BAB II PENGATURAN FUNGSI PENGAWASAN ANGGOTA DPRD MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH A. Sistim Pemerintahan Daerah - Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Kinerja Eksekutif di Kota Medan
BAB II PENGATURAN FUNGSI PENGAWASAN ANGGOTA DPRD MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH A. Sistim Pemerintahan Daerah Mirza Nasution, mengatakan dalam hal ini pimpinan pemerintahan sebagai
pelaksana disatukan dalam satu tangan, menurutnya:
Dekonsentrasi dipimpin oleh kepala wilayah dan desentralisasi dipimpin oleh
Kepala Daerah tetapi pejabatnya itu juga pada satu orang yang sama sehingga disebutnya sebagai “uni personal”. Predikat jabatan adalah gubernur untuk tingkat provinsi, bupati/walikota untuk tingkat Kabupaten/Kota. Jabatan demikian dikenal saat ini sebagai Kepala Daerah saja baik untuk tingkat gubernur maupun Kabupaten/Kota. Kewenangan pelaksanaan dekonsentrasi ada pada gubernur dalam urusan pemerintahan, sedangkan bupati dan walikota tidak lagi menjadi pejabat dekonsentrasi seperti gubernur. Pada dasarnya desentralisasi melimpahkan atau penyerahan kekuasaan atau wewenang di bidang tertentu secara vertikal dari institusi atau lembaga atau dari pejabat yang lebih tinggi kepada lembaga atau dari pejabat bawahannya sehingga yang diserahi atau dilimpahi kekuasaan tertentu itu berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusan tertentu.
Daerah provinsi melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi sebagai manifestasi
dari wilayah administrasi yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat dalam rangka NKRI. Dengan demikian konstruksi etonomi daerah (desentralisasi) 47 Mirza Nasution, Op. cit., hal. 262. 48 Ibid., hal. 263.
secara penuh hanya diterapkan pada daerah kabupetan/kota, sedangkan provinsi selain daerah otonom juga merupakan wilayah administrasi. Menurut Marzuki Lubis, dalam hal desentralisasi, pemerintah provinsi bukan menjadi atasan dari pemerintah Kabupaten/Kota, akan tetapi baik pemerintah provinsi maupun pemerintah
Kabupaten/Kota berada pada posisi yang sama.
Makna desentralisasi bukan berarti semua urusan diserahi atau dilimpahi kepada institusi atau lembaga atau dari pejabat tertentu di daerah, tetapi oleh karena NKRI adalah negara kesatuan maka konsep desentralisasi tidak boleh dilaksanakan
secara total. Pemerintah lokal administratif diterjemahkan sebagai pemerintah wilayah, terbentuk sebagai konsekuensi dari desentralisasi.
Urusan Kepala Daerah yang lain dilaksanakan oleh pemerintah daerah yang mengurus rumah tangga sendiri dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan
yang bersifat khusus pada daerah-daerah otonom. Urusan pemerintah lokal mengurus rumah tangga sendiri yang berarti otonom artinya memerintah sendiri
tetapi tetap berada dalam kerangka sistim pemerintahan negara.
Dalam kerangka pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan, NKRI tetap
menggunakan dekonsentrasi dan desentralisasi. Dalam perkembangannya pelaksanaan desentralisasi dengan sistim otonomi ini bergerak lebih cepat dibanding dekonsentrasi. Peran DPRD dalam hal ini merupakan elemen penting dalam 49 50 Marzuki Lubis, Op. cit., hal. 178. 51 Mirza Nasution, Op. cit., hal. 264. 52 Ibid. 53 Ibid., hal. 26.
Sarman dan Muhammad Taufik Makarao, Op. Cit., hal. 81. melengkapi pelaksanaan tugas Kepala Daerah dalam rangka melaksanakan desentralisasi atau mengurusi rumah tangga sendiri. Hal yang menjadi persoalan desentralisasi adalah masalah politis yang berdampak pada tarik ulur karena DPRD secara politis memiliki kelemahan yang seolah-olah berada di bawah departemen
dalam negeri.
Pemerintah daerah (Kepala Daerah) sebagai sub sistim pemerintahan nasional yang menjalankan desentralisasi (otonomi daerah) harus bertanggung jawab sendiri
terhadap pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan di daerah otonom.
Sedangkan provinsi atau daerah yang menjalankan dekonsentrasi atau tugas pembantuan, Kepala Daerah harus mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada Pemerintah Pusat (Presiden) karena Gubernur dan atau Bupati/Wali Kota dalam konteks ini sebagai wakil pemerintah Pusat secara vertikal. Tujuan pelaksanaan tugas pembantuan ini untuk membantu penyelenggaraan jalannya pemerintahan umum yang menjadi tugas Pemerintah yang tidak diserahkan menjadi urusan rumah tangga daerah seperti urusan pemerintah seperti urusan politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter atau percetakan uang, peradilan, dan masalah yang berurusan
dengan keagamaan, dan lain-lain.
Dalam ketentuan pemerintahan daerah, satu hal yang paling penting dan esensial adalah pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah. 54 55 Akmal Budianto, Op. cit., hal. 41. 56 Faisal Akbar, Op. cit., hal. 10.
Ibid., hal. 8. Lihat juga: Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD). Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat urusan pemerintahan yang sepenuhnya tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat. Urusan pemerintah pusat tersebut dalam hal terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan.
Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan menjadi urusan pemerintah pusat. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas- luasnya untuk mengatur dan mengurusi sendiri rumah tangganya berdasarkan
otonomi dan tugas pembantuan.
B. Otonomi Daerah
Otonomi daerah sebagai aplikasi dari konsep desentralisasi. Pada negara- negara yang menjalankan asas desentralisasi sebagai akibat dilimpahkannya kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu urusan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada wilayah-wilayah maupun daerah-daerah negara tersebut (pemerintah lokal) menjadi urusan rumah tangganya. Konsekuensi desentralisasi adalah menimbulkan konsep otonomi daerah. Meskipun demikian tidak berarti bahwa daerah (pemerintah lokal) yang bersangkutan terlepas dari hubungannya dengan 57 B.N., Marbun, Otonomi Daerah 1945-2010, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 9. pemerintah pusat tetapi tetap dianutnya hubungan dalam Negara Kesatuan Republik
58 Indonesia.
Makna otonomi pada awalnya dipahami secara luas dan sangat berkuasa menurut MC. Ricklefs, disebutnya: Seorang penguasa pusat memiliki tiga teknik utama yang dapat dipergunakan untuk mempertahankan kekuasaannya. Pertama, dia dapat memberi otonomi yang cukup luas dan keuntungan-keuntungan langsung yang berbentuk kekayaan, martabat dan perlindungan kepada penguasa daerah, sebagai imbalan dukungan mereka kepadanya. Kedua, dia dapat memelihara kultus kebesaran mengenai dirinya dan istananya yang mencerminkan kekuatan- kekuatan gaib yang mendukung dirinya. Ketiga, yang paling penting di antara semua tekni, dia harus memiliki kekuatan militer untuk menghancurkan setiap
oposisi.
Ternyata pada mulanya konsep otonomi digunakan sebagai suatu alat penguasa untuk menentukan segala tindak-tanduk kekuasannya secara utuh dan menunjukkan kekuasaan yang mutlak. Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda di tahun 1903 dikenal dengan daerah-daerah Swapraja yang diberikan kewenangan oleh Pemerintahan Hindia Belanda kepada para raja-raja yang mengakui kedaulatan Belanda atas daerah yang dikuasainya. Otonomi pada masa itu bercirikan bahwa daerah tersebut tetap dapat menjalankan pemerintahan sendiri, berdasarkan perjajian
politik yang masing-masing dilakukan oleh raja-raja.
Daerah Swapraja merupakan daerah otonom serta melaksanakan pemerintahan sesuai tradisi atau hukum adat setempat. Di luar Swapraja masih terdapat daerah-daerah persekutuan hukum adat yang mengurus rumah tangganya 58 59 Adrian Sutedi, Op. Cit., hal. 23. 60 B.N., Marbun, Op. cit., hal. 28.
Ibid., hal. 29. sendiri menurut hukum adat setempat. Kepada adat daerah di samping menjalankan rumah tangganya sendiri, juga menjalankan urusan-urusan Pemerintahan Hindia Belanda yang disebut dengan tugas medebewind, tetapi tidak memperoleh gaji dari
61 Pemeirntah Hindia Belanda.
Berbicara mengenai otonomi daerah berarti membicarakan spketrum yang sangat luas, hampir semua negara berkeinginan untuk menghendaki otonomi, yaitu hak untuk mengurusi rumah tangganya sendiri tanpa adanya campur tangan atau intervensi pihak lain. Istilah otonomi berasal dari kata auto yang berarti senidiri dan
nomous yang diartikan hukum atau peraturan. Sehingga dapat diartikan sebagai
aturan hukum yang berlaku untuk dirinya atau daerahnya sendiri.
Konsep otonomi selalu mengandung unsur perundangan (regeling) dan juga mengandung unsur pemerintahan (bestuur). Pada hakikatnya otonomi daerah menurut
63 S.H. Sarundjang adalah: 1.
Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom. Hak tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan Pemerintah (pusat) yang diserahkan kepada daerah-daerah. Hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri merupakan inti keotonomian suatu daerah meliputi antara lain: penetapan kebijakan sendiri, melaksanakannya sendiri, serta pembiayaan dan pertanggungjawaban daerah sendiri, hak itu dikembalikan pada pihak yang memberi, dan berubah kembali menjadi urusan pemerintah pusat.
2. Dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri, daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya itu di luar batas-batas wilayah daerahnya.
3. Daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain sesuai dengan wewenang pokok atas urusan yang diserahkan 61 kepadanya. 62 Ibid. 63 S.H. Sarundjang, Op. cit., hal. 33.
Ibid., hal. 34-35.
4. Otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain, hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri tidak merupakan subordinasi hak mengatur dan mengurusi rumah tangga daerah lain. Dengan demikian suatu daerah otonom adalah daerah yang self government, self sufficiency, self authority, dan self
regulation to its law and affairs dari daerah lainnya baik secara vertikal maupun horizontal.
Berdasarkan hakikat otonomi daerah di atas, dapat dimengerti bahwa otonomi bertujuan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan dan sebagai upaya untuk lebih mendekati tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintahan untuk mewujudkan cita-cita masyarakat yang lebih adil dan lebih makmur. Otonomi daerah mengarahkan pembangunan di daerah dalam rangka memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan peran aktif masyarakat serta meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu dalam mengisi otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
Pengaturan tentang otonomi daerah diatur dalam UUPD. Asas-asas penting dalam UUPD terkandung beberapa asas penting yaitu: asas otonomi dan tugas pembantuan, DPRD sebagai wakil rakyat dalam unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah, asas mengatur dan mengurusi urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat, asas pemilihan langsung terhadap Kepala Daerah dan wakilnya
oleh masyarakat setempat melalui Pilkada.
Pada prinsipnya UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengandung otonomi yang nyata, bertanggung jawab, dan dinamis. Otonomi yang 64 B.N., Marbun, Op. cit., hal. 108-109. nyata maksudnya adalah pemberian urusan daerah disesuaikan dengan faktor-faktor terntu yang hidup dan berkembang secara objektif di daerah. Otonomi yang bertanggung jawab harus diwujudkan dengan keselarasan dan keserasian tujuan otonomi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dengan turut berpartisipasi untuk mewujudkan hak-hak rakyat di daerah. Otonomi yang dinamis menghendaki agar pelaksanaan otonomi senantiasa menjadi sarana yang dapat membuat perubahan yang lebih baik dari masa yang lalu dalam meningkatkan
kualitas pelayanan dan pendapatan daerah.
Nyata haruslah didasarkan pada faktor-faktor, perhitungan-perhitungan, tindakan-tindakan atau kebijaksanaan yang benar-benar sesuai dengan kepentingan
daerah yang bersangkutan. Urusan pemerintahan Kabupaten/Kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Semua elemen penyelenggara daerah melaksanakan tugas dan wewenangnya secara bertanggung jawab dan sejalan dengan tujuan otonomi daerah yang diatur
dalam ketentuan perundang-undangan. Tanggung jawab kepada masyarakat
65 66 S.H. Sarundjang, Op. cit., hal. 41-43.
Rudini dalam Tim Suara Pembaharuan, Otonomi Daerah Peluang dan Tantangan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), hal. 45. 67 Ibid.
(melalui DPRD), tanggung jawab kepada pemeirntah pusat, tanggung jawab atas
jabatan dalam kapasitasnya.
Otonomi daerah sebagai implikasi dari negara demokrasi. Untuk itu harus ada lembaga-lembaga dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Demikian pula penyelenggaraan pemerintahannya harus dijalankan secara demokratis meliputi tata cara penetapan pejabat, penentuan kebijakan, pertanggungjawaban, pengawasan, dan lain-lain. Otonomi daerah melahirkan mekanisme demokratis seperti pemilihan anggota perwakilan, sistim pemilihan penyelenggara pemerintahan, sistim hubungan
tanggung jawab antar badan perwakilan dengan penyelenggara pemerintah.
Perlunya otonomi daerah untuk melaksanakan asas kedaulatan rakyat dan demi kperluan masing-masing daerah yang bersangkutan. Otonomi dilaksanakan sebagi suatu cara menjaga dan memelihara negara kesatuan. Diberikan kebebasan dengan aturan yang ditentukan oleh undang-undang secara mandiri mengatur dan mengurus rumah tangga pemerintahan sendiri, diberi tempat yang layak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga tidak ada alasan untuk keluar dari
Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI).
Kedudukan DPRD dan KD merupakan elemen penting dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah pada kerangka otonomi daerah. Sebelum dibentuknya daerah-daerah otonom di Indonesia, kedudukan DPRD hanyalah 68 69 Ibid., hal. 49. 70 Marzuki Lubis, Op. cit., hal. 16. 71 Mirza Nasution, Op. cit., hal. 3.
Akmal Boedianto, Op. Cit., hal. 41. lembaga “stempel” saja yang selalu menjustifikasi kepentingan eksekutif. Namun kini dengan sistim otonomi daerah, kedudukan DPRD menjadi sangat penting sebagai pemegang kekuasaan dalam pembentukan peraturan daerah. Menariknya otonomi
daerah selalu dibingkai dalam norma dasar yaitu dalam UUD 1945.
C. Hubungan Kepala Daerah dengan DPRD
1. Prinsip Check and Balances
UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mengembangkan pemisahan kekuasaan (separation of power) antara lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif yang mengarah pada penerapan sistim parlementer. Alasannya menurut Marzuki Lubis, karena DPRD berwenang mengangkat, memberhentikan, dan meminta pertanggungjawaban lembaga eksekutif (Kepala Daerah) sehingga secara nasional sangat bertentangan dengan konstitusional UUD Tahun 1945 yang
menganut sistim pemerintahan presidensil.
Setelah diundangkannya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, struktur pemerintahan disesuaikan dengan UUD Tahun 1945 sehingga hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Itu berarti antara kedua lembaga ini harus
72 73 Ibid., hal. 46-47.
Marzuki Lubis, Pergeseran Garis Peraturan Perundang-Undangan Tentang DPRD & Kepala Daerah Dalam Ketatanegaraan Indonesia , (Bandung: Mandar Maju, 2011), hal. 189. mengembangkan prinsip check and balances antara eksekutif daerah dan legislatif
daerah (DPRD).
UUPD membawa angin segar bagi KD karena DPRD tidak berwenang lagi untuk mengangkat dan memberhentikan KD. Menurut Marzuki Lubis, tatanan baru
yang terkandung dalam UUPD antara lain: a.
Penataan hubungan kelembagaan penyelenggaraan pemerintah daerah.
Apabila dalam UU No.22 Tahun 1999 mengandung pemisahan kekuasaan (separation of power), maka dalam norma yang terkandung dalam Pasal 3 UUPD mengandung pembagian kekuasaan (division of power) yang mengandung pengertian pemerintah dalam arti luas terdiri dari pemerintah daerah dan DPRD sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing. Bahkan pemilihan terhadap pemerintah daerah akhir-akhir ini tidak lagi diplih melalui DPRD akan tetapi dipilih melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat sejalan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).
b.
Penataan produk hukum daerah. Produk hukum juga mengalami perubahan yang terdiri dari Perda dan Peraturan KD, sedangkan Keputusan KD tidak lagi masuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan, melainkan Keputusan Tata Usaha Negara (beschiking) yang berfungsi untuk melaksanakan Perda dan Peraturan KD, sehingga tidak perlu ditempatkan dalam Lembaran Negara.
c.
Penataan tentang keuangan daerah dalam UUPD semakin transparan mulai dari pengelola keuangan daerah, sumber pendapatan daerah, belanja dan pembiayaan daerah, tahun anggaran, serta pertanggungjawaban anggaran. Dalam UUPD berarti check and balances tetap menguat pada porsi utama yang dikehendaki undang-undang ini. Tetapi persoalannya selanjutnya adalah sejauh mana check and balances itu dapat dilakukan DPRD ketika berhubungan dengan kinerja eksekutif yang tidak sejalan dengan rencana program pemerintah daerah.
Sehingga bersandarkan pada UUPD ini sulit untuk dilakukan tekanan untuk menjadi kompetitif (pressure to be competitive) terhadap kinerja eksekutif yang lambat atau 74 75 Ibid., hal. 190.
Ibid., hal. 184-186. tidak sesuai dengan program yang telah direncanakan terutama segala hal yang
bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.
Semangat UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengandung pembagian kekuasaan (division of power), berkonsekuensi pada kedudukan antara KD dan DPRD semakin diperlukan check and balances dalam hal
pengawasan. Selain diatur pengawasan anggota DPRD diperlukan pula tekanan- tekanan dari masyarakat dalam bentuk permintaan dan dukungan (demand and
support ) baik kepada eksekutif maupun kepada DPRD. Selain itu diperlukan upaya
pemberdayaan masyarakat dalam bentuk penguatan dan fasilitas Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), forum-forum kemasyarakatan, kelompok-kelompok profesi dan sebagainya.
UUPD telah diubah (direvisi) sebanyak 3 (tiga) kali, yaitu melalui UU No.3 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Pertama atas UUPD Menjadi Undang- Undang. Sedangkan perubahan kedua kalinya melalui UU No.12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UUPD. Lalu yang ketiga pada tahun 2014 diganti dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UUPD) masih mengatur tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota untuk memilih Bupati/ Wali Kota (vide: Pasal 154 ayat 1 huruf d UUPD), ketentuan ini mengatur pilkada tidak 76 77 Sadu Wasistiono dan Yonatan Wiyoso, Op. cit., hal. 40.
Ibid. langsung. Namun sehubungan dengan itu, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2014 ini ketentuan yang mengatur pilkada tidak langsung di dalam Pasal 154 ayat 1 huruf d UUPD dihapus. Ini berarti Perppu Nomor 2 Tahun 2014 mengandung ketentuan Pilkada di tingkat Kabupaten/Kota dilakukan secara langsung, termasuk untuk pemilihan gubernur (vide: Pasal 101 ayat 1 huruf d juga dihapus).
Perubahan pertama dimaksudkan untuk mengisi kekosongan ketentuan dalam UUPD yang belum diatur mengenai penundaan penyelenggaraan pemilihan KD dan Wakil KD yang disebabkan oleh bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan, dan atau gangguan lainnya yang dapat berakibat tertundanya pemilihan tersebut karena
belum tersedianya dana, perlengkapan, personil, dan kondisi daerah pemilihan.
Perubahan kedua yakni dalam UU No.12 Tahun 2008 membawa perubahan antara lain diakuinya calon KD dan Wakil KD dari unsur perseorangan (independen) atau di luar calon partai politik. Selain itu, pengaturan tentang pengisian kekosongan jabatan Wakil KD yang menggantikan KD karena meninggal dunia atau mengundurkan diri atau tidak dapat menjalankan jabatannya. Selanjutnya perubahannya yaitu pembentukan panitia pengawas pemilihan KD dan wakilnya dapat diberikan kepada DPRD jika belum terbentuk Badan Pengawas Pemilihan. 78 Marzuki Lubis, Op. cit., hal. 186. Terakhir perubahannya adalah pengalihan penyelesaian sengketa hasil perhitungan
suara pemilihan KD dan wakilnya dari MA ke MK.
Kedudukan KD dan Wakil KD menurut muatan dalam UUPD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa di antara lembaga pemerintahan daerah memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, tidak saling membawahi. Hal ini tercermin dalam pembuatan kebijakan daerah berupa Perda. Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara pemerintah daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsinya masing-masing, sehingga kedua lembaga ini saling membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung (dalam arti positif) bukan merupakan lawan atau
bersaing satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing.
Pada lain sisi DPRD sebagai representasi rakyat berfungsi melakukan pengawasan terhadap kinerja KD dan Wakil KD dan secara tidak langsung rakyat atau masyarakat di daerah juga turut memantau pelaksanaan tugas dan wewenang KD dan Wakil KD tersebut. Peran masyarakat dapat berupa teguran-teguran atau somasi atau bahkan melakukan aksi untuk mendemostrasikan perwujudan hak-haknya atas kebijakan KD tersebut.
Perlunya tekanan-tekanan dari masyarakat terhadap kinerja eksekutif karena KD dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan, sehingga 79 80 Ibid., hal. 186-189.
Ibid., hal. 190. lembaga eksekutif secara otomatis terikat dalam pantauan atau pengawasan masyarakat. Kendatipun UUPD mengatur pengawasan DPRD sebagai representatif rakyat terhadap kinerja eksekutif, fungsi pengawasan DPRD itu hanya dapat dilaksanakan sebatas menyatakan hak interpelasi dan hak angket serta hak untuk menyatakan pendapat, tetapi tidak dapat memberhentikan Kepala Daerah.
Setidak-tidaknya ada 3 (tiga) bentuk hubungan antara Pemerintah Daerah dan DPRD yaitu: pertama, bentuk komunikasi dan tukar-menukar informasi, kedua, bentuk kerja sama atas beberapa subjek, program, masalah dan pengembangan regulasi, dan ketiga, klarifikasi atas berbagai permasalahan. Terdapat pula tiga pola hubungan lain yang umumnya terjadi antara Pemerintah Daerah dan DPRD yaitu: bentuk hubungan searah positif, bentuk hubungan konflik, dan bentuk hubungan searah negatif.
Bentuk hubungan searah positif berupa hubungan yang terjadi bila eksekutif daerah dan DPRD memiliki visi yang sama dalam menjalankan pemerintahan dan bertujuan untuk kemaslahatan daerah itu sendiri yang mengandung prinsip-prinsip: transparansi, demokratis, berkeadilan, bertanggung jawab, dan objektif. Bentuk hubungan konflik ditandai dengan hubungan yang terjadi bila kedua lembaga tersebut saling bertentangan dalam visi menyangkut tujuan kelembagaan serta tujuan daerah.
Hal ini tampak dalam pertentangan yang mengakibatkan munculnya tindakan- tindakan yang tidak produktif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pencapaian tujuan-tujuan daerah itu secara keseluruhan. Sedangkan dentuk hubungan searah negatif, terjadi bila eksekutif dan legislatif berkolaborasi (KKN) dalam penyelenggaraan pemerintahan dan secara bersama-sama menyembunyikan
kolaborasi tersebut kepada publik.
Ketiga bentuk hubungan di atas berpotensi terjadi dalam hal meliputi representasi, anggaran, pertanggungjawaban, pembuatan peraturan daerah, pengangkatan sekretaris daerah, pembinaan dan pengawasan. Menurut Suwandi, ada beberapa hal dapat menjadikan disharmonisasi (tidak harmonisnya hubungan kedua lembaga eksekutif dan legislatif) antara Pemerintah Daerah dan DPRD jika ditelaah
dalam UUPD, antara lain: 1.
Pemilihan Kepala Daerah (disingkat KD) secara langsung akan membuat akuntabilitas KD lebih kuat dibandingkan akuntabilitas DPRD. Akibat dari kondisi tersebut akan terjadi titik berat kekuatan politik yang tadinya ke DPRD menjadi ke arah KD. Kondisi ini diperkuat lagi dengan adanya dukungan perangkat daerah kepada KD, sehingga akan semakin memperkuat posisi KD.
2. Konsekuensi dari pemilihan langsung, DPRD maupun KD akan bertanggung jawab langsung kepada rakyat pemilih. KD tidak lagi menyampaikan laporan pertanggungjawabannya (LPJ) kepada DPRD, namun Kepala Daerah tetap berkewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat yang 81 dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun (vide: Pasal 69 ayat 1 UUPD), 82 Sadu Wasistiono dan Yonatan Wiyoso, Op. cit., hal. 40-41.
Suwandi, Menggagas Format Otonomi Daerah, (Jakarta: Nusamedia, 2005, hal. 21. dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD (vide: Pasal 71 ayat 2 UUPD), serta menginformasikan laporan, penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat (vide: Pasal 72 UUPD). Pasal 153 ayat (1) huruf h UUPD menegaskan tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota untuk meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Bupati/Wali Kota dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota.
3. DPRD akan tetap memiliki otoritas dalam bidang legislasi, anggaran dan kontrol. Bila DPRD mampu menggunakan kewenangan tersebut secara evektif maka sedikit banyak fungsi DPRD akan mampu mengimbangi kekuatan eksekutif (KD).
4. Terjadinya perubahan signifikan terhadap konstruksi Pemerintah Daerah yang ada sekarang, di mana terdapat kejelasan antara pejabat politik (KD dan DPRD dengan pejabat karir. Pejabat politik bertugas merumuskan kebijakan politik, sedangkan pejabat karir mengoperasikan kebijakan tersebut ke dalam bentuk pelayanan publik. Berdasarkan hubungan-hubungan di atas, maka dengan adanya pemilihan KD secara langsung oleh rakyat akan mampu meningkatkan legitimasi politiknya dalam memimpin pemerintahan daerah dan sekaligus menciptakan check and balances
dalam hubungannya dengan DPRD. Kebijakan atau pengaturan yang dikeluarkan oleh pemerintah (pemerintah daerah) menurut Prajudi Atmosudirdjo, sebenarnya 83 Sadu Wasistiono dan Yonatan Wiyoso, Op. cit., hal. 42. bukan merupakan kewenangan asli pemerintah (eksekutif) melainkan kewenangan itu
ada pada lembaga legislatif.
Oleh karena itu, jika DPRD terlampau lemah atau dikuasai oleh partai yang sama dengan KD akan menciptakan kekuatan ke arah eksekutif yaitu KD pada prinsipnya sangat bertentangan dengan pandangan di atas. Untuk itu pemberdayaan DPRD dan masyarakat secara bersama-sama sangat penting untuk menciptakan keseimbangan antara eksekutif di daerah (KD) dan DPRD di mana pada prinsipnya DPRD atau dewan legislatif-lah yang memiliki kewenangn supra dibanding pemerintah.
Dalam hubungan kedua lembaga antara KD dan DPRD tersimpul suatu hubungan yang akan memberikan persepsi yang sama mengenai bagaimana seharusnya kinerja pemerintah daerah menyediakan pelayanan terhadap warganya. Kesamaan persepsi ini sangat penting untuk menciptakan kesamaan pemikiran dan arah kegiatan antara pihak eksekutif daerah dengan pihak DPRD dalam melayani warganya.
Dalam sistim pemerintahan daerah menurut perspektif UUPD, kedudukan DPRD adalah termasuk sebagai penyelenggara pemerintahan daerah selain daripada KD. Hal ini memiliki relevansi dengan unsur penyelenggara negara pada tingkat nasional yang biasa digunakan dalam bahasa konstitusi. Taufiqurrohman Syahuri
84 Prajudi Atmosudirdjo dalam Hotma P. Sibuea, Op. cit., hal. 115.
mengatakan, dengan adanya lembaga legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum
merupakan ciri negara yang demokratis.
Sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah, maka kedudukan DPRD sejajar dan merupakan mitra KD dengan berdasarkan fungsi masing-masing. Bedanya adalah DPRD lebih dominan menjalankan fungsi regulasi dalam bentuk membuat kebijakan berupa peraturan daerah, sedangkan KD lebih dominan menjalankan fungsi mengurus dalam bentuk pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan oleh DPRD.
2. Pengawasan
Pada prinsipnya pengawasan DPRD bertujuan untuk mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya serta mengembangkan mekanisme check and balances antara lembaga legislatif daerah (DPRD) dan eksekutif daerah (pemerintah daerah/KD) demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Mirza Nasution menyebutkan, check and balances erat kaitannya dengan asas trias politika yang bermakna pembagian kekuasaan secara horizontal dikemukan jauh sebelumnya oleh
filsuf Yunani, kemudian John Locke dari Inggris dan Montesquiue dari Perancis.
Selain itu, menurut Philipus M. Hadjon, check and balances sehubungan dengan makna desentralisasi bukan berarti kebebasan atau kemerdekaan (onafhankelijkheid) di daerah melainkan kemandirian (zelfstandigheid). Kemandirian dalam ikatan negara kesatuan, karena itu diperlukan pengawasan untuk 85 86 Taufiqurrohman Syahuri, Op. cit., hal. 154.
Mirza Nasution, Op. cit., hal. 169. mengendalikan agar desentralisasi tidak bergeser semacam menjadi kemerdekaan
daerah walaupun sekedar untuk urusan pemerintahan.
Pentingnya dilakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang pemerintah daerah karena tugas dan wewenang pemerintah adalah melaksanakan pelayanan publik. Sedangkan pelayanan publik erat kaitannya dengan pemberian hak- hak sosial (social right) yang harus diterima warga dari pemerintah seperti hak-hak untuk mendapatkan pendidikan, hak memperoleh kenyamanan, keamanan, hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan, jaminan hukum yang adil,
perlakuan yang sama di hadapan hukum, jaminan sosial, dan lain-lain.
Dalam mewujudkan hak-hak rakyat tersebut tidak dapat hanya sekedar diakui tetapi diwajibkan untuk diberikan kepada rakyat oleh pelaksanaan undang-undang yaitu pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah. Oleh karena itu, UUPD dan UUMD3 mengamanatkan kepada lembaga legislatif khususnya DPRD untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam hal mengawasi kinerja eksekutif di daerah. Amanat yang terkandung di dalam ketentuan UUPD dan UUMD3 memberikan dasar hukum kepada DPRD untuk melakukan fungsi pengawasannya terhadap kinerja eksekutif (khususnya pemerintah daerah).
Dasar hukum pelaksanaan fungsi pengawasan bagi DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam Pasal 149 ayat (1) UUPD dan Pasal 154 ayat (1) huruf c 87 Philipus M. Hadjon, R. Sri Soemantri Martosoewignjo, Sjachran Basah, Bagir Manan, HM.
Laica Marzuki, JBJM. Ten Berge, PJJ. Van Buuren, dan FAM. Stroink, Pengantar Hukum
Administrasi Indonesia , (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008), hal. 212. 88 Philipus M. Hadjon, Tatiek Sri Djatmiati, GH Addink, dan JBJM Ten Berge, Op. cit., hal.26.
UUPD serta Pasal 69 ayat (1) huruf c UUMD3 dan Pasal 366 ayat (1) huruf h UUMD3, DPRD meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Wewenang DPRD untuk meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/walikota untuk mengawasi kinerja Kepala Daerah untuk dievaluasi.
Pasal 149 ayat (1) UUPD menentukan “DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan”. Fungsi pengawasan tersebut menjadi tugas dan wewenang bagi anggota DPRD selanjutnya ditentukan penegasannya dalam Pasal 154 ayat (1) huruf c UUPD, yang menentukan “Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan Kepala Daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah”.
Selain ditentukan dalam UUPD, fungsi pengawasan DPRD tersebut juga ditentukan dalam UUMD3. Fungsi DPRD yang ditentukan dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c UUMD3 adalah fungsi pengawasan, kemudian dalam Pasal 366 ayat (1) huruf c UUMD3 ditentukan tugas dan wewenang DPRD yaitu melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota.
Kemudian Pasal 366 ayat (1) huruf h UUMD3 tugas dan wewenang DPRD yaitu meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/walikota. Meminta laporan pertanggungjawaban bupati/walikota ini sebagai salah satu wujud pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD untuk mengontrol pelaksanaan tugas penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota oleh Kepala Daerah.
D. Tugas dan Wewenang serta Kewajiban KD dan DPRD Dalam Kaitannya
Dengan PengawasanLegitimasi undang-undang memberikan tugas dan wewenang kepada kedua lembaga ini (Pemerintah Daerah dan DPRD) ditentukan dalam UUPD. Tugas dan wewenang serta kewajiban KD ditentukan dalam UUPD. Kepala Daerah (KD) mempunyai tugas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 65 ayat (1) UUPD yaitu:
1. Memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
2. Memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat; 3.
Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD dan rancangan Perda tentang RPJMD kepada DPRD untuk dibahas bersama DPRD, serta menyusun dan menetapkan RKPD;
4. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD, rancangan Perda tentang perubahan APBD, dan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD untuk dibahas bersama; 5. Mewakili Daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 6. Mengusulkan pengangkatan wakil kepala daerah; dan 7. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Wewenang KD ditentukan dalam Pasal 65 ayat (2) UUPD, bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada Pasal 65 ayat (1) UUPD, KD berwenang: 1.
Mengajukan rancangan Perda; 2. Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD; 3. Menetapkan Perkada dan keputusan kepala daerah;
4. Mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat dibutuhkan oleh Daerah dan/atau masyarakat;
5. Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
KD dibantu seorang wakil dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Dalam melaksanakan tugas dan wewenang wakil KD menurut Pasal 66 ayat (1) UUPD, mempunyai tugas: 1.
Membantu kepala daerah dalam: a. memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah; b. mengoordinasikan kegiatan Perangkat Daerah dan menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan; c. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dilaksanakan oleh Perangkat Daerah provinsi bagi wakil gubernur; dan d. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Perangkat Daerah kabupaten/kota, kelurahan, dan/atau
Desa bagi wakil bupati/wali kota; 2. Memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam pelaksanaan Pemerintahan Daerah;
3. Melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara;
4. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Selain melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 66 ayat (1) UUPD, Wakil Kepala Daerah melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh Kepala Daerah yang ditetapkan dengan keputusan Kepala Daerah.
Dalam melaksanakan tugas tersebut Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab kepada Kepala Daerah.
Berdasarkan ketentuan tersebut UUPD mewajibkan kepada KD untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan, penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat. LKPJ dari KD tersebut disampaikan kepada Presiden melalui Mendagri untuk Gubernur, dan kepada Mendagri melalui Gubernur untuk Bupati/Walikota 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 UUPD, kedudukan DPRD adalah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah, ”Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah”. Pasal 1 angka 4 UUPD tersebut menunjukkan bahwa DPRD memiliki kedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Sehinngga menurut UUPD terdapat dua lembaga sebagai penyelenggara pemerintahan tetapi di sisi lain memiliki dominasi fungsi, di mana DPRD dominannya sebagai regulator sedangkan KD dominannya sebagai pelaksanaa regulasi. Kondisi ini pada praktiknya cenderung berpotensi menimbulkan konflik kepentingan yang mempersulit posisi anggota DPRD sebagai lembaga pengawasan
eksekutif.
Kesulitan DPRD dapat dilihat dari perspektif pengaturan kewenangannya dalam UUPD antara lain DPRD tidak berwenang memberhentikan KD jika KD melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan rencana strategis pembangunan daerah atau KD melanggar hukum. DPRD hanya berwenang memberikan sebatas pernyataan pendapat melalui hak interpelasi dan hak angketnya yang selanjutnya 89 Sadu Wasistiono dan Yonatan Wiyoso, Op. cit., hal. 43. untuk menyatakan KD bersalah atau tidak di bawah kewenangan Mendagri cq Presiden sebagai jalur struktural pemerintahan secara vertikal.
Tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota menurut UUPD, ditegaskan dalam Pasal 154 ayat (1) UUPD sebagai berikut:
1. Membentuk Perda Kabupaten/Kota bersama bupati/wali kota; 2.
Membahas dan memberikan persetujuan rancangan Perda mengenai APBD kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/wali kota;
3. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan APBD kabupaten/kota;
4. Memilih bupati/wali kota; 5.
Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/wali kota kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan pemberhentian.
6. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota terhadap rencana perjanjian international di Daerah;
7. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota;
8. Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/wali kota dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota;
9. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan Daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan Daerah;
10. Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan fungsi DPRD Kabupaten/Kota diatur dalam Pasal 149 s/d Pasal 153 UUPD adalah memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Sementara Hak dan kewajiban DPRD Kabupaten/Kota diatur dalam Pasal 159 UUPD, Pasal 160 UUPD. Hak anggota DPRD dalam Pasal 159 ayat (1) UUPD adalah memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Hak anggota DPRD dalam Pasal 160 adalah mengajukan rancangan Perda; mengajukan pertanyaan; menyampaikan usul dan pendapat; memilih dan dipilih; membela diri; imunitas; protokoler; dan hak keuangan dan administratif.
Kewajiban anggota DPRD sebagaimana diatur dalam Pasal 161 UUPD antara lain:
1. Mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menaati segala peraturan perundang- undangan;
2. Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
3. Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 4. Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah; 5. Menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat;
6. Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;
7. Memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku anggota DPRD sebagai wujud tanggung jawab moral dan politis terhadap daerah pemilihannya;
8. Menaati Peraturan Tata Tertib, Kode Etik, dan sumpah/janji anggota DPRD; 9.
Menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.
Dalam norma pengaturan kewajiban bagi anggota DPRD sebagaimana di atas terkandung suatu pendelegasian hak rakyat kepada DPRD sehingga menjadi suatu kewajiban bagi anggota DPRD untuk menyampaikan hak-hak masyarakat tersebut kepada Pemerintah.
Pendelegasian hak rakyat tersebut melalui dewan legislatif merupakan ciri penting dalam negara demokrasi dalam penyelenggaran pemerintahan negara. Inilah konsekuensi dari demokrasi langsung melahirkan demokrasi perwakilan yang diwujudkan dengan adanya pembentukan lembaga DPRD sebagai
90 M. Abari, Lengkap Lembaga Tinggi Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Penerbit Limas, 2011), hal. 79.
tempat untuk menyuarakan berbagai kepentingan dan kehendak masyarakat di
daerah.
Dalam Pasal 154 ayat (1) huruf h UUPD, diatur bahwa DPRD Kabupaten/Kota mempunyai tugas dan wewenang meminta LKPJ Kepala Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah Kabupaten/Kota. Dalam hal meminta LKPJ dari KD dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah bukan suatu kewajiban DPRD melainkan menjadi tugas dan wewenangnya selaku wakil rakyat. Artinya walaupun bukan kewajiban bagi DPRD tetapi DPRD tetap wajib meminta LKPJ pemerintah daerah sebagai wujud representasi rakyat karena hal itu sudah menjadi tugas dan wewenangnya.
Dalam posisi DPRD sebagai representasi rakyat secara bersamaan juga sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah, memiliki peran untuk membuat kebijakan berupa pengaturan dalam bentuk peraturan daerah atau yang disebut dengan fungsi legislasi atau fungsi pengaturan, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan. Dalam hal ini DPRD sebagai wakil rakyat (representatif rakyat) berfungsi mewakili kepentingan rakyat jika berhadapan dengan pihak eksekutif serta sebagai fungsi advokasi yakni DPRD melakukan fungsi penyaluran aspirasi rakyat.
Prinsip yang paling penting dalam hubungan kerja antara pemerintah daerah dan DPRD adalah saling berkoordinasi. Artinya segala kebijakan atas pelaksanaan 91
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/governance/article/view/1119, diakses tanggal 05 Mei
2013. Artikel ditulis oleh: Herman Bonai, dengan judul: “Pentingnya Fungsi Pengawasan Dprd
Terhadap Kebijakan Pemerintah Daerah Menyangkut Pembagian Dana Pemberdayaan Kampung Di
Distrik Angkaisera Kampung Menawi Kabupaten Kepulauan Yapen”. 92 Sarman dan Muhammad Taufik Makarao, Op. cit., hal. 123-124.peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh KD baik mengenai kebijakan daerah, penyusunan APBD, kebijakan strategis kepegawaian, kebijakan strategis pengelolaan barang, LKPJ, kebijakan pengawasan pelaksanaan peraturan perundang- undangan, anggaran (alokasi uang daerah), tata ruang, dan lain-lain harus dibicarakan
bersama antara KD dan DPRD.
Tugas dan kewenang KD secara normatif diatur dalam perundang-undangan yang diperuntukkan untuk itu. Pelaksanaan tugas dan wewenang demikian berada pada porsi strategis dan berdampak luas bagi masyarakat karena tugas dan tanggung jawab KD bersentuhan dengan hak-hak yang semestinya harus diberikan kepada masyarakat melalui pembangunan berbagai sektor di daerah.
Masyarakat cenderung akan menganggap jika suatu kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingannya berkesimpulan bahwa undang-undang tidak sama
menguntungkan bagi semua golongan. Pandangan demikian ini sebagai konsekuensi dari prinsip negara yang berdemokrasi di mana pengakuan terhadap hak-
hak asasi manusia di dalam konsep negara hukum.
Pengaturan tugas dan wewenang KD dalam UUPD pada porsi demikian sebagai konsekuensi pada sistim otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab. Otonomi daerah yang berlaku penting dilakukan pengawasan terhadap pelaksana undang-undang dan peraturan lainnya yaitu KD. Ketika suatu 93 94 Sadu Wasistiono dan Yonatan Wiyoso, Op. cit., hal. 46.
Jasper Pasaribu dan Majda El Muhtaf, Ilmu Negara, (Medan: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, 2008), hal. 151. 95 http://www.jimly.com/pemikiran/view/11, diakses tanggal 02 Mei 2013. Artikel ditulis oleh Jimly Asshiddiqie, dengan judul “Prinsip Pokok Negara Hukum”. pembangunan diwujudkan baik karena kebijakan KD atau sudah ditentukan dalam undang-undang dinilai masyarakat tidak berpihak pada kepentingan masyarakat itu sendiri, maka reaksi masyarakat selalu berusaha sekuat mungkin melakukan protes
terhadap kebijakan publik itu.