LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI LAUT. pdf

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM EKOLOGI LAUT

HANIFA ZUHAIRA 26020216120017

OSEANOGRAFI A / KELOMPOK 4 ASISTEN: RAYMUNDUS PUTRA SITUMORANG 26020214120004 BAYU EKO PRIYANTO

26020214120028 ANDRE RIVALDO

26020214190078 TRI YUNIARTI AMBARSARI

26020215120001 KHARISTINI RIZKI

26020215120030 MUHAMMAD SABABA ALHAQ 26020215120044 ANGGI TSAMARA AMIRAH

26020215120049 ARDHANA RESWARI UTAMI

DEPARTEMEN OSEANOGRAFI FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2017

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ekologi merupakan salah satu cabang biologi. Yaitu ilmu pengetahuan tentang hubungan antara organisme dan lingkungannya. Atau ilmu yang mempelajari pengaruh faktor lingkungan terhadapn jasad hidup. Ada juga yang mengatakan bahwa ekologi adalah suatu ilmu yangt mempelajari hubungan antara tumbuhan, binatang, dan manusia dengan lingkungannya dimana mereka hidup, bagaimana kehidupannya dan mengapa mereka ada disitu. Ekologi berasal dari bahasa Yunani “oikos” (rumah atau tempat hidup) dan “logos” yang berarti ilmu. Secara harafiah ekologi adalah pengkajian hubungan organisme-organisme atau kelompok organisme terhadap lingkungannya. Ekologi hanya mempelajari apa yang ada dan apa yang terjadi di alam dengan tidak melakukan percobaan.

Definisi ekologi sebagai suatu ilmu yang membicarakan tentang spektrum hubungan timbal balik yang terjadi antara organisme dan lingkungannya serta antara kelompok-kelompok organisme. Ekologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang organisme dalam rumahnya. Ekologi itu sendiri terbagi dalam beberapa ekosistem, diantaranya yaitu pantai, muara, tambak, dan sungai. Sifat- sifat dari masing-masing ekosistem tersebut misalnya dapat dilihat melalui parameter fisika, kimia, dan biologi dan dapat diketahui dengan melaksanakan suatu penelitian.

Pantai Blebak salah satunya terletak di daerah Sekulo, Kecamatan Mlonggo, Jepara yang merupakan kawasan perairan yang masih bersih dan termasuk pantai wisata. Mangrove, karang dan lamun dapat menjelaskan kondisi perairan tersebut dan juga potensi wisata bahari maupun potensi wilayah pesisir Pantai Blebak. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi struktur komunitas mangrove, lamun, dan karang di Pantai Blebak untuk mengetahui kondisi ekosistem yang ada di pantai Pantai Blebak serta bagaimana interaksi biota-biota yang ada di dalam ekosistem tersebut.

1.2 Tujuan

1.2.1 Ekosistem Mangrove

1. Melakukan pengamatan terhadap tumbuhan mangrove

2. Mengetahui teknik pendataan terhadap ekosistem mangrove dengan metode sample plot.

3. Mengetahui keanekaragaman jenis mangrove.

1.2.2 Ekosistem Lamun

1. Mengetahui keanekaragaman biota di ekosistem padang lamun.

2. Mengetahui interaksi antar biota pada ekosistem padang lamun.

3. Mampu menganalisa faktor pertumbuhan dari biota yang terdapat pada ekosistem pada padang lamun.

1.2.3 Ekosistem Karang

1. Mengetahui presentase tutupan terumbu karang di Perairan Pantai Blebak, Kecamatan Mlonggo, Jepara.

2. Mengetahui teknik pendataan ekosistem terumbu karang dengan metode LIT (Line Intercept Transect).

1.3 Manfaat

Manfaat dari praktikum kali ini yaitu sebagai berikut :

1. Menambah informasi mengenai persebaran struktur komunitas ekosistem padang lamun pada tiap zona pengamatan, jenis-jenis biota makrobentos yang berasosiasi dengan ekosistem padang lamun.

2. Menambah informasi tentang ekosistem terumbu karang dan prosentase tutupannya sehingga diharapkan mampu melestarikan ekosistem terumbu karang.

3. Menambah informasi mengenai ekosistem mangrove, prosentase tutupan mangrove, dan jenis-jenis biota makrobentos yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove.

1.4 Peta Lokasi

Gambar 1. Peta Praktikum Ekologi Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mangrove

2.1.1 Definisi Mangrove

Kata mangrove adalah kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove, dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan untuk menunjuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang- surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Sedangkan dalam bahasa portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut (Nybakken, 1992).

Batasan umum pengertian hutan mangrove adalah hutan terutama tumbuh pada tanah aluvial didaerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan dicirikan oleh jenis-jenis pohon : Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa (Setyobudiandi, dkk. 2009).

Mangrove merupakan karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuari atau muara sungai, dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan sub tropis. Dengan demikian maka mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan dan pada kondisi yang sesuai mangrove akan membentuk hutan yang ekstensif dan produktif. Karena hidupnya di dekat pantai, mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Istilah bakau itu sendiri dalam bahasa Indonesia merupakan nama dari salah satu spesies penyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp . Sehingga dalam percaturan bidang keilmuan untuk tidak membuat bias antara bakau dan mangrove maka hutan mangrove sudah ditetapkan merupakan istilah baku untuk menyebutkan hutan yang memiliki karakteristik hidup di daerah pantai (Majid, 2016).

2.1.2 Habitat Mangrove

Menurut Soeroyo (1992), mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut atau tepi laut. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Umumnya mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang Menurut Soeroyo (1992), mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut atau tepi laut. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Umumnya mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang

Mangrove tumbuh subur pada tempat dengan endapan lumpur yang melimpah serta aliran air tawar yang cukup. Air payau bukan merupakan hal yang wajib untuk pertumbuhan mangrove namun mangrove sangat baik tumbuh di lingkungan tersebut. Mangrove juga dapat tumbuh di pantai berpasir, pantai berbatu atau pantai berkarang dan pulau-pulau kecil. Pantai mangrove berkembang dengan baik apabila aliran sungai membawa lumpur dan pasir ke dasar laut yang kemudian bercampur kembali dan terangkut oleh ombak, pasang dan aliran. Pantai mangrove yang ideal terjadi di mana banyak saluran-saluran sungai yang berliku-liku membentuk suatu jaringan kerja, jalannya air tenang membatasi daerah pasang surut (Giesen, 2007).

2.1.3 Flora Fauna Mangrove

Mangrove merupakan habitat bagi berbagai jenis satwa liar seperti primata, reptillia dan burung. Satwa liar yang terdapat di ekosistem mangrove merupakan perpaduan antara fauna ekosistem terestrial, peralihan dan perairan. Satwa liar terestrial kebanyakan hidup di pohon mangrove sedangkan Satwa liar peralihan dan perairan hidup di batang, akar mangrove dan kolom air (Haris, 2014).

Pada ekosistem mangrove fauna laut didominasi oleh phylum mollusca (didominasi oleh Bivalvia dan Gastropoda) yang yang menempati substrat baik yang keras maupun yang lunak terutama kerang dan berbagai jenis invertebrata lainnya. Hewan yang termasuk dalam phylum mollusca dari classis Bivalvia dan gastropoda merupakan sumber daya hayati laut yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, penting dan memiliki keanekaragaman tinggi. Oleh karena itu tingkat eksploitasi dewasa ini terus meningkat, namun dari segi lain bentuk eksploitasi ini dapat mengancam kelestarian populasi mollusca atau jenis tertentu. Kawasan hutan mangrove terjadi penyusutan disadari atau tidak, disengaja atau tidak, sejak beberapa tahun belakang hingga sekarang telah berlangsung kerusakan ekosistem laut. Hal ini akan mengganggu kehidupan biota perairan seperti ikan, mollusca dan jasad renik lainnya (Setyawan, 2007).

2.1.4 Fungsi Utama Ekosistem Mangrove

Hutan mangrove sebagai sumberdaya alam khas daerah pantai tropik, mempunyai fungsi strategis bagi ekosistem pantai, yaitu: sebagai penyambung dan penyeimbang ekosistem darat dan laut. Tumbuh-tumbuhan, hewan dan berbagai nutrisi ditransfer ke arah darat atau laut melalui mangrove. Secara ekologis mangrove berperan sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis ikan, kerang dan spesies lainnya. Selain itu serasah mangrove berupa daun, ranting dan biomassa lainnya yang jatuh menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktifitas perikanan laut (Haris, 2014).

Fungsi mangrove sangat besar terhadap kehidupan di daratan, di antaranya menahan gelombang pasang, abrasi, dan intrusi air laut. Pentingnya fungsi ini sering tidak disadari oleh masyarakat sekitar pantai, terbukti dengan cara pemanfaatan mangrove yang kurang memperhatikan aspek konservasi. Pemanfaatan hutan mangrove yang berhubungan langsung dengan perekonomian masyarakat salah satunya adalah hasil tambak payau. Tambak di Pantai Utara Jawa Tengah sebagian besar berada persis di belakang mangrove. Tambak seperti ini disebut sebagai silvofishery, yaitu perpaduan mangrove dan tambak yang mendasarkan pada fungsi mangrove sebagai nursery ground (Poedjirahajoe, 2015).

Pada ekosistem mangrove komponen dasar rantai makanan adalah seresah (daun, ranting, buah, batang dan sebagainya) yang jatuh dan didekomposisi oleh mikroorganisme (bakteri dan jamur) menjadi zat hara/ nutrien terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton, alga maupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses fotosintesis. Sebagain lagi dimanfaatkan oleh udang, kepiting sebagai makanan (Poedjirahajoe, 2015).

2.1.5 Substrat Ekosistem Mangrove

Menurut Giesen (2007), karakteristik substrat merupakan faktor pembatas kehidupan mangrove. Jenis substrat sangat mempengaruhi susunan jenis dan kerapatan vegetasi mangrove yang hidup di atasnya. Semakin cocok substrat untuk vegetasi mangrove jenis tertentu dapat dilihat dari seberapa rapat Menurut Giesen (2007), karakteristik substrat merupakan faktor pembatas kehidupan mangrove. Jenis substrat sangat mempengaruhi susunan jenis dan kerapatan vegetasi mangrove yang hidup di atasnya. Semakin cocok substrat untuk vegetasi mangrove jenis tertentu dapat dilihat dari seberapa rapat

Karakteristik substrat merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan mangrove. Tekstur dan konsentrasi ion serta kandungan bahan organik pada subtrat sedimen mempunyai susunan jenis dan kerapatan tegakan misalnya jika komposisi substrat lebih banyak liat (clay) dan lanau (silt) maka tegakan menjadi lebih rapat (Darmadi, 2012).

Sebagian besar spesies mangrove tumbuh baik di tanah berlumpur, yaitu pada daerah di mana lumpur terakumulasi, baik untuk perkembangan Rhizophora mucronata dan Avicennia marina. Hutan yang didominasi oleh Bruguiera sering bersubstrat tanah lumpur dalam. Spesies tertentu seperti R. stylosa tumbuh baik pada substrat pasir dan bahkan dapat tumbuh di pulau- pulau karang dengan substrat pecahan karang dan kerang. Bahkan, R. stylosa dan S. alba biasa tumbuh pada substrat berpasir dan bahkan pantai berbatu. Substrat berlumpur sangat baik untuk tegakan R. mucronata dan A. marina. Di kondisi tertentu mangrove juga dapat tumbuh pada daerah pantai bergambut misalnya di Florida, Amerika Serikat (Giesen, 2007).

2.1.6 Zona Ekosistem mangrove

Menurut Kordi (2012) membagi zona mangrove berdasarkan jenis pohon ke dalam enam zona, yaitu :

1. Zona perbatasan dengan daratan;

2. Zona semak-semak tumbuhan Ceriops;

3. Zona hutan Bruguiera;

4. Zona hutan Rhizophora;

5. Zona Avicennia yang menuju ke laut; dan

6. Zona Sonneratia. Terdapat lima faktor utama yang mempengaruhi zonasi mangrove di kawasan pantai tertentu, yaitu : (1) gelombang, yang menentukan frekuensi tergenang; (2) salinitas, yang berkaitan dengan hubungan osmosis mangrove; (3) substrat; (4) pengaruh darat, seperti aliran air masuk dan rembesan air 6. Zona Sonneratia. Terdapat lima faktor utama yang mempengaruhi zonasi mangrove di kawasan pantai tertentu, yaitu : (1) gelombang, yang menentukan frekuensi tergenang; (2) salinitas, yang berkaitan dengan hubungan osmosis mangrove; (3) substrat; (4) pengaruh darat, seperti aliran air masuk dan rembesan air

Menurut Purnamabasuki dalam Ghufran dan Kordi (2012), pembagian hutan bakau juga di bedakan berdasrkan struktur ekosistemnya, yang secara garis besar dibagi menjadi tiga formasi), sebagai berikut :

1. Hutan Bakau Pantai, pada tipe ini pengaruh air laut lebih dominan dari air sungai. Struktur horizontal formasi ini dari arah laut kedarat dimulai dari pertumbuhan Pedada diikuti oleh komunitas campuran Pedada, Api-api, Bakau, selanjutnya komunitas murni Bakau dan akhirnya komunitas campuran Lacang.

2. Hutan Bakau Mura, pada tipe ini pengaruh air laut sama kuat dengan pengaruh air sungai. Hutan bakau muara dicirikan Bakau ditepian alur di ikuti komunitas campuran Bakau-Lacang dan diakhiri dengan komunitas murni Nipah.

3. Mangrove Sungai, pada tipe ini pengaruh air sungai lebih dominan dari pada air laut dan berkembang pada tepian sungai yang relatif jauh dari muara. Pada tipe ini hutan bakau banyak ber asosiasi dengn komunitas tumbuhan daratan.

2.1.7 Identifikasi Mangrove

Pengamatan di hutan tropis, vegetasi di habitat mangrove relatif lebih mudah, karena terbatasnya jenis tumbuhan serta sifat perbungaannya yang tidak terlalu musiman. Hal ini berarti bahwa hampir setiap saat dapat ditemukan pohon yang memiliki bunga atau buah yang akan memudahkan identifikasi jenis pohon. Lebih dari itu, tumbuhan pada habitat mangrove tidaklah setinggi pohon-pohon di hutan hujan tropis. Meskipun demikian, pengamatan pada habitat mangrove juga memiliki kesulitan tersendiri (Haris, 2014).

Sebagian besar bentuk pohonnya memiliki kesamaan, sehingga pengamat harus memfokuskan perhatiannya pada perbedaan kulit kayu, tipe akar serta bunga/buahnya. Jika waktu pengamatan tidak memungkinkan, perlu dibuat koleksi tumbuhan, yakni dengan mengambil daun, bunga, dan buah dari pohon yang akan diidentifikasi. Identifikasi dapat dilakukan kemudian di Sebagian besar bentuk pohonnya memiliki kesamaan, sehingga pengamat harus memfokuskan perhatiannya pada perbedaan kulit kayu, tipe akar serta bunga/buahnya. Jika waktu pengamatan tidak memungkinkan, perlu dibuat koleksi tumbuhan, yakni dengan mengambil daun, bunga, dan buah dari pohon yang akan diidentifikasi. Identifikasi dapat dilakukan kemudian di

2.1.8 Metode Pengambilan Data Mangrove

Transek merupakan garis sampling yang ditarik menyilang pada sebuah bentukkan atau beberapa bentukan. Transek juga dapat dipakai dalam studi altituide dan mengetahui perubahan komunitas yang ada. Transek adalah jalur sempit meintang lahan yang akan dipelajari/diselidiki. Metode Transek bertujuan untuk mengetahui hubungan perubahan vegetasi dan perubahan lingkungan serta untuk mengetahui hubungan vegeterasi yang ada disuatu lahan secara cepat (Kordi, 2012).

Metode yang digunakan untuk pengambilan data adalah metode Line Transec dan belt transec. Tujuannya adalah untuk mengetahui hubungan perubahan vegetasi dan perubahan lingkungan, atau untuk mengetahui jenis vegetasi yang ada di suatu lahan secara cepat. Dalam hal ini, apabila vegetasi sederhana maka garis yang digunakan semakin pendek (Kordi, 2012).

2.1.9 Faktor Eksternal dan Internal Pertumbuhan Mangrove

Menurut Alwidakdo (2014), menjelaskan bahwa faktor eksternal pengaruh pertumbuhan mangrove dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove di suatu lokasi adalah: fisiografi pantai (topografi), pasang (lama, durasi, rentang), gelombang dan arus, iklim (cahaya, curah hujan, suhu, angin), salinitas, oksigen terlarut, tanah, dan hara sedangkan

f aktor internal terkait dengan kemampuan genetika dan perkembangbiakan tanaman serta aktivitas tanaman bakau sendiri seperti terkait dengan genetika atau spesiesnya, kemampuan adaptasi, kemampuan perkawinan silang, kemampuan mutasi dan modifikasi, serta kekmapuan melakukan penyebaran dari jenis tanaman bakau atau faktor biologis tanaman ini biasanya secara rinci dijelaskan oleh para ahli biologis.

Menurut Alwidakdo (2014), faktor-faktor lingkungan tersebut diuraikan sebagai berikut:

a. Fisiografi pantai Fisiografi pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi spesies dan lebar hutan mangrove. Pada pantai yang landai, komposisi ekosistem a. Fisiografi pantai Fisiografi pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi spesies dan lebar hutan mangrove. Pada pantai yang landai, komposisi ekosistem

b. Pasang Pasang yang terjadi di kawasan mangrove sangat menentukan zonasi tumbuhan dan komunitas hewan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Secara rinci pengaruh pasang terhadap pertumbuhan mangrove yaitu lama pasang, durasi pasang, rentang pasang (tinggi pasang).

c. Gelombang dan Arus Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove. Pada lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar biasanya hutan mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan luasan hutan. Gelombang dan arus juga berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies misalnya buah atau semai rhizophora terbawa gelombang dan arus sampai menemukan substrat yang sesuai untuk menancap dan akhirnya tumbuh. Gelombang dan arus berpengaruh tidak langsung terhadap sedimentasi pantai dan pembentukan padatan- padatan pasir di muara sungai. Terjadinya sedimentasi dan padatan- padatan pasir ini merupakan substrat yang baik untuk menunjang pertum- buhan mangrove.

d. Iklim Pengaruh iklim terhadap pertumbuhan mangrove melalui cahaya, curah hujan, suhu dan angin. Penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut adalah cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi, dan struktur fisik mangrove. Intensitas, kualitas, lama (mangrove adalah tumbuhan long day plants yang membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi sehingga sesuai untuk hidup di daerah tropis) pencahayaan mempengaruhi pertumbuhan mangrove. Laju pertumbuhan tahunan mangrove yang berada dibawah naungan sinar matahari lebih kecil dan d. Iklim Pengaruh iklim terhadap pertumbuhan mangrove melalui cahaya, curah hujan, suhu dan angin. Penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut adalah cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi, dan struktur fisik mangrove. Intensitas, kualitas, lama (mangrove adalah tumbuhan long day plants yang membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi sehingga sesuai untuk hidup di daerah tropis) pencahayaan mempengaruhi pertumbuhan mangrove. Laju pertumbuhan tahunan mangrove yang berada dibawah naungan sinar matahari lebih kecil dan

Produksi daun baru Avicennia marina terjadi padasuhu 18-20 o C dan jika suhu lebih tinggi maka produksi menjadi berkurang, Rhizophora stylosa,

Ceriops, Excocaria, Lumnitzera tumbuh optimal pada suhu 26-28 o C. Angin mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus. Angin merupakan

agen polinasi dan diseminasi biji sehingga membantu terjadinya proses reproduksi tumbuhan mangrove.

e. Salinitas Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar antara 10-30 ppt. Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan zonasi mangrove, hal ini terkait dengan frekuensi penggenangan. Salinitas air akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan dalam keadaan pasang. Salinitas air tanah lebih rendah dari salinitas air

2.1.10 Kondisi Mangrove di Patai Utara Jawa

Menurut Setyawan (2007), menjelaskan bahwa pantai utara Jawa Barat merupakan lokasi yang sangat potensial untuk pertumbuhan mangrove. Kawasan ini menjadi muara sekurang-kurangnya 15 sungai besar dan panjang, seperti Citarum, Cimanuk, Ciujung, dan Cisadane, sehingga menjamin terbentuk dataran lumpur yang cukup luas dan kontinyu. Kawasan ini telah lama dikenal sebagai tempat persinggahan terbesar burung-burung air yang bermigrasi dari daratan.

Mangrove di pantai utara Jawa Tengah juga terbentuk pada dataran lumpur di muara-muara sungai. Namun nilai penting kawasan ini lebih rendah di banding pantai utara kedua propinsi tetangganya mengingat luasannya yang jauh lebih sempit, akibat pendeknya sungai-sungai yang bermuara ke pantai ini. Sebaliknya Jawa Tengah memiliki ekosistem mangrove yang sangat penting di pantai selatan,. Segara Anakan merupakan hutan mangrove yang Mangrove di pantai utara Jawa Tengah juga terbentuk pada dataran lumpur di muara-muara sungai. Namun nilai penting kawasan ini lebih rendah di banding pantai utara kedua propinsi tetangganya mengingat luasannya yang jauh lebih sempit, akibat pendeknya sungai-sungai yang bermuara ke pantai ini. Sebaliknya Jawa Tengah memiliki ekosistem mangrove yang sangat penting di pantai selatan,. Segara Anakan merupakan hutan mangrove yang

Seluruh muara sungai di pantai selatan Jawa mulai dari teluk Pacitan hingga muara sungai Donan dan Segara Anakan menemukan 29 spesies mangrove, terdiri dari 9 spesies mayor, 2 spesies minor dan 18 spesies tumbuhan asosiasi, dimana Sonneratia alba, Rhizophora mucronata, Avicennia alba dan Nypa fruticans merupakan spesies yang paling sering dite- mukan.Kawasan Segara Anakan juga menjadi tempat perlindungan burung migran dari Asia, antara lain trinil (Tringa stagnita), grajahan (Numentus spp), dan cerek (Charadrius javanicum). Berdasarkan kondisi lingkungannya hu-tan mangrove Segara Anakan dapat dikelompokkan dalam zona akresi, zona alami, dan zona terpolusi minyak (Setyawan, 2007).

2.2 Lamun

2.2.1 Definisi Lamun

Tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang mampu beradaptasi secara penuh di perairan yang salinitasnya cukup tinggi atau hidup terbenam di dalam air adalah lamun. Lamun memiliki rizhoma, daun, dan akar sejati seperti halnya tumbuhan di darat. Lamun adalah tumbuhan laut yang hidup pada ekosistem padang lamun (Seagrass Bed) terutama di daerah tropis dan subtropis. Komunitas lamun memegang peranan penting baik secara ekologis, maupun biologis di daerah pantai dan estuaria. Disamping itu juga mendukung aktifitas perikanan, komunitas kerang-kerangan dan biota avertebrata lainnya (Gosar dan Haris, 2012).

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (angiospermae) yang tumbuh dan berkembang dengan baik di lingkungan laut dangkal hingga sampai kedalaman 40 meter, membentuk kelompok – kelompok kecil hingga padang yang sangat luas dan dapat membentuk vegetasi tunggal yang terdiri Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (angiospermae) yang tumbuh dan berkembang dengan baik di lingkungan laut dangkal hingga sampai kedalaman 40 meter, membentuk kelompok – kelompok kecil hingga padang yang sangat luas dan dapat membentuk vegetasi tunggal yang terdiri

Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut serta beradaptasi secara penuh di perairan yang salinitasnya cukup tinggi. Beberapa ahli juga mendefenisikan lamun (seagrass) sebagai tumbuhan air berbunga, hidup di dalam air laut, berpembuluh, berdaun, berimpang, berakar serta berkembang biak dengan biji dan tunas (Wirawan, 2014).

Padang lamun merupakan ekosistem laut dangkal yang didominasi oleh vegetasi lamun. Ekosistem padang lamun memiliki peran penting dalam ekologi kawasan pesisir, karena menjadi habitat berbagai biota laut termasuk menjadi tempat mencari makan (feeding ground) bagi penyu hijau, dugong, ikan, echinodermata dan gastropoda. Peran lain adalah menjadi barrier (penghalang) bagi ekosistem terumbu karang dari ancaman sedimentasi yang berasal dari daratan (Poedjirahajoe, 2013).

2.2.2 Ekosistem Lamun

Menurut Dwintasari (2009), ekosistem lamun di Indonesia di jumpai pada daerah pasang surut (inner intertidal ) dan dibawahnya (upper subtidal). Dilihat dari pola zonasi lamun secara horizontal, ekosistem lamun terletak diantara dua ekosistem penting yaitu ekosistem terumbu karang dan mangrove. Ekosistem lamun berhubungan erat dan berinteraksi dengan mangrove dan terumbu karang serta sebagai mata rantai dan penyangga (buffer) bagi kedua ekosistem tersebut. Interaksi ketiga kelompok ini yaitu, interaksi fisik, nutrien dan zat organik melayang, ruaya hewan dan dampa kegiatan manusia.

Lamun tumbuh subur terutama di daerah pasang surut terbuka serta perairan pantai yang dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil, dan patahan Lamun tumbuh subur terutama di daerah pasang surut terbuka serta perairan pantai yang dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil, dan patahan

Menurut Poedjirahajoe, (2013) menjelaskan bahwa terkait dengan perubahan iklim (climate change), padang lamun menjadi salah satu ekosistem yang terkena dampak paling nyata. Padang lamun menghilang terutama di bagian mulut muara sungai dan di perairan dangkal. Penyebab utama hal tersebut adalah meningkatnya suhu, utamanya di beberapa tempat di habitat perairan dangkal. Peningkatan suhu berpengaruh terhadap agihan (distribution) dan proses reproduksi lamun. Selain suhu, faktor lain yang berpengaruh adalah meningkatnya sedimentasi dan resuspensi sedimen akibat tingginya curah hujan dan frekuensi banjir dari sungai. Padang lamun mempunyai agihan yang sangat luas, karena dapat dijumpai di perairan tropis maupun sub-tropis.

2.2.3 Flora dan Fauna Lamun

Indonesia mempunyai luas padang lamun sekitar 30.000 Km2. Padang lamun yang begitu luas memungkinkan banyaknya biota yang hidup berasosiasi dengan lamun seperti alga, moluska, krustasea, enchinodermata, mamalia dan ikan. Padang lamun banyak di huni oleh ikan-ikan baik tinggal menetap, sementara maupun mengunjungi untuk mencari makan atau melindungi diri dari pemangsa. Peranan lamun begitu besar namun sering kali ekosistem ini kurang mendapat perhatian (Kuriandewa, 2009).

Menurut Rappe (2010), menjelaskan bahwa identifikasi 7 karakteristik utama kumpulan ikan yang berasosiasi dengan lamun yaitu: (1) Keanekaragaman dan kelimpahan ikan di padang lamun biasanya lebih tinggi daripada yang berdekatan dengan substrat kosong, (2) Lamanya asosiasi ikan- lamun berbeda-beda diantara spesies dan tingkatan siklus hidup, (3) Sebagian besar asosiasi ikan dengan padang lamun didapatkan dari plankton, jadi padang lamun adalah daerah asuhan untuk banyak spesies yang mempunyai nilai Menurut Rappe (2010), menjelaskan bahwa identifikasi 7 karakteristik utama kumpulan ikan yang berasosiasi dengan lamun yaitu: (1) Keanekaragaman dan kelimpahan ikan di padang lamun biasanya lebih tinggi daripada yang berdekatan dengan substrat kosong, (2) Lamanya asosiasi ikan- lamun berbeda-beda diantara spesies dan tingkatan siklus hidup, (3) Sebagian besar asosiasi ikan dengan padang lamun didapatkan dari plankton, jadi padang lamun adalah daerah asuhan untuk banyak spesies yang mempunyai nilai

2.2.4 Zonasi Lamun

Sebaran zonasi lamun dari pantai kearah tubir secara umum berkesinambungan, namun bisa terdapat perbedaan pada komposisi jenis maupun luas penutupannya. Ekosistem lamun dapat berupa vegetasi tunggal berupa vegetasi tunggal yang tersusun atas satu jenis lamun dengan membentuk padang lebat. Vegetasi campuran terdiri dua sampai 12 jenis lamun yang tumbuh bersama-sama pada satu substrat. Spesies lamun yang biasanya tumbuh dengan vegetasi tunggal adalah Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophilla ovalis, Holodule uninervis, Cymodocea serrulata, dan Thalassodendron ciliatum . Pada substrat berlumpur di daerah mangrove kearah laut sering di jumpai padang lamun dari spesies tunggal yang berasosiasi tinggi (Feryatun, 2012).

Sementara padang lamun vegetasi campuran terbentuk didaerah daerah yang berada didekat pantai yang lebih rendah dan subtidal yang dangkal. Padang lamun tumbuh dengan baik di daerah perlindungan serta substrat berpasir dan stabil. Untuk perairan tropis seperti Indonesia padang lamun lebih dominan tumbuh dengan koloni yang terdiri dari beberapa jenis (mix species) pada suatu kawasan tertentu. Berbeda dengan kawasan temperate atau daerah dingin yang kebanyakan di dominasi satu jenis lamun (single species). Penyebaran lamun memang sangat bervariasi tergantung pada topografi pantai dan pola pasang surut (Feryatun, 2012).

Berdasarkan keadaan pasang surut membagi lamun yang tumbuh menjadi dua zona, yaitu zona intertidal dan daerah yang berada jauh pantai . Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi oleh Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia, Sedangkan Thalassodendron ciliatum mendominasi zona daerah yang berada jauh pantai (Fahruddin et al., 2017).

2.2.5 Kegunaan Ekosistem Lamun

Secara ekologis, lamun dapat berperan sebagai stabilisator sedimen karena mampu melindungi terumbu karang dari sedimentasi dengan ciri khas akar rizomanya. Padang lamun juga dapat berperan sebagai filtrasi air serta pendukung utama kehidupan perikanan dan unggas air di pesisir pantai. Padang lamun mampu mengambil nutrient melalui daun serta sistem akarnya, dan pada umumnya di daerah tropis konsentrasi nutrient terlarut dalam air laut agak rendah (sering di bawah batas yang dapat dideteksi), sementara konsentrasi air poros dalam sedimen biasanya sangat tinggi. Pengambilan nutrient dari kolom air oleh daun lamun dapat dianggap tidak terlalu penting jika dibandingkan dengan pengambilan nutrien oleh akar dari sedimen (Tahril, 2011).

Salah satu komunitas penyusun ekosistem pesisir pantai yaitu padang lamun, memiliki fungsi ekologis dan bernilai ekonomi, juga merupakan habitat dengan biodiversitas biota laut yang tinggi. Fungsi ekologis ekosistem lamun antara lain sebagai tempat pembenihan berbagai jenis ikan, tempat berbagai biota laut mencari makan, menghubungkan habitat darat dan habitat laut lainnya, dan menstabilkan sedimen untuk mencegah erosi pesisir pantai, dll. Padang lamun juga memiliki fungsi utama yang dapat dipertimbangkan yaitu sebagai penyimpan karbon. Waktu pergantian komponen lamun yang relatif lama, terutama pada jenis lamun yang berukuran besar, dan kemampuan lamun menyimpan kelebihan produksi karbon di dalam sedimen, serta kemampuan akumulasi jangka panjang yang relatif besar menjadikan peran padang lamun dalam menyimpan cadangan karbon (carbon stock) lebih signifikan dibandingkan pengukuran berdasarkan luas tutupan dan produksi primer bersih saja. Dengan demikian, padang lamun dapat berperan sebagai reservoir karbon (Rahmawati, 2011).

2.2.6 Identifikasi Lamun

Identifikasi di lapangan dilakukan dengan mengamati sampel secara morfologis dan mencocokkannya dengan gambar/foto jenis lamun, kunci identifikasi atau ciri yang diuraikan dalam buku acuan. Sedangkan di laboratorium, dilakukan pengamatan secara morfologis dengan kaca pembesar atau menggunakan mikroskop binokuler dengan perbesaran 10 x 10 dan 10 x

40. Mikroskop umumnya digunakan untuk mengamati ujung daun dan pola urat daun yang menjadi ciri utama untuk mengidentifikasi beberapa jenis lamun, khususnya marga Halodule dan Halophila. Buku yang dijadikan acuan untuk mengidentifikasi sampel adalah buku dari Den Hartog (Priosambodo, 2007).

2.2.7 Metode Pengambilan Data Lamun

Menurut Azkab (2008), sebaran lamun dilakukan pengamatan dengan metode garis transek (transect line method) yang tegak lurus dari pinggir pantai. Sebelum melaksanakan pengamatan transek, lebih dahulu dilakukan pengamatan pengenalan lapangan pada daerah yang akan diteliti untuk menentukan titik-titik transek. Pada transek tersebut ditarik meteran (rol meter) yang biasanya sepanjang 50 meter atau 100 meter. Lamun yang dilalui meteran tersebut dicatat jenisnya, komposisinya (tunggal atau campuran). Dicatat jarak sebaran lamun, dicatat kedalaman air pada saat melakukan pengamatan.

Transek dilakukan tegak lurus dari pinggir pantai sampai ke daerah yang tidak ditemukan lamun. Jarak transek satu dengan yang lainnya dan jarak satu titik dengan titik lainnya pada satu transek tergantung pada luas yang diamati atau diteliti. Jarak transek yang satu dengan yang lain terdapat 250 meter, 500 meter, 1000 meter atau 1500 meter. Sedangkan jarak titik yang satu dengan titk yang lain pada satu transek dapat 25 meter atau 50 meter tergantung lebar padang lamun yang diamati. Pada setiap titik diambil contoh dengan menggunakan bingkai (frame) 25 x 25 cm sebanyak empat kali. Contoh lamun diambil seluruhnya (akar, rimpang dan daun). Kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik yang biasanya di beri formalin dengan konsentrasi 5%. Contoh- contoh lamun tersebut diberi tanda (label) dan dibawa ke laboratorium. Pengambilan contoh lamun untuk telaah kerapatan jenis dan biomassa lamun Transek dilakukan tegak lurus dari pinggir pantai sampai ke daerah yang tidak ditemukan lamun. Jarak transek satu dengan yang lainnya dan jarak satu titik dengan titik lainnya pada satu transek tergantung pada luas yang diamati atau diteliti. Jarak transek yang satu dengan yang lain terdapat 250 meter, 500 meter, 1000 meter atau 1500 meter. Sedangkan jarak titik yang satu dengan titk yang lain pada satu transek dapat 25 meter atau 50 meter tergantung lebar padang lamun yang diamati. Pada setiap titik diambil contoh dengan menggunakan bingkai (frame) 25 x 25 cm sebanyak empat kali. Contoh lamun diambil seluruhnya (akar, rimpang dan daun). Kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik yang biasanya di beri formalin dengan konsentrasi 5%. Contoh- contoh lamun tersebut diberi tanda (label) dan dibawa ke laboratorium. Pengambilan contoh lamun untuk telaah kerapatan jenis dan biomassa lamun

2.2.8 Faktor Lingkungan Pertumbuhan Lamun

Menurut (Wirawan, 2014), factor lingkungan pertumbuhan lamun yaitu sebagi berikut :

a. Temperatur Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap ekosistem lamun. Suhu juga menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan dan distribusi lamun. Perubahan suhu mempengaruhi metabolisme, penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun. Pada kisaran suhu 25-30°C fotosintesis bersih pada lamun akan meningkat dengan meningkatnya suhu. Suhu rata-rata untuk pertumbuhan lamun berkisar antara 24-27°C.

b. Salinitas Kisaran salinitas yang dapat ditolerir tumbuhan lamun adalah 10 –40‰ dan nilai optimumnya adalah 35‰. Penurunan salinitas akan menurunkan kemampuan lamun untuk melakukan fotosintesis. Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi juga terhadap jenis dan umur lamun. Lamun yang tua dapat mentoleransi fluktuasi salinitas yang besar. Salinitas juga berpengaruh terhadap biomassa, produktivitas, kerapatan, lebar daun dan kecepatan pulih. Salah satu faktor yang menyebabkan rusaknya ekosistem padang lamun adalah meningkatnya salinitas.

c. Kecerahan Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan. Kecerahan dan kekeruhan air dalam suatu perairan dipengaruhi oleh jumlah cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan atau disebut juga dengan intensitas cahaya matahari. Cahaya matahari di dalam air berfungsi terutama untuk kegiatan asimilasi fitolankton dan tumbuhan lamun di dalam air, oleh karena itu, daya tembus cahaya ke dalam air sangat menentukan tingkat kesuburan air. Kecerahan cahaya matahari mencapai dasar (0,733 meter pada sampling

I dan 0,62 meter pada sampling ke II) sehingga lamun dapat memanfaatkan sinar matahari dengan sempurna.

d. Kedalaman Faktor kedalaman suatu perairan tentunya akan sangat berpengaruh terhadap kondisi suatu organisme. fluktuatif kedalaman suatu perairan berpengaruh kepada nilai tekanan perairan, suhu air, kecerahan, nutrien dan sebagainya. Kedalaman perairan lokasi penelitian di Pulau Parang pada bulan September 2012 adalah 0,62 meter yang cenderung menurun dibandingkan di bulan Juni (0,73 meter), hal ini tentunya didasari oleh faktor pasang-surut perairan laut lokasi penelitian. Tidak ada gangguan bagi sinar matahari untuk masuk ke perairan sehingga tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan lamun. Satusatunya faktor yang dapat menghalangi ekosistem lamun untuk tertembus oleh cahaya matahari adalah adukan sedimen disekitarnya, bukan dipengaruhi kedalaman.

e. Nutrien Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien bagi pertumbuhan lamun. Nitrat sangat mudah larut dalam air dan memiliki sifat stabil. Senyawa ini dihasilkan oleh proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Nitrifikasi yang merupakan proses oksidasi ammonia menjadi nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen. Untuk mengelompokkan tingkat kesuburan perairan dapat digunakan nitrat. Perairan oligotrofik memiliki kadar nitrat antara 0 –5 mg/L, perairan mesotrofik memiliki kadar nitrat antara 1 –5 mg/L, dan perairan eutrofik memiliki kadar nitrat yang berkisar antara 5 –50 mg/L. Nitrat dapat diserap oleh lamun melalui akar dan daun. Rhizoma dan akar lamun yang mati akan menambah kandungan nitrat dalam sedimen. Kandungan nitrat dalam kandungan perairan laut rata-rata 25 ppm. Nitrat juga dapat digunakan untuk mengelompokkan tingkat kesuburan perairan. Fosfat merupakan salah satu unsur esensial bagi metabolism dan pembentukan protein, fosfat yang diserap oleh jasad hidup nabati perairan adalah fosfat dalam bentuk orto-fosfat yang larut dalam air. Orto-fosfat e. Nutrien Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien bagi pertumbuhan lamun. Nitrat sangat mudah larut dalam air dan memiliki sifat stabil. Senyawa ini dihasilkan oleh proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Nitrifikasi yang merupakan proses oksidasi ammonia menjadi nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen. Untuk mengelompokkan tingkat kesuburan perairan dapat digunakan nitrat. Perairan oligotrofik memiliki kadar nitrat antara 0 –5 mg/L, perairan mesotrofik memiliki kadar nitrat antara 1 –5 mg/L, dan perairan eutrofik memiliki kadar nitrat yang berkisar antara 5 –50 mg/L. Nitrat dapat diserap oleh lamun melalui akar dan daun. Rhizoma dan akar lamun yang mati akan menambah kandungan nitrat dalam sedimen. Kandungan nitrat dalam kandungan perairan laut rata-rata 25 ppm. Nitrat juga dapat digunakan untuk mengelompokkan tingkat kesuburan perairan. Fosfat merupakan salah satu unsur esensial bagi metabolism dan pembentukan protein, fosfat yang diserap oleh jasad hidup nabati perairan adalah fosfat dalam bentuk orto-fosfat yang larut dalam air. Orto-fosfat

f. Substrat Keberadaan substrat sangat penting bagi lamun karena kedalaman substrat berperan dalam menjaga stabilitas sedimen yang mencakup dua hal yaitu pelindung tanaman dari arus air laut dan tempat pengolahan serta pemasok nutrien. Kedalaman sedimen yang cukup merupakan kebutuhan utama untuk pertumbuhan dan perkembangan habitat lamun Lamun juga hidup tergantung dari jenis substrat yaitu rataan terumbu, paparan terumbu, teluk dangkal yang didominasi oleh pasir hitam terigenous dan pantai intertidal datar yang didominasi oleh lumpur halus. Banyaknya dinamika terhadap kondisi lamun dan substrat yang terjadi dilokasi daerah sebong pereh, maka perlu dilakukan kajian terhadap tutupan lamun berdasarkan jenis substrat. Lamun dapat ditemukan pada berbagai karakteristik substrat. Padang lamun di Indonesia dikelompokkan ke dalam enam kategori berdasarkan karakteristik tipe substratnya, yaitu lamun yang hidup di substrat lumpur, lumpur berpasir, pasir, pasir berlumpur, puing karang, dan batu karang. Hampir semua jenis lamun dapat tumbuh pada berbagai substrat, kecuali pada Thalassodendron ciliatum yang hanya dapat hidup pada substrat karang batu. Terdapat perbedaan antara komunitas lamun dalam lingkungan sedimen karbonat dan sedimen terrigen dalam hal struktur, kerapatan, morfologi dan biomassa lamun. Data visual substrat diambil dari setiap titik sampling yang meliputi: tipe substrat (pasir, lumpur, pasir-berlumpur, lumpur berpasir, pecahan karang, dan sebagainya). Pada masing-masing garis transek diambil tiga (3) contoh sedimen dari tiga (3) titik sampling yang mewakili, sehingga diperoleh sembilan (9) sampel. Sampel substrat diambil pada lokasi atau titik yang sudah ditentukan dan diplotkan pada peta f. Substrat Keberadaan substrat sangat penting bagi lamun karena kedalaman substrat berperan dalam menjaga stabilitas sedimen yang mencakup dua hal yaitu pelindung tanaman dari arus air laut dan tempat pengolahan serta pemasok nutrien. Kedalaman sedimen yang cukup merupakan kebutuhan utama untuk pertumbuhan dan perkembangan habitat lamun Lamun juga hidup tergantung dari jenis substrat yaitu rataan terumbu, paparan terumbu, teluk dangkal yang didominasi oleh pasir hitam terigenous dan pantai intertidal datar yang didominasi oleh lumpur halus. Banyaknya dinamika terhadap kondisi lamun dan substrat yang terjadi dilokasi daerah sebong pereh, maka perlu dilakukan kajian terhadap tutupan lamun berdasarkan jenis substrat. Lamun dapat ditemukan pada berbagai karakteristik substrat. Padang lamun di Indonesia dikelompokkan ke dalam enam kategori berdasarkan karakteristik tipe substratnya, yaitu lamun yang hidup di substrat lumpur, lumpur berpasir, pasir, pasir berlumpur, puing karang, dan batu karang. Hampir semua jenis lamun dapat tumbuh pada berbagai substrat, kecuali pada Thalassodendron ciliatum yang hanya dapat hidup pada substrat karang batu. Terdapat perbedaan antara komunitas lamun dalam lingkungan sedimen karbonat dan sedimen terrigen dalam hal struktur, kerapatan, morfologi dan biomassa lamun. Data visual substrat diambil dari setiap titik sampling yang meliputi: tipe substrat (pasir, lumpur, pasir-berlumpur, lumpur berpasir, pecahan karang, dan sebagainya). Pada masing-masing garis transek diambil tiga (3) contoh sedimen dari tiga (3) titik sampling yang mewakili, sehingga diperoleh sembilan (9) sampel. Sampel substrat diambil pada lokasi atau titik yang sudah ditentukan dan diplotkan pada peta

2.2.9 Sebaran dan Jenis Lamun di Indonesia

Lamun di seluruh dunia, 12 jenis diantaranya dapat ditemukan di Indonesia. Jumlah spesies yang rendah ini cukup mengejutkan, mengingat jumlah spesies lamun di Filipina dan Australia (tropis) masing-masing mencapai 16 dan 15 jenis, sehingga diperkirakan masih ada beberapa jenis lamun lainnya yang diduga kuat berada di Indonesia namun belum pernah dilaporkan akibat kurangnya aktifitas penelitian tentang biogeografi lamun. Salah satu contoh adalah Halophila beccari. Jenis lamun yang tumbuh di Singapura dan Malaysia ini, diduga kuat juga terdapat di Indonesia namun keberadaannya belum pernah dilaporkan (Priosambodo,2007).

Beberapa jenis lamun seperti Halophila spinulosa dan Halophila decipiens memiliki daerah sebaran yang sangat terbatas di Indonesia. Kedua jenis lamun tersebut hidup di rataan terumbu yang dalam dengan kisaran kedalaman 3 - 50 m.Penelitian yang lebih intensif dengan daerah yang lebih luas dan peralatan yang lebih menunjang (SCUBA) perlu dilakukan untuk memperoleh data yang lebih akurat tentang penyebaran jenis-jenis lamun di Indonesia (Priosambodo, 2007).

2.3 Terumbu Karang

2.3.1 Definisi Karang

Binatang karang adalah pembentuk utama ekosistem terumbu karang. Binatang karang yang berukuran sangat kecil, disebut polip, yang dalam jumlah ribuan membentuk koloni yang dikenal sebagai karang (karang batu

atau karang lunak). Dalam peristilahan ‘terumbu karang’, “karang” yang dimaksud adalah koral sekelompok hewan dari ordo Scleractinia yang menghasilkan kapur sebagai pembentuk utama terumbu, sedangkan Terumbu adalah batuan sedimen kapur di laut, yang juga meliputi karang hidup dan karang mati yang menempel pada batuan kapur tersebut. Sedimentasi kapur di terumbu dapat berasal dari karang maupun dari alga. Secara fisik terumbu atau karang lunak). Dalam peristilahan ‘terumbu karang’, “karang” yang dimaksud adalah koral sekelompok hewan dari ordo Scleractinia yang menghasilkan kapur sebagai pembentuk utama terumbu, sedangkan Terumbu adalah batuan sedimen kapur di laut, yang juga meliputi karang hidup dan karang mati yang menempel pada batuan kapur tersebut. Sedimentasi kapur di terumbu dapat berasal dari karang maupun dari alga. Secara fisik terumbu

2.3.2 Ekosistem Terumbu Karang

Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Ekosistem ini terdapat di laut dangkal yang hangat dan bersih, dan merupakan perairan paling produktif di perairan laut tropis, serta memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi (Salam, 2013).

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang krusial di perairan laut dangkal terutama wilayah pesisir karena memiliki potensi berbagai jenis sumberdaya yang penting untuk kehidupan manusia. Oleh karena itu menjadi penting untuk memastikan bahwa ekosistem pesisir ini terbebas atau sesedikit mungkin mengalami pengaruh dari daratan yang dapat menimbulkan kerusakan (Salam, 2013).

2.3.3 Klasifikasi Karang Berdasarkan Bentuk Pertumbuhan (Life Form)

Berdasarkan bentuknya karang dapat diklasifikasikan menjadi Acropora dan non-Acropora. Bentuk pertumbuhan karang non-Acropora terdiri atas menurut (Nyabaken, 1992) :

a. Bentuk Bercabang (branching), memiliki cabang lebih panjang daripada diameter yang dimiliki, banyak terdapat di sepanjang tepi terumbu dan bagian atas lereng, terutama yang terlindungi atau setengah terbuka. Bersifat banyak memberikan tempat perlindungan bagi ikan dan invertebrata tertentu.

b. Bentuk Padat (massive), dengan ukuran bervariasi serta beberapa bentuk seperti bongkahan batu. Permukaan karang ini halus dan padat, biasanya ditemukan di sepanjang tepi terumbu karang dan bagian atas lereng terumbu.

c. Bentuk Kerak (encrusting), tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan permukaan yang kasar dan keras serta berlubang-lubang kecil, banyak terdapat pada lokasi yang terbuka dan berbatu-batu, terutama mendominasi sepanjang tepi lereng terumbu. Bersifat memberikan tempat berlindung untuk hewan-hewan kecil yang sebagian tubuhnya tertutup cangkang.

d. Bentuk lembaran (foliose), merupakan lembaranlembaran yang menonjol pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan atau melingkar, terutama pada lereng terumbu dan daerah-daerah yang terlindung. Bersifat memberikan perlindungan bagi ikan dan hewan lain.

e. Bentuk Jamur (mushroom), berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga pusat mulut.

f. Bentuk submasif (submassive), bentuk kokoh dengan tonjolan-tonjolan atau kolom-kolom kecil

g. Karang api (Millepora), semua jenis karang api yang dapat dikenali dengan adanya warna kuning di ujung koloni dan rasa panas seperti terbakar bila disentuh

h. Karang biru (Heliopora), dapat dikenali dengan adanya warna biru pada rangkanya.

2.3.4 Faktor Pertumbuhan Karang

Distribusi dan pertumbuhan ekosistem terumbu karang tergantung dari beberapa parameter fisika menurut (Nyabaken, 1992), yaitu :

a. Kecerahan atau cahaya Cahaya matahari merupakan salah satu parameter utama yang berpengaruh dalam pembentukan terumbu karang. Penetrasi cahaya

matahari merangsang zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang.