Jepang Sebagai Negara Patriarkhi Indonesia

Jepang Sebagai Negara
Patriarkhi
Priska Sabrina Luvita
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah
Menjadi seorang perempuan sejak zaman dahulu merupakan sebuah tantangan
yang berat. Pernah pada masanya selama berabad-abad perempuan dianggap pembawa
hina dan dikubur hidup-hidup saat masih kecil.1 Walaupun perkembang isu-isu
perempuan sejak diangkatnya derajat perempuan oleh Nabi Muhammad S.A.W. memang
membuat tantangan menjadi seorang perempuan tidak seberat zaman sebelumnya, tetapi
tidak dapat dipungkiri bahwa Asia merupakan kawasan yang memiliki budaya patriarkhi
(garis keturunan laki-laki) paling besar di dunia.2 Budaya yang telah berabad-abad
tertanam di kebanyakan negara Asia. Dan seiring berkembangnya zaman, ternyata isu
perempuan masih menjadi topik hangat untuk dibicarakan di dunia, terutama Asia.
Jepang merupakan negara archipelago (kepulauan) di Asia Timur. Terletak di
antara Samudra Pasifik dan Laut Timur (East Sea), berdekatan dengan Semenanjung
Korea. Luas wilayahnya sekitar 377.864 km23. Jepang memiliki empat pulau utama
yaitu, Pulau Hokkaido, Pulau Honshu, Pulau Shikoku dan Pulau Kyushu. Karena secara
geografis kepulauan Jepang diapit oleh lempeng dunia sehingga Jepang menjadi negara

yang sangat rawan akan bencana gempa bumi. Tapi walaupun sering mendapatkan
bencana alam, namun masyarakat Jepang tetap dapat membangun negaranya menjadi
sebuah negara yang maju secara ekonomi dan terkenal dengan keajegan budayanya.
Isu perempuan ini seringkali dikaitkan dengan demokrasi. Dan demokratisasi di
Jepang memang pada dasarnya dipaksakan oleh Amerika Serikat, namun Jepang
1

Michael Backman. Asia Future Shock. (Jakarta: Ufuk Press, 2008), 135
Ibid.
3
http://www.nationsonline.org/oneworld/japan.htm diakses pada hari Senin, 2 Januari 2012, pukul 13.48
WIB.
2

2
sebenarnya melakukan politik ―unjuk gigi‖ baru dengan pelaksanaan demokratisasi
tersebut, dari Jepang sebagai negara yang agresif menjadi Jepang yang cinta damai –
semua dilakukan untuk kepentingan Jepang. Fenomena demokratisasi di Jepang yang
kerap dikenal sebagai ―local genius‖ membuat ―demokrasi ala Jepang‖ yang akhirnya
dilakukan oleh Jepang. Dengan menampikkan beberapa aspek sosial dan politik seperti

perlakuaan kaum minoritas, penjalanan media, dan hak-hak asasi manusia, terutama hak
wanita di Jepang.
Penulis kemudian merasa tertarik untuk menelusuri bagaimana akar budaya
patriarkhi tersebut tertanam dan bertahan di Jepang. Karena Jepang merupakan negara
yang bangga akan budaya dan bangsanya yang menjaga ke-orisinalitas-annya. Maka,
penting menurut penulis untuk pertama-tama untuk menelusuri akar budaya patriarkhi di
Jepang dan bagaimana budaya itu dapat bertahan yang kemudian selanjutnya digunakan
untuk membongkar ketimpangan kuasa yang ada, suatu hal yang penting untuk
memahami kehidupan Jepang di masa kontemporer.

I.2. Batasan Masalah
Penulis akan membatasi makalah ini sampai dengan periode waktu Perang Dunia
(PD).

I.3. Perumusan Masalah
1. Bagaimana akar budaya patriarkhi tumbuh dan bertahan di Jepang?

I.4. Kerangka Konseptual
Dalam makalah ini, penulis akan mencoba menggunakan paradigma Feminisme –
atau apa yang disebut Feminisme Kritis—dalam mengkaji rumusan masalah yang ada.

Paradigma Feminisme merupakan sebuah cara pandang yang relatif baru di studi
Hubungan Internasional (HI). Perdebatan teoritis yang sangat terbuka pada studi HI pada
akhir tahun 1980an membuat para sarjana feminisme untuk muncul sebagai disiplin baru.
Walau jejak pemikirannya dapat dilacak sampai zaman ke delapan belas dan pada tahun
1960an telah terdapat banyak aktivitas kaum feminis di Barat.4
4

Jill Steans dan Llyod Pettiford, Hubungan Internasional: Perspektif dan Tema, trans. Deasy Silvya Sari

3
Feminisme merupakan suatu perspektif yang penuh dengan aliran dan
doktrinisasi.5 Terdapat banyak perbedaan pemikiran di dalam perspektif feminisme itu
sendiri, seperti: feminis liberal, feminis Marxist, feminis kritis, feminis standpoint, dan
feminis postmodern. Walaupun berbeda-beda, namun secara ringkas perspektif
feminisme pada dasarnya merupakan pespektif yang memiliki karakteristik sebagai
berikut: (1) menggunakan gender sebagai suatu kategori utama dari analisis; (2)
menganggap gender sebagai suatu jenis hubungan kekuasaan tertentu; (3) mencermati
penggolongan publik/privat sebagai isu utama dalam pemahaman mengenai HI; (4)
menelusuri cara-cara di mana ide-ide tentang gender dapat menjadi sesuatu yang sangat
bernilai bagi usaha untuk memfungsikan lembaga-lembaga internasional utama; (5)

menyarankan agar gender ―ditanamkan‖ dalam tatanan internasional; dan (6) menentang
asumsi-asumsi dominan yang membagi apa yang penting atau tidak penting, atau apa
yang marjinal atau sentral, dalam studi HI.
Konsep yang akan penulis pakai dalam mengkaji rumusan masalah adalah
konsepsi mengenai gender dan ruang publik/privat. Konsep gender merupakan suatu
konsep yang ditentukan oleh sosial dan budaya, jadi intinya, gender tidak berarti sama
dengan jenis kelamin (sex).6 Menurut para penstudi Feminis Kritis, ide mengenai gender
seringkali digunakan untuk mengukuhkan dan mengekalkan bentuk-bentuk ketimpangan
(inequality). Karena gender merupakan sistem kuasa, bukan semata-mata seperangkat
pembeda antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan konsep publik/privat adalah konsep
yang awalnya berasal dari Feminis Marxis yang mempercayai bahwa kemunculan
kapitalisme sebagai sebuah sistem sosial dan ekonomi melahirkan suatu pembagain yang
nyata antara ruang publik (seperti tempat bekerja) dan ruang privat (seperti rumah tangga
dan keluarga).7 Kemudian konsep itu dikembangkan oleh para penstudi Feminisme Kritis
bahwa ruang privat tersebut tidak hanya bersifat publik, tetapi bersifat global dengan
campur tangan negara dalam mengatur keputusan-keputusan ―privat‖ masyarakatnya,8
hal yang kemudian menjadi penting dalam menganalisa kelangsungan budaya patriarkhi
yang ada.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 232-236.
Ibid., 320

6
Ibid., 322
7
Ibid.
8
Ibid., 345
5

4
Dengan penjelasan tersebut, maka penulis merasa bahwa konsep mengenai gender
dan publik/privat menjadi relevan untuk mengkaji situasi Jepang sebagai negara yang
patriarkhi menurut pandangan Feminis Kritis.

BAB II
PEMBAHASAN

II.1. Sejarah Perkembangan Budaya Patriarkhi dan Ide Mengenai Gender di
Jepang
Seperti kebanyakan negara Asia lainnya, Jepang merupakan salah satu negara
yang memiliki budaya patriarkhi sejak dahulu. Hal ini membuktikan bahwa ide mengenai

gender di Asia –dan Jepang pada kasus ini—dikonstruksi sedemikian rupa untuk
membuat jenis kelamin (sex) laki-laki merupakan sebuah jenis kelamin yang lebih tinggi
dari jenis kelamin lainnya (perempuan) dan memiliki tanggungjawab dan tugas yang
―lebih berat‖ yang tidak dapat dilakukan oleh jenis kelamin lain. Seperti sebuah
ungkapan di Jepang yang mengkonstruksikan strereotype yang bias gender seperti
berikut:
―Otoko wa matsu, onna wa fuji‖ (A man is a pine tree, a woman is a wisteria; a
woman depends on a man just like a wisteria, a climbing plant with white or purple
flowers that winds around a pine tree); dan ―Otoko wa dokyoo, onna wa aikyoo‖
(Men should be daring, women should be charming).9

Dari dua ungkapan di atas dapat dilihat bahwa dari segi linguistik dan sejarahnya, ide
mengenai gender di Jepang telah dikonstruksikan sebagai suatu pihak yang ―bergantung‖
bahkan secara kasar hanya merupakan ―beban‖ bagi kaum laki-laki dan hanya perlu
bersikap charming (cantik) dalam hidup.
Setelah ditelusuri lebih lanjut, budaya patriarkhi yang ide mengenai gender yang
membuat terjadinya ketimpangan ini telah ada di Jepang sejak berabad-abad lamanya,
bahkan penyebaran kepercayaan Jepang, yaitu Shinto dan Buddha, justru membuat
ketimpangan gender menyebar di kalangan masyarakat Jepang pada akhir zaman Heian
9


Naoko Takemaru. Women in the language and society of Japan : the linguistic roots of bias. (London:
McFarland & Company, Inc., Publishers ,2010), 3

5
(794-1185).10 Alasannya adalah karena kedua kepercayaan tersebut mengasosiasikan
perempuan dengan ketidak-sucian (impurity) dan penuh dosa (sinful) dari lahir, karena
darah perempuan dianggap tidak suci (darah saat datang bulan dan saat melahirkan).
Ungkapan ini akhirnya digunakan untuk mempromosikan status inferior dari perempuan
yang selamanya dianggap ―lebih rendah‖ dari laki-laki. Bahkan muncul sebuah ungkapan
―men superior, women inferior (danson joshi)‖ pada zaman Meiji.11 Dan negara dalam
kasus ini justru menjadikan kepercayaan ini sebagai agama negara pada zaman Meiji.12
Selanjutnya pemerintah Jepang mengeluarkan kebijakan pendidikan yang bertujuan untuk
mereduksi peranan perempuan dan melatih perempuan sebagai ―good wife, wise mother‖.
(ryosai kenbo).13 Ryosai kenbo ini menjadi penting perkembangannya dalam mereduksi
peran perempuan Jepang dan merumuskan moral tiap perempuan Jepang, bahkan
menentukan ruang lingkup gerak perempuan Jepang, yaitu di lingkungan domestik
keluarga. Yang berarti bahwa negara menjadi agen pendukung penyebaran ide
ketimpangan gender yang terjadi sejak berabad-abad lamanya, dan hal ini memiliki
konsekuensi bahwa para kaum perempuan yang hidup di Jepang selama berabad-abad

lamanya hidup dalam jurang ketimpangan yang sangat dalam, tanpa perlindungan dari
negara –yang seharusnya menyediakan perlindungan kepada seluruh Warga Negara
(WN)-nya.
Dalam perkembangan modernisasi, isu-isu Hak Asasi Manusia (HAM) juga
merupakan isu yang kerap ikut menjadi bahasan penting sebagai salah satu faktor
pendukung dari modernisasi (ala Barat). Arus modernisasi di Jepang tentu terkenal
muncul pada zaman Meiji, di saat berakhirnya politik isolasi pada zaman Edo
sebelumnya. Suatu asumsi yang muncul adalah bahwa pada zaman Meiji juga seharusnya
isu ketimpangan gender ini mulai dibenahi. Namun, seperti yang telah disinggung
sebelumnya, negara malah menjadikan kepercayaan yang gender-biased sebagai
kepercayaan negara. Dan hal yang menarik adalah bahwa industrialisasi dan kemunculan
kaum salary men (pekerja kerah putih) yang mulai bermunculan pada zaman Taisho
(1912-1926), beberapa tahun menjelang Perang Dunia (PD) I (1914-1918) sampai
10

Ibid., 10
Ibid., 11
12
Ibid.
13

Vera C. Mackie. Feminism in modern Japan: citizenship, embodiment and sexuality. (Amerika Serikat:
Cambridge University Press, 2003), 25
11

6
periode waktu interwar period menjelang PD II, justru menjadi periode pembagian divisi
kerja yang gender-biased di Jepang dengan kemunculan ungkapan ―otoko wa shigoto,
onna wa katei‖ atau ―men at work, women at home”14 yang merupakan konsekuensi
lanjutan dari ryosai kenbo. Walaupun dalam perkembangannya, ungkapan ini akhirnya
secara resmi dihapuskan setelah PD II dan persamaan gender dijamin oleh UndangUndang (UU) Jepang pasca PD II. Amerika Serikat telah menetapkan amandemen Hak
Asasi Manusia (HAM) di Jepang pada artikel (pasal) 14 yang secara jelas menyatakan
bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara dibawah hukum yang berlaku. Namun,
Undang-Undang (UU) ini tidak pernah terealisasikan sepenuhnya.15 Dan secara mental,
ryosai kenbo masih tetap terlihat di berbagai lapisan kehidupan di Jepang.16 Yang berarti
bahwa walaupun telah dijaminnya persamaan gender melalui UU, kaum perempuan
masih berada dalam kondisi ketimpangan.
Dan hal penting yang perlu digaris-bawahi adalah bahwa ide mengenai gender di
Jepang terus-menerus eksis di Jepang sebelum, bahkan sesudah, diamandemennya UU
HAM pasca PD II. Karena ide mengenai gender yang bias tersebut tetap disebarkan
melalui negara, institusi-institusi lainnya (seperti institusi pendidikan dan media massa),

dan buku-buku literatur. Pengetahuan mengenai gender yang terjadi di Jepang kemudian,
menurut Harumi Befu, diproduksi oleh kaum intelektual, lalu dijaga dan didukung oleh
negara.17 Maka kemudian, agensi dari negara dan institusi-institusi yang ada di dalamnya
menjadi sangat penting dalam memberdayakan kelangsungan budaya patriarkhi di
Jepang. Sesuatu hal yang disebut ―negara patriarkhi‖ oleh para pemikir feminis kritis.
II.2. Peran Negara dan Institusi-institusi Lain di Sektor Privat
Negara patriarkhi atau negara yang ―sangat maskulin‖ dalam sudut pandang para
pemikir feminis kritis merupakan sebuah institusi atau lembaga yang penting di mana
negara menciptakan agensi-agensi ―pendukung‖ ide mengenai gender yang bias dan
menciptakan kebijakan-kebijakan untuk menanggapi dan mengatur isu mengenai gender.
Agensi-agensi pendukung yang dimaksud di sini beragam, dari tempat bekerja, institusi
14

Loc cit.
Joyce Gelb. Gender Policies In Japan and United States. (New York: Palgrave Macmillan, 2003), 1
16
Naoko Takemaru. Ibid., 21
17
Befu, Harumi. Hegemony of Homogeneity: An Anthropological Analysis of Nihonjinron. (Melbourne:
Trans Pacific Press, 2001), 81


15

7
pendidikan, bahkan rumah tangga sebagai institusi yang terkecil –sektor yang privat.
Sekilas dalam sub-bab sebelumnya mungkin telah terlihat peranan dari negara dan
institusi-institusi lainnya dalam menyebarkan ide mengenai gender di kalangan
masyarakat Jepang. Berikutnya pada sub-bab ini, penulis akan menjabarkan bentuk
intervensi negara dan institusi-institusi lainnya dalam pengaktualisasian ide mengenai
gender yang telah dibahas sebelumnya.
Intervensi negara pada sektor privat di Jepang ini memang telah menjadi isu yang
hangat dibicarakan.18 Karena peran kaum perempuan dan konsep gender dikonstruksikan
pada tingkatan yang paling kecil, bahkan memungkinkan untuk membentuk identitas
masyarakat secara luas. Identitas gender yang tentunya penuh ketidaksetaraan. Bentuk
intervensi negara pada sektor privat ini tentunya telah berkembang seiring dengan
berkembangnya budaya patriarkhi dan –seperti yang telah disinggung pada sub-bab
sebelumnya— peran penting negara untuk membudayakan ide mengenai gender yang
bias, bahkan menetapkan kepercayaan yang gender-biased sebagai kepercayaan negara
dapat dinilai sebagai bentuk intervensi ke sektor privat masyarakat Jepang, yaitu pada
tingkatan keyakinan dan moral yang dibentuk sesuai dengan kepercayaan yang dianut
oleh negara.
Tentu banyak juga contoh lain dari intervensi negara pada sektor privat dari
zaman ke zaman seperti pertama, pemerintahan Jepang pernah melaksanakan pelarangan
untuk menikah dengan orang asing (non-Japanese) dan pernikahan berbeda status19,
walaupun akhirnya dihapuskan pada tahun 1871.20 Namun, pemerintah Jepang pernah
mengintervensi pilihan pribadi yang amat privat sifatnya, yaitu siapa yang boleh dan
tidak boleh untuk dinikahi.
Kedua, penerapan sistem ie (house hold) yang dirumuskan pada Civil Code of
1898 pada zaman Edo yang menetapkan bahwa anak laki-laki tertua di tiap keluarga yang
akan meneruskan nama keluarga dan memiliki kekuasaan absolut atas anggota keluarga
dan harta-bendanya21, dan merupakan tanggungjawab kepala keluarga untuk menjamin

18

James E. Roberson dan Nobue Suzuki. Men and masculinities in contemporary Japan : dislocating the
salaryman doxa. (New York: Routledge, 2005), 5
19
Ibid., 22
20
Ibid.
21
Naoko Takemaru. Ibid., 11

8
kesetiaan setiap anggota keluarganya kepada kaisar.22 Yang berarti di sini adalah kepala
keluarga menjadi jembatan antara keluarga (house-hold, sebagai lembaga terkecil)
dengan negara (Kaisar). Dan sistem ie ini selama berabad-abad mengakar di budaya
kehidupan Jepang dan masih dapat dirasakan bahkan setelah berakhirnya zaman Edo.
Ketiga, pengaturan penggunaan alat kontrasepsi dan alat pengatur kelahiran serta
aborsi juga merupakan sektor privat yang diintervensi oleh pemerintah Jepang dan
digunakan sedemikian rupa untuk mendukung kepentingan negara. Seperti pada tahun
1927, isu emigrasi dan kontrol kelahiran menjadi isu yang penting di pemerintah Jepang,
karena dianggap memunculkan overpopulation (populasi lebih) dan kemiskinan.23
Sehingga memunculkan kebijakan untuk kontrol kelahiran yang memfokuskan tidak
hanya pada kuantitas, tetapi kualitas SDM. Namun, hal ini berubah pada tahun 1938 di
mana tahun yang dilegalkan untuk menikah diturunkan 3 tahun (14 tahun untuk laki-laki,
12 tahun untuk perempuan) dan dilarangnya penggunaan alat kontrasepsi serta aborsi –
kebijakan yang semakin dijalankan pada saat Perang Dunia (PD).24 Aborsi di sini
dilarang dengan alasan apapun, termasuk kesehatan. Karena perempuan di‖paksa‖ untuk
melahirkan minimal 5 anak per keluarga untuk memproduksi Sumber Daya Manusia
(SDM) untuk militer berperang dalam PD.
Institusi-institusi pendidikan yang juga berperan penting dalam memberdayakan
ide mengenai gender di Jepang sesungguhnya berjalan sesuai dengan keinginan
negaranya.25 Terlebih lagi, Jepang dikarakteristikan sebagai negara yang sangat
menghargai latar belakang pendidikan sesorang, atau ―gakureki shakai‖ (academic
background-oriented society).26 Sehingga institusi-institusi pendidikan menjadi agen
yang penting dan bersentuhan langsung dengan masyarakat. Suatu poin penting adalah,
karakteristik Jepang sebagai gakureki shakai ini juga sebenarnya merupakan keinginan
dari negara, karena tumbuhnya karakteristik gakureki shakai ini adalah konsekuensi dari
pilihan Jepang untuk merumuskan pentingnya membaca dan mencari ilmu yang
diterapkan sejak dikumandangkannya ―Kon’I Juni Kai No Seido‖ oleh Shotoku Taishi
22

Vera C. Mackie. Ibid., 23
Masae Kato. Women’s Rights?: The Politics of Eugenic Abortion in Modern Japan. (Amsterdam:
Amsterdam University Press, 2009), 38
24
Ibid.
25
Barbara Sato. The New Japanese Woman: Modernity, Media, and Women in Interwar Japan. (London:
Duke University Press, 2003), 20
26
Naoko Takemaru. Ibid., 23
23

9
mengenai pemerintahan yang berdasarkan kepandaian. Pada awal pembentukan negara
industri modern di Jepang, dikumandangkannya slogan ―fukoku kyohei‖ (negara kaya,
militer kuat), peran perempuan dalam peristiwa ini adalah sebagai penyedia dan
mengasuh anak. Dan pada tahun 1879 dibentuklah kebijakan pendidikan yang membagi
pendidikan perempuan dan laki-laki, dengan fokus untuk mendidik perempuan sebagai
ryosai kenbo yang bertugas untuk menghasilkan anak untuk mengasilkan SDM.
Pembagian pendidikan ini kemudian membentuk pembagian sekolah khusus perempuan
dan sekolah khusus laki-laki, yang masih dapat dilihat dalam kehidupan masyarakat
Jepang pasca PD, walaupun kurrikulumnya telah direvisi.
Institusi lain yang juga tidak kalah pentingnya dalam melakukan intervensi ke
dalam kehidupan privat masyarakat Jepang dalam mengaktualisasikan ide mengenai
gender adalah media massa. Media massa di Jepang terkenal dengan ketertutupannya,
dan campur tangan pemerintah dalam menyaring berita-berita yang keluar dari media
massa. Namun, terlepas dari itu, media massa mampu mengintervensi pandangan
masyarakat sama kuatnya dengan institusi pendidikan –dan juga sama-sama memiliki
komitmen yang besar kepada negara. Media massa di sini berperan dalam
mempromosikan seluruh ide mengenai gender dan stereotype masyarakat Jepang yang
diinginkan oleh negara, yang secara tidak langsung membentuk kesadaran masyarakat
Jepang. Kesadaran di sini pada akhirnya yang akan mempengaruhi tindakan-tindakan
masyarakat, baik di tingkatan privat maupun publik.
Hal-hal tersebut merupakan sedikit contoh dari dominasi negara dan institusiinstitusinya serta contoh-contoh intervensinya kepada sektor privat masyarakat Jepang,
yang bahkan mampu untuk mengintervensi kepercayaan, moral, peranan, mengatur siapa
yang boleh dan tidak boleh untuk dinikahi, pada umur berapa diperbolehkan menikah,
dan bahkan mengintervensi penggunaan alat kontrasepsi dan pilihan untuk aborsi. Dan
walaupun pada akhirnya terdapat berbagai macam amandemen untuk semua aturan yang
merugikan perempuan ini, budaya patriarkhi yang telah berabad-abad dianut ini tidak
hilang, tapi tetap eksis di dalam amandemen yang ada.27

Seperti ―koseki seido‖ (sistem registrasi keluarga) yang walaupun telah diamandemen, perempuan dan
anak tetap berubah namanya mengikuti nama keluarga suami (kepala keluarga). Hal yang menjadi
perdebatan di kehidupan kontemporer Jepang sekarang ini, dan lain-sebagainya.

27

10
BAB III
PENUTUP

Dari penjabaran-penjabaran di atas, dapat dilihat bahwa akar budaya patriarkhi di
Jepang tumbuh dan berkembang sangat dalam di dalam kehidupan masyarakat Jepang.
Selama berabad-abad ide mengenai gender ditanamkan dan dijalani oleh masyarakat
Jepang sampai pada tingkatan yang membuat budaya tersebut masih juga bertahan
walaupun telah banyaknya dilakukan serangkaian revisi dan amandemen untuk mengatasi
masalah ketimpangan gender di Jepang. Bagaimana ide mengenai gender ini
dipromosikan dan didukung oleh negara dan institusi-institusi seperti institusi pendidikan
dan media massa, bahkan mampu mengintervensi ruang privat dan kesadaran masyarakat
Jepang.
Dengan demikian menjadi jelas betapa sulitnya isu mengenai gender dan hak
perempuan di Jepang menjadi isu yang hangat dibicarakan sampai dengan sekarang ini.
Karena untuk mengatasi permasalahan ketimpangan ini, Jepang harus merubah akar
budaya yang selama berabad-abad tertanamkan di dalam kehidupan masyarakatnya
dengan dukungan dari negara dan institusi-institusi yang ada di dalamnya.
Namun, setidaknya penulis berharap agar tulisan ini bermanfaat dalam memahami
akar budaya patriarkhi di Jepang serta peran negara, institusi pendidikan, dan media
massa dalam menjaga keberlangsungan budaya ini, hal yang menjadikan Jepang tidak
hanya menjadi negara yang menganut budaya patriarkhi, tetapi negara patriarkhi itu
sendiri.

11
DAFTAR PUSTAKA

Backman, Michael. Asia Future Shock. (Jakarta: Ufuk Press, 2008).
Befu, Harumi. Hegemony of Homogeneity: An Anthropological Analysis of Nihonjinron..
(Melbourne: Trans Pacific Press, 2001).
Gelb, Joyce. Gender Policies In Japan and United States. (New York: Palgrave
Macmilla, 2003).
Kato, Masae. Women’s Rights?: The Politics of Eugenic Abortion in Modern Japan.
(Amsterdam: Amsterdam University Press, 2009).
Mackie, Vera C. Feminism in modern Japan: citizenship, embodiment and sexuality.
(Amerika Serikat: Cambridge University Press, 2003).
Roberson, James E. dan Suzuki, Nobue. Men and masculinities in contemporary Japan :
dislocating the salaryman doxa. (New York: Routledge, 2005).
Sato, Barbara. The New Japanese Woman: Modernity, Media, and Women in Interwar
Japan. (London: Duke University Press, 2003),
Steans, Jill dan Pettiford, Llyod. Hubungan Internasional: Perspektif dan Tema, trans.
Deasy Silvya Sari (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).
Takemaru, Naoko. Women in the language and society of Japan : the linguistic roots of
bias. (London: McFarland & Company, Inc., Publishers, 2010).

http://www.nationsonline.org/oneworld/japan.htm

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111