Hubungan Internasional Abad ke 21 Sebuah

Hubungan Internasional Abad ke-21: Pengantar Studi
Oleh Asep Setiawan

Pendahuluan
Hubungan internasional abad ke-20 ditandai dengan polarisasi dunia menjadi dua
kutub raksasa yakni Blok Barat dan Timur. Blok Barat merupakan aktualisasi ajaran
liberalisme dan kapitalisme. Setelah Perang Dunia II, Blok Barat dipimpin Amerika Serikat
yang menghendaki ajaran komunis yang dibawa Blok Timur tidak menguasai dunia.
Kemudian muncullah model bipolar dengan kelahiran konsep balance of power (perimbangan
kekuatan).
Penemuan Bom Atom di akhir Perang Dunia II dan penggunaannya oleh Amerika
Serikat telah mendorong Blok Timur yang kemudian dipimpin Uni Soviet berusaha
mendapatkan teknologi tersebut. Tahun 1945, Amerika Serikat memiliki supremasi dalam
bidang senjata strategis. Namun sejak 1949, Uni Soviet telah membuktikan keunggulannya
dengan memiliki senjata nuklir seperti halnya Amerika Serikat. Maka lahirlah suasana Perang
Dingin dimana persaingan ideologi antara AS dan Soviet menghindari bentrokan langsung
karena risiko perang nuklir.
Menurut Juwono Sudarsono, tahun 1989-1990, Perang Dingin berakhir dengan
runtuhnya tembok Berlin pada 9 November 1989 serta menyatunya Jerman Barat dan Timur
pada 3 Oktober 1990.1 Perkembangan itu disusul dengan bubarnya Uni Soviet pada 25
Desember 1991 bersamaan dengan mundurnya Mikhail Gorbachev sebagai kepala negara.

Pasca Perang Dingin disebutkan Juwono telah melahirkan sedikitnya empat hal
penting dalam hubungan internasional. Pertama, hubungan internasional ditandai dengan
ikhtiar memelihara persatuan dan kesatuan bangsa menghadapi lingkungan internasional
yang lebih kabur, lebih tidak menentu dan lebih mengandung kompetisi meraih akses pada
ilmu, modal dan pasar di negara-negara kaya.
Kedua, soal yang berkaitan dengan keamanan regional. Tiadanya negara adidaya yang
memasok kekuatan militer telah menimbulkan persaingan baru diantara negara anggota
kawasan tertentu. Ketiga, perhatian kepada ekonomi politik internasional menjadi penting
sesudah Sistem Bretton Wood runtuh tahun 1971-1972 yang semula jaminan emas menjadi
pilar ekonomi dunia sejak akhir Perang Dunia II.Pada saat bersamaan Jerman dan Jepang
1

Juwono Sudarsono, “State of the Art Hubungan Internasional: Mengkaji Ulang Teori Hubungan Internasional
“dalam Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan Tantangan Masa Depan, Juwono Sudarsono dkk,
Jakarta, Pustaka Jaya, 1996, hal.3
1

menjadi kekuatan baru dalam bidang ekonomi yang menandingi AS. Keempat, dalam
hubungan internasional muncul pokok masalah baru yakni “3-in1” berupa lingkungan hidup,
hak asasi manusia dan demokratisasi. Ditambah pula dampak globalisasi ekonomi.

Memasuki milenium ke-3 ini dunia menyaksikan corak hubungan antar bangsa yang
juga baru. Pada tulisan ini akan ditelusuri corak hubungan internasional bagaimana yang akan
muncul pada awal abad ke-21 nanti. Untuk mengetahuinya tidak hanya mengandalkan
pandangan pakar hubungan internasional tetapi juga perlu melihat kajian sejumlah pakar
bisnis yang akibat globalisasi ekonomi penilaiannya menjadi sangat berharga.
Revolusi Dunia
Sebelum melihat bagaimana corak hubungan internasional abad ke-21, ada baiknya
melihat terlebih dahulu sedikitnya tiga revolusi yang berlangsung pada penghujung abad ke20. Pertama, revolusi geostrategis. Dalam sebuah laporan berjudul Strategic Assessment 1997
yang diterbitkan Institute for National Strategic Studies (INSS) Amerika Serikat
menyebutkan di dunia ini telah terjadi perubahan-perubahan strategis. Di antaranya, pola
Perang Dingin sedang digantikan oleh hubungan multiporal asimetris di mana AS sebagai
negara paling kuat yang mengendalikan jaringan internasional. Meskipun demikian kekuatan
negara lain penting karena berpengaruh di masing-masing kawasan.
Salah satu perkembangan menarik dari perubahan geostrategis global seperti diuraikan
dalam laporan tersebut adalah kemenangan gagasan demokrasi dan ekonomi pasar
(democracy market). AS melihat bahwa gagasan itu diterima di mana pun di dunia, kecuali di
Tiongkok, sebagai cara terbaik dalam memimpin masyarakat.
Oleh sebab itulah maka INSS membagi tiba kategori negara. Pertama, negara sukses
melaksanakan tujuan demokrasi pasar. Kedua, negara yang sedang dalam transisi dari
otoritarianisme menuju demokrasi pasar namun berisiko membeku dengan ekonomi politik

dan sebagian sistem politik bebas. Ketiga, negara-negara bermasalah yang tertinggal dari
negara lainnya dan bahkan banyak berjuang untuk keluar dari ekstremisne etnik dan religius
dan mungkin krisis separatisme.
Charles Kegley (1995) menyebutkan, antara 1974 sampai 1991, sepertiga negara yang
ada di muka bumi mengubah sistem politiknya menjadi demokrasi. 2 Sebuah organisasi yang
memonitor kemajuan ke arah demokrasi, Freedom House, memperkirakan pada tahun 1992,
sebanyak 41 persen manusia yang hidup di dunia tinggal di negara-negara bebas, 37 persen
hidup di negara setengah bebas dan 22 persen berada di negara yang tidak bebas.
2

Charles Kegley, Charles et.al., World Politics. New York, St. Martin's Press, 1993
2

Huntington menyebutkan bahwa fenomena meluasnya ajaran demokrasi itu sebagai
sebuah gelombang ketiga demokratisasi. Oleh karena itu, Francis Fukuyama menyatakan
ajaran demokrasi liberal Barat telah menjadi universal dan bentuk terakhir pemerintahan yang
bisa diterima umat manusia.
Patut dicatat pula fenomena baru dari kemitraan strategis antara AS dan Tiongkok serta
Tiongkok dan Rusia. Kemitraan ini secara langsung telah mengeluarkan Tiongkok dari
isolasionisme dunia menjadi lebih terbuka terhadap respons dunia. Bahkan muncul pendapat,

dengan kemitraan itu Tiongkok takkan lagi berubah menjadi ekstrem karena tidak merasa
frustrasi dengan apa yang dinamakan oleh AS sebagai politik pembendungan Tiongkok.
Kedua, Revolusi teknologi informasi. Perkembangan teknologi informasi memang
sudah dirasakan sebagian besar lapisan masyarakat di planet bumi ini. Komputer, faksimile,
kabel optik fiber, telepon genggam, siaran televisi yang global serta satelit telah mempercepat
aliran informasi menembus batas-batas negara tanpa bisa dihentikan. Oleh karena itulah
revolusi ini mempercepat penyebaran gagasan-gagasan politik yang semakin membuka mata
masyarakat. Sejauh ini sulit diramalkan akan ke mana arah revolusi bidang teknologi ini.
Ketiga, revolusi dalam pemerintahan. Berbeda dengan lima dekade lalu, wilayah
kontrol negara kini sedang menyusut. Di banyak negara maju, kekuasaan dialihkan ke
pemerintahan regional atau lokal. Bahkan ada pula yang diserahkan ke sektor swasta,
terutama dalam penguasaan sumber daya alam, dana dan manusia. Fenomena ini telah
memperkuat kecenderungan menuju masyarakat pluralis.
Berkurangnya kekuasaan pemerintah ini terlihat seperti di Rusia, AS, Uni Eropa dan
mungkin Tiongkok. Pemerintah pusat cenderung memindahkan lebih banyak otoritasnya ke
pemerintah lokal atau regional. Berkurangnya fungsi pemerintahan pusat ini antara lain
karena berkurangnya anggaran dan mungkin pula karena krisis anggaran di banyak negara.
Tidak mengherankan jika banyak terjadi swastanisasi perusahaan negara seperti di Rusia dan
Tiongkok. Alasannya, meningkatkan efektifitas dan efisensi sehingga bisa menggenjot
pertumbuhan ekonomi.

Kekuatan bisnis internasional juga telah meningkatkan kekuatannya dalam berhadapan
dengan pemerintahan. Namun demikian tentu saja dalam saat-saat tertentu seperti selama
perang, kemampuan pemerintah memobilisasi berbagai sumber untuk mendukung
kepentingan nasionalnya masih bisa diandalkan.
Menurut sebuah analisis telah terjadi tiga perubahan cepat dalam dekade ini dan hal
ini sepertinya banyak menguntungkan negara adidaya seperti AS. Dalam skema hubungan
antarkekuatan besar terlihat AS masih berada di poros, tidak seperti pada Perang Dingin
3

dengan dua poros. Salah satu kecenderungan yang muncul adalah, AS akan senantiasa
mempertahankan kekuatannya dengan jalan apa pun meski tentu mengorbankan sekutunya.
Pandangan baru
Tidak hanya karena revolusi teknologi komunikasi, tetapi juga karena dalam tataran
ideologis sudah relatif tidak ada pertentangan yang menajam dan mendunia. Dari segi isu-isu
internasional jelas sudah ada pergeseran berarti dari bidang ideologis yang termanifestasikan
dari persaingan militer dan aliansi menjadi bernada ekonomi-politik. Tema-tema seperti hak
asasi manusia, demokratisasi, keterbukaan politik dan lingkungan menjadi vokal pada saat
ini. Diperkirakan pada awal abad ke-21, justru isu-isu ini akan semakin menguat.
Bentuk aliansi juga mengalami perubahan berarti dari aliansi yang bersifat politikmiliter menjadi aliansi atau persekutuan atau perhimpunan yang menekankan kerja sama
ekonomi. Jika meminjam teori new institutionalism maka aspek kerja sama menjadi fokus

untuk menggantikan aspek persaingan atau permusuhan. Memang teoritisi realis masih hidup
dalam percaturan internasional namun gemanya tidak sehebat ketika Perang Dingin lahir dan
berkembang sampai tumbangnya Uni Soviet tahun 1991.
Seorang pakar hubungan internasional, Gaddis bahkan pernah mengherankan
mengapa teori-teori hubungan internasional yang ada sekarang tak bisa meramalkah
berakhirnya Perang Dingin. Perdebatan teori itu kemudian bergeser pada semacam apologia
bahwa memang tidak semua teori bertugas meramalkan kejadian internasional.
Apapun alasan dan argumentasinya, jelas bahwa teori hubungan internasional
mengalami perubahan format. Realisme telah melahirkan Neorealisme. Perkembangan ini
saja telah memberikan semacam alasan bahwa memang revisi terhadap pemahaman
hubungan internasional memerlukan revisi besar-besaran dan mengakar.
Kehadiran teori itu juga seperti membuktikan bahwa aneka ragam teori hubungan
internasional meskipun lahir di tangan seorang atau sekelompok pakar Hubungan
Internasional berpengalaman dari perguruan prestisius masih saja memiliki kelemahan. Ini
bukan berarti mengecilkan perkembangan teori yang ada namun bahwa aspek hubungan
internasional pada milenium baru itu berbeda bahkan tidak mustahil berbeda sama sekali
dengan apa yang terlihat pada abad ke-20
Untuk mengetahui bagaimana pola hubungan internasional abad ke-21, sejumlah
pakar menguraikan versi masing-masing. Lester Thurow menyebutkan adanya lima kekuatan
dunia. “Saya menyebutnya piringan ekonomi yang didasarkan pada konsep geologi dimana

gempa bumi dan ledakan gunung berapi disebabkan oleh gerakan piringan raksasa benua
4

yang disebut piringan tektonik yang mengambang di inti bumi. Menurut dia, lima piringan
tektonik ekonomi ini akan mendorong semua perubahan dan secara fundamental menciptakan
kembali permukaan ekonomi bumi.
Piringan pertama adalah berakhirnya komunisme. Thurow berpendapat, sepertiga
manusia hidup di dunia komunis. Mereka akan bergabung kedalam dunia kapitalis.
Kedua, Thurow melihat adanya gerakan dari industri berbasiskan sumber daya alam
menuju industri berbasiskan otak manusia. Industri ini akan melahirkan lingkungan yang
baru.
Kekuatan ketiga adalah tentang tiga hal yang sedang berjalan dalam masalah
demografi. Ia menilai, penduduk dunia tumbuh, bergerak dan juga semakin tua. Mulai 2025
di negara-negara industri, mayoritas penduduknya berusia di atas 65 tahun. Hal ini juga akan
mengubah sosiologi, psikologi, bisnis, anggaran pemerintah.
Pada saat yang sama, masyarakat nanti akan menjadi yang pertama dalam sejarah
kemanusiaan yang benar-benar menjadi kekuatan ekonomi global sejati. Masyarakat nanti
bisa memproduksi apa saja dimana saja di muka bumi dan menjualnya dimana saja di muka
bumi. Inilah yang disebut Thurow sebagai piringan tektonik keempat.
Sedangkan kekuatan kelima dan terakhir seperti diungkapkan Thurow adalah untuk

pertama kali dalam 200 tahun umat manusia takkan memiliki dunia unipolar dengan satu
kekuatan ekonomi, politik atau militer yang dominan seperti hal yang terjadi pada abad ke-19
dengan Inggris dan pada abad ke-20 dengan kekuatan Amerika Serikat.
Masa depan ideologi
Seperti halnya pada abad ke-20, ideologi dalam hubungan antar bangsa masih menjadi
salah satu unsur penting. Persoalan yang dihadapai nanti adalah apa yang jadi ideologi masa
depan. Huntington membicarakan soal Clash of Civilisation antara Barat versus Islam atau
Konfusius. Graham Fuller dalam artikelnya The Next Ideology menegaskan, ideologi-ideologi
masa depan yang datang dari Dunia Ketiga akan menjadi penantang Barat.3 Ia menilai,
bentuk ideologi mendatang merupakan gabungan dari nilai dan lembaganya.
Munculnya ideologi baru itu merupakan konsekuensi dari keadaan vakum yang
diakibatkan pupusnya pengaruh gaya Marxisme-Leninisme di Uni Soviet. Untuk memahami
bagaimana ideologi masa depan ini, ia merumuskannya dalam nilai-nilai yang muncul dari
ideologi Barat.

3

Graham Fuller, “The Next Ideology”, dalam Foreign Policy, Spring 1995
5


Kedua adalah keyakinan bahwa nilai etik dan politik demokrasi. Ia menyebutkan,
kandidat yang berperan potensial dari Dunia Ketiga untuk tampil adalah Indonesia, Aljazair,
Brasil dan Afrika Selatan. Dalam era masa datang, AS akan menghadapi tiga konvergensi.
Pertama, pada era masa depan, Barat yang dominan akan memasuki masa pengkajian
ulang tentang cara mengimplementasikan nilai-nilai filosofisnya, proses penyaringan cita-cita
yang sekarang berlaku tidaklah cukup. Tatanan lama tradisi Barat bukanlah model yang perlu
diperjualbelikan ke seluruh dunia.
Kedua, Dunia Ketiga akan berkembang terus secara beraneka ragam dengan berbagai
negara meraih tahap baru “modernisasi” di berbagai waktu. Mereka yang membuat secara
ekonomi seperti Barat mungkin akan menyesuaikan pandangannya sederajat pada pertama
kalinya.
Ketiga, sepertiga negara Dunia Ketiga takkan seperti itu dan akan membutuhkan
bantuan dan dukungan untuk menghindari terseret kedalam tatanan dunia dalam konfrontasi
antara tatanan Barat dan non-Barat.
Corak Asia
John Naisbitt telah memberikan indikasi bahwa abad ke-21 tidak bisa lepas dari
pengaruh Asia. Krisis moneter yang menimpa Asia sejak 1997 telah menimbulkan keraguan
akan kemampuan Asia memainkan peran dalam ekonomi dan politik dunia. Namun tahun
1999 dapat disaksikan betapa cepatnya pemulihan yang dialami Korea Selatan, Thailand dan
Malaysia. Indonesia memang tertinggal dalam pemulihan tersebut karena adanya krisis

politik yang berlangsung secara bersamaan dengan krisis politik.
Menurut Naisbitt, saat ini sedang disaksikan semacam kesadaran Asia.4 Ia
menyebutnya sebagai perasaan sebenarnya dari Asia sehingga disebutnya sebagai Asianisasi
Asia. Naisbitt memberikan contoh bagaimana pada tahun 1960-an seorang warga Inggris,
Jerman dan Perancis menyebut dirinya sebagai orang Eropa. Kini sudah muncul kesadaran
dari berbagai warga negara di Asia menyebut dirinya sebagai orang Asia. Ini
mengindikasikan betapa kuatnya perasaan Asia diantara berbagai negara yang berbeda. Ia
menilainya akan memberikan kekuatan pada abad ke-21.
Dalam karyanya, Megatrends in Asia, Naisbitt menyebutkan ada delapan trend yang
terjadi di Asia pada akhir abad ke-20. Pertama, peralihan dari negara bangsa kedalam bentuk
jaringan. Ini berkaitan dengan peralihan Asia yang didominasi Jepang menjadi kawasan yang
4

John Naisbitt, From Nation States to Networks dalam Rethinking The Future, Rowan Gibson (editor),London,
Nicholas Brealy Publishing, 1997, hal, 224.
6

didominasi jaringan Tiongkok yang jumlahnya mencapai 57 juta jiwa. Etnik Tiongkok ini
hidup di luar jumlah yang mencapai 1,2 milyar di RRC.
Kecenderungan kedua, peralihan dari ekonomi yang dipicu ekspor menjadi ekonomi

yang dipacu konsumer. Pertumbuhan ekonomi yang dirangsang oleh ekspor yang
berlangsung selama ini telah memunculkan standar hidup masyarakat asal ekspor.
Masyarakat inilah yang kemudian menuntut kebutuhan baru bidang manufaktur yang
kemudian mendorong industri.
Ketiga, Naisbitt menyebutkan sebagai peralihan dari pengaruh Barat kepada cara
Asia. Tradisi Asia telah menjadi kebutuhan sesudah kemajuan ekonomi mewarnai Asia.
Kemudian muncul kebutuhan akan pemerintahan, bisnis dan pendidikan yang bergaya Asia
karena lebih menempatkan tradisi masing-masing secara lebih terhormat.
Keempat, di Asia juga muncul kecenderungan apa yang disebut sebagai peralihan dari
kontrol pemerintah menjadi kontrol pasar. Dinamika ekonomi yang diperkenalkan dalam
beberapa dekade ini telah menempatkan pasar sebagai pengendali pertumbuhan bukannya
pemerintah. Itulah sebabnya maka pasar memicu kebutuhan dan pengawasan baru terhadap
ekonomi.
Kelima, seiring dengan perjalanan industrialisasi, kota-kota kecil dan pedesaan
berubah menjadi wilayah urban yang besar. Kota-kota metropolitan, bahkan megapolitan
lahir dari proses pembangunan ekonomi. Terdapat perubahan dari pertanian yang padat
tenaga kerja menjadi sektor manufaktur dan jasa.
Trend keenam yang disebutkan Naisbitt adalah perpindahan dari pekerjaan yang padat
tenaga kerja menjadi padat teknologi. Banyak negara di Asia telah menguasai teknologi
tinggi yang memproduksi produk padat ilmu. Bidang pekerjaan yang padat tenaga kerja telah
digantikan dengan pekerjaan yang menuntut pengetahuan tinggi.
John Naisbitt juga memperhitungkan kecenderungan ke tujuh yakni peralihan dari
dominasi pria dalam pekerjaan dengan munculnya kaum perempuan di berbagai sektor. Di
Indonesia sendiri jumlah warga negara perempuan lebih banyak daripada pria. Lagipula
banyak kaum perempuan yang belajar sampai pendidikan tinggi sehingga akses kepada
bidang kerja dengan keterampilan khusus bisa diraihnya.
Trend terakhir, adanya peralihan dari Barat ke Asia dimana Asia diproyeksikan akan
menjadi pusat dunia menggantikan Eropa. Baik dari segi jumlah penduduk maupun
pertumbuhan ekonomi dalam dekade terakhir abad ke-20, Asia tidak disamai oleh Eropa
sekalipun. Abad ke-21 akan menjadi kawasan dominan, tulis Naisbitt.

7

Penutup
Karakter hubungan internasional abad ke-21 akan ditandai dengan peralihan
pertentangan ideologi menjadi persaingan ekonomi dan politik. Ideologi baru akan muncul
menggantikan ideologi tradisional Marxisme dan Kapitalisme.
Selain itu akan muncul sebuah hubungan antar bangsa dimana Asia kemungkinan
memainkan peran dalam ekonomi, politik dan budaya. Kecenderungan yang muncul di Asia
meski sempat terhenti karena krisis ekonomi akan melahirkan dominasi Asia menggantikan
dominasi Barat setidaknya di kawasan ini. Hasilnya, negara-negara Asia memiliki posisi
penting dalam percaturan politik dan ekonomi dunia. ***

DAFTAR PUSTAKA
Sudarsono, Juwono dkk. Perkembangan Studi Hubungan Internasional. Jakarta:Pustaka Jaya,
1996
Masoed, Mochtar. Ilmu Hubungan Internasional,. Jakarta: LP3ES, 1994.
Groom, AJR.Contemporary International Relations: A Guide to Theory. London: Pinter,
1994.
Dougherty, James E and Robert L Pfaltzgraff Jr,.Contending Theories of International
Relations. Philadelphia:JB Lippincot Company, 1971.
Viotti, Paul R and Mark V Kauppi. International Relations Theory: Realism, Pluralism,
Globalism. London, MacMillan Publishing Company, 1993.
Kegley, Charles et.al., World Politics. New York, St. Martin's Press, 1993.

8