MEDIA PASAR DAN labirin DEMOKRASI

MEDIA, PASAR DAN DEMOKRASI∗)
Oleh Budi Suprapto
Idealitas Media
Dalam struktur komunikasi sosial dan komunikasi politik media adalah jembatan yang
menghubungkan wilayah kehidupan supra struktur dan wilayah infra struktur dalam sebuah
sistem sosial dan politik. Secara teoretikal keberadaan media yang demikian bisa berfungsi
sebagai jembatan emas yang bisa mengelola relasi kepentingan antara wilayah pemerintahan
dan rakyat, antara wilayah awam dan wilayah elit. Bahkan jika kita menengok ke belakang dari
perkembangan media itu sendiri, khususnya media, sesungguhnya ia pernah menjadi teman
seperjuangan dalam rangkaian babak sejarah perjuangan rakyat semesta tatkala menuntut
kehidupan yang adil dan bermartabat. Dalam kasus Indonesia, hal itu terbukti dengan adanya
sekeping pernyataan, yang sudah terlupakan, yang diperuntukkan bagi mengenang jasa media
massa (pers), yaitu dengan sebutan ’pers perjuangan’ ‘pers reformasi’. Maknanya adalah pernah
pada satu masa atau pada masa-masa tertentu, media bisa menjadi sejunjung dan seiring dengan
kepentingan rakyat. Secara ideal media bisa bertindak seperti jembatan beton yang kukuh dan
netral; sehingga siapapun yang melaluinya merasa nyaman karena terlayani dengan aman.
Tetapi dalam dunia nyata sekarang ini, kemesraan antara media dan masyarakat awam seperti
yang disebutkan tadi hanyalah tinggal pada catatan sejarah. Mengharap yang ideal itu tinggal
menggantang asap berharap ayam goreng.
Dalam perspektif ekonomi-politik media, sekarang ini media selayak jembatan bambu atau
bahkan jembatan goyang, yang bisa bergerak-gerak tatkala ada yang lalu lalang. Aman atau

terancam, nikmat atau mual, kuat maupun lemahnya goyangan tersebut tidaklah sama bagi
setiap pelewat. Hal itu sang1at ditentukan oleh siapa yang lewat dan seberapa erat perpaduan
kepentingan yang dibawa serta si pelewat dan kepentingan ekonomi politik media. Dan yang
mengkhawatirkan adalah kepentingan-kepentingan yang dimaksud bisa jadi bersifat sangat
pragmatik; dan bahkan bisa berlangsung dengan model barterisasi.
Sekali lagi, dengan kedudukan media dalam sebuah struktur sistem sosial dan politik
adalah sangat strategis, penuh kuasa dan sangat mulia manakala kedudukan itu ditegakkan dan
digerakkan di atas nilai-nilai moralitas dan spiritualitas yang demokratik. Secara politik media
bisa bertindak sebagai forum publik bagi dialog-dialog cerdas tentang kepentingan publik, baik
∗)

Paper untuk diskusi Pusat Kajian Sosial dan Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, 20 – 09 - 2017

1

dalam skala lokal, regional, dan nasional, di mana pihak penguasa dan segenap elemen
masyarakat berpeluang sama dan secara bersama-sama sebagai partisipan aktif, seperti yang
pernah dipikirkan oleh Jurgen Habermas. Media juga bisa bertindak sebagai pengelola atas isuisu strategis dengan pendekatan agenda setting. Selanjutnya isu tersebut didorong ke tengah
masyarakat sehingga bisa menumbuhkan diskusi publik, dengan satu tujuan yaitu menghasilkan
agenda publik yang memiliki rumusan konseptual yang memberi arah jalan ke depan maupun

rumusan operasional yang applicable. Jika hal demikian bisa diperbuat oleh media, maka ia
telah menjalankan fungsi-fungsi subtatif yang dilekatkan kepadanya. Bahkan media tidak lagi
sekedar

instrumental,

tetapi

bertindak

sebagai

subyek

yang

bisa

menumbuhkan,


mengembangkan dan mengawal satu gerakan kultural yang berkemajuan dalam kehidupan
masyarakat dan bangsa Indonesia ini menuju cita-cita.
Media dan Pasar
Sangatlah mungkin apa yang saya nyatakan di atas adalah bentuk pengingkaran terhadap
kenyataan dan menafikkan logika modal dan pasar yang membingkai gerak industri media.
Tidak salah juga jika dikatakan, bahwa untuk saat ini pikiran seperti itu adalah sangat tidak
realistik, naif, dan membuta-tuli. Namun demikian, jika semua sisi masyarakat, seiya-sekata
untuk sehala dengan selera pasar, yang ngepop dan gaul, maka sebenarnya cara pandang kita
telah subordinated dalam struktur budaya dan logika pragmatik media, yang sarat dengan
kepentingan politik, ekonomi dan pasar. Dalam penjelasan tentang logika pragmatik media,
Jurgen Habermas, Noam Chomsky, dan Robert Mc, Chesney mengatakan, media bukan lagi
subyek yang independen dan berpihak kepada kepentingan publik, tetapi media adalah sebuah
instrumen bagi pihak-pihak yang memiliki kuasa untuk mengendalikannya.
Sebagai instrumen maka media tidak lagi freedom. Sebagai sebuah instrumen, sikap dan
perilakunya sangat ditentukan oleh subyek yang memiliki dan memainkan instrumental tersebut.
Biasanya subyek yang menguasai media sebagai instrumen, menguasai pula sumber daya
politik, ekonomi, dan budaya. Jika berlaku hal yang demikian, maka media bisa digunakan
sebagai kepanjangan tangan untuk memperoleh, melanggengkan kekuasaan dan ideologi si
subyek, sebagaimana ditegaskan oleh Althuser. Dalam situasi semacam ini susunan agenda
media tidak lagi berorentasi kepada kepentingan publik, tetapi berisi isu-isu yang sarat dengan

kepentingan penguasa media, kemudian disajikan kepada masyarakat dengan penuh kecerdikan
agar bisa menjadi agenda publik. Proses ini bisa berlangsung sedemikian efektif dan massif,
2

karena masyarakat sendiri telah memiliki ketergantungan yang luar biasa kepada media.
Kertgantungan yang demikian telah menjadikan informasi yang diperoleh masyarakat dari
media, digunakan sebagai rujukan utama bagi pola pikir, sikap, dan perilaku mereka. Sebab apa
yang ditampilkan oleh media, oleh masyarakat dianggap sebagai sebuah kebenaran yang utuh.
Jarang yang menyadari bahwa sesungguhnya mereka telah terjebak dalam konstruksi dan
rekonstruksi realitas media.
Komedian Amerika, Will Roger mengatakan: “All I Know is just what I read in The
papers.” Meskipun disampaikan dalam nada slapstick, tetapi pernyataan itu sangatlah relevan
dengan keadaan dalam masyarakat kita saat ini. Adalah kenyataan bahwa media massa dan
media internet (yang selanjutnya disebut media) memiliki kekuatan yang luar biasa dalam
memberi kerangka pikir dan hala tuju bagi sikap dan pola-laku warga masyarakat. Bahkan
media mampu menciptakan nothing to be something.
Jika satu masyarakat tidak dapat keluar dari arus budaya dan logika pragmatik, maka
kemungkinan yang akan hadir adalah sebuah masyarakat poco-poco yang tidak pernah bergerak
maju, kecuali seperti gerak tari poco-poco yaitu maju-mundur dalam sebuah batas lingkaran
yang sama. Tetapi anehnya semua elemen masyarakat, dari hulu sehingga hilir, sepakat

mengatakan, bahwa mereka merasa telah mengalami kemajuaan yang melaju. Sementara itu
mereka juga menurunkan anak-pinak yang disebut generasi selebrasi yang sangat ahli dalam hal
to have fun for everyday. Jika suatu masyarakat atau bangsa hanya bergerak maju-mundur
seperti digambarkan dalam tari poco-poco, maka jelas pada hakekatnya ia belum (untuk tidak
mengatakan tidak) memiliki kemajuan, kecuali sekedarnya. Meskipun bagi sebagian besar
orang keadaan sperti itu memang sangat menyenangkan (fun), atau bisa jadi malah bagi
kelompok tertentu hal itu bisa menguntungkan; padahal yang sebenarnya adalah funny.
Sungguh sayang-disayang anak beruk ditimang-timang; bahwa keadaan media kita
sekarang ini, sebagian besar muatannya adalah fun dan funny, yang berlangsung setiap hari.
Semakin hari media juga semakin terjerat ke dalam jaring-jaring pragmatisme ekonomi dan
politik; pada gilirannya tak jarang media lebih memilih berpihak kepada kendil dibandingkan
menegakkan nilai-nilai ideal. Jika institusi sosial yang memiliki posisi strategis dan penuh
kekuatan ini berada pada keadaan demikian, kita bisa membayangkan apa yang terjadi
berikutnya berkait dengan kualitas dan kemajuan masyarkat. Misalnya, jika hanya kesenangan
dan kelucuan yang disajikan oleh media yang secara massif, yang menjangkau setiap inci
3

kehidupan anggota masyarakat sampai diujung sewek dan sarung, di setiap hari dan di berbagai
tempat, maka cepat atau lambat ia berkontribusi bagi terbentuknya masyaraakat poco-poco. Bisa
saja diduga bahwa perilaku media yang full fun & full funny itu didorong oleh kepentingan

ekonomi dan politik. Ditambahkan pula, jika media lebih condong berpihak kepada kepentingan
politik dan ekonomi, maka disengaja atau tidak media akan berfungsi sebagai instrumental bagi
segelintir orang yang memiliki kekuatan terbesar dalam mengakses sumber daya ekonomi dan
sumber daya politik yang ada.

4