Terpaan “Reportase Investigasi” Dan Tingkat Kecemasan Ibu Rumah Tangga(StudiKorelasional Tentang Terpaan “Reportase Investigasi” Trans Tv Terhadap Tingkat Kecemasan Ibu Rumah Tangga Di Lingkungan Iv Kelurahan Besar Kecamatan Medan Labuhan)

BAB II URAIAN TEORITIS

2.1 Kerangka Teori

  Kerangka teori adalah bagian dari penelitian, tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel pokok, sub variabel atau pokok masalah yang ada dalam penelitiannya (Arikunto, 1998:93).

  Adapun teori-teori yang dianggap relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

2.1.1 Komunikasi Komunikasi merupakan sebuah kata yang sering kita dengar sehari-hari.

  Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari kata Latin

  

“communis” yang berarti “sama”, communico, communicato, atau communicare,

  yang berarti ”membuat sama” (to make common). Jadi komunikasi terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh si pengirim pesan (komunikator) kepada si penerima pesan (komunikan) (Effendy, 2005:3).

  Menurut Harold Lasswell, cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan berikut: ”Who Says What

  

InWhich Channel To Whom With What Effect?” (Siapa mengatakan apa dengan

saluran apa kepada siapa dengan pengaruh bagaimana?) (Fajar, 2009:32).

  Berdasarkan definisi diatas, dapat diturunkan lima unsur komunikasi yang saling bergantung satu dengan yang lain, yaitu : (Mulyana, 2007:141).

  1. Sumber (source), sering disebut sebagai pengirim (sender), penyandi

  (encoder) , komunikator (communicator), pembicara (speaker) atau

  originator. Sumber adalah pihak yang berinisiatif atau mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi, boleh jadi seorang individu, kelompok, organisasi, perusahaan atau bahkan suatu negara.

  2. Pesan,yaitu apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima.

  Pesan merupakan seperangkat simbol verbal dan/atau nonverbal yang mewakili nilai, gagasan, atau maksud sumber tadi. Pesan mempunyai tiga

  10 komponen: makna, simbol, bentuk. Simbol terpenting adalah kata-kata (bahasa), yang dapat merepresentasikan objek (benda), gagasan dan perasaan, baik ucapan maupun tulisan.

  3. Saluran atau media, yakni alat atau wahana yang digunakan sumber untuk menyampaikan pesannya kepada penerima. Pada dasarnya saluran komunikasi manusia adalah dua saluran, yakni cahaya dan suara. Saluran juga merujuk pada cara penyajian pesan ; apakah langsung (tatap-muka) atau lewat media cetak atau media elektronik (radio, televisi).

  4. Penerima (Reciever), sering juga disebut sasaran/ tujuan (destination), komunikate (communicatee), penyandi-balik (decoder) atau khalayak

  (audience), pendengar (listener), penafsir (interpreter), yakni orang yang

  menerima pesan dari sumber. Berdasarkan pengalaman masa lalu, rujukan nilai, pengetahuan, persepsi, pola pikir dan perasaan, penerima pesan ini menerjemahkan atau menafsirkan seperangkat simbol verbal dan/atau nonverbal yang diterima menjadi gagasan yang dapat dipahami. Proses ini disebut dengan penyandian balik (decoding).

  5. Efek, yaitu apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan tersebut,misalnya penambahan pengetahuan (dari yang tidak tahu menjadi tahu), terhibur, perubahan sikap (dari yang tidak setuju menjadi setuju), perubahankeyakinan, perubahan perilaku (dari yang tidak bersedia membeli menjadi bersedia). Mulyana mengatakan “komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama”. Namun, sampai sekarang belum ada definisi benar atau salah menyangkut definisi komunikasi. Komunikasi bisa diartikan secara luas yaitu interaksi antar dua makhluk hidup atau lebih, maupun definisi yang terlalu sempit yaitu komunikasi adalah penyampaian pesan melalui media elektronik. Sedangkan kata yang mirip dengan komunikasi adalah komunitas (community). Komunitas adalah sekelompok orang yang berkumpul atau hidup bersama untuk mencapai tujuan tertentu, dan mereka berbagi makna dan sikap. Tanpa komunikasi tidak akan ada komunitas (Mulyana, 2007 : 237).

  Arti yang lain menyebutkan komunikasi didefinisikan sebagai apa yang terjadi bila makna yang diberikan kepada suatu perilaku. Sedangkan makna adalah relatif bagi kita masing-masing, oleh karena kita masing-masing adalah seorang manusia yang unik dengan suatu latar belakang dan pengalaman-pengalaman yang unik pula (Rakhmat, 2000 : 13).

  Everett M. Rogersseorang pakar Sosiologi Pedesaan Amerika yang telah banyak memberi perhatian pada studi riset komunikasi, khususnya dalam hal penyebaran inovasi membuat defenisi bahwa: Komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Rogers mencoba menspesifikasikan hakikat suatu hubungan dengan adanya perubahan sikap dan tingkah laku serta kebersamaan dalam menciptakan saling pengertian dari orang-orang yang ikut serta dalam suatu proses komunikasi (Cangara, 2006:19).

  Para pakar Psikologi melihat komunikasi dalam pengertian fenomena

  

stimuli-respons, sebagaimana dikemukakan oleh Dance(1970). Komunikasi

  adalah pengungkapan respons malalui simbol-simbol verbal. Sedangkan Edwin Neiman (1984) mendefenisikan komunikasi sebagai suatu proses ketika sejumlah orang diubah menjadi kelompok yang berfungsi (Arifin, 2003:26).

  Jika kita berada dalam situasi komunikasi, maka kita memiliki beberapa kesamaan dengan orang lain, seperti kesamaan bahasa atau kesamaan arti dari simbol-simbol yang digunakan dalam berkomunikasi apa yang dinamakan Wilbur Schramm ”Frame of Rreference“ atau dalam bahasa Indonesianya kerangka acuan, yaitu paduan pengalaman dan pengertian (Collection of Experiences and

  

Meanings). Schramm menyatakan bahwa Field of Experience atau bidang

pengalaman merupakan faktor yang amat penting untuk terjadinya komunikasi.

  Apabila bidang pengalaman komunikator sama dengan bidang pengalaman komunikan, komunikasi akan berlangsung lancar. Sebaliknya jikalau pengalaman komunikan tidak sama dengan pengalaman komunikator, akan timbul kesukaran untuk mengerti satu sama lain; dengan kata lain situasi menjadi tidak komunikatif (Effendi, 2005 : 30-31).

2.1.2 Komunikasi Massa

  Komunikasi massa merupakan jenis komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen, dan menimbulkan efek tertentu. (Rakhmat, 2005 : 189).

  Adapun ciri-ciri komunikasi massa menurut Nurrudin dalam buku “Komunikasi Massa”(Nurrudin, 2004 :16-28) antara lain: 1.

  Komunikasi massa berlangsung satu arah, ini berarti bahwa tidak terdapat arus balik dari komunikan kepada komunikator.

  2. Komunikator pada komunikasi massa melembaga, artinya media massa sebagai saluran komunikasi massa merupakan lembaga, yakni suatu institusi atau organisasi.

  3. Pesan pada komunikasi massa bersifat umum, pesan yang disebarkan melalui media massa bersifat umum (public) karena ditujukan kepada umum dan mengenai kepentingan umum.

  4. Media komunikasi massa menimbulkan keserempakan, kemampuan media massa untuk menimbulkan keserempakan pada pihak khalayak dalam menerima pesan-pesan yang disebarkan.

  5. Komunikan komunikasi massa bersifat heterogen, komunikasi atau khalayak yang merupakan kumpulan anggota masyarakat yang terlibat dalam proses komunikasi massa sebagai sasaran yang dituju komunikator bersifat heterogen.

  Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dikemukakan oleh Bittner, yakni komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang. Sedangkan menurut Meletzke, komunikasi massa didefenisikan sebagai setiap bentuk komunikasi yang menyampaikan pernyataan secara terbuka melalui media penyebaran teknis secara tidak langsung dan satu arah pada publik yang tersebar. Istilah tersebar disini menunjukkan bahwa komunikan sebagai pihak penerima pesan tidak berada di satu tempat, tetapi tersebar di berbagai tempat. Ditambahkan menurut Joseph A. Devito merumuskan defenisi komunikasi massa yang pada intinya merupakan penjelasan tentang pengertian massa, serta tentang media yang digunakannya. Yakni, “pertama, komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio dan / atau visual (Ardianto, 2004:3-6).

  Berdasarkan definisi mengenai komunikasi massa diatas dapat disimpulkan bahwa inti dari komunikasi massa adalah proses penyampaian ide atau pesan dari komunikator kepada komunikan melalui media massa sehingga pesan dapat diterima secara serempak. Media massa baik media cetak maupun elektronik efektif menjangkau dan menyebarkan informasi, ide, nilai-nilai kepada komunikan yang beraneka ragam serta terpisah secara geografis.Setiap proses komunikasi mempunyai hasil akhir yang disebut dengan efek. Efek muncul dari seseorang yang menerima pesan komunikasi baik secara disengaja maupun tidak disengaja. Dalam penelitian efek komunikasi massa, media massa dipandang sangat berpengaruh, tetapi ada saat lain ketika dianggap sedikit bahkan hampir tidak berpengaruh sama sekali. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan pandangan dalam memandang efek dari media massa tersebut.

  Secara umum terdapat tiga efek dari komunikasi massa, (Nurrudin, 2004:192-199) yaitu: 1.

  Efek kognitif Pesan komunikasi massa akan menimbulkan perubahan dalam hal pengetahuan, pandangan dan pendapat terhadap sesuatu yang diperoleh khalayak. Efek ini berkaitan dengan transmisi pengetahuan, keterampilan, kepercayaan atau informasi.

2. Efek afektif

  Pesan komunikasi massa mengakibatkan berubahnya perasaan tertentu dari khalayak. Orang dapat menjadi lebih marah atau berkurang rasa tidak senangnya terhadap sesuatu akibat membaca surat kabar, mendengarkan radio, atau menonton televisi. Efek ini berhubungan dengan emosi, sikap, atau nilai.

3. Efek behavioral

  Pesan komunikasi massa yang merupakan akibat yang timbul pada diri khalayak dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan. Adegan kekerasan dalam televisi atau film akan menyebabkan orang menjadi beringas. Siaran kesejahteraan keluarga yang banyak disiarkan dalam televisi menyebabkan para ibu rumah tangga memiliki keterampilan baru. Pernyataan – pernyataan ini mencoba mengungkapkan tentang efek komunikasi massa pada perilaku, tindakan dan gerakan khalayak yang tampak dalam kehidupan mereka sehari-hari.

2.1.3 Media Massa

  Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio, televisi, dan internet (Cangara, 2006:122). Media massa merupakan istilah yang digunakan untuk mempertegas kehadiran suatu kelas, seksei media yang dirancang sedemikian rupa agar dapat mencapai audiens yang sangat besar dan luas (yang dimaksudkan dengan besar dan luas adalah seluruh penduduk dari suatu bangsa/negara). Secara tak sengaja memang media massa yang menerpa audiens sekaligus membuat masyarakat membentuk masyarakat massa (mass society) dengan karakteristik budaya tertentu yakni budaya massa (mass culture, popular culture).

  Media massa merupakan media informasi yang terkait dengan masyarakat, digunakan berhubungan dengan khalayak (masyarakat) secara umum, dikelola secara profesional dan bertujuan mencari keuntungan. Dengan demikian, tidak semua media informasi atau komunikasi dapat disebut media massa. Telepon, meskipun dengannya kita bisa berhubungan, bukanlah merupakan media massa karena hubungannya individu. Buletin intern suatu lembaga juga bukan media massa karena informasinya terkait dengan kepentingan lembaga yang kadang tidak dikelola secara profesional, bahkan tidak bertujuan demi keuntungan (Monry, 2008:12).

  Media massa berperan sebagai agent of change yaitu sebagai pelopor perubahan (Bungin, 2006:85). Ini adalah paradigma utama media massa. Dalam menjalankan paradigmanya media massa berperan: 1.

  Media edukasi yaitu media massa menjadi media yang setiap saat mendidik masyarakat menjadi cerdas, pikiran terbuka dan menjadi masyarakat yang maju.

  2. Media informasi yaitu media yang selalu menyampaikan informasi yang terbuka dan jujur kepada masyarakat, menjadikan masyarakat kaya akan informasi dan terbuka dengan informasi.

  3. Media hiburan juga menjadi media massa yang institusi terhadap budaya, dimana mendorong agar perkembangan budaya itu bermanfaat bagi masyarakat yang bermoral dan juga mencegah agar perkembangan budaya itu tidak merusak peradaban masyarakat.

  Media massa pada masyarakat luas saat ini dapat dibedakan atas tiga kelompok, meliputi media cetak, media elektronik, dan media online (Monry, 2008:12).

  1. Media cetak merupakan media tertua yang ada di muka bumi. Media cetak berawal dari media yang disebut dengan Acta Diurna dan Acta Senatus di kerajaan Romawi, kemudian berkembang pesat setelah Johannes Guttenberg menemukan mesin cetak, hingga kini sudah beragam bentuknya, seperti surat kabar (koran), tabloid, dan majalah.

  2. Media elektronik muncul karena perkembangan teknologi modern yang berhasil memadukan konsep media cetak, berupa penulisan naskah dengan suara (radio), bahkan kemudian dengan gambar, melalui layar televisi. Maka kemudian, yang disebut dengan media massa elektronik adalah radio dan televisi.

  3. Media onlinemerupakan media yang menggunakan internet. Sepintas lalu orang akan menilai media online merupakan media elektronik, tetapi pakar memisahkannya dalam kelompok tersendiri. Alasannya, media online menggabungkan gabungan proses media cetak dengan menulis informasi yang disalurkan melalui sarana elektronik, tetapi juga berhubungan dengan komunikasi personal yang terkesan perorangan.

2.1.4 Televisi

  Menurut Effendy (1994:21) yang dimaksud dengan televisi adalah siaran yang merupakan media dari jaringan komunikasi dengan ciri-ciri yang dimiliki komunikasi massa, yaitu berlangsung satu arah, komunikatornya melembaga, pesannya bersifat umum, sasarannya menmbulkan keserampakan, dan komunikasinya bersifat heterogen. Televisi adalah sistem telekomunikasi untuk penyiaran dan penerimaan gambar dan suara dari jauh atau media komunikasi yang mentransmisikan gambar (visual) dan suara (audio).

  Menurut Defleur and Dennis :

  “Television 's sound is basically FM Radio. Sounds are picked up from

amicrophone, turntable, or tape recorder. They are them mixed in an audioboard

and sent to the transmitter, where the waves we described earlier inthe chapter

are generated, modulated, and sent out the antenna to hereceived in the home. Off

course, since not all television is live, the sounds(ard the pictures) may be stored

on video tape and broadcast orrebroadcast”.

  Artinya ialah suara televisi pada dasarnya adalah radio FM. Suara yang diambil dan mikrophone, atau tape perekam. Semua ini kemudiandikombinasikan di papan audio dan dikirim ke transmitter, dimana gelombang diterjemahkan pada awal bagian dan digeneralisasikan, dimodulasi dan dikirimkeluar ke antena dan diterima di rumah. Tentu saja, karena tidak sama siarantelevisi disiarkan langsung, suara (dan gambar) bisa dikirim di tape video dandisiarkan atau disiarkan ulang kemudian. Jadi dapat disimpulkan bahwa definisi televisi adalah gabungan danbentuk gambar dan suara atau visual dan audio visual meliputi segala sesuatuyang dapat kita lihat seperti gambar hidup, tulisan, logo televisi, jam penayangan,dan lain-lain.

  Perkembangan teknologi pertelevisian sampai saat ini sudah berkembang sedemikian pesat sehingga dampak siarannya menyebabkan seolah-olah tidak adalagi batasan antara satu negara dengan negara yang lainnya” (Muda, 2003:4). Televisi, disamping sebagai media yang amat menghibur, juga menjadi saluran komunikasi dua arah yang efektif. Penggunaan televisi sekarang tidak hanya dimiliki oleh masyarakat diperkotaan saja namun juga bisa dinikmati oleh masyarakat di pedesaan. Kelebihan yang dimiliki oleh televisi adalah mampu mentransformasikan gambar, suara, dan warna-warna yang sesuai dengan aslinya sehingga apabila ada acara yang ditayangkan di televisi dengan mengambil setting tempat tertentu maka pemirsa sudah dapat mengetahui tempat itu tanpa harus pergi ke sana. “Nilai-nilai lebih dari televisi tersebut membuat daya rangsang seseorang terhadap media televisi cukup tinggi” (Kuswandi, 1996:20).

  Menurut Effendy (2005:27-30) dalam kaitannya dengan komunikasi massa, televisi menjadi media massa yang paling banyak dimiliki oleh masyarakat dibanding dengan media massa lainnya. Siaran televisi menjadi lebih komunikatif dalam menyampaikan pesan, dengan audio visual yang dimilikinya. Maka dari itu televisi sangat berguna dalam upaya pembentukan sikap, perilaku, dan perubahan pola pikir. Seperti halnya media massa lain, televisi pada pokoknya mempunyai tiga fungsi pokok yakni sebagai berikut: 1.

  Fungsi Penerangan (The Information Function) Televisi mendapat perhatian yang besar dikalangan masyarakat karena dianggap sebagai media yang mampu menyiarkan informasi yang sangat memuakan. Hali ini didukung oleh 2 (dua) faktor, yaitu: a.

  Immediacy (Kesegaran). Pengertian ini mencakup langsung dan peristiwa yang disiarkan oleh stasiun televisi dapat dilihat dan didengar oleh pemirsa pada saat peristiwa itu berlangsung.

  b.

  Realism (Kenyataan). Ini berarti televisi menyiarkan informasinya secara audio dan visual dengan perantara mikrofon dan kamera sesuai dengan kenyataan.

2. Fungsi Pendidikan (The Educational Function)

  Sebagai media massa, televisi merupakan sarana yang ampuh untuk menyiarkan acara pendidikan kepada khalayak yang jumlahnya begitu banyak secara simultan dengan makna pendidikan, yaitu meningkatkan pengetahuan dan penalaran masyarakat. Siaran televisi menyiarkan acara- acara tersebut secara teratur, misalnya pelajaran bahasa, matematika, ekonomi , politik, dan sebagainya.

  3. Fungsi Hiburan (The Entertainment Function) Sebagai media yang melayani kepentingan masyarakat luas, fungsi hiburan yang melekat pada televisi tampaknya lebih dominan dari fungsi lainnnya. Sebagian besar dari alikasi waktu siaran televisi diisi oleh acara- acara hiburan, seperti lagu-lagu, film cerita, olahraga, dan sebagainya.

  Fungsi hiburan ini amat penting, karena ia menjadi salah satu kebutuhan manusia untuk mengisi waktu mereka dari aktivitas di luar rumah.

  Bersamaan dengan jalannya proses penyampaian isi pesanmedia televisi kepada pemirsa, maka isi pesan itu juga akan diinterpretasikan secara berbeda- beda menurut visi pemirsa serta efek yang ditimbulkan juga beraneka ragam. Hal ini terjadi karena tingkat pemahaman dan kebutuhan pemirsa terhadap isi pesan acara televisi berkaitan erat dengan status sosial ekonomi dan kondisi pemirsa saat menonton televisi (Kuswandi, 1996:99).

  Tayangan televisi dapat diartikan sebagai adanya suatu pertunjukan acara yang ditampilkan atau disiarkan melalui media massa televisi. Tayangan tersebut bisa bermanfaat hiburan, informasi, ataupun edukasi seperti tayangan mengenai pendidikan. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering memperoleh berbagai pengalaman. Hal ini dikarenakan terintegrasinya kelima indera yang kita miliki, tetapi dengan menonton audiovisual, akan mendapatkan 100% dari informasi yang diperoleh sebelumnya. Ini sebagai akibat timbulnya pengalaman tiruan (stimulated experience) dari media audiovisual tadi (Darwanto, 2007:119).

  Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam menyampaikan pesan melalui televisi, diantaranya adalah (Darwanto, 2007:119) :

  1. Pemirsa Dalam setiap bentuk komunikasi dengan menggunakan media apapun, seorang komunikator akan menyesuaikan pesan dengan latar belakang komunikannya. Tetapi dalam komunikasi melalui televisi, faktor pemirsa menjadi perhatian lebih, disebabkan komunikator harus memahami kebiasaan dan minat pemirsa baik dalam kategori anak-anak, remaja, dewasa.

  2. Waktu Faktor waktu menjadi bahan pertimbangan agar setiap acara yang ditayangkan dapat secara proporsional dan dapat diterima oleh sasaran khalayak.

  3. Durasi Durasi berkaitan dengan waktu, yakni jumlah menit dalam setiap penayangan acara.

  4. Metode penyajian Fungsi utama televisi pada umumnya menurut khalayak adalah untuk menghibur dan mendapatkan informasi. Bukan berarti fungsi mendidik dan membujuk diabaikan, fungsi non hiburan dan non informasi harus tetap ada karena sama pentingnya bagi komunikator dan komunikan.

2.1.5 Berita

  Menurut Dr. Willard G. Bleyer mendefinisikan berita adalah segala sesuatu yang hangat dan menarik perhatian sejumlah pembaca, dan berita yang terbaik ialah berita yang paling menarik perhatian bagi jumlah pembaca yang paling besar.

  Berita (news) itu tiada lain adalah laporan atau pemberitahuan tentang segala peristiwa aktual yang menarik perhatian orang banyak (Suhandang, 2004 : 103). Sedangkan Dean M. Lyle Spencer mendefenisikan berita adalah suatu kenyataan atau ide yang benar yang dapat menarik perhatian sebagian besar dari pembaca.

  Arifin S. Harahap dalam bukunya yang berjudul “Jurnalistik Televisi Teknik Memburu dan Menulis Berita” menyatakan bahwa berita adalah laporan tentang fakta peristiwa atau pendapat yang aktual, menarik, berguna dan dipublikasikan melalui media massa periodik, seperti surat kabar, majalah, radio dan TV. Lebih lanjut Arifin S. Harahap mengatakan mengenai definisi berita TV adalah laporan tentang fakta peristiwa atau pendapat manusia atau kedua- keduanya yang disertai gambar (visual) aktual, menarik, berguna dan disiarkan melalui media massa televisi secara periodik (Harahap: 2007:4).

  Sedangkan menurut Deddy Iskandar Muda (2003:22), dalam bukunya “Jurnalistik Televisi Menjadi Reporter Profesional”, pengertian berita adalah suatu fakta atau ide atau opini aktual yang menarik dan akurat serta dianggap penting bagi sejumlah besar pembaca, pendengar maupun penonton.

  Berdasarkan definisi-definisi di atas mengenai berita dapat disimpulkan bahwa salah satu syarat berita yaitu berita harus menarik dan dianggap penting bagi sebagian besar penonton atau pembaca. Salah satu berita yang pasti akan mendapatkan tempat bagi pemirsa atau penonton adalah berita mengenai bencana

  

(disaster) dan kriminal (crimes). Dua topik ini menjadi sangat penting karena

  menyangkut tentang keselamatan manusia. Dalam pendekatan psikologi, keselamatan adalah menempati urutan pertama bagi kebutuhan dasar manusia

  

(basic needs) , sehingga tak heran apabila berita tersebut memiliki daya rangsang

tinggi bagi pemirsanya (Muda, 2003:36).

  Berita pada umumnya dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu hard news (berita berat), soft news (berita ringan) dan investigative reports (laporanpenyidikan) (Muda, 2003:40) : 1.

  Hard News (berita berat) yaitu berita tentang peristiwa yang dianggap penting bagi masyarakat baik sebagai individu, kelompok maupun organisasi. Berita kriminal sendiri termasuk dalam kategori hard news. Contohnya: “1998-2007 Bersama PKS Melayani Bangsa”.

  2. Soft News (berita ringan) sering kali juga disebut sebagai features yaitu berita yang tidak terikat dengan aktualitas umum namun memiliki daya tarik bagi pemirsanya. Berita soft news juga dapat menimbulkan kekhawatiran bahkan ketakutan atau mungkin juga menimbulkan simpati. Contohnya: “Posko Banjir PKS petogokan, Dua Kali Tenggelam, Empat Kali Pindah Tempat”.

  3. Investigative Reports (laporan penyidikan) adalah jenis berita yang eksklusif. Datanya tidak dapat diperoleh di permukaan, tetapi harus dilakukan berdasarkan penyelidikan. Contohnya: “ Pondok Bambu Rasa Istana”

  Investigative Reports (laporan penyidikan) adalah reportase dengan

  pertanyaan-pertanyaan yang lebih tajam. Lebih terarah. Penggalian lebih dalam terhadap informasi atau pernyataan sepihak pejabat publik, politisi, juru bicara aparat hukum atau humas perusahaan. Sebab, reportase investigasi bertujuan untuk membongkar informasi-informasi yang sengaja disembunyikan dengan rapat dan sistematik. Reportase investigasi adalah reportase dengan misi utama untuk mengungkap kejahatan, pelanggaran hukum yang terencana dan terorganisasi, berdampak luas, dan yang paling penting, merugikan kepentingan publik (Bintang, 2010:2).

  Tayangan-tayangan kriminal dan kekerasan yang dikemas dalam

  

investigative reports tentu saja mempunyai dampak terhadap khalayak. Peneliti

  tertarik untuk meneliti dampak tayangan tersebut yaitu kecemasan yang timbul dalam diri khalayak setelah menonton tayangan “Reportase Investigasi”. Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas, peneliti menggunakan teori mengenai berita untuk menjelaskan bahwa program acara “Reportase Investigasi” yang digunakan dalam penelitian ini termasuk ke dalam golongan berita televisi.

2.1.6 Terpaan Media (Media Exposure)

  Rosengren mengemukakan bahwa terpaan tayangan diartikan sebagai penggunaan media oleh khalayak yang meliputi jumlah waktu yang digunakan dalam berbagai media, jenis media, jenis isi media, media yang dikonsumsi dan berbagai hubungan antara khalayak dengan isi media yang dikonsumsi atau dengan media secara keseluruhan (Rakhmat, 2004:66).

  Terpaan media berusaha mencari data khalayak tentang penggunaan media baik jenis media, frekuensi penggunaan maupun durasi penggunaan atau

  

longevity . Frekuensi penggunaan media mengumpulkan data khalayak tentang

  berapa kali sehari seorang menggunakan media dalam satu minggu (untuk meneliti program harian), berapa kali seminggu seseorang menggunakan media dalam satu bulan (untuk program mingguan) serta berapa kali sebulan seseorang menggunakan media dalam satu tahun (untuk program bulanan), dalam penelitian ini program yang diteliti merupakan program mingguan. Untuk pengukuran variabel durasi penggunaan media menghitung berapa lama khalayak bergabung dengan suatu media (berapa jam sehari) atau berapa lama (menit) khalayak mengikuti suatu program (Ardianto, 2004 : 164).

  Sedangkan hubungan antara khalayak dengan isi media meliputi attention atau perhatian. Kenneth E. Andersen mendefinisikan perhatian sebagai proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli menjadi menonjol atau kesadaran pada saat stimuli lainnya melemah. Apa yang kita perhatikan ditentukan oleh faktor-faktor situasional dan personal. Faktor situasional terkadang disebut sebagai determinan perhatian yang bersifat eksternal atau penarik perhatian . Stimuli diperhatikan karena mempunyai sifat - sifat menonjol, antara lain (Rakhmat, 2005 : 52-53) : 1.

  Gerakan Seperti organisme yang lain, manusia secara visual tertarik pada obyek- obyek yang bergerak.

  2. Intensitas stimuli Setiap individu akan memperhatikan stimuli yang lebih menonjol dari stimuli yang lain. Misalnya warna merah pada latar belakang putih, tubuh yang tinggi diantara tubh yang pendek.

  3. Kebaruan (novelty) Hal-hal yang baru, yang luar biasa, yang berbeda, akan menarik perhatian.

  Beberapa eksperimen juga membuktikan stimuli yang luar biasa lebih mudah dipelajari atau diingat. Tanpa hal-hal yang baru, stimuli menjadi monoton, membosankan dan lepas dari perhatian.

  4. Perulangan Hal-hal yang disajikan berkali-kali, bila disertai dengan sedikit variasi, akan menarik perhatian. Disini unsur familiarty (yang kita kenal) berpadu dengan unsur novelty (yang baru kita kenal). Perulangan juga mengandung unsur sugesti : mempengaruhi unsur bawah sadar kita. Bukan hanya pemasang iklan, yang mempopulerkan produk dengan mengulang-ulang jingles atau slogan-slogan, tetapi juga kaum politis memanfaatkan prinsip perulangan.

  Berdasarkan pengertian terpaan media yang telah dijelaskan oleh Rosengren dalam Rakhmat (2005 : 66), maka cara mengukur terpaan Reportase Investigasi yaitu dengan melihat frekuensi, durasi dan atensi menonton/ menyaksikan seseorang terhadap tayangan “Reportase Investigasi” Trans TV.Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa terpaan media dapat diukur melalui frekuensi, durasi, dan atensi.

2.1.7 Teori Kultivasi (Cultivation Theory)

  Teori kultivasi (cultivation theory) pertama kali dikenalkan olehProfessor George Gerbner, Dekan emiritus dari Annenberg School forCommunication di Universitas Pensylvania.Riset pertamanya pada awal tahun1960‐an tentang Proyek Indikator Budaya (Cultural Indicators Project) untukmempelajari pengaruh menonton televisi. Dimana Gerbner dan koleganya diAnnenberg School

  

for Communication ingin mengetahui dunia nyata seperti apayang dibayangkan

  penonton televisi. Tradisi pengaruhmedia dalam jangka waktu panjang dan efek yang tidak langsung menjadikajiannya. Argumentasi awalnya adalah, “televisi telah menjadi anggotakeluarga yang penting, anggota yang bercerita paling banyak dan palingsering” (Hadi, 2007:8)

  Hadirnya media televisi memberidampak komersial bagi pasar dan khalayak. Dampak medium televisi melalui program acara berita kriminal,jenis film action, shooting dan pembunuhan mampu memengaruhi agresivitas khalayak terhadap dunia atas kumulatif efekmelalui tayangan televisi. Dampak ‘kekerasan media’ ini oleh GeorgeGerbner kemudian disebutnya sebagai “mean world syndrome ”, dalam teoriCultivation Analysis(1970-1980)(Hadi, 2007:8).

  Menurut teori kultivasi ini, televisi menjadi media atau alatutama dimana para pemirsa televisi itu belajar tentang masyarakat dan kulturlingkungannya. Dengan kata lain untuk mengetahui dunia nyata macam apayang dibayangkan oleh pemirsa televisidan bagaimanamedia televisi mempengaruhi pemirsa atas dunia nyata. Asumsimendasar dalam teori ini adalah terpaan media yang terus menerus akanmemberikan gambaran dan pengaruh pada pemirsanya. Artinya, selama pemirsa kontak dengan televisi, mereka akan belajar tentang dunia, belajar bersikap dan nilai‐nilai orang (Hadi, 2007:9) Gerbner meyakini bahwa kekuatan televisi berasal dari isi simbolik dari drama kenyataan hidup sehari-hari yang ditayangkan jam lepas jam dan minggu lepas minggu (Griffin, 1991). “Rata-rata pemirsa menonton televisi empat jam sehari” (Severin dan Tankard, 2001). “George Gerbner menggolongkan audience televisi menjadi 2 golongan, yaituheavy viewer dan light viewer. Heavy viewer atau pecandu berat televisi adalah orang yang menonton televisi lebih dari 4 jam per hari. Sebaliknya, light viewer atau pecandu ringan adalah orang yang menonton kurang dari 4 jam per hari” (Hadi, 2007:3).

  Berdasarkan golongan audience inilah Gerbner melakukan penelitian terhadap heavy viewer dan light viewer. Dua golongan ini memiliki jawaban yang berbeda ketika menjawab pertanyaan. Misalnya, ketika ditanya seputar populasi yang berada di Amerika, heavy viewer akan menjawab kurang lebih 20 persen populasi di dunia berada di Amerika. Sedangkan light viewer akan memberikan jawaban yang mendekati angka aslinya yaitu 6 persen. Contoh lainnya, heavy

  

viewer menganggap kemungkinan seseorang untuk menjadi korban kejahatan

adalah 1 berbanding 10. Dalam kenyataannya angkanya adalah 1 berbanding 50.

Heavy viewer cenderung memberikan jawaban yang mendekati dunia yang

digambarkan oleh televisi (Ardiyanto, 2004:64).

  Fokus utama riset kultivasi pada tayangan kriminal dan kekerasan dengan membandingkan kepada prevalensi (frekuensi) kriminal dalam masyarakat. Bagi pemirsapecandu berat televisi (heavy viewers) dalam jangka waktu lama ternyata halini memberi keyakinan bahwa tak seorang pun bisa dipercaya atas apa yangmuncul dalam dunia kekerasan. Temuan ini mengindikasikan bahwapecandu berat televisi cenderung melihat dunia ini sebagai kegelapan/mengerikan serta tidak mempercayai orang. Apa yang terjadi di televisiitulah dunia nyata. Televisi menjadi potret sesungguhnya dunia nyata (Hadi, 2007:9).

  Gerbner mengklaim bahwa pecandu berat televisi (heavy viewer) mengembangkan kepercayaan yang berlebihan tentang dunia yang kotor dan mengerikan. Misalnya karena seringnya menonton televisi membuat orang beranggapan bahwa dunia ini tempat yang tidak aman. Kekerasan yang mereka lihat di televisi dapat menanamkan ketakutan sosial yang menjawab dugaan tentang orang yang dapat dipercaya atau keamanan keadaan sekitarnya (Hadi, 2007:10).

  Gerbner dan koleganya berpendapat bahwa televisimenanamkan sikap dan nilai tertentu. Media pun kemudian memelihara danmenyebarkan sikap dan nilai itu antar anggota masyarakat yang kemudianmengikatnya bersama‐sama pula. Media mempengaruhi penonton danmasing‐masing penonton itu meyakininya. Sehingga para pecandu berattelevisi itu akan mempunyai kecenderungan sikap yang sama satu sama lain(Nurudin, 2003 :159).

  Tim Gerbner juga menyatakan bahwa salah satu dampak kultivasi yang utama, dan terjadi secara meluas, yang diakibatkan televisi adalah munculnya persepsi “dunia yang kejam” yang berasal dari para pecandu berat televisi. Peneliti kultivasi juga menemukan beberapa variabel penting yang juga turut mempengaruhi perbedaan yang terjadi antara pecandu berat dan ringan televisi. Variabel-variabel tersebut antara lain, usia, pendidikan, jenis kelamin, status ekonomi, dan berita yang dikonsumsi (Ardiyanto, 2004:68).

  Para peneliti kultivasi berusaha untuk mengontrol variabel-variabel yang turut mempengaruhi dampak, selain televisi. Kritik ini juga diutarakan oleh Paul Hirsch pada tahun 1980-an. Dari kritikan yang diajukan oleh Hirsch ini kemudian Gerbner beserta rekan-rekannya menambahkan 2 konsep tambahan sebagai revisi dari teori kultivasi. Dua konsep tersebut adalah mainstreaming(pelaziman) dan

  

resonance (resonansi). Mainstreaming dikatakan apabila sering menyaksikan

  televisi menyebabkan pemusatan pandangan seluruh kelompok. Misalnya, baik pemirsa “berat” dalam kategori penghasilan rendah maupun dalam penghasilan tinggi mempunyai pendapat yang sama bahwa ketakutan akan kejahatan adalah masalah pribadi yang sangat serius. Tetapi, pemirsa “ringan” televisi yang berpenghasilan rendah cenderung untuk mempunyai pendapat yang sama dengan pemirsa “berat” dalam dua kategori tadi bahwa ketakutan akan kejahatan adalah sebuah masalah, sedangkan pemirsa ringan yang berpenghasilan tinggi cenderung untuk tidak mempunyai pendapat yang sama bahwa ketakutan akan kejahatan adalah sebuah masalah (Sianturi, 2010:45)

  Resonance (resonansi) terjadi ketika dampak kultivasi ditingkatkan untuk

  sekelompok tertentu dalam populasi. Misalnya, pemirsa ‘berat’ diantara laki-laki dan perempuan mempunyai kemungkinan lebih besar daripada pemirsa “ringan” untuk setuju bahwa ketakutan akan kejahatan adalah sebuah masalah serius. Tetapi kelompok yang setuju paling kuat adalah perempuan yang menjadi penonton “berat”, karena kerentanan khusus mereka pada kejahatan konon “mirip” dengan potret dunia kejahatan yang tinggi yang dilukiskan dalam televisi. Dengan adanya tambahan yang substansial pada teori kultivasi, maka teori kultivasi ini tidak lagi menyatakan keseragaman, dampak televisi untuk semua anggota pemirsa “berat”. Kemudian yang terjadi adalah apabila orang mengontrol variabel –variabel lain sekaligus, sisa dampak yang diakibatkan oleh televisi menjadi agak kecil. Namun karena adanya dampak kumulatif dari televisi yang dialami sebagian besar orang (paling tidak di Amerika), maka dampak tersebut tidak dapat diabaikan (Sianturi, 2010:45).

  Pada tahun 1988, Rubin, Perse, dan Taylor meragukan bahwa kultivasi adalah sebagai efek umum dari terlalu sering menonton televisi. Mereka menemui adanya dampak dari menonton televisi pada persepsi realitas sosial, namun dampak tersebut hanya pada program tertentu saja. Dalam penelitian mereka, dapat dibuktikan bahwa pemirsa secara aktif dan secara berbeda mengevaluasi isi televisi, atau dengan kata lain, bahwa audience televisi adalah pemirsa yang aktif. Beberapa perbaikkan pada teori kultivasi akhir – akhir ini, membagi dampak dampak menjadi dua variabel. Variabel – variabel tersebut adalah kepercayaan tingkat pertama (first-order belief) dan kepercayaan tingkat kedua (second-order

  

belief ). Kepercayaan tingkat pertama mangacu pada keyakinan yang berkenaan

  dengan beragam kenyataan dunia nyata, seperti persentase orang yang menjadi korban kejahatan brutal selama satu tahun. Dan kepercayaan tingkat kedua mengacu pada ekstrapolasi dari kenyataan-kenyataan pada harapan umum atau orientasi, seperti kepercayaan bahwa dunia adalah tempat aman atau bahaya

  (Sianturi, 2010:46).

  Beberapa teori mutakhir menekankan bahwa penonton sebenarnya aktif di dalam usaha menekankan kekuatan pengaruh televisi tidak seperti yang diasumsikan teori kultivasi. Teori kultivasi menganggap bahwa penonton itu pasif. Teori kultivasi lebih memfokuskan pada kuantitas menonton televisi atau “terpaan” dan tidak menyediakan perbedaan yang muncul ketika penonton menginterpretasikan siaran-siaran televisi. Penonton tidak perlu secara pasif menerima apa yang mereka lihat di televisi sebagai kenyataan (Nurudin, 2007:173-174).

  Efek kultivasi melalui tayangan kekerasan memberi penjelasanbahwa televisi mempunyai pengaruh yang kuat pada diri individu. Bahkandalam hal yang ekstrim pemirsa menganggap bahwa lingkungan sekitarsama persis seperti yang tergambar dalam televisi. Disisi lain, tayangan kejahatan dalam dunia tontonan menjadi formula yang bisa menarik secarakomersil. Film atau televisi sebenarnya hanyalah tontonan. Sebagai tontonania hanyalah realitas media, yang tentu saja bahkan sebagai “realitas” buatanyaitu fiksi, yang perlu dibedakan dari realitas media berupa informasifaktual. Tetapi karena dipanggungkan dalam kaidah dramatisasi, “realitas”ini menjadi lebih menonjol.Menurut Perse “efek dominan kultivasi kekerasan televisi pada individu adalah pada kognitif (meyakini tentang realitas sosial) dan afektif (takut akan kejahatan)” (Hadi, 2007 : 10).

  Penelitian ini menggunakan Cultivation Theory sebagai landasan teori. Seperti yang diungkapkan oleh Perse, mengenai efek afektif yang ditimbulkan oleh berita kasus pemalsuan produk makanan yang ditayangkan di televisi, peneliti ingin mengetahui seberapa besar tingkat kecemasan, yang merupakan salah satu efek afektif pada pemirsa televisi.

2.1.8 Kecemasan

  Salah satu efek dari penerimaan pesan (informasi) adalah perasaan cemas yang berkaitan dengan efek afektif. Kecemasan merupakan respon subyektif individu terhadap situasi, ancaman, atau stimulus eksternal.Jadi kecemasan merupakan bagian dari sikap afektif. Struktur sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang yaitu komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional, dan komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang (Azwar, 2000:24).

  Mar’at (1981) dalam bukunya sikap manusia perubahan serta pengukurannya

juga sependapat dengan Azwar, bahwa sikap mempunyai tiga komponen antara lain

yaitu (Sianturi, 2010:49) : 1.

  Komponen Kognisi Komponen sikap hubungannya dengan beliefs, ide, dan konsep. Komponen kognisi melukiskan obyek tersebut, dan sekaligus dikaitkan dengan obyek- obyek lain disekitarnya. Hal ini berarti adanya penalaran pada seseorang terhadap obyek mengenai karakteristiknya. Manusia mengamati suatu obyek psikologi dengan kacamatanya sendiri yang diwarnai oleh nilaidari kepribadiannya. Faktor pengalaman, proses belajar atau sosialisasi memberikan bentuk dan struktur terhadap apa yang dilihat. Sedangkan pengetahuannya dan cakrawalanya memberikan arti terhadap obyek psikologi tersebut. Melalui komponen kognisi ini akan timbul ide, kemudian konsep mengenai apa yang dilihat. Berdasarkan nilai dan norma yang dimiliki pribadi seseorang akan terjadi keyakinan (belief) terhadap obyek tersebut.

  2. Komponen Afektif / Afeksi Komponen sikap yang menyangkut kehidupan emosional seseorang.

  Komponen afeksi yang memiliki sistem evaluasi emosional yang mengakibatkan timbulnya perasaan senang/tidak senang, takut/tidak takut atau setuju/tidaksetuju. Dengan sendirinya pada proses evaluasi ini terdapat suatu valensi positif atau negatif. Komponen afeksi menjawab pertanyaan tentang apa yang dirasakan(setuju/tidak setuju).

  3. Komponen Konasi (Perilaku) Komponen sikap yang merupakan kecenderungan bertingkah laku.

  Komponen konasi akan menjawab pertanyaan bagaimana kesediaan /kesiapan untuk bertindak terhadap obyek. Komponen konasi yang menentukan kesediaan/ kesiapan jawaban berupa tindakan terhadap obyek. Atas dasar tindakan ini maka situasi yang semula kurang/tidak seimbang kembali. Jika situasi ini tidak tercapai, maka individu menolak dan reaksi yang timbul adalah sikap apatis, acuh tak acuh atau menentang sampai ekstrim.

  Tinggi rendahnya kecemasan dipengaruhi oleh sejumlah faktor, antara lain

  (Sianturi, 2010:50)

  : 1. Tingkat konsumsi media (terpaan media)

  Tingkat konsumsi media (terpaan media) berkaitan dengan seberapa seringmengkonsumsi media dan intensitas konsumsi.

  2. Pengalaman individu Individu yang pernah menjadi korban ataupun saksi akan mengalami tingkat kecemasan yang berbeda dengan yang hanya memperoleh informasi.

  3. Interaksi individu Interaksi individu dengan keluarga, teman, dan tetangga mempengaruhi tinggi rendahnya kecemasan Atkinson dan Hilgrad (1993) mendefinisikan kecemasan sebagai suatu keadaan emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai oleh perasaan takut, tercekam, khawatir, dan bingung. Kecemasan dibedakan dalam dua arti yaitu ; kecemasan sebagai suatu respon dan kecemasan sebagai intervening

  (Sianturi, 2010:52)

  variabel : 1.

  Kecemasan sebagai suatu respon.

  Merupakan suatu reaksi terhadap pengalaman tertentu, keadaan seseorang tentang apa yang dikatakan, bagaimana ia bertindak dan perubahan fisiologis. Kecemasan sebagai respon merupakan suatu perasaan yang tidak menyenangkan seperti kebingungan, gelisah, khawatir, dan takut. Perasaan ini berhubungan dengan aspek subyektif dari emosi seseorang. Kecemasan ini meliputi dua bentuk : a.

   State Anxiety. Gejala ini timbul bila individu dihadapkan pada

  situasi tertentu. Biasanya lebih disebabkan oleh kondisi stimulus yang khusus, seperti penolakan sosial, kritik, kegagalan dalam ujian, dan ancaman rasa sakit.

  b.

   Trait Anxiety. Kecemasan dipandang sebagai sesuatu yang sudah

  tetap pada diri individu. Artinya, kecemasan itu sendiri mempunyai hubungan dengan kepribadian. Bentuk kecemasan ini merupakan perspektif yang berbeda dari karakteristik disposisional dari individu yang akan bereaksi dalam situasi yang berbeda.

2. Kecemasan sebagai Intervening Variable.

  Merupakan suatu kondisi yang mempengaruhi hubungan stimulus respon. Artinya, kecemasan tidak dapat diketahui secara langsung melalui observasi, tetapi hanya dapat diketahui secara tidak langsung dari akibat- akibat yang ditimbulkan.

  Pada penelitian ini, kecemasan yang diteliti adalah kecemasan sebagai suatu respon yang termasuk dalam jenis state anxietydengan gejala seperti kebingungan, gelisah, khawatir, dan takut.Masyarakat diperlihatkan tayangan kriminalitas yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat.

2.2 Kerangka Konsep

  Kerangka sebagai hasil pemikiran yang rasional merupakan uraian yang bersifat kritis dan memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang dicapai dan dapat mengantarkan penelitian pada rumusan hipotesa (Nawawi, 1995 : 40).

  Konsep adalah penggambaran secara tepat fenomena yang hendak diteliti yakni istilah dan Definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok, atau individu, yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1995 : 57)

  Jadi kerangka konsep adalah hasil pemikiran yang rasional dalam menguraikan rumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari masalah yang diuji kebenarannya. Agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, maka harus dioperasionalkan dengan mengubahnya menjadi variabel.

  Adapun variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Variabel X Variabel Y

  Terpaan Reportase Tingkat Kecemasan

  Investigasi

  • Bingung • Frekuensi • Gelisah • Durasi • Khawatir • Atensi • Takut 1.

  Variabel bebas (X) Variabel bebas adalah segala gejala, faktor, atau unsur yang menentukan atau mempengaruhi munculnya variabel kedua disebut variabel terikat. Tanpa variabel ini maka variabel berubah sehingga akan muncul variabel terikat yang berbeda atau yang lain atau bahkan sama sekali tidak ada atau tidak muncul (Nawawi 1995 :57). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah terpaan“Reportase Investigasi”

2. Variabel Terikat (Y)

  Variabel terikat adalah sejumlah gejala atau faktor maupun unsur yang ada ataupun muncul dipengaruhi atau ditentukannya adanya variabel bebas dan bukan karena adanya variabel lain. (Nawawi,1995:57). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah tingkat kecemasan ibu rumah tangga di Jalan Lingkungan V Kelurahan Besar Martubung setelah menyaksikan “Reportase Investigasi” di Trans TV. Selanjutnya, pada penelitian ini juga ditentukan karakteristik responden yang merupakan ciri-ciri daripada responden yang akan dijadikan sampel pada penelitian. Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah usia, agama, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, jadwal menonton tayangan “Reportase Investigasi”, dan tayangan “Reportase Investigasi” yang pernah disaksikan.

  2.3 Variabel Penelitian

  Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep diatas, maka untuk memudahkan penelitian perlu dibuat variabel penelitian sebagai berikut: Variabel Teoritis Variabel Operasional 1.

  a. Variabel Bebas (X) Frekuensi Menonton b.

  Durasi Terpaan “Reportase Investigasi” c.

Dokumen yang terkait

Terpaan “Reportase Investigasi” Dan Tingkat Kecemasan Ibu Rumah Tangga(StudiKorelasional Tentang Terpaan “Reportase Investigasi” Trans Tv Terhadap Tingkat Kecemasan Ibu Rumah Tangga Di Lingkungan Iv Kelurahan Besar Kecamatan Medan Labuhan)

0 63 106

Hubungan Strategi Coping Dengan Tingkat Kecemasan Ibu Bersalin Primipara di Rumah Bersalin Delima

9 102 62

Tingkat Spiritualitas dan Kecemasan Ibu Primigravida di RSUD Dr. Pirngadi Medan

4 78 75

Tayangan Kriminal “Reportase Investigasi” Terhadap Tingkat Kewaspadaan Masyarakat (Studi Korelasional antara Tayangan Kriminal “Reportase Investigasi”di Trans TV terhadap Tingkat Kewaspadaan Masyarakat di Perumnas Mandala Kelurahan Kenangan Baru Meda

6 47 116

Terpaan Acara Infotainment di Televisi Dan Persepsi Ibu Rumah Tangga (Study Korelasional Mengenai Terpaan Acara Infotaiment di Televisi terhadap Persepsi Ibu Rumah Tangga di Lingkungan III Kelurahan Sunggal Medan tentang Fenomena Perceraian)

9 106 121

Tingkat Kecemasan Ibu Yang memiliki Bayi Prematur Di RSUD Dr. Pirngadi Medan 2011

10 121 85

Terpaan Media dan Tingkat Kecemasan Masyarakat (Studi Korelasional Tentang Pengaruh Terpaan Media Tentang Kasus “Flu H1N1” di Televisi Terhadap Tingkat Kecemasan Masyarakat di Desa Helvetia Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara)

15 68 168

Tingkat Kecemasan Ibu Primigravida Terhadap Persalinan Di Klinik Raskita SanbirejoTahun 2015

1 49 42

Hubungan Antara Tingkat Pendidikan, Tingkat Pendapatan Dan Tingkat Komunikasi Dengan Partisipasi Ibu Rumah Tangga Dalam Kegiatan Posyandu

1 8 69

Hubungan Antara Tingkat Pendidikan, Tingkat Pendapatan Dan Tingkat Komunikasi Dengan Partisipasi Ibu Rumah Tangga Dalam Kegiatan Posyandu

0 5 72