Pengaruh Pemberian Vitamin C Dan E Terhadap Gambaran Histologis Hepar Mencit (Mus musculus L.) Yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)
PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C DAN E TERHADAP
GAMBARAN HISTOLOGIS HEPAR MENCIT (
Mus musculus
L.)
YANG DIPAJANKAN MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG)
SKRIPSI
OLEH :
AHRI MAULIDA
080805038
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
(2)
PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C DAN E TERHADAP
GAMBARAN HISTOLOGIS HEPAR MENCIT (
Mus musculus
L.)
YANG DIPAJANKAN MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
OLEH :
AHRI MAULIDA
080805038
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
(3)
PERSETUJUAN
Judul : PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C DAN E
TERHADAP GAMBARAN HISTOLOGIS HEPAR MENCIT (Mus musculus L.) YANG DIPAJANKAN MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG)
Kategori : SKRIPSI
Nama : AHRI MAULIDA
Nomor Induk Mahasiswa : 080805038
Program studi : SARJANA (S1) BIOLOGI
Departemen : BIOLOGI
Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM (MIPA) UNIVERSITAS SUMATERA
UTARA
Diluluskan di Medan, Februari 2013
Komisi Pembimbing :
Pembimbing II Pembimbing I
Dr. Salomo Hutahaean, M. Si.
NIP. 19651011 199501 1 001 NIP. 19660209 199203 1 003
Prof.Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed.
Diketahui/ Disetujui Oleh
Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,
NIP. 19630123 199003 2 001 Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc.
(4)
PERNYATAAN
PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C DAN E TERHADAP
GAMBARAN HISTOLOGIS HEPAR MENCIT (
Mus musculus
L.)
YANG DIPAJANKAN MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG)
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Medan, Januari 2013
080805038
(5)
PENGHARGAAN
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan kesempatan
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Pengaruh
Pemberian Vitamin C dan E Terhadap Gambaran Histologis Hepar Mencit (Mus
musculus L.) Yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)”. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita Rasulullah Muhammad SAW. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M. Biomed selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Dr. Salomo Hutahaean, M.Si selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan serta motivasi hingga selesainya skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dra. Emita Sabri, M.Si selaku Dosen Penguji I dan Ibu Dra. Isnaini Nurwahyuni, M.Sc selaku Dosen Penguji II yang memberikan banyak masukan, bimbingan serta waktu demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Kiki Nurjahja, M.Sc selaku Dosen Penasehat Akademik dan Sekretaris Departemen Biologi FMIPA USU serta kepada Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA USU serta Bapak dan Ibu Dosen pengajar Deparetemen Biologi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Nurhasni Muluk selaku laboran dan analis di Laboratorium dan Ibu Roslina Ginting serta Bapak Endra Raswin selaku Pegawai Administrasi Departemen Biologi FMIPA USU.
Pada kesempatan ini, teristimewa penulis ucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua tercinta, Ayahanda Ilyas Mahwansyah dan Ibunda Zainah yang telah mencurahkan segala bentuk kasih dan sayangnya baik dalam bentuk doa, harapan, perhatian, moril, materi serta dukungan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, semoga Allah SWT senantiasa memuliakan, memberikan kebahagiaan serta keselamatan dunia dan akhirat. Kepada abangda Syahri Maulizar dan adinda Meutia Khairani serta seluruh keluarga yang telah memberikan perhatian, doa, motivasi, dan kebersamaan dalam persaudaraan penulis ucapkan terima kasih.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman seperjuangan Ummi Kalsum, Zulfiani, Nanin Triana, dan Adi Gunawan atas kerjasamanya dalam melaksanakan penelitian ini, semoga suka dan duka serta usaha yang dipupuk hari ini menjadi kenangan dan kesuksesan di kemudian hari. Penulis ucapkan terima kasih kepada sahabat terdekat penulis Biologi Stambuk 2008 yang telah memberi motivasi dan kedewasaan dalam memaknai kehidupan serta kesabarannya dalam menemani hari-hari penulis yang menciptakan kebersaman dalam suka dan duka, semoga persahabatan ini menjadi ukhuwah yang sejati. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada kakak stambuk 2007 yang banyak memberikan masukan serta saran dan motivasi. Adik stambuk 2009, 2010, 2011, dan seluruh Mahasiswa Biologi FMIPA USU serta seluruh pihak yang terlibat di dalamnya yang tidak dapat penulis utarakan
(6)
satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih atas ilmu, motivasi serta doa sehingga skripsi ini selesai.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu segala kritik dan saran yang sangat membangun sangat diharapkan. Akhir kata, demikianlah yang dapat penulis sampaikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Amin Ya Robbal ‘Alamin.
Medan, Februari 2013
(7)
PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C DAN E TERHADAP GAMBARAN
HISTOLOGIS HEPAR MENCIT (Mus musculus L.) YANG DIPAJANKAN
MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh pemberian vitamin C dan E terhadap gambaran histologis hepar mencit setelah dipajankan monosodium glutamat (MSG) selama 30 hari. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 6 perlakuan dan 5 pengulangan. Mencit diberi perlakuan setiap harinya per oral dengan bantuan gavage yaitu P1 (MSG 4 mg), P2 (MSG 4 mg + vitamin 0,26 mg), P3 (MSG 4 mg + vitamin E 0,026 mg), dan P4 (MSG 4 mg + vitamin C 0,26 mg + vitamin E 0,026 mg). Setiap dosis diberikan dalam mg/g berat badan. Kelompok kontrol K- dan K+ masing-masing diberi air dan minyak jarak. Setelah 30 hari perlakuan mencit dikorbankan dengan cara dislokasi leher, kemudian organ hepar dibuat preparat dengan metode blok parafin dan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE). Hasil pengamatan histologis hepar menunjukkan bahwa pemajanan MSG menyebabkan kerusakan hepatosit berupa degenerasi dan nekrosis. Vitamin C dan E mampu memberikan pengaruh efektif pada kerusakan histologis hepar yang disebabkan pemajanan MSG. Pemulihan terbesar ditemukan pada P3 dan perlakuan kombinasi (P4) yang memberikan pengaruh yaitu masing-masing mencapai 64% dan 80%.
(8)
EFFECTS OF VITAMIN C AND E ON LIVER MICROSRTRUCTURE OF MOUSE EXPOSED TO MONOSODIUM GLUTAMATE (MSG)
ABSTRACT
Experiment aimed to determine the effects of vitamin C and E on liver microstructure of mouse exposed to monosodium glutamate for 30 days. The experiment used complete randomized design which consists of 6 treatments and 5 replications. Mice were treated daily by oral gavage with 4 mg MSG (P1), 4 mg MSG + 0.26 mg vitamin C (P2), 4 mg MSG + 0.026 vitamin E (P3), and 4 mg MSG + 0.26 mg vitamin C + 0.026 mg vitamin E (P4). All dosages were in mg/g body weight. Two control groups K- and K+ received water and castrol oil respectively. Mice liver tissue slide were prepared by paraffin method and stained with haematoxylin-eosin (HE). The result showed that MSG caused cell degeneration and necrosis in liver tissue. Vitamin C and E was able to recover liver cell damage induced by MSG. High result was found in P3 and combination treatment (P4) where recovery effect reach 64% and 80% respectively.
(9)
DAFTAR ISI PERSETUJUAN PERNYATAAN PENGHARGAAN ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Hipotesis
1.5 Manfaat
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Monosodium glutamat (MSG) 2.1.1 Metabolisme MSG 2.2 Radikal Bebas dan Antioksidan
2.2.1 Radikal Bebas 2.2.2 Antioksidan
2.2.3 Metabolisme Antioksidan dalam Hepar 2.3 Asam Askorbat (Vitamin C)
2.4 Tokoferol (Vitamin E) 2.5 Hepar
2.5.1 Struktur Hepar
2.5.1.1 Lobulus Hepar 2.5.1.2 Hepatosit 2.5.2 Fungsi Hepar
2.5.3 Kelainan Hepar karena Obat dan Bahan Toksik 2.5.4 Jenis-Jenis Kerusakan Hepar
2.5.5 Regenerasi Hepar BAB 3 BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Hewan Percobaan 3.3.2 Rancangan Percobaan
Halaman ii iii iv vi vii viii x xi xii 1 2 3 3 4 5 6 7 7 7 8 9 10 11 12 12 13 13 14 14 15 16 16 16 16 17
(10)
3.3.3 Pembuatan Bahan Uji 3.3.4 Pemberian Perlakuan 3.3.5 Kelompok Perlakuan
3.3.6 Pembuatan Preparat Histologis Hepar Mencit Jantan dengan Metode Parafin
3.3.7 Parameter Pengamatan
3.3.7.1 Pengamatan Kuantitatif 3.3.7.2 Pengamatan Kualitatif 3.4 Analisi Statistik
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Morfologi Hepar Mencit 4.2 Berat Hepar
4.3 Struktur Histologis Hepar Mencit BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 5.2 Saran DAFTAR PUSTAKA
17 18 18 19 20 20 21 21
22 24 25
32 32 33
(11)
DAFTAR TABEL
Tabel 3.3.5 Tabel 3.3.7.1 Tabel 4.1 Tabel 4.3
Pemberian Perlakuan Terhadap Hewan Uji
Kriteria Penilaian Derajat Histopatologi Sel Hepar Model Scoring Histopathology Manja Roenigk
Data Morfologi Hepar Mencit
Rataan Skor Kerusakan Histologis Hepar Mencit (Mus musculus L.) dengan Pemberian Vitamin C dan E setelah Pemajanan Monosodium Glutamat (MSG) (X±SD)
Halaman 18 20 22 29
(12)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 4.1
Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4
Struktur Kimia MSG Struktur Vitamin C Struktur Vitamin E Histologis Lobus Hepar
Morfologi Hepar Mencit (Warna dan Permukaan) dengan Pemberian Vitamin C dan E setelah Pemajanan Monosodium Glutamat (MSG)
Rata-rata Berat Hepar (g) dari Setiap Kelompok
Skor Kerusakan Hepatosit (degenerasi parenkimatosa, degenerasi hidropik dan nekrosis) dari Setiap Kelompok Histologis Hepar Mencit (Mus musculus L.) dengan Pewarnaan HE dan Perbesaran 400X
Halaman 6 9 10 13 23
24 26 28
(13)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A. Lampiran B. Lampiran C. Lampiran D.
Data dan Analisis Statistik Berat Hepar Mencit
Data dan Analisis Statistik Kerusakan Histologis Hepar Mencit
Prosedur Pembuatan Bahan Uji
Rekomendasi Persetujuan Etik Penelitian Kesehatan
Halaman 37 40 50 51
(14)
PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C DAN E TERHADAP GAMBARAN
HISTOLOGIS HEPAR MENCIT (Mus musculus L.) YANG DIPAJANKAN
MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh pemberian vitamin C dan E terhadap gambaran histologis hepar mencit setelah dipajankan monosodium glutamat (MSG) selama 30 hari. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 6 perlakuan dan 5 pengulangan. Mencit diberi perlakuan setiap harinya per oral dengan bantuan gavage yaitu P1 (MSG 4 mg), P2 (MSG 4 mg + vitamin 0,26 mg), P3 (MSG 4 mg + vitamin E 0,026 mg), dan P4 (MSG 4 mg + vitamin C 0,26 mg + vitamin E 0,026 mg). Setiap dosis diberikan dalam mg/g berat badan. Kelompok kontrol K- dan K+ masing-masing diberi air dan minyak jarak. Setelah 30 hari perlakuan mencit dikorbankan dengan cara dislokasi leher, kemudian organ hepar dibuat preparat dengan metode blok parafin dan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE). Hasil pengamatan histologis hepar menunjukkan bahwa pemajanan MSG menyebabkan kerusakan hepatosit berupa degenerasi dan nekrosis. Vitamin C dan E mampu memberikan pengaruh efektif pada kerusakan histologis hepar yang disebabkan pemajanan MSG. Pemulihan terbesar ditemukan pada P3 dan perlakuan kombinasi (P4) yang memberikan pengaruh yaitu masing-masing mencapai 64% dan 80%.
(15)
EFFECTS OF VITAMIN C AND E ON LIVER MICROSRTRUCTURE OF MOUSE EXPOSED TO MONOSODIUM GLUTAMATE (MSG)
ABSTRACT
Experiment aimed to determine the effects of vitamin C and E on liver microstructure of mouse exposed to monosodium glutamate for 30 days. The experiment used complete randomized design which consists of 6 treatments and 5 replications. Mice were treated daily by oral gavage with 4 mg MSG (P1), 4 mg MSG + 0.26 mg vitamin C (P2), 4 mg MSG + 0.026 vitamin E (P3), and 4 mg MSG + 0.26 mg vitamin C + 0.026 mg vitamin E (P4). All dosages were in mg/g body weight. Two control groups K- and K+ received water and castrol oil respectively. Mice liver tissue slide were prepared by paraffin method and stained with haematoxylin-eosin (HE). The result showed that MSG caused cell degeneration and necrosis in liver tissue. Vitamin C and E was able to recover liver cell damage induced by MSG. High result was found in P3 and combination treatment (P4) where recovery effect reach 64% and 80% respectively.
(16)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penggunaan bahan penyedap di dalam makanan sudah sangat luas. Penambahan bahan penyedap menyebabkan cita rasa lebih menarik. Monosodium glutamat (MSG) adalah bahan penyedap yang paling populer sekarang ini. Pemberian MSG dapat meningkatkan persepsi rasa manis dan asin serta mengurangi rasa asam dan pahit dari makanan (Bhattacharya et al., 2011). Monosodium glutamat (MSG) adalah garam natrium asal glutamat. Penggunaan MSG menimbulkan sikap pro dan kontra akan manfaat dan mudaratnya (Santoso, 1989). Pada dosis tertentu mengkonsumsi makanan yang mengandung MSG menyebabkan perasaan terbakar, tekanan pada wajah dan nyeri pada dada. Gejala ini dikenal dengan Chinese restaurant syndrome. Sehingga diperkirakan terdapat hubungan antara dosis dan efek yang ditimbulkan serta adanya variasi dosis antar individu dalam menimbulkan efek. Oleh karena itu, keamanan penggunaan MSG masih menjadi kontroversi baik secara lokal maupun global (Schaumburg et al., 1969).
Pemberian MSG per oral pada tikus putih jantan umur 2 tahun ditemukan kelainan pada hepar dan ginjal yaitu berupa pelebaran sinusoid yang mengandung banyak eritrosit (Sukawan, 2008). Pemberian MSG pada dosis 16 g/kg BB pada tikus dewasa selama 14 hari berturut-turut dapat menghambat perkembangan sel-sel hepar. Bahkan pada dosis 32 g/kg BB selama 14 hari dapat merangsang efek parasimpatik dan menghasilkan asetilkolin dalam darah sehingga kolinesterase meningkat dalam plasma, masuk ke dalam hepar dan menyebabkan dilatasi vena sentral, lisis eritrosit, kerusakan hepatosit secara akut, nekrosis serta atropi (Eweka & Ominiabohs, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi MSG dosis tinggi dapat mengganggu hepar. Hepar adalah organ pusat dari metabolisme tubuh. Di dalam organ ini terjadi
(17)
proses-proses sintesa, modifikasi, penyimpanan, pemecahan serta ekskresi dari berbagai macam zat yang dibutuhkan untuk hidup (Tambajong, 1995). Di dalam hepar terjadi metabolisme sebagian obat dan toksikan. Jenis senyawa toksik ini yang biasanya dapat mengganggu fungsi hepar (Lu,1994).
Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan ketahanan tubuh, khususnya organ hepar, dari bahaya berbagai toksikan termasuk salah satunya MSG. Pemberian MSG pada dosis 4 hingga 8 mg/g BB pada mencit jantan secara subkutan selama 6 hari dapat meningkatkan peroksidasi lipid dalam mikrosom-mikrosom hepar (Simanjuntak, 2010). Pemberian vitamin C dengan dosis 0,2 mg/g BB secara oral dapat menanggalkan efek senyawa radikal bebas (Fauzi, 2008). Oleh karena itu diduga vitamin C dapat mencegah terjadinya gangguan pada sel hepar serta melindungi dari kerusakan yang diakibatkan pemberian MSG. Menurut Hasil penelitian yang dilakukan Wresdiyati (2007), menyimpulkan bahwa pada pemberian
α-tokoferol dengan dosis 60 mg/Kg BB selama 7 hari juga dapat mengurangi
kerusakan jaringan hepar akibat kondisi stres. Vitamin E adalah antioksidan yang
bekerja pada membran sel dan memerlukan tekanan oksigen yang tinggi, sedangkan vitamin C bekerja pada sitosol dan secara ekstrasel. Dengan mekanisme kerja yang berbeda, jika kedua vitamin ini digunakan bersamaan diharapkan akan memberikan efek yang optimal dalam menghadapi aktifitas senyawa oksigen reaktif (ROS). Vitamin C bersama-sama dengan vitamin E dapat menghambat reaksi oksidasi. Pertama vitamin E akan menangkap radikal bebas dan selanjutnya menjadi vitamin E radikal. Dengan bantuan vitamin C, maka vitamin E radikal tersebut dapat diubah menjadi vitamin E bebas yang berfungsi kembali menjadi antioksidan (Iswara, 2009).
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penggunaan MSG secara berlebihan dapat menimbulkan stres oksidatif yang meningkatkan radikal bebas dalam tubuh sehingga menyebabkan kerusakan pada sel hepar. Oleh karena itu, dibutuhkan antioksidan untuk menetralisir radikal bebas tersebut. Vitamin C dan E sebagai antioksidan dapat menghentikan reaksi berantai radikal bebas. Pertama vitamin E akan
(18)
menangkap radikal bebas, namun vitamin E kemudian berubah menjadi vitamin E radikal sehingga memerlukan pertolongan vitamin C. Vitamin C mengikat vitamin E radikal yang terbentuk pada proses pemutusan reaksi radikal bebas oleh vitamin E menjadi vitamin E bebas yang berfungsi kembali sebagai antioksidan. Hal inilah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian ”Pengaruh Pemberian Vitamin C dan E terhadap Gambaran Histologis Hepar Mencit (Mus musculus L.) yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)”.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
a. Mengetahui pemberian MSG mengganggu struktur histologis hepar mencit.
b. Mengetahui pemberian vitamin C mempengaruhi struktur histologis hepar mencit
yang terpajan MSG.
c. Mengetahui pemberian vitamin E mempengaruhi struktur histologis hepar mencit
yang terpajan MSG.
d. Mengetahui pemberian vitamin C dan vitamin E secara bersamaan mempengaruhi
struktur histologis hepar mencit yang terpajan MSG.
1.4 Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis dari penelitian ini sebagai berikut:
a. Pemberian MSG dapat merusak struktur histologis hepar mencit.
b. Pemberian vitamin C dapat menunjukkan struktur histologis hepar mencit yang
terpajan MSG lebih baik dari yang tidak diberi vitamin C.
c. Pemberian vitamin E dapat menunjukkan struktur histologis hepar mencit yang
terpajan MSG lebih baik dari yang tidak diberi vitamin E.
d. Pemberian vitamin C dan vitamin E secara bersamaan akan lebih baik memperbaiki
struktur histologis hepar mencit yang terpajan MSG dibandingkan dengan pemberian vitamin C atau vitamin E saja.
(19)
1.5 Manfaat
Adapun mafaat dari penelitian ini adalah :
a. Sebagai sumber informasi kepada masyarakat dan pemerintah untuk
memperhatikan penggunaan MSG dalam kehidupan sehari hari.
b. Dapat dijadikan referensi bahwa antioksidan vitamin C dan vitamin E mampu
(20)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Monosodium Glutamat (MSG)
Monosodium glutamat (MSG) digunakan secara luas sebagai penambah rasa. L-glutamic acid adalah komponen asam amino pada MSG. Rata-rata konsumsi MSG pada Negara industri diperkirakan berkisar dari 0,3-1 g per hari. Akan tetapi penggunaannya dapat lebih banyak lagi, tergantung pada isi kandungan MSG dalam makanan dan pilihan rasa seseorang (Geha et al., 2000). Perbedaan persepsi terhadap rasa antara setiap orang adalah umum, yaitu disebabkan antara lain oleh usia, jenis kelamin, dan pada perokok berat maka akan memberikan respon yang buruk (Zuhra, 2006). MSG digunakan sebagai penyedap masakan untuk merangsang selera makan. Namun pemberian MSG pada makanan yang terlalu banyak menyebabkan rasa tidak enak pada makanan tersebut (Simanjuntak, 2010).
Asam glutamat pertama diisolasi pada tahun 1866 dan garamnya (garam Na) ditemukan tahun 1909 oleh ahli kimia Jepang “Ikeda”. Namun demikian, produksi secara komersial baru dilakukan pada tahun 1954. MSG dihasilkan dari protein gandum, jagung, dan kedelai serta dipasarkan dalam bentuk kristal murni berwarna putih dengan merek dagang ajinamoto, sasa, miwon, maggie, royco, dan lain sebagainya. Glutamat terdiri dari bentuk D- dan L- serta bentuk campuran rasemat. Bentuk L- merupakan isomer yang terdapat secara alami dan mempunyai sifat sebagai pembangkit cita rasa. Bentuk D- tidak memiliki sifat sebagai pembangkit cita rasa (Zuhra, 2006). Jenis makanan yang mengandung banyak protein yaitu diantaranya seperti ASI, susu sapi, keju, dan daging mengandung banyak glutamat, sedangkan sebagian besar sayuran sedikit mengandung glutamat. Sayuran atau buah tertentu mengandung banyak glutamat bebas seperti jamur, tomat, dan kacang polong (Santoso, 1989).
(21)
Berikut struktur kimia MSG :
O O
NaO OH
NH2 Gambar 2.1 Struktur Kimia MSG
2.1.1 Metabolisme MSG
Metabolisme asam amino non esensial, termasuk glutamat, menyebar luas di dalam jaringan tubuh. Telah dilaporkan bahwa 57% dari asam amino yang diabsorbsi dikonversikan menjadi urea melalui hepar, 6% menjadi plasma protein, 23% absorbsi asam amino melalui sirkulasi umum sebagai asam amino, dan sisanya 14% tidak dilaporkan dan diduga disimpan sementara di dalam hepar sebagai protein hepar/ enzim. Menurut The Glutamate Association dari Amerika Serikat, Juli 1976, protein yang dimakan sehari-hari mengandung 20-25% glutamat (Sukawan, 2008).
Tubuh manusia terdiri dari 14-17% protein dan dari jumlah ini seperlimanya merupakan glutamat. Diperkirakan seorang dewasa yang berat badannya 70 kg rata-rata mengandung 2 kg glutamat dalam protein tubuhnya. Glutamat bebas juga terdapat dalam sistem saluran pencernaan, darah, organ, dan jaringan lain dalam tubuh yang berbeda-beda. Kadar glutamat bebas dalam otak 100 kali kadar glutamat dalam darah. Jumlah glutamat bebas yang beredar yang diperlukan untuk keperluan tubuh berkisar 10 g. Total body turnover dalam metabolisme inter-media air diperkirakan 5-10 g/ jam (Santoso, 1989).
Glutamat yang diserap kemudian ditransaminasikan dengan piruvat ke bentuk alanin. Alanin dari hasil transaminasi dari piruvat, oleh asam amino dikarboksilat,
menghasilkan aketoglutarat atau oksaloasetat. Proses ini mengakibatkan
berkurangnya jumlah asam amino dikarboksilat yang dilepas ke dalam darah portal. Glutamat dan asam aspartat dari metabolisme mukose dibawa melalui vena portal ke hepar. Sebagian glutamat dan aspartat dikonversikan oleh usus dan hepar ke bentuk glukosa dan laktat, kemudian dialirkan ke dalam perifer (Sukawan, 2008).
(22)
2.2 Radikal Bebas dan Antioksidan 2.2.1 Radikal Bebas
Pada metabolisme yang normal, tubuh menghasilkan partikel berenergi tinggi dalam jumlah kecil yang dikenal sebagai radikal bebas. Radikal bebas dan sejenisnya diproduksi dalam sistem biologis pada pertahanan anti mikroba, melalui aksi monooksigenase yang berfungsi ganda, oleh berbagai enzim oksidatif seperti xanthine oxidase, dan autooksidasi dengan mediator bahan logam berat atau quinines. Pada konsentrasi tinggi radikal bebas dan bahan sejenisnya berbahaya bagi mahluk hidup dan merusak semua bagian pokok sel. Radikal bebas juga mengganggu produksi normal DNA, dan merusak lipid pada membran sel. Radikal bebas juga ditemukan pada lingkungan sekitar kita. Ada berbagai sumber dari peningkatan radikal bebas, termasuk logam tertentu (seperti besi), asap rokok, polusi udara, obat-obat tertentu,
racun, highly processed foods dan bahan tambahan makanan, sinar ultraviolet, dan
radiasi. Meskipun bukti masih belum didapatkan, produksi yang berlebihan dan menyimpang dari kelompok radikal pada inflamasi, metabolisme bahan kimia eksogen, atau melalui autooksidasi berperan dalam terjadinya penyakit pada manusia (Arief, 2003).
2.2.2 Antioksidan
Secara sederhana antioksidan dinyatakan sebagai senyawa yang mampu menghambat dan mencegah terjadinya oksidasi. Antioksidan memiliki kemampuan dalam memberikan elektron, mengikat, dan mengakhiri reaksi berantai radikal bebas yang mematikan. Antioksidan yang dipakai kemudian didaur ulang oleh antioksidan lain untuk mencegahnya menjadi radikal bebas (bagi dirinya sendiri) atau tetap dalam bentuk tersebut tetapi dengan struktur yang tidak dapat merusak molekul lainnya (Rohdiana, 2008). Antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan stres oksidatif Buah dan sayur mengandung antioksidan tinggi. Antioksidan ini mampu mengubah sel-sel tubuh menjadi pelindung untuk melawan radikal bebas penyebab berbagai
(23)
penyakit. Radikal bebas yang tidak terkontrol bisa menyebabkan kerusakan sel-sel ( Jati, 2008).
Stres oksidatif (oxidative stress) adalah ketidakseimbangan antara radikal bebas (prooksidan) dan antioksidan yang dipicu oleh dua kondisi umum yaitu kurangnya antioksidan dan kelebihan produksi radikal bebas. Beberapa bentuk antioksidan antara lain vitamin, mineral, dan fitokimia (Iswara, 2009).
Menurut Pratimasari (2009), berdasarkan mekanismenya antioksidan dapat
dikelompokan menjadi dua yaitu: a. Antioksidan Primer
Antioksidan primer mengikuti mekanisme pemutusan rantai reaksi radikal dengan mendonorkan atom hidrogen secara cepat pada suatu lipid yang radikal, produk yang dihasilkan lebih stabil dari produk inisial. Contoh antioksidan ini adalah flavonoid, tokoferol, senyawa thiol, yang dapat memutus rantai reaksi propagasi dengan menyumbang elektron pada peroksi radikal dalam asam lemak.
b. Antioksidan Sekunder
Antioksidan ini dapat menghilangkan penginisiasi oksigen maupun nitrogen radikal atau bereaksi dengan komponen atau enzim yang menginisiasi reaksi radikal antara lain dengan menghambat enzim pengoksidasi dan menginisiasi enzim pereduksi atau mereduksi oksigen tanpa membentuk spesies radikal yang reaktif. Contoh antioksidan sekunder yaitu sulfit, vitamin C, betakaroten, asam urat, billirubin, dan albumin.
2.2.3 Metabolisme Antioksidan Dalam Hepar
Hepar adalah organ utama untuk membersihkan zat-zat toksin yang berasal dari bakteri maupun zat kimia. Untuk melakukan detoksifikasi dari bahan berbahaya tersebut, hepar mengandung antioksidan dengan berat molekul rendah dan enzim yang merusak kelompok oksigen reaktif (ROS) yaitu glutation tereduksi (GSH), vitamin C,
vitamin E, superoksid dismutase (SOD), glutation peroksidase, dan katalase
(24)
2.3 Asam Askorbat (Vitamin C)
Vitamin C memiliki struktur sangat mirip dengan glukosa, pada sebagian besar
mamalia vitamin C berasal dari glukosa. Vitamin C terdapat dalam bentuk asam
askorbat maupun dehidroaskorbat (Sulistyowati, 2006).Vitamin C mudah diabsorpsi
secara aktif dan mungkin pula secara difusi pada bagian atas usus halus lalu masuk ke peredaran darah melalui vena porta. Rata-rata absorpsi adalah 90% untuk konsumsi di antara 20 dan 120 mg sehari. Konsumsi tinggi sampai 12 g (sebagai pil) hanya diabsorpsi sebanyak 16%. Vitamin C kemudian dibawa kesemua jaringan (Almatsier, 2009).
Gambar 2.3 Struktur Vitamin C
Vitamin C (L-Ascorbic acid) merupakan senyawa alami yang bersifat antioksidan kuat dan pengikat radikal bebas namun bukan bersifat enzimatis. Senyawa ini umumnya hanya dapat disintesis oleh tanaman. Manusia tidak mampu mensintesis senyawa ini. Ketidakmampuan ini menyebabkan manusia umumnya menderita penyakit yang disebut hipoaskorbemia dan dalam keadaan parah akan timbul skorbut yang fatal. Kepentingan senyawa ini bagi manusia salah satunya berdasarkan kemampuannya mengikat zat-zat radikal seperti superoksida, radikal hidroksil dan juga bereaksi langsung dengan peroksida. Oleh karena itu vitamin C dapat mencegah berbagai radikal bebas bersifat toksik yang menyebabkan oksidasi. Banyak penelitian yang telah dilakukan bahwa vitamin C sangat bermanfaat bagi pencegahan dan pengobatan penyakit antara lain menurunkan tekanan darah dan kolestrol, mencegah terjadinya resiko serangan jantung, dan bekerja sebagai antioksidan (Fauzi, 2008).
(25)
2.4 Tokoferol (Vitamin E)
Pada tahun 1922 ditemukan suatu zat larut lemak yang dapat mencegah keguguran dan sterilitas pada tikus. Pada tahun 1936 diisolasi dari minyak kecambah gandum dan
dinamakan tokoferol, berasal dari bahasa Yunani dari kata tokos yangberarti kelainan
dan pherein berarti menyebabkan. Sekarang dikenal beberapa bentuk tokoferol dan istilah vitamin E biasa digunakan untuk menyatakan setiap campuran tokoferol yang aktif secara biologis. Vitamin E murni tidak berbau dan tidak berwarna, sedangkan vitamin E sintetik yang dijual secara komersial biasanya berwarna kuning muda hingga kecoklatan. Vitamin E larut dalam lemak dan dalam sebagian besar pelarut organik, tetapi tidak larut dalam air (Almatsier, 2009).
Gambar 2.4 Struktur Vitamin E
Vitamin E berada di dalam lapisan fosfolipid membran sel dan berfungsi melindungi asam lemak jenuh ganda dan komponen membran sel lain dari oksidasi radikal bebas. Vitamin E memutuskan rantai peroksida lipid yang banyak muncul karena adanya reaksi antara lipid dan radikal bebas dengan cara menyumbangkan satu atom hidrogen dari gugus OH pada cincinnya ke radikal bebas, sehingga terbentuk
radikal vitamin E yang stabil dan tidak merusak (Hariyatmi, 2004).
Tokoferol sebagai antioksidan dapat bereaksi dengan ROS dan radikal bebas lain. Pada proses ini tokoferol berperan sebagai radikal bebas yang tidak reaktif sehingga akan berikatan dengan elektron bebas dari radikal bebas reaktif lain. Perlakuan pemaparan asap rokok secara kronik dan vitamin E menunjukkan hasil kadar MDA serum lebih rendah bila dibandingkan dengan perlakuan kronik saja
(26)
(hanya diberi paparan asap rokok kronik). Keberadaan antioksidan nonenzimatik seperti vitamin E diperlukan untuk dapat mengatasi stress oksidatif dalam tubuh. Vitamin E terutama tokoferol adalah antioksidan yang sangat aktif dalam mencegah peroksidasi lipid dengan menangkap peroksil lipid. Tokoferol akan mentransfer atom hidrogen (dengan elektron tunggalnya) (Quratul’ainy, 2006).
2.5 Hepar
Hepar adalah organ parenkim yang berukuran terbesar dan memegang peranan penting dalam proses metabolisme tubuh. Hepar memiliki banyak fungsi antara lain untuk menyimpan dan menyaring darah, membentuk protein plasma seperti albumin, menghasilkan cairan empedu, sebagai tempat penyimpanan vitamin A dan zat besi serta mampu mendetoksikasi berbagai obat dan toksik menjadi inaktif atau larut air
(Guyton, 1997). Hepar melakukan banyak fungsi penting berbeda-beda dan
bergantung pada sistem aliran darahnya yang unik dan sel-selnya yang sangat khusus. Ketika hepar rusak, maka semua sistem terpengaruh (Corwin, 2008).
Hepar merupakan perantara antara sistem pencernaan dan darah. Hepar adalah organ tubuh terbesar dan merupakan kelenjar terbesar, kecuali kulit, dengan berat lebih kurang 1,5 kg. Hepar terletak di rongga perut di bawah diafragma. Kebanyakan darahnya (70-80%) datang dari vena porta; sebagian kecil dipasok oleh arteri hepatika. Seluruh materi yang diserap melalui usus tiba di hepar melalui vena porta, kecuali lipid kompleks, yang terutama diangkut melalui pembuluh limfe. Posisi hepar dalam sistem sirkulasi adalah optimal untuk menampung, mengubah dan mengumpulkan metabolit serta menetralisir dan mengeluarkan substansi toksik. Pengeluaran ini terjadi melalui empedu, suatu sekret eksokrin dari hepar, yang penting untuk pencernaan lipid (Junquiera et al., 1997).
2.5.1 Struktur Hepar
Hepar terbungkus oleh sebuah kapsul fibroelastik yang disebut kapsul Glisson dan secara makroskopik dipisahkan menjadi lobus kiri dan kanan. Kapsul Glisson berisi
(27)
pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf. Kedua lobus hepar tersusun oleh unit-unit yang lebih kecil disebut lobulus. Lobulus terdiri atas sel-sel hepar (hepatosit), yang menyatu dalam suatu lempeng. Hepatosit dianggap sebagai unit fungsional hepar. Sel-sel hepar dapat melakukan pembelahan Sel-sel dan mudah diproduksi kembali saat dibutuhkan untuk mengganti jaringan yang rusak (Corwin, 2008).
2.5.1.1 Lobulus Hepar
Setiap lobus tersusun atas lobulus-lobulus berbentuk segienam yang merupakan unit fungsional hepar. Lobulus hepar tersusun atas lempeng hepatosit berbentuk silindris yang merupakan jajaran dari sel-sel hepar. Pada setiap ujung dari sudut segienam lobulus disebut portal triad, karena ditempat tersebut merupakan tempat berkumpulnya tiga saluran yaitu cabang arteri hepatika, cabang vena porta, dan saluran empedu (Tarwoto et al., 2009).
Komponen struktural utama dari hepar ialah sel hepar atau hepatosit (Yun. hepar, hati, + kytos). Sel epitel ini berkelompok membentuk lempeng-lempeng yang saling berhubungan. Pada sajian mikroskop cahaya, tampak adanya satuan-satuan
struktural yang disebut lobulus hepar klasik. Lobulus hepar di bentuk oleh massa
jaringan berbentuk 0,7x2 mm. Pada hewan tertentu (misalnya babi), lobulus ini dipisah-pisahkan oleh selapis jaringan ikat. Hal ini tidak terjadi pada manusia yang lobulusnya saling berkontak, sehingga sukar ditetapkan batas-batas antar lobuli. Tetapi pada beberapa daerah lobulus ini dibatasi oleh jaringan ikat yang mengandung duktus biliaris, pembuluh limfe, saraf, dan pembuluh darah. Celah portal terdapat pada sudut lobulus dan dihuni oleh triad portal. Hepar manusia memiliki 3-6 triad portal per lobules (Junquiera et al., 1997).
Hepar Mencit (Mus musculus L.) memiliki empat lobus utama yang saling
berhubungan satu sama lain dan dan dapat tampak keseluruhannya pada bagian dorsal. Keempat lobus tersebut dapat dibedakan yakni : sebuah lobus median, dua lobus lateral (kiri dan kanan), dan satu lobus caudal yang terbagi setengah di bagian dorsal dan setengah lainnya dibagian ventral (Coveli ,1972 dalam Anggraini, 2006).
(28)
2.5.1.2 Hepatosit
Sel-sel hepar adalah polyhedral, dengan 6 atau lebih permukaan, dan garis tengah lebih kurang 20-30 µm. Pada preparat histologist yang diwarnai dengan hematoksilin dan eosin, sitoplasma bersifat eosinofilik, terutama karena banyaknya mitokondria dan sejumlah retikulum endoplasma licin. Hepatosit yang terletak pada jarak-jarak berbeda dari triad portal memperlihatkan struktural, histokimia, dan biokimia yang bervariasi. Permukaan setiap sel hepar berkontak dengan dinding sinusoid, melalui celah Disse, dan dengan permukaan hepatosit lain. Tempat 2 hepatosit saling bertemu terbentuk celah tubular diantaranya yang dikenal sebagai kanalikuli biliaris ikat (Junquiera et al., 1997).
Gambar 2.5 Histologis Lobus Hepar yang Menunjukkan Letak Vena sentralis,
Hepatosit, dan Sinusoid
2.5.2 Fungsi Hepar
Menurut Syaifuddin (2000), fungsi hepar yaitu sebagai berikut:
1. Fungsi metabolis. Memetabolisme asimilasi karbohidrat, lemak, protein, vitamin,
dan produksi energi. Seluruh monosakarida akan diubah menjadi glukosa dan pengaturan glukosa dalam darah ini terjadi di hepar. Pembentukan asam lemak dan lipid dan pembentukan fosfolipid terjadi di hepar. Metabolisme protein, perubahan asam amino yang satu menjadi yang lain, pembentukan albumin, dan globulin juga terjadi di hepar.
(29)
2. Fungsi ekskretori. Produksi empedu dilakukan oleh sel hepar (bilirubin, kolestrol, dan garam empedu). Ke dalam empedu juga diekskresikan zat yang berasal dari luar tubuh seperti logam-logam berat, bermacam zat warna, dan lain-lain.
3. Fungsi pertahanan tubuh. Detoksikasi racun siap untuk dikeluarkan dan tubuh
melakukan fagositosis terhadap benda asing dan langsung membentuk antibodi. Bila hepar rusak maka berbagai racun akan meracuni tubuh.
4. Pengaturan dalam peredaran darah. Hepar berperan membentuk darah serta
heparin di hepar dan juga berfungsi mengalirkan darah ke jantung. Di dalam hepar sel darah merah akan rusak karena adanya sel-sel sistem retikulo endothelium (RES). Perusakan ini juga terjadi dalam limpa dan sumsum tulang.
5. Hepar membentuk asam empedu. Dari kolesterol terbentuk pigmen-pigmen
empedu, terutama dari hasil perusakan hemoglobin.
2.5.3 Kelainan Hepar Karena Obat dan Bahan Toksik
Hepar berfungsi sebagai alat detoksifikasi terhadap berbagai bahan yang dicerna oleh usus termasuk obat-obatan dan bahan toksik lainnya. Pemberian obat-obatan yang berlebihan dan bahan toksik yang dimakan tanpa disadari dapat menimbulkan kelainan patologik parenkim hepar seperti nekrosis berat, hepatitis kronik ataupun sirosis hepatitis (Tambunan, 1994). Pada umumnya senyawa kimia yang digunakan hepar untuk mengonjugasikan obat dan toksin larut lemak, misalnya protein plasma, disintesis oleh hepar. Pada hepar yang kurang berfungsi baik suplai senyawa-senyawa tersebut menjadi tidak kuat (Corwin, 2008). Kerusakan hepar karena zat toksik dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis zat kimia yang terlibat, dosis yang diberikan, dan lamanya paparan zat tersebut (Amalina, 2009).
2.5.4 Jenis-Jenis Kerusakan Hepar
Hepar berfungsi untuk menampung, mengubah, menimbun metabolit, menetralisasi, dan mengeluarkan substansi toksik (Junqueira et al.,1997). Toksikan dapat
(30)
menyebabkan berbagai efek toksik pada berbagai organel dalam sel hepar sehingga dapat mengakibatkan berbagai jenis kerusakan seperti berikut ini.
a. Degenerasi
Menurut (Tambunan, 1994), degenerasi lemak atau perlemakan hepar merupakan degenerasi yang paling sering ditemukan. Sitoplasma membengak, berisi lemak dan inti terdesak ke pinggir. Pada degenerasi lemak dapat terjadi perubahan sekunder yaitu atrofi ataupun nekrosis hepatosit. Degenerasi hidropik yaitu satu atau kelompok hepatosit yang membengkak, siptoplasma jernih berbentuk balon dan kadang-kadang disebut degenerasi balon. Kelainan ini ada hubungannya dengan gangguan fungsi hepar dan kemungkinan sifatnya reversibel.
b. Nekrosis
Nekrosis hepar adalah kematian hepatosit. Pada umumnya nekrosis merupakan
kerusakan akut. Beberapa zat kimia telah dilaporkan menyebabkan nekrosis hepar. Nekrosis hepar merupakan suatu manifestasi toksik yang berbahaya tetapi tidak selalu kritis karena sel hepar mempunyai kapasitas pertumbuhan kembali yang luar biasa (Lu, 1994).
2.5.5 Regenerasi Hepar
Meskipun merupakan organ yang sel-selnya diperbarui secara lambat, hepar memiliki kemampuan regenerasi yang luar biasa. Hilangnya jaringan hepar akibat tindakan bedah atau oleh kerja substansi toksik memicu mekanisme yang merangsang sel-sel hepar membelah, sampai masa jaringan aslinya pulih kembali. Pada tikus, hepar dapat memulihkan kehilangan sampai 75% beratnya dalam waktu 1 bulan. Pada manusia, kemampuan ini berkurang. Jaringan hepar yang diregenerasi umumnya serupa dengan jaringan yang hilang. Namun bila kerusakan itu terjadi terus menerus,
maka terbentuk banyak jaringan ikat bersama regenerasi sel hepar
(31)
BAB 3
BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011 sampai Juni 2012 di Laboratorium Struktur Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang hewan percobaan, timbangan digital, jarum gavage, bak bedah, dissecting set, sample cup, hotplate, mikrotom, cover glass, object glass, chamber, oven, kamera digital, dan mikroskop video mikrometer.
Bahan yang digunakan adalah mencit jantan (Mus musculus L.) strain DDW, MSG murni, vitamin C, dan vitamin E (Sigma Chemical Co.), minyak jarak (PT. Bratako), pakan no.PB 551 (PT. Charoen Pokphand), pewarna Hematoxylin dan Eosin (Merck) ,sekam, alkohol, larutan Bouin, akuades, larutan NaCl 0,9%, canada balsam,
xylol, dan parafin.
3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Hewan Percobaan
Penelitian ini menggunakan mencit jantan (Mus musculus L.) strain DDW dengan berat rata-rata 25 g umur 8-12 minggu sebanyak 30 ekor dan dibagi dalam 6
(32)
kelompok (kontrol dan perlakuan). Mencit diberi makan dan minum secara ad libitum (Smith & Mangkoewidjojo, 1988). Kandang mencit dijaga kebersihan dan kenyamanannya. Penanganan terhadap hewan percobaan berpedoman pada prinsip-prinsip penelitian kesehatan yang menggunakan hewan secara etis, prosedur dan standar yang dibuktikan dengan Ethical Clearance dan Komite Etik Penelitian Hewan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara ( Lampiran E).
3.3.2 Rancangan Percobaan
Penelitian ini mengikuti desain Rancangan Acak Lengkap (RAL). Sebanyak 30 ekor mencit jantan (Mus Muculus L.) dibagi atas 6 kelompok perlakuan dan setiap kelompok terdiri dari 5 ekor mencit. Adapun penentuan jumlah ulangan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) untuk setiap kelompok ditentukan dengan menggunakan rumus Federer (Chairul et al.,1992) yaitu:
(t - 1) (n - 1) ≥ 15
dimana : t adalah jumlah perlakuan n adalah jumlah ulangan
3.3.3 Pembuatan Bahan Uji
Dosis MSG yang diberikan untuk setiap mencit yaitu 4 mg/g BB (Simanjuntak, 2010). Setiap mencit memiliki berat rata-rata 25 g. Dosis MSG yang diberikan untuk setiap mencit yaitu 4 mg/g x 25 mg = 100 mg. Serbuk MSG ditimbang sebanyak 100 mg, setelah itu dilarutkan di dalam akuades sebanyak 0,2 ml dan diperoleh larutan MSG.
Vitamin C diberikan dengan dosis 0,26 mg/g BB untuk setiap mencit (Simanjuntak, 2010). Maka dosis vitamin C yang diberikan untuk setiap mencit dengan berat rata-rata 25 g yaitu 0,26 mg/g x 25 g = 6,5 mg. Serbuk vitamin C ditimbang sebanyak 6,5 mg setelah itu dilarutkan dalam akuades 0,2 ml dan diperoleh larutan vitamin C.
(33)
Vitamin E diberikan dengan dosis 0,026 mg/g BB untuk setiap mencit (Anggraini, 2006). Maka untuk setiap mencit dengan berat rata-rata 25 g dosis vitamin E yang diberikan yaitu 0,026 mg/g x 25 g = 0,52 mg. Larutan vitamin E murni ditimbang sebanyak 0,52 mg setelah itu dilarutkan ke dalam minyak jarak sebanyak 0,3 ml dan diperoleh larutan vitamin E.
3.3.4 Pemberian Perlakuan
Pemberian bahan uji dilakukan pada mencit jantan (Mus musculus L.) dengan menggunakan jarum gavage. Perlakuan diberikan selama 30 hari. Larutan MSG dan vitamin C diberikan dengan volume pemberian sebanyak 0,2 ml sedangkan untuk vitamin E dan minyak jarak masing-masing diberikan sebanyak 0,3 ml. Setelah pemberian perlakuan selesai kemudian mencit dibunuh dengan cara dislokasi leher. Selanjutnya mencit dibedah, diambil organ hepar dan dicuci dalam larutan fisiologis (NaCl 0,9%) kemudian ditimbang dengan menggunakan timbangan digital, setelah itu dimasukkan ke dalam larutan Bouin.
3.3.5 Kelompok Perlakuan
Adapun kelompok perlakuan dibagi atas 6 kelompok. Setiap kelompok terdiri atas 5 ekor mencit jantan dan diberi perlakuan selama 30 hari. Pemberian perlakuan untuk setiap kelompok dapat dilihat pada Tabel 3.3.5.
Tabel 3.3.5 Pemberian Perlakuan Terhadap Hewan Uji
Perlakuan Minyak Jarak
0,3 ml
MSG 4 mg/g BB
Vit C 0,26 mg/g BB
Vit E 0,026 mg/g BB
K - - - - -
K+ √ - - -
P1 - √ - -
P2 - √ √ -
P3 √ √ - √
P4 √ √ √ √
Keterangan : √ = diberi perlakuan
(34)
3.3.6 Pembuatan Preparat Histologis Hepar Mencit dengan Metode Parafin
(Suntoro, 1983).
Setelah dilakukan pembedahan pada mencit, organ hepar diambil, dicuci dalam larutan NaCl 0,9% lalu difiltrasi di dalam larutan bouin selama 1 malam. Setelah filtrasi selesai, organ hepar dicuci (washing) di dalam alkohol 70% dan digoyangkan terus-menerus (shaker) sampai alkohol berwarna cukup jernih. Kemudian dilanjutkan ke tahap dehidrasi dengan menggunakan alkohol bertingkat masing-masing selama 1 jam dan digoyangkan terus-menerus (shaker). Setelah dehidrasi selesai dilanjutkan dengan penjernihan (clearing) menggunakan perbandingan alkohol : xylol (3:1, 1:1, 1:3) masing-masing selama 1 jam dan setelah itu organ hepar direndam dalam xylol murni selama 1 malam. Selanjutnya masuk ke tahap infiltrasi yang dilakukan di dalam oven dengan suhu 56°C, organ hepar direndam dalam larutan perbandingan xylol : parafin (3:1, 1:1, 1:3) dan berakhir di parafin murni masing-masing selama 1 jam.
Setelah tahap infiltrasi selesai dilakukan maka dilanjutkan dengan menanam (embedding) organ hepar dalam parafin yang telah dituang ke dalam kotak-kotak kecil dan dibiarkan selama 2 hari hingga terbentuk blok-blok parafin. Selanjutnya blok parafin dikeluarkan dari kotak-kotak dan ditempelkan pada holder yang terbuat dari kayu berukuran 2x2 cm dan dibiarkan selama 1 malam agar menempel pada holder. Selanjutnya dilakukan pemotongan (sectioning) blok parafin menggunakan mikrotom dengan ketebalan 6µm dan diperoleh pita-pita parafin. Setelah itu pita-pita parafin ditempelkan (affiksing) pada object glass yang sebelumnya telah dicelupkan ke dalam air dingin (biasa) kemudian air panas.
Pewarnaan (staining) dilakukan dengan menggunakan pewarna Hematoxilin-Eosin yang sebelumnya pita parafin telah dideparafinasi ke dalam xylol selama kira-kira 15 menit dan didealkoholisasi menggunakan alkohol konsentrasi menurun. Pita parafin dimasukkan ke dalam pewarna Hematoxilin erlich selama 3-7 menit lalu ke dalam alkohol 30%, 50%, dimasukkan ke dalam pewarna Eosin 0,5% dalam alkohol 70% selama 1-3 menit, selanjutnya preparat dimasukkan berturut-turut ke dalam alkohol dengan konsentrasi meningkat dan selanjutnya ke dalam xylol. Preparat histologis hepar dikeringkan dengan kertas penghisap. Preparat ditetesi dengan
(35)
canada balsam setelah itu ditutup dengan cover glass lalu diberi label sesuai dengan perlakuan masing-masing mencit.
3.3.7 Parameter Pengamatan 3.3.7.1 Pengamatan Kuantitatif
a. Berat hepar
Setelah dilakukan pembedahan pada mencit, organ hepar diambil, dicuci dalam NaCl 0,9% kemudian ditimbang dengan menggunakan timbangan digital.
b. Kerusakan histologis hepar
Preparat histologis hepar diamati di bawah mikroskop video mikrometer dalam lima lapangan pandang yang berada di sekitar vena sentralis dengan perbesaran 40x10 kali. Setiap lapangan pandang dihitung 20 sel secara acak dan dinilai skor tiap sel hepatosit dengan model Scoring Histopathology Manja Roenigk. Dalam 1 preparat ditemukan 100 sel hepatosit (Desprinita, 2010). Jenis kerusakan hepar yang diamati meliputi nekrosis, degenerasi parenkimatosa, dan degenerasi hidropik (Keliat, 2011).
Tabel 3.3.7.1 Kriteria Penilaian Derajat Histopatologi Sel Hepar Model Scoring
Histopathology Manja Roenigk.
Tingkat Perubahan Nilai
Normal 1
Degenerasi parenkimatosa 2
Degenerasi hidropik 3
Nekrosis 4
Data yang diperoleh diolah dengan program komputer SPSS release 17. Pada setiap preparat dihitung nilai rerata skornya dengan cara mengalikan jumlah sel sesuai dengan kategorinya. Sehingga berdasarkan kriteria Tabel 3.3.7.1, maka skor minimal yang mungkin didapatkan adalah 100 jika semua sel hepatosit yang ditemukan dalam keadaan normal. Skor maksimal 400 jika semua sel hepatosit dalam keadaan nekrosis (Widyarini 2010).
(36)
3.3.7.2 Pengamatan Kualitatif
a. Warna hepar
Penilaian normal bila permukaan rata dan halus serta berwarna merah kecoklatan, sedangkan abnormal jika permukaan berupa jaringan ikat, kista kecil, permukaan yang benjol-benjol atau abses dan menunjukkan perubahan warna (Keliat, 2011).
3.4 Analisis Statistik
Data yang didapat dari setiap parameter (variabel) pengamatan dicatat dan disusun ke dalam bentuk tabel. Data kuantitatif (variabel dependen) yang diperoleh, diuji kemaknaannya terhadap pengaruh kelompok perlakuan (variabel independen) dengan bantuan program statistik komputer yakni program SPSS release 17. Dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas data. Jika P<0,05 maka ditransformasi kemudian diuji lagi normalitas dan homogenitasnya. Jika P>0,05 dilakukan uji
ANOVA 1 arah dan jika P<0,05 dilanjutkan dengan uji Post-Hoc Bouferroni. Untuk
data pengamatan histologis (data non-parametrik) dilakukan uji non parametrik Kruskall-wallis. Jika P<0,05 dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney.
(37)
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Morfologi Hepar Mencit
Hasil pengamatan morfologi hepar mencit diperoleh data yaitu pada K-, P2, P3, dan P4 tidak mengalami perubahan warna dan permukaan hepar, sedangkan K+ dan P1 mengalami perubahan warna yaitu hepar terlihat berwarna pucat yang dapat dilihat pada Gambar 4.1. Data morfologi hepar kelompok kontrol (K- dan K+) serta perlakuan (P1, P2, P3 dan P4) dapat dilihat pada Tabel 4.1. Perubahan warna mungkin disebabkan terganggunya fungsi hepar karena senyawa kimia berupa MSG dan senyawa yang terkandung dalam minyak jarak. Hepar merupakan organ pusat dari metabolisme tubuh. Menurut Lu (1994), pada umumnya warna dan penampilan sering menunjukkan sifat toksisitas.
Tabel 4.1 Data Morfologi Hepar Mencit Kelompok
Perlakuan
Ulangan (n) Pengamatan
Warna (%) Permukaan (%)
K- 5 100 (N) 100 (N)
K+ 5 40 (N)
60 (P)
100 (N)
P1 5 20 (N)
80 (P)
100 (N)
P2 5 100 (N) 100 (N)
P3 5 100 (N) 100 (N)
P4 5 100 (N) 100 (N)
Keterangan : Warna ; N = Normal
A = Abnormal
P = Pucat
Permukaan ; N = Normal
(38)
Gambar 4.1 : Morfologi Hepar Mencit (Warna dan Permukaan) dengan Pemberian Vitamin C dan E Setelah Pemajanan Monosodium Glutamat (MSG) pada Setiap Kelompok
Dari Gambar 4.1 terlihat adanya perbedaan warna dan permukaan hepar. Pada gambar K+ dan P1 terlihat hepar berwarna merah pucat bila dibandingkan dengan gambar K-, P2, P3 dan P4 dengan hepar yang berwarna merah kecoklatan. Di dalam hepar terjadi proses-proses sintesa, modifikasi, penyimpanan, pemecahan serta ekskresi dari berbagai macam zat yang dibutuhkan untuk hidup. Menurut Ganong (1998), dalam keadan normal hepar berwarna coklat kemerahan dengan konsistensi
padat kenyal.
Hepar yang terlihat pucat dikarenakan terjadinya permeabilitas yang tinggi sehingga cairan di dalam hepar menjadi lebih banyak yang mungkin akan menyebabkan terjadinya perubahan warna hepar yang terlihat secara makroskopik. Hal ini mungkin disebabkan oleh senyawa kimia yang terkandung dalam minyak jarak dan MSG. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Anggraini (2008) yaitu pada perlakuan Pb asetat 100 mg/Kg BB pada mencit selama 8 minggu menunjukkan perubahan dari warna hepar yang normal merah kecoklatan mengalami
(39)
perubahan menjadi merah pucat dan pada perlakuan selama 16 minggu mulai terlihat adanya bintik-bintik putih (nodul) pada permukaan hepar. Demikian menurut Ressang
(1984) dalam Keliat (2011), perubahan fisiologis dan stuktur mikroskopis dapat
menyebabkan perubahan warna serta morfologi hepar.
4.2 Berat Hepar
Setelah dilakukan pengamatan pada berat hepar diperoleh data yaitu rata-rata berat hepar yang paling tinggi pada kelompok P3 dan yang terendah pada kelompok K- (Lampiran A). Perbandingan rata-rata berat hepar dari masing-masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4.2. Notasi huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna yaitu pada kelompok K- (a), K+ dan P1 (ab) serta P2, P3, dan P4 sama-sama bernotasi (b). Sedangkan notasi huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang bermakna yaitu antara K- (a) dengan P2, P3, dan P4 (b).
Gambar 4.2 Rata-rata Berat Hepar (g) dari Setiap Kelompok. Huruf yang sama
pada perlakuan berbeda adalah tidak berbeda nyata pada taraf 5% (p> 0,05)
Dari Gambar 4.2 dapat dilihat grafik hasil uji statistik (lampiran A), berat hepar pada kelompok kontrol K- dengan K+ dan perlakuan P1 tidak berbeda nyata.
a
ab
ab
b b b
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3
K- K+ P1 P2 P3 P4
Rat a -r at a B e r at H e p ar ( g) Kelompok
(40)
Sementara berat hepar pada kelompok K+ dan perlakuan (P1, P2, P3, dan P4) juga tidak berbeda nyata, akan tetapi perlakuan P2, P3, dan P4 berbeda nyata dengan kelompok K-. Rata-rata berat hepar yang paling tinggi terdapat pada perlakuan P3 2,22 g dan rata-rata berat hepar terendah yaitu pada kelompok kontrol K- 1,62 g (Lampiran A). Menurut Anggraini (2008), peningkatan berat organ hewan uji seiring dengan lamanya perlakuan dipengaruhi oleh adanya perubahan struktur histologis yaitu salah satunya degenerasi parenkimatosa. Adanya peningkatan substansi lemak dan air di dalam sel menyebabkan volume sel akan bertambah dan pada akhirnya mempengaruhi (meningkatkan) berat organ. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh pada perlakuan P3 yang memiliki rata-rata berat hepar paling tinggi (Lampiran A) dan paling banyak mengalami degenerasi parenkimatosa pada kelompok perlakuan (Lampiran B).
Menurut Lu (1994), pada umumnya berat organ adalah salah satu penunjuk yang sangat peka dari efek pada hepar. Meskipun suatu efek tidak selalu menunjukkan toksisitas, dalam kasus tertentu peningkatan berat hepar adalah penunjuk yang paling peka untuk toksisitas. Kehilangan jaringan hepar akibat kerja zat-zat toksik atau pembedahan memacu mekanisme pembelahan sel (Junqueira et al., 1997). Daya
regenerasi hepar setelah terpapar zat toksik sangat tinggi (Leeson et al.,1990 dalam
Sinuraya, 2011).
4.3 Struktur Histologis Hepar Mencit
Setelah dilakukan pengamatan histologis hepar mencit terhadap skor kerusakan hepatosit dari setiap kelompok diperoleh data yaitu kelompok kontrol (K- dan K+) dengan kelompok perlakuan (P1, P2, P3 dan P4) (Gambar 4.3) (Lampiran B). Notasi huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna dan sebaliknya. Kelompok K- dibandingkan dengan K+, P2, P3 dan P4 tidak berbeda nyata (sama-sama memiliki notasi a), akan tetapi berbeda nyata dengan P1 (notasi bd). Pada kelompok K+ dibandingkan dengan P3 dan P4 tidak berbeda nyata (sama-sama bernotasi a), dan berbeda nyata dengan P1 (notasi bd) dan P2 (notasi cd). Demikian juga dengan skor kerusakan hepatosit kelompok P1 berbeda nyata dengan semua
(41)
kelompok, kecuali dengan kelompok P2 tidak berbeda nyata. Skor kerusakan hepatosit pada kelompok P2 tidak berbeda nyata dengan P3 dan P4, akan tetapi berbeda nyata dengan kelompok K+. Skor kerusakan hepatosit pada P3 dibandingkan dengan P4 tidak berbeda nyata.
Gambar 4.3 Skor Kerusakan Hepatosit (degenerasi parenkimatosa, degenerasi
hidropik dan nekrosis) dari Setiap Kelompok. Huruf yang sama pada
perlakuan berbeda adalah tidak berbeda nyata pada taraf 5% (p> 0,05)
Dari Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa skor kerusakan hepatosit paling tinggi yaitu pada kelompok perlakuan P1. Hal ini dikarenakan P1 adalah kelompok perlakuan yang hanya diberi pemajanan MSG. Dalam hal ini MSG dianggap berpotensi sebagai senyawa yang bersifat toksik. Menurut Lu (1994), derajat kesehatan hepar dipersulit oleh berbagai kerusakan hepar dan berbagai mekanisme yang menyebabkan kerusakan tersebut. Hepar sering menjadi organ sasaran zat toksikan karena sebagian besar toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal dan setelah diserap toksikan dibawa vena porta ke hepar.
Kerusakan hepatosit karena pemberian MSG secara terus-menerus selama 30 hari akan menimbulkan stres oksidatif yang menghasilkan hidrogen peroksida.
ac a bd cd ac ac 0 50 100 150 200 250 300 350
K- K+ P1 P2 P3 P4
S k or K e r u sak an H e p at os it Kelompok
(42)
Menurut Trisnowati (2009), hidrogen peroksida dapat berekasi dengan senyawa dalam tubuh dan membentuk radikal hidroksil yang sangat reaktif. Radikal hidroksil tersebut menyebabkan peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid menyebabkan kerusakan membran sel dan kemudian mengakibatkan struktur sel menjadi tidak normal dan merusak fungsi sel. Menurut Lu (1994), hepatosit bertanggung jawab terhadap peran sentral hepar dalam metabolisme. Sel-sel ini terletak di antara sinusoid yang terisi darah dan
saluran empedu. Menurut Pierce (1995) dalam Syahrizal (2008), apabila sel hepar
mengalami kerusakan yang disebabkan oleh berbagai faktor, maka akan menyebabkan serangkaian perubahan morfologi pada sel hepar. Perubahan tersebut dapat bersifat
subletal yaitu degeneratif dan perubahan letal berupa nekrotik.
Pada hasil pengamatan struktur histologis hepatosit diketahui bahwa pada semua kelompok ditemukan adanya perubahan sel berupa degenerasi parenkimatosa, degenerasi hidropik, dan nekrosis (Lampiran B). Menurut Pierce (1995) dalam Syahrizal (2008), perubahan histologis dapat berupa degeneratif atau bahkan nekrosis. Perubahan degeneratif adalah perubahan yang prosesnya bersifat reversibel yaitu dapat kembali seperti semula, artinya jika rangsangan yang menyebabkan kerusakan sel dihentikan, maka sel akan kembali sehat seperti saat sebelum diberi rangsangan. Sebaliknya, nekrosis adalah perubahan yang prosesnya bersifat irreversibel artinya tidak dapat lagi kembali seperti semula, dimana saat sel telah mencapai titik akhir kerusakan maka sel akan mengalami kematian.
Secara teoritis proses kerusakan sel hepar dimulai dari proses degenerasi. Sel yang mengalami degenerasi akan mengalami pembengkakan Ciri tersebut teramati pada perlakuan MSG (Gambar 4.4). Perlakuan MSG tampaknya menyebabkan masuknya cairan ekstrasel memasuki sitosol dalam jumlah besar. Keadaan ini dapat terjadi apabila membran sel yang merupakan salah satu komponen sel yang terpenting terganggu permeabilitasnya. Menurut Hariyatmi (2004), salah satu perubahan yang diinduksi oleh radikal bebas yaitu perubahan sifat-sifat membran dari unsur-unsur sel seperti mitokondria dan lisosom yang diakibatkan oleh lemak peroksida. Setelah merusak membran sel, efek toksikan dapat juga mencapai inti dan merusaknya, yang mengakibatkan struktur sel menjadi tidak normal dan lama kelamaan bermuara pada nekrosis.
(43)
Gambar 4.4 Histologis Hepar Mencit (Mus musculus L.) dengan Pewarnaan HE dan Perbesaran 400X
Keterangan : a = vena sentralis
b = hepatosit normal
c = degenerasi parenkimatosa
d = degenerasi hidropik
e = nekrosis
Menurut Bhara (2009), degenerasi parenkimatosa merupakan tingkat kerusakan kategori degenerasi yang paling ringan. Pada sel yang mengalami
(44)
degenerasi parenkimatosa ditemukan adanya granula-granula dalam sitoplasma akibat adanya endapan protein yang menyebabkan sitoplasma menjadi keruh dan diikuti pembengkakan pada sel. Perubahan ini disebabkan oleh adanya gangguan oksidasi yang mengganggu mitokondria dan retikulum endoplasma.
Kerusakan sel hepatosit berupa degenerasi hidropik terjadi pada semua kelompok, baik kontrol maupun perlakuan. Jumlah sel yang mengalami degenerasi lebih banyak ditemukan pada kelompok perlakuan dengan jumlah terbanyak yaitu P1 dan yang paling sedikit yaitu kelompok kontrol (K+) (Lampiran B). Hal ini disebabkan oleh kerusakan membran sel sehingga menyebabkan adanya aliran masuk air. Menurut Syahrizal (2008), morfologi dari sel yang mengalami degenerasi sering dijumpai yaitu berupa penimbunan air sehingga terjadi pembengkakan sel. Menurut Bhara (2009), degenerasi hidropik merupakan derajat kerusakan yang lebih berat dibandingkan dengan degenerasi parenkimatosa. Pada degenerasi hidropik tampak vakuola yang berisi air dalam sitoplasma yang tidak mengandung lemak atau glikogen, sitoplasmanya menjadi pucat dan membengkak karena timbunan cairan. Rusaknya struktur dan fungsi sel lama kelamaan akan menyebabkan nekrosis. Menurut Atmodjo (1990), nekrosis ialah degradasi atau disorganisasi seluler yang irreversibel atau kematian sel jaringan tubuh sebagai akibat pengaruh jejas, dengan perubahan morfologi yang nyata pada inti sel sebagai piknosis, karyoreksis, dan karyolisis.
Tabel 4.3 Rataan Skor Kerusakan Histologis Hepar Mencit (Mus musculus L.)
dengan Pemberian Vitamin C dan E setelah pemajanan Monosodium Glutamat (MSG) (X±SD)
Kelompok Perlakuan
Skor Kerusakan Histologis
X±SD
Selisih Skor dengan Kontrol
Efek Pemulihan (%)*
K- 172.8 ±21.74
K+ 154.4 ±11.91
P1 246.8 ± 9.83 74
P2 217.8 ± 26.52 45 40
P3 181.8 ±22.31 27 64
P4 169 ± 20.35 15 80
*Efek pemulihan dihitung menggunakan data selisih skor dengan kontrol (kolom 4) :
(45)
Pada kelompok perlakuan yang diberikan vitamin C (P2) diperoleh data bahwa kerusakan struktur histologis menurun dibandingkan dengan P1 (Tabelr 4.3), namun secara statistik perbedaan tersebut tidak bermakna (Lampiran B). Hal ini mungkin disebabkan oleh dosis vitamin C yang diberikan belum efektif dalam memperbaiki hepar khususnya hepatosit dari pemajanan MSG. Menurut Hariyatmi (2004), vitamin C berfungsi sebagai antioksidan pemulung (scavenger) superoksida dan radikal bebas. Berdasarkan hasil yang diperoleh, tampaknya fungsi scavenger tersebut efektif memperbaiki kerusakan sel hepar akibat MSG dengan efek pemulihan 40% (Tabel 4.3). Menurut Sinuraya (2011), vitamin C sangat efektif sebagai antioksidan pada konsentrasi tinggi. Pemberian dosis tinggi akan mengurangi lipid peroksida.
Pada kelompok perlakuan yang diberikan vitamin E (P3) diperoleh data bahwa kerusakan struktur histologis menurun dibandingkan dengan P1. Efek pemulihan oleh vitamin E adalah 64% (Tabel 4.3). Pemberian vitamin E dapat memulihkan kerusakan sel hepar, ditunjukkan oleh skor P3 tidak berbeda jauh dengan kontrol (P>0,05).
Kondisi ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Onyema et al,.(2006) bahwa
pemberian vitamin E memperbaiki stres oksidatif dan hepatoksisitas pada tikus yang disebabkan oleh pemberian MSG. Menurut Sulistyowati (2006), vitamin E adalah baris pertama pertahanan terhadap proses peroksidasi asam lemak tak jenuh ganda yang terdapat dalam membran seluler dan subseluler, fosfolipid pada mitokondria, retikulum endoplasma serta membran plasma yang memiliki afinitas terhadap α -tokoferol dan vitamin E terkonsentrasi pada bagian-bagian tersebut.
Efek pemulihan terbesar diperoleh pada kelompok perlakuan yang diberikan kombinasi vitamin C dan E (P4). Meskipun secara statistik skor kerusakan hepatosit antara P3 dan P4 tidak berbeda nyata, efek pemulihan sel-sel hepatosit yang rusak akibat MSG mencapai 80% (Tabel 4.3). Secara statistik (Lampiran B), skor kerusakan hepatosit antara P3, P4 tidak berbeda dengan kontrol (K- dan K+) (P>0,05) menjadi petunjuk bahwa perlakuan vitamin E, baik secara tunggal maupun kombinasi dengan vitamin C, mampu memulihkan efek kerusakan hepatosit yang diakibatkan oleh MSG. Menurut Sulistyowati (2006), vitamin E merupakan penghenti reaksi penyebar radikal bebas yang efisien di membran lemak, karena bentuk radikal bebas distabilkan oleh resonansi. Oleh karena itu radikal vitamin E memiliki kecenderungan kecil untuk
(46)
mengekstraksi sebuah atom hidrogen dari senyawa lain dan menyebarkan reaksi. Bahkan radikal vitamin E berinteraksi secara langsung dengan radikal peroksi lemak sehingga atom hidrogen lainnya berkurang dan menjadi tokoferil quinon teroksidasi sempurna. Selanjutnya vitamin E mengalami regenerasi dengan adanya vitamin C.
(47)
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa :
a. Ada pengaruh negatif MSG terhadap struktur histologis hepar mencit.
b. Tidak ada perubahan bermakna pemberian vitamin C (hanya 40%) terhadap
pengaruh negatif pada struktur histologis hepar mencit yang terpajan MSG.
c. Ada perubahan bermakna pemberian vitamin E terhadap pengaruh negatif pada
struktur histologis hepar mencit yang terpajan MSG yaitu mencapai 64%.
d. Ada perubahan bermakna pemberian vitamin C dan E terhadap pengaruh negatif
pada struktur histologis hepar mencit yang terpajan MSG yaitu mencapai 80%.
5.2 Saran
Penelitian dilanjutkan sampai analisis kadar enzim SGOT dan SGPT (fungsi hepar) dengan pemberian vitamin C dan E setelah pemajanan MSG.
(48)
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama: hlm. 173,187.
Amalina, N. 2009. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Valerian (Valeriana officinalis) Terhadap Hepar Mencit Balb/C. Skripsi. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro.
Anggraini, D. 2006. Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap Motilitas Spermatozoa Mencit Jantan Strain Balb/C yang Diberi Paparan Asap Rokok. Skripsi. Semarang : Universitas Dipenogoro.
Anggraini, D.R. 2008. Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Hati dan Ginjal Mencit akibat Pemberian Plumbum Asetat. Tesis. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Arief, S. 2003. Radikal Bebas. Surabaya: Fakultas Kedokteraan Airlangga: hal. 2,9. Atmodjo, A.P. 1990. Album Patologi Umum. Surabaya: Airlangga University Press:
hlm. 19.
Bhara, M.L.A. 2009. Pengaruh Pemberian Kopi Dosis Bertingkat Per Oral 30 hari Terhadap Gambaran Histologis Hepar Tikus Wistar. Semarang: Universitas Dipenogoro.
Bhattacharya, T. Bhakta, A. and Gosh, S.K. 2011. Long Term Effect of Monosodium glutamate in Liver of Albino Mice after Neo-natal exposure. Nepal Med Coll J
13(1):11.
Chairul, Harapini, M., dan Daryati, Y. 1992. Pengaruh Ekstrak Kencur (Kaempferia galanga L.) Terhadap Kehamilan Mencit Putih (Mus musculus L.). Seminar Nasional Indonesia V. Pokjanas. Bandung: Universitas Padjajaran, Bandung dan Laboratorium Treub Puslitbang Biologi LIPI Bogor.
Corwin, E.J. 2008. Buku Saku Patofisiologi. Terjemahan Nike Budhi Subekti. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC: hlm. 646-648.
Desprinita, P. 2010. Pengaruh Pemberian Dosis Bertingkat Metanol 50% Per Oral Terhadap Tingkat Kerusakan Sel Hepar pada Tikus Wistar. Artikel Karya Ilmiah. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro.
Eweka, A. and Ominiabohs, F. 2008. Histolgical Studies of The Effects of Monosodium Glutamate on The Liver of Adult Wistar Rats. Journal of Gastroenterology 6(2):1-9.
(49)
Fauzi, T. M. 2008. Pengaruh Pemberian Timbal Asetat dan Vitamin C Terhadap Kadar Malondaldehyde dan Kuantitas Spermatozoa di Dalam Sekresi Epdidimis Mencit Albino (Mus musculus L) Strain Balb/C. Tesis. Medan : Universitas Sumatera Utara.
Ganong, W.F. 1998. Buku Ajar Patofisiologi Kedokteran. Edisi 17. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC: hlm. 486-490.
Geha, R., Beiser, A., Ren, C., Patterson, R., Greenberger, P., Grammer, L., Ditto, A., Harris, K., Saughnessy, M., Yarnold, P., Corrent, J. and Saxon, A. (2000). Review of Alleged Reaction to Monosodium Glutamate and Outcome of a
Multicenter Double-Blind Placebo-Controlled Study. The Journal of Nutrition.
130(3) :1058.
Hariyatmi. 2004. Kemampuan Vitamin E Sebagai Antioksidan Terhadap Radikal
Bebas pada Usia Lanjut. MIPA 14(1):54.
Iswara, A. 2009. Pengaruh Pemberian Antioksidan Vitamin C dan E Terhadap Kualitas Spermatozoa Tikus Putih Terpapar Allethrin. Skripsi. FMIPA Universitas Negeri Semarang.
Jati, S. H. 2008. Efek Antioksidan Ekstrak Etanol 70% Daun Salam (Sysygium polyanthum [Wihgt.]Walp.) pada Hati Tikus Putih Jantan Galur Wistar yang Diinduksi Karbon Tetraclorida (CCL4). Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Junquiera, L.C., Jose. C., dan Robert. O. K. 1997. Histologi Dasar. Edisi Ke-8. Terjemahan Jan Tambayong. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC: hlm. 317-318,324,330.
Keliat, J. M. 2011. Efek Kombinasi Testoteron Udekanoat (TU) dan Ekstrak Air Biji Blustru (Luffa aegyptica Roxb.) Terhadap Gambaran Histologi dan Fungsi Hati Mencit Jantan (Mus musculus L.). Skripsi. Medan: FMIPA Universitas Sumatera Utara.
Lu, F. C. 1994. Toksikologi Dasar. Edisi Kedua. Jakarta: Universitas Indonesia Press: hlm. 208-210.
Onyema, O.O. Farombi, E.O. Emerole, G.O. Ukoha, A.I. and Onyeze, G.O. 2006. Effect of Vitamin E on Monosodium Glutamate Induced Hepatoxixity and Oxidative Stress in Rats. Indian Journal of Biochemistry and Biophysics
43(4):20,23.
Pratimasari, D. 2009. Uji Aktivitas Penangkap Radikal Buah Carica papaya L. Dengan Metode DPPH dan Penetapan Kadar Fenolik Serta Flavonoid Totalnya. Skripsi. Surakarta: Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
(50)
Price, S.A dan Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6. Vol 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC: hlm. 472-474.
Quratul’ainy, S. 2006. Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap Junmlah Spermatozoa Mencit Jantan strain Balb/C yang Diberi Paparan Asap Rokok. Artikel Karya Tulis Ilmiah. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro.
Rohdiana, D. 2008. The Hitam dan Antioksidan. Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung: hlm. 3.
Santoso, S. O. 1989. Beberapa Data Metabolisme MSG Dalam Tubuh dan Tinjauan
Mudaratnya. Cermin Dunia Kedokteran 57: hlm. 1.
Schaumburg H, Byck R, Gersti R, and Mashman J. 1969. Monosodium L-glutamate : its pharmacology and role in the Chinese restaurant syndrome. Science
163(3869):826-828.
Simanjuntak, L. 2010. Pengaruh Pemberian Vitamin C Terhadap Gambaran Histologis Hati Mencit (Mus musculus L) yang Dipapari Monosodium Glutamate.Tesis. Medan : Universitas Sumatera Utara.
Sinuraya, A.K. 2011. Pengaruh Ekstrak Daun Katuk (Saoropus androgynus) Sebagai Hepatoprotektor Terhadap Kerusakan Histologis Hepar Tikus Putih yang Dipapari Parasetamol. Skripsi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Smith, J.B. dan Mangkoewidjojo, S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Coba di Daerah Tropis. Jakarta: UI Press: hlm. 38.
Sukawan, U. Y. 2008. Efek Toksik Monosodium Glutamate (MSG) Pada Binatang
Percobaan. Sutisning 3(II):306-314.
Sulistyowati, Y. 2006. Pengaruh Pemberian Likopen terhadap Status Antioksidan (Vitamin C, Vitamin E dan Gluthation Peroksidase) Tikus (Rattus norvegicus galur Sprague Dawley) Hiperkolesterolemik. Tesis.Semarang: Universitas Dipenogoro.
Suntoro, S.H. 1983. Metode Pewarnaan: Histologi dan Histokimia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara: hlm. 42-55.
Syahrizal, D. 2008. Pengaruh Proteksi Vitamin C terhadap Enzim Transaminase dan Gambaran Histopatologis hati Mencit yang Dipapar Plumbum. Tesis. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Syaifuddin. 2000. Fungsi Sistem Tubuh Manusia. Jakarta: Penerbit Widya Medika: hlm. 150.
(51)
Tambajong, J. 1995. Sinopsis Histologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC: hlm. 89.
Tambunan, G. W. 1994. Patologi Gastroenterology. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC: hlm. 143-148.
Tarwoto. , Ratna A, dan Wartonah. 2009. Anatomi dan Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: Penerbit Trans Info Media: hlm. 280.
Trosnowati, D. 2009. Efek Pemberian Jus Buah Jambu Biji Merah (Psidium Guajava Linn.) terhadap Kerusakan Sel hati Tikus yang Dipapari dengan Minyak Goreng Bekas. Skripsi. Surakarta : Universitas Negeri Surakarta.
Widyarini, M.K. 2010. Pengaruh Pemberian Seduhan Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa) Dosis Bertingkat Selama 30 Hari Terhadap Gambaran Histologi Hepar Tikus Wistar. Artikel Karya Ilmiah. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Wresdiyawati, T., Made, A., Diini, F., I, K.M.A., Savitri, N.,dan Saptina, A. 2007.
Pengaruh α-Tokoferol Terhadap Profil Superoksidasi Dismutase dan
Malondialdehida Pada Jaringan Hati Tikus Di Bawah Kondisi Stress. Jurnal Veteriner.
Zuhra, C. F. 2006. Flavor (Cita Rasa). Karya Ilmiah. Medan: FMIPA Universitas Sumatera Utara: hlm. 16-17.
(52)
LAMPIRAN A. Data dan Analisis Statistik Berat Hepar Mencit
Rataan Berat Hepar Mencit (Mus musculusL.) dengan Pemberian Vitamin C dan
E setelah Pemajanan Monosodium Glutamat (MSG) (g, X±SD)
Kelompok Perlakuan X±SD
K- 1.62 ±0.09
K+ 1.97 ±0.26
P1 1.85 ±0.19
P2 2.12 ±0.30
P3 2.22 ±0.08
P4 2.13 ±0.30
Hasil Uji Statistik Berat Hepar Mencit
Tests of Normality
Kel_Per lakuan
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
Berat_Hepar K- .190 5 .200* .949 5 .730
K+ .300 5 .161 .776 5 .051
P1 .159 5 .200* .979 5 .929
P2 .240 5 .200* .860 5 .230
P3 .215 5 .200* .931 5 .603
P4 .227 5 .200* .905 5 .440
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Test of Homogeneity of Variance
Levene Statistic df1 df2 Sig.
Berat_Hepar Based on Mean 2.327 5 24 .074
Based on Median .953 5 24 .466
Based on Median and with adjusted df
.953 5 14.450 .477
(53)
Oneway
ANOVA
Berat_Hepar
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Between Groups 1.220 5 .244 4.975 .003
Within Groups 1.177 24 .049
Total 2.397 29
Post-Hoc Multiple Comparisons Berat_Hepar Bonferroni (I) Kel_Perlakuan (J) Kel_Perlakuan Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound
K- K+ -.34600 .14007 .315 -.8024 .1104
P1 -.22800 .14007 1.000 -.6844 .2284
P2 -.49800* .14007 .024 -.9544 -.0416
P3 -.60000* .14007 .004 -1.0564 -.1436
P4 -.50200* .14007 .022 -.9584 -.0456
K+ K- .34600 .14007 .315 -.1104 .8024
P1 .11800 .14007 1.000 -.3384 .5744
P2 -.15200 .14007 1.000 -.6084 .3044
P3 -.25400 .14007 1.000 -.7104 .2024
P4 -.15600 .14007 1.000 -.6124 .3004
P1 K- .22800 .14007 1.000 -.2284 .6844
K+ -.11800 .14007 1.000 -.5744 .3384
P2 -.27000 .14007 .987 -.7264 .1864
P3 -.37200 .14007 .208 -.8284 .0844
P4 -.27400 .14007 .933 -.7304 .1824
P2 K- .49800* .14007 .024 .0416 .9544
K+ .15200 .14007 1.000 -.3044 .6084
P1 .27000 .14007 .987 -.1864 .7264
P3 -.10200 .14007 1.000 -.5584 .3544
(54)
P3 K- .60000* .14007 .004 .1436 1.0564
K+ .25400 .14007 1.000 -.2024 .7104
P1 .37200 .14007 .208 -.0844 .8284
P2 .10200 .14007 1.000 -.3544 .5584
P4 .09800 .14007 1.000 -.3584 .5544
P4 K- .50200* .14007 .022 .0456 .9584
K+ .15600 .14007 1.000 -.3004 .6124
P1 .27400 .14007 .933 -.1824 .7304
P2 .00400 .14007 1.000 -.4524 .4604
P3 -.09800 .14007 1.000 -.5544 .3584
(55)
LAMPIRAN B. Data dan Analisis Statistik Kerusakan Histologis Hepar Mencit Rataan Masing-masing Derajat Kerusakan (Degenerasi Parenkimatosa,
Degenerasi Hidropik, dan Nekrosis) Histologis Hepar Mencit (Mus musculus L.)
dengan Pemberian Vitamin C dan E setelah Pemajanan Monosodium Glutamat (MSG) (X±SD)
Kelompok Perlakuan
Degenerasi Parenkimatosa
X±SD
Degenerasi Hidropik
X±SD
Nekrosis
X±SD
K- 61.2±6.10 45±12.55 20±4.90
K+ 54±10.49 33±13.25 18±8.49
P1 58±9.49 127.2±20.74 44±29.26
P2 49.2±9.65 83.4±23.75 52.8±38.72
P3 67.6±7.13 52.2±18.32 18.4±16.15
P4 57.2±8.32 48±22.65 11.2±7.69
Hasil Uji Statistik Histologis Hepar
Kruskal-Wallis Test
Ranks
Kel_Perlakuan N Mean Rank
Derajat_Kerusakan K- 5 14.40
K+ 5 9.20
P1 5 23.90
P2 5 19.30
P3 5 14.40
P4 5 11.80
Total 30
Test Statisticsa,b
Derajat_Kerusakan
Chi-Square 12.415
df 5
Asymp. Sig. .030
a. Kruskal Wallis Test
(56)
Mann-Whitney Test
K-K+
Ranks
Kel_Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
Derajat_Kerusakan K- 5 6.50 32.50
K+ 5 4.50 22.50
Total 10
Test Statisticsb
Derajat_Kerusakan
Mann-Whitney U 7.500
Wilcoxon W 22.500
Z -1.225
Asymp. Sig. (2-tailed) .221
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .310a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kel_Perlakuan
K-P1
Ranks
Kel_Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
Derajat_Kerusakan K- 5 3.80 19.00
P1 5 7.20 36.00
Total 10
Test Statisticsb
Derajat_Kerusakan
Mann-Whitney U 4.000
Wilcoxon W 19.000
Z -2.032
Asymp. Sig. (2-tailed) .042
(57)
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kel_Perlakuan
K-P2
Ranks
Kel_Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
Derajat_Kerusakan K- 5 4.60 23.00
P2 5 6.40 32.00
Total 10
Test Statisticsb
Derajat_Kerusakan
Mann-Whitney U 8.000
Wilcoxon W 23.000
Z -1.342
Asymp. Sig. (2-tailed) .180
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .421a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kel_Perlakuan
K-P3
Ranks
Kel_Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
Derajat_Kerusakan K- 5 5.50 27.50
P3 5 5.50 27.50
(58)
Test Statisticsb
Derajat_Kerusakan
Mann-Whitney U 12.500
Wilcoxon W 27.500
Z .000
Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kel_Perlakuan
K-P4
Ranks
Kel_Perlakuan N Mean Rank
Sum of Ranks
Derajat_Kerusakan K- 5 6.00 30.00
P4 5 5.00 25.00
Total 10
Test Statisticsb
Derajat_Kerusakan
Mann-Whitney U 10.000
Wilcoxon W 25.000
Z -.655
Asymp. Sig. (2-tailed) .513
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .690a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kel_Perlakuan
(59)
K+P1
Ranks
Kel_Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
Derajat_Kerusakan K+ 5 3.40 17.00
P1 5 7.60 38.00
Total 10
Test Statisticsb
Derajat_Kerusakan
Mann-Whitney U 2.000
Wilcoxon W 17.000
Z -2.324
Asymp. Sig. (2-tailed) .020
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .032a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kel_Perlakuan
K+P2
Ranks
Kel_Perlakuan N Mean Rank
Sum of Ranks
Derajat_Kerusakan K+ 5 3.80 19.00
P2 5 7.20 36.00
Total 10
Test Statisticsb
Derajat_Kerusakan
Mann-Whitney U 4.000
Wilcoxon W 19.000
Z -2.032
Asymp. Sig. (2-tailed) .042
(60)
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kel_Perlakuan
K+P3
Ranks
Kel_Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
Derajat_Kerusakan K+ 5 4.50 22.50
P3 5 6.50 32.50
Total 10
Test Statisticsb
Derajat_Kerusakan
Mann-Whitney U 7.500
Wilcoxon W 22.500
Z -1.225
Asymp. Sig. (2-tailed) .221
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .310a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kel_Perlakuan
K+P4
Ranks
Kel_Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
Derajat_Kerusakan K+ 5 5.00 25.00
P4 5 6.00 30.00
(61)
Test Statisticsb
Derajat_Kerusakan
Mann-Whitney U 10.000
Wilcoxon W 25.000
Z -.600
Asymp. Sig. (2-tailed) .549
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .690a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kel_Perlakuan
P1P2
Ranks
Kel_Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
Derajat_Kerusakan P1 5 6.50 32.50
P2 5 4.50 22.50
Total 10
Test Statisticsb
Derajat_Kerusakan
Mann-Whitney U 7.500
Wilcoxon W 22.500
Z -1.225
Asymp. Sig. (2-tailed) .221
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .310a
a. Not corrected for ties.
(62)
P1P3
Ranks
Kel_Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
Derajat_Kerusakan P1 5 7.20 36.00
P3 5 3.80 19.00
Total 10
Test Statisticsb
Derajat_Kerusakan
Mann-Whitney U 4.000
Wilcoxon W 19.000
Z -2.032
Asymp. Sig. (2-tailed) .042
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .095a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kel_Perlakuan
P1P4
Ranks
Kel_Perlakuan N Mean Rank
Sum of Ranks
Derajat_Kerusakan P1 5 7.40 37.00
P4 5 3.60 18.00
Total 10
Test Statisticsb
Derajat_Kerusakan
Mann-Whitney U 3.000
Wilcoxon W 18.000
Z -2.154
Asymp. Sig. (2-tailed) .031
(63)
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kel_Perlakuan
P2P3
Ranks
Kel_Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
Derajat_Kerusakan P2 5 6.40 32.00
P3 5 4.60 23.00
Total 10
Test Statisticsb
Derajat_Kerusakan
Mann-Whitney U 8.000
Wilcoxon W 23.000
Z -1.342
Asymp. Sig. (2-tailed) .180
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .421a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kel_Perlakuan
P2P4
Ranks
Kel_Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
Derajat_Kerusakan P2 5 6.80 34.00
P4 5 4.20 21.00
(64)
Test Statisticsb
Derajat_Kerusakan
Mann-Whitney U 6.000
Wilcoxon W 21.000
Z -1.678
Asymp. Sig. (2-tailed) .093
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .222a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kel_Perlakuan
P3P4
Ranks
Kel_Perlakuan N Mean Rank
Sum of Ranks
Derajat_Kerusakan P3 5 6.00 30.00
P4 5 5.00 25.00
Total 10
Test Statisticsb
Derajat_Kerusakan
Mann-Whitney U 10.000
Wilcoxon W 25.000
Z -.655
Asymp. Sig. (2-tailed) .513
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .690a
a. Not corrected for ties.
(1)
Test Statisticsb
Derajat_Kerusakan
Mann-Whitney U 10.000
Wilcoxon W 25.000
Z -.600
Asymp. Sig. (2-tailed) .549 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .690a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kel_Perlakuan
P1P2
Ranks
Kel_Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
Derajat_Kerusakan P1 5 6.50 32.50
P2 5 4.50 22.50
Total 10
Test Statisticsb
Derajat_Kerusakan
Mann-Whitney U 7.500
Wilcoxon W 22.500
Z -1.225
Asymp. Sig. (2-tailed) .221 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .310a
a. Not corrected for ties.
(2)
P1P3
Ranks
Kel_Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
Derajat_Kerusakan P1 5 7.20 36.00
P3 5 3.80 19.00
Total 10
Test Statisticsb
Derajat_Kerusakan
Mann-Whitney U 4.000
Wilcoxon W 19.000
Z -2.032
Asymp. Sig. (2-tailed) .042 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .095a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kel_Perlakuan
P1P4
Ranks
Kel_Perlakuan N Mean Rank
Sum of Ranks
Derajat_Kerusakan P1 5 7.40 37.00
P4 5 3.60 18.00
Total 10
Test Statisticsb
Derajat_Kerusakan
Mann-Whitney U 3.000
Wilcoxon W 18.000
Z -2.154
Asymp. Sig. (2-tailed) .031 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .056a
(3)
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kel_Perlakuan
P2P3
Ranks
Kel_Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
Derajat_Kerusakan P2 5 6.40 32.00
P3 5 4.60 23.00
Total 10
Test Statisticsb
Derajat_Kerusakan
Mann-Whitney U 8.000
Wilcoxon W 23.000
Z -1.342
Asymp. Sig. (2-tailed) .180 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .421a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kel_Perlakuan
P2P4
Ranks
Kel_Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
Derajat_Kerusakan P2 5 6.80 34.00
P4 5 4.20 21.00
(4)
Test Statisticsb
Derajat_Kerusakan
Mann-Whitney U 6.000
Wilcoxon W 21.000
Z -1.678
Asymp. Sig. (2-tailed) .093 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .222a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kel_Perlakuan
P3P4
Ranks
Kel_Perlakuan N Mean Rank
Sum of Ranks
Derajat_Kerusakan P3 5 6.00 30.00
P4 5 5.00 25.00
Total 10
Test Statisticsb
Derajat_Kerusakan
Mann-Whitney U 10.000
Wilcoxon W 25.000
Z -.655
Asymp. Sig. (2-tailed) .513 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .690a
a. Not corrected for ties.
(5)
LAMPIRAN C. Prosedur Pembuatan Bahan Uji
a. Pembuatan Larutan Monosodium Glutamat (MSG)
ditimbang sebanyak 100 mg
dimasukkan ke dalam
beaker glass
ditambahkan akuades 0,2 ml
diaduk menggunakan spatula
b. Pembuatan Larutan Vitamin C
ditimbang sebanyak 6,5 mg
dimasukkan ke dalam
beaker glass
ditambahkan akuades sebanyak 0,2 ml
diaduk menggunakan spatula
c. Pembuatan Larutan Vitamin E
diambil sebanyak 0,52 mg
dilarutkan dengan minyak jarak
Serbuk MSG
Larutan MSG
Serbuk Vitamin C
Larutan VitaminC
Vitamin E
(6)