BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Monosodium Glutamat (MSG) 2.1.1 Penemuan MSG - Pengaruh Pemberian Vitamin C Dan E Terhadap Gambaran Histologis Ginjal Mencit(Mus musculus L.) Yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Monosodium Glutamat (MSG)

  2.1.1 Penemuan MSG Monosodium glutamat diisolasi oleh Dr. Kikunnae Ikeda pada tahun 1909.

  Monosodium glutamat sendiri sebenarnya sama sekali tidak menghadirkan rasa yang enak, bahkan sering menghadirkan rasa yang dideskripsikan sebagai rasa pahit, dan asin. Pemberian MSG pada bahan makanan yang sesuai dengan konsentrasi rendah, akan membuat makanan tersebut menjadi nikmat yang dapat diterima masyarakat (Kobayashi et al., 2002). Monosodium Glutamat kemudian menjadi bahan penambah rasa yang dipakai di seluruh dunia (Geha & Beiser, 2000).

  Monosodium Glutamat = monosodium -L- glutamat adalah garam natrium dari asam glutamat yang sangat luas digunakan sebagai bumbu penyedap. Glutamat banyak dijumpai dalam alam, juga terdapat dalam makanan dan tubuh manusia, baik dalam bentuk bebas maupun terikat sebagai peptida maupun protein. Glutamat yang terikat dengan protein tidak mempunyai daya penyedap seperti bentuk bebas. Jenis makanan yang mengandung banyak protein seperti ASI (air susu ibu), susu sapi, keju dan daging mengandung banyak glutamat sedangkan sebagian besar sayuran sedikit kandungan glutamatnya, tetapi ada sayuran atau buah tertentu yang mengandung banyak glutamat bebas seperti jamur-jamur, tomat, peas (Santoso, 1988).

  2.1.2 Efek Biologis MSG

  Monosodium Glutamat adalah gabungan antara komponen garam sodium dan asam glutamat–L (suatu asam amino non esensial) yang bersifat sangat larut dalam air dan akan berdisosiasi menjadi kation garam sodium dan anion asam glutamat. Glutamat dalam MSG yang berasal dari hidrolisa protein tumbuhan merupakan glutamat dalam bentuk bebas. Konsumsi glutamat bebas akan meningkatkan kadar glutamat dalam plasma darah. Kadar puncak asam glutamat dicapai hewan dewasa setelah konsumsi oral 1 g/kg berat badan paling rendah pada kelinci dan meningkat secara progresif pada monyet, anjing, mencit, tikus dan babi. Faktor–faktor yang mempengaruhi kadar puncak asam glutamat plasma adalah rute administrasi (oral, subkutan dan intraperitoneal), konsentrasi MSG dalam larutan (2%, 10%), dan usia (hewan baru lahir memetabolisme asam glutamat lebih rendah dari pada dewasa). Seseorang dengan berat badan 70 kg diperkirakan setiap harinya dapat memperoleh asupan asam glutamat sekitar 28 g yang berasal dari makanan dan hasil pemecahan protein dalam usus. Pertukaran asam glutamat setiap harinya dalam tubuh adalah sekitar 48 g (Megawati, 2008).

  Berikut struktur kimia MSG (Loliger, 2000):

  

Gambar 1. Struktur Kimia MSG

  Asam glutamat adalah suatu asam amino yang di dalam tubuh akan dikonversikan menjadi glutamat. Glutamat berperan sebagai neurotransmitter yang menyebabkan sel-sel neuron yang ada di otak dapat berkomunikasi antara yang satu dengan lainnya. Asam glutamat biasanya terikat pada molekul protein yang terdapat di dalam makanan, kemudian protein tersebut secara perlahan akan dipecahkan dan kemudian diserap oleh tubuh. Glutamat didalam MSG tidak terikat pada molekul protein melainkan dalam bentuk bebas. Penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa mengkonsumsi glutamat bebas melalui sistem digestive dapat meningkatkan kadar glutamat di dalam plasma darah secara signifikan. Blood brain barrier (sawar otak) akan mencegah kadar glutamat yang berlebihan (Savira, 2008).

  Asam amino glutamat yang terdapat di dalam otak berfungsi sebagai neurotransmitter untuk menjalarkan rangsang antar neuron. Bersifat eksitotoksik bagi otak jika terakumulasi di sinaps (celah antar sel saraf). GABA (Gamma Amino Butyric

  

Acid ) juga termasuk neurotransmitter dan memiliki fungsi lain sebagai reseptor

  glutamatergik, sehingga bisa menjadi target dari sifat toksik glutamat. Saat kerja

  

glutamate transport protein , ada enzim glutamine sintetase yang bertugas mengubah

  amonia dan glutamat menjadi glutamin yang tidak berbahaya dan bisa dikeluarkan dari otak. Asam glutamat diusahakan untuk dipertahankan dalam kadar rendah dan nontoksik saat terakumulasi di otak. Reseptor sejenis untuk glutamat juga ditemukan di beberapa bagian tubuh lain seperti tulang, jantung, ginjal, hati, plasenta dan usus. Saat mengkonsumsi MSG, asam glutamat bebas yang dihasilkan sebagian akan terikat di usus, dan selebihnya dilepaskan ke dalam darah, selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh (Ardyanto, 2004).

  Efek toksik MSG pada binatang dihubungkan dengan dua faktor, yaitu: kadar glutamat yang tinggi dalam darah dan spesies binatang yang rentan pada toksisitas glutamat. Menurut Olney (1969), konsentrasi di atas 60 u Mol/dl dapat menyebabkan kerusakan pada otak. Lesi dapat terjadi pada nukleus arkuata hipotalamus pada mencit muda oleh pemberian MSG secara per oral atau subkutan. Penyuntikan tunggal subkutan MSG menyebabkan terjadi peningkatan kadar glutamat empat kali lipat pada nukleus arkuata hipotalamus, diikuti dengan kenaikan glutamat dalam plasma. Puncak dari kadar glutamat dalam plasma terjadi setelah 15 menit, dan kadar puncak di dalam nukleus arkuata dicapai setelah 3 jam. Hasilnya menunjukkan bahwa konsentrasi di plasma setelah tingkat tertentu menyebabkan lesi pada otak. Perbedaan kualitatif pada kadar asam glutamat dalam plasma mengikuti pemberian MSG per oral pada neonatus tikus atau mencit, dihubungkan dengan usia, dosis total berdasarkan berat badan dan konsentrasi dari larutan MSG yang diberikan (Sukawan, 2008).

  Penelitian terhadap tikus yang pada makanan standarnya ditambah MSG 100 g/kg berat badan/hari, setelah 45 hari memperlihatkan adanya disfungsi metabolik berupa peningkatan kadar glukosa darah, trigliserol, insulin dan leptin. Keadaan tersebut disebabkan karena terjadinya stres oksidatif dalam tubuh berupa peningkatan kadar hiperperoksidasi lipid dan penurunan bahan-bahan antioksidan, tetapi hal tersebut dapat dicegah dengan penambahan serat pada bahan makanan sehari-hari (Diniz et al., 2005).

  Keadaan stress oksidatif juga dijumpai setelah pemberian MSG 4 mg/g berat badan secara interperitoneal memperlihatkan peningkatan pembentukkan MDA (Malondialdehyde) di hati, ginjal dan otak tikus. Pemberian makanan yang mengandung vitamin C, E dan quertin secara bersamaan mengurangi kadar MDA yang muncul akibat pemberian MSG (Farombi & Onyema, 2006).

  Hampir semua bahan makanan sudah mengandung glutamat. Beberapa diantaranya mengandung kadar tinggi, seperti: susu, telur, daging, ikan, ayam, kentang, jagung, tomat, brokoli, jamur, anggur, kecap, saus dan keju. Termasuk dalam hal ini juga bumbu-bumbu penyedap alami seperti vanili atau daun pandan. Hasil penelitian untuk batasan metabolisme (30 mg/kg/hari) berarti rata-rata dalam sehari dibatasi penambahan maksimal 2,5 – 3,5 g MSG (berat badan 50 – 70 kg), dan tidak boleh dalam dosis tinggi, sementara satu sendok teh rata-rata berisi 4 - 6 gram MSG (Ardyanto, 2004).

2.2 Radikal Bebas dan Antioksidan

  Radikal bebas adalah molekul yang kehilangan elektron, sehingga molekul tersebut menjadi tidak stabil dan selalu berusaha mengambil elektron dari molekul atau sel lain. Radikal bebas dapat dihasilkan dari hasil metabolisme tubuh dan faktor eksternal seperti hasil penyinaran ultra violet, zat kimiawi dalam makanan dan polutan lain. Penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas bersifat kronis, yaitu dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk penyakit tersebut menjadi nyata. Radikal bebas yang mengambil elektron dari sel tubuh manusia dapat menyebabkan perubahan struktur DNA sehingga menimbulkan sel-sel mutan. Tubuh manusia, sebenarnya dapat menghasilkan antioksidan tetapi jumlahnya sering sekali tidak cukup untuk menetralkan radikal bebas yang masuk ke dalam tubuh (Iswara, 2009).

  Ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan menyebabkan terjadinya suatu keadaan yang disebut stress oksidatif. Stress oksidatif adalah suatu keadaan dimana tingkat kelompok oksigen reaktif (ROS) yang toksik melebihi pertahanan atioksidan endogen. Keadaan ini mengakibatkan kelebihan radikal bebas yang akan bereaksi dengan lemak, protein, dan asam nukleat seluler sehingga terjadi kerusakan lokal dan disfungsi organ tertentu (Syahrizal, 2008).

  Antioksidan adalah substansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisir radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal, protein, dan lemak. Antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas, dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan stres oksidatif. Antioksidan yang dikenal ada yang berupa enzim dan ada yang berupa mikronutrien. Enzim antioksidan dibentuk dalam tubuh, yaitu super oksida dismutase (SOD), glutation peroksida, katalase, dan glutation reduktase. Antioksidan yang berupa mikronutrien dikenal tiga yang utama, yaitu : b-karoten, vitamin C dan vitamin E. B-caroten merupakan scavengers (pemulung) oksigen tunggal, vitamin C merupakan pemulung superoksida dan radikal bebas yang lain, sedangkan vitamin E merupakan pemutus rantai peroksida lemak pada membran dan Low Density

  

Lipoprotein . Vitamin E yang larut dalam lemak merupakan antioksidan yang

  melindungi Poly Unsaturated Faty Acids (PUFAs) dan komponen sel serta membran sel dari oksidasi oleh radikal bebas (Hariyatmi, 2004).

  Antioksidan sekunder, mampu mendekomposisi hidroperoksida menjadi bentuk stabil, pada manusia dikenal SOD, katalase, glutation peroksidase. Mekanisme kerja antioksidan seluler adalah berinteraksi langsung dengan oksidan, radikal bebas atau oksigen tunggal, mencegah pembentukan jenis oksigen reaktif, mengubah jenis oksigen reaktif menjadi kurang toksik, mencegah kemampuan oksigen reaktif, memperbaiki kerusakan yang timbul (Hariyatmi, 2004).

2.3 Vitamin C

2.3.1 Penemuan Vitamin C

  Penyakit scurvy telah dikenal sejak abad ke-15, yaitu penyakit yang banyak diderita oleh pelaut yang berlayar selama berbulan-bulan serta bertahan dengan makanan yang dikeringkan dan biskuit. Penyakit ini menyebabkan pucat, rasa lelah berkepanjangan diikuti oleh perdarahan gusi, perdarahan dibawah kulit, edema, tukak, dan pada akhirnya kematian. Tahun 1750, Lind, seorang dokter dari Skotlandia menemukan bahwa scurvy dapat dicegah dan diobati dengan makan jeruk. Tahun 1932 Szent- Gyorgyi dan C. Glenn King berhasil mengisolasi zat antiskorbut dari jaringan adrenal, jeruk, dan kol yang dinamakan vitamin C. Zat ini kemudian berhasil disintesis pada tahun 1933 oleh Haworth dan Hirst sebagai asam askorbat (Almatsier, 2009).

  

Gambar 2. Struktur Vitamin C

2.3.2 Sifat dan Metabolisme Vitamin C

  Vitamin C bersifat hidrofil dan melindungi membran sel dari luar, karena terutama bekerja dalam cairan diluar sel. Pada tempat ini bisa terdapat radikal bebas yang lolos dari proses fagositosis dari fagosit. Sel tangkis ini terutama aktif selama aktivitas dari sistem pertahanan tubuh meningkat. Limfosit T juga membutuhkan banyak vitamin C agar dapat bekerja secara aktif. Disamping mengaktivasi fagosit vitamin C juga menstimulasi produk antiveron dengan daya antiviral. Oleh karena itu dalam keadaan stress kontinu dan pembebanan ketahanan berlebihan asupan vitamin C dosis tinggi sangat berguna (Tjay & Rahardja, 2002).

  Vitamin C berfungsi paling baik pada lingkungan air sehingga merupakan antioksidan utama dalam plasma terhadap serangan radikal bebas (ROS). Vitamin C juga berperan dalam sel sebagai zat penyapu radikal bebas. Vitamin C dapat langsung bereaksi dengan superoksida dan anion hidroksil, serta berbagai hidroperoksida lemak. Vitamin C sebagai antioksidan pemutus-reaksi berantai, memungkinkan untuk melakukan regenerasi bentuk vitamin E yang tereduksi (Sulistyowati, 2006).

  Absorpsi vitamin C dari usus berlangsung secara cepat dan sempurna (90%). Distribusinya ke seluruh jaringan. Persediaan untuk tubuh sebagian besar terdapat dalam korteks anak ginjal. Dalam darah sangat mudah dioksidasi secara reversibel menjadi dehidroascorbat yang hampir sama aktifnya. Ekskresi berlangsung terutama sebagai metabolit dehidro dan sedikit sebagai asam folat (Tjay & Rahardja, 2002).

2.4 Vitamin E

  2.4.1 Penemuan Vitamin E

  Pada tahun 1912, ditemukan suatu zat larut lemak yang dapat mencegah keguguran dan sterilitas pada tikus. Zat ini pada awalnya dinamakan faktor antisterilitas dan kemudian vitamin E. Vitamin E kemudian pada tahun 1936 dapat diisolasi dari minyak kecambah gandum dan dinamakan tokoferol, berasal dari bahasa Yunani dari kata tokos yang berarti kelainan dan pherein berarti yang menyebabkan. Hewan tidak dapat mensintesis vitamin E dalam tubuhnya, sehingga harus memperolehnnya dari makanan nabati. Kekurangan vitamin E pada hewan dapat menimbulkan berbagai sindroma, tapi angka kecukupan untuk manusia belum dapat dikatakan sudah pasti (Almatsier, 2009).

  

Gambar 3. Struktur Vitamin E

  2.4.2 Sifat dan Metabolisme Vitamin E

  Vitamin E adalah vitamin yang larut dalam lemak yang terdiri dari campuran dan substansi tokoferol (a, b, g, dan d) dan tokotrienol (a, b, g, dan d). Manusia membutuhkan a - tokoferol sebagai vitamin E yang paling penting untuk aktifitas biologi tubuh. Bentuk vitamin E ini dibedakan berdasarkan letak berbagai grup metil pada cincin fenil rantai cabang molekul dan ketidakjenuhan rantai cabang (Haryatmi, 2004).

  Vitamin E di absorbsi dari usus halus, tocopherol bersama dengan trigliserida, fosfolipid, kolesterol dan apoprotein dibentuk kembali menjadi chylomicron oleh badan golgi dari sel mukosa. Vitamin E kemudian sebagian besar dibawa ke hati bersama dengan chylomicron yang kemudian akan mengalami katabolisme dengan cepat oleh lipoprotein lipase (LPL) menjadi bagian yang lebih kecil. Proses ini terjadi sama pada semua bentuk vitamin E. Tocopherol yang terdapat dalam chylomicron disekresikan oleh hati menjadi very low density lipoprotein (VLDL) yang akan dikonversikan oleh LPL menjadi low density lipoprotein (LDL) yang memegang peranan paling besar dari plasma tocopherol dan muncul untuk merubahnya dengan cepat menjadi high density lipoprotein (HDL) (Savira, 2008).

2.5 Ginjal

2.5.1 Anatomi Ginjal

  Ginjal (ren, nefros) merupakan bagian dari systema urinarium yang terletak di dalam ruang retroperitoneum pada dinding belakang abdomen, di kedua sisi columna

  

vertebralis . Ginjal kanan dan kiri berbentuk seperti kacang dengan bagian atas

  terlindung oleh skeleton thoracis. Ginjal mempunyai facies anterior, margo medialis dan margo lateralis, serta polus seperior dan polus inferior. Margo lateralis berbentuk cembung, sedangkan margo medialis cekung pada daerah yang disebut

  

hilum renale . Pada hilum renale didapatkan celah yang masuk ke dalam ginjal yang

  disebut sinus renalis dengan kedalaman sekitar dua setengah sentimeter. Sinus renalis berisi pelvis renalis, calices, pembuluh darah, serabut saraf, dan sedikit jaringan lemak. Pembuluh darah dan ureter akan masuk atau keluar ginjal melalui hilum

  

renale . Pada manusia, terdapat medula ginjal terdiri atas 10-18 struktur berbentuk

  kerucut atau piramid, yaitu piramid medula. Dasar dari setiap piramid medula, terjulur berkas-berkas tubulus yang paralel, yaitu berkas medula, yang menyusup ke dalam korteks (Wibowo & Widjaja, 2009).

  2.5.2 Gambaran Histologis Ginjal

  Setiap ginjal terdiri atas 1-4 juta nefron (Yn.nephros,ginjal), setiap nefron terdiri atas bagian yang melebar, korpuskulus renal, tubulus kontortus proksimal, segmen tipis dan tebal ansa (lengkung) Henle, dan tubulus kontortus distal, tubulus dan duktus

  

koligens , yang asal embriologisnya berbeda dari nefron, menampung urin yang

  dihasilkan oleh nefron dan menghantarnya ke pelvis renis. Nefron dan duktus koligens merupakan tubulus uriniferus, yang dapat dipandang sebagai satuan fungsional ginjal (Junqueire & Carneiro, 1995).

  Korpuskulus renal berdiameter 200µm dan terdiri atas seberkas kapiler yaitu glomerulus, dikelilingi oleh kapsula epitel berdinding ganda yang disebut kapsula

  

Bowman . Lapisan luar membentuk batas luar korpuskulus renal disebut lamina

  parietalis yang terdiri atas epitel selapis gepeng dan lamina basalis dan selapis tipis serat retikulin. Lapisan dalam (lamina visceralis) meliputi kapiler glomerulus yang terdiri dari sel-sel podosit (Bernike, 2008).

  Tubulus kontortus proksimal selalu membentuk lengkung yang besar menghadap ke permukaan kapsula ginjal. Tubulus ini berakhir sebagai saluran yang lurus dan melanjutkan diri dengan ansa henle. Sel-sel tubulus proksimal bersifat eosinofilik dengan batas sikat dan garis-garis basal. Batas sel tidak jelas karena sistem interdigitasi yang rumit dari sisi-sisi membran plasma lateral sel. Pada tubulus kontortus proksimal terdapat 6 sampai 12 sel, tetapi yang tampak hanya 4 sampai 5 inti (Tambajong, 1995).

  Gambar 4. Struktur Ginjal dan Histologis Ginjal Lengkung Henle adalah struktur berbentuk U terdiri atas ruas tebal descenden dengan struktur yang sangat mirip tubulus kontortus proksimal, ruas tipis descenden,

  

ruas tipis ascenden, dan ruas tebal ascenden, yang strukturnya sangat mirip dengan

  tubulus kontortus distal. Lebih kurang sepertujuh dari semua nefron terletak dekat batas korteks- medula yang disebut nefron jukstamedula. Nefron lainnya disebut

  

nefron kortikal . Semua nefron turut serta dalam proses filtrasi, absorpsi dan sekresi.

  Ruas ascenden lengkung Henle yang menerobos korteks, struktur histologisnya tetap terpelihara tetapi menjadi berkelok-kelok dan disebut tubulus kontortus distal, yaitu bagian terakhir nefron yang dilapisi oleh epitel selapis kuboid (Bernike, 2008).

  Potongan histologis tubulus kontortus proksimal dan distal, terdapat dalam korteks dan mempunyai epitel kubis. Perbedaan antara keduanya didasarkan pada sifat-sifat berikut: sel-sel tubulus proksimal lebih besar, mempunyai brush border, dan lebih asidofil karena banyak mengandung mitokondria. Lumen tubulus distal lebih besar, dan karena sel-sel tubulus distal lebih pendek dan lebih kecil dari pada sel-sel tubulus proksimal, pada potongan yang sama dinding tubulus distal terlihat lebih banyak sel dan lebih banyak inti. Sel-sel tubulus distal kurang asidofil dari pada sel- sel tubulus proksimal, dan tidak menunjukkan brush border atau mikrovili yang banyak (Junqueira & Carneiro, 1991).

  Setiap tubulus pengumpul berdesenden di korteks, maka tubulus tersebut akan mengalir ke sejumlah tubulus kontortus distal. Tubulus pengumpul membentuk tuba yang lebih besar yang mengalirkan urin ke dalam kaliks minor. Kaliks minor bermuara ke dalam pelvis ginjal melalui kaliks mayor. Pelvis ginjal mengalirkan urin dan ke ureter yang mengarah ke kandung kemih (Sloane, 2003).

2.5.3 Fungsi Ginjal

  Menurut Syaifuddin (2000), ginjal mempunyai fungsi yang paling penting dalam tubuh yaitu menyaring plasma dan memindahkan zat dari filtrat pada kecepatan yang bervariasi tergantung pada kebutuhan tubuh. Ginjal membuang zat yang tidak diinginkan oleh tubuh dengan filtrasi darah dan mensekresinya dalam urin, sedangkan zat yang dibutuhkan tubuh akan kembali ke dalam darah. Fisiologi ginjal sebagai berikut: a.

  Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh. Kelebihan air dalam tubuh akan diekskresikan oleh ginjal sebagai urin (kemih) yang encer dalam jumlah besar.

  b.

  Mengatur keseimbangan osmotik dan mempertahankan keseimbangan ion yang optimal dalam plasma (keseimbangan elektrolit).

  c.

  Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh bergantung pada apa yang dimakan. Campuran makanan (mixed diet) menghasilkan urin yang bersifat asam. pH kurang dari 6 ini disebabkan hasil akhir metabolisme protein. Ekskresi sisa-sisa hasil metabolisme (ureum, asam urat, kreatinin), zat-zat toksik, obat-obatan, hasil metabolisme hemoglobin dan bahan kimia asing (pestisida).

  d.

  Fungsi hormonal dan metabolisme. Ginjal menyekresi hormon renin yang mempunyai peranan penting dalam mengatur tekanan darah (sistem renin angiotensin aldesteron) dan membentuk enitropoiesis yang mempunyai peranan penting dalam sel darah merah (eritropoiesis).

  Ginjal merupakan organ utama untuk membuang produk sisa metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh. Produk ini meliputi: urea (dari metabolisme asam amino), kreatinin (dari kreatin otot), asam urat (dari asam nukleat), produk akhir dari pemecahan hemoglobin (bilirubin) dan metabolit dari berbagai hormon. Ginjal juga membuang toksin dan zat asing lainnya yang diproduksi oleh tubuh dan pencernaan seperti pestisida, obat-obatan dan makanan tambahan (Guyton & Hall, 2007). Fungsi utama ginjal adalah menyingkirkan buangan metabolisme normal, mengekskresi xenobiotik dan metabolitnya dan fungsi non ekskretori. Urin adalah jalur utama ekskresi toksikan sehingga ginjal mempunyai volume aliran darah yang tinggi, mengkonsentrasikan toksikan pada filtrat, membawa toksikan melalui sel tubulus (Lu, 1994).

  Kerusakan pada tubulus dapat terjadi pada sel-sel epitel, antara lain mengalami degenerasi dan atrofi sehingga lumen melebar dan pada akhirnya dapat menyebabkan kematian nefron. Pemberian senyawa tertentu yang bersifat toksik akan memberikan beban berlebih terhadap kerja ginjal. Hal ini sangat mungkin akan menimbulkan efek samping yang tidak di inginkan (Gani & Munir, 1992).