TENAGA KERJA DAN PERTUMBUHAN INKLUSIF
BAB IV
TENAGA KERJA DAN PERTUMBUHAN INKLUSIF
UMI KAROMAH YAUMIDIN
1. PENDAHULUAN
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di beberapa negara di Asia tidak terdistribusikan secara
merata, sehingga perlu strategi baru untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang
spektakuler dan merata. Gambar 1 menunjukkan bahwa pada tahun 1995 hingga sebelum
krisis Asia 1997-1998, rata-rata pertumbuhan ekonomi di Asia Timur dan Asia Tenggara minus
Jepang berkisar 8,1 persen dengan China, Malaysia, Indonesia dan Korea Selatan sebagai
kontributor tertinggi. Kondisi berbalik ketika krisis terjadi, pertumbuhan ekonomi di kawasan
Asia hanya sekitar 4,4 persen, dan negara terparah terkena dampak krisis adalah Indonesia,
Thailand, Malaysia dan Korea Selatan yang terpangkas pertumbuhan ekonominya hingga
dibawah minus 5-13 persen. Meskipun beberapa negara di kawasan Asia terkena dampak
krisis, pada periode ini China masih bertumbuh hingga 10 persen, walaupun Jepang sejak
tahun 1995 mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi dan kian memburuk akibat krisis.
Periode selanjutnya, krisis yang melanda Amerika dan Eropa di 2008-2009 juga memiliki
dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi kawasan Asia, meskipun
magnitudenya tidak sebesar krisis Asia. Pertumbuhan ekonomi Singapura, Jepang, Korea
Selatan dan China terkoreksi secara rata-rata 1- 4 persen1.
Meskipun memiliki angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kesenjangan pendapatan
dengan negara-negara maju masih cukup lebar. Di tahun 2005, pendapatan perkapita negara
berkembang di Asia (GDP dengan harga konstan 2000) kurang dari 3 persen pendapatan
perkapita Jepang dan Amerika. Bahkan untuk China sekalipun yang memiliki pertumbuhan di
atas 9 persen selama kurun waktu 20 tahun, pada tahun 2005 hanya memiliki pendapatan
perkapita 3,75 dari pendapatan Jepang maupun Amerika Serikat.
Kesenjangan di dalam negeri juga cukup lebar. Angka koefisien gini baik untuk negaranegara yang terkena krisis 1997-1998 maupun yang tidak terkena dampak krisis terus
meningkat (tabel 1). Hal ini mengindikasikan adanya ketimpangan absolut antara kelompok
kaya dengan kelompok miskin. Perubahan yang mencolok dalam gaya hidup dan pola
konsumsi diantara kedua kelompok dikhawatirkan akan meningkatkan gejolak politik dan sosial
yang dapat menghambat proses kohesi sosial.
DRAFT
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan dapat menurunkan angka kemiskinan. Studi ADB (2004)
menunjukkan bahwa terjadi penurunan angka kemiskinan ekstrem yang cukup dramatis. Dengan
menggunakan ukuran World Bank batas garis kemiskinan US$ 1 perhari, maka angka kemiskinan turun
dari 34,6 persen menjadi 18 persen untuk perbandingan tahun 1990 dan 2005. Dapat dikatakan bahwa
setiap satu persen pertumbuhan ekonomi secara rata-rata akan menurunkan 2 persen angka kemiskinan
absolut. Garis kemiskinan US$1/hari mewakili nilai tengah garis keimskinan dari 10 negara dengan garis
kemiskinan yang terendah pada saat pengukuran (1990). Garis kemiskinan ini hanya mengukur tingkat
keparahan absolut yang didasarkan pada pengukuran kemiskinan yang konservatif Namun demikian,
angka kemiskinan masih cukup tinggi jika menggunakan garis kemiskinan US$2/hari. Hampir separo
penduduk Asia masih berada dibawah garis kemiskinan pada tahun 2005. Artinya, jika terjadi gejolak
krisis atau turbulensi ekonomi maka kelompok ini akan sangat mudah tergelincir menjadi kelompok yang
miskin (Ali & Zhuang, 2007)
1
1
Tabel
20.0
15.0
P
e 10.0
r
t
5.0
u
m
b
0.0
u
h
a -5.0
n
-10.0
-15.0
Tahun
Indonesia
Korea, Rep.
Malaysia
Singapore
Thailand
Philippines
World
China
1
Tahun
China
1995
1996 35.7
1997
1998
1999 39.23
2000
2001
2004
2005 42.48
2006
2007
2008 42.63
2009
2010 42.6
2011
2012
Gambar 1. Negara-negara dengan Laju
Pertumbuhan Ekonomi Tinggi 1995-2014
Sumber: World Bank, 2015
Koefisien
Indonesia
Gini
Malaysia
48.52
Negara
Thailand
31.33
Asia
Philippines
42.9
49.15
45.96
41.46
43.9
42.83
28.99
46.5
46.17
42.54
34.1
46
34.11
46.26
35.57
41.82
39.76
4.29
39.75
39.4
37.46
39.26
44.2
42.91
43.4
Sumber: World Bank, 2015
Bagaimana dengan Indonesia? Tidak ada pola yang baku yang mampu menjelaskan
korelasi antara laju tumbuh ekonomi dengan angka gini rasio. Pada kenyataannya angka gini
rasio terus meningkat dari tahun 2002 hingga 2013, meskipun laju tumbuh ekonomi bervariasi
angkanya pada periode yang sama (gambar 2). Meningkatnya rasio ketimpangan dapat
mengindikasikan banyak hal yaitu: pertama, segmentasi penduduk yang rentan terhadap
kemiskinan semakin tinggi antara 30-40 persen untuk setiap satu poin kenaikan gini rasio;
kedua, akses untuk pelayanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan akan terhambat oleh
ketimpangan pendapatan; Ketiga, angka ketimpangan yang persisten dalam jangka waktu
lama akan meningkatkan kesenjangan antara pendapatan dan/atau pengeluaran penduduk
antara yang miskin dan kaya; reformasi berjalan lambat; serta menyebabkan konflik yang
berkepanjangan. 2
Pada intinya meningkatnya ketimpangan pendapatan maupun non
pendapatan selalu berkaitan dengan akses terhadap kesempatan yang luas bagi setiap warga
negara dalam menikmati hasil pembangunan dan partisipasi mereka dalam proses
pembangunan itu sendiri.
DRAFT
10.00
1.00
2002
2005
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
0.10
Gini Rasio
Pertumbuhan Ekonomi
Gambar 2. GINI Rasio dan Laju Tumbuh Ekonomi (GDP harga Konstan 2000) 2002-2013
2
Lihat penjelasan makalah Ali dan Zhuang (2007)
2
Sumber: BPS, 2015
Pertumbuhan inklusif kemudian dijadikan sebagai acuan untuk kebijakan dan strategi
pembangunan. Secara implisit, pertumbuhan inklusif menekankan pada pertumbuhan ekonomi
yang mampu memberikan kesempatan dalam sisi ekonomi yang sama untuk semua pihak
khususnya bagi kelompok miskin. Pada intinya, hasil dari pertumbuhan ekonomi yang inklusif
adalah (i) keberlanjutan dan pertumbuhan yang merata; (ii) inklusi sosial; (iii) Pemberdayaan;
dan (iv) Ketahanan dalam arti menyeluruh.
Makalah ini akan menekankan pada pentingnya perluasan pertumbuhan pendapatan
individu sebagai aspek fundamental yang mendukung pada keberlanjutan pertumbuhan inklusif.
Tenaga kerja merupakan elemen vital dalam pilar-pilar pertumbuhan ekonomi inklusif, walaupun
seringkali diabaikan baik dari proses perencanaan ataupun target capaian pertumbuhan itu
sendiri, sehingga seringkali ‘jobless growth’ (penciptaan lapangan kerja) menjadi potret
perekonomian negara-negara berkembang di Asia (World Bank, 2009; Ali, 2007).3 Kondisi ini
tidak bias mendukung pertumbuhan yang berkelanjutan, untuk itu produktivitas tenaga kerja
menjadi variable penting yang merefleksikan proses pertumbuhan ekonomi inklusif, meskipun
ukuran tentang produktivitas tenaga kerja masih ambigu ( (McKinley, 2010)
Permasalahan tenaga kerja di negara berkembang sebenarnya bukan pada sisi
permintaan, namun lebih pada sisi penawaran yang ditandai dengan rendahnya keahlian
tenaga kerja. Pada umumnya underemployed tidak memiliki keahlian yang cukup, sehingga
solusinya seharusnya bukanlah menstimulai permintaan tenaga kerja tetapi lebih baik mengupgrade penawaran tenaga kerja. Implementasinya memang tidak mudah, akan sangat sulit meng
up-grade keahlian pekerja tanpa menerima pekerja itu untuk bekerja pada satu jenis pekerjaan
tertentu. Sangat mudah dipahami bahwa pekerja akan lebih mudah untuk menerima
pengetahuan baru tentang pekerjaan jika dia terlibat langsung didalamnya. Sehingga, meskipun
pendidikan dan investasi di bidang sumber daya manusia dianggap penting dalam akumulasi
keahlian tenaga kerja, namun strategi pendekatan sisi penawaran dibanyak negara tidaklah
sama, bahkan untuk negara berkembang dapat dikatakan kurang cukup mendukung bagi
penciptaan kesempatan kerja.
DRAFT
3 Sir Arthur Lewis dalam modelnya menyebutkan bahwa ‘produk marjinal’ teneaga kerja di sektor
pertanian mendekati nol. Dengan kata lain, jika salah satu sektor menggantikan sektor pertanian
sejumlah ukuran tertentu yang sama, seharusnya sektor pertanian tidak kehilangan apapun. Dalam
kondisi yang sama, jika pekerja ditambahlkan satu satuan ke pekerjaan lainnya di pabrik misalnya,
seharusnya masyarakat akan diuntungkan. Permasalahannya, sektor manufaktur (pabrik) tidak cukup
hanya menyediakan ‘satu cent’, untuk menarik pekerja di sektor pertanian, sektor manufaktur harus mau
membayar lebih daripada yang pekerja peroleh disektor pertanian. Untuk itu cost of labor yang harus
dikeluarkan oleh perusahaan lebih besar daripada opportunity cost of labornya. Pada tahap ini hingga
surplus tenaga kerja di sektor pertanian dapat terserap seluruhnya oleh sektor manufaktur maka,
masyarakat secara keseluruhan akan diuntungkan. Akan tetapi, ketika nilai ekspor tidak mampu lagi
menutupi biaya opportunitas di sektor tradional ini, maka sektor pertanian dan masyarakat pada
umumnya akan merugi. Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah untuk menjustifikasi kebijakan
industri yang mencakup stabilitas nilai tukar demi menjaga stabilitas tenaga kerja dalam negeri. Dengan
kata lain, pemerintah perlu pula mendorong mobilitas tenaga kerja seperti kemudahan bagi pekerja
untuk berpindah dari satu keahlian ke keahlian baru lainnya yang lebih menguntungkan melalui infusi
pendidikan yang lebih baik. Dalam jangka panjang mobilitas tenaga kerja ini tidak hanya sebatas dari
desa ke kota, namun juga mampu mengakomodasi mereka untuk bekerja di luar negeri (the Commission
on Growth and Development, 2008).
3
2. PERFORMA TENAGA KERJA INDONESIA DALAM KONTEKS PERTUMBUHAN INKLUSIF
ADB (2014) telah mempublikasikan Framework of Inclusive Growth Indicators (FIGI) yang
menyediakan kerangka indicator kuantitatif untuk memonitor pertumbuhan inklusif. Edisi FIGI
pertama diluncurkan tahun 2011, yang mengusung 25 indikator yang terkait dengan
kemiskinan dan ketimpangan, tiga pilar kebijakan dari kerangka pertumbuhan inklusif ADB, dan
juga tata kelola dan kelembagaan dari sebuah perekonomian. Tabel 4 berikut ini merupakan
ringkasan dari pilar pertama pertumbuhan inklusif : Pertumbuhan dan ekspansi kesempatan
dalam perekonomian yang tersaji dalam FIGI 2013.
Tabel 2. Pilar Pertama: Pertumbuhan Ekonomi dan Tenaga Kerja – FIGI 2013
Indikator
Rata-rata Pertumuhan ekonomi GDP perkapita
(harga konstan 2005)
Rata-rata
Pertumuhan
rata-rata
pendapatan
perkapita dan pengeluaran (harga konstan 2005)
Total
Kuantil Terendah
Kuantil Tertinggi
Total Perdesaan
Kuantil Terendah, Perdesaan
Kuantil Tertinggi, Perdesaan
Total Perkotaan
Kuantil Terendah, Perkotaan
Kuantil Tertinggi, Perkotaan
Rasio Pekerja-penduduk
Muda (15-24 tahun)
Pria
Wanita
Usia diatas 15 tahun
Pria
Wanita
GDP per individu (harga konstan 1990)
Jumlah kepemilikan usaha dan kontribusi pekerja
keluarga per 100 upah dan pekerja yang dibayar
Menurut jenis kelamin
Pria
Wanita
Sumber: ILO, 2014
1990 atau tahun
terdekat
5,4 (1992-1997)
2011 atau tahun
terakhir
4,5 (2007-2012)
1.0 (1990-1999)
1.3 (1990-1999)
1.0 (1990-1999)
0.2(1990-1999)
0.6 (1990-1999)
-0.2 (1990-1999)
1.5 (1990-1999)
1.7 (1990-1999)
1.7 (1990-1999)
5.1 (1999-2010)
3.0 (1999-2010)
6.1 (1999-2010)
5,5 (1999-2010)
3,8 (1999-2010)
6,7 (1999-2010)
4,2 (1999-2010)
2,8 (1999-2010)
4,6 (1999-2010)
45,9 (1991)
55,0 (1991)
36,8 (1991)
55,7 (1992)
68.7 (1992)
42,9 (1992)
5.945
177.2
40,0 (2012)
48,8 (2012)
31.0 (2012)
63,9
77,4 (2009)
46,7 (2009)
11.461(2012)
145.0
168,9 (2001)
237,6 (2004)
179,8 (2009)
211,0 (2009)
DRAFT
Ukuran kinerja tenaga kerja di Indonesia mengacu pada diagnostik tenaga kerja yang
diluncurkan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). Setidaknya ada 20 indikator yang
dikelompokkan menjadi 8 elemen kuncidari pasar tenaga kerja dunia (KILM-Key Indicator of
Labor Market) yaitu:
1. Partisipasi di dunia kerja, yang terdiri dari KILM 1, yaitu tingkat partisipasi angkatan kerja;
2. Indikator penduduk yang bekerja, terdiri dari KILM 2 (rasio penduduk yang bekerja terhadap
jumlah penduduk), KILM 3 (penduduk yang bekerja menurut status pekerjaan utama), KILM
4
3.
4.
5.
6.
7.
8.
4 (penduduk yang ben kerja menurutlapangan usaha), KILM 5 (pekerja paruh waktu), dan
KILM 7 (penduduk yang bekerja di sektor informal).
Indikator pengangguran, setengah pengangguran, dan ketidakaktifan yang terdiri dari KILM
8 (pengangguran), KILM 9 (pengangguran pada kelompok umur muda), KILM 10
(pengangguran jangka panjang), KILM 11 (pengangguran dan pendidikan), KILM 12
(setengah penganggur) dan KILM 13 (tingkat ketidakaktifan);
Indikator pendidikan dan melek huruf yang terdiri dari KILM 14 (pencapaian pendidikan dan
melek huruf);
Indikator Upah dan biaya tenaga kerja, yang terdiri dari KILM 15 (Indeks upah sector
manufaktur), KILM 16 (indicator upah dan pendapatan berdasarkan jabatan) dan KILM 17
(upah perjam);
Produktivitas tenaga kerja yang termuat dalam KILM 18 (produktivitas tenaga kerja)
Indikator elastisitas tenaga kerja yang termuat dalam KILM 19
Indikator kemiskinan, pekerja miskin dan distribusi pendapatan yang tertuang dalam KILM
20.
Dari konteks ini untuk lebih focus pada karakteristik utama angkatan kerja perlu dipahami
mengenai definisi dari status angkatan kerja menurut kelompok umur. Analisa tersebut
seharusnya menghasilkan pemahaman yang baik mengenai usia dan struktur usia angkatan
kerja, tingkat pendidikan berdasarkan daerah tempat tinggal dan jenis kelamin, dan
dinamikanya sepanjang waktu.
Gambar
3 berikut ini menyajikan secara sederhana
pengkategorian angkatan kerja di Indonesia (Ronnas, Kwong, & Schamciyeva, 2010).
DRAFT
Penduduk Usia Kerja
Angkatan Kerja
Bekerja di Luar Negeri
Tidak Aktif
Bekerja:
-Pekerjaan produktif
-Pekerja Miskin
Pengusaha dan
Pekerja Mandiri
Pekerja Tetap
berupah tetap
Formal
Formal
Informal
Informal
Pengangguran
Pekerja keluarga
tidak berupah
Informal
Sumber: (Ronnas, Kwong, & Schamciyeva, 2010)
Seorang pengangguran didefinisikan sebagai seorang dalam usia kerja yang tidak bekerja,
tersedia untuk bekerja dan secara aktif mencari kerja. Definisi ini bukan berarti merujuk pada
kurangnya pekerjaan, mengingatterdapat kategori pengangguran parsial yang bekerja paruh
5
waktu. Kategori lainnya adalah mereka yang sudah berupaya mencari kerja namun akhirnya
menyerah untuk mencari kerja secara aktif. Sehingga pengkategorian pengangguran sangat
terkait dengan survey penggunaan waktu (time-use surveys), yang diperoleh dari Survey Sosial
dan Ekonomi Nasional (SUSENAS) bukan dari Survey Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS),
survey semacam ini juga dilakukan secara terpisah di beberapa Negara.4
Data SAKERNAS 5 tahun 2012 -sebagai rujukan bagi analisa ketenagakerjaanmenunjukkan bahwa penduduk umur 15 tahun ke atas yang termasuk dalam angkatan kerja
sebesar 118,05 juta orang, dari jumlah tersebut tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK)
sebesar 67,88 persen. Pekerja perempuan memiliki TPAK lebih rendah (51,39) daripada
pekerja pria (84,42). Pergeseran pola TPAK dari kelompok usia muda ke kelompok usia tua
mengindikasikan adanya perpindahan penduduk dari angkatan kerja ke bukan angkatan kerja
pada kelompok umur tua. Berdasarkan wilayah, perdesaan ternyata berkontribusi cukup tinggi
terhadap TPAK nasional daripada wilayah perkotaan.
Rasio EPR (Employment to Population) pada agustus 2012 menunjukkan angka 63,71 yang
daapt diartikan bahwa dari 100 orang penduduk umur 15 tahun keatas, terdapat 64 orang yang
bekerja. Jika dilihat dari jenis kelamin, EPR perempuan lebih rendah untuk semua kelompok
umur dibandingkan EPR pria. Berdasarkan kelompok umur, EPR kelompok umur dewasa
mencapai 71,35 persen yang artinyahampir tiga perempat populasi penduduk yang bekerja
berada di kelompok ini. Pola EPR hampir sama dengan pola TPAK mengingat formulasi dari
TPAK dan EPR hanya merujuk pada kuantitas penduduk dan angkatan kerja, tetapi tidak
menunjukkan derajat kualitas dari individu per pekerja.
Tabel 2. Rasio Penduduk Umur 15 tahun keatas yang bekerja terhadap total penduduk
(EPR) Menurut kelompok Umur tahun 2012
Jenis Kelamin
Wilayah
Kelompok Umur
Pria
Wanita Perdesaan Perkotaan
Umur Muda (15-24) 47,61 31,73
42,69
36,73
Umur Dewasa (25+) 89,85 53,01
75,02
67,72
Total
79,67 47,91
67,18
60,27
Sumber: BPS, 2012
DRAFT
Secara khusus ILO membahas perkembangan ketenagakerjaan di Indonesia paska krisis
1997/1998, angkatan kerja terus meningkat sekitar 1,7 – 2 persen setiap tahun, antara tahun
2000 dan 2009, sedangkan laju pertumbuhan lapangan kerja melambat setelah terjadinya krisis
hingga akhirnya membaik di tahun 2007 (ILO, 2010). Tingkat lapangan kerja bagi kaum usia
muda (usia 15-24 tahun), menurut laporan ILO, pada tahun 2009 berada dibawah tingkat yang
tercatat di tahun 1991, hal ini mengindikasikan bahwa pengangguran usia muda cukup tinggi
yaitu 22,2 persen di tahun 2009. Lebih jauh dalam laporan tersebut dikemukakan bahwa 1 dari
4
Untuk informasi lebih rinci mengenai survey penggunaan waktu dan daftar negara dimana survei
semacam itu dilakukan, lihat http://unstats.un.org/unsd/demographic/sconcerns/tuse/.
5
Kegiatan pengumpulan data ketenagakerjaan pertama kali dilaksanakan tahun 1976. Sampai dengan
saat ini, Sakernas mengalami berbagai perubahan baik dalam periode pencacahan maupun cakupan
sampel wilayah dan rumah tangga. Tahun 1986 sampai dengan 1993 Sakernas dilaksanakan secara
triwulanan, tahun 1994 sampai dengan 2001 secara tahunan setiap bulan Agustus, sedangkan tahun
2002 sampai dengan 2004 selain secara tahunan juga dilaksanakan secara triwulanan. Mulai tahun 2005
sampai dengan tahun 2010,Sakernas dilakukan secara semesteran. Dengan semakin mendesaknya
tuntutan data ketenagakerjaan, baik variasi, kontinuitas, kemutakhiran dan peningkatkan akurasi data
yang dihasilkan, maka pengumpulan data Sakernas mulai tahun 2011 dilakukan kembali secara
triwulanan yaitu; bulan Februari (Triwulan I), Mei (Triwulan II), Agustus (Triwulan III), dan November
(Triwulan IV), yang penyajian datanya dirancang sampai tingkat provinsi dan bahkan untuk kepentingan
angka estimasi penyajian data sampai tingkat kabupaten/kota (Badan Pusat Statistik, Agustus 2012).
6
3 orang pekerja yang aktif memilih keluar dari pekerjaan formalnya di tahun 2005, sedangkan di
tahun 2009 proporsinya meningkat menjadi 1:5. Pertumbuhan kelompok pekerja wanita sedikit
lebih tinggi masing-masing2,9 persen untuk lakiki-laki dan 3,8 persen untuk wanita di tahun
2009.
60 +
55-59
50-54
45-49
40-44
35-39
30-34
25-29
20-24
15-19
-40
-30
-20
Bekerja
-10
0
10
20
Pengangguran
Gambar 3. Piramida Penduduk Bekerja dan Pengangguran tahun 2014
Sumber: BPS, 2015
DRAFT
Grafik 3 menujukkan piramida tingkat pengangguran dan proporsi penduduk yang bekerja di
tahun 2014 (per februari 2014). Angka pengangguran usia muda meningkat tajam yaitu ratarata 31 persen untuk tiga kategori usia (15-19; 20-24;dan 25-29). Dengan kata lain, lebih dari 50
persen angka pengangguran saat ini didominasi oleh kelompok usia 15-24 tahun (62%). Selain
itu, besarnya angka tersebut dapat mengindikasikan bahwa penduduk yang tidak bekerja
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Namun, rasio antara pekerja dengan
penduduk yang tidak bekerja cenderung menurun yaitu 1: 4,3 untuk kelompok usia 15-19 tahun
dan 1: 2 untuk kelompok usia 20-24 tahun.
Sementara itu, piramida yang menggambarkan kondisi penduduk yang bekerja mengarah
kepada struktur piramida tengah, dimana usia kerja paling produktif adalah 30-34 dan 40-44
tahun. Fitur yang menarik dari piramida ini, bahwa proporsi penduduk yang bekerja di kelompok
usia tua (+60) lebih tinggi daripada kelompok usia muda 15-24. Membaiknya system jaminan
kesehatan dan keselamatan kerja mungkin salah satu alas an usia senja masih produktif.
Tabel 3 menyajikan proporsi penduduk yang bekerja berdasarkan status pekerjaanya tahun
2008-2014. Pekerja yang berstatus berusaha sendiri dan berusaha dibantu Buruh Tidak
Tetap/Buruh Tidak Dibayar pada tahun-t ahun krisis (2008-2009) cukup tinggi dan mulai
menurun ditahu-tahun berikutnya. Status berusaha sendiri dan dibantu orang lain dikategorikan
sebagai pekerjaan informal. Informalitas juga pada praktiknya terkait erat dengan sektor dan
pekerjaan tertentu, seperti pertanian dan jasa dengan keahlian yang rendah. Pembedaan
harus dibuat antara pertanian, dimana berusaha sendiri di lahan keluarga seringkali merupakan
norma yang wajar, dengan pekerjaan informal di sektor ekonomi lain, dimana biasanya dapat
dibenarkan sebagai bentuk pekerjaan yang rentan.
Kerentanan dalam pekerjaan informal sangat terkait dengan rendahnya pendapatan mereka
dibandingkan dengan sektor formal, sehingga kesempatan mereka untuk mendapatkan
perlindungan social dan perlindungan hak-hak di tempat kerja juga menjadi lemah. Prevalensi
pekerjaan informal di daerah perdesaan khususnya sektor pertanian lebih banyak dipicu oleh
factor keputusasaan dan factor pendorong daripada perkembangan ekonomi yang dinamis dari
7
sektor pertanian. Sementaraitu, tingkat informalitas yang semakin tinggi di wilayah perkotaan
mengindikasikan sebuah situasi dimana kesempatan kerja meningkat lebih cepat daripada
pertumbuhan pekerjaan formal. Migrasi perdesaan – perkotaan kemungkinan besar digerakan
oleh factor pendorong yaitu penghasilan yang rendah di sektor pertanian dan peluang untuk
mendapatkan upah yang tinggi di sektor perkotaan (Ronnas, Kwong, & Schamciyeva, 2010).
Tabel 3 Proporsi Penduduk yang Bekerja Berdasarkan Status Pekerjaan Utama 2008-2014
N
2008
2009 2010 2011 2012 2013
2014
Status Pekerjaan Utama
o
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
1
Berusaha Sendiri
Berusaha Dibantu Buruh Tidak
2
Tetap/Buruh Tidak Dibayar
Berusaha Dibantu Buruh
3
Tetap/Buruh Dibayar
4 Buruh/Karyawan/Pegawai
5 Pekerja Bebas di Pertanian
6 Pekerja Bebas di Non Pertanian
7 Pekerja Keluarga/Tak Dibayar
8 Tak Terjawab
Total (dalam juta orang)
Sumber: BPS, 2015
19.85
20.00
19.19
18.99
17.29
16.82
17.20
21.81
21.19
20.96
18.89
18.14
17.20
16.70
2.98
2.87
2.84
3.22
3.49
3.56
3.51
27.33
6.04
4.62
17.37
103,22
27.34
6.10
4.87
17.64
106,0
28.10
5.96
4.85
18.10
109,1
31.24
5.00
4.66
18.01
112,0
33.83
4.74
5.26
17.26
114,0
36.27
4.40
5.57
16.17
115,9
36.68
4.01
5.71
16.19
118,1
DRAFT
3. MENGUKUR KESEMPATAN KERJA DAN PENCIPTAAN LAPANGAN KERJA
Ukuran produktivitas tenaga kerja masih menjadi perdebatan yang menarik untuk semua
kalangan baik akademisi maupun pengambil kebijakan. Pada kurun pencanangan the Millenium
development Goals (MDGs) yang berakhir di 2015, indikator produktivitas tenaga kerja dengan
variable proxy pertumbuhan GDP per pekerja (growth rate of GDP per person employed).
Indikator ini kemudian dikombinasikan dengan indikator rasio tenaga kerja per jumlah populasi
penduduk.6 Rasio-rasio ini kemudian menjadi tolak ukur capaian dari MDG 1. Namun demikian
indikator ini bukan berarti sebagai indikator sebaran produktivitas tenaga kerja antar sektor atau
antar wilayah. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat produktivitas rata-rata tenaga kerja
seharusnya didukung dari sektor ekonomi yang minoritas, atau yang lebih berorientasi pada
capital intensive daripada labor intensive.
Tabel 4 berikut ini memperkuat bahwa pekerja di sektor pertanian masih mendominasi fitur
tenaga kerja Indonesia. Lebih dari 30 persen angkatan kerja bekerja disektor pertanian sebagai
tenaga usaha pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan. Sementara pekerja yang terlibat
di sektor produksi kurang dari 1 persen, dan usahawan pertanian dalam kategori ini sebagai
pemimpin dan tenaga professional jumlahnya tidak lebih dar 0,5 persen dari total angkatan
kerja di sektor pertanian. Fakta seperti ini tentunya memiliki implikasi serius pada kebijakan
pengembangan sumberdaya manusia dan terutama kebijakan ketenagakerjaan.
Figure menarik lainnya adalah tingginya proporsi tenaga kerja di sektor perdagangan besar
yang didominasi oleh pekerja wanita dan terkonsentrasi di wilayah perkotaan. Hal ini
menunjukkan bahwa sektor informal merupakan sektor kedua yang mendominasi lapangan
kerja di Indonesia. Data-data ini semakin memperkuat bahwa dominasi sektor informal dan
6
Rasio tenaga kerja-penduduk sebenarnya tidak terlalu membantu dalam pengukuran produktivitas
tenaga kerja karena memang tidak mengindikasikan kulitas tenaga kerja (McKinley, 2010).
8
sektor pertanian daripada sektor formal dan manufaktur berkontribusi tinggi terhadap rendahnya
produktivitas dan kerawanan tenaga kerja di Indonesia.
Tabel 4. Proporsi Angkatan Kerja Berdasarkan Lapangan Pekerjaan Tahun 2014
Lapangan Kerja Utama
Proporsi
Kota
Desa
Pria Wanita
1) Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan
Perikanan
34.55
11.95
56.54
34.98
33.87
2) Pertambangan dan penggalian
1.37
1.29
1.52
2.00
0.38
3) Indutri Pengolahan
13.02
18.37
8.87
12.63
13.64
4) Listrik, Gas dan Air
0.26
0.37
0.18
0.39
0.06
5) Bangunan
6.10
1.93
5.21
9.71
0.37
6) Perdagangan Besar
21.84
31.48
14.27
16.68
30.05
7) Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi
4.51
6.41
3.02
6.83
0.81
8) Keuangan Asuransi Usaha Persewaan
bangunan, tanah dan jasa perusahaan
2.70
4.83
0.93
3.13
2.02
9) Jasa kemasyarakatan, sosial dan
perorangan
15.64
23.38
9.46
13.64
18.81
Total
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Sumber: BPS, 2014
Elastisitas tenaga kerja ‘
DRAFT
0
2
15
4
6
8
10
12
10
10
8
5
6
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
4
-5
2
-10
-15
0
-20
-2
Kesempatan Kerja
GDP
Sumber: BPS, 2015
Note: 1) Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan; 2) Pertambangan dan penggalian;
3) Indutri Pengolahan; 4) Listrik, Gas dan Air; 5) Bangunan; 6) Perdagangan Besar; 7)
Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi; 8) Keuangan Asuransi Usaha Persewaan bangunan,
tanah dan jasa perusahaan; 9) Jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan; 10) PDRB total
9
Tabel 5 Elastisitas Kesempatan Kerja Tahun 2005-2013
Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
RataRata
PERTAN
IAN,
PETERN
AKAN,
PERTAM
BANGAN
DAN
PENGGA
LIAN
INDUST
RI
PENGOL
AHAN
LISTRIK,
GAS,
DAN AIR
BERSIH
1.38
-0.42
-0.11
-0.10
0.22
0.09
-1.22
-0.44
-0.63
-0.14
-6.63
9.32
3.73
3.29
1.78
1.25
7.12
11.89
-2.51
3.25
1.45
-0.93
1.62
0.72
1.29
0.62
1.16
0.65
0.76
0.81
-2.63
1.60
2.05
-1.57
0.09
-0.24
4.59
2.64
-2.39
0.46
BANG
UNAN
-0.30
-0.32
0.16
0.91
-0.27
0.71
2.56
1.21
1.99
0.74
PERDAG
ANGAN,
HOTEL
DAN
RESTOR
AN
PENGAN
GKUTAN
DAN
KOMUNI
KASI
KEUANG
AN,
PERSEW
AAN &
JASA
PERSH.
-0.08
-0.58
0.61
0.76
4.52
0.20
0.54
0.43
0.67
0.78
0.22
-0.17
0.15
0.41
-0.03
-0.22
-0.35
-0.74
0.10
-0.07
-1.31
1.66
1.41
1.56
0.87
1.75
4.08
4.74
1.11
1.76
JASA JASA
0.41
-0.51
0.87
2.40
1.10
2.32
1.41
0.40
0.22
0.96
PRODUK
DOMEST
IK
BRUTO
0.38
-0.40
0.44
0.61
0.60
0.46
0.41
0.29
0.29
0.34
Sumber: BPS, 2015
4. PILIHAN KEBIJAKAN INKLUSI TENAGA KERJA DAN PERTUMBUHAN EKONOMI
5. PENUTUP
DRAFT
DAFTAR PUSTAKA
Ali, I., & Zhuang, J. (2007, July). Inclusive Growth toward a Prosperous Asia: Policy
implications. ERD Working Paper Series(No.97).
Badan Pusat Statistik. (2015, November 15). Berita Statistik. Retrieved November 30, 2015,
from Badan Pusat Statistik: www.bps.go.id
Badan Pusat Statistik. (Agustus 2012). Indikator Pasar Tenaga Kerja Indonesia . Jakarta: BPS.
ILO. (2010). Tren Ketenagakerjaan dan Sosial di Indonesia . Jakarta: ILO.
Islam, R., & Kinyondo, A. (2014, August). In Quest of Inclusive Growth: Exploring the Nexus
between Economic Growth, Employment and. Special Paper 14/2.
McKinley, T. (2010, June). Inclusive Growth Criteria and Indicators: An Inclusive Growth Index
for Diagnosis of Country Progress. Sustainable Development Working Paper Series, 14.
Ronnas, P., Kwong, M., & Schamciyeva, L. (2010). Analisa Diagnostik Ketenagakerjaan:
Panduan Metodologi. Jakarta: ILO.
10
the Commission on Growth and Development. (2008). The Growth Report: Strategies for
Sustained Growth and Inclusive Development. Washington: The International Bank for
Reconstruction and Development/The World Bank.
World Bank. (2015, September). Data Bank. Retrieved November 25, 2015, from The World
Bank: data.worldbank.org
DRAFT
11
TENAGA KERJA DAN PERTUMBUHAN INKLUSIF
UMI KAROMAH YAUMIDIN
1. PENDAHULUAN
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di beberapa negara di Asia tidak terdistribusikan secara
merata, sehingga perlu strategi baru untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang
spektakuler dan merata. Gambar 1 menunjukkan bahwa pada tahun 1995 hingga sebelum
krisis Asia 1997-1998, rata-rata pertumbuhan ekonomi di Asia Timur dan Asia Tenggara minus
Jepang berkisar 8,1 persen dengan China, Malaysia, Indonesia dan Korea Selatan sebagai
kontributor tertinggi. Kondisi berbalik ketika krisis terjadi, pertumbuhan ekonomi di kawasan
Asia hanya sekitar 4,4 persen, dan negara terparah terkena dampak krisis adalah Indonesia,
Thailand, Malaysia dan Korea Selatan yang terpangkas pertumbuhan ekonominya hingga
dibawah minus 5-13 persen. Meskipun beberapa negara di kawasan Asia terkena dampak
krisis, pada periode ini China masih bertumbuh hingga 10 persen, walaupun Jepang sejak
tahun 1995 mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi dan kian memburuk akibat krisis.
Periode selanjutnya, krisis yang melanda Amerika dan Eropa di 2008-2009 juga memiliki
dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi kawasan Asia, meskipun
magnitudenya tidak sebesar krisis Asia. Pertumbuhan ekonomi Singapura, Jepang, Korea
Selatan dan China terkoreksi secara rata-rata 1- 4 persen1.
Meskipun memiliki angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kesenjangan pendapatan
dengan negara-negara maju masih cukup lebar. Di tahun 2005, pendapatan perkapita negara
berkembang di Asia (GDP dengan harga konstan 2000) kurang dari 3 persen pendapatan
perkapita Jepang dan Amerika. Bahkan untuk China sekalipun yang memiliki pertumbuhan di
atas 9 persen selama kurun waktu 20 tahun, pada tahun 2005 hanya memiliki pendapatan
perkapita 3,75 dari pendapatan Jepang maupun Amerika Serikat.
Kesenjangan di dalam negeri juga cukup lebar. Angka koefisien gini baik untuk negaranegara yang terkena krisis 1997-1998 maupun yang tidak terkena dampak krisis terus
meningkat (tabel 1). Hal ini mengindikasikan adanya ketimpangan absolut antara kelompok
kaya dengan kelompok miskin. Perubahan yang mencolok dalam gaya hidup dan pola
konsumsi diantara kedua kelompok dikhawatirkan akan meningkatkan gejolak politik dan sosial
yang dapat menghambat proses kohesi sosial.
DRAFT
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan dapat menurunkan angka kemiskinan. Studi ADB (2004)
menunjukkan bahwa terjadi penurunan angka kemiskinan ekstrem yang cukup dramatis. Dengan
menggunakan ukuran World Bank batas garis kemiskinan US$ 1 perhari, maka angka kemiskinan turun
dari 34,6 persen menjadi 18 persen untuk perbandingan tahun 1990 dan 2005. Dapat dikatakan bahwa
setiap satu persen pertumbuhan ekonomi secara rata-rata akan menurunkan 2 persen angka kemiskinan
absolut. Garis kemiskinan US$1/hari mewakili nilai tengah garis keimskinan dari 10 negara dengan garis
kemiskinan yang terendah pada saat pengukuran (1990). Garis kemiskinan ini hanya mengukur tingkat
keparahan absolut yang didasarkan pada pengukuran kemiskinan yang konservatif Namun demikian,
angka kemiskinan masih cukup tinggi jika menggunakan garis kemiskinan US$2/hari. Hampir separo
penduduk Asia masih berada dibawah garis kemiskinan pada tahun 2005. Artinya, jika terjadi gejolak
krisis atau turbulensi ekonomi maka kelompok ini akan sangat mudah tergelincir menjadi kelompok yang
miskin (Ali & Zhuang, 2007)
1
1
Tabel
20.0
15.0
P
e 10.0
r
t
5.0
u
m
b
0.0
u
h
a -5.0
n
-10.0
-15.0
Tahun
Indonesia
Korea, Rep.
Malaysia
Singapore
Thailand
Philippines
World
China
1
Tahun
China
1995
1996 35.7
1997
1998
1999 39.23
2000
2001
2004
2005 42.48
2006
2007
2008 42.63
2009
2010 42.6
2011
2012
Gambar 1. Negara-negara dengan Laju
Pertumbuhan Ekonomi Tinggi 1995-2014
Sumber: World Bank, 2015
Koefisien
Indonesia
Gini
Malaysia
48.52
Negara
Thailand
31.33
Asia
Philippines
42.9
49.15
45.96
41.46
43.9
42.83
28.99
46.5
46.17
42.54
34.1
46
34.11
46.26
35.57
41.82
39.76
4.29
39.75
39.4
37.46
39.26
44.2
42.91
43.4
Sumber: World Bank, 2015
Bagaimana dengan Indonesia? Tidak ada pola yang baku yang mampu menjelaskan
korelasi antara laju tumbuh ekonomi dengan angka gini rasio. Pada kenyataannya angka gini
rasio terus meningkat dari tahun 2002 hingga 2013, meskipun laju tumbuh ekonomi bervariasi
angkanya pada periode yang sama (gambar 2). Meningkatnya rasio ketimpangan dapat
mengindikasikan banyak hal yaitu: pertama, segmentasi penduduk yang rentan terhadap
kemiskinan semakin tinggi antara 30-40 persen untuk setiap satu poin kenaikan gini rasio;
kedua, akses untuk pelayanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan akan terhambat oleh
ketimpangan pendapatan; Ketiga, angka ketimpangan yang persisten dalam jangka waktu
lama akan meningkatkan kesenjangan antara pendapatan dan/atau pengeluaran penduduk
antara yang miskin dan kaya; reformasi berjalan lambat; serta menyebabkan konflik yang
berkepanjangan. 2
Pada intinya meningkatnya ketimpangan pendapatan maupun non
pendapatan selalu berkaitan dengan akses terhadap kesempatan yang luas bagi setiap warga
negara dalam menikmati hasil pembangunan dan partisipasi mereka dalam proses
pembangunan itu sendiri.
DRAFT
10.00
1.00
2002
2005
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
0.10
Gini Rasio
Pertumbuhan Ekonomi
Gambar 2. GINI Rasio dan Laju Tumbuh Ekonomi (GDP harga Konstan 2000) 2002-2013
2
Lihat penjelasan makalah Ali dan Zhuang (2007)
2
Sumber: BPS, 2015
Pertumbuhan inklusif kemudian dijadikan sebagai acuan untuk kebijakan dan strategi
pembangunan. Secara implisit, pertumbuhan inklusif menekankan pada pertumbuhan ekonomi
yang mampu memberikan kesempatan dalam sisi ekonomi yang sama untuk semua pihak
khususnya bagi kelompok miskin. Pada intinya, hasil dari pertumbuhan ekonomi yang inklusif
adalah (i) keberlanjutan dan pertumbuhan yang merata; (ii) inklusi sosial; (iii) Pemberdayaan;
dan (iv) Ketahanan dalam arti menyeluruh.
Makalah ini akan menekankan pada pentingnya perluasan pertumbuhan pendapatan
individu sebagai aspek fundamental yang mendukung pada keberlanjutan pertumbuhan inklusif.
Tenaga kerja merupakan elemen vital dalam pilar-pilar pertumbuhan ekonomi inklusif, walaupun
seringkali diabaikan baik dari proses perencanaan ataupun target capaian pertumbuhan itu
sendiri, sehingga seringkali ‘jobless growth’ (penciptaan lapangan kerja) menjadi potret
perekonomian negara-negara berkembang di Asia (World Bank, 2009; Ali, 2007).3 Kondisi ini
tidak bias mendukung pertumbuhan yang berkelanjutan, untuk itu produktivitas tenaga kerja
menjadi variable penting yang merefleksikan proses pertumbuhan ekonomi inklusif, meskipun
ukuran tentang produktivitas tenaga kerja masih ambigu ( (McKinley, 2010)
Permasalahan tenaga kerja di negara berkembang sebenarnya bukan pada sisi
permintaan, namun lebih pada sisi penawaran yang ditandai dengan rendahnya keahlian
tenaga kerja. Pada umumnya underemployed tidak memiliki keahlian yang cukup, sehingga
solusinya seharusnya bukanlah menstimulai permintaan tenaga kerja tetapi lebih baik mengupgrade penawaran tenaga kerja. Implementasinya memang tidak mudah, akan sangat sulit meng
up-grade keahlian pekerja tanpa menerima pekerja itu untuk bekerja pada satu jenis pekerjaan
tertentu. Sangat mudah dipahami bahwa pekerja akan lebih mudah untuk menerima
pengetahuan baru tentang pekerjaan jika dia terlibat langsung didalamnya. Sehingga, meskipun
pendidikan dan investasi di bidang sumber daya manusia dianggap penting dalam akumulasi
keahlian tenaga kerja, namun strategi pendekatan sisi penawaran dibanyak negara tidaklah
sama, bahkan untuk negara berkembang dapat dikatakan kurang cukup mendukung bagi
penciptaan kesempatan kerja.
DRAFT
3 Sir Arthur Lewis dalam modelnya menyebutkan bahwa ‘produk marjinal’ teneaga kerja di sektor
pertanian mendekati nol. Dengan kata lain, jika salah satu sektor menggantikan sektor pertanian
sejumlah ukuran tertentu yang sama, seharusnya sektor pertanian tidak kehilangan apapun. Dalam
kondisi yang sama, jika pekerja ditambahlkan satu satuan ke pekerjaan lainnya di pabrik misalnya,
seharusnya masyarakat akan diuntungkan. Permasalahannya, sektor manufaktur (pabrik) tidak cukup
hanya menyediakan ‘satu cent’, untuk menarik pekerja di sektor pertanian, sektor manufaktur harus mau
membayar lebih daripada yang pekerja peroleh disektor pertanian. Untuk itu cost of labor yang harus
dikeluarkan oleh perusahaan lebih besar daripada opportunity cost of labornya. Pada tahap ini hingga
surplus tenaga kerja di sektor pertanian dapat terserap seluruhnya oleh sektor manufaktur maka,
masyarakat secara keseluruhan akan diuntungkan. Akan tetapi, ketika nilai ekspor tidak mampu lagi
menutupi biaya opportunitas di sektor tradional ini, maka sektor pertanian dan masyarakat pada
umumnya akan merugi. Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah untuk menjustifikasi kebijakan
industri yang mencakup stabilitas nilai tukar demi menjaga stabilitas tenaga kerja dalam negeri. Dengan
kata lain, pemerintah perlu pula mendorong mobilitas tenaga kerja seperti kemudahan bagi pekerja
untuk berpindah dari satu keahlian ke keahlian baru lainnya yang lebih menguntungkan melalui infusi
pendidikan yang lebih baik. Dalam jangka panjang mobilitas tenaga kerja ini tidak hanya sebatas dari
desa ke kota, namun juga mampu mengakomodasi mereka untuk bekerja di luar negeri (the Commission
on Growth and Development, 2008).
3
2. PERFORMA TENAGA KERJA INDONESIA DALAM KONTEKS PERTUMBUHAN INKLUSIF
ADB (2014) telah mempublikasikan Framework of Inclusive Growth Indicators (FIGI) yang
menyediakan kerangka indicator kuantitatif untuk memonitor pertumbuhan inklusif. Edisi FIGI
pertama diluncurkan tahun 2011, yang mengusung 25 indikator yang terkait dengan
kemiskinan dan ketimpangan, tiga pilar kebijakan dari kerangka pertumbuhan inklusif ADB, dan
juga tata kelola dan kelembagaan dari sebuah perekonomian. Tabel 4 berikut ini merupakan
ringkasan dari pilar pertama pertumbuhan inklusif : Pertumbuhan dan ekspansi kesempatan
dalam perekonomian yang tersaji dalam FIGI 2013.
Tabel 2. Pilar Pertama: Pertumbuhan Ekonomi dan Tenaga Kerja – FIGI 2013
Indikator
Rata-rata Pertumuhan ekonomi GDP perkapita
(harga konstan 2005)
Rata-rata
Pertumuhan
rata-rata
pendapatan
perkapita dan pengeluaran (harga konstan 2005)
Total
Kuantil Terendah
Kuantil Tertinggi
Total Perdesaan
Kuantil Terendah, Perdesaan
Kuantil Tertinggi, Perdesaan
Total Perkotaan
Kuantil Terendah, Perkotaan
Kuantil Tertinggi, Perkotaan
Rasio Pekerja-penduduk
Muda (15-24 tahun)
Pria
Wanita
Usia diatas 15 tahun
Pria
Wanita
GDP per individu (harga konstan 1990)
Jumlah kepemilikan usaha dan kontribusi pekerja
keluarga per 100 upah dan pekerja yang dibayar
Menurut jenis kelamin
Pria
Wanita
Sumber: ILO, 2014
1990 atau tahun
terdekat
5,4 (1992-1997)
2011 atau tahun
terakhir
4,5 (2007-2012)
1.0 (1990-1999)
1.3 (1990-1999)
1.0 (1990-1999)
0.2(1990-1999)
0.6 (1990-1999)
-0.2 (1990-1999)
1.5 (1990-1999)
1.7 (1990-1999)
1.7 (1990-1999)
5.1 (1999-2010)
3.0 (1999-2010)
6.1 (1999-2010)
5,5 (1999-2010)
3,8 (1999-2010)
6,7 (1999-2010)
4,2 (1999-2010)
2,8 (1999-2010)
4,6 (1999-2010)
45,9 (1991)
55,0 (1991)
36,8 (1991)
55,7 (1992)
68.7 (1992)
42,9 (1992)
5.945
177.2
40,0 (2012)
48,8 (2012)
31.0 (2012)
63,9
77,4 (2009)
46,7 (2009)
11.461(2012)
145.0
168,9 (2001)
237,6 (2004)
179,8 (2009)
211,0 (2009)
DRAFT
Ukuran kinerja tenaga kerja di Indonesia mengacu pada diagnostik tenaga kerja yang
diluncurkan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). Setidaknya ada 20 indikator yang
dikelompokkan menjadi 8 elemen kuncidari pasar tenaga kerja dunia (KILM-Key Indicator of
Labor Market) yaitu:
1. Partisipasi di dunia kerja, yang terdiri dari KILM 1, yaitu tingkat partisipasi angkatan kerja;
2. Indikator penduduk yang bekerja, terdiri dari KILM 2 (rasio penduduk yang bekerja terhadap
jumlah penduduk), KILM 3 (penduduk yang bekerja menurut status pekerjaan utama), KILM
4
3.
4.
5.
6.
7.
8.
4 (penduduk yang ben kerja menurutlapangan usaha), KILM 5 (pekerja paruh waktu), dan
KILM 7 (penduduk yang bekerja di sektor informal).
Indikator pengangguran, setengah pengangguran, dan ketidakaktifan yang terdiri dari KILM
8 (pengangguran), KILM 9 (pengangguran pada kelompok umur muda), KILM 10
(pengangguran jangka panjang), KILM 11 (pengangguran dan pendidikan), KILM 12
(setengah penganggur) dan KILM 13 (tingkat ketidakaktifan);
Indikator pendidikan dan melek huruf yang terdiri dari KILM 14 (pencapaian pendidikan dan
melek huruf);
Indikator Upah dan biaya tenaga kerja, yang terdiri dari KILM 15 (Indeks upah sector
manufaktur), KILM 16 (indicator upah dan pendapatan berdasarkan jabatan) dan KILM 17
(upah perjam);
Produktivitas tenaga kerja yang termuat dalam KILM 18 (produktivitas tenaga kerja)
Indikator elastisitas tenaga kerja yang termuat dalam KILM 19
Indikator kemiskinan, pekerja miskin dan distribusi pendapatan yang tertuang dalam KILM
20.
Dari konteks ini untuk lebih focus pada karakteristik utama angkatan kerja perlu dipahami
mengenai definisi dari status angkatan kerja menurut kelompok umur. Analisa tersebut
seharusnya menghasilkan pemahaman yang baik mengenai usia dan struktur usia angkatan
kerja, tingkat pendidikan berdasarkan daerah tempat tinggal dan jenis kelamin, dan
dinamikanya sepanjang waktu.
Gambar
3 berikut ini menyajikan secara sederhana
pengkategorian angkatan kerja di Indonesia (Ronnas, Kwong, & Schamciyeva, 2010).
DRAFT
Penduduk Usia Kerja
Angkatan Kerja
Bekerja di Luar Negeri
Tidak Aktif
Bekerja:
-Pekerjaan produktif
-Pekerja Miskin
Pengusaha dan
Pekerja Mandiri
Pekerja Tetap
berupah tetap
Formal
Formal
Informal
Informal
Pengangguran
Pekerja keluarga
tidak berupah
Informal
Sumber: (Ronnas, Kwong, & Schamciyeva, 2010)
Seorang pengangguran didefinisikan sebagai seorang dalam usia kerja yang tidak bekerja,
tersedia untuk bekerja dan secara aktif mencari kerja. Definisi ini bukan berarti merujuk pada
kurangnya pekerjaan, mengingatterdapat kategori pengangguran parsial yang bekerja paruh
5
waktu. Kategori lainnya adalah mereka yang sudah berupaya mencari kerja namun akhirnya
menyerah untuk mencari kerja secara aktif. Sehingga pengkategorian pengangguran sangat
terkait dengan survey penggunaan waktu (time-use surveys), yang diperoleh dari Survey Sosial
dan Ekonomi Nasional (SUSENAS) bukan dari Survey Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS),
survey semacam ini juga dilakukan secara terpisah di beberapa Negara.4
Data SAKERNAS 5 tahun 2012 -sebagai rujukan bagi analisa ketenagakerjaanmenunjukkan bahwa penduduk umur 15 tahun ke atas yang termasuk dalam angkatan kerja
sebesar 118,05 juta orang, dari jumlah tersebut tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK)
sebesar 67,88 persen. Pekerja perempuan memiliki TPAK lebih rendah (51,39) daripada
pekerja pria (84,42). Pergeseran pola TPAK dari kelompok usia muda ke kelompok usia tua
mengindikasikan adanya perpindahan penduduk dari angkatan kerja ke bukan angkatan kerja
pada kelompok umur tua. Berdasarkan wilayah, perdesaan ternyata berkontribusi cukup tinggi
terhadap TPAK nasional daripada wilayah perkotaan.
Rasio EPR (Employment to Population) pada agustus 2012 menunjukkan angka 63,71 yang
daapt diartikan bahwa dari 100 orang penduduk umur 15 tahun keatas, terdapat 64 orang yang
bekerja. Jika dilihat dari jenis kelamin, EPR perempuan lebih rendah untuk semua kelompok
umur dibandingkan EPR pria. Berdasarkan kelompok umur, EPR kelompok umur dewasa
mencapai 71,35 persen yang artinyahampir tiga perempat populasi penduduk yang bekerja
berada di kelompok ini. Pola EPR hampir sama dengan pola TPAK mengingat formulasi dari
TPAK dan EPR hanya merujuk pada kuantitas penduduk dan angkatan kerja, tetapi tidak
menunjukkan derajat kualitas dari individu per pekerja.
Tabel 2. Rasio Penduduk Umur 15 tahun keatas yang bekerja terhadap total penduduk
(EPR) Menurut kelompok Umur tahun 2012
Jenis Kelamin
Wilayah
Kelompok Umur
Pria
Wanita Perdesaan Perkotaan
Umur Muda (15-24) 47,61 31,73
42,69
36,73
Umur Dewasa (25+) 89,85 53,01
75,02
67,72
Total
79,67 47,91
67,18
60,27
Sumber: BPS, 2012
DRAFT
Secara khusus ILO membahas perkembangan ketenagakerjaan di Indonesia paska krisis
1997/1998, angkatan kerja terus meningkat sekitar 1,7 – 2 persen setiap tahun, antara tahun
2000 dan 2009, sedangkan laju pertumbuhan lapangan kerja melambat setelah terjadinya krisis
hingga akhirnya membaik di tahun 2007 (ILO, 2010). Tingkat lapangan kerja bagi kaum usia
muda (usia 15-24 tahun), menurut laporan ILO, pada tahun 2009 berada dibawah tingkat yang
tercatat di tahun 1991, hal ini mengindikasikan bahwa pengangguran usia muda cukup tinggi
yaitu 22,2 persen di tahun 2009. Lebih jauh dalam laporan tersebut dikemukakan bahwa 1 dari
4
Untuk informasi lebih rinci mengenai survey penggunaan waktu dan daftar negara dimana survei
semacam itu dilakukan, lihat http://unstats.un.org/unsd/demographic/sconcerns/tuse/.
5
Kegiatan pengumpulan data ketenagakerjaan pertama kali dilaksanakan tahun 1976. Sampai dengan
saat ini, Sakernas mengalami berbagai perubahan baik dalam periode pencacahan maupun cakupan
sampel wilayah dan rumah tangga. Tahun 1986 sampai dengan 1993 Sakernas dilaksanakan secara
triwulanan, tahun 1994 sampai dengan 2001 secara tahunan setiap bulan Agustus, sedangkan tahun
2002 sampai dengan 2004 selain secara tahunan juga dilaksanakan secara triwulanan. Mulai tahun 2005
sampai dengan tahun 2010,Sakernas dilakukan secara semesteran. Dengan semakin mendesaknya
tuntutan data ketenagakerjaan, baik variasi, kontinuitas, kemutakhiran dan peningkatkan akurasi data
yang dihasilkan, maka pengumpulan data Sakernas mulai tahun 2011 dilakukan kembali secara
triwulanan yaitu; bulan Februari (Triwulan I), Mei (Triwulan II), Agustus (Triwulan III), dan November
(Triwulan IV), yang penyajian datanya dirancang sampai tingkat provinsi dan bahkan untuk kepentingan
angka estimasi penyajian data sampai tingkat kabupaten/kota (Badan Pusat Statistik, Agustus 2012).
6
3 orang pekerja yang aktif memilih keluar dari pekerjaan formalnya di tahun 2005, sedangkan di
tahun 2009 proporsinya meningkat menjadi 1:5. Pertumbuhan kelompok pekerja wanita sedikit
lebih tinggi masing-masing2,9 persen untuk lakiki-laki dan 3,8 persen untuk wanita di tahun
2009.
60 +
55-59
50-54
45-49
40-44
35-39
30-34
25-29
20-24
15-19
-40
-30
-20
Bekerja
-10
0
10
20
Pengangguran
Gambar 3. Piramida Penduduk Bekerja dan Pengangguran tahun 2014
Sumber: BPS, 2015
DRAFT
Grafik 3 menujukkan piramida tingkat pengangguran dan proporsi penduduk yang bekerja di
tahun 2014 (per februari 2014). Angka pengangguran usia muda meningkat tajam yaitu ratarata 31 persen untuk tiga kategori usia (15-19; 20-24;dan 25-29). Dengan kata lain, lebih dari 50
persen angka pengangguran saat ini didominasi oleh kelompok usia 15-24 tahun (62%). Selain
itu, besarnya angka tersebut dapat mengindikasikan bahwa penduduk yang tidak bekerja
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Namun, rasio antara pekerja dengan
penduduk yang tidak bekerja cenderung menurun yaitu 1: 4,3 untuk kelompok usia 15-19 tahun
dan 1: 2 untuk kelompok usia 20-24 tahun.
Sementara itu, piramida yang menggambarkan kondisi penduduk yang bekerja mengarah
kepada struktur piramida tengah, dimana usia kerja paling produktif adalah 30-34 dan 40-44
tahun. Fitur yang menarik dari piramida ini, bahwa proporsi penduduk yang bekerja di kelompok
usia tua (+60) lebih tinggi daripada kelompok usia muda 15-24. Membaiknya system jaminan
kesehatan dan keselamatan kerja mungkin salah satu alas an usia senja masih produktif.
Tabel 3 menyajikan proporsi penduduk yang bekerja berdasarkan status pekerjaanya tahun
2008-2014. Pekerja yang berstatus berusaha sendiri dan berusaha dibantu Buruh Tidak
Tetap/Buruh Tidak Dibayar pada tahun-t ahun krisis (2008-2009) cukup tinggi dan mulai
menurun ditahu-tahun berikutnya. Status berusaha sendiri dan dibantu orang lain dikategorikan
sebagai pekerjaan informal. Informalitas juga pada praktiknya terkait erat dengan sektor dan
pekerjaan tertentu, seperti pertanian dan jasa dengan keahlian yang rendah. Pembedaan
harus dibuat antara pertanian, dimana berusaha sendiri di lahan keluarga seringkali merupakan
norma yang wajar, dengan pekerjaan informal di sektor ekonomi lain, dimana biasanya dapat
dibenarkan sebagai bentuk pekerjaan yang rentan.
Kerentanan dalam pekerjaan informal sangat terkait dengan rendahnya pendapatan mereka
dibandingkan dengan sektor formal, sehingga kesempatan mereka untuk mendapatkan
perlindungan social dan perlindungan hak-hak di tempat kerja juga menjadi lemah. Prevalensi
pekerjaan informal di daerah perdesaan khususnya sektor pertanian lebih banyak dipicu oleh
factor keputusasaan dan factor pendorong daripada perkembangan ekonomi yang dinamis dari
7
sektor pertanian. Sementaraitu, tingkat informalitas yang semakin tinggi di wilayah perkotaan
mengindikasikan sebuah situasi dimana kesempatan kerja meningkat lebih cepat daripada
pertumbuhan pekerjaan formal. Migrasi perdesaan – perkotaan kemungkinan besar digerakan
oleh factor pendorong yaitu penghasilan yang rendah di sektor pertanian dan peluang untuk
mendapatkan upah yang tinggi di sektor perkotaan (Ronnas, Kwong, & Schamciyeva, 2010).
Tabel 3 Proporsi Penduduk yang Bekerja Berdasarkan Status Pekerjaan Utama 2008-2014
N
2008
2009 2010 2011 2012 2013
2014
Status Pekerjaan Utama
o
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
1
Berusaha Sendiri
Berusaha Dibantu Buruh Tidak
2
Tetap/Buruh Tidak Dibayar
Berusaha Dibantu Buruh
3
Tetap/Buruh Dibayar
4 Buruh/Karyawan/Pegawai
5 Pekerja Bebas di Pertanian
6 Pekerja Bebas di Non Pertanian
7 Pekerja Keluarga/Tak Dibayar
8 Tak Terjawab
Total (dalam juta orang)
Sumber: BPS, 2015
19.85
20.00
19.19
18.99
17.29
16.82
17.20
21.81
21.19
20.96
18.89
18.14
17.20
16.70
2.98
2.87
2.84
3.22
3.49
3.56
3.51
27.33
6.04
4.62
17.37
103,22
27.34
6.10
4.87
17.64
106,0
28.10
5.96
4.85
18.10
109,1
31.24
5.00
4.66
18.01
112,0
33.83
4.74
5.26
17.26
114,0
36.27
4.40
5.57
16.17
115,9
36.68
4.01
5.71
16.19
118,1
DRAFT
3. MENGUKUR KESEMPATAN KERJA DAN PENCIPTAAN LAPANGAN KERJA
Ukuran produktivitas tenaga kerja masih menjadi perdebatan yang menarik untuk semua
kalangan baik akademisi maupun pengambil kebijakan. Pada kurun pencanangan the Millenium
development Goals (MDGs) yang berakhir di 2015, indikator produktivitas tenaga kerja dengan
variable proxy pertumbuhan GDP per pekerja (growth rate of GDP per person employed).
Indikator ini kemudian dikombinasikan dengan indikator rasio tenaga kerja per jumlah populasi
penduduk.6 Rasio-rasio ini kemudian menjadi tolak ukur capaian dari MDG 1. Namun demikian
indikator ini bukan berarti sebagai indikator sebaran produktivitas tenaga kerja antar sektor atau
antar wilayah. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat produktivitas rata-rata tenaga kerja
seharusnya didukung dari sektor ekonomi yang minoritas, atau yang lebih berorientasi pada
capital intensive daripada labor intensive.
Tabel 4 berikut ini memperkuat bahwa pekerja di sektor pertanian masih mendominasi fitur
tenaga kerja Indonesia. Lebih dari 30 persen angkatan kerja bekerja disektor pertanian sebagai
tenaga usaha pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan. Sementara pekerja yang terlibat
di sektor produksi kurang dari 1 persen, dan usahawan pertanian dalam kategori ini sebagai
pemimpin dan tenaga professional jumlahnya tidak lebih dar 0,5 persen dari total angkatan
kerja di sektor pertanian. Fakta seperti ini tentunya memiliki implikasi serius pada kebijakan
pengembangan sumberdaya manusia dan terutama kebijakan ketenagakerjaan.
Figure menarik lainnya adalah tingginya proporsi tenaga kerja di sektor perdagangan besar
yang didominasi oleh pekerja wanita dan terkonsentrasi di wilayah perkotaan. Hal ini
menunjukkan bahwa sektor informal merupakan sektor kedua yang mendominasi lapangan
kerja di Indonesia. Data-data ini semakin memperkuat bahwa dominasi sektor informal dan
6
Rasio tenaga kerja-penduduk sebenarnya tidak terlalu membantu dalam pengukuran produktivitas
tenaga kerja karena memang tidak mengindikasikan kulitas tenaga kerja (McKinley, 2010).
8
sektor pertanian daripada sektor formal dan manufaktur berkontribusi tinggi terhadap rendahnya
produktivitas dan kerawanan tenaga kerja di Indonesia.
Tabel 4. Proporsi Angkatan Kerja Berdasarkan Lapangan Pekerjaan Tahun 2014
Lapangan Kerja Utama
Proporsi
Kota
Desa
Pria Wanita
1) Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan
Perikanan
34.55
11.95
56.54
34.98
33.87
2) Pertambangan dan penggalian
1.37
1.29
1.52
2.00
0.38
3) Indutri Pengolahan
13.02
18.37
8.87
12.63
13.64
4) Listrik, Gas dan Air
0.26
0.37
0.18
0.39
0.06
5) Bangunan
6.10
1.93
5.21
9.71
0.37
6) Perdagangan Besar
21.84
31.48
14.27
16.68
30.05
7) Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi
4.51
6.41
3.02
6.83
0.81
8) Keuangan Asuransi Usaha Persewaan
bangunan, tanah dan jasa perusahaan
2.70
4.83
0.93
3.13
2.02
9) Jasa kemasyarakatan, sosial dan
perorangan
15.64
23.38
9.46
13.64
18.81
Total
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Sumber: BPS, 2014
Elastisitas tenaga kerja ‘
DRAFT
0
2
15
4
6
8
10
12
10
10
8
5
6
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
4
-5
2
-10
-15
0
-20
-2
Kesempatan Kerja
GDP
Sumber: BPS, 2015
Note: 1) Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan; 2) Pertambangan dan penggalian;
3) Indutri Pengolahan; 4) Listrik, Gas dan Air; 5) Bangunan; 6) Perdagangan Besar; 7)
Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi; 8) Keuangan Asuransi Usaha Persewaan bangunan,
tanah dan jasa perusahaan; 9) Jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan; 10) PDRB total
9
Tabel 5 Elastisitas Kesempatan Kerja Tahun 2005-2013
Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
RataRata
PERTAN
IAN,
PETERN
AKAN,
PERTAM
BANGAN
DAN
PENGGA
LIAN
INDUST
RI
PENGOL
AHAN
LISTRIK,
GAS,
DAN AIR
BERSIH
1.38
-0.42
-0.11
-0.10
0.22
0.09
-1.22
-0.44
-0.63
-0.14
-6.63
9.32
3.73
3.29
1.78
1.25
7.12
11.89
-2.51
3.25
1.45
-0.93
1.62
0.72
1.29
0.62
1.16
0.65
0.76
0.81
-2.63
1.60
2.05
-1.57
0.09
-0.24
4.59
2.64
-2.39
0.46
BANG
UNAN
-0.30
-0.32
0.16
0.91
-0.27
0.71
2.56
1.21
1.99
0.74
PERDAG
ANGAN,
HOTEL
DAN
RESTOR
AN
PENGAN
GKUTAN
DAN
KOMUNI
KASI
KEUANG
AN,
PERSEW
AAN &
JASA
PERSH.
-0.08
-0.58
0.61
0.76
4.52
0.20
0.54
0.43
0.67
0.78
0.22
-0.17
0.15
0.41
-0.03
-0.22
-0.35
-0.74
0.10
-0.07
-1.31
1.66
1.41
1.56
0.87
1.75
4.08
4.74
1.11
1.76
JASA JASA
0.41
-0.51
0.87
2.40
1.10
2.32
1.41
0.40
0.22
0.96
PRODUK
DOMEST
IK
BRUTO
0.38
-0.40
0.44
0.61
0.60
0.46
0.41
0.29
0.29
0.34
Sumber: BPS, 2015
4. PILIHAN KEBIJAKAN INKLUSI TENAGA KERJA DAN PERTUMBUHAN EKONOMI
5. PENUTUP
DRAFT
DAFTAR PUSTAKA
Ali, I., & Zhuang, J. (2007, July). Inclusive Growth toward a Prosperous Asia: Policy
implications. ERD Working Paper Series(No.97).
Badan Pusat Statistik. (2015, November 15). Berita Statistik. Retrieved November 30, 2015,
from Badan Pusat Statistik: www.bps.go.id
Badan Pusat Statistik. (Agustus 2012). Indikator Pasar Tenaga Kerja Indonesia . Jakarta: BPS.
ILO. (2010). Tren Ketenagakerjaan dan Sosial di Indonesia . Jakarta: ILO.
Islam, R., & Kinyondo, A. (2014, August). In Quest of Inclusive Growth: Exploring the Nexus
between Economic Growth, Employment and. Special Paper 14/2.
McKinley, T. (2010, June). Inclusive Growth Criteria and Indicators: An Inclusive Growth Index
for Diagnosis of Country Progress. Sustainable Development Working Paper Series, 14.
Ronnas, P., Kwong, M., & Schamciyeva, L. (2010). Analisa Diagnostik Ketenagakerjaan:
Panduan Metodologi. Jakarta: ILO.
10
the Commission on Growth and Development. (2008). The Growth Report: Strategies for
Sustained Growth and Inclusive Development. Washington: The International Bank for
Reconstruction and Development/The World Bank.
World Bank. (2015, September). Data Bank. Retrieved November 25, 2015, from The World
Bank: data.worldbank.org
DRAFT
11