Pengaruh Pemberian Vitamin C Dan E Terhadap Gambaran Histologis Ginjal Mencit(Mus musculus L.) Yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)

(1)

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C DAN E TERHADAP

GAMBARAN HISTOLOGIS GINJAL MENCIT (

Mus musculus

L.)

YANG DIPAJANKAN MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG)

SKRIPSI

ZULFIANI

080805010

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C DAN E TERHADAP

GAMBARAN HISTOLOGIS GINJAL MENCIT (

Mus musculus

L.)

YANG DIPAJANKAN MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

ZULFIANI

080805010

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(3)

PERSETUJUAN

Judul : PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C DAN E

TERHADAP GAMBARAN HISTOLOGIS GINJAL MENCIT (Mus musculus L.) YANG DIPAJANKAN MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG)

Kategori : SKRIPSI

Nama : ZULFIANI

Nomor Induk Mahasiswa : 080805010

Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI

Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Diluluskan di

Medan, Pebruari 2013 Komisi Pembimbing :

Pembimbing II Pembimbing I

Dr. Salomo Hutahaean M. Si. Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M. Biomed. NIP. 19651011 199501 1 001 NIP. 19660209 199203 1 003

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

Dr. Nursahara Pasaribu, M. Sc. NIP. 19630123 199003 2 001


(4)

iii

PERNYATAAN

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C DAN E TERHADAP GAMBARAN HISTOLOGIS GINJAL MENCIT (Mus musculus L.) YANG

DIPAJANKANMONOSODIUM GLUTAMAT (MSG)

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Pebruari 2013

ZULFIANI 080805010


(5)

PENGHARGAAN

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Pengaruh Pemberian Vitamin C dan E Terhadap Gambaran Histologis Ginjal Mencit (Mus musculus L.) Yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)”. Selawat dan salam penulis sampaikan kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M. Biomed selaku pembimbing I dan Bapak Dr. Salomo Hutahaean M. Si selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, kritikan dan saran kepada penulis hingga selesainya skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Masitta Tanjung, S. Si. M.Si dan Ibu Dra. Elimasni, M. Si selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto, M. Sc selaku Dosen Penasehat Akademik, Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA USU, dan Bapak Drs. Kiki Nurjahja M.Sc, selaku Sekretaris Departemen Biologi FMIPA USU. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak dan Ibu dosen pengajar Departemen Biologi FMIPA USU yang telah memberikan segala ilmunya kepada penulis, Ibu Nurhasni Muluk selaku laboran dan analis di Laboratorium dan Ibu Roslina Ginting serta Bapak Endra Raswin selaku Pegawai Administrasi Departemen Biologi FMIPA USU.

Pada kesempatan ini, teristimewa penulis ucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua, Ayahanda Subandi dan Ibunda Sadirah yang sangat dicintai dan disayangi penulis yang telah mencurahkan segala bentuk kasih dan sayangnya baik dalam bentuk do’a, harapan, perhatian, moril, materi serta dukungan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, semoga Allah SWT senantiasa memuliakan, memberikan kebahagiaan serta keselamatan dunia dan akhirat. Kepada kakanda Kurniawati dan adinda Iswahyudi, Nurleili Rahmadani, Khairul Hidayat dan serta seluruh keluarga yang telah memberikan doa, perhatian, dukungan serta cinta dan kasih sayangnya kepada penulis.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman para peneliti Ummi Kalsum, Ahri Maulida, Nanin Triana dan Adi Gunawan, Maya, Riana, Yuni, Rildah, Netti, Santi dan Sirma atas kerjasamanya dalam melaksanakan penelitian ini, semoga suka dan duka serta usaha yang dipupuk hari ini menjadi kenangan dan kesuksesan di kemudian hari. Penulis ucapkan terima kasih kepada sahabat terdekat teman-teman seperjuangan Biologi angkatan 2008 yang tidak dapat disebutkan namanya satu-persatu, terima kasih atas motivasi dan kebersamaan yang telah kita lalui bersama. Kakak stambuk 2007 dan adik stambuk 2009, 2010, 2011 dan seluruh Mahasiswa Biologi FMIPA USU yang tidak dapat penulis utarakan satu persatu.


(6)

v

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu segala kritik dan saran yang sangat membangun sangat diharapkan. Akhir kata, demikianlah yang dapat penulis sampaikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Amin Ya Robbal ‘Alamin.

Medan, Pebruari 2013


(7)

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C DAN E TERHADAP GAMBARAN HISTOLOGIS GINJAL MENCIT (Mus musculusL.) YANG DIPAJANKAN

MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin C dan E terhadap gambaran histologis ginjal mencit (Mus musculus L.) yang dipajankan Monosodium Glutamat (MSG) selama 30 hari. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) terdiri dari 6 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan kontrol terdiri dari K-, dan K+ (diberi Castrol Oil 0.3 ml). Pada perlakuan diberi MSG 4 mg/g BB, P1(hanya MSG), P2 (MSG ditambah vitamin C 0,26 mg/g BB), P3 (MSG ditambah vitamin E 0,026 mg/g BB) dan P4 (MSG ditambah vitamin C dan E). Setelah perlakuan selesai, mencit dikorbankan dengan dislokasi leher. Jaringan ginjal dibuat preparat dengan metode parafin dan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE). Hasil penelitian menunjukkan berat ginjal tidak berbeda nyata antara kontrol dan perlakuan. Kerusakan histologis ginjal menunjukkan perbedaan yang nyata antara kontrol dengan perlakuan. Pada P1 lebih banyak kerusakan tubulus proksimal sekitar 69,95%±5,10 dan pada P4 sekitar 48,40%±3. Disimpulkan bahwa pemberian MSG dapat menimbulkan kerusakan histologis ginjal berupa penyempitan lumen tubulus proksimal ginjal, tetapi tidak mempengaruhi berat ginjal mencit. Kombinasi vitamin C dan E dapat mengurangi terjadinya kerusakan akibat pemberian MSG pada ginjal.


(8)

vii

EFFECT OF VITAMIN C AND E ON KIDNEY MICROSTRUKTURE OF MOUSE(Mus musculuc L.) EXPOSED TO MONOSODIUM GLUTAMATE

(MSG)

ABSTRACT

The aim of this research is to study the effect of vitamin C and E on kidney microstructure of mouse exposed to monosodium glutamate for 30 days. This research used complete randomized design which consisted of 6 treatments and 5 replications. The control consisted of K-, and K+ (castrol oil 0.3 ml). The treatments were MSG 4 mg/g BW, P1 (only MSG), P2 (MSG plus vitamin C 0.26 mg/g BW), P3 (MSG plus vitamin E 0.026 mg/g BW) and P4 (MSG plus vitamin C and E). After treatments were completed, the mice were sacrificed by cervical dislocation, kidney tissue section were prepared by paraffin method and stained with Haematoxylin and Eosin staining. The results showed for kidney weight there is no significant difference between control and treatment groups. Microstructure damage of kidneys showed a significant difference between control and treatment. In P1, proximal tubule damage was 69.95%±5 and in P4 was 47.22%±3. In summary MSG can cause damage in the form of a narrowing of the lumen of the proximal tubules of the kidney, but did not affect the weight of the kidney. Combination of vitamins C and E can reduce the effect of MSG on kidney.


(9)

(10)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN ii

PERNYATAAN iii

PENGHARGAAN iv

ABSTRAK vi

ABSTRACT vii

DAFTAR ISI viii

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 3

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Hipotesis 4

1.5 Manfaat Penelitian 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Monosodium Glutamat (MSG) 2.1.1 Penemuan MSG 5

2.1.2 Efek Biologi MSG 5

2.2 Radikal Bebas dan Antioksidan 8

2.3 Vitamin C 2.3.1 Penemuan Vitamin C 9

2.3.2 Sifat dan Metabolisme Vitamin C 10

2.4 Vitamin E 2.4.1 Penemuan Vitamin E 11

2.4.2 Sifat dan Metabolisme Vitamin E 11

2.5 Ginjal 2.5.1 Anatomi Ginjal 12

2.5.2 Gambaran Histologis Ginjal 13

2.5.3 Fungsi Ginjal 14

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 16

3.2 Alat dan Bahan 16

3.3 Rancangan Percobaan 17

3.4 Pelaksanaan Penelitian dan Pengamatan 3.4.1 Hewan Percobaan 17

3.4.2 Pembuatan Bahan Uji 18

3.4.3 Pembuatan Preparat Ginjal Mencit Jantan dengan 18 Metode Parafin


(11)

3.4.4 Parameter Pengamatan

3.4.4.1 Pengamatan Kualitatif 20

3.4.4.2 Pengamatan Kuantitatif 20

3.5 Analisis Statistik 21

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Morfologi Ginjal Mencit (Mus musculuc L.) 22

4.2 Berat Ginjal (Mus musculus L.) 23

4.3 Gambaran Histologis Tubulus Proksimal Ginjal Mencit (Mus musculus L.) 24

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 30

5.2 Saran 30

DAFTAR PUSTAKA 31


(12)

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur Kimia MSG 6

Gambar 2. Struktur Vitamin C 10

Gambar 3. Struktur Vitamin E 11

Gambar 4. Struktur Ginjal dan Histologis Ginjal 13

Gambar 5. Gambaran Morfologi Ginjal Mencit (Mus musculusL.) 21

Setelah Pembarian Vitamin C dan E yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG) Gambar 6. Rata-rata Berat Ginjal Mencit (Mus musculusL.) 22

Kontrol (K- dan K+) dan Perlakuan (P1, P2, P3 dan P4) Gambar 7. Gambaran Histologis Tubulus Proksimal Ginjal Mencit 24

(Mus musculusL.) Perlakuan Kontrol (K- dan K+) dan Perlakuan (P1, P2, P3 dan P4) Gambar 8. Persentase Kerusakan Tubulus Proksimal Ginjal Mencit 26

(Mus musculusL.) Kontrol (K- dan K+) dan Perlakuan (P1, P2, P3 dan P4)


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran A. Prosedur Pembuatan Bahan Uji 34

Lampiran B. Pembuatan Preparat Histologis Ginjal 35

Lampiran C. Alat dan Bahan Penelitian 36

Lampiran D. Data dan Analisis Statistik Berat Ginjal Mencit 37

(Mus musculus L.) Lampiran E. Data dan Analisis Statistik Kerusakan Histologis 39

Tubulus Proksimal Ginjal Mencit (Mus musculusL.) Lampiran F. Rekomendasi Persetujuan Etik Penelitian Kesehatan 48


(14)

vi

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C DAN E TERHADAP GAMBARAN HISTOLOGIS GINJAL MENCIT (Mus musculusL.) YANG DIPAJANKAN

MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin C dan E terhadap gambaran histologis ginjal mencit (Mus musculus L.) yang dipajankan Monosodium Glutamat (MSG) selama 30 hari. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) terdiri dari 6 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan kontrol terdiri dari K-, dan K+ (diberi Castrol Oil 0.3 ml). Pada perlakuan diberi MSG 4 mg/g BB, P1(hanya MSG), P2 (MSG ditambah vitamin C 0,26 mg/g BB), P3 (MSG ditambah vitamin E 0,026 mg/g BB) dan P4 (MSG ditambah vitamin C dan E). Setelah perlakuan selesai, mencit dikorbankan dengan dislokasi leher. Jaringan ginjal dibuat preparat dengan metode parafin dan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE). Hasil penelitian menunjukkan berat ginjal tidak berbeda nyata antara kontrol dan perlakuan. Kerusakan histologis ginjal menunjukkan perbedaan yang nyata antara kontrol dengan perlakuan. Pada P1 lebih banyak kerusakan tubulus proksimal sekitar 69,95%±5,10 dan pada P4 sekitar 48,40%±3. Disimpulkan bahwa pemberian MSG dapat menimbulkan kerusakan histologis ginjal berupa penyempitan lumen tubulus proksimal ginjal, tetapi tidak mempengaruhi berat ginjal mencit. Kombinasi vitamin C dan E dapat mengurangi terjadinya kerusakan akibat pemberian MSG pada ginjal.


(15)

EFFECT OF VITAMIN C AND E ON KIDNEY MICROSTRUKTURE OF MOUSE(Mus musculuc L.) EXPOSED TO MONOSODIUM GLUTAMATE

(MSG)

ABSTRACT

The aim of this research is to study the effect of vitamin C and E on kidney microstructure of mouse exposed to monosodium glutamate for 30 days. This research used complete randomized design which consisted of 6 treatments and 5 replications. The control consisted of K-, and K+ (castrol oil 0.3 ml). The treatments were MSG 4 mg/g BW, P1 (only MSG), P2 (MSG plus vitamin C 0.26 mg/g BW), P3 (MSG plus vitamin E 0.026 mg/g BW) and P4 (MSG plus vitamin C and E). After treatments were completed, the mice were sacrificed by cervical dislocation, kidney tissue section were prepared by paraffin method and stained with Haematoxylin and Eosin staining. The results showed for kidney weight there is no significant difference between control and treatment groups. Microstructure damage of kidneys showed a significant difference between control and treatment. In P1, proximal tubule damage was 69.95%±5 and in P4 was 47.22%±3. In summary MSG can cause damage in the form of a narrowing of the lumen of the proximal tubules of the kidney, but did not affect the weight of the kidney. Combination of vitamins C and E can reduce the effect of MSG on kidney.


(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Monosodium Glutamat (MSG) banyak digunakan dalam kehidapan sehari-hari sebagai bahan penyedap untuk merangsang selera makan. Penggunaan MSG dalam makanan biasanya dilakukan dalam jangka waktu pemakaian yang cukup lama. Percobaan mengenai efek toksik MSG menunjukkan hasil yang kontroversial. Dari berbagai macam penelitian yang umumnya dilakukan pada hewan percobaan dalam periode neonatal atau infant dengan pemberian MSG dosis tinggi melalui penyuntikan, telah ditemukan beberapa bukti bahwa MSG dapat menyebabkan nekrosis pada neuron hipotalamus dan nukleus arkuata hipotalamus, kemandulan pada jantan dan betina, berkurangnya berat hipofisis anterior, adrenal, tiroid, uterus, ovarium, dan testis, kerusakan fungsi reproduksi, dan berkurangnya jumlah anak (Sukawan, 2008). Food and Drug Association (FDA) telah mengklasifikasikan MSG sebagai generally recognized as safe (GRAS), MSG juga dinyatakan aman untuk dikonsumsi pada kadar yang normal karena tidak ada bukti bahwa penggunaan MSG dapat menyebabkan masalah yang serius di bidang kesehatan dalam jangka waktu yang panjang (Geha & Beiser, 2000).

Laporan mengenai gejala yang muncul akibat mengkonsumsi MSG berupa kebas pada belakang leher yang secara berangsur-angsur menjalar ke lengan dan punggung, perasaan lemah, jantung berdebar dan sakit kepala. Pada dosis tertentu menyebabkan perasaan terbakar, tekanan pada wajah dan nyeri dada. Terdapat hubungan antara dosis dan efek yang ditimbulkan serta adanya variasi dosis antar individu dalam menimbulkan efek. Penelitian yang dilakukan di Indonesia juga tidak menemukan perbedaan gejala yang signifikan antara orang sehat yang mengkonsumsi MSG dengan placebo. Penelitian terhadap 752 orang Cina dewasa yang mengevaluasi


(17)

hubungan antara konsumsi MSG dengan overweight memperlihatkan bahwa konsumsi MSG ada hubungannya dengan peningkatan resiko overweight, tidak tergantung aktivitas fisik dan asupan energi total pada manusia. Perlu dilakukan berbagai penelitian pada manusia maupun hewan coba untuk mengetahui efek toksik MSG (Megawati, 2008).

Obat yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi (secara farmakokinetik) (Agustie, 2006). Monosodium glutamat yang dikonsumsi akan melalui proses absorbsi di usus, didistribusikan ke seluruh tubuh untuk mengalami proses metabolisme di hepar dan selanjutnya akan diekskresikan melalui empedu dalam feses maupun melalui ginjal dalam urin. Ginjal merupakan organ ekskresi utama yang sangat penting untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme tubuh, termasuk zat-zat toksik yang tidak sengaja masuk ke dalam tubuh. Hal ini memungkinkan terjadinya suatu efek medik maupun efek toksik yang disebabkan oleh MSG terhadap organ tersebut diatas, termasuk ginjal.

Radikal bebas bersifat toksik, sangat reaktif, dan merupakan molekul yang tidak stabil karena kehilangan elektron dalam reaksi kimia. Radikal bebas mulai melakukan serangkaian reaksi kimia untuk menggantikan elektron yang hilang, sehingga menyebabkan kerusakan pada membran sel, mutasi DNA, mempercepat penuaan, kehancuran kekuatan fungsi sel, dan penumpukan lemak. Pemakaian antioksidan alami secara luas dianjurkan dalam mengobati dan mendetoksifikasi keadaan tersebut. Vitamin C merupakan antioksidan yang kuat dan pengikat radikal bebas, serta mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh molekul superperoksida, peroksida, radikal hidroksil dan oksigen singlet. Antioksidan yang larut dalam air, termasuk vitamin C, asam urat, sistein, glutation, sementara antioksidan yang larut dalam lemak antara lain vitamin E yang berfungsi dalam membran sel (Goodman, 1995).

Vitamin C dan E sebagai antioksidan dapat menghentikan reaksi berantai radikal bebas. Vitamin E akan menangkap radikal bebas, tetapi vitamin E ini kemudian berubah menjadi vitamin E radikal sehingga memerlukan pertolongan vitamin C. Vitamin C bersama-sama dengan vitamin E dapat menghambat reaksi


(18)

3

oksidasi dengan mengikat vitamin E radikal yang terbentuk pada proses pemutusan reaksi radikal bebas oleh vitamin E menjadi vitamin E bebas yang berfungsi kembali sebagai antioksidan di dalam tubuh (Pavlovic et al., 2005 dalam Iswara, 2009).

1.2Perumusan Masalah

Monosodium glutamat adalah senyawa kimia, yang kemungkinan dapat manyebabkan terjadinya interaksi dalam tubuh, sisa-sisa metabolismenya, maupun kandungan senyawa lain yang belum diketahui bentuk dan sifatnya, dapat mempengaruhi struktur ginjal sebagai organ ekskresi yang mengalami kontak dengan senyawa-senyawa tersebut. Kerusakan ginjal karena zat toksik dapat diidentifikasi berdasarkan perubahan struktur histologis. Perubahan struktur histologis ginjal ini tentu dipengaruhi oleh jumlah senyawa yang masuk ke dalam tubuh. Efek toksik sangat mungkin muncul apabila masyarakat menggunakannya dengan dosis yang berlebihan. Hal inilah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui perubahan gambaran histologis ginjal mencit DDW setelah pemberian MSGselama 30 hari, dan diberi vitamin C dan E yang diharapkan sebagai proteksi, karena vitamin C dan E bersifat sebagai antioksidan.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah

a. Untuk mengetahui pengaruh pemberian MSG terhadap gambaran histologis ginjal mencit

b. Untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin C terhadap gambaran histologis ginjal mencit yang terpajan MSG

c. Untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin E terhadap gambaran histologis ginjal mencit yang terpajan MSG

d. Untuk mengetahui pengaruh penggabungan vitamin C dan E terhadap gambaran histologis ginjal mencit yang terpajan MSG


(19)

1.4 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah, maka hipotesis dari penelitian ini sebagai berikut:

a. Pemberian MSG dapat merusak gambaran histologis ginjal mencit

b. Pemberian vitamin C dapat memperbaiki gambaran histologis ginjal mencit yang terpajan MSG

c. Pemberian vitamin E dapat memperbaiki gambaran histologis ginjal mencit yang terpajan MSG

d. Penggabungan pemberian vitamin C dan E akan lebih baik memperbaiki gambaran histologis ginjal mencit yang terpajan MSG dibandingkan dengan pemberian vitamin C atau vitamin E saja

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Memberikan informasi kepada masyarakat dan pemerintah untuk memperhatikan penggunaan MSG dalam kehidupan sehari-hari.

b. Dapat dijadikan referensi bahwa antioksidan vitamin C dan E mampu menghalangi pengaruh negatif dari penggunaan MSG terhadap struktur dan sistem ekskresi pada ginjal.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Monosodium Glutamat (MSG) 2.1.1 Penemuan MSG

Monosodium glutamat diisolasi oleh Dr. Kikunnae Ikeda pada tahun 1909. Monosodium glutamat sendiri sebenarnya sama sekali tidak menghadirkan rasa yang enak, bahkan sering menghadirkan rasa yang dideskripsikan sebagai rasa pahit, dan asin. Pemberian MSG pada bahan makanan yang sesuai dengan konsentrasi rendah, akan membuat makanan tersebut menjadi nikmat yang dapat diterima masyarakat (Kobayashi et al., 2002). Monosodium Glutamat kemudian menjadi bahan penambah rasa yang dipakai di seluruh dunia (Geha & Beiser, 2000).

Monosodium Glutamat = monosodium -L- glutamat adalah garam natrium dari asam glutamat yang sangat luas digunakan sebagai bumbu penyedap. Glutamat banyak dijumpai dalam alam, juga terdapat dalam makanan dan tubuh manusia, baik dalam bentuk bebas maupun terikat sebagai peptida maupun protein. Glutamat yang terikat dengan protein tidak mempunyai daya penyedap seperti bentuk bebas. Jenis makanan yang mengandung banyak protein seperti ASI (air susu ibu), susu sapi, keju dan daging mengandung banyak glutamat sedangkan sebagian besar sayuran sedikit kandungan glutamatnya, tetapi ada sayuran atau buah tertentu yang mengandung banyak glutamat bebas seperti jamur-jamur, tomat, peas (Santoso, 1988).

2.1.2 Efek Biologis MSG

Monosodium Glutamat adalah gabungan antara komponen garam sodium dan asam glutamat–L (suatu asam amino non esensial) yang bersifat sangat larut dalam air dan akan berdisosiasi menjadi kation garam sodium dan anion asam glutamat. Glutamat


(21)

dalam MSG yang berasal dari hidrolisa protein tumbuhan merupakan glutamat dalam bentuk bebas. Konsumsi glutamat bebas akan meningkatkan kadar glutamat dalam plasma darah. Kadar puncak asam glutamat dicapai hewan dewasa setelah konsumsi oral 1 g/kg berat badan paling rendah pada kelinci dan meningkat secara progresif pada monyet, anjing, mencit, tikus dan babi. Faktor–faktor yang mempengaruhi kadar puncak asam glutamat plasma adalah rute administrasi (oral, subkutan dan intraperitoneal), konsentrasi MSG dalam larutan (2%, 10%), dan usia (hewan baru lahir memetabolisme asam glutamat lebih rendah dari pada dewasa). Seseorang dengan berat badan 70 kg diperkirakan setiap harinya dapat memperoleh asupan asam glutamat sekitar 28 g yang berasal dari makanan dan hasil pemecahan protein dalam usus. Pertukaran asam glutamat setiap harinya dalam tubuh adalah sekitar 48 g (Megawati, 2008).

Berikut struktur kimia MSG (Loliger, 2000):

Gambar 1. Struktur Kimia MSG

Asam glutamat adalah suatu asam amino yang di dalam tubuh akan dikonversikan menjadi glutamat. Glutamat berperan sebagai neurotransmitter yang menyebabkan sel-sel neuron yang ada di otak dapat berkomunikasi antara yang satu dengan lainnya. Asam glutamat biasanya terikat pada molekul protein yang terdapat di dalam makanan, kemudian protein tersebut secara perlahan akan dipecahkan dan kemudian diserap oleh tubuh. Glutamat didalam MSG tidak terikat pada molekul protein melainkan dalam bentuk bebas. Penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa mengkonsumsi glutamat bebas melalui sistem digestive dapat meningkatkan kadar glutamat di dalam plasma darah secara signifikan. Blood brain barrier (sawar otak) akan mencegah kadar glutamat yang berlebihan (Savira, 2008).

Asam amino glutamat yang terdapat di dalam otak berfungsi sebagai neurotransmitter untuk menjalarkan rangsang antar neuron. Bersifat eksitotoksik bagi


(22)

7

otak jika terakumulasi di sinaps (celah antar sel saraf). GABA (Gamma Amino Butyric Acid) juga termasuk neurotransmitter dan memiliki fungsi lain sebagai reseptor glutamatergik, sehingga bisa menjadi target dari sifat toksik glutamat. Saat kerja glutamate transport protein, ada enzim glutamine sintetase yang bertugas mengubah amonia dan glutamat menjadi glutamin yang tidak berbahaya dan bisa dikeluarkan dari otak. Asam glutamat diusahakan untuk dipertahankan dalam kadar rendah dan nontoksik saat terakumulasi di otak. Reseptor sejenis untuk glutamat juga ditemukan di beberapa bagian tubuh lain seperti tulang, jantung, ginjal, hati, plasenta dan usus. Saat mengkonsumsi MSG, asam glutamat bebas yang dihasilkan sebagian akan terikat di usus, dan selebihnya dilepaskan ke dalam darah, selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh (Ardyanto, 2004).

Efek toksik MSG pada binatang dihubungkan dengan dua faktor, yaitu: kadar glutamat yang tinggi dalam darah dan spesies binatang yang rentan pada toksisitas glutamat. Menurut Olney (1969), konsentrasi di atas 60 u Mol/dl dapat menyebabkan kerusakan pada otak. Lesi dapat terjadi pada nukleus arkuata hipotalamus pada mencit muda oleh pemberian MSG secara per oral atau subkutan. Penyuntikan tunggal subkutan MSG menyebabkan terjadi peningkatan kadar glutamat empat kali lipat pada nukleus arkuata hipotalamus, diikuti dengan kenaikan glutamat dalam plasma. Puncak dari kadar glutamat dalam plasma terjadi setelah 15 menit, dan kadar puncak di dalam nukleus arkuata dicapai setelah 3 jam. Hasilnya menunjukkan bahwa konsentrasi di plasma setelah tingkat tertentu menyebabkan lesi pada otak. Perbedaan kualitatif pada kadar asam glutamat dalam plasma mengikuti pemberian MSG per oral pada neonatus tikus atau mencit, dihubungkan dengan usia, dosis total berdasarkan berat badan dan konsentrasi dari larutan MSG yang diberikan (Sukawan, 2008).

Penelitian terhadap tikus yang pada makanan standarnya ditambah MSG 100 g/kg berat badan/hari, setelah 45 hari memperlihatkan adanya disfungsi metabolik berupa peningkatan kadar glukosa darah, trigliserol, insulin dan leptin. Keadaan tersebut disebabkan karena terjadinya stres oksidatif dalam tubuh berupa peningkatan kadar hiperperoksidasi lipid dan penurunan bahan-bahan antioksidan, tetapi hal tersebut dapat dicegah dengan penambahan serat pada bahan makanan sehari-hari (Diniz et al., 2005).


(23)

Keadaan stress oksidatif juga dijumpai setelah pemberian MSG 4 mg/g berat badan secara interperitoneal memperlihatkan peningkatan pembentukkan MDA (Malondialdehyde) di hati, ginjal dan otak tikus. Pemberian makanan yang mengandung vitamin C, E dan quertin secara bersamaan mengurangi kadar MDA yang muncul akibat pemberian MSG (Farombi & Onyema, 2006).

Hampir semua bahan makanan sudah mengandung glutamat. Beberapa diantaranya mengandung kadar tinggi, seperti: susu, telur, daging, ikan, ayam, kentang, jagung, tomat, brokoli, jamur, anggur, kecap, saus dan keju. Termasuk dalam hal ini juga bumbu-bumbu penyedap alami seperti vanili atau daun pandan. Hasil penelitian untuk batasan metabolisme (30 mg/kg/hari) berarti rata-rata dalam sehari dibatasi penambahan maksimal 2,5 – 3,5 g MSG (berat badan 50 – 70 kg), dan tidak boleh dalam dosis tinggi, sementara satu sendok teh rata-rata berisi 4 - 6 gram MSG (Ardyanto, 2004).

2.2 Radikal Bebas dan Antioksidan

Radikal bebas adalah molekul yang kehilangan elektron, sehingga molekul tersebut menjadi tidak stabil dan selalu berusaha mengambil elektron dari molekul atau sel lain. Radikal bebas dapat dihasilkan dari hasil metabolisme tubuh dan faktor eksternal seperti hasil penyinaran ultra violet, zat kimiawi dalam makanan dan polutan lain. Penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas bersifat kronis, yaitu dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk penyakit tersebut menjadi nyata. Radikal bebas yang mengambil elektron dari sel tubuh manusia dapat menyebabkan perubahan struktur DNA sehingga menimbulkan sel-sel mutan. Tubuh manusia, sebenarnya dapat menghasilkan antioksidan tetapi jumlahnya sering sekali tidak cukup untuk menetralkan radikal bebas yang masuk ke dalam tubuh (Iswara, 2009).

Ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan menyebabkan terjadinya suatu keadaan yang disebut stress oksidatif. Stress oksidatif adalah suatu keadaan dimana tingkat kelompok oksigen reaktif (ROS) yang toksik melebihi pertahanan atioksidan endogen. Keadaan ini mengakibatkan kelebihan radikal bebas


(24)

9

yang akan bereaksi dengan lemak, protein, dan asam nukleat seluler sehingga terjadi kerusakan lokal dan disfungsi organ tertentu (Syahrizal, 2008).

Antioksidan adalah substansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisir radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal, protein, dan lemak. Antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas, dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan stres oksidatif. Antioksidan yang dikenal ada yang berupa enzim dan ada yang berupa mikronutrien. Enzim antioksidan dibentuk dalam tubuh, yaitu super oksida dismutase (SOD), glutation peroksida, katalase, dan glutation reduktase. Antioksidan yang berupa mikronutrien dikenal tiga yang utama, yaitu : b-karoten, vitamin C dan vitamin E. B-caroten merupakan scavengers (pemulung) oksigen tunggal, vitamin C merupakan pemulung superoksida dan radikal bebas yang lain, sedangkan vitamin E merupakan pemutus rantai peroksida lemak pada membran dan Low Density Lipoprotein. Vitamin E yang larut dalam lemak merupakan antioksidan yang melindungi Poly Unsaturated Faty Acids (PUFAs) dan komponen sel serta membran sel dari oksidasi oleh radikal bebas (Hariyatmi, 2004).

Antioksidan sekunder, mampu mendekomposisi hidroperoksida menjadi bentuk stabil, pada manusia dikenal SOD, katalase, glutation peroksidase. Mekanisme kerja antioksidan seluler adalah berinteraksi langsung dengan oksidan, radikal bebas atau oksigen tunggal, mencegah pembentukan jenis oksigen reaktif, mengubah jenis oksigen reaktif menjadi kurang toksik, mencegah kemampuan oksigen reaktif, memperbaiki kerusakan yang timbul (Hariyatmi, 2004).

2.3 Vitamin C

2.3.1 Penemuan Vitamin C

Penyakit scurvy telah dikenal sejak abad ke-15, yaitu penyakit yang banyak diderita oleh pelaut yang berlayar selama berbulan-bulan serta bertahan dengan makanan yang dikeringkan dan biskuit. Penyakit ini menyebabkan pucat, rasa lelah berkepanjangan


(25)

diikuti oleh perdarahan gusi, perdarahan dibawah kulit, edema, tukak, dan pada akhirnya kematian. Tahun 1750, Lind, seorang dokter dari Skotlandia menemukan bahwa scurvy dapat dicegah dan diobati dengan makan jeruk. Tahun 1932 Szent-Gyorgyi dan C. Glenn King berhasil mengisolasi zat antiskorbut dari jaringan adrenal, jeruk, dan kol yang dinamakan vitamin C. Zat ini kemudian berhasil disintesis pada tahun 1933 oleh Haworth dan Hirst sebagai asam askorbat (Almatsier, 2009).

Gambar 2. Struktur Vitamin C

2.3.2 Sifat dan Metabolisme Vitamin C

Vitamin C bersifat hidrofil dan melindungi membran sel dari luar, karena terutama bekerja dalam cairan diluar sel. Pada tempat ini bisa terdapat radikal bebas yang lolos dari proses fagositosis dari fagosit. Sel tangkis ini terutama aktif selama aktivitas dari sistem pertahanan tubuh meningkat. Limfosit T juga membutuhkan banyak vitamin C agar dapat bekerja secara aktif. Disamping mengaktivasi fagosit vitamin C juga menstimulasi produk antiveron dengan daya antiviral. Oleh karena itu dalam keadaan stress kontinu dan pembebanan ketahanan berlebihan asupan vitamin C dosis tinggi sangat berguna (Tjay & Rahardja, 2002).

Vitamin C berfungsi paling baik pada lingkungan air sehingga merupakan antioksidan utama dalam plasma terhadap serangan radikal bebas (ROS). Vitamin C juga berperan dalam sel sebagai zat penyapu radikal bebas. Vitamin C dapat langsung bereaksi dengan superoksida dan anion hidroksil, serta berbagai hidroperoksida lemak. Vitamin C sebagai antioksidan pemutus-reaksi berantai, memungkinkan untuk melakukan regenerasi bentuk vitamin E yang tereduksi (Sulistyowati, 2006).


(26)

11

Absorpsi vitamin C dari usus berlangsung secara cepat dan sempurna (90%). Distribusinya ke seluruh jaringan. Persediaan untuk tubuh sebagian besar terdapat dalam korteks anak ginjal. Dalam darah sangat mudah dioksidasi secara reversibel menjadi dehidroascorbat yang hampir sama aktifnya. Ekskresi berlangsung terutama sebagai metabolit dehidro dan sedikit sebagai asam folat (Tjay & Rahardja, 2002).

2.4 Vitamin E

2.4.1 Penemuan Vitamin E

Pada tahun 1912, ditemukan suatu zat larut lemak yang dapat mencegah keguguran dan sterilitas pada tikus. Zat ini pada awalnya dinamakan faktor antisterilitas dan kemudian vitamin E. Vitamin E kemudian pada tahun 1936 dapat diisolasi dari minyak kecambah gandum dan dinamakan tokoferol, berasal dari bahasa Yunani dari kata tokos yang berarti kelainan dan pherein berarti yang menyebabkan. Hewan tidak dapat mensintesis vitamin E dalam tubuhnya, sehingga harus memperolehnnya dari makanan nabati. Kekurangan vitamin E pada hewan dapat menimbulkan berbagai sindroma, tapi angka kecukupan untuk manusia belum dapat dikatakan sudah pasti (Almatsier, 2009).

Gambar 3. Struktur Vitamin E

2.4.2 Sifat dan Metabolisme Vitamin E

Vitamin E adalah vitamin yang larut dalam lemak yang terdiri dari campuran dan substansi tokoferol (a, b, g, dan d) dan tokotrienol (a, b, g, dan d). Manusia membutuhkan a - tokoferol sebagai vitamin E yang paling penting untuk aktifitas


(27)

biologi tubuh. Bentuk vitamin E ini dibedakan berdasarkan letak berbagai grup metil pada cincin fenil rantai cabang molekul dan ketidakjenuhan rantai cabang (Haryatmi, 2004).

Vitamin E di absorbsi dari usus halus, tocopherol bersama dengan trigliserida, fosfolipid, kolesterol dan apoprotein dibentuk kembali menjadi chylomicron oleh badan golgi dari sel mukosa. Vitamin E kemudian sebagian besar dibawa ke hati bersama dengan chylomicron yang kemudian akan mengalami katabolisme dengan cepat oleh lipoprotein lipase (LPL) menjadi bagian yang lebih kecil. Proses ini terjadi sama pada semua bentuk vitamin E. Tocopherol yang terdapat dalam chylomicron disekresikan oleh hati menjadi very low density lipoprotein (VLDL) yang akan dikonversikan oleh LPL menjadi low density lipoprotein (LDL) yang memegang peranan paling besar dari plasma tocopherol dan muncul untuk merubahnya dengan cepat menjadi high density lipoprotein (HDL) (Savira, 2008).

2.5 Ginjal

2.5.1 Anatomi Ginjal

Ginjal (ren, nefros) merupakan bagian dari systema urinarium yang terletak di dalam ruang retroperitoneum pada dinding belakang abdomen, di kedua sisi columna vertebralis. Ginjal kanan dan kiri berbentuk seperti kacang dengan bagian atas terlindung oleh skeleton thoracis. Ginjal mempunyai facies anterior, margo medialis dan margo lateralis, serta polus seperior dan polus inferior. Margo lateralis berbentuk cembung, sedangkan margo medialis cekung pada daerah yang disebut hilum renale. Pada hilum renale didapatkan celah yang masuk ke dalam ginjal yang disebut sinus renalis dengan kedalaman sekitar dua setengah sentimeter. Sinus renalis berisi pelvis renalis, calices, pembuluh darah, serabut saraf, dan sedikit jaringan lemak. Pembuluh darah dan ureter akan masuk atau keluar ginjal melalui hilum renale. Pada manusia, terdapat medula ginjal terdiri atas 10-18 struktur berbentuk kerucut atau piramid, yaitu piramid medula. Dasar dari setiap piramid medula, terjulur berkas-berkas tubulus yang paralel, yaitu berkas medula, yang menyusup ke dalam korteks (Wibowo & Widjaja, 2009).


(28)

13

2.5.2 Gambaran Histologis Ginjal

Setiap ginjal terdiri atas 1-4 juta nefron (Yn.nephros,ginjal), setiap nefron terdiri atas bagian yang melebar, korpuskulus renal, tubulus kontortus proksimal, segmen tipis dan tebal ansa (lengkung) Henle, dan tubulus kontortus distal, tubulus dan duktus koligens, yang asal embriologisnya berbeda dari nefron, menampung urin yang dihasilkan oleh nefron dan menghantarnya ke pelvis renis. Nefron dan duktus koligens merupakan tubulus uriniferus, yang dapat dipandang sebagai satuan fungsional ginjal (Junqueire & Carneiro, 1995).

Korpuskulus renal berdiameter 200µm dan terdiri atas seberkas kapiler yaitu glomerulus, dikelilingi oleh kapsula epitel berdinding ganda yang disebut kapsula Bowman. Lapisan luar membentuk batas luar korpuskulus renal disebut lamina parietalis yang terdiri atas epitel selapis gepeng dan lamina basalis dan selapis tipis serat retikulin. Lapisan dalam (lamina visceralis) meliputi kapiler glomerulus yang terdiri dari sel-sel podosit (Bernike, 2008).

Tubulus kontortus proksimal selalu membentuk lengkung yang besar menghadap ke permukaan kapsula ginjal. Tubulus ini berakhir sebagai saluran yang lurus dan melanjutkan diri dengan ansa henle. Sel-sel tubulus proksimal bersifat eosinofilik dengan batas sikat dan garis-garis basal. Batas sel tidak jelas karena sistem interdigitasi yang rumit dari sisi-sisi membran plasma lateral sel. Pada tubulus kontortus proksimal terdapat 6 sampai 12 sel, tetapi yang tampak hanya 4 sampai 5 inti (Tambajong, 1995).


(29)

Lengkung Henle adalah struktur berbentuk U terdiri atas ruas tebal descenden dengan struktur yang sangat mirip tubulus kontortus proksimal, ruas tipis descenden, ruas tipis ascenden, dan ruas tebal ascenden, yang strukturnya sangat mirip dengan tubulus kontortus distal. Lebih kurang sepertujuh dari semua nefron terletak dekat batas korteks- medula yang disebut nefron jukstamedula. Nefron lainnya disebut nefron kortikal. Semua nefron turut serta dalam proses filtrasi, absorpsi dan sekresi. Ruas ascenden lengkung Henle yang menerobos korteks, struktur histologisnya tetap terpelihara tetapi menjadi berkelok-kelok dan disebut tubulus kontortus distal, yaitu bagian terakhir nefron yang dilapisi oleh epitel selapis kuboid (Bernike, 2008).

Potongan histologis tubulus kontortus proksimal dan distal, terdapat dalam korteks dan mempunyai epitel kubis. Perbedaan antara keduanya didasarkan pada sifat-sifat berikut: sel-sel tubulus proksimal lebih besar, mempunyai brush border, dan lebih asidofil karena banyak mengandung mitokondria. Lumen tubulus distal lebih besar, dan karena sel-sel tubulus distal lebih pendek dan lebih kecil dari pada sel-sel tubulus proksimal, pada potongan yang sama dinding tubulus distal terlihat lebih banyak sel dan lebih banyak inti. Sel-sel tubulus distal kurang asidofil dari pada sel-sel tubulus proksimal, dan tidak menunjukkan brush border atau mikrovili yang banyak (Junqueira & Carneiro, 1991).

Setiap tubulus pengumpul berdesenden di korteks, maka tubulus tersebut akan mengalir ke sejumlah tubulus kontortus distal. Tubulus pengumpul membentuk tuba yang lebih besar yang mengalirkan urin ke dalam kaliks minor. Kaliks minor bermuara ke dalam pelvis ginjal melalui kaliks mayor. Pelvis ginjal mengalirkan urin dan ke ureter yang mengarah ke kandung kemih (Sloane, 2003).

2.5.3 Fungsi Ginjal

Menurut Syaifuddin (2000), ginjal mempunyai fungsi yang paling penting dalam tubuh yaitu menyaring plasma dan memindahkan zat dari filtrat pada kecepatan yang bervariasi tergantung pada kebutuhan tubuh. Ginjal membuang zat yang tidak diinginkan oleh tubuh dengan filtrasi darah dan mensekresinya dalam urin, sedangkan


(30)

15

zat yang dibutuhkan tubuh akan kembali ke dalam darah. Fisiologi ginjal sebagai berikut:

a. Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh. Kelebihan air dalam tubuh akan diekskresikan oleh ginjal sebagai urin (kemih) yang encer dalam jumlah besar. b. Mengatur keseimbangan osmotik dan mempertahankan keseimbangan ion yang

optimal dalam plasma (keseimbangan elektrolit).

c. Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh bergantung pada apa yang dimakan. Campuran makanan (mixed diet) menghasilkan urin yang bersifat asam. pH kurang dari 6 ini disebabkan hasil akhir metabolisme protein. Ekskresi sisa-sisa hasil metabolisme (ureum, asam urat, kreatinin), zat-zat toksik, obat-obatan, hasil metabolisme hemoglobin dan bahan kimia asing (pestisida).

d. Fungsi hormonal dan metabolisme. Ginjal menyekresi hormon renin yang mempunyai peranan penting dalam mengatur tekanan darah (sistem renin angiotensin aldesteron) dan membentuk enitropoiesis yang mempunyai peranan penting dalam sel darah merah (eritropoiesis).

Ginjal merupakan organ utama untuk membuang produk sisa metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh. Produk ini meliputi: urea (dari metabolisme asam amino), kreatinin (dari kreatin otot), asam urat (dari asam nukleat), produk akhir dari pemecahan hemoglobin (bilirubin) dan metabolit dari berbagai hormon. Ginjal juga membuang toksin dan zat asing lainnya yang diproduksi oleh tubuh dan pencernaan seperti pestisida, obat-obatan dan makanan tambahan (Guyton & Hall, 2007). Fungsi utama ginjal adalah menyingkirkan buangan metabolisme normal, mengekskresi xenobiotik dan metabolitnya dan fungsi non ekskretori. Urin adalah jalur utama ekskresi toksikan sehingga ginjal mempunyai volume aliran darah yang tinggi, mengkonsentrasikan toksikan pada filtrat, membawa toksikan melalui sel tubulus (Lu, 1994).

Kerusakan pada tubulus dapat terjadi pada sel-sel epitel, antara lain mengalami degenerasi dan atrofi sehingga lumen melebar dan pada akhirnya dapat menyebabkan kematian nefron. Pemberian senyawa tertentu yang bersifat toksik akan memberikan beban berlebih terhadap kerja ginjal. Hal ini sangat mungkin akan menimbulkan efek samping yang tidak di inginkan (Gani & Munir, 1992).


(31)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011 sampai Juni 2012 di kandang pemeliharaan mencit dan Laboratorium Struktur Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang hewan percobaan, jarum gavage, timbangan digital, bak bedah, dissecting set, sample cup, hotplate, oven, kamera digital, mikrotom, baskom, cover glass, object glass, chumber, mikroskop video mikrometer.

Bahan yang digunakan adalah mencit jantan (Mus musculus L.) strain DDW, MSG murni, vitamin C, dan vitamin E produksi Sigma Chemical Co., Castrol Oil produksi PT. Bratako, pakan ternak no. CP 551, alkohol, sekam, larutan Bouin, akuades, larutan NaCl, pewarna Hematoxylin dan Eosin, canada balsam, xylol, parafin.

3.3 Rancangan Percobaan

Penelitian ini mengikuti Rancangan Acak Lengkap (RAL). Terdiri dari 6 perlakuan dan setiap perlakuan terdiri dari 5 ekor mencit (Mus musculus L.). Jumlah


(32)

17

ulangan untuk setiap perlakuan ditentukan dengan menggunakan rumus Frederer (Chairul et al., 1992) yaitu: (t - 1) (n - 1) ≥ 15

dimana: t adalah jumlah perlakuan n adalah jumlah ulangan

Tabel 1. Pemberian Perlakuan Selama 30 Hari

Perlakuan (30 hari)

Castrol Oil 0,3 ml

MSG 4 mg/g BB

Vit C 0,26 mg/g BB

Vit E 0,026 mg/g BB

K Negatif - - - -

K Positif - - -

P1 - - -

P2 - -

P3 - √

P4 √ √ √ √

Keterangan: - = tidak dicekok √ = dicekok

3.4 Pelaksanaan Penelitian dan Pengamatan 3.4.1 Hewan Percobaan

Penelitian ini menggunakan mencit (Mus musculus L.) jantan strain DDW yang sehat dan fertil serta berumur 8-12 minggu dengan berat 25 g sebanyak 30 ekor, mencit tersebut diperoleh dari Balai Penyidikan Penyakit Hewan Sumatera Utara Medan dan dibagi dalam perlakuan kontrol (K+ dan K-) dan perlakuan (P1, P2, P3, dan P4). Mencit diberi makan dan minum secara ad-libitum (Smith & Mangkoewidjojo, 1988). Kandang mencit dijaga kebersihannya dan diatur 12 jam terang - 12 jam gelap. Penanganan hewan percobaan sesuai dengan persyaratan kode etik yang berlaku. Diantaranya penanganan dengan penuh kasih sayang, pemberian makanan yang cukup gizi dan sehat serta memperhatikan kebersihan kandangnya. Sebelum penelitian dilakukan diajukan permohonan untuk mendapatkan ethical clearance ke Komisi Etik Penelitian Hewan di Wilayah Sumatera Utara Medan.

3.4.2 Pembuatan Bahan Uji

Monosodium Glutamat (MSG) diberikan dengan dosis 4 mg/g BB (Simanjuntak, 2010). Mencit yang digunakan dengan berat 25 g, maka MSG yang


(33)

dibutuhkan untuk 1 ekor mencit adalah 100 mg dan dilarutkan kedalam akuades sebanyak 0,2 ml. Vitamin C yang diberikan dengan dosis 0,26 mg/g BB (Simanjuntak, 2010), untuk mencit dengan berat 25 g, maka untuk 1 ekor mencit membutuhkan vitamin C sebanyak 6,5 mg dan dilarutkan kedalam akuades sebanyak 0,2 ml Sedangkan vitamin E yang diberikan dengan dosis 0,026 mg/g BB (Anggraini, 2006), maka untuk 1 ekor mencit dengan berat 25 g adalah 0,65 mg, dan dilarutkan kedalam Castrol Oil hingga 0,3 ml.

3.4.3 Pembuatan Preparat Ginjal Mencit dengan Metode Parafin

Pembuatan sediaan histologi menurut Suntoro (1983), dengan metode parafin adalah: fiksasi, pencucian, dehidrasi, penjernihan, infiltrasi parafin, penanaman, pengirisan, penempelan, deparafinasi, pewarnaan, penutupan dan pemberian label.

Setelah mencit (Mus musculus L.) di dislokasi dan dibedah, diambil organ ginjal (kiri dan kanan) kemudian dicuci dengan larutan NaCL 0,9%, lalu di fiksasi menggunakan larutan fiksatif Bouin selama 1 malam. Setelah proses fiksasi, kemudian dilakukan pencucian (washing) dengan menggunakan alkohol 70% dengan cara menggoyang-goyangkan (shaker) botol yang berisi ginjal hingga jaringan bersih dari larutan fiksasi. Setelah itu dilakukan dehidrasi, menggunakan alkohol bertingkat dimulai dari alkohol 30%, 50%, 60%, 70%, 80%, 90%, 96% dan 100% (alkohol absolut) dengan cara di shaker masing-masing selama 60 menit.

Tahap selanjutnya dilakukan penjernihan (clearing) menggunakan xylol murni dan di inapkan selama 1 malam. Setelah itu dilakukan infiltrasi, proses infiltrasi ini dilakukan dalam oven dengan suhu 56ºC, menggunakan perbandingan xylol:parafin, yaitu 3:1, 1:1, dan 1:3, kemudian berakhir di parafin murni I, II dan III masing-masing selama 1 jam. Setelah proses infiltrasi, selanjutnya dilakukan proses penanaman (embedding) dalam parafin, sebelum melangkah ke proses ini yang harus disiapkan adalah mencairkan parafin, membuat kotak-kotak dari karton atau kalender bekas untuk tempat penanaman, menyiapkan lampu spiritus, menyediakan pinset kecil, dan menyediakan label. setelah semuanya telah siap, proses embedding dimulai dengan


(34)

19

menuangkan parafin yang telah cair kedalam kotak-kotak karton tadi, selanjutnya ambil organ tersebut dengan cepat dari parafin murni dengan menggunakan pinset kecil lalu dimasukkan kedalam kotak yang telah berisi parafin cair tadi, biarkan hingga parafin menjadi keras sampai terbentuk blok-blok parafin.

Tahap selanjutnya adalah penyayatan (section) atau pemotongan dilakukan dengan memotong blok parafin yang telah ditempelkan pada holder kemudian dipasang pada mikrotom, lalu mikrotom diputar sampai blok parafin yang berisi organ tadi terpotong menjadi pita-pita parafin dengan ukuran ketebalan 6-10 µm. Selanjutnya adalah penempelan (affiksing) dilakukan dengan mengambil beberapa pita paraffin yang telah terpotong dengan menggunakan skapel, kemudian di tempelkan pada object glass, lalu di celupkan ke dalam air dingin (air biasa) kemudian ke dalam air panas. Lalu diletakkan di atas hotplate beberapa detik untuk melekatkan pita parafin ke object glass.

Tahap selanjutnya adalah pewarnaan (staining), pewarnaan sediaan ginjal, diwarnai dengan menggunakan pewarna Hematoxylin Eosin. Tahapan pewarnaannya adalah sebagai berikut: Deparafinasi, dilakukan dengan mencelupkan object glass yang telah berisi irisan jaringan tadi ke dalam xylol selama ± 15 menit. Dealkoholisasi, dilakukan secara bertingkat dengan alkohol konsentrasi menurun, dengan alkohol absolut, alkohol 96%, alkohol 90%, alkohol 80%, alkohol 70%, alkohol 60%, alkohol 50% dan alkohol 30%. Pewarnaan, dilakukan dengan cara objek glass yang telah berisi irisan jaringan tadi dimasukkan ke dalam larutan pewarna Hematoxylin Erlich selama 3-7 menit, dicuci dengan air mengalir ± 10 menit, dimasukkan ke dalam alkohol 30%, 50%, dimasukkan ke dalam larutan pewarna eosin 0,5% dalam alkohol 70% selama 1-3 menit, preparat dimasukkkan berturut-turut ke dalam alkohol 60%, 70%, 80%, 90%, 96%, dan alkohol absolut, dikeringkan dengan kertas pengisap selanjutnya, preparat dimasukkan ke xylol.

Penutupan (mounting), setelah dimasukkan ke xylol, jaringan ginjal tersebut kemudian ditetesi canada balsam dan ditutup dengan cover glass dan diusahakan pada saat penutupan tidak ada gelembung udara. Setelah itu diberi label, dibersihkan dan di lakukan pengamatan di bawah mikroskop.


(35)

3.4.4 Parameter Pengamatan 3.4.4.1 Pengamatan Kualitatif

a. Warna ginjal

Penilaian tersebut normal bila permukaan berwarna merah kecoklatan, sedangkan abnormal jika permukaan menunjukkan perubahan warna.

3.4.4.2 Pengamatan Kuantitatif

a. Berat ginjal

Penentuan berat ginjal dilakukan dengan cara menimbang ginjal bagian kanan dan kiri dengan timbangan digital. Berat kedua ginjal diratakan dan menjadi rata-rata berat ginjal masing-masing mencit.

b. Kerusakan tubulus proksimal

Menurut Sihardo (2006), penghitungan kerusakan tubulus proksimal menggunakan rumus ( n / m) x 100%, dimana n adalah jumlah tubulus proksimal yang telah menutup dalam satu lapangan pandang dan m adalah jumlah seluruh tubulus proksimal dalam satu lapangan pandang. Pada pemeriksaan mikroskopis preparat ginjal, penghitungan dilakukan sampai 5 pergantian lapangan pandang yaitu pada bagian atas, bawah, tengah, dan antara tengah dengan bagian atas dan bawah preparat. Untuk pengamatan sampai tingkat sel dilakukan pada perbesaran 400x. Kemudian hasilnya dirata-rata untuk mendapatkan presentase derajat kerusakan ginjal di setiap mencit.

3.5 Analisis Statistik

Untuk data pengamatan histologis (data parametrik) dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas. Jika P<0,05 maka ditransformasi kemudian di uji lagi normalitas dan homogenitasnya. Jika P>0,05 dilakukan uji ANOVA 1 arah, dan jika P<0,05 dilanjutkan dengan uji Post-Hoc Bouferroni. Tetapi jika data tidak normal dan atau tidak homogen (P<0,05) maka dilakukan uji non parametrik Kruskall-wallis. Jika P<0,05 dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney.


(36)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Morfologi Ginjal Mencit (Mus musculusL.)

Hasil pengamatan morfologi ginjal perlakuan kontrol (K- dan K+) dan perlakuan (P1, P2, P3 dan P4) dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Gambaran Morfologi Ginjal Mencit (Mus musculus L.) Setelah Pemberian Vitamin C dan E yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG). Keterangan: K- (tanpa perlakuan), K+ (castrol oil), P1 (MSG), P2 (MSG + vitamin C), P3 (MSG + vitamin E), dan P4 (MSG + vitamin C & E).

Pada Gambar 5 terlihat warna ginjal yang tidak jauh berbeda baik setelah diberi perlakuan dan yang tidak. Pada perlakuan kontrol (K- dan K+) dan pada P1, P2, P3 dan P4 memiliki warna merah kecoklatan dan permukaan ginjal licin. Menurut Lu (1994), pada dasarnya perubahan morfologi sulit untuk di ukur. Menurut Alboneh (2010), tahapan terjadinya gangguan fungsi organ, dimulai dari gangguan keadaan biokimianya, dilanjutkan dengan gangguan anatomis yang terlihat pada tahap berikutnya yang didahului dengan gangguan secara histologis dan pada akhirnya akan bermanifestasi pada tampakan makroskopisnya yang diawali dengan kematian sel dalam jumlah besar.


(37)

Pada hasil penelitian ini tidak terlihat adanya perubahan makroskopis pada ginjal, baik pada warna ginjal (Gambar 5) dan berat ginjal (Gambar 6) setelah diberi perlakuan dan yang tidak, namun pada pengamatan mikroskopis ditemukan adanya tubulus prokimal yang mengalami penyempitan (Gambar 7) dan untuk persentase masing-masing kerusakan tubulus proksimal (Gambar 8). Menurut Cotran (1995), kerusakan ginjal secara mikroskopis dapat berupa nekrosis tubulus, yang disebabkan oleh sejumlah racun organik. Hal ini karena pada sel epitel tubulus terjadi kontak langsung dengan bahan yang direabsorbsi, sehingga sel epitel tubulus ginjal dapat mengalami kerusakan ataupun nekrosis pada inti sel ginjal sehingga warna ginjal tampak berubah.

4.2 Berat Ginjal Mencit (Mus musculus L.)

Setelah dilakukan pengamatan pada berat ginjal diperoleh data yaitu rata-rata berat ginjal tidak memiliki perbedaan yang nyata pada setiap perlakuan kontrol (K- dan K+) dan pada perlakuan (P1, P2, P3 dan P4). Rata-rata berat ginjal kontrol dan perlakuan ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Rata-rata Berat Ginjal Mencit (Mus musculus L.) Kontrol (K- dan K+) dan Perlakuan (P1, P2, P3, dan P4). Huruf yang sama pada pengamatan yang berbeda adalah tidak berbeda nyata pada taraf 5% (p>0,05).

a

a

a

a a

a 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35

K- K+ P1 P2 P3 P4

B

e

r

at

G

injal

(g)

Perlakuan


(38)

23

Dari Gambar 6 dapat dilihat grafik hasil uji statistik (Lampiran D) menunjukkan bahwa pada perlakuan kontrol (K- dan K+), dan perlakuan (P1, P2, P3 dan P4) tidak terlihat adanya perbedaan yang nyata. Menurut Syaifuddin (2001), ginjal adalah organ ekskresi utama untuk membuang sisa metabolisme yang tidak dibutuhkan oleh tubuh. Kerja ginjal meliputi: ultrafiltrasi, reabsorbsi dan ekskresi. Fungsi ginjal yang paling penting yaitu menyaring plasma dan memindahkan zat dari filtrat pada kecepatan yang bervariasi tergantung pada kebutuhan tubuh. Ginjal membuang zat yang tidak diinginkan dengan filtrasi darah dan mensekresikanya dalam urin, sedangkan zat yang dibutuhkan kembali ke dalam darah. Menurut Ummah (2012), peristiwa tersebut menyebabkan ginjal bekerja dengan sangat keras, sehingga dapat mempengaruhi perubahan berat dan morfologi ginjal. Kemampuan ginjal dalam mentolerir setiap bahan toksikan yang masuk kedalam tubuh sangat berpengaruh, sehingga perubahan morfologi dan berat ginjal tidak begitu terlihat baik sebelum atau sesudah diberi perlakuan. Hal tersebut dapat kita lihat pada morfologi warna dan berat ginjal (Gambar 5 dan 6), tidak terlihat perubahan warna dan berat ginjal.

Menurut Anggraini (2008), perubahan struktur pada ginjal hewan uji karena terjadinya degenerasi lemak mengakibatkan berat organ ginjal pengalami peningkatan seiring dengan lamanya perlakuan. Peningkatan berat dapat terjadi karena adanya substansi seperti air dan lemak yang terjadi dalam sel, sehingga volume sel akan bertambah dan akhirnya akan mempengaruhi berat organ hewan uji. Menurut Lu (1994), bila terjadi perubahan pada berat ginjal saat dibandingkan dengan berat ginjal hewan kontrol, maka hal tersebut menunjukkan terjadinya lesi ginjal. Lesi ginjal merupakan kerusakan jaringan karena gangguan fisik atau patologis.

Menurut Alboneh (2010), tidak adanya perubahan yang bermakna dari gambaran makroskopis ginjal kemungkinan akibat dari beberapa hal, yaitu: kerusakan ginjal belum sampai pada tingkat kerusakan anatomi, karena ginjal masih mampu mentolerir kerusakan yang terjadi. Selain itu jumlah sampel juga dapat mempengaruhi hal tersebut, jika jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian terbatas, maka didapatkan distribusi data yang tidak normal. Pada penelitian ini jumlah ulangan sampel yang digunakan pada setiap perlakuan (K-, K+, P1, P2, P3 dan P4) adalah sebanyak 5 ekor mencit.


(39)

4.3 Gambaran Histologis Tubulus Proksimal Ginjal Mencit (Mus musculus L.)

Pengamatan dilakukan dengan melihat tubulus proksimal ginjal yang abnormal. Dikatakan abnormal apabila terdapat pembengkakan sel- sel penyusun epitel, sehingga lumen tubulus proksimal menjadi menyempit bahkan menutup. Gambaran histologi tubulus proksimal ginjal dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Gambaran Histologis Tubulus Proksimal Ginjal Mencit (Mus musculus L.) Perlakuan Kontrol (K- dan K+) dan Perlakuan (P1, P2, P3 dan P4). Pewarnaan HE, perbesaran 400x. a. Tubulus Proksimal Terbuka, b. Tubulus Proksimal yang menyempit/menutup, c. Tubulus Kontortus Distal, d. Glomerolus.


(40)

25

Pada hasil pengamatan perubahan struktur histologis tubulus proksimal diketahui bahwa pada semua perlakuan ditemukan adanya perubahan pada tubulus proksimal berupa penyempitan lumen bahkan menutup. Menurut Anggriani (2008), gambaran mikroskopis berupa sel-sel epitel tubulus proksimal yang membengkak dengan sitoplasma granuler karena terjadi pergeseran air ekstraseluler ke dalam sel. Pergeseran cairan ini terjadi karena toksin menyebabkan perubahan muatan listrik permukaan sel epitel tubulus, transpor aktif ion dan asam organik, dan kemampuan mengkonsentrasikan dari ginjal yang akhirnya mengakibatkan tubulus rusak, sehingga aliran menurun. Gambaran pembengkakan sel ini disebut degenerasi albuminosa atau degenerasi parenkimatosa atau cloudy swelling (bengkak keruh), yang merupakan bentuk degenerasi yang paling ringan serta bersifat reversibel. Hal inilah yang mungkin menyebabkan lumen tubulus proksimal mengalami penyempitan hingga menutup.

Setelah dilakukan pengamatan ginjal mencit terhadap jumlah kerusakan tubulus proksimal yang mengalami penyempitan, dari setiap perlakuan diperoleh data yaitu pada perlakuan kontrol (K- dan K+) dan perlakuan (P1, P2, P3, dan P4) (Gambar 8). Pada perlakuan K- dan K+ tidak berbeda nyata, dan berbeda nyata pada P1, P2, P3, dan P4. Pada P1, P2 dan P3 tidak berbeda nyata dan pada P4 berbeda nyata pada setiap perlakuan. Persentase kerusakan tubulus proksimal ginjal mencit ditunjukkan pada Gambar 8.

Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa kerusakan tubulus proksimal paling tinggi yaitu pada P1 dan paling rendah pada K+. Hal tersebut disebabkan karena P1 hanya mendapat pemajanan MSG saja selama 30 hari, sehingga MSG dianggap sebagai senyawa yang berpotensi bersifat toksik bagi ginjal. Menurut Syaifuddin (2001), keberadaan bahan yang bersifat toksik akan mempengaruhi kerja organ yang bersangkutan. Ginjal adalah organ ekskresi yang utama untuk membuang sisa produksi metabolisme yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh. Ginjal mempunyai fungsi yang paling penting yaitu menyaring plasma dan memindahkan zat dari filtrat pada kecepatan yang bervariasi tergantung pada kebutuhan tubuh. Ginjal membuang zat yang tidak diinginkan dengan filtrasi darah dan mensekresikanya dalam urin, sedangkan zat yang dibutuhkan kembali ke dalam darah. Peristiwa tersebut


(41)

menyebabkan ginjal bekerja dengan keras, sehingga dapat mempengaruhi perubahan pada histologis ginjal.

Gambar 8. Persentase Kerusakan Tubulus Proksimal Ginjal Mencit (Mus musculus L.) Kontrol (K- dan K+) dan Perlakuan (P1,P2, P3 dan P4). Huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata pada taraf 5% (p>0,05).

Menurut Robbins & Kumar (1995), bahan kimia dan obat-obatan merupakan penyebab penting adaptasi. Ginjal merupakan organ yang beratnya kurang dari 1% dari berat badan, meskipun demikian menerima sekitar 20% darah dari curah jantung. Aliran darah ginjal tersebut didistribusikan ke korteks ginjal melalui cabang-cabang arteri ke glomerulus yang melekat pada tubulus. Menurut Soeksmanto (2003), fungsi glomerulus sebagai penyaring dan tubulus sebagai tempat mengkoleksi bahan buangan dan kelebihan air. Oleh karena itu tubuli dan jaringan interstitium korteks ginjal lebih mudah terkena toksin yang bersirkulasi dibandingkan dengan jaringan-jaringan lainnya.

Kerusakan tubulus proksimal mencit terjadi setelah pemberian MSG ini sesuai dengan teori bahwa proses ekskresi obat yang berlangsung di ginjal dapat menimbulkan dampak buruk bagi ginjal itu sendiri. Menurut Anggriani (2008), hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya karena tingginya aliran darah menuju ginjal yang menyebabkan berbagai macam obat dan bahan kimia dalam

a a

b

b b

c 0 10 20 30 40 50 60 70 80

K- K+ P1 P2 P3 P4

K

e

r

usak

an

H

is

tol

ogi

s G

injal

(%)

Perlakuan


(42)

27

sirkulasi sistemik dikirim ke ginjal dalam jumlah yang besar. Faktor lain yang mungkin menyebabkan kerusakan ginjal adalah kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan substansi xenobiotik di dalam sel. Jika suatu zat kimia disekresi secara aktif dari darah ke urin, zat kimia terlebih dahulu diakumulasikan dalam tubulus proksimal atau jika substansi kimia ini direabsorbsi dari urin maka akan melalui sel epitel tubulus dengan konsentrasi tinggi. Akibat dari proses pemekatan tersebut zat-zat toksik ini akan terakumulasi di ginjal dan menyebabkan kerusakan bagi ginjal.

Kerusakan tubulus proksimal karena pemberian MSG selama 30 hari dapat menimbulkan terjadinya stres oksidatif. Menurut Wresdiyati et al. (2003), kenaikan level spesies oksigen reaktif seperti radikal bebas menimbulkan kondisi yang dinamakan stres oksidatif. Kondisi stres oksidatif dapat diinduksi oleh berbagai faktor seperti kurangnya antioksidan dan kelebihan produksi radikal bebas. Keadaan ini dapat mempengaruhi proses-proses fisologis maupun biokimia tubuh, yang mengakibatkan terjadinya gangguan metabolisme fungsi sel dan dapat berakhir pada kematian sel.

Efek radikal bebas dalam tubuh akan dinetralisir oleh antioksidan (electron donor) yang dibentuk oleh tubuh sendiri dan suplemen dari luar melalui makanan, minuman atau obat-obatan, seperti: karotenoid, vitamin C, vitamin E, dan lain-lain. Selain itu, vitamin E dapat mempertahankan integritas sel membran dengan menghambat aktivitas nitrit oxide (NO) endotel dan menghambat perlengketan (adhesi) leukosit pada sel yang mengalami kerusakan. Aktivitas NO juga dapat dihambat oleh vitamin C, selain itu vitamin C juga dapat menstabilkan vitamin E (Sukandar, 2006).

Pada perlakuan P2 dan P3 yang diberi vitamin C dan E secara tunggal setelah pemajanan MSG diperoleh data bahwa kerusakan tubulus proksimal tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan P1. Hal ini mungkin disebabkan oleh dosis vitamin C dan E belum efektif dalam memperbaiki struktur histologis ginjal mencit khusunya pada tubulus proksimal dari pemajanan MSG, sehingga belum dapat menunjukkan penurunan kerusakan histologis ginjal.


(43)

Menurut Tjay & Rahardja (2002), vitamin C bersifat hidrofil dan melindungi membran sel dari luar, karena terutama bekerja dalam cairan diluar sel. Pada tempat ini bisa terdapat radikal bebas yang lolos dari proses fagositosis dari fagosit. Sel tangkis ini terutama aktif selama aktivitas dari sistem pertahanan tubuh meningkat. Limfosit T juga membutuhkan banyak vitamin C agar dapat bekerja secara aktif. Disamping mengaktivasi fagosit vitamin C juga menstimulasi produk antiveron dengan daya antiviral. Keadaan stres kontinu dan pembebanan ketahanan berlebihan membutuhkan asupan vitamin C dosis tinggi.

Menurut Haryatmi (2004), vitamin E tidak dapat berfungsi baik disebabkan oleh sel-sel sudah banyak mengalami kemunduran struktur dan fungsinya, maka tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga tidak mampu menurunkan kadar lemak peroksida. Beberapa hasil penelitian yang telah dilaporkan, disebutkan bahwa vitamin E dapat menurunkan kadar lemak peroksida darah, namun berapa dosis dan lama waktu pemberian serta variasi antioksidan yang tepat sampai saat ini belum dapat ditentukan.

Pemberian kombinasi vitamin C dan E pada P4, mampu menurunkan kerusakan histologis pada tubulus proksimal. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kerja sama yang sinergis dari vitamin C dan E untuk menstabilkan radikal bebas yang disebabkan pemajanan MSG. Menurut Iswara (2009), radikal bebas akan ditangkap oleh vitamin E dengan menyumbangkan satu elektronnya kepada radikal yang kemudian berubah menjadi vitamin E radikal dan selanjutnya akan distabilkan oleh vitamin C. Vitamin C yang bersifat radikal karena kehilangan elektron nantinya akan berubah menjadi stabil kembali oleh enzim antioksidan di dalam tubuh.

Menurut Christyaningsih (2003) dalam Iswara (2009), vitamin C bekerja pada sitosol dan secara eksternal, sedangkan vitamin E bekerja pada membran sel yang memerlukan tekanan oksigen yang tinggi. Mekanisme kerja yang berbeda dari kedua vitamin tersebut dapat disimpulkan, bahwa jika kedua vitamin ini digunakan secara bersamaan diharapkan akan memberikan efek yang optimal dalam menghadapi keadaan stres oksidatif yang mengakibatkan kelebihan radikal bebas yang dapat menimbulkan senyawa oksigen reaktif (ROS).


(44)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:

a. Pemberian MSG secara oral dapat menimbulkan kerusakan histologis ginjal dengan kerusakan penyempitan lumen tubulus proksimal ginjal mencit, namun tidak merusak morfologi dan berat ginjal.

b. Pemberian vitamin C dan E secara oral pada mencit tidak berpengaruh dalam menurunkan kerusakan histologis ginjal mencit yang terpajan MSG.

c. Pemberian vitamin C dan E secara oral pada mencit berpengaruh dalam menurunkan kerusakan histologis ginjal mencit yang terpajan MSG.

5.2 SARAN

Diharapkan adanya penelitian lanjutan dengan parameter pemeriksaan kadar kreatinin urin atau kreatinin serum terhadap ginjal mencit dengan pemberian MSG, vitamin C dan vitamin E.


(45)

DAFTAR PUSTAKA

Agustie, M. C. 2006. Pengaruh Pemberian Rumput Mutiara (Hedyotis corymbosa) Dengan Dosis Bertingkat Terhadap Gambaran Histologi Ginjal Mencit BALB/C. Artikel Penelitian. Semarang: Universitas Diponegoro.

Anggraini, D. 2006. Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap Motilitas Spermatozoa Mencit Jantan Strain BaLB/C Yang Diberi Paparan Asap Rokok. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro.

Anggriani, Y. W. 2008. Pengaruh Pemberian Teh Kombucha Dosis Bertingkat Per Oral Terhadap Gambaran Histologi Ginjal Mencit BALB/C. Artikel Karya Tulis Ilmiah. Semarang: Universitas Diponegoro

Alboneh, S. F. H. 2010. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Meniran (Phyllanthus niruri, L) Terhadap Ginjal Mencit BALB/c. Artikel Penelitian. Semarang: Universitas Dipenegoro.

Almatsier, S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi.: Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama: hlm. 173-188.

Ardyanto, T. D. 2004. MSG dan Kesehatan : Sejarah, Efek dan Kontroversinya. Artikel Kesehatan. Surakarta: Universitas Sebelas Maret (1):52-53.

Bernike, 2008. Pengaruh Proteksi Vitamin C Terdadap Kadar Ureum, Kreatinin Dan Gambaran Histopatologis Ginjal Mencit Yang Dipapar Plumbum. Tesis. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Chairul, Harapini, M., Daryati, Y. 1992. Pengaruh Ekstrak Kencur (Kaempferia galanga L.) Terhadap Kehamilan Mencit Putih (Mus musculus L.). Tesis. Bandung: Universitas Padjajaran, dan Laboratorium Treub Puslitbang Biologi LIPI Bogor.

Cotran, R. S. 1995. Ginjal dan sistem penyalurannya. Di dalam: Robbins, S. L., Kumar, V. Buku Ajar Patologi II edisi 4. Jakarta: EGC. hlm. 203.

Diniz, Y. S., Faine, L. A., Galhardi, C. M., Rodrigues, H. G., Ebaid, G. X., Burneiko, R. C., Cicogna, A. C. & Novelli, E. L. 2005. Monosodium Glutamate In Standard And High-fiber Diets Metabolic Syndrome And Oxidative Sterss In Rats. Nutrition21:749-55.

Farombi, E. O. & Onyema, O. O. 2006. Monosodium Glutamate-induced Oxidative Damage And Genotoxity In The Rat: Modulatory Role of Vitamin C, Vitamin E And Quercetin. Hum Exp Toxicol25:251-9.


(46)

31

Gani, Y dan Munir, W. 1992. Pengaruh tamoxifen terhadap struktur ginjal dan hipofisa mencit (Mus Musculus). Jurnal Matematika dan Pengetahuan Alam

2(1):50.

Geha, R. & Beiser, A. 2000. Review of Alleged Reaction to Monosodium Glutamate and Outcome of a Nutrition. Double-Blind Placebo-Controlled Study: The Journal of Nutrition130:1058-1062.

Goodman, S. 1995. Ester-C(R) Vitamin Generasi III. Terjemahan Rhicard A. Passwater. Jakarta: UI Press. hlm. 29-31.

Guyton, A. C. & Hall, J. E. 2007. Buku Ajar FisiologiKedokteran. Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Haryatmi. 2004. Kemampuan Vitamin E Sebagai Antioksidan Terhadap Radikal Bebas Pada Lanjut Usia. Tesis. Semarang: FKIP UMS. 1(14).

Iswara, A. 2009. Pengaruh Pemberian Antioksidan Vitamin C Dan E Terhadap Kualitas Spermatozoa Tikus Putih Terpapar Allethrin. Skripsi. Semarang: Fakultas MIPA Universitas Negri Semarang.

Loliger J. 2000. Function and importance of glutamate for savory of foods. The Journal of Nutrition 30:915-20.

Lu, F. C. 1994. Toksikologi Dasar. Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko. Edisi Kedua. Jakarta: UI Press.

Juncquiera, C & Carneiro, J. 1995. Histologi Dasar Edisi 8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. hlm. 371- 372.

Junqueira, L, C & Carneiro, J. 1991. Histologi DasarEdisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Kobayashi, C., Kennedy, L. & Halpern, B. 2002. Experience-Induced Changes in Taste Identification of Monosodium Glutamate (MSG) Are Reversible. Chem Senses 31:301–306.

Megawati, E. R. 2008. Penurunan Jumlah Sperma Hewan Coba Akibat Paparan Monosodium Glutamate. Tesis. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Olney, J. W., & Brain, L. 1969. Obesity, and Other Disturbance in Mice Treated with Monosodium Glutamate. Science 1(64).

Robbins, S, L & Kumar, V. 1995. Buku Ajar Patologi I Edisi 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. hlm. 38-39.


(47)

Santoso, S. 1988. Beberapa Data Metabolisme MSG Dalam Tubuh Dan Tinjauan Manfaat Mudaratnya. Skripsi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Savira, M. 2008. Gangguan Perkembangan Testis dan Penurunan Kadar Testosteron Pada Hewan Coba Akibat Paparan Monosodium Glutamate (MSG) Yang berlebihan. Tesis. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. hlm. 4.

Sihardo, L. 2006. Pengaruh Pemberian Minyak Pandanus conoideus Terhadap Gambaran Histologis Ginjal Pada Mencit Swiss Yang Di Infeksi Plasmodium berghei Anka. Karya Tulis Ilmiah. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro.

Simanjuntak, L. 2010. Pengaruh Pemberian Vitamin C Terhadap Gambaran Histologis Hati Mencit (Mus musculus L.) Yang Dipapari Monosodium Glutamate (MSG). Tesis. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Sloane, E. 2003. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Smith, J, B & Mangkoewidjojo, S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Penerbit UI Press.

Soeksmanto, A. 2003. Pengaruh fraksi aktif tumbuhan Aglaia angustifolia terhadap ginjal mencit (Mus musculus).Jurnal Natur Indonesia 6 (1):50.

Sukawan, U. Y. 2008. Efek Toksik Monosodium Glutamat (MSG) Pada Binatang Percobaan. Tesis. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia.

2(3):306 – 314.

Sukandar, E. 2006. Stres Oksidatif sebagai Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskular. Farmacia.6:1

Sulistyowati, Y. 2006. Pengaruh Pemberian Likopen Terhadap Status Antioksidan (Vitamin C, Vitamin E dan Gluthathion Peroksidase) Tikus (Rattus norvegicus galur Sprague Dawley) Hiperkolesterolemik. Tesis. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Dipenegoro.

Suntoro, S.H. 1983. Metode Pewarnaan: Histologi dan Histokimia. Jakarta: Bharatara Karya Aksara: hlm. 42-55.

Syahrizal, D. 2008. Pengaruh Proteksi Vitamin C Terhadap Enzim Transaminase Dan Gambaran Histopatologis Hati Mencit Yang Dipapar Plumbum. Tesis. Medan. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Syaifuddin. 2000. Fungsi Sistem Tubuh Manusia. Jakarta: Penerbit Widya Medika: hlm. 218-219.


(48)

33

Syaifuddin. 2001. Fungsi Sistem Tubuh Manusia. Jakarta: Widya Medika.

Tambajong, J. 1995. Sinopsis Histologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG: hlm. 163.

Tjay, T. H & Rahardja, K. 2002. Obat-obat Penting. Jakarta: Elex Media Komputindo. hlm. 805-809.

Ummah, W. 2012. Pengaruh Ekstrak Air Biji Pepaya (Carica papaya L.) Dan Testosteron Undekanoat (TU) Terhadap Jaringan Ginjal (Mus musculus L.). Skripsi. Medan: Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara.

Wibowo, D.S & Widjaja, P. 2009. Anatomi Tubuh Manusia. Jakarta: Penerbit Graha: hlm. 42.

Wresdiyati, T, Astawan, M, Adnyane, IKM. 2003. Aktivitas anti inflamasi oleoresin jahe (Zingiber officinale) pada ginjal tikus yang mengalami perlakuan stres. Jurnal Teknol dan Industri Pangan16( 2):119.


(49)

LAMPIRAN A. Prosedur Pembuatan Bahan Uji

a. Pembuatan Monosodium Glutamat (MSG)

ditimbang

dimasukkan ke dalam beaker glass ditambahkan aquadest

diaduk menggunakan spatula

b. Pembuatan Vitamin C

ditimbang

dimasukkan ke dalam beaker glass ditambahkan aquadest

diaduk menggunakan spatula

c. Pembuatan Vitamin E

diambil menggunakan spit

dilarutkan dengan minyak jarak (oleum ricini) Serbuk MSG

Larutan MSG

Vit E Serbuk Vit C

Larutan Vit C


(50)

35

LAMPIRAN B. Pembuatan Preparat Histologis Ginjal

Dibilas dengan NaCl 0,9%

Difiksasi dalam BOUIN selama 1 malam Washing dalam alkohol 70%

Dehidrasi dengan alkohol konsentrasi bertingkat mulai 70%, 80%, 96%, dan 100%

Clearing dalam xylol Infiltrasi

Embedding (penanaman) organ dalam cetakan kemudian dituangkan paraffin murni, dibiarkan hingga didapatkan blok paraffin

Cutting (pemotongan) menggunakan mikrotom sehingga didapatkan pita-pita paraffin

Attaching (penempelan) pita paraffin pada object glass Deparafinasi dengan mencelupkan objek dalam xylol

Dealkoholisasi dalam alkohol menurun dari 100%, 96%, 80%, hingga 70%

Pewarnaan dengan mencelupkan dalam Hematoxilin selama 3-7 menit kemudian dibilas dengan air mengalir. Selanjutnya dicelupkan dalam alkohol 70%, lalu dicelupkan dalam Eosin

selama 1-3 menit.

Mounting yaitu menutup preparat dengan gelas penutup yang sebelumnya diberi Canada balsam

Diberi label dan siap diamati

Hasil Pita Paraffin Blok Paraffin


(51)

LAMPIRAN C. Alat Dan Bahan Penelitian

Tempat pemeliharaan Castrol Oil Vitamin E hewan percobaan

Hewan percobaan Dissecting set Bak bedah (Mus musculusL.)


(52)

37

LAMPIRAN D. Data dan Analisis Statistik Berat Ginjal Mencit (Mus musculus

L.)

Rataan Berat Ginjal Mencit (Mus musculus L.) Setelah Pemberian Perlakuan Vitamin C dan E Setelah Dipajankan Monosodium glutamat (MSG)

Perlakuan Ulangan x±SD

1 2 3 4 5

K- 0.23 0.21 0.23 0.27 0.33 0.26±0.05

K+ 0.23 0.26 0.26 0.25 0.25 0.25±0.01

P1 0.25 0.22 0.20 0.23 0.20 0.22±0.02

P2 0.26 0.21 0.26 0.29 0.29 0.26±0.03

P3 0.31 0.26 0.27 0.30 0.26 0.28±0.02

P4 0.29 0.25 0.26 0.26 0.25 0.26±0.01

Hasil Uji Statistik Berat Ginjal Mencit (Mus musculus L.)

Tests of Normality Kel_Per

lakuan

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

Berat_Ginjal K- .292 5 .188 .877 5 .294

K+ .300 5 .161 .833 5 .146

P1 .227 5 .200* .910 5 .468

P2 .276 5 .200* .853 5 .203

P3 .265 5 .200* .836 5 .154

P4 .348 5 .047 .779 5 .054

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Test of Homogeneity of Variance

Levene Statistic df1 df2 Sig.

Berat_Ginjal Based on Mean 2.240 5 24 .083

Based on Median .810 5 24 .554

Based on Median and with adjusted df

.810 5 9.581 .569


(53)

Oneway

ANOVA Berat_Ginjal

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups .010 5 .002 2.482 .060

Within Groups .019 24 .001


(54)

39

LAMPIRAN E. Data dan Analisis Statistik Kerusakan Histologis Tubulus Proksimal Ginjal Mencit (Mus musculus L.)

Persentase Jumlah Kerusakan Histologis Tubulus Proksimal Ginjal Mencit (Mus musculus L.) Setelah Pemberian Vitamin C dan E Setelah Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)

Perlakuan Ulangan x±SD

1 2 3 4 5

K- 33.3 35.8 35.64 37.22 37.38 35.87±1.64

K+ 29.4 32.25 35.35 36.85 40.3 34.83±4.20

P1 71.21 71.65 72.26 59.67 65.49 69.95±5.10

P2 55 66.66 73.65 62.51 56.36 61.70±5.55

P3 50.18 62.44 60.98 61.38 64.97 59.99±5.70

P4 45.1 45.85 52.5 49.7 48.85 48.40±3.00

Hasil Uji Statistik Kerusakan Tubulus Proksimal Ginjal Mencit (Mus musculus

L.)

Tests of Normality Tests of Normality

Kel_Perlakuan

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Kerusakan_Histolog is_Ginjal

K- .245 5 .200* .889 5 .351

K+ .149 5 .200* .991 5 .984

P1 .398 5 .010 .724 5 .017

P2 .322 5 .097 .805 5 .089

P3 .369 5 .025 .798 5 .078

P4 .202 5 .200* .947 5 .718

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Test of Homogeneity of Variance

Levene Statistic df1 df2 Sig.

Kerusakan_Histologis _Ginjal

Based on Mean 1.499 5 24 .227

Based on Median .421 5 24 .830

Based on Median and with adjusted df

.421 5 15.466 .827


(55)

Kruskal-Wallis Test

Ranks

Kel_Perlakuan N Mean Rank

Kerusakan_Histologis_Ginjal K- 5 6.20

K+ 5 4.80

P1 5 26.70

P2 5 21.90

P3 5 20.20

P4 5 13.20

Total 30

Test Statisticsa,b

Kerusakan_Histologis_Ginjal

Chi-Square 25.480

df 5

Asymp. Sig. .000

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: Kel_Perlakuan

Mann-Whitney Test

Ranks

Kel_Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Kerusakan_Histologis_Ginjal K- 5 6.20 31.00

K+ 5 4.80 24.00

Total 10

Test Statisticsb

Kerusakan_Histologis_Ginjal

Mann-Whitney U 9.000

Wilcoxon W 24.000

Z -.731

Asymp. Sig. (2-tailed) .465

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .548a

a. Not corrected for ties.


(56)

41

Mann-Whitney Test

Ranks

Kel_Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Kerusakan_Histologis_Ginjal K- 5 3.00 15.00

P1 5 8.00 40.00

Total 10

Test Statisticsb

Kerusakan_Histologis_Ginjal

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 15.000

Z -2.611

Asymp. Sig. (2-tailed) .009

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .008a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kel_Perlakuan

Mann-Whitney Test

Ranks

Kel_Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Kerusakan_Histologis_Ginjal K- 5 3.00 15.00

P2 5 8.00 40.00

Total 10

Test Statisticsb

Kerusakan_Histologis_Ginjal

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 15.000

Z -2.611

Asymp. Sig. (2-tailed) .009

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .008a

a. Not corrected for ties.


(57)

Mann-Whitney Test

Ranks

Kel_Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Kerusakan_Histologis_Ginjal K- 5 3.00 15.00

P3 5 8.00 40.00

Total 10

Test Statisticsb

Kerusakan_Histologis_Ginjal

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 15.000

Z -2.611

Asymp. Sig. (2-tailed) .009

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .008a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kel_Perlakuan

Mann-Whitney Test

Ranks

Kel_Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Kerusakan_Histologis_Ginjal K- 5 3.00 15.00

P4 5 8.00 40.00

Total 10

Test Statisticsb

Kerusakan_Histologis_Ginjal

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 15.000

Z -2.611

Asymp. Sig. (2-tailed) .009

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .008a

a. Not corrected for ties.


(58)

43

Mann-Whitney Test

Ranks

Kel_Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Kerusakan_Histologis_Ginjal K+ 5 3.00 15.00

P1 5 8.00 40.00

Total 10

Test Statisticsb

Kerusakan_Histologis_Ginjal

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 15.000

Z -2.611

Asymp. Sig. (2-tailed) .009

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .008a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kel_Perlakuan

Mann-Whitney Test

Ranks

Kel_Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Kerusakan_Histologis_Ginjal K+ 5 3.00 15.00

P2 5 8.00 40.00

Total 10

Test Statisticsb

Kerusakan_Histologis_Ginjal

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 15.000

Z -2.611

Asymp. Sig. (2-tailed) .009

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .008a

a. Not corrected for ties.


(1)

Kerusakan_Histologis_Ginjal K+ 5 3.00 15.00

P1 5 8.00 40.00

Total 10

Test Statisticsb

Kerusakan_Histologis_Ginjal

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 15.000

Z -2.611

Asymp. Sig. (2-tailed) .009

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .008a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kel_Perlakuan

Mann-Whitney Test

Ranks

Kel_Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Kerusakan_Histologis_Ginjal K+ 5 3.00 15.00

P2 5 8.00 40.00

Total 10

Test Statisticsb

Kerusakan_Histologis_Ginjal

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 15.000

Z -2.611

Asymp. Sig. (2-tailed) .009

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .008a

a. Not corrected for ties.


(2)

Kerusakan_Histologis_Ginjal K+ 5 3.00 15.00

P3 5 8.00 40.00

Total 10

Test Statisticsb

Kerusakan_Histologis_Ginjal

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 15.000

Z -2.611

Asymp. Sig. (2-tailed) .009

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .008a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kel_Perlakuan

Mann-Whitney Test

Ranks

Kel_Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Kerusakan_Histologis_Ginjal K+ 5 3.00 15.00

P4 5 8.00 40.00

Total 10

Test Statisticsb

Kerusakan_Histologis_Ginjal

Mann-Whitney Test

Mann-Whitney U

.000

Wilcoxon W 15.000

Z -2.611

Asymp. Sig. (2-tailed) .009

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .008a

a. Not corrected for ties.


(3)

Kerusakan_Histologis_Ginjal P1 5 7.40 37.00

P2 5 3.60 18.00

Total 10

Test Statisticsb

Kerusakan_Histologis_Ginjal

Mann-Whitney U 3.000

Wilcoxon W 18.000

Z -1.984

Asymp. Sig. (2-tailed) .047

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .056a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kel_Perlakuan

Mann-Whitney Test

Ranks

Kel_Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Kerusakan_Histologis_Ginjal P1 5 7.30 36.50

P3 5 3.70 18.50

Total 10

Test Statisticsb

Kerusakan_Histologis_Ginjal

Mann-Whitney U 3.500

Wilcoxon W 18.500

Z -1.886

Asymp. Sig. (2-tailed) .059

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .056a

a. Not corrected for ties.


(4)

Kerusakan_Histologis_Ginjal P1 5 8.00 40.00

P4 5 3.00 15.00

Total 10

Test Statisticsb

Kerusakan_Histologis_Ginjal

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 15.000

Z -2.611

Asymp. Sig. (2-tailed) .009

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .008a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kel_Perlakuan

Mann-Whitney Test

Ranks

Kel_Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Kerusakan_Histologis_Ginjal P2 5 6.30 31.50

P3 5 4.70 23.50

Total 10

Test Statisticsb

Kerusakan_Histologis_Ginjal

Mann-Whitney U 8.500

Wilcoxon W 23.500

Z -.838

Asymp. Sig. (2-tailed) .402

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .421a

a. Not corrected for ties.


(5)

Kerusakan_Histologis_Ginjal P2 5 8.00 40.00

P4 5 3.00 15.00

Total 10

Test Statisticsb

Kerusakan_Histologis_Ginjal

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 15.000

Z -2.611

Asymp. Sig. (2-tailed) .009

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .008a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kel_Perlakuan

Mann-Whitney Test

Ranks

Kel_Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Kerusakan_Histologis_Ginjal P3 5 7.80 39.00

P4 5 3.20 16.00

Total 10

Test Statisticsb

Kerusakan_Histologis_Ginjal

Mann-Whitney U 1.000

Wilcoxon W 16.000

Z -2.402

Asymp. Sig. (2-tailed) .016

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .016a

a. Not corrected for ties.


(6)

Dokumen yang terkait

Pengaruh Pemberian Vitamin C Dan E Terhadap Gambaran Histologis Testis Mencit (Mus musculus L.) Yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)

0 46 78

Pengaruh Pemberian Vitamin C Dan E Terhadap Gambaran Histologis Hepar Mencit (Mus musculus L.) Yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)

3 83 66

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C DAN E TERHADAP GAMBARAN HISTOLOGIS HEPAR MENCIT (Mus musculus L.) YANG DIPAJANKAN MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG)

0 0 6

b. Pembuatan Vitamin C - Pengaruh Pemberian Vitamin C Dan E Terhadap Gambaran Histologis Ginjal Mencit(Mus musculus L.) Yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)

0 0 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Monosodium Glutamat (MSG) 2.1.1 Penemuan MSG - Pengaruh Pemberian Vitamin C Dan E Terhadap Gambaran Histologis Ginjal Mencit(Mus musculus L.) Yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)

0 0 11

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C DAN E TERHADAP GAMBARAN HISTOLOGIS GINJAL MENCIT (Mus musculus L.) YANG DIPAJANKAN MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG) SKRIPSI ZULFIANI 080805010

0 0 13

Pengaruh Pemberian Vitamin C Dan E Terhadap Gambaran Histologis Hepar Mencit (Mus musculus L.) Yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)

0 0 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Monosodium Glutamat (MSG) - Pengaruh Pemberian Vitamin C Dan E Terhadap Gambaran Histologis Hepar Mencit (Mus musculus L.) Yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)

0 0 11

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C DAN E TERHADAP GAMBARAN HISTOLOGIS HEPAR MENCIT (Mus musculus L.) YANG DIPAJANKAN MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG) SKRIPSI

0 0 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Monosodium Glutamat (MSG) - Pengaruh Pemberian Vitamin C Dan E Terhadap Gambaran Histologis Testis Mencit (Mus musculus L.) Yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)

0 0 10