Akuntabilitas Pendapatan dari Pajak (1)

BAB 1
PENDAHULUAN
A. AKUNTABILITAS
Semakin meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan
yang baik dan bersih (good governance dan clean government) telah mendorong
pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang jelas, tepat, teratur, dan
efektif yang dikenal dengan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP).
Penerapan sistem tersebut bertujuan agar penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, berhasil guna, bertanggung jawab dan
bebas dari praktik-praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).
Terdapat berbagai definisi tentang akuntabilitas, yang diuraikan sebagai berikut :
1.

Sjahruddin Rasul (2003) menyatakan bahwa akuntabilitas didefinisikan secara sempit
sebagai kemampuan untuk memberi jawaban kepada otoritas yang lebih tinggi atas
tindakan “seseorang” atau “sekelompok orang” terhadap masyarakat secara luas atau
dalam suatu organisasi. Dalam konteks institusi pemerintah, “seseorang” tersebut adalah
pimpinan instansi pemerintah sebagai penerima amanat yang harus memberikan
pertanggungjawaban atas pelaksanaan amanat tersebut kepada masyarakat atau publik
sebagai pemberi amanat.


2.

J.B. Ghartey (2001) menyatakan bahwa akuntabilitas ditujukan untuk mencari jawaban
atas pertanyaan yang berhubungan dengan stewardship yaitu apa, mengapa, siapa, ke
mana, yang mana, dan bagaimana suatu pertanggungjawaban harus dilaksanakan.

3.

Ledvina V. Carino (2004) mengatakan bahwa akuntabilitas merupakan suatu evolusi
kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh seorang petugas baik yang masih berada pada
jalur otoritasnya atau sudah keluar jauh dari tanggung jawab dan kewenangannya. Setiap
orang harus benarbenar menyadari bahwa setiap tindakannya bukan hanya akan memberi
pengaruh pada dirinya sendiri saja. Akan tetapi, ia harus menyadari bahwa tindakannya
juga akan membawa dampak yang tidak kecil pada orang lain. Dengan demikian, dalam
setiap tingkah lakunya seorang pejabat pemerintah harus memperhatikan lingkungannya.

4.

Akuntabilitas juga dapat berarti sebagai perwujudan pertanggungjawaban seseorang atau
unit organisasi, dalam mengelola sumber daya yang telah diberikan dan dikuasai, dalam

rangka pencapaian tujuan, melalui suatu media berupa laporan akuntabilitas kinerja
secara periodik. Sumber daya dalam hal ini merupakan sarana pendukung yang diberikan
kepada seseorang atau unit organisasi dalam rangka memperlancar pelaksanaan tugas
yang telah dibebankan kepadanya. Wujud dari sumber daya tersebut pada umumnya
1

berupa sumber daya manusia, dana, sarana prasarana, dan metode kerja. Sedangkan
pengertian sumber daya dalam konteks negara dapat berupa aparatur pemerintah, sumber
daya alam, peralatan, uang, dan kekuasaan hukum dan politik.
5.

Akuntabilitas juga dapat diuraikan sebagai kewajiban untuk menjawab dan menjelaskan
kinerja dari tindakan seseorang atau badan kepada pihak-pihak yang memiliki hak untuk
meminta jawaban atau keterangan dari orang atau badan yang telah diberikan wewenang
untuk mengelola sumber daya tertentu. Dalam konteks ini, pengertian akuntabilitas
dilihat dari sudut pandang pengendalian dan tolok ukur pengukuran kinerja.
Dari berbagai definisi akuntabilitas seperti tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa

akuntabilitas merupakan perwujudan kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk
mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang

dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui media
pertanggungjawaban berupa laporan akuntabilitas kinerja secara periodik.
Akuntabilitas dapat dipandang dari berbagai perspektif. Dari perspektif akuntansi,
American Accounting Association menyatakan bahwa akuntabilitas suatu entitas pemerintahan
dapat dibagi dalam empat kelompok (Sadjiarto, 2000), yaitu akuntabilitas terhadap:
1.

Sumber daya finansial

2.

Kepatuhan terhadap aturan hukum dan kebijaksanaan administratif

3.

Efisiensi dan ekonomisnya suatu kegiatan

4.

Hasil program dan kegiatan pemerintah yang tercermin dalam pencapaian tujuan, manfaat

dan efektivitas.

Sedangkan dari perspektif fungsional, akuntabilitas dilihat sebagai suatu tingkatan dengan
lima tahap yang berbeda yang diawali dari tahap yang lebih banyak membutuhkan ukuranukuran obyektif (legal compliance) ke tahap yang membutuhkan lebih banyak ukuran-ukuran
subyektif (Sadjiarto, 2000). Tahap-tahap tersebut adalah:
1.

Probity and legality accountability
Hal ini menyangkut pertanggungjawaban penggunaan dana sesuai dengan anggaran yang
telah disetujui dan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku
(compliance).

2.

Process accountability
Dalam hal ini digunakan proses, prosedur, atau ukuran-ukuran dalam melaksanakan
kegiatan yang ditentukan (planning, allocating and managing).

3.


Performance accountability
2

Pada level ini dilihat apakah kegiatan yang dilakukan sudah efisien (efficient and
economy).
4.

Program accountability
Di sini akan disoroti penetapan dan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan tersebut
(outcomes and effectiveness).

5.

Policy accountability
Dalam tahap ini dilakukan pemilihan berbagai kebijakan yang akan diterapkan atau tidak
(value).
Dari perspektif sistem akuntabilitas, terdapat beberapa karakteristik pokok sistem

akuntabilitas ini yaitu :
1.


Berfokus pada hasil (outcomes)

2.

Menggunakan beberapa indikator yang telah dipilih untuk mengukur kinerja

3.

Menghasilkan informasi yang berguna bagi pengambilan keputusan atas suatu program
atau kebijakan

4.

Menghasilkan data secara konsisten dari waktu ke waktu

5.

Melaporkan hasil (outcomes) dan mempublikasikannya secara teratur


B. PENERIMAAN PAJAK
Penerimaan perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri dari penerimaan
pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Penerimaan perpajakan dalam negeri
meliputi semua penerimaan negara yang berasal dari pajak penghasilan, pajak pertambahan
nilai barang/jasa dan pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunan, bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan, cukai dan pajak lainnya. Sedangkan pajak
perdagangan internasional merupakan semua penerimaan negara yang berasal dari bea masuk
dan pajak/pungutan ekspor.
Pada prinsipnya, penerimaan uang negara dari perpajakan wajib disetorkan oleh wajib
pajak dan atau wajib pungut ke kas negara pada bank pemerintah atau lembaga lain yang
ditetapkan oleh Menteri keuangan. Penerimaan perpajakan yang berasal dari wajib pajak
pribadi dan perusahaan, dilakukan sesuai dengan mekanisme perpajakan sesuai dengan UU
Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum Perpajakan. Dalam mekanisme ini diterapkan Sistem Self-Assessment yaitu
system penerimaan perpajakan yang mengatur wajib pajak untuk menghitung pajaknya
sendiri, kemudian menyetorkannya ke kas negara dan melaporkannya dalam laporan Surat
Permberitahuan Pajak (SPT).
3

Sedangkan, penerimaan perpajakan yang berkaitan dengan mekanisme pelaksanaan

anggaran negara/daerah, dilakukan dengan mekanisme pemotongan/pemungutan pajak oleh
setiap instansi pemerintah yang melakukan pembayaran atas beban negara/daerah. Oleh
karena itu, dalam rangka intensifikasi penerimaan pajak negara, setiap bendahara instansi
pemerintah baik pusat maupun daerah, BUMN/BUMD dan badan lainnya ditetapkan sebagai
wajib pungut, wajib menyetorkan seluruh penerimaan pajak yang dipungutnya dalam waktu
selambat-lambatnya satu hari setelah uang pajak diterima. Selanjutnya dalam rangka
meningkatkan intensifikasi penerimaan pajak, setiap instansi pemerintah, BUMN/BUMD
serta badan lainnya diwajibkan untuk memberikan informasi perpajakan kepada pemerintah,
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Keppres Nomor tahun 2004 tentang
Perubahan atas Keputusan Presiden nomor 42 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan
Anggaran dan Belanja Negara mengatur ketentuan data dan informasi perpajakan sebagai
berikut:
a.

Mewajibkan setiap kementerian/lembaga, pemerintah daerah, kantor dan satuan kerja,
proyek/bagian proyek, dan BUMN/D untuk menyampaikan bahan-bahan dan keterangan
yang menjadi wewenang dan tanggung jawabnya guna keperluan perpajakan kepada
Menteri Keuangan cq. Direktur Jenderal Pajak.

b.


Untuk memadukan dan mensinerjikan data dan informasi perpajakan tersebut dibentuk
Bank Data Nasional dan Nomor Identitas Tunggal yang dilaksanakan oleh Menteri
Keuangan.

c.

Menteri Keuangan cq Dirjen Pajak mengadministrasikan data dan informasi perpajakan
dalam Bank Data Nasional dengan membentuk Nomor Identitas Bersama sebagai embrio
Nomor Identitas Tunggal.

d.

Menteri Keuangan cq Dirjen Pajak wajib memberikan Nomor Identitas Tunggal kepada
masing-masing kementerian/lembaga, pemerintah daerah, kantor dan satuan kerja,
proyek/bagian proyek, dan BUMN/D.

e.

Menetapkan Setiap instansi pemerintah, pemerintah daerah, BUMN/D, bendahara dan

badan lain yang melakukan pembayaran atas beban APBN/APBD, sebagai Wajib Pungut
Pajak, sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.
Secara umum pajak adalah pemungutan dana dari masyarakat oleh pemerintah

berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dan terutang bagi wajib bayar tanpa
mendapat prestasi langsung serta hasilnya dipergunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan ciri-ciri yang melekat pada
pengertian pajak sebagai berikut:
4

a.

Pajak dipungut oleh pemerintah baik pusat maupun daerah berdasarkan peraturan
perundang-undangan.

b.

Penerimaan pajak merupakan pendapatan pemerintah yang harus dimasukkan ke dalam
kas negara/daerah.


c.

Tidak terdapat hubungan langsung antara jumlah pembayaran pajak dengan kontra
prestasi secara individu, akan tetapi kontra prestasi secara umum dimanifestasikan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintah.

d.

Pajak dipungut/dikenakan karena suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan sesuai dengan
peraturan perundangundangan.

e. Pajak bersifat memaksa, artinya bagi mereka yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan
dapat dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pajak Negara
Dalam pelaksanaan penerimaan pajak-pajak negara, bendahara pada instansi pemerintah telah
ditunjuk sebagai pemotong/pemungut atas penerimaan pajak-pajak negara khususnya pada
transaksi belanja yang dilakukan oleh instansi pemerintah.
a.

Bendahara Sebagai Pemotong Pph Pasal 21 Dan Pasal 26
PPh pasal 21 adalah PPh sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan dengan nama
dan bentuk apapun yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri.
PPh pasal 26 adalah PPh atas deviden, bunga termasuk premium, diskonto, premi swap
dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang, royalty, sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, imbalan sehubungan dengan jasa,
pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan penghargaan, pensiun dan pembayaran berkala
lainnya yang diterima oleh wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.

b. Bendahara Sebagai Pemotong PPH Pasal 22
Pajak penghasilan dipungut/dipotong sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan
barang, kecuali atas pembayaran:
1) penyerahan barang paling banyak 1 juta (bukan jumlah yang dipecah-pecah);
2) pembelian BBM, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda pos;
3) pencairan dana jaring pengaman sosial (JPS) oleh KPKN;
4) pembayaran pelaksanaan proyek yang dibiayai dengan hibah/pinjaman luar negeri.
c.

Bendahara Sebagai Pemotong PPH Pasal 23/26
PPh pasal 23/26 adalah pajak atas penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun
yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain yang
5

telah dipotong PPh pasal 21. Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh pasal 23
adalah sebagai berikut.
1) Deviden, bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang, royalty, hadiah dan penghargaan sehubungan dengan
pelaksanaan status kegiatan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.
2) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, selain sewa atas
tanah dan atau bangunan.
3) Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, consultan
dan jasa lain selain yang telah dipotong PPh pasal 21.
Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh pasal 26 adalah penghasilan berikut.
1) Deviden, bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang, royalty, hadiah dan penghargaan sehubungan dengan
pelaksanaan suatu kegiatan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.
2) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, selain sewa atas
tanah dan atau bangunan.
3) Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, konsultan
dan jasa lain selain yang telah dipotong PPh pasal 21.
4) Pensiun dan pembayaran berkala lainnya. Pembayaran premi asuransi dan premi
reasuransi lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung yang dibayarkan
kepada wajib pajak luar negeri selain BUT.
d. Bendahara Sebagai Pemotong PPN dan PPnBM
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena
Pajak dan Jasa Kena Pajak di dalam daerah Pabean. Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPnBM) adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang di dalam daerah pabean
yang berdasarkan keputusan Menteri Keuangan tergolong barang mewah.
Pajak Daerah
Pembagian jenis pajak di Indonesia ditinjau dari lembaga pemungutnya dibedakan ke dalam
pajak pusat dan pajak daerah. Pajak daerah menurut UU No. 34 tahun 2000 terbagi menjadi
pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota.
1) Pajak Provinsi
Jenis pajak provinsi beserta tarif setinggi-tingginya yang dapat ditetapkan:
(a) Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Pajak Kendaraan di atas Air (PKA): 5%
(b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor/Kendaraan di atas Air (BBN-KB/KA): 10%
(c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB): 5%
6

(d) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
(P3ABT/AP):20%.
Tarif pajak tersebut ditetapkan dan diberlakukan seragam di seluruh Indonesia dan
pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah. Hasil penerimaan pajak provinsi
sebagian diperuntukkan bagi kabupaten/kota di wilayah provinsi terkait dengan ketentuan
perimbangan sebagai berikut:
(a) PKB/KA dan BBN-KB/KA: maksimum 70%: bagian pemerintah provinsi minimum
30%: bagian pemerintah kab./kota
(b) PBB-KB dan P3ABT/AP : maksimum 30%: bagian pemerintah provinsi minimum
70%: bagian pemerintah kab./kota.
2) Pajak Kabupaten/Kota
Jenis pajak kabupaten/kota beserta tarif setinggitingginya yang dapat ditetapkan:
(a) Pajak Hotel (PH): 10%
(b) Pajak Restoran (PR): 10%
(c) Pajak Hiburan (PHi): 35%
(d) Pajak Reklame (PRek): 25%
(e) Pajak Penerangan Jalan (PPJ): 10%
(f) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C:20%
(g) Pajak Parkir: 20%.
(h) Pajak Bumi dan Bangunan
Hasil penerimaan pajak kabupaten/kota sebagian diperuntukkan bagi seluruh
desa/kelurahan di wilayah kab/kota paling sedikit 10% (sepuluh persen) yang ditetapkan
dengan peraturan daerah setelah memperhatikan aspek dan potensi antar desa. Pemerintah
provinsi dapat memberikan salah satu atau beberapa jenis pajak yang menjadi wewenangnya
kepada pemerintah kab/kota yang potensi pendapatan asli daerahnya kurang memadai.
Khusus pemerintah provinsi yang tidak terbagi ke dalam daerah kabupten/kota seperti DKI
Jakarta, jenis pajak daerah yang dipungut merupakan gabungan pajak provinsi dan pajak
kabupaten/kota.
UU No. 34 tahun 2000 memberi peluang kepada pemerintah kab/kota untuk
memungut pajak daerah selain ketujuh jenis pajak daerah yang telah ditetapkan. Penetapan
jenis pajak lainnya tersebut harus benar-benar bersifat spesifik dan memiliki potensi yang
cukup besar di daerah yang bersangkutan. Hal itu dimaksudkan untuk memberi keleluasaan
kepada

pemerintah

kab/kota

dalam

mengantisipasi

kemungkinan

perkembangan

perekonomian daerah di masa depan, asal tetap memperhatikan kesederhanaan jenis pajak,
aspirasi masyarakat, dan memenuhi kriteria sebagai berikut:
7

(a) Bersifat pajak, bukan retribusi;
(b) Objek pajak terletak di wilayah kabupaten/kota yang ber-sangkutan, memiliki mobilitas
cukup rendah, dan hanya me-layani masyarakat kabupaten/kota tersebut;
(c) Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan ke-pentingan umum dan
memperhatikan aspek ketenteraman, kestabilan politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan dan keamanan;
(d) Objek pajak bukan merupakan objek pajak provinsi dan pusat;
(e) Potensi pajak memadai, artinya diperkirakan sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi
daerah;
(f) Tidak memberi dampak ekonomi yang negatif;
(g) Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat;
(h) Menjaga kelestarian lingkungan.

8

BAB 2
PEMBAHASAN
Akuntabilitas Penerimaan dari Sektor Perpajakan tidak terlepas atau merupakan satu
kesatuan utuh dari Akuntabilitas Keuangan Negara. Terdapat beberapa masalah terkait dengan
Akuntabilitas Keuangan Negara dari faktor perpajakan antara lain (Setiyati dan Amir, 2005):
1. Upaya pencegahan korupsi masih rendah, hal ini ditandai dengan mencegah masih terjadi
pungutan di setiap instansi, adanya rekening liar, dan adanya upah pungut.
2. Rendahnya kualitas administrasi keuangan terutama kelambatan melaporkan keuangan
serta tidak sesuai standar akuntansi pemerintah.
3. Kinerja penerimaan Pajak di Indonesia masih belum memadai, yang ditandai dengan angka
pertambahan jumlah wajib pajak masih kurang bila dibandingkan dengan potensi yang ada.
4. Masih lemahnya Ditjen Pajak dalam mengimplementasikan ketentuan hukum dimana
pemerintah lebih banyak bersikap pasif dalam menghadapi rendahnya kepatuhan pajak dan
hanya berharap masyarakat patuh secara sukarela.
5. Banyak pelanggar hukum di bidang perpajakan yang tidak mendapatkan sanksi yang
memadai sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku, yang dapat memperluas tindakan
Korupsi dan Kolusi di bidang perpajakan.
Banyak permasalahan yang terjadi di daerah berkaitan dengan penggalian dan
peningkatan PAD (Sidik, 2002), terutama hal ini disebabkan oleh :
1. Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi daerah
Berdasarkan UU No.34 Tahun 2000 daerah Kabupaten/Kota dimungkinkan untuk
menetapkan jenis pajak dan retribusi baru. Namun, melihat kriteria pengadaan pajak baru
sangat ketat, khususnya kriteria pajak daerah tidak boleh tumpang tindih dengan Pajak
Pusat dan Pajak Provinsi, diperkirakan daerah memiliki basis pungutan yang relatif rendah
dan terbatas, serta sifatnya bervariasi antar daerah. Rendahnya basis pajak ini bagi
sebagian daerah berarti memperkecil kemampuan manuver keuangan daerah dalam
menghadapi krisis ekonomi.
2. Perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah
Sebagian besar penerimaan daerah masih berasal dari bantuan Pusat. Dari segi upaya
pemungutan pajak, banyaknya bantuan dan subsidi ini mengurangi “usaha” daerah dalam
pemungutan PAD-nya, dan lebih mengandalkan kemampuan “negosiasi” daerah terhadap
Pusat untuk memperoleh tambahan bantuan.
9

3. Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah
Hal ini mengakibatkan bahwa pemungutan pajak cenderung dibebani oleh biaya pungut
yang besar. PAD masih tergolong memiliki tingkat buoyancy yang rendah. Salah satu
sebabnya adalah diterapkan sistem “target” dalam pungutan daerah. Sebagai akibatnya,
beberapa daerah lebih condong memenuhi target tersebut, walaupun dari sisi pertumbuhan
ekonomi sebenarnya pemasukkan pajak dan retribusi daerah dapat melampaui target yang
ditetapkan.
4. Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah
Hal ini mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi daerah.
Selama ini, peranan PAD dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah sangat
kecil dan bervariasi antar daerah yaitu kurang dari 10% hingga 50%. Sebagian besar daerah
Provinsi hanya dapat membiayai kebutuhan pengeluarannya kurang dari 10%. Variasi dalam
penerimaan ini diperparah lagi dengan sistem bagi hasil (bagi hasil didasarkan pada daerah
penghasil sehingga hanya menguntungkan daerah tertentu). Demikian pula, distribusi pajak
antar daerah juga sangat timpang karena basis pajak antar daerah sangat bervariasi (ratio PAD
tertinggi dengan terendah mencapai 600). Peranan pajak dan retribusi daerah dalam
pembiayaan yang sangat rendah dan bervariasi juga terjadi karena adanya perbedaan yang
sangat besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak pada biaya yang relatif
mahal), dan kemampuan masyarakat, sehingga mengakibatkan biaya penyediaan pelayanan
kepada masyarakat sangat bervariasi.
Menurut buku pegangan anti korupsi United Nations Development Programme
(UNDP), korupsi disebabkan oleh gabungan dari kekuasaan, integritas yang rendah dan
kurangnya transparansi dan akuntabilitas. Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), data wajib pajak dijamin kerahasiaannya
sehingga tidak dapat diakses oleh siapapun kecuali ada ijin dari Menteri Keuangan. Implikasi
dari kerahasiaan data wajib pajak adalah menjadi titik kritis/trigger point terjadinya
penyelewengan dan penyalahgunaan kewenangan aparat pajak dalam proses pemungutan
pajak dalam bentuk persekongkolan dan rekayasa yang dilakukan oleh aparat pajak dan wajib
pajak yang tentu saja membawa keuntungan berupa "keringanan pajak" bagi wajib pajak,
sedangkan bagi aparat pajak diperolehnya uang suap karena melakukan manipulasi data wajib
pajak dengan tujuan memperkecil jumlah pajak dari yang seharusnya disetorkan. Disitulah
terjadi tindak pidana korupsi dan kolusi yang mengakibatkan kerugian negara.
10

Mengingat pentingnya penerimaan pajak untuk pembangunan dan kesejahteraan
rakyat juga sebagai upaya pencegahan tindak pidana korupsi oleh aparat pajak, sangat
mendesak untuk dilakukan revisi atau judicial review UU Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP) khususnya pasal 34 yang menjadi penghambat Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) untuk dapat mengakses data Wajib Pajak dalam rangka audit secara utuh
dan menyeluruh terhadap penerimaan pajak. Akibat dari dirahasiakannya data Wajib Pajak
maka akuntabilitas dan transparansi pemungutan dan penerimaan pajak oleh Direktorat
Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) sangat tidak bisa dipertanggung jawabkan dan berpotensi
bahkan telah merugikan negara dalam jumlah yang sangat materiil.
Sebagaimana disebut di atas, salah satu alasan mengapa BPK memberikan opini
disclaimer pada Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) adalah karena
tidak adanya transparansi dan akuntabilitas penerimaan pajak yang merupakan porsi terbesar
dari penerimaan negara. UU No. 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 6
Tahun 1983 dan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan bahwa pemeriksaan pajak
oleh BPK hanya boleh dilakukan dengan ijin tertulis dari Menteri Keuangan. Dalam realita,
hampir tidak pernah Menteri Keuangan memberikan ijin untuk melakukan pemeriksaan pajak.
Dengan demikian, Ditjen Pajak merupakan satu-satunya instansi negara yang berada di luar
jangkauan pemeriksaan BPK. Dengan demikian BPK merupakan satu-satunya lembaga
pemeriksa keuangan di dunia yang tidak boleh memeriksa Ditjen Pajak negaranya sendiri.
Terkait dengan kasus penggelapan, pencucian uang dan korupsi penerimaan pajak oleh
pegawai Ditjen Pajak gayus tambunan menjadi sangat relevan mempertanyakan kerahasiaan
data wajib pajak, agar dapat diakses oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam rangka
melaksanakan audit penerimaan pajak.
Contoh kasus mafia pajak gayus tambunan yang memiliki Rp. 25 miliar di
rekeningnya, namun hanya Rp 395 juta yang dijadikan pidana dan disita negara sisanya tidak
jelas. Sebagai perbandingan gaji PNS golongan III/A dengan masa jabatan 0 sampai 10 tahun
hanya berkisar Rp.2,4 juta. Remunerasi Rp 8,2 juta, dan imbalan prestasi kerja rata-rata
Rp.1,5 juta, jadi total gaji per bulan adalah Rp 12,1 juta. Apapun argumentasi dan resistensi
yang timbul dari langkah untuk melakukan revisi atau judicial review UU No. 28 Tahun 2007
tentang KUP baik dari pihak Kementerian Keuangan, Mahkamah Konstitusi, atau bahkan
DPR dapat diartikan sebagai sikap dan tindakan pembiaran terjadinya tindak pidana korupsi
penerimaan pajak.
Kasus gayus seharusnya menjadi momentum yang tepat untuk masuknya BPK
mengaudit Pajak dari sisi Wajib Pajak, dengan demikian akan tercapai transparansi dan
11

akuntabilitas penerimaan pajak. Juga tidak kalah penting adalah terungkapnya kasus mafia
pajak lainnya yang bercokol dengan kuat, dan mengakar di tubuh instansi Ditjen Pajak.
Terlepas dari persoalan itu, kasus yang menimpa gayus sebagai tersangka dalam penggelapan
dan penyelewengan pajak mencerminkan bahwa gaji yang tinggi di tubuh birokrasi negara
tidak menjadi jaminan bersihnya seseorang dari skandal suap maupun korupsi. Kita bisa
melihat bahwa korupsi telah menjadi bagian dari kultur masyarakat yang sulit dihilangkan di
kalangan aparat negara.
Sudah saatnya lembaga hukum dan aparat pajak di Indonesia melakukan perbaikan
dan reformasi birokrasi secara total. Lembaga hukum yang diharapkan menjadi pelindung dan
poros utama penegakan hukum, ternyata juga tidak lepas dari skandal suap maupun korupsi.
Semakin menjamurnya praktik mafia hukum dan makelar yang kasus yang menimpa aparat
negara menunjukkan potret hukum di negara kita masih suram, karena dibalik beberapa kasus
yang mencuat juga melibatkan aparat hukum di negeri ini. Sungguh polemik ini menjadi naif
dan mencerminkan kebobrokan moral bangsa di tengah himpitan persoalan kebangsaan yang
semakin berkepanjangan.
Proses meningkatkan akuntabilitas kerap berjalan lambat karena budaya organisasi
besar yang sering bergonta-ganti kebijakan. Konsekuensinya, peningkatan yang simultan dari
transparansi harus dilakukan untuk memberdayakan perubahan birokrasi.
Secara umum, upaya yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka
meningkatkan pendapatan daerah melalui optimalisasi intensifikasi pemungutan pajak daerah
dan retribusi daerah, antara lain dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
1. Memperluas basis penerimaan
Tindakan yang dilakukan untuk memperluas basis penerimaan yang dapat dipungut oleh
daerah, yang dalam perhitungan ekonomi dianggap potensial, antara lain yaitu
mengidentifikasi pembayar pajak baru/potensial dan jumlah pembayar pajak, memperbaiki
basis data objek, memperbaiki penilaian, menghitung kapasitas penerimaan dari setiap
jenis pungutan.
2. Memperkuat proses pemungutan
Upaya yang dilakukan dalam memperkuat proses pemungutan, yaitu antara lain
mempercepat penyusunan Perda, mengubah tarif, khususnya tariff retribusi dan
peningkatan SDM.
3. Meningkatkan pengawasan
Hal ini dapat ditingkatkan yaitu antara lain dengan melakukan pemeriksaan secara dadakan
dan berkala, memperbaiki proses pengawasan, menerapkan sanksi terhadap penunggak
12

pajak dan sanksi terhadap pihak fiskus, serta meningkatkan pembayaran pajak dan
pelayanan yang diberikan oleh daerah.
4. Meningkatkan efisiensi administrasi dan menekan biaya pemungutan
Tindakan yang dilakukan oleh daerah yaitu antara lain memperbaiki prosedur administrasi
pajak melalui penyederhanaan admnistrasi pajak, meningkatkan efisiensi pemungutan dari
setiap jenis pemungutan.
5. Meningkatkan kapasitas penerimaan melalui perencanaan yang lebih baik
Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di daerah.
Selanjutnya, ekstensifikasi perpajakan juga dapat dilakukan, yaitu melalui
kebijaksanaan Pemerintah untuk memberikan kewenangan perpajakan yang lebih besar
kepada daerah pada masa mendatang. Untuk itu, perlu adanya perubahan dalam sistem
perpajakan Indonesia sendiri melalui system pembagian langsung atau beberapa basis pajak
Pemerintah Pusat yang lebih tepat dipungut oleh daerah.
Semenjak tahun 2002 Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah meluncurkan program
perubahan (change program) atau reformasi administrasi perpajakan yang secara singkat
biasa disebut Modernisasi. Adapun jiwa dari program modernisasi ini adalah pelaksanaan
good governance, yaitu penerapan sistem administrasi perpajakan yang transparan dan
akuntabel, dengan memanfaatkan sistem informasi teknologi yang handal dan terkini. Strategi
yang ditempuh adalah pemberian pelayanan prima sekaligus pengawasan intensif kepada para
wajib pajak. Jika program modernisasi ini ditelaah secara mendalam, termasuk perubahanperubahan yang telah, sedang, dan akan dilakukan, maka dapat dilihat bahwa konsep
modernisasi ini merupakan suatu terobosan yang akan membawa perubahan yang cukup
mendasar dan revolusioner.
Untuk mewujudkan itu semua, maka program reformasi adminsitrasi perpajakan perlu
dirancang dan dilaksanakan secara menyeluruh dan komprehensif. Perubahan-perubahan yang
dilakukan meliputi bidang-bidang berikut:
a.

Struktur organisasi

b.

Business process dan teknologi informasi dan komunikasi

c.

Manajemen sumber daya manusia

d.

Pelaksanaan good governance
Usaha untuk melakukan reformasi di segala bidang telah membuahkan dasar-dasar

perubahan di bidang manajemen pemerintahan. Hal tersebut antara lain diwujudkan dalam
TAP MPR No. XI/MPR/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN
dan UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaran Negara yang bersih dari KKN, yang
menegaskan tekad bangsa Indonesia untuk senantiasa bersungguh-sungguh mewujudkan
13

penyelenggaraan pemerintahan Negara yang mempunyai dua tugas

pokok yaitu

penyelenggaraan pemerintahan umum dan tugas pembangunan yang didasarkan pada prinsipprinsip good governance. Dan untuk dapat mencapai penyelenggaraan pemerintahan Negara
yang memenuhi kriteria good governance tersebut, diperlukan adanya pengawasan, baik
pengawasan internal maupun pengawasan eksternal. Internal auditor yang berwibawa dan
profesional harus mampu memberikan tindakan-tindakan preventif untuk mencegah
terjadinya KKN di lingkungan entitasnya.
Jika kasus mafia hukum dan makelar kasus tidak segera diselesaikan secara tuntas dan
akuntabel, maka kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum dan aparat pajak akan
semakin tercemar dan buram. Kita bisa melihat dengan jelas bahwa skandal mafia hukum dan
makelar kasus yang menimpa lembaga peradilan secara umum, tidak saja mempengaruhi citra
mereka sebagai penegak hukum, tetapi juga berpotensi serius terhadap masa depan
pembangunan bangsa ke depan. Jika citra penegak hukum kita semakin buram, maka akan
terjadi apa yang kita sebut sebagai krisis kepercayaan masyarakat.
Krisis kepercayaan dapat dipahami sebagai bentuk kegagalan penegak hukum dalam
membina kader-kadernya yang memiliki kredibilitas dan integritas. Sebagai bentuk
kegagalan, penegak hukum seharusnya memiliki kesadaran dan kedewasaan politik, bahwa
dalam menegakkan keadilan yang benar dan sehat harus diimbangi dengan kemampuan
membangun kepercayaan kepada publik.

14

BAB 3
KESIMPULAN
Sebagaimana layaknya negara berkembang, problematika pembiayaan negara dan
pembangunan di Indonesia juga senantiasa dihadapkan pada keterbatasan sumber dana yang
ada. Indonesia yang disebut sebagai salah satu negara yang sukses melakukan reformasi
perpajakan, juga dihadapkan pada persoalan pengembangan potensi perpajakan yang
menunjukkan menurunnya tingkat pertumbuhan penerimaan pajak.
Untuk itu, terdapat kebutuhan besar bagi Indonesia untuk melakukan reformasi pajak
lanjutan. Kinerja penerimaan pajak Indonesia yang dari ukuran angka cukup memuaskan,
ternyata tidak didukung oleh pembangunan sistem mondial yang kuat. Oleh karena itu,
reformasi perpajakan selanjutnya diharapkan dapat dilengkapi dengan perombakan sistem
yang inemiliki pijakan hukum yang lebih konsisten. Pembenahan aspek sumber dava manusia
harus menempati urutan teratas dalam pembenahan internal Direktorat Jenderal Pajak,
terutama dalam masalah kualitas dan moralitas
Persoalan korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) juga harus diperhatikan dalam
pembenahan Direktorat Jenderal Pajak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa DJP adalah unit
organisasi yang berada dalam rangking atas unit organisasi pemerintahan yang rentan akan
korupsi. Mengutip indikasi yang disampaikan oleh Jit B.S. Gill, sebenarnya kondisi ini juga
terjadi di berbagai negara. Meski demikian, tetap saja fakta tersebut tidak boleh menjadi
pembenaran, mengingat rangking Indonesia di bidang korupsi sangat memprihatinkan
Untuk menjalankan agenda pemberantasan KKN di Direktorat Jenderal Pajak,
pemerintah harus bekerja ekstra keras dan tidak hanya berlindung pada angka penegakan
disiplin yang mungkin menyesatkan. Angka penegakan disiplin yang ditunjukkan Direktorat
Jenderal Pajak belum cukup memadai dibandingkan keluhan masyarakat yang terus mengalir
mengenai pelayanan kurang memuaskan dan biaya klaim hak pajak masyarakat Wajib Pajak
yang masih tinggi. Juga mengenai indikasi korupsi yang dilakukan oknum Direktorat Jenderal
Pajak sehingga kewajiban pajak oknum wajib pajak dapat direkayasa dengan jalan tertentu.
Untuk itu, dibutuhkan suatu upaya luar biasa. Namun kunci dari seluruh persoalan
adalah pembenahan aspek sumber daya manusia secara integral, dimulai dari penciptaan
aparat dan lembaga pajak yang bersih dan berwibawa, adanya pengawasan, baik pengawasan
internal maupun pengawasan eksternal. Internal auditor yang berwibawa dan profesional
harus mampu memberikan tindakan-tindakan preventif untuk mencegah terjadinya KKN di
lingkungan entitasnya dan didukung oleh kesadaran masyarakat wajib pajak yang semakin
baik. Berkembangnya kesadaran membayar pajak dan pengelolaan penerimaan pajak pada
15

sektor yang mendukung pembangunan akan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat
yang pada akhirnya dapat mendorong iklim investasi yang lebih baik. Dengan demikian, pada
akhirnya sistem perpajakan dapat memiliki daya dorong bagi pembangunan.

16

DAFTAR PUSTAKA
J.B. Ghartey. 2001. Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta: Salemba Empat.
Kadmasasmita, A. Dj. Akuntabilitas Keuangan Negara : Konsep dan Aplikasi. Jakarta :
STIA LAN
Ledvina V. Carino. 2004. Organization and Management in The Public Sector, Alih
Bahasa. Jakarta: Grasindo
Modul Pusdiklatwas. 2007. Akuntabilitas Instansi Pemerintah. Jakarta : Pusat Pendidikan
Dan Pelatihan Pengawasan Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan
Modul Pusdiklatwas. 2007. Pedoman Pelaksanaan Anggaran II. Jakarta : Pusat Pendidikan
Dan Pelatihan Pengawasan Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan
Modul Pusdiklatwas. 2007. Sistem Administrasi Keuangan Daerah II. Jakarta : Pusat
Pendidikan

Dan

Pelatihan

Pengawasan

Badan

Pengawasan

Keuangan

Dan

Pembangunan
Sadjiarto, A. 2000. Akuntabilitas dan Pengukuran Kinerja Pemerintahan. Jurnal
Akuntansi & Keuangan Vol. 2, No. 2, Nopember 2000: 138 – 150
Setiyati, G dan Amir, H. 2005. Evaluasi Kinerja Sistem Perpajakan di Indonesia. Jurnal
Ekonomi Universitas Indonusa Esa Unggul Jakarta , Edisi November 2005
Sidik, M. 2002. “Optimalisasi Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dalam Rangka
Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah. Disampaikan dalam Acara Orasi
Ilmiah dengan Thema “Strategi Meningkatkan Kemampuan Keuangan daerah Melalui
Penggalian Potensi Daerah Dalam Rangka Otonomi Daerah” Acara Wisuda XXI STIA
LAN Bandung Tahun Akademik 2001/2002 - di Bandung, 10 April 2002
Sjahruddin Rasul. 2003. Pengintegrasian Sistem Akuntabilitas Kinerja Dan Anggaran
Perspektif UU No. 17/ 2003 Tentang Keuangan Negara. Jakarta : PNRI

17