Meningkatnya Golongan Putih dalam Pemili
MENINGKATNYA GOLONGAN PUTIH
DALAM PEMILIHAN UMUM
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah Kewarganegaraan
Desen Pembimbing : Slamet Subagyo
Diusulkan oleh
Puji Iswandi
4211301025
POLITEKNIK NEGERI BATAM
BATAM
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 latar Belakang
Indonesia adalah sebuah negara yang menganut sistem demokrasi dalam
menjalankan roda pemerintahan. Dalam pelaksanaannya Indonesia berpedoman
pada prinsip “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Tetapi dalam
pelaksanaannya tidak sesuai dengan konsep awal terbentuknya demokrasi. Karna
pelaksanaan
dilapangan
berbanding
terbalik
dengan
teori
yang
telah
dikemumukan. Banyak faktor yang mencederai pelaksanaan demokrasi, baik
negara maju seperti USA maupun negara berkembang seperti Indonesia.
Permasalahnnya bervariasi, mulai dari pengambilan keputusan yang selalu
menguntungkan penguasa, manipulasi data pemilihan umum sampai tidak
menjalankan tugas yang telah dipercayakan masyarakat.
Implementasi demokrasi dalam sistem pemerintahan Indonesia adalah
presidensial. Dimana kepala negara dan kepala pemerintahan di pegang oleh
presiden yang dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum (pemilu).
Pemilu merupakan suatu kegiatan menyuarakan hak pilih rakyat untuk memilih
orang-orang yang dipercaya menjadi wakil rakyat di daerah seperi DPRD kota,
DPRD provinsi, DPD serta pemilihan DPR, presiden dan wakil presiden. Pemilu
pertama dilaksanakan tahun 1955 dan menjadi pemilihan yang paling demokrasi.
Pada tahun 2004 rakyat baru bisa memilih pemimpin negara dan pemerintahan
secara lansung karna sebelumnya pemilihan presiden dilakukan oleh MPR. Pada
tahun 2009 calon presiden dan wakil presiden harus mendapatkan 50% suara
pemilih dan jika tidak akan dilakukan pemilihan umum yang kedua.
Komponen yang dibutuhkan dalam pemilu 2014 adalah adanya calon
legislatif, adanya rakyat yang memilih, dan partai politik. Rakyat yang akan
melakukan pemilihan umum akan di data oleh ketua RT masing-masing. Setelah
ditetapkan jumlah pemilih, ada sikap tidak baik yang dicontohkan oleh rakyat
yaitu lebih memilih golongan putih (golput) dan tidak mau tahu apa yang sedang
terjadi di negara sendiri. Tahun 2009 ada sekitar 34% rakyat yang tidak
menggunakan hak pilihnya setelah ditetapkan menjadi daftar pemilih tetap (DPT).
Ini membuktikan bahwa masyarakat lebih memilih untuk diam daripada memilih
pemimpinnya 5 tahun kedepan. Kemungkinan sosialisasi partai yang kurang atau
kepercayaan masyarakat telah pudar. Dalam hal ini saya mengangkat tema
“Meningkatnya Golongan putih Dalam Pemilihan Umum” .
1.2 Kajian Teori
Golput (Golongan Putih) muncul di saat pemilu pertama Orde Baru.
Tekanan secara aktif yang dilakukan pada unsur kekuasaan, khususnya militer,
terhadap partai politik dan pemanjaan luar biasa pada ‘bukan partai’ Golongan
Karya (Golkar) menimbulkan ketakutan dan kegelisahan di kalangan masyarakat.
Sekelompok intelektual muda, yang merasa memiliki andil dalam perjuangan
meruntuhkan rezim Orde Lama, dipelopori Arif Budiman, melakukan perlawanan
terhadap parodi demokrasi tersebut dengan mendirikan kelompok “Golongan
Putih" (kemudian lebih dikenal dengan sebutan Golput). Golput adalah
perlawanan dalam bentuk satire, dengan memunculkan lambang segi lima di atas
bidang warna putih, tanpa gambar. Sasarannya jelas ditujukan pada Golkar yang
juga berlambang segi lima yang bergambar beringin di tengahnya. Reaksi
penguasa terhadap golput cukup keras. Dampaknya, masyarakat takut terangterangan menyatakan dirinya golput, bahkan terpaksa ikut memilih karena ditakuttakuti bahwa yang tidak memilih atau, memilih bukan Golkar, tetap akan
diketahui penguasa dan harus siap menanggung akibatnya.[1]
Kini, di era demokrasi golput kembali marak. Gejala meningkatnya
ketidak pedulian masyarakat terhadap pemilu menimbulkan kekhawatiran
sejumlah kalangan, sampai-sampai MUI kebablasan, mengeluarkan fatwa haram
bagi yang tidak memilih alias golput. Hal yang bisa dipahami, karena rendahnya
partisipasi rakyat atas pemilu, merupakan indikator kepercayaan rakyat atas
sistem yang berlaku. Mendorong rakyat memilih dengan fatwa haram atau melalui
doktrin usang bahwa memilih adalah ikut menentukan masa depan bangsa sangat
diragukan manfaatnya. Terlebih penting adalah kesanggupan melakukan
introspeksi mengapa rakyat sampai enggan memilih, yang notabene adalah
haknya selaku warga negara yang paling berharga. Rakyat kecewa, atau bosan,
karena partisipasi mereka dalam pemilu, bukannya melahirkan pemimpin dan elit
politik yang berkualitas melainkan menghasilkan sekelompok elit pemimpin yang
berperilaku tidak terpuji seperti yang luas diberitakan media masa.[1]
Golput awalnya adalah gerakan moral yang dicetuskan pada 3 Juni 1971 di
Balai Budaya Jakarta. Satu bulan sebelum Pemilihan Umum (Pemilu) pertama
pada Orde Baru. Sejak pemilu pertama 1955, angka golput cenderung terus naik.
Bila dihitung dari pemilih tidak datang dan suara tidak sah, golput pada pemilu
1955 sebesar 12,34%. Pada pemilu 1971, ketika golput dicetuskan dan
dikampanyekan, justru mengalami penurunan hanya 6,67%. Pemilu 1977 golput
sebesar 8,40%, sebesar 9,61% pada 1982, 8,39% pada 1987, 9,05% pada 1992,
10,07% pada 1997, 10.40% pada 1999, serta 23,34% pada Pemilu Legislatif 2004
dan 23,47% pada Pilpres 2004 putaran I. Naik menjadi 24,95% pada Pilpres 2004
putaran II.
Menurut catatan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), dari
26 Pemilu kepala daerah tingkat provinsi yang berlangsung sejak 2005 hingga
2008, 13 pemilu gubernur 'dimenangi' golput. Artinya, jumlah dukungan suara
bagi gubernur pemenang Pilkada kalah ketimbang jumlah pemilih yang tidak
menggunakan hak pilih. Pilgub DKI Jakarta misalnya. Jumlah masyarakat yang t
idak memilih mencapai angka 39,2%. Nilai ini setara dengan 2,25 juta orang
pemilih.[2]
1.3 Studi Kasus
Kasus yang diangkat dalam makalah ini adalah mengapa masyarakat tidak
memilih dan meningkatnya jumlah pemilih tetap yang tidak menggunkan hak
suaranya dalam pemilihan umum.
BAB I
PEMBAHASAN
Pemilu 1999 angka golput 10,21%, Pemilu 2004 naik menjadi 23,34%,
dan Pemilu 2009 naik lagi menjadi 29,01%. Bandingkan dengan angka golput
pada pemilu era Orde Lama dan Orde Baru (1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992,
dan
1997)
yang
tak
pernah
lebih
dari
10%.
Untuk Pemilu Presiden dan Pemilu Kepala Daerah, angka golput juga tinggi.
Pilpres 2004 angka golput 21,5%, Pilpres 2009 naik menjadi 23,3%. Angka
golput pemilukada rata-rata 27,9%.[3]
Dari data diatas bisa kita tarik kesimpulan jumlah rakyat yang tidak
menyalurkan hak suaranya terus meningkat dari tahun ke tahun. Jika hal ini terus
meningkat di pemilu 2014, hasil pemilihan tidak lagi adil karna banyak yang tidak
memilih. Susah untuk menyalahkan pihak mana yang akan bertanggung jawab.
Seharusnya rakyat memilih calon legislatif yang benar-benar mampu untuk
menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat di pemerintahan. Menurut
pengamatan saya dilingkungan tempat tinggal, orang golput karna beberapa hal
yaitu
1. Analisa
Rakyat tidak bisa meluangkan waktunya untuk pergi ke tempat
pemungutan suara karena tuntutan kehidupan. Maksudnya rakyat tidak
bisa meninggalkan pekerjaannya sehari saja karna ada sebagian
masyarakat Indonesia yang pekerjaannya tidak tetap. Jadi jika ia pergi ke
tempat pemungutan suara kemungkinan buruk yang ia alami adalah tidak
bisa memberikan nafkah untuk anak dan istrinya. Ini banyak kita temukan
di sekitar rumah kita saat pemilu, apalagi tinggal dilingkungan rumah liar
(Ruli).
Solusi
Seharusnya pemerintah memberikan perhatian lebih kepada rakyat dengan
cara membicarakan masalah ini melalui ketua RT atau RW setempat. Jika
pemerintah tidak bisa memberikan dana karna hal teknik, mungkin bisa
dengan memberikan pemberitahuan kepada masyarakat untuk saling
membantu tetangganya yang tidak ada uang untuk membeli konsumsi di
hari pemilu agar bisa memilih. Satu suara rakyat sangat penting untuk
bangsa ini.
2. Analisa
Banyak rakyat yang tidak bisa memilih karna tidak memiliki kartu tanda
penduduk atau pun punya tetapi tidak terdaftar di daftar pemilih tetap
(DPT).
Solusi
Seharusnya pemerintah tidak menyusahkan masyarakat dalam pembuatan
kartu tanda penduduk, terkadang rakyat tidak di layani dan acuh tak acuh
ketika ingin mengurus KTP di kantor kelurahan dan Kecamatan. Hal ini
fakta yang ada kalau kita pergi mengurus KTP. Jika ditanya “kenapa tidak
memilih?”, kebanyakan menjawab tidak punya KTP dan mengatakan
bahwa untuk membuatnya terbelit dan di persulit. Jadi harus diperbaiki
prilaku orang-orang dinas yang selalu memandang derajat orang dalam
melayani. Jangan sampai hal kecil seperti ini bisa mencedarai
demokrasinya pemilu yang akan datang. Selain itu, ketika pendataan
jangan terburu-buru dan dengan prosedur yang benar. Jangan sampai ada
yang tidak terdata jika memang sudah waktunya untuk memilih. Harus ada
kerja sama antar instansi pemerintah untuk memperkecil angka Golput.
3. Analisa
Masyarakata sengaja tidak memilih karna bosan mendengar prilaku buruk
orang yang mereka percaya di dewan. Mereka tidak percaya akan ada
perubahan menuju kearah yang lebih baik dan berpendapat meskipun tidak
memilih, roda pemerintahan masih tetap berjalan seperti biasanya.
Solusi
Seharusnya KPU gencar melakukan penyuluhan kepada masyarakat agar
kesadaran berpartisipasi meningkat di pemilu. Terkadang dengan alasan
kesibukan dan tepencil rakyat jadi minim informasi tentang kapan
pemilihan dan kapan daftarnya. Masyarakat jangan apatis tentang calon
yang akan dipilih, perhatikan agama, sikap dan hal-hal yang telah di
lakukannya untuk khalayak ramai. Selain itu pemerintah harus
menggunakan sistem komitmen yang tegas. Misalnya Anggota legislatif,
eksekutif, yudikatif dan lainnya yang korupsi diberika hukuman mati. Jika
ketegasan ini ada, kemungkinan penguasa tidak menyusahkan masyarakat
dan kepercayaan rakyat akan meningkat lagi serta tidak menyesal ketika
mereka memilih.
4. Analisa
Masyarakat terpengaruh orang lain atau pun suatu golongan agar golput.
Sehingga masuk paham yang salah kedalam pemikiran masyarakat.
Solusi
Pemerintah harus sering sosialisasi pemilu dan memaparkan bahwa orang
yang mengajak orang lain untuk tidak memilih bisa di penjara. Sosialisasi
jangan di saat pemilu saja tetapi jauh sebelum pemilu di laksanakan.
Sosialisasi harus di lakukan sejak dini yaitu dengan datang ke sekolahsekolah untuk memberikan materi. Jika kita memperkenalkan di sekolah,
mudah-mudahan generasi kedepan bisa sadar dan tidak gampang
tepengaruh bahwa golput bukan pilihan yang tepat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masyarakat yang memilih untuk tidak memberikan hak suaranya pada
pemilu terus meningkat dari tahun ke tahun. Banyak faktor yang menyebabkan
fenomena ini terjadi. Jadi harus terjalin hubungan baik antara masyarakat dan
pemerintah sehingga pemilu berjalan lancar dan tidak ada kendala. Pemerintah
harus bisa membuat terobosan-terobosan baru yang bisa menyadarkan jiwa rakyat
dengan cara tidak melakukan kesalahan fatal seperti korupsi yang lagi ngetren di
Indonesia saat ini. Pemerintah harus sering melakukan sosialisasi kepada
masyarakat tentang sistematika pemilu dan bagaimana adab memilih pemimpin
yang baik dan benar sehingga masyarakat tidak menyesal 5 tahun kedepan seperti
yang telah dialami saat ini. Selain itu pemerintah harus mempermudah masyarakat
untuk mengurus administrasi yang di perlukan dalam daftar pemilih tetap (DPT)
dan melakukan prosedur pendataan yang benar sehingga golput makin berkurang.
3.2 Saran
1.Diharapkan
masyarakat tidak terpengaruh ajakan seseorang atau
sekelompok orang untuk tidak memilih atau mencontreng semua kandidat
ketika pemilu.
2. Kenalilah dan pilihlah calon legislatif menurut hati nurani anda, jangan mau
di paksa untuk memilih sesorang yang anda tidak suka.
3. Sempatkanlah waktu anda beberapa jam untuk memilih anggota dewan
yang akan menyalurkan aspirasi anda di dewan.
4. Pelaku pelanggaran kekuasaan seperti korupsi di tindak secara tegas agar
kepercayaan masyarakat tumbuh lagi dan angka golput bisa di tekan.
5. Berikan sanksi yang tegas bagi orang yang mengajak orang lain untuk
golput seperti yang ada dalam UU 8 tahun 2012:
Pasal 292: "Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain
kehilangan hak pilihnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun
dan denda paling banyak Rp 24 juta."
Pasal 301 ayat 3: "Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan
suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih
untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak
Rp 36 juta."
DAFTAR PUSTAKA
[1]. http://ampi.wordpress.com/tulisan-pilihan/pemilu-golput-dan-aspirasi-agamadalam-demokrasi
[2]. http://kaltimpost.co.id/berita/detail/29009/golput-apatis-atau-kritis.html
[3]. http://indonesia-web.blogspot.com/2013/08/rakyat-tak-percaya-elite-politik2014.html
Lampiran 1. Grafik Tingkat Partisipasi masyarakat dan Alur DPT
Lampiran 1. Daftar Pemilih Tetap dan Tempat Pemungutan Suara
DALAM PEMILIHAN UMUM
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah Kewarganegaraan
Desen Pembimbing : Slamet Subagyo
Diusulkan oleh
Puji Iswandi
4211301025
POLITEKNIK NEGERI BATAM
BATAM
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 latar Belakang
Indonesia adalah sebuah negara yang menganut sistem demokrasi dalam
menjalankan roda pemerintahan. Dalam pelaksanaannya Indonesia berpedoman
pada prinsip “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Tetapi dalam
pelaksanaannya tidak sesuai dengan konsep awal terbentuknya demokrasi. Karna
pelaksanaan
dilapangan
berbanding
terbalik
dengan
teori
yang
telah
dikemumukan. Banyak faktor yang mencederai pelaksanaan demokrasi, baik
negara maju seperti USA maupun negara berkembang seperti Indonesia.
Permasalahnnya bervariasi, mulai dari pengambilan keputusan yang selalu
menguntungkan penguasa, manipulasi data pemilihan umum sampai tidak
menjalankan tugas yang telah dipercayakan masyarakat.
Implementasi demokrasi dalam sistem pemerintahan Indonesia adalah
presidensial. Dimana kepala negara dan kepala pemerintahan di pegang oleh
presiden yang dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum (pemilu).
Pemilu merupakan suatu kegiatan menyuarakan hak pilih rakyat untuk memilih
orang-orang yang dipercaya menjadi wakil rakyat di daerah seperi DPRD kota,
DPRD provinsi, DPD serta pemilihan DPR, presiden dan wakil presiden. Pemilu
pertama dilaksanakan tahun 1955 dan menjadi pemilihan yang paling demokrasi.
Pada tahun 2004 rakyat baru bisa memilih pemimpin negara dan pemerintahan
secara lansung karna sebelumnya pemilihan presiden dilakukan oleh MPR. Pada
tahun 2009 calon presiden dan wakil presiden harus mendapatkan 50% suara
pemilih dan jika tidak akan dilakukan pemilihan umum yang kedua.
Komponen yang dibutuhkan dalam pemilu 2014 adalah adanya calon
legislatif, adanya rakyat yang memilih, dan partai politik. Rakyat yang akan
melakukan pemilihan umum akan di data oleh ketua RT masing-masing. Setelah
ditetapkan jumlah pemilih, ada sikap tidak baik yang dicontohkan oleh rakyat
yaitu lebih memilih golongan putih (golput) dan tidak mau tahu apa yang sedang
terjadi di negara sendiri. Tahun 2009 ada sekitar 34% rakyat yang tidak
menggunakan hak pilihnya setelah ditetapkan menjadi daftar pemilih tetap (DPT).
Ini membuktikan bahwa masyarakat lebih memilih untuk diam daripada memilih
pemimpinnya 5 tahun kedepan. Kemungkinan sosialisasi partai yang kurang atau
kepercayaan masyarakat telah pudar. Dalam hal ini saya mengangkat tema
“Meningkatnya Golongan putih Dalam Pemilihan Umum” .
1.2 Kajian Teori
Golput (Golongan Putih) muncul di saat pemilu pertama Orde Baru.
Tekanan secara aktif yang dilakukan pada unsur kekuasaan, khususnya militer,
terhadap partai politik dan pemanjaan luar biasa pada ‘bukan partai’ Golongan
Karya (Golkar) menimbulkan ketakutan dan kegelisahan di kalangan masyarakat.
Sekelompok intelektual muda, yang merasa memiliki andil dalam perjuangan
meruntuhkan rezim Orde Lama, dipelopori Arif Budiman, melakukan perlawanan
terhadap parodi demokrasi tersebut dengan mendirikan kelompok “Golongan
Putih" (kemudian lebih dikenal dengan sebutan Golput). Golput adalah
perlawanan dalam bentuk satire, dengan memunculkan lambang segi lima di atas
bidang warna putih, tanpa gambar. Sasarannya jelas ditujukan pada Golkar yang
juga berlambang segi lima yang bergambar beringin di tengahnya. Reaksi
penguasa terhadap golput cukup keras. Dampaknya, masyarakat takut terangterangan menyatakan dirinya golput, bahkan terpaksa ikut memilih karena ditakuttakuti bahwa yang tidak memilih atau, memilih bukan Golkar, tetap akan
diketahui penguasa dan harus siap menanggung akibatnya.[1]
Kini, di era demokrasi golput kembali marak. Gejala meningkatnya
ketidak pedulian masyarakat terhadap pemilu menimbulkan kekhawatiran
sejumlah kalangan, sampai-sampai MUI kebablasan, mengeluarkan fatwa haram
bagi yang tidak memilih alias golput. Hal yang bisa dipahami, karena rendahnya
partisipasi rakyat atas pemilu, merupakan indikator kepercayaan rakyat atas
sistem yang berlaku. Mendorong rakyat memilih dengan fatwa haram atau melalui
doktrin usang bahwa memilih adalah ikut menentukan masa depan bangsa sangat
diragukan manfaatnya. Terlebih penting adalah kesanggupan melakukan
introspeksi mengapa rakyat sampai enggan memilih, yang notabene adalah
haknya selaku warga negara yang paling berharga. Rakyat kecewa, atau bosan,
karena partisipasi mereka dalam pemilu, bukannya melahirkan pemimpin dan elit
politik yang berkualitas melainkan menghasilkan sekelompok elit pemimpin yang
berperilaku tidak terpuji seperti yang luas diberitakan media masa.[1]
Golput awalnya adalah gerakan moral yang dicetuskan pada 3 Juni 1971 di
Balai Budaya Jakarta. Satu bulan sebelum Pemilihan Umum (Pemilu) pertama
pada Orde Baru. Sejak pemilu pertama 1955, angka golput cenderung terus naik.
Bila dihitung dari pemilih tidak datang dan suara tidak sah, golput pada pemilu
1955 sebesar 12,34%. Pada pemilu 1971, ketika golput dicetuskan dan
dikampanyekan, justru mengalami penurunan hanya 6,67%. Pemilu 1977 golput
sebesar 8,40%, sebesar 9,61% pada 1982, 8,39% pada 1987, 9,05% pada 1992,
10,07% pada 1997, 10.40% pada 1999, serta 23,34% pada Pemilu Legislatif 2004
dan 23,47% pada Pilpres 2004 putaran I. Naik menjadi 24,95% pada Pilpres 2004
putaran II.
Menurut catatan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), dari
26 Pemilu kepala daerah tingkat provinsi yang berlangsung sejak 2005 hingga
2008, 13 pemilu gubernur 'dimenangi' golput. Artinya, jumlah dukungan suara
bagi gubernur pemenang Pilkada kalah ketimbang jumlah pemilih yang tidak
menggunakan hak pilih. Pilgub DKI Jakarta misalnya. Jumlah masyarakat yang t
idak memilih mencapai angka 39,2%. Nilai ini setara dengan 2,25 juta orang
pemilih.[2]
1.3 Studi Kasus
Kasus yang diangkat dalam makalah ini adalah mengapa masyarakat tidak
memilih dan meningkatnya jumlah pemilih tetap yang tidak menggunkan hak
suaranya dalam pemilihan umum.
BAB I
PEMBAHASAN
Pemilu 1999 angka golput 10,21%, Pemilu 2004 naik menjadi 23,34%,
dan Pemilu 2009 naik lagi menjadi 29,01%. Bandingkan dengan angka golput
pada pemilu era Orde Lama dan Orde Baru (1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992,
dan
1997)
yang
tak
pernah
lebih
dari
10%.
Untuk Pemilu Presiden dan Pemilu Kepala Daerah, angka golput juga tinggi.
Pilpres 2004 angka golput 21,5%, Pilpres 2009 naik menjadi 23,3%. Angka
golput pemilukada rata-rata 27,9%.[3]
Dari data diatas bisa kita tarik kesimpulan jumlah rakyat yang tidak
menyalurkan hak suaranya terus meningkat dari tahun ke tahun. Jika hal ini terus
meningkat di pemilu 2014, hasil pemilihan tidak lagi adil karna banyak yang tidak
memilih. Susah untuk menyalahkan pihak mana yang akan bertanggung jawab.
Seharusnya rakyat memilih calon legislatif yang benar-benar mampu untuk
menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat di pemerintahan. Menurut
pengamatan saya dilingkungan tempat tinggal, orang golput karna beberapa hal
yaitu
1. Analisa
Rakyat tidak bisa meluangkan waktunya untuk pergi ke tempat
pemungutan suara karena tuntutan kehidupan. Maksudnya rakyat tidak
bisa meninggalkan pekerjaannya sehari saja karna ada sebagian
masyarakat Indonesia yang pekerjaannya tidak tetap. Jadi jika ia pergi ke
tempat pemungutan suara kemungkinan buruk yang ia alami adalah tidak
bisa memberikan nafkah untuk anak dan istrinya. Ini banyak kita temukan
di sekitar rumah kita saat pemilu, apalagi tinggal dilingkungan rumah liar
(Ruli).
Solusi
Seharusnya pemerintah memberikan perhatian lebih kepada rakyat dengan
cara membicarakan masalah ini melalui ketua RT atau RW setempat. Jika
pemerintah tidak bisa memberikan dana karna hal teknik, mungkin bisa
dengan memberikan pemberitahuan kepada masyarakat untuk saling
membantu tetangganya yang tidak ada uang untuk membeli konsumsi di
hari pemilu agar bisa memilih. Satu suara rakyat sangat penting untuk
bangsa ini.
2. Analisa
Banyak rakyat yang tidak bisa memilih karna tidak memiliki kartu tanda
penduduk atau pun punya tetapi tidak terdaftar di daftar pemilih tetap
(DPT).
Solusi
Seharusnya pemerintah tidak menyusahkan masyarakat dalam pembuatan
kartu tanda penduduk, terkadang rakyat tidak di layani dan acuh tak acuh
ketika ingin mengurus KTP di kantor kelurahan dan Kecamatan. Hal ini
fakta yang ada kalau kita pergi mengurus KTP. Jika ditanya “kenapa tidak
memilih?”, kebanyakan menjawab tidak punya KTP dan mengatakan
bahwa untuk membuatnya terbelit dan di persulit. Jadi harus diperbaiki
prilaku orang-orang dinas yang selalu memandang derajat orang dalam
melayani. Jangan sampai hal kecil seperti ini bisa mencedarai
demokrasinya pemilu yang akan datang. Selain itu, ketika pendataan
jangan terburu-buru dan dengan prosedur yang benar. Jangan sampai ada
yang tidak terdata jika memang sudah waktunya untuk memilih. Harus ada
kerja sama antar instansi pemerintah untuk memperkecil angka Golput.
3. Analisa
Masyarakata sengaja tidak memilih karna bosan mendengar prilaku buruk
orang yang mereka percaya di dewan. Mereka tidak percaya akan ada
perubahan menuju kearah yang lebih baik dan berpendapat meskipun tidak
memilih, roda pemerintahan masih tetap berjalan seperti biasanya.
Solusi
Seharusnya KPU gencar melakukan penyuluhan kepada masyarakat agar
kesadaran berpartisipasi meningkat di pemilu. Terkadang dengan alasan
kesibukan dan tepencil rakyat jadi minim informasi tentang kapan
pemilihan dan kapan daftarnya. Masyarakat jangan apatis tentang calon
yang akan dipilih, perhatikan agama, sikap dan hal-hal yang telah di
lakukannya untuk khalayak ramai. Selain itu pemerintah harus
menggunakan sistem komitmen yang tegas. Misalnya Anggota legislatif,
eksekutif, yudikatif dan lainnya yang korupsi diberika hukuman mati. Jika
ketegasan ini ada, kemungkinan penguasa tidak menyusahkan masyarakat
dan kepercayaan rakyat akan meningkat lagi serta tidak menyesal ketika
mereka memilih.
4. Analisa
Masyarakat terpengaruh orang lain atau pun suatu golongan agar golput.
Sehingga masuk paham yang salah kedalam pemikiran masyarakat.
Solusi
Pemerintah harus sering sosialisasi pemilu dan memaparkan bahwa orang
yang mengajak orang lain untuk tidak memilih bisa di penjara. Sosialisasi
jangan di saat pemilu saja tetapi jauh sebelum pemilu di laksanakan.
Sosialisasi harus di lakukan sejak dini yaitu dengan datang ke sekolahsekolah untuk memberikan materi. Jika kita memperkenalkan di sekolah,
mudah-mudahan generasi kedepan bisa sadar dan tidak gampang
tepengaruh bahwa golput bukan pilihan yang tepat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masyarakat yang memilih untuk tidak memberikan hak suaranya pada
pemilu terus meningkat dari tahun ke tahun. Banyak faktor yang menyebabkan
fenomena ini terjadi. Jadi harus terjalin hubungan baik antara masyarakat dan
pemerintah sehingga pemilu berjalan lancar dan tidak ada kendala. Pemerintah
harus bisa membuat terobosan-terobosan baru yang bisa menyadarkan jiwa rakyat
dengan cara tidak melakukan kesalahan fatal seperti korupsi yang lagi ngetren di
Indonesia saat ini. Pemerintah harus sering melakukan sosialisasi kepada
masyarakat tentang sistematika pemilu dan bagaimana adab memilih pemimpin
yang baik dan benar sehingga masyarakat tidak menyesal 5 tahun kedepan seperti
yang telah dialami saat ini. Selain itu pemerintah harus mempermudah masyarakat
untuk mengurus administrasi yang di perlukan dalam daftar pemilih tetap (DPT)
dan melakukan prosedur pendataan yang benar sehingga golput makin berkurang.
3.2 Saran
1.Diharapkan
masyarakat tidak terpengaruh ajakan seseorang atau
sekelompok orang untuk tidak memilih atau mencontreng semua kandidat
ketika pemilu.
2. Kenalilah dan pilihlah calon legislatif menurut hati nurani anda, jangan mau
di paksa untuk memilih sesorang yang anda tidak suka.
3. Sempatkanlah waktu anda beberapa jam untuk memilih anggota dewan
yang akan menyalurkan aspirasi anda di dewan.
4. Pelaku pelanggaran kekuasaan seperti korupsi di tindak secara tegas agar
kepercayaan masyarakat tumbuh lagi dan angka golput bisa di tekan.
5. Berikan sanksi yang tegas bagi orang yang mengajak orang lain untuk
golput seperti yang ada dalam UU 8 tahun 2012:
Pasal 292: "Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain
kehilangan hak pilihnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun
dan denda paling banyak Rp 24 juta."
Pasal 301 ayat 3: "Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan
suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih
untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak
Rp 36 juta."
DAFTAR PUSTAKA
[1]. http://ampi.wordpress.com/tulisan-pilihan/pemilu-golput-dan-aspirasi-agamadalam-demokrasi
[2]. http://kaltimpost.co.id/berita/detail/29009/golput-apatis-atau-kritis.html
[3]. http://indonesia-web.blogspot.com/2013/08/rakyat-tak-percaya-elite-politik2014.html
Lampiran 1. Grafik Tingkat Partisipasi masyarakat dan Alur DPT
Lampiran 1. Daftar Pemilih Tetap dan Tempat Pemungutan Suara