agama Surakarta.31
Menurut Syarafuddin, respon hakim Pengadilan Agama terkait isu kesetaraan gender dalam UU Perkawinan dan KHI memiliki dua bentuk. Pertama,
hakim Pengadilan Agama memiliki kecenderungan normatif dalam persepsinya
yang berhubungan dengan kedudukan suami-istri dalam rumah tangga yang
membawa konsekuensi hukum (yuridis). Kelompok kategori ini memahami
_______________
30Nasarudin Umar, “Poligami Justru Jadi Penyebab Perceraian”, dalam www.kemenag.go.
id/index.php?a=berita&id=78883.
31Syarafuddin, “Kesetaraan Gender dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam; Respon Hakim Pengadilan Agama Surakarta Tahun 2013”, Jurnal SUHUF, Vol. 26, No.
1, Mei 2014, h. 21-37.

206║ Volume 27, Nomor 2, Oktober 2017

AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209

Poligami dan Ketidakadilan Gender ….

dengan mendudukkan laki-laki sebagai kepala keluarga yang memberi nafkah
bagi keluarga justru memberikan kepastian hukum dalam konstruksi gender, di
mana laki-laki dan perempuan dapat saling membagi perannya. Dari sini tampak
peran hukum yang memberi kepastian di tengah perubahan sosial. Kedua,
hakim Pengadilan Agama yang secara umum mempersepsikan peran yang
cenderung lebih elastis antara suami dan istri dalam kehidupan keluarga.
Mereka tidak membagi peran antara suami-istri secara kaku pada hal-hal yang
berkaitan dengan urusan nafkah, rumah tangga, dan kewajiban mendidik anak.
Sebagian besar berpendapat bahwa kerjasama di antara keduanya justru lebih
baik, bukan atas dasar pembagian peran yang ketat.32
Sejatinya, tujuan perkawinan menurut Islam adalah agar seseorang mendapatkan ketenangan. Apabila dengan pernikahan seseorang menginginkan di
luar maksud tersebut, maka sudah tidak lagi sesuai dengan tujuan perkawinan.
Jika Undang-Undang Perkawinan membuka jalan bagi poligami dengan syarat
yang ketat, maka sudah sejalan dengan ajaran Islam. Namun keadilan hukum
juga perlu dijalankan di atas jalur kebijaksanaan, empati dan kepekaan terhadap sisi-sisi kemanusiaan. Kondisi invertilitas dan cacat fisik yang tidak
diinginkan akan menjadi pemicu rasa ketidakadilan jika dijadikan sebab
putusan pengadilan yang sepihak. Ibarat kata pepatah, putusan pengadilan
bagi seorang istri karena kondisi tersebut bagaikan “sudah jatuh tertimpa
tangga”. Aspek ketenangan yang menjadi tujuan utama perkawinan menjadi
tersisihkan.
Poligami memang tidak dilarang dalam Islam. Namun demikian, poligami
hanya boleh dilakukan apabila seorang pria bukan hanya mampu untuk
menghidupi istri-istrinya, tapi juga dapat berlaku adil dalam segala perlakuan
dalam pandangan istri-istrinya.
Kajian mengenai perkawinan Islam semestinya juga dilakukan dengan
pendekatan gender. Ide ini pernah dikemukakan oleh Musyafa’ah33 yang
menyorot secara kritis pola pembelajaran hukum perkawinan Islam dalam
dunia pendidikan di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa pembelajaran
_______________
32Syarafuddin, “Kesetaraan Gender dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974….”, h. 34.
33Nur Lailatul Musyafa’ah, “Studi Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Perspektif Gender”, AlHukama; The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 4 No. 2, Desember 2014, h. 410-429.

AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209

Volume 27, Nomor 2, Oktober 2017 ║207

Nur Kholis, Jumaiyah, Wahidullah

hukum perkawinan Islam —yang merupakan mata kuliah yang wajib dipelajari di Fakultas Syariah— masih sebatas dan cenderung merujuk kepada
pendapat-pendapat hukum mazhab klasik, Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam. Seiring perkembangan zaman dan meningkatnya dinamika kehidupan masyarakat serta pembaruan pemikiran hukum Islam, materi hukum perkawinan Islam perlu dikaji
lebih mendalam dengan berbagai pendekatan; salah satunya dengan pendekatan gender. Hal ini penting dilakukan karena telah banyak karya dari para
pemikir Muslim kontemporer yang merumuskan adanya pembaruan dalam
hukum perkawinan Islam demi tercapainya kesetaraan gender dalam perkawinan yang sesuai dengan perkembangan zaman. Misalnya, kajian
diperdalam dan diperluas dengan melakukan reinterpretasi teks al-Qur’an dan
Hadis tentang Hukum Perkawinan dengan pendekatan kontekstualisasi relasi
gender. Diharapkan adanya pembelajaran hukum perkawinan Islam dengan
pendekatan gender, konsepsi pemikiran hukum perkawinan dapat dibangun
secara kritis, tidak kaku, serta terbebas dari seksisme pemikiran.
Banyak kalangan pemerhati menilai bahwa Kompilasi Hukum Islam, yang
merupakan hukum “turunan” dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, juga memuat ambiguitas hukum dalam ketentuan-ketentuannya
tentang perempuan. Diantaranya adalah analisis gender Solikul Hadi yang
mengemukakan ambivalensi pada aturan pemerintah tentang perkawinan.34
Di satu sisi pemerintah mengakui legal capacity kaum perempuan, namun di
sisi lain justru mengukuhkan pembagian peranan berdasarkan jenis kelamin
(sex roles) secara kaku serta menguatkan stereotype terhadap perempuan.
Karena istri adalah seorang yang berjenis kelamin perempuan, maka perannya
dibatasi pada sektor domestik. Dan karena seorang suami berjenis kelamin
laki-laki, maka perannya adalah di sektor publik.
Dari paparan di atas dapat ditegaskan lagi bahwa KHI dan UU Perkawinan
dalam merumuskan peran, kedudukan, dan hak-hak perempuan sangat memperlihatkan konsep keluarga patriarki. Perempuan diposisikan subordinat
terhadap posisi laki-laki. Dampak sosial dari domestifikasi perempuan tersebut
menyebabkan perempuan tergeser dari penguasaan sumber daya ekonomi,
_______________
34Solikul Hadi, “Bias Gender dalam Konstruksi Hukum Islam di Indonesia”, Jurnal Palastren, Vol. 7,
No. 1, Juni 2014, h. 25-44.

208║ Volume 27, Nomor 2, Oktober 2017

AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209

Poligami dan Ketidakadilan Gender ….

sosial dan politik. Secara ekonomis ia tergantung pada suaminya, sedang peran
suami sebagai pencari nafkah lebih memungkinkannya untuk memiliki akses
sumber daya sosial, politik dan ekonomi. Karenanya, dengan memperhatikan
dampak sosial dan argumentasi-argumentasi di atas, sebagai upaya menegakkan keadilan dan persamaan hak sebagaimana yang diajarkan oleh Islam, maka
tatanan relasi gender dalam KHI yang merumuskan peran, kedudukan dan hakhak perempuan yang berbeda dengan laki-laki, perlu direkonstruksi.
Rekonstruksi yang dimaksud terutama perlu dilakukan dalam pemikiran
keagamaan. Hal ini mengingat fakta pemahaman keagamaan yang begitu
menentukan arah pemikiran dalam pelbagai sektor kehidupan lainnya. Lebihlebih pemikiran keagamaan Islam yang secara mayoritas mendominasi
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Disadari atau tidak, kecenderungan umum dalam pemaknaan teks agama
didominasi oleh pola pemaknaan secara literal dan karenanya mengabaikan
pemaknaan substansial. Kebanyakan teks dimaknai menurut makna lahiriahnya saja. Padahal, di dalam makna lahiriah tersebut tersembunyi pesan-pesan
fundamental yang ingin ditegakkan. Pesan fundamental agama yang berupa
keadilan dan kemaslahatan merupakan nilai-nilai moral universal yang perlu
ditegakkan. Pesan-pesan inilah yang seharusnya menjadi perhatian utama
ketika memaknai kembali teks-teks keagamaan untuk diaplikasikan dalam
menyikapi konteks-konteks yang sedang terjadi; bukan sepenuhnya berhenti
pada makna literalnya belaka.35
Dalam masalah pemukulan suami terhadap istri, misalnya, yang secara
lahiriah disebutkan oleh teks al-Qur’an surat al-Nisā’ ayat 34, pastilah
mengandung makna substansialnya. Pemukulan, dalam konteks ayat tersebut,
adalah satu bentuk dan cara memberikan pendidikan terhadap istri yang
“tidak taat” (nushūz) yang dalam konteks sosial waktu itu dibenarkan, karena
suami diposisikan sebagai qawwām atas istri. Cara tersebut dimaksudkan guna
menyelesaikan ketidakharmonisan antara mereka karena ia merupakan cara
dan dalam konteks tertentu. Oleh karena itu, cara tersebut bukanlah satusatunya cara dan dapat saja berubah dalam konteks yang lain.36
_______________
35Jonkenedi, “Rekonstruksi Kritis Pemikiran Gender dalam Islam”, YINYANG; Jurnal Studi Gender
& Anak, Vol. 4 No. 1, Januari-Juni 2009, h. 71-84.
36Ibid., h. 79.

AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209

Volume 27, Nomor 2, Oktober 2017 ║209

Nur Kholis, Jumaiyah, Wahidullah

Dalam masyarakat yang kesetaraan, keadilan, dan penghargaan terhadap
hak-hak asasi manusia dijunjung tinggi, maka dalam rangka menyelesaikan
suatu persoalan rumah tangga sekalipun, dilakukan melalui cara-cara yang
dialogis-demokratis dan menghargai martabat manusia. Ini adalah pesanpesan yang tersembunyi di balik makna lahiriah teks agama tersebut dan
merupakan substansi pandangan Islam.
Demikian juga persoalan poligami yang dinyatakan dalam al-Qur’an surat
al-Nisa’ ayat 3. Teks agama ini sering dimaknai bukan hanya secara lahiriyah,
tapi bahkan dimaknai secara sepotong-sepotong dengan memenggal dan
mengambil kalimat perintahnya saja (fankihū- ‫ ) وا‬tanpa memperhatikan
kalimat persyaratan sebelumnya; alih-alih dimaknai secara kontekstual dan
pendekatan sosio-historisnya. Padahal, semangat dari teks agama tersebut
menegaskan agar perhatian kepada anak yatim perlu lebih diintensifkan lagi
dengan seadil-adilnya. Sehingga jelas sekali bahwa diperbolehkannya poligami
dalam Islam adalah untuk menjunjung tinggi keadilan, bukan sebaliknya.
Untuk memahami lebih kritis atas persoalan pemahaman keagamaan ini,
mutlak memerlukan studi atau analisis tentang sejarah sosial, politik dan
ekonomi, tempat ayat-ayat tersebut muncul. Ilmu-ilmu al-Qur’an masih menyisakan teori-teori ini melalui apa yang dikenal dengan istilah “asbāb alnuzūl”, dan lebih dari itu, adalah apa yang diistilahkan al-Shāṭibi dengan
“muqtaḍayāt al-aḥwāl” (konteks sosial) dan “al-’ādat” (tradisi-tradisi) Arab.37
Kesimpulan
Hasil yang ditemukan dari kajian dalam artikel ini dapat disimpulkan ke
dalam tiga pernyataan pokok. Pertama, bahwa UU No. 1 Tahun 1974 beserta
perundang-undangan turunannya seperti KHI, masih jauh dari nilai-nilai
Pancasila dan misi utama hukum; yaitu nilai keadilan dan kemanusiaan.
Kedua, konfigurasi politik dalam produksi UU Perkawinan dan pemahaman
teks agama yang “hitam-putih” adalah kontributor terciptanya ketidakadilan.
Ketiga, salah satu tujuan hukum adalah keadilan, maka bentuk-bentuk
diskriminasi harus dihapuskan. Itu sebabnya, pasal 4 UU No. 1 Tahun 1974
_______________
37al-Shāṭibī, al-Muwāfaqāt fī Uṣīl al-Sharī’ah (Kairo: Maktabah Tijariyah Kubra), h. 347-351.

210║ Volume 27, Nomor 2, Oktober 2017

AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209

Poligami dan Ketidakadilan Gender ….

selayaknya dihapus atau tidak berlaku lagi, sehingga konsekuensinya adalah
asas monogami bersifat mutlak.[a]

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin, Sosiologi Hukum, Jakarta: Media Grafika, 2017.
Atmasasmita, Romli, Teori Hukum Integratif Rekonstruksi terhadap Teori
Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Yogyakarta: Genta
Publishing, 2014.
Azra, Azyumardi, dkk, Menteri-menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik,
Jakarta: INIS-PPIM, 1998.
Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Trasformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2013.
Hadi, Solikul, “Bias Gender dalam Konstruksi Hukum Islam di Indonesia”,
dalam Jurnal Palastren, Vol. 7 No. 1, Juni 2014.
Jonkenedi, “Rekonstruksi Kritis Pemikiran Gender dalam Islam”, YINYANG;
Jurnal Studi Gender & Anak, Vol.4 No.1, Januari-Juni 2009.
Kurniawan, Nalom, “Keterwakilan Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008”,
Jurnal Konstitusi, Vol.11 No.4, Desember 2014.
Lubis, Akhyar Yusuf, Pemikiran Kritis Kontemporer; Dari Teori Kritis Hingga
Multikulturalisme, Jakarta: Rajawali Press, 2015.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2014.
Mar’iyah, Chusnul, “Membaca Ulang Politik: Pendekatan Feminisme dan
Metodologi Penelitian”, Afirmasi; Jurnal Pengembangan Pemikiran
Feminis, Vol. 02, Januari 2013.
MD, Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo, 2009.
Meliala, Djaja S., Hukum Perdata dalam Perspektif BW, Bandung: Nuansa Aulia,
2013.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Universitas Atmajaya,
2010.
Murhaini, Suriansyah, Hukum dan Sejarah Hukum: Pengantar Singkat Memahami Sejarah Hukum Indonesia, Yogyakarta: LaksBang Pressindo, 2016.
Mustafied (ed.), Kontekstualisasi Turast; Telaah Regresif dan Progresif,
Surabaya: De-aly, 2009.
AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209

Volume 27, Nomor 2, Oktober 2017 ║211

Nur Kholis, Jumaiyah, Wahidullah

Musyafa’ah, Nur Lailatul, “Studi Hukum Perkawinan Islam di Indonesia
Perspektif Gender”, Al-Hukama; The Indonesian Journal of Islamic Family
Law, Vol 4 No.2, Desember 2014.
Nuruddin, Amir dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia;
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1/1974
sampai KHI, Jakarta: Kencana, 2004.
Sairin, Weinata dan J.M Pattiasina, Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan
dalam Perspektif Kristen, Jakarta: Gunung Mulia, 1996.
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan,
Yogyakarta: Liberty, 2007.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI press, 1986.
________, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 1987.
________, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014.
Subekti, R., dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Edisi
Revisi Burgerlijk Wetboek, Jakarta: Pradnya Paramita, 1995.
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Sumitro, Ronny Hanitiyo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1994.
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum; Suatu Pengantar, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1997.
Syarafuddin, “Kesetaraan Gender dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974
dan Kompilasi Hukum Islam; Respon Hakim Pengadilan Agama
Surakarta Tahun 2013”, Jurnal SUHUF, Vol. 26, No. 1, Mei 2014.
al-Shāṭibi, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Sharī’ah, Kairo: Maktabah Tijāriyah Kubrā,
2000.
Thaba, Abdul Aziz, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (1966-1994),
Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Umar, Nasarudin, Argumentasi Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an, Jakarta:
Paramadina, 1999.
________, “Poligami Justru Jadi Penyebab Perceraian”, http://www.kemenag.
go.id/index.php?a=berita&id=78883
Warasih, Esmi, Pranata Hukum; Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang:
Suryadaru Utama, 2005.

212║ Volume 27, Nomor 2, Oktober 2017

AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209