Agama sebagai Kebutuhan Manusia dalam

Agama sebagai Kebutuhan Manusia
Oleh; Mufdil Tuhri[1]
Abstrak
Menurut sejarah, agama tumbuh bersamaan dengan berkembangnya kebutuhan
manusia. Salah satu dari kebutuhan itu adalah kepentingan manusia dalam memenuhi
hajat rohani yang bersifat spritual, yakni sesuatu yang dianggap mampu memberi
motivasi semangat dan dorongan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, unsur
rohani yang dapat memberikan spirit dicari dan dikejar sampai akhirnya mereka
menemukan suatu zat yang dianggap suci, memiliki kekuatan, maha tinggi dan maha
kuasa. Sesuai dengan taraf perkembangan cara berpikir mereka, manusia mulai
menemukan apa yang dianggapnya sebagai Tuhan. Dapatlah dimengerti bahwa hakikat
agama merupakan fitrah naluriah manusia yang tumbuh dan berkembang dari dalam
dirinya dan pada akhirnya mendapat pemupukan dari lingkungan alam sekitarnya.[2]
Manusia juga disebut sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT dengan potensi
untuk berbuat kebaikan dan keburukan. Dalam bahasa Al-Qur’an ini dikenal
denganNafs. Disebutkan bahwa, potensi Positif yang dimiliki manusia lebih kuat dari
potensi negatifnya, tetapi daya tarik keburukan lebih kuat dari daya tarik kebaikan.
Manusia dituntut untuk memelihara dirinya dari kecendrungan-kecendrungan untuk
berperilaku negatif maka pada saat itu pula manusia memerlukan agama yang sejatinya
menjadi kebutuhan manusia.[3]
Disamping itu, Manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai

tantangan, baik yang datang dari luar maupun yang datang dari dalam maka, pada saat
itu pula pengaruh-pengaruh negatif cenderung memalingkan manusia dari Tuhan.
maka, tiada lain yang dibutuhkan manusia pada saat itu ketaatan dalam beragama
yang akan membentengi godaan dan tantangan hidup yang demikian ini.
Keyword: Faith, Human, needs

I. Agama dalam berbagai definisi
Agama adalah salah satu istilah dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa
sanskerta. Istilah ini terambil dari dua kata yaitu a dan gam. A diartikan kesini,
tidak danGam diartikan Gaan, go, gehen, berjalan-jalan. jadi tidak pergi, tetap ditempat,
diwarisi turun-temurun. Agama memang mempunyai sifat yang demikian. Sehingga
secara istilah Agama bisa disimpulkan sebagai Peraturan-peraturan Tradisional, ajaranajaran, dan kumpulan hukum-hukum. Pendeknya, apasaja yang turun temurun dan
ditentukan oleh adat Istiadat.[4]

Dalam Masyarakat Indonesia selain dari kata agama, dikenal juga kata Din dalam
bahasa arab, dan Religi dalam Bahasa Eropa. Kata Dîn dalam bahasa Al-Quran,
seringkali dipersamakan dengan kata agama. Kata tersebut terdiri dari tiga
hurufhija’iyah yaitu dâl, yâ’, dan nûn. Bagaimanapun cara anda membacanya,
maknanya selalu menggambarkan hubungan antara dua pihak, yang satu lebih tinggi
kedudukannya dari yang lain. Seperti dain yang berarti utang, atau dîn yang

berartibalasan dan kepatuhan, serta hubungan antara manusia di tempat rendah
dengan Allah Yang Maha Tinggi.[5] Dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau
hukum.
Adapun kata religi berasal dari bahasa latin menurut satu pendapat demikian Harun
Nasution mengatakan, bahwa asal kata religi adalah relegre yang mengandung arti
mengumpulkan dan membaca. Pengertian demikian itu juga sejarah dengan isi agama
yang mengandung kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan yang berkumpul
dalam kitab suci yang harus dibaca. Tetapi menurut pendapat lain, kata itu berasal dari
kata religere yang berarti mengikat ajaran-ajaran agama memang mengikat manusia
dengan Tuhan.[6]
Para pakar mendefinisikan agama dalam berbagai macam pengertian sebut saja John
Locke ( 1632-1704 M.), yang menyatakan bahwa “Agama bersifat khusus, pribadi,
sumbernya adalah jiwaku dan mustahil bagi yang lain dariku, memberi aku petunjuk,
jika jiwaku sendiri enggan menerima petunjuk itu.”
Memang, sebagian pakar telah berusaha menggambarkannya. “Agama adalah
pengetahuan tentang Tuhan dan upaya meneladani-Nya,” kata Seneque (2-66 M).
“Agama adalah pengabdian kemanusiaan,” kata Auguste Comte (1798-1857 M).
“Agama adalah sekumpulan petunjuk Ilahi yang disampaikan melalui nabi/rasul untuk
menjadi pedoman hidup bagi manusia dan mengantar penganutnya meraih
kebahagiaan dunia dan akhirat,” demikian tulis Mahmud Syaltut ( 1960 M). “Beragama

adalah menjadikan semua kewajiban kita adalah perintah-perintah Tuhan yang suci
dan harus dilaksanakan,” begitu menurut Immanuel Kant (1724-1804 M).[7]
Dari berbagai macam pengertian diatas maka, Quraish Shihab menyimpulkan bahwa
agama adalah adalah hubungan yang dirasakan antara jiwa manusia dan satu
kekuatan yang Maha Dahsyat, dengan sifat-sifat-Nya yang amat indah dan sempurna,
dan mendorong jiwa itu untuk mengabdi dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Pengabdian itu dilakukan baik karena takut maupun karena berharap memperoleh
kasih-Nya yang khusus, atau bisa juga karena dorongan kagum dan cinta. Jika
demikian, untuk bisa disebut “beragama”, maka paling tidak ada tiga hal yang harus
terpenuhi.
Pertama: Merasakan dalam jiwa tentang kehadiran satu kekuatan yang Maha Agung,
Yang mencipta dan mengatur alam raya. Kehadiran-Nya itu bersifat sinambung, bukan
saja pada saat seseorang berada di tempat suci, tetapi setiap saat, baik ketika
manusia sadar, maupun saat ia terlena atau tidur; saat ia hidup di dunia ini, maupun
setelah kematiannya.

Kedua: Lahirnya dorongan dalam hati untuk melakukan hubungan dengan kekuatan
tersebut, suatu hubungan yang terpantul dalam ketaatan melaksanakan apa yang
diyakini sebagai perintah atau kehendak-Nya, serta menjauhi larangan-Nya
Ketiga: Meyakini bahwa Yang Maha Agung itu Maha Adil, sehingga pasti akan memberi

balasan dan ganjaran sempurna pada waktu yang ditentukan-Nya. Dengan kata lain,
keyakinan ini merupakan cerminan kepercayaan tentang adanya hari pembalasan, hari
kemudian.[8]
II. Kebutuhan Manusia terhadap Agama
1. Agama Sebagai Fitrah
Dalam pandangan Islam, keberagamaan adalah fithrah (sesuatu yang melekat
pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya) Demikian dipahami dari
firman Allah SWT dalam surat Al-Rum (30): 30.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tiada perubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.”
Merujuk kepada fitrah yang dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
manusia sejak asal kejadiannya, membawa potensi beragama yang lurus, dan
dipahami oleh para ulama sebagai tauhid.
Dalam ayat lain dikemukakan, bahwa:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan
kami), kami menyaksikan'” (QS Al-A’raf [7]: 172).

Ini berarti manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama. Pada hakikatnya pula,
Manusia tidak secara fitri merupakan makhluk yang memiliki kemampuan untuk
beragama. Hal ini sejalan pula dalam Hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa
setiap anak yang dilahirkan memiliki fitrah (potensi beragama), maka kedua orang
tuanyalah yang menjadikan anak tersebut Yahudi, Nashrani atu Majusi. Tuhan
menciptakan demikian, karena agama merupakan kebutuhan hidupnya. Memang
manusia dapat menangguhkannya sekian lama –boleh jadi sampai dengan
menjelang kematiannya. Tetapi pada akhirnya, sebelum ruh meninggalkan jasad, ia
akan merasakan kebutuhan itu .
Bukti bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi beragama ini dapat dilihat
melalui bukti historis dan antropologis. Manusia Primitif yang kepadanya tidak pernah
datang informasi mengenal tuhan, ternyata mereka mempercayai adanya tuhan

sekalipun terbatas daya khayalnya. Selanjutnya, keyakinan-keyakinan tersebut dikenal
dengan istilah Dinamisme[9], Animisme[10], dan Politeisme[11] -lebih lanjut lihat Harun
Nasution dalam Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya-, ini semua membuktikan bahwa
manusia mempunyai potensi bertuhan.
Lebih lanjut, Murthada Muthahhari menyebutkan bahwa setidaknya ada 5 Hipotesis
yang diajukan mengenai pertumbuhan agama pada manusia. Yaitu Agama produk rasa
takut, Agama adalah produk kebodohan, agama sebagai motivasi keterikatan manusia

dan pendambaannya kepada keadilandan keteraturan, dan Marxisme.[12]
Kesimpulannya bahwa latar belakang perlunya manusia pada agama adalah karena
dalam diri manusia sudah terdapat potensi untuk beragama. Potensi yang beragama ini
memerlukan pembiasaan, pengarahan, pengambangan dan seterusnya dengan cara
mengenalkan agama kepadanya. Dalam keadaan demikian, Islam mengenal adanya
nabi dan rasul yang diutus kepada umat manusia untuk menginformasikan bahwa tuhan
yang mereka cari itu adalah Allah, yakni Tuhan yang menciptakan dan wajib disembah.
Dengan demikian sebutan Allah bagi tuhan bukanlah khayalan bagi manusia.
2. Kelemahan dan Kekurangan Manusia.
Faktor lainnya yang melatarbelakangi manusia memerlukan agama adalah karena
disamping manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan.
Walaupun manusia itu dianggap sebagai makhluk yang terhebat dan tertinggi dari
segala makhluk yang ada di alam ini, akan tetapi mereka mempunyai kelemahan dan
kekurangan karena terbatasnya kemampuan tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa
manusia menjadi lemah karena di dalam dirinya ada hawa nafsu yang lebih cenderung
mengajak kepada kejahatan, sesudah itu ada lagi iblis yang selalu berusaha
menyesatkan manusia dari kebenaran dan kebaikan. Manusia hanya dapat melawan
musuh-musuh ini hanya dengan senjata agama.
Allah menciptakan manusia dan berfirman “bahwa manusia itu telah diciptakan-nya
dengan batas-batas tertentu dan dalam keadaan lemah. Dalam QS. Al-Qomar : 49.

“Sesungguhnya tiap-tiap sesuatu (terasuk manusia) telah kami ciptakan dengan ukuran
(batas) tertentu”
Dalam literatur Teologi Islam kita jumpai pandangan kaum mu’tazilah yang rasionalis,
karena banyak mendahuluka pendapat akal dalam memperkuat argumentasinya dari
pada wahyu. Namun demikian mereka sepakat bahwa manusia dengan akalnya
memiliki kelemahan. Akal memang mengetahui yang baik dan yang buruk tetapi tidak
semua yang baik dan yang buruk dapat diketahui oleh akal. Dalam hubungan
inilah,kaum mu’tazilah mewajibkan pada Tuhan agar menurunkan wahyu dengan
tujuan agar kekurangan yang dimiliki akal dapat dilengkapi dengan informasi yang
datang dari wahyu (agama). Dengan demikian, Mu’tazilah secara tidak langsung
memandang bahwa manusia memerlukan wahyu.[13]

Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dirinya itu dan keluar dari kegagalankegagalan tersebut tidak ada jalan lain kecuali melalui petunjuk wahyu dan agama .
3. Tantangan Manusia
Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia
adalah karena manusia adalah dalam kehidupan senantiasa menghadapi berbagai
tantangan baik dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa
dorongan dari hawa nafsu dan bisikan syetan sedangkan tantangan dari luar dapat
berupa rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja
berupa ingin memalingkan manusia dari Tuhan. Mereka dengan rela mengeluarkan

biaya, tenaga, dan pikiran yang dimanipestasikan dalam berbagai bentuk kebudayaan
yang didalamnya mengandung misi menjauhkan manusia dari Tuhan.
Orang-orang kafir itu sengaja mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mereka
gunakan agar orang mengikuti keinginannya, berbagai bentuk budaya, hiburan, obatobatan terlarang dan sebagainya dibuat dengan sengaja. Untuk itu upaya untuk
mengatasinya dan membentengi manusia adalah dengan mengejar mereka agar taat
menjalankan agama. Godaan dan tantangan hidup demikian itu saat ini semakin
meningkat sehingga upaya mengamankan masyarakat menjadi penting.
Kesimpulan
Begrson (1859-1941) mengatakan bahwa kita akan menemukan masyarakat manusia
tanpa sains, seni dan filsafat tapi tidak pernah ada yang tanpa agama. Agama dalam
hal ini diyakini sebagai pembawaan dan kebutuhan dasar manusia yang terus
berkembang dalam beragam bentuk.[14] Sejak awal, Islam juga meyakini bahwa
kesadaran agama telah ada dalam diri individu manusia.
Inilah Indikasi yang menyebutkan bahwa Agama pada dasarnya adalah kebutuhan
Manusia.
[1] Dipresentasikan pada Diskusi mata Kuliah Speaking Skill
[2] Khotimah, Makna Agama dan Munculnya Agama Baru, Jurnal, PDF edition, copied
from internet on Saturday, december 12nd-,2009.
[3] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), cet III, h. 286.
[4] Mudjahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-Agama,

(Jakarta:PT.RajaGrafindoPersada,1996).Hal.1-2
[5] Quraish Shihab, Apa Yang Salah Dalam Keberagamaan Kita?, Artikel Ilmiah
diterbitkan oleh Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ). http://www.psiq.co.id/artikelbebas

[6] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai aspeknya Jilid 1, (Jakarta:Penerbit
Universitas Indonesia, 1985), h. 2
[7] Quraish Shihab, Apa Yang Salah Dalam Keberagamaan Kita?, Artikel Ilmiah
diterbitkan oleh Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ). http://www.psiq.co.id/artikelbebas
[8] ibid
[9] Kepercayaan pada kekuatan gaib yang ada pada benda-benada tertentu dan
berpengaruh pada kehidupan manusia
[10] Kepercayaan yang mengajarkan bahwa setiap benda baik yang bernyawa maupu
tidak bernyawa mempunyai roh
[11] Kepercayaan kepada banyak tuhan, bisa juga dipahami dengan kepercayaan pada
dewa-dewa
[12] Murthada Muthahhari, Perspektif Manusia dan Agama, (Bandung:Mizan, 1990), cet
V, h. 46
[13] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta:PT RajaGrafindoPersada,2004), h.
24.
[14] Bustanudin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia;Pengantar Antropologi

Agama.(Jakarta:PT.RajaGrafindoPersada, 2006) hal. 3-4