Etika birokrasi dalam pelayanan publik

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, kesejahteraan masyarakat

sangat tergantung pada kemampuan mereka mendapat akses dan kemampuan untuk
dapat menggunakan pelayanan publik. Akan tetapi permintaan akan pelayanan tersebut
biasanya jauh melebihi kemampuan pemerintah untuk dapat memenuhinya. Hal ini
dikarenakan pemusatan segala urusan publik hanya kepada negara dan urusan pelayanan
publik yang demikian kompleks mustahil dapat diurus secara menyeluruh oleh institusi
negara (sentralisasi). Oleh karena itulah kemudian dicetuskan ide desentralisasi, yang
mencoba menggugat kelemahan yang ada pada diskursus sentralisasi tersebut.
Kerangka desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada daerah untuk
melaksanakan pemerintahan sendiri selain dipandang positif dari sisi efektifitas
manajemen pemerintahan, pelaksanaan desentralisasi juga dipandang sesuai dengan
prinsip-prinsip demokrasi yang memungkinkan setiap warga negara untuk menentukan
sendiri nasib dan mengapresiasikan keinginannya secara bebas (Setiyono, 2004: 205).
Mengingat tujuan kebijakan desentralisasi sendiri yaitu untuk menciptakan suatu sistem
pembagian kekuasaan antar daerah yang mapan dimana pemerintah pusat dapat

meningkatkan kapasitas, memperoleh dukungan masyarakat, dan mengawasi pembagian
sumber daya dengan adil. Desentralisasi yang juga merupakan bentuk pelaksanaan dari

1

2

demokrasi lokal dengan memanfaatkan keefektifitasan pemerintah daerah pada akhirnya
juga diharapkan dapat mendorong pemerintah daerah agar lebih bertanggung jawab
dalam mengelola dan memberikan pelayanan kepada masyarakat yang ada di daerah.
Namun konsep desentralisasi yang sampai saat ini masih berjalan justru
membuka kesempatan untuk melahirkan “raja-raja kecil” daerah. Sebagai akibatnya, ide
desentralisasi itu tidak lantas memperbaiki kinerja daerah dalam mengelola urusan
publiknya, justru malah cenderung mengabaikannya. Penyelenggaraan urusan publik
yang berpindah dari pusat ke daerah juga memberikan kesempatan terjadinya praktek
korupsi di daerah. Ini terlihat dari banyaknya pejabat daerah baik di birokrasi maupun di
non birokrasi (lembaga legislatif) yang terlibat kasus hukum, politisasi birokrasi
merajalela, serta pelayanan di daerah menjadi lahan rebutan antar daerah sehingga
pungutan menjadi berlapis-lapis untuk satu produk barang. Kinerja birokrasi yang masih
kurang baik inilah yang kemudian dinilai sebagai kegagalan dalam semangat

desentralisasi.
Data yang disampaikan oleh Ease Of Doing Business (2011) sebagaimana yang
dikutip dari Bappenas (2011) menyatakan bahwa posisi Indonesia dalam Kemudahan
Melakukan Bisnis pada tahun 2011 menurun dibandingkan tahun 2010. Selama setahun
terakhir, Indonesia telah melakukan tiga reformasi positif di tiga kriteria, yaitu pendirian
usaha (pengurangan biaya dan waktu pembuatan akte pendirian usaha), pengurangan
tarif pajak penghasilan serta pengurangan waktu ekspor dengan NSW. Tetapi indonesia
masih buruk dalam pelaksanaan kontrak (dari segi jumlah prosedur, waktu serta biaya).

3

Secara umum kemudahan usaha di Indonesia masih jauh di bawah rata-rata (masih di
bawah Vietnam).
Lain halnya dengan data yang disampaikan oleh Global Competitiveness Index
(2011) sebagaimana yang telah dikutip Bappenas (2011), menyatakan bahwa pada
publikasi terbaru tahun 2011-2012, peringkat Indonesia untuk indeks daya saing global
adalah peringkat 44 (score 4,38) dari 142 negara yang disurvei. Posisi Indonesia tersebut
turun 2 peringkat dibanding periode sebelumnya yaitu peringkat 46 (score 4,43) dari 139
negara. Berdasarkan GCI 2011-2012, Indonesia masih kurang kompetitif dibanding
negara-negara Asia Tenggara yang lain, seperti: Singapura, Malaysia, Brunei

Darussalam dan Thailand walaupun berada diatas Vietnam dan Filipina. Daya saing
Indonesia yang rendah disebabkan oleh banyak faktor antara lain infrastruktur yang
rusak, inefisiensi birokrasi, korupsi, ketidakpastian hukum. Inefisiensi birokrasi antara
lain ditandai oleh pelayanan publik yang berbelit-belit, memerlukan prosedur yang
panjang, waktu yang lama serta biaya yang tidak jelas.
Dari gambaran di atas dapat kita ketahui bahwa kinerja birokrasi Indonesia
memang masih mengecewakan. Dalam survey yang dilakukan oleh Dwiyanto, dkk
bahkan dijelaskan nilai capaian kinerja birokrasi dalam hal produktifitas kualitas
layanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas birokrasi kita juga masih sangat
rendah. Bahkan sebagaimana dikutip oleh Dwiyanto dkk, menurut The World
Competitiveness Yearbook tahun 1999, tingkat indeks competitiveness birokrasi kita
berada pada urutan terendah dari segi kualitas pelayanan publik dibandingkan dengan

4

100 negara lain di dunia. Hal ini terbukti dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa
dari segi orientasi pelayanan birokrasi, kita masih cenderung tidak sepenuhnya
mencurahkan waktu dan tenaga untuk menjalankan tugas melayani rakyat. Hampir 40%
birokrat yang menjadi responden dalam penelitian itu menyatakan bahwa mereka
memiliki pekerjaan lain di luar pekerjaaannya sebagai aparatur negara. Kondisi ini

otomatis mengurangi konsentrasi mereka dalam bekerja sehingga tidak fokus
mengerjakan tugas-tugasnya (Setiyono, 2004: 131). Hal ini tentu saja menambah daftar
panjang buruknya birokrasi (selain prosedur birokrasi yang berbelit-belit, lama, kurang
peka terhadap tuntutan masyarakat, dll.) di negeri ini yang membuat masyarakat juga
semakin tidak percaya kepada kinerja aparat untuk dapat memenuhi tuntutan-tuntutan
publik tersebut.
Menarik untuk diketahui, pada Hari Air Sedunia yang diadakan di alun-alun
Kabupaten Pacitan, Jawa Timur beberapa waktu yang lalu, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menyatakan kegeramannya terhadap kebiasaan para pejabat dan instansinya
yang sering melakukan pemborosan. Akibatnya negara terbebani oleh pembiayaan yang
meliputi kerja tidak produktif aparat hingga Rp 7 triliun per bulannya. Hal ini
menambah daftar panjang dari kinerja birokrasi yang buruk dan krisis kepercayaan
masyarakat terhadap sistem birokrasi di Indonesia.

5

1.2.

Perumusan Masalah
Selama ini, terjadinya kesan negatif dan krisis kepercayaan terhadap pemerintah


(birokrasi) diakibatkan karena birokrasi selama ini tidak bisa merespon keinginan warga
masyarakat. Kultur birokrasi yang didesain untuk bekerja lambat, berhati-hati, dan
menyelewengkan kewenangan dan jabatannya untuk memenuhi kepentingan pribadi
maupun kelompoknya sudah tidak dapat diterima oleh konsumen ataupun masyarakat
yang memerlukan pelayanan cepat, efisien, tepat waktu, dan akuntabel. Hal ini
menambah daftar panjang mengenai rendahnya persoalan etika birokrasi di Indonesia,
mengingat pada kepemerintahan yang bersih (clean good governance) yaitu
pemerintahan yang tidak melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari etika
Administrasi publik (mal administration).
Di bidang administrasi negara di Indonesia khususnya, masalah etika dalam
birokrasi dan pelayanan publik menjadi keprihatinan yang sangat besar, karena perilaku
birokrasi mempengaruhi bukan hanya dirinya, tetapi masyarakat banyak. Selain itu,
birokrasi juga bekerja atas dasar kepercayaan, karena seorang birokrat bekerja untuk
negara dan berarti juga untuk rakyat. Wajarlah apabila rakyat mengharapkan adanya
jaminan bahwa para birokrat yang dibiayainya harus mengabdi kepada kepentingan
umum menurut standar etika yang selaras dengan kedudukannya.
Dari uraian dan kenyataan di atas, maka permasalahan yang dikaji dalam
penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah etika pelayanan publik di Indonesia?


6

2. Bagaimanakah pendekatan etika administrasi yang dapat dijadikan solusi untuk
memperbaiki perilaku birokrasi di Indonesia dalam pelayanan kepada publik
yang dianggap rendah?

1.3.

Tujuan Penelitian
1. Untuk mendapatkan gambaran bagaimana etika birokrasi dan pelayanan
publik yang berjalan di Indonesia.
2. Untuk mencari pendekatan yang dapat dijadikan solusi dalam memperbaiki
perilaku birokrat di Indonesia.

1.4.

Kegunaan Penelitian
1. Berdasarkan kegunaan akademik. Diharapkan memberi kontribusi positif
terhadap pengembangan studi politik lokal khususnya mengenai etika

administrasi publik yang mencakup etika birokrasi dan pelayanan publik di
Indonesia.
2. Berdasarkan kegunaan praktis. Diharapkan hasil penelitian dapat menjadi
bahan pertimbangan dan perbandingan dalam memahami etika administrasi
publik di Indonesia.

7

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Etika
Etika merupakan seperangkat nilai sebagai pedoman, acuan, referensi, penuntun
apa yang harus dilakukan dalam menjalankan tugasnya, tapi juga sekaligus berfungsi
sebagai standar untuk menilai apakah sifat, perilaku, tindakan atau sepak terjangnya
dalam menjalankan tugas dinilai baik atau buruk. Oleh karenanya, dalam etika terdapat
sesuatu nilai yang dapat memberikan penilaian bahwa sesuatu tadi dikatakan baik, atau
buruk.
Pemikiran tentang etika berlangsung pada tiga aras: (1) filosofik, (2) sejarah, dan
(3) kategorial. Pada aras filosofik, etika dibahas sebagai bagian integral Filsafat,
disamping metafisika, Epistemologi, Estetika, dan sebangsanya. Pada aras sejarah, etika

dipelajari sebagai etika masyarakat tertentu pada zaman tertentu, misalnya Greek and
Graeco-Roman Ethics, Mediaeval Ethics, sedangkan etika pada aras kategorial dibahas
sebagai etika profesi, etika jabatan, dan etika kerja. Sebagai bagian etika, Etika
administrasi terletak pada aras kategorial, sedangkan sebagai bagian Ilmu Administrasi,
pada aras philosophical.

8

2.2. Etika dan Administrasi
Dunia etika adalah dunia filsafat, nilai dan moral. Dunia administrasi adalah
dunia keputusan dan tindakan. Etika bersifat abstrak dan berkenaan dengan persoalan
baik dan buruk, sedangkan administrasi adalah konkrit dan harus mewujudkan apa yang
diinginkan (get the job done). Pembicaraan tentang etika dalam administrasi adalah
bagaimana mengaitkan keduanya, bagaimana gagasan-gagasan administrasi seperti
ketertiban, efisiensi, kemanfaatan, produktivitas dapat menjelaskan etika dalam
praktiknya, dan bagaimana gagasan-gagasan dasar etika mewujudkan yang baik dan
menghindari yang buruk dapat menjelaskan hakikat administrasi.
Sejak dasawarsa tahun 1970-an, etika administrasi telah menjadi bidang studi
yang berkembang pesat dalam ilmu administrasi. Nicholas Henry (1995) berpandangan
ada tiga perkembangan yang mendorong berkembangnya konsep etika dalam ilmu

administrasi, yaitu (1) hilangnya dikotomi politik-administrasi, (2) tampilnya teori-teori
pengambilan keputusan dimana masalah perilaku manusia menjadi tema sentral
dibandingkan dengan pendekatan sebelumnya, seperti rasionalitas dan efisiensi, (3)
berkembangnya pandangan-pandangan pembaharuan, yang disebut counterculture

9

critique, termasuk di dalamnya kelompok administrasi negara baru seperti yang telah
dikemukakan di atas.
Kajian-kajian mengenai etika administrasi masih berlangsung hingga saat ini,
dan masih belum terkristalisasi. Hal ini mencerminkan upaya untuk memantapkan
identitas ilmu administrasi, yang sebagai disiplin ilmu bersifat elektik dan terkait erat
dengan dunia praktik, tidak dapat tidak terus berkembang mengikuti perkembangan
zaman.
Untuk kepentingan pembahasan disini diikuti jejak Rohr (1989), pakar masalah
etika dalam birokrasi, yang menggunakan etika dan moral dalam pengertian yang
kurang lebih sama, meskipun untuk kepentingan pembahasan lain, misalnya dari sudut
filsafati, memang ada perbedaan. Rohr menyatakan: For the most part, I shall use the
words “ethics” and “morals” interchangeably. Altough there may be nuances and
shades of meaning that differentiate these words, they are derived etymologically from

Latin and Greek words with the same meaning. Berbagai kepustakaan dan kamus
menunjukkan kata etika berasal dari Yunani ethos yang artinya kebiasaan atau watak;
dan moral, dari kata latin mos (atau mores untuk jamak) yang artinya juga kebiasaan
atau cara hidup.
Walaupun etika administrasi sebagai subdisiplin baru berkembang kemudian,
namun masalah kebaikan dan keburukan sejak awal telah menjadi bagian dari
pembahasan dalam administrasi. Misalnya, konsep birokrasi dari Weber, dengan konsep

10

hirarki dan birokrasi sebagai profesi, mencoba menunjukan birokrasi yang baik dan
benar. Begitu juga upaya Wilson untuk memisahkan politik dari administrasi. Bahkan
konsep manajemen llmiah dari Taylor dapat dipandang sebagai upaya ke arah itu.
Cooper (1990) justru menyatakan bahwa nilai-nilai adalah jiwa dari administrasi negara.
Sedangkan Frederickson (1994) mengatakan nilai-nilai menempati setiap sudut
administrasi. Jauh sebelum itu Waldo (1948) menyatakan siapa yang mempelajari
administrasi berarti mempelajari nilai, dan siapa yang mempraktikkan administrasi
berarti mempraktikan alokasi nilai-nilai.
Etika menurut Bertens (1977) adalah “seperangkat nilai-nilai dan norma-norma
moral yang menjadi pegangan dari seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur

tingkah lakunya. Sedangkan Darwin (1999) mengartikan Etika adalah prinsip-prinsip
moral yang disepakati bersama oleh suatu kesatuan masyarakat, yang menuntun perilaku
individu dalam berhubungan dengan individu lain masyarakat. Selanjutnya Darwin
(1999) juga mengartikan Etika Birokrasi (Administrasi Negara) adalah sebagai
seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam
organisasi. Dengan mengacu kedua pendapat ini, maka etika mempunyai dua fungsi,
yaitu pertama sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi
publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam birokrasi
sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai
baik, buruk, tidak tercela, dan terpuji. Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang

11

dapat digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun, bagi birokrasi publik dalam
menjalankan tugas dan kewenangannya antara lain, efisiensi, membedakan milik pribadi
dengan milik kantor, impersonal, merytal system, responsible, accountable, dan
responsiveness.

Peran etika dalam administrasi mengambil wujud yang lebih terang belakangan
ini saja, yakni kurang lebih dalam dua dasawarsa terakhir ini. Masalah etika ini terutama
lebih ditampilkan oleh kenyataan bahwa meskipun kekuasaan ada di tangan mereka
yang memegang kekuasaan politik (political masters), namun administrasi juga
memiliki kewenangan yang secara umum disebut discretionary power. Persoalannya
sekarang adalah apa jaminan dan bagaimana menjamin kewenangan itu digunakan
secara “benar” dan tidak secara “salah” atau secara baik dan tidak secara buruk. Banyak
pembahasan dalam kepustakaan dan kajian subdisiplin etika administrasi yang berupaya
untuk menjawab pertanyaan itu. Etika tentu bukan hanya masalah administrasi negara.
Ia masalah manusia dan kemanusiaan, dan karena itu sejak lama sudah menjadi studi
ilmu filsafat dan juga dipelajari dalam semua bidang ilmu sosial. Di bidang administrasi,
etika juga tidak terbatas hanya pada administrasi negara, tetapi juga dalam administrasi
niaga, yang antara lain disebut sebagai business ethics.
Di bidang administrasi negara, masalah etika dalam birokrasi menjadi
keprihatinan yang sangat besar, karena perilaku birokrasi mempengaruhi bukan hanya

12

dirinya, tetapi masyarakat banyak. Selain itu birokrasi juga bekerja berdasarkan
kepercayaan, karena seorang birokrat bekerja untuk negara dan berarti juga untuk
rakyat. Wajarlah apabila rakyat mengharapkan adanya jaminan bahwa para birokrat
yang dibiayainya harus mengabdi kepada kepentingan umum menurut standar etika
yang selaras dengan kedudukannya.
Selain itu, tumbuh pula keprihatinan bukan saja terhadap individu-individu para
birokrat

tetapi

terhadap

organisasi

sebagai

sebuah

sistem

yang

cenderung

mengesampingkan nilai-nilai. Apalagi birokrasi modern yang cenderung bertambah
besar dan bertambah luas kewenangannya. Appleby (1952) termasuk orang yang paling
berpengaruh dalam studi masalah ini. Ia mencoba mengaitkan nilai-nilai demokrasi
dengan birokrasi dan melihat besarnya kemungkinan untuk memadukannya secara
serasi. Namun, Appleby mengakui bahwa dalam praktiknya yang terjadi adalah
kebalikannya. Ia membahas patologi birokrasi yang memperlihatkan bahwa birokrasi
melenceng dari keadaan yang seharusnya. Golembiewski (1989, 1993) yang juga
merujuk pada pandangan Appleby selanjutnya mengatakan bahwa selama ini organisasi
selalu dilihat sebagai masalah teknis dan bukan masalah moral, sehingga timbul
berbagai persoalan dalam bekerjanya birokrasi pemerintah. Hummel (1977, 1982, 1987)
mengkritik birokrasi rasional ala Weber dengan mengatakan bahwa birokrasi, yang
disebut sebagai bentuk organisasi yang ideal, telah merusak dirinya dan masyarakatnya
dengan ketiadaan norma-norma, nilai-nilai dan etika yang berpusat pada manusia.
Sementara Hart (1994) antara lain mengungkapkannya sebagai berikut:….”For too

13

long, the management orthodoxy has taken as axiomatic the proposition that “good
systems will produce good people” and that ethical problems will yield to better systems
design. But history is clear that a just society depends more upon the moral
trustworthiness of its citizens and its leaders than upon structures designed to transform
ignoble actions into sosially usefull reslts. Systems are important, but good character is
more important. As a result, management scholars and practitioners are giving
increasing attention to administrative ethics….
2.3. Etika Perorangan dan Etika Organisasi
Dalam membahas etika dalam organisasi, sejumlah pakar membedakan antara
etika perorangan (personal ethics) dan etika organisasi. Etika perorangan menentukan
baik atau buruk perilaku individual seseorang dalam hubungannya dengan orang lain
dalam organisasi. Etika organisasi menetapkan parameter dan merinci kewajibankewajiban organisasi, serta menggariskan konteks tempat keputusan-keputusan etika
perorangan itu dibentuk (Vasu, Stewart, dan Garson, 1990). Menjadi tugas para pengkaji
organisasi untuk memahami lebih dalam hakikat etika perorangan dan etika organisasi
serta interaksinya.
Nilai-nilai kebajikan yang diuraikan di atas adalah etika perorangan yang harus
dimiliki siapa saja, bahkan dalam pandangan ilmu administrasi, justru harus dimiliki
oleh mereka yang menjadi pengabdi masyarakat (public servants).

14

Dalam menganalisis etika perorangan dari kaca mata ilmu administrasi, Rohr
(1983) membaginya dalam kelompok metaetika (studi mengenai dasar-dasar linguistic
dan epistemologis dari etika), etika umum (prinsip-prinsip mengenai benar dan salah)
dan etika khusus. Etika khusus dibagi lagi menjadi etika individual dan etika sosial.
Dalam etika khusus ini ia memasukan etika professional. Etika professional lebih sempit
dibandingkan dengan etika perorangan yang berlaku untuk semua orang itu. Etika
profesional berkaitan dengan pekerjaan seseorang. Oleh karena itu, etika professional
berlaku dalam suatu kerangka yang diterima oleh semua yang secara hukum atau secara
moral mengikat mereka dalam kelompok profesi yang bersangkutan.
Etika professional pada profesi tertentu dilembagakan dalam kode etik, Misalnya
kode etik untuk dokter, hakim, pengacara, wartawan, arsitek, pegawai negeri, periklanan
dan sebagainya. Kode etik itu ada yang diperkuat oleh sistem hukum, atau mengikat
secara sosial dan kultural sehingga mengikat secara moral.

2.4. Etika Pelayanan Publik
2.4.1. Konsep Etika Pelayanan Publik
Etika. Bertens (2000) menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah
satu diantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan
watak. Filsuf besar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata etika ini dalam
menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu

15

tentang adat kebiasaan. Bertens juga mengatakan bahwa di dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia, karangan Purwadaminta, etika dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan tentang
asas-asas akhlak (moral), sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), istilah etika disebut sebagai (1) ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; (2)
kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan (3) nilai mengenai benar
dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Dengan memperhatikan beberapa sumber diatas, Bertens berkesimpulan bahwa
ada tiga arti penting etika, yaitu etika (1) sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma
moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya, atau disebut dengan “sistim nilai”; (2) sebagai kumpulan asas atau nilai
moral yang sering dikenal dengan “kode etik”; dan (3) sebagai ilmu tentang yang baik
atau buruk, yang acapkali disebut “filsafat moral”. Pendapat seperti ini mirip dengan
pendapat yang ditulis dalam The Encyclopedia of Philosophy yang menggunakan etika
sebagai (1) way of life; (2) moral code atau rules of conduct; dan (3) penelitian tentang
unsur pertama dan kedua diatas (lihat Denhardt, 1988: 28).
Salah satu uraian menarik dari Bertens (2000) adalah tentang pembedaan atas
konsep etika dari konsep etiket. Etika lebih menggambarkan norma tentang perbuatan
itu sendiri – yaitu apakah suatu perbuatan boleh atau tidak boleh dilakukan, misalnya
mengambil barang milik orang tanpa ijin tidak pernah diperbolehkan. Sementara etiket
menggambarkan cara suatu perbuatan itu dilakukan manusia, dan berlaku hanya dalam

16

pergaulan atau berinteraksi dengan orang lain, dan cenderung berlaku dalam kalangan
tertentu saja, misalnya memberi sesuatu kepada orang lain dengan tangan kiri
merupakan cara yang kurang sopan menurut kebudayaan tertentu, tapi tidak ada
persoalan bagi kebudayaan lain. Karena itu etiket lebih bersifat relatif, dan cenderung
mengutamakan simbol lahiriah, bila dibandingkan dengan etika yang cenderung berlaku
universal dan menggambarkan sungguh-sungguh sikap bathin.
Etika Pelayanan Publik. Dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah suatu
tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka
tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui
kemitraan dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan
masyarakat, kemampuan masyarakat dan pasar. Konsep ini lebih menekankan
bagaimana pelayanan publik berhasil diberikan melalui suatu delivery system yang
sehat. Pelayanan publik ini dapat dilihat sehari-hari di bidang administrasi, keamanan,
kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih, telekomunikasi, transportasi, bank, dsb.
Tujuan pelayanan publik adalah menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi
masyarakat. Barang dan jasa yang terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan
atau apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian pelayanan publik yang
terbaik adalah yang memberikan kepuasan terhadap publik, kalau perlu melebihi
harapan publik.
Dalam arti yang luas, konsep pelayanan public (public service) identik dengan
public administration yaitu berkorban atas nama orang lain dalam mencapai

17

kepentingan public (lihat J.L.Perry, 1989: 625). Dalam konteks ini pelayanan publik
lebih dititik beratkan kepada bagaimana elemen-elemen administrasi publik seperti
policy making, desain organisasi, dan proses manajemen dimanfaatkan untuk
mensukseskan pemberian pelayanan publik, dimana pemerintah merupakan pihak
provider yang diberi tanggung jawab.
Karya Denhardt yang berjudul The Ethics of Public Service (1988) merupakan
contoh dari pandangan ini, dimana pelayanan publik benar-benar identik dengan
administrasi publik. Dalam dunia administrasi publik atau pelayanan publik, etika diartikan
sebagai filsafat dan profesional standards (kode etik), atau moral atau right rules of conduct
(aturan berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik
atau administrator publik (lihat Denhardt, 1988).
Berdasarkan konsep etika dan pelayanan publik diatas maka yang dimaksudkan
dengan etika pelayanan publik adalah suatu praktek administrasi publik dan atau pemberian
pelayanan publik (delivery system) yang didasarkan atas serangkaian tuntunan perilaku
(rules of conduct) atau kode etik yang mengatur hal-hal yang “baik” yang harus dilakukan
atau sebaliknya yang “tidak baik” agar dihindarkan.

2.4.2. Pendekatan dalam Etika Pelayanan Publik
Secara garis besar ada dua pendekatan yang dapat diketengahkan untuk
mewakili banyak pandangan mengenai administrasi negara yang berkaitan dengan etika,
yaitu (1) pendekatan teleologi, dan (2) pendekatan deontologi.

18

Pertama, pendekatan teleologi. Pendekatan teleologi terhadap etika administrasi
berpangkal tolak bahwa apa yang baik dan buruk atau apa yang seharusnya dilakukan
oleh administrasi, acuan utamanya adalah nilai kemanfaatan yang akan diperoleh atau
apa yang akan dihasilkan, yakni baik atau buruk dilihat dari konsekuensi keputusan atau
tindakan yang diambil. Dalam konteks administrasi negara, pendekatan teleologi
mengenai baik atau buruk ini, diukur antara lain dari pencapaian sasaran kebijaksanaankebijaksanaan publik (seperti pertumbuhan ekonomi, pelayanan kesehatan, kesempatan
untuk mengikuti pendidikan, kualitas lingkungan), pemenuhan pilihan-pilihan
masyarakat atau perwujudan kekuasaan organisasi, bahkan kekuasaan perorangan kalau
itu menjadi tujuan administrasi.
Pendekatan ini terdiri atas berbagai kategori, tetapi ada dua yang utama. Pertama
adalah ethical egoism, yang berupaya mengembangkan kebaikan bagi dirinya. Yang
amat dikenal disini adalah Niccolo Macheavelli, seorang birokrat Itali pada abad ke -15,
yang menganjurkan bahwa kekuasaan dan survival pribadi adalah tujuan yang benar
untuk seorang administrator pemerintah. Kedua adalah utilitarianism, yang pangkal
tolaknya adalah prinsip kefaedahan (utility), yaitu mengupayakan yang terbaik untuk
sebanyak-banyaknya orang. Prinsip ini sudah berakar sejak lama, terutama pada
pandangan-pandangan abad ke-19, antara lain dari Jeremy Bentham dan John Stuart
Mills. Namun, di antara keduanya yaitu egoism dan utilitarianism, tidak terdapat jurang
pemisah yang tajam karena merupakan suatu kontinuum, yang diantaranya dapat
ditempatkan, misalnya pandagan Weber bahwa seorang birokrat sesungguhnya bekerja

19

untuk kepentingan dirinya sendiri pada waktu ia melaksanakan perintah atasannya, yang
oleh Chandler (1994) disebut sebagai a disguise act of ego.
Namun, dapat diperkirakan bahwa dalam masa modern dan pasca modern ini
pandangan utilitarianism dari kelompok pandangan teleologis ini memperoleh lebih
banyak perhatian. Dalam pandangan ini yang amat pokok adalah bukan memperhatikan
nilai-nilai moral, tetapi konsekuensi dari keputusan dan tindakan administrasi itu bagi
masyarakat. Kepentingan umum (public interest) merupakan ukuran penting menurut
pendekatan ini. Di sini ditemui berbagai masalah, antara lain:
(1) Siapa yang menentukan apakah sesuatu sasaran, ukuran aatu hasil yang
dikehendaki didasarkan kepentingan umum, dan bukan kepentingan si
pengambil

keputusan, atau kelompoknya,

atau kelompok

yang ingin

diuntungkan
(2) Dimana batas antara hak perorangan dengan kepentingan umum. Jika
kepentingan umum mencerminkan dengan mudah kepentingan individu, maka
masalahnya sederhana. Namun, jika ada perbedaan tajam antara keduanya, maka
akan timbul masalah yang lebih rumit.
(3) Bagaimana membuat perhitungan yang tepat bahwa langkah-langkah yang
dilakukan akan menguntungkan kepentingan umum dan tidak merugikan. Hal ini
penting karena kekuatan dari pendekatan (utilitarianism) ini adalah bahwa dalam
neracanya harus diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dan kerugian yang

20

sekecil-kecilnya untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Atau dengan
kata lain, efisiensi.
Salah satu jawaban yang juga berkembang adalah apa yang disebut pilihan
publik (public choice), suatu teori yang berkembang atas dasar prinsip-prinsip ekonomi.
Pandangan ini berpangkal pada pilihan-pilihan perorangan (individual choices) sebagai
basis dari langkah-langkah politik dan administratif. Memaksimalkan pilihan-pilihan
individu merupakan pandangan teleologis yang paling pokok dengan mengurangi
sekecil mungkin biaya atau beban dari tindakan kolektif terhadap individu. Konsep ini
berkaitan dengan prinsip-prinsip ekonomi pasar dan partisipasi masyarakat dalam
pengambilan keputusan. Dengan sendirinya akan ada konflik dalam pilihan-pilihan
tersebut, dan bagaimana mengelola konflik-konflik itu merupakan tantangan pokok bagi
administrasi dalam merancang dan mengelola badan-badan dan program-program
publik.
Tidak semua pihak merasa puas dengan pendekatan-pendekatan tersebut.
Munculnya pandangan-pandangan mengenai etika administrasi menjelang akhir abad
ke-20 ini justru berkaitan erat dengan upaya mendudukan etika atau moral sebagai
prinsip utama (guiding principles) dalam administrasi. Hal ini merupakan tema dari
pendekatan yang kedua, yaitu pendekatan deontologi.
Pendekatan ini berdasar pada prinsip-prinsip moral yang harus ditegakkan
karena kebenaran yang ada dalam dirinya, dan tidak terkait dengan akibat atau
konsekuensi dari keputusan atau tindakan yang dilakukan. Asasnya adalah bahwa proses

21

administrasi harus berlandaskan pada nilai-nilai moral yang mengikat. Pendekatan ini
pun, tidak hanya satu garisnya. Yang amat mendasar adalah pandangan yang bersumber
pada falsafah Immanuel Kant (1724-1809), yaitu bahwa moral adalah imperatif dan
kategoris, yang tidak membenarkan pelanggaran atasnya untuk tujuan apapun, meskipun
karena itu masyarakat dirugikan atau jatuh korban.
Berbeda dengan pandangan Kantian tersebut, ada pula pandangan relativisme
dalam moral dan kebudayaan, yang menolak kekakuan dan absolutisme dalam memberi
nilai pada moral. Menurut pandangan ini suatu peradaban atau kebudayaan akan
menghasilkan sistem nilainya sendiri yang dapat tapi tidak harus selalu sama dengan
peradaban atau kebudayaan lain. Dari pokok pikiran tersebut berkembang pandanganpandangan yang disebut situationism yang bertentangan dengan faham universalism.
Situation ethics ini intinya adalah bahwa determinan dari moralitas yang diterapkan
senantiasa terkait dengan situasi tertentu.
Dalam dunia praktik, yang menjadi dunia administrasi, memasukkan nilai-nilai
moral ke dalam administrasi merupakan upaya yang tidak mudah, karena harus
mengubah pola pikir yang sudah lama menjiwai administrasi, seperti yang dicerminkan
oleh paham utilitarianism. Oleh karena memang per definisi administrasi adalah usaha
bersama untuk mencapai suatu tujuan, maka pencapaian tujuan itu merupakan nilai
utama administrasi selama ini.
Selanjutnya,

Fox

(1994)

mengetengahkan

tiga

pandangan

yang

menggambarkan pendekatan deontologi dalam etika administrasi ini. Pertama,

22

pandangan mengenai keadilan sosial, yang muncul bersama berkembangnya konsep
administrasi negara baru (antara lain Frederickson dan Hart, 1985). Seperti telah
diungkapkan di atas, menurut pandangan ini administrasi negara haruslah secara proaktif mendorong terciptanya pemerataan atau keadilan sosial. Pandangan ini tidak lepas
dari pengaruh John Rawls (1971), dengan Theory of Justice-nya yang menjadi rujukan
dari berbagai teori pemerataan dan keadilan sosial. Mereka melihat bahwa masalah yang
dihadapi oleh administrasi negara modern adalah adanya ketidakseimbangan dalam
kesempatan. Sehingga mereka yang kaya, memiliki pengetahuan, dan terorganisasi
dengan baik memperoleh posisi yang senantiasa menguntungkan dalam negara. Dengan
perkataan lain, secara etika, administrasi harus membantu yang miskin, yang kurang
memiliki pengetahuan dan tidak terorganisasi. Pandangan ini cukup berkembang
meskipun di dunia akademik banyak juga yang mengkritiknya. Kedua, apa yang disebut
Regime Values atau Regime Norms. Pandangan ini bersumber dari Rohr (1989), yang
berpendapat bahwa etika adminsitrasi negara harus mengacu kepada nilai-nilai yang
melandasi keberadaan negara yang bersangkutan. Dalam hal ini ia merujuk kepada
konstitusi Amerika yang harus menjadi landasan etika administrasi di negara itu. Ketiga,
tatanan moral universal atau universal moral order (antara lain Dendhardt, 1988, 1994).
Pandangan ini berpendapat ada nilai-nilai moral yang bersifat universal yang harus
menjadi pegangan bagi administrator publik. Masalahnya disini adalah nilai-nilai moral
itu sendiri banyak yang dipertanyakan karena beragam sumbernya dan juga beragam
kebudayaan serta peradabannya seperti telah diuraikan di atas.

23

Berkaitan dengan itu, belakangan ini banyak kepustakaan etika administrasi
yang membahas dan mengkaji etika kebajikan (ethics of virtue). Etika ini berbicara
mengenai karakter yang dikehendaki dari seorang administrator. Konsep ini merupakan
koreksi terhadap paradigma yang berlaku sebelumnya dalam administrasi, yaitu etika
sebagai aturan, yang dicerminkan dalam struktur organisasi dan fungsi-fungsi serta
prosedur, termasuk sistem insentif dan disinsentif serta sanksi-sanksi berdasarkan
aturan.
Pandangan etika kebajikan bertumpu pada karakter individu. Pandangan ini,
seperti juga pandangan administrasi negara baru, bersumber dari konfrensi
Minnowbrook di New York pada akhir dasawarsa 1960-an, yang ingin memperbaharui
dan merevitalisasi bidang studi administrasi negara. Nilai-nilai kebajikan inilah yang
diharapkan dapat mengendalikan peran seseorang di dalam organisasi sehingga
pencapaian tujuan organisasi senantiasa berlandaskan nilai-nilai moral yang sesuai
dengan martabat kemanusiaan.
Tantangan selanjutnya adalah menemukan apa saja nilai-nilai kebajikan itu,
atau lebih tepatnya lagi nilai-nilai mana yang pokok (cardinal values), dan mana yang
menjadi turunan (derivative) dari nilai-nilai pokok itu. Frankena (1973) misalnya
mengatakan many moralits, among them Schopenhower, have taken benevolence and
justice to be the cardinal moral virtues, as i would. It seems to me that all of the usual
virtues (such as love, courage, temperance, honesty, gratitude, and considerateness), at
least insofar as they are moral virtues, can be derived from these two. Hart mengatakan

24

bahwa kebajikan utama itu adalah eudaimonia dan benevolence. Yang dimaksud dengan
eudaimonia menurut Hart adalah konsep bahwa all individuals are born with unique
potentialities and the purpose of life is to actualize them in the world. These
potentialities involve, first, moral virtue and, second, our unique individual talents.
With respect to morality, eudaimonia cannot involve harming either self or others, as
the prefix “eu”, or “good”, makes clear. Sedangkan benevolence diartikannya sebagai
the love of other.
Selanjutnya administrator yang bajik (virtuous administrator) adalah yang
berusaha, seperti dikatakan Hart (1994), agar kebajikan menjadi sentral dalam
karakternya sendiri, yang akan membimbing perilakunya dalam organisasi. Tidak
berhenti disitu saja, administrator yang bajik berkewajiban moral untuk mengupayakan
agar kebajikan juga menjadi karakter mereka yang bekerja di bawahnya. Namun,
dinyatakannya pula bahwa kebajikan tidak bisa dipaksakan kepada yang lain karena
kebajikan berasal dari diri masing-masing individu (voluntary observance). Ia
menekankan bahwa virtue does not yield to sosial engineering. Di sini Hart
mengetengahkan pentingnya pendidikan kebajikan sejak dini, serta dilancarkannya
kebijaksanaan, program, praktik-praktik yang mendorong berkembangnya nilai-nilai
kebajikan dalam organisasi. Akhirnya, yang teramat penting adalah keteladanan. Ia
sendiri mengakui tidak ada orang yang dapat mencapai tingkat kebajikan ideal, karena
itu dalam etika kebajikan, yang penting adalah proses untuk menginternalisasikannya
dibandingkan dengan hasilnya.

25

BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Sejarah Etika Pelayanan Umum (Publik)
Pemikiran tentang etika kaitannya dengan pelayanan publik mengalami
perkembangan sejak tahun 1940-an melalui karya Leys (dalam Keban, 1994: 50-51).
Leys berpendapat: “bahwa seorang administrator dianggap etis apabila ia menguji dan
mempertanyakan standard-standard yang digunakan dalam pembuatan keputusan, dan
tidak mendasarkan keputusannya semata-mata pada kebiasaan dan tradisi yang sudah
ada”. Kemudian Tahun 1950-an, muncul perkembangan pemikiran baru. Hal ini terlihat
dalam karya Anderson (dalam Keban, 1994: 51) menyempurnakan aspek standard yang
digunakan dalam pembuatan keputusan. Karya Anderson menambah suatu point baru,
bahwa standard-standard yang digunakan sebagai dasar keputusan tersebut sedapat
mungkin

merefleksikan

nilai-nilai

dasar

dari

masyarakat

yang

dilayani.

Di tahun 1960-an, muncul lagi pemikiran baru lewat tulisan Golembiewski (dalam
Keban, 1994: 51) menambah elemen baru yaitu standar etika mungkin mengalami

26

perubahan dari waktu-kewaktu dan karena itu administrator harus mampu memahami
perkembangan dan bertindak sesuai standard-standard perilaku tersebut.
Pada permulaan tahun 1970-an, beberapa tulisan merefleksikan kecenderungan
baru, tulisan Hart (dalam Keban, 1994) mempromosikan nilai-nilai social equity sebagai
pedoman dasar administrasi negara, dan menyarankan teori keadilan dan rawls sebagai
pedoman etika bagi masyarakat maupun administrator sebagai individu. Kecenderungan
baru juga terlihat pada tulisan Henry (dalam Keban, 1994) yang menekankan tanggung
jawab atau keharusan administrator publik untuk memperhatikan aspek etika, dan tidak
hanya melekat pada aspek efesiensi, ekonomi, dan prinsip-prinsip administrasi. Menurut
Henry, teori rawls tentang justice al fanicres sangat bermanfaat untuk dipertimbangkan
dalam praktek administrasi negara. Dengan demikian aspek yang ditambahkan dalam
permulaan tahun 1970-an ini adalah aspek keadilan dan tanggung jawab.
Sejak permulaan tahun 1970-an ada beberapa tokoh penting yang sangat
mempengaruhi etika administrator publik, dua diantaranya adalah John Rohr dan Terry
L.Cooper. Rohr (dalam Keban,1994: 51-52) menyarankan agar administrator dapat
menggunakan regime norms yaitu nilai-nilai keadilan, persamaan, dan kebebasan
sebagai pengambilan keputusan terhadap berbagai alternatif kebijaksanaan dalam
pelaksanaan tugas-tugasnya. Dengan cara demikian, administrator negara dapat menjadi
etis (being ethical). Namun, menurut Cooper (dalam Keban,1994: 51) etika sangat
melibatkan substantive reasoning tentang kewajiban, konsekwensi dan tujuan akhir; dan
bertindak etis (doing ethics) adalah melibatkan pemikiran yang sistematis tentang nilai-

27

nilai yang melekat pada pilihan-pilihan dalam pengambilan keputusan. Pemikiran
Cooper menunjukkan administrator yang etis adalah administrator yang selalu terikat
pada tanggung jawab dan peranan organisasi, sekaligus bersedia menerapkan standard
etika secara tepat pada pembuatan keputusan administrasi.

3.2. Pentingnya Etika dalam Pelayanan Publik
Saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk memisahkan administrasi dari
politik (dikotomi) menunjukan bahwa administrator sungguh-sungguh netral, bebas dari
pengaruh politik ketika memberikan pelayanan publik. Akan tetapi kritik bermunculan
menentang ajaran dikotomi administrasi – politik pada tahun 1930-an, sehingga
perhatian mulai ditujukan kepada keterlibatan para administrator dalam keputusankeputusan publik atau kebijakan publik. Sejak saat ini mata publik mulai memberikan
perhatian khusus terhadap “permainan etika” yang dilakukan oleh para birokrat
pemerintahan. Penilaian keberhasilan seorang administrator atau aparat pemerintah tidak
semata didasarkan pada pencapaian kriteria efisiensi, ekonomi, dan prinsip-prinsip
administrasi lainnya, tetapi juga kriteria moralitas, khususnya terhadap kontribusinya
terhadap public interest atau kepentingan umum (lihat Henry, 1995: 400).
Alasan mendasar mengapa pelayanan publik harus diberikan adalah adanya
public interest atau kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh pemerintah karena
pemerintahlah yang memiliki “tanggung jawab” atau responsibility. Dalam memberikan

28

pelayanan ini pemerintah diharapkan secara profesional melaksanakannya, dan harus
mengambil keputusan politik secara tepat mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak,
dimana, kapan, dsb. Padahal, kenyataan menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki
tuntunan atau pegangan kode etik atau moral secara memadai. Asumsi bahwa semua
aparat pemerintah adalah pihak yang telah teruji pasti selalu membela kepentingan
publik atau masyarakatnya, tidak selamanya benar. Banyak kasus membuktikan bahwa
kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi
justru mendikte perilaku seorang birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal
ini tidak memiliki “independensi” dalam bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada
“otonomi dalam beretika”. Alasan lain lebih berkenaan dengan lingkungan didalam
birokrasi yang memberikan pelayanan itu sendiri. Desakan untuk memberi perhatian
kepada aspek kemanusiaan dalam organisasi (organizational humanism) telah
disampaikan oleh Denhardt. Dalam literature tentang aliran human relations dan human
resources, telah dianjurkan agar manajer harus bersikap etis, yaitu memperlakukan
manusia atau anggota organisasi secara manusiawi. Alasannnya adalah bahwa perhatian
terhadap manusia (concern for people) dan pengembangannya sangat relevan dengan
upaya peningkatan produktivitas, kepuasan dan pengembangan kelembagaan.
Alasan berikut berkenaan dengan karakteristik masyarakat publik yang
terkadang begitu variatif sehingga membutuhkan perlakuan khusus. Mempekerjakan
pegawai negeri dengan menggunakan prinsip “kesesuaian antara orang dengan
pekerjaannya” merupakan prinsip yang perlu dipertanyakan secara etis, karena prinsip

29

itu akan menghasilkan ketidakadilan, dimana calon yang dipekerjakan hanya berasal
dari daerah tertentu yang relatif lebih maju. Kebijakan affirmative action dalam hal ini
merupakan terobosan yang bernada etika karena akan memberi ruang yang lebih luas
bagi kaum minoritas, miskin, tidak berdaya, dsb., untuk menjadi pegawai atau
menduduki posisi tertentu. Ini merupakan suatu pilihan moral (moral choice) yang
diambil oleh seorang birokrat pemerintah berdasarkan prinsip justice – as – fairness
sesuai pendapat John Rawls yaitu bahwa distribusi kekayaan, otoritas, dan kesempatan
sosial akan terasa adil bila hasilnya memberikan kompensasi keuntungan kepada setiap
orang, dan khususnya terhadap anggota masyarakat yang paling tidak beruntung.
Kebijakan mengutamakan “putera daerah” merupakan salah satu contoh yang populer
saat ini. Alasan penting lainnya adalah peluang untuk melakukan tindakan yang
bertentangan dengan etika yang berlaku dalam pemberian pelayanan publik sangat
besar. Pelayanan public tidak sesederhana sebagaimana dibayangkan, atau dengan kata
lain begitu kompleksitas sifatnya baik berkenaan dengan nilai pemberian pelayanan itu
sendiri maupun mengenai cara terbaik pemberian pelayanan publik itu sendiri.
Kompleksitas dan ketidakmenentuan ini mendorong pemberi pelayanan publik
mengambil langkah-langkah profesional yang didasarkan kepada “keleluasaan
bertindak” (discretion). Dan keleluasaan inilah yang sering menjerumuskan pemberi
pelayanan publik atau aparat pemerintah untuk bertindak tidak sesuai dengan kode etik
atau tuntunan perilaku yang ada.

30

Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia, pelanggaran moral
dan etika dapat diamati mulai dari proses kebijakan publik (pengusulan program,
proyek, dan kegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan), desain organisasi pelayanan
public (pengaturan struktur, formalisasi, dispersi otoritas) yang sangat bias terhadap
kepentingan tertentu, proses manajemen pelayanan publik yang penuh rekayasa dan
kamuflase (mulai dari perencanaan teknis, pengelolaan keuangan, SDM, informasi,
dsb.), yang semuanya itu nampak dari sifat-sifat tidak transparan, tidak responsif, tidak
akuntabel, tidak adil, dsb. Dan tidak dapat disangkal, semua pelanggaran moral dan
etika ini telah diungkapkan sebagai salah satu penyebab melemahnya pemerintahan kita.
Alasan utama yang menimbulkan tragedi tersebut sangat kompleks, mulai dari
kelemahan aturan hukum dan perundangundangan kita, sikap mental manusia, nilai-nilai
sosial budaya yang kurang mendukung, sejarah dan latarbelakang kenegaraan,
globalisasi yang tak terkendali, sistim pemerintahan, kedewasaan dalam berpolitik, dsb.
Bagi Indonesia, pembenahan moralitas yang terjadi selama ini masih sebatas lip service
tidak menyentuh sungguh-sungguh substansi pemenahan moral itu sendiri. Karena itu
pembenahan moral merupakan “beban besar” di masa mendatang dan apabila tidak
diperhatikan secara serius maka proses “pembusukan” terus terjadi dan dapat
berdampak pada disintegrasi bangsa.

3.3. Pergeseran Paradigma Etika Pelayanan Publik

31

Sejarah etika dalam pelayanan publik dapat ditelusuri dalam tulisan Denhardt yang
berjudul The Ethics of Public Service (1988). Penulis ini menggambarkan sejarah etika
pelayanan publik mulai dari karya Wayne A.R.Leys tahun 1944, yang oleh penulis
disebut sebagai Model I – The 1940’s. Leys memberikan saran kepada pemerintah
Amerika Serikat tentang bagaimana menghasilkan suatu good public policy decisions. Ia
berpendapat bahwa sudah waktunya meninggalkan kebiasaan atau tradisi (custom) yang
selama ini selalu menjadi pegangan utama dalam menentukan suatu pembuatan
keputusan karena pemerintah terus berhadapan dengan berbagai masalah baru. Katanya,
kebiasaan dan tradisi tersebut harus “digoyang” dengan standard etika yang ada dimana
etika, katanya, harus dilihat sebagai source of doubt. Pertanyaan-pertanyaan etika harus
digunakan dalam menilai apakah suatu keputusan sudah dianggap baik atau tidak.
Singkatnya, dalam model ini dikatakan bahwa agar menjadi etis, diperlukan seorang
administrator senantiasa menguji dan mempertanyakan standard yang digunakan
dalam pembuatan keputusan dari pada hanya sekedar menerima atau tergantung pada
kebiasaan dan tradisi yang ada (Denhardt, 1988: 6)
Hurst A. Anderson di tahun 1953 mengungkapkan dalam suatu pidatonya
dengan judul Ethical Values in Administration (nilai-nilai etika dalam administrasi).
Katanya, masalah etika sangat penting dalam setiap keputusan administratif, tidak hanya
bagi mereka yang memformulasikan kebijakan publik, dan etika itu sendiri harus
dipandang sebagai asumsi-asumsi yang menuntun kehidupan dan pekerjaan kita semua.
Dengan kata lain, kita harus memiliki apa yang disebut philosophy of personal and

32

social living. Oleh Denhardt (1988) pendapat ini diklasifikasikan sebagai Model II –
The 1950’s, yang berintikan bahwa agar dianggap etis maka seorang administrator
hendaknya menguji dan mempertanyakan standard atau asumsi-asumsi yang digunakan
sebagai dasar pembuatan keputusan. Standard-standard tersebut harus merefleksian
nilai-nilai dasar masyarakat, dan tidak sekedar bergantung semata pada kebiasaan dan
tradisi. Perlu diketahui bahwa yang dimaksudkan dengan nilai-nilai dasar (core values)
masyarakat meliputi antara lain kebebasan, kesetaraan, keadilan, kebenaran, kebaikan
dan keindahan. Tahun 1960an memunculkan suatu nuansa baru dalam etika pelayanan
publik. Robert T.Golembiewski memaparkan dalam tulisannya yang berjudulkan Men,
Management, dan Morality tahun 1965, bahwa praktek-praktek organisasi yang telah
berlangsung sekian lama yang didasarkan pada teori-teori organisasi tradisional telah
membawa dampak negatif pada individu-individu yang bekerja dalam organisasi itu
sendiri. Dengan kata lain, para individu tersebut merasa tertekan dan frustrasi dan
karena itu sisi etika dari praktek tersebut perlu mendapatkan perhatian. Standardstandard yang telah ditetapkan dalam organisasi jaman dulu belum tentu cocok
sepanjang masa, karena itu harus dilihat apakah masih pantas dipertahankan atau tidak.
Disini Golembiewski melihat etika sebagai contemporary standards of right conduct
yang harus disesuaikan dengan perubahan waktu. Karena itu, Denhardt (1988) melihat
pendapat ini sebagai Model III – 1960’s, yang pada dasarnya agar menjadi etis seorang
administrator sebaiknya menguji dan mempertanyakan standard, atau asumsi yang
melandasi pembuatan suatu keputusan. Standar-standard tersebut harus merefleksikan

33

nilai-nilai dasar masyarakat dan tidak semata bergantung pada kebiasaan dan tradisi.
Standard etika bisa berubah ketika kita mencapai suatu pemahaman yang lebih baik
terhadap standard-standard moral yang absolut.
Para ahli administrasi publik yang tergolong dalam masyarakat New Public
Administration yang muncul di tahun 1970an, memberikan nuansa baru yaitu meminta
agar administrator memperhatikan administrative responsibility. David K.Hart, salah
seorang intelektualnya, menilai bahwa administrasi publik saat itu sudah bersifat
impartial dan sudah waktunya merubah paradigma lama untuk memperbaiki
kepercayaan publik yang waktu itu sudah pudar. Ia menyarankan agar social equity atau
keadilan sosial harus menjadi pegangan pokok administrasi publik, sebagaimana
disarankan oleh John Rawls dalam Teori Keadilan, yang dinilai benar-benar
menggambarkan paradigma keadilan. Nilai keadilan yang disarankan disini sebenarnya
hanyalah merupakan sebagian dari core values yang telah disebutkan diatas, sehingga
pengalaman di tahun 1970-an tersebut lebih menggambarkan penyempurnaan content
atau isi dari etika itu sendiri, sebagai pelengkap dari tinjauan tentang process dan
context yang telah diungkapkan dalam model-model sebelumnya. Dengan demikian,
model ini disebut sebagai Model IV – the 1970’s, yang merupakan akumulasi
penyempurnaan dari model-model sebelumnya dimana dikatakan bahwa agar menjadi
etis seorang administrator harus benar-benar memberi perhatian pada proses menguji
dan mempertanyakan standard, atau asumsi yang melandasi pembuatan keputusan
administratif. Standard-standard ini mungkin berubah dari waktu ke waktu dan

34

administrator harus mampu merespons tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan
baru dengan memperbaharui standard-standard tersebut. Isi dari standard-standard
tersebut harus mererfleksikan komitmen terhadap nilai-nilai dasar masyarakat, dan
administrator harus tahu bahwa ialah