Hukum Menikah dalam Keadaan Hamil disertasi dalam hukum

http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/fiqh-ibadah/hukum-menikah-dalamkeadaan-hamil/

Hukum Menikah dalam Keadaan
Hamil
Oleh: Al-Ustâdz Abû Muhammad Dzulqarnain
1. Bagaimanakah hukumnya pernikahan yang dilaksanakan ketika wanita yang dinikahi dalam
keadaan hamil?
2. Bila sudah terlanjur menikah, apakah yang harus dilakukan? Apakah harus cerai dulu,
kemudian menikah lagi atau langsung menikah lagi tanpa harus bercerai terlebih dahulu?
3. Dalam hal ini apakah masih diperlukan mas kawin (mahar)?
Kami jawab -dengan meminta pertolongan dari Allah Al-’Alim Al-Hakim sebagai berikut:
1. Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam:
Satu: Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil.
Dua: Perempuan yang hamil karena melakukan zina sebagaimana yang banyak terjadi di zaman
ini -wal ‘iyadzu billah- mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa
terkutuk ini.
Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh dinikahi sampai lepas
‘iddah[1]nya. Dan ‘iddah-nya ialah sampai ia melahirkan sebagaimana dalam firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
‫وُهأوُللت امل لحماَل أ لجل هه ل‬
‫ن‬

‫ن ل‬
‫ن يل ل‬
‫نأ م‬
‫ح م‬
‫ه‬
‫مل لهه ن‬
‫ضع م ل‬
‫م ل ل ل ه ن‬
‫ل‬
“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan
kandungannya.” (QS. Ath-Tholaq: 4)
Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya batil tidak
sah sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:
‫ل‬
‫قد لة ل الن ن ل‬
‫ه‬
‫موُا ع ه م‬
‫بأ ل‬
‫حنتىَّ ي لب مل هغل ال مك للتاَ ه‬
‫ح ل‬

‫جل ل ه‬
‫وُللل ت لعمزل ه‬
‫كاَ ل‬
“Dan janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya.”
(QS. Al-Baqarah: 235)
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini: “Yaitu jangan kalian melakukan akad
nikah sampai lepas ‘iddah-nya.” Kemudian beliau berkata: “Dan para ‘ulama telah sepakat bahwa
akad tidaklah sah pada masa ‘iddah.”
Lihat: Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu’ 17/347-348, Al-Muhalla 10/263 dan Zadul
Ma’ad 5/156.
Adapun perempuan hamil karena zina, kami melihat perlu dirinci lebih meluas karena pentingnya
perkara ini dan banyaknya kasus yang terjadi di seputarnya. Maka dengan mengharap curahan
taufiq dan hidayah dari Allah Al-’Alim Al-Khabir, masalah ini kami uraikan sebagai berikut:
Perempuan yang telah melakukan zina menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal bolehnya
melakukan pernikahan dengannya terdapat persilangan pendapat dikalangan para ‘ulama.
Secara global para ‘ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya
nikah dengan perempuan yang berzina.
Syarat yang pertama: Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista.

Dalam pensyaratan taubat ada dua pendapat dikalangan para ‘ulama:

Satu: Disyaratkan bertaubat. Dan ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah,
Ishaq dan Abu ‘Ubaid.
Dua: Tidak disyaratkan taubat. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi’iy dan Abu
Hanifah.
Tarjih
Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk
bertaubat.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109: “Menikahi perempuan pezina
adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau
selainnya. Inilah yang benar tanpa keraguan.”
Tarjih di atas berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
‫ة لل ينكحهاَ إنل زا ل‬
‫الزالنيِ لل ينكح إنل زان ليِ ة ل‬
‫م ذ لل ل ل‬
‫شرل ك‬
‫م م‬
‫م م‬
‫ن‬
‫ة لوُالنزان ليِ ل ه‬
‫شرلك ل ة‬

‫مؤ م ل‬
‫ك وُل ه‬
‫ل ل‬
‫لم ل ه‬
‫ن‬
‫حنر ل‬
‫ك ع لللىَّ ال م ه‬
‫ن أوُم ه‬
‫ة أوُم ه‬
‫ملنيِ ل‬
‫لم ل ه ل ل ل ن‬
“Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang
musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau
laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mu`minin.” (QS. An-Nur: 3)
Dan dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, beliau
berkata:
‫ةا ل‬
‫أ لن مرث لد ب ل‬
‫م ه ل‬
‫ل ل للهاَ ع للناَقك وُل ل‬

‫ة وُل ل‬
‫ه ل‬
‫قاَ ه‬
.‫ه‬
‫صد لي م ل‬
‫يِ ي ه ل‬
‫مك ن ل‬
‫ح ل‬
‫ممرث لد ن ال مغلن لوُلين لر ل‬
‫كاَ ل‬
‫ن يل م‬
‫كاَ ل‬
‫ل امل ل‬
‫قت ل ه‬
‫كاَن ل م‬
‫مك ن ل م‬
‫ن بل ل‬
‫ساَلرىَ ب ل ل‬
‫ه ع لن م ه‬
‫يِ الل ه‬

‫يِ ل‬
‫ت ل‬
‫ملرأة ك ب لغل ي‬
‫ض ل‬
‫ن أب ل م‬
‫ن ل م ل م ل‬
‫ل‬
‫ل‬
‫م‬
‫ن‬
‫ل‬
‫ل‬
‫ح ع للناَةقاَ ؟ لقاَ ل‬
‫سوُم ل‬
‫لقاَ ل‬
:‫ت‬
‫م فل ه‬
‫صل‬
ِ‫ي‬
‫ب‬

‫ن‬
‫ال‬
َّ‫ى‬
‫إل‬
‫ت‬
‫ن‬
‫ل اللهل أن مك ل ه‬
‫ فل ل‬:‫ل‬
‫ت لياَ لر ه‬
‫ه ع لليِ مهل وُلع للىَّ آل لهل وُل ل‬
‫يِ فلن للزل م‬
‫سك ل ل‬
‫قل ه‬
‫سل ل‬
‫ىَّ الل ه‬
‫ل‬
‫جئ م ه‬
‫ فل ل‬:‫ل‬
‫ل‬
‫ت ع لن ن م‬

‫ن‬
‫ة لل يلنك لحهاَ إنل زا ن ل‬
‫شرل ك‬
‫ وُللقاَ ل‬.ِ‫ي‬
‫م م‬
َ‫حلها‬
‫يِ فل ل‬
‫ك(( فلد ل ل‬
‫قلرأ ل ل‬
‫))لوُالنزان ليِ ل ه‬
‫ ل ل ت لن مك ل م‬:‫ل‬
‫ن أوُم ه‬
‫هاَ ع لل ل ن‬
‫عاَن ل م‬
‫لم ل ه ل ل ل ن‬
Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan perang dari Makkah dan
di Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan (nama) ‘Anaq dan ia adalah teman
(Martsad). (Martsad) berkata: “Maka saya datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam lalu saya berkata: “Ya Rasulullah, Saya nikahi ‘Anaq?” Martsad berkata: “Maka beliau
diam, maka turunlah (ayat): “Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki

yang berzina atau laki-laki musyrik.” Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya
padaku dan beliau berkata: “Jangan kamu nikahi dia.” (Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051,
At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy
7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745 dan disebutkan oleh Syeikh Muqbil rahimahullahu
dalam Ash-Shohih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul)
Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan pezina. Namun hukum
haram tersebut bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah
hukum haram nikah dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:
‫ه‬
‫ب ل‬
‫ن لل ذ لن م ل‬
‫النتاَئ ل ه‬
‫ب لل ه‬
‫ب كل ل‬
‫ن الذ نن م ل‬
‫م م‬
‫م ل‬
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya.” (Dihasankan oleh
Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho’ifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya)

Adapun para ‘ulama yang mengatakan bahwa kalimat ‘nikah’ dalam ayat An-Nur ini bermakna
jima’ atau yang mengatakan ayat ini mansukh (terhapus hukumnya) ini adalah pendapat yang
jauh dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan bermakna jima’ atau mansukh) telah dibantah
secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Dan pendapat yang mengatakan
haram nikah dengan perempuan pezina sebelum bertaubat, ini pula yang dikuatkan AsySyinqithy dalam Adwa Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul Ma’ad 5/114-115.
Dan lihat permasalahan di atas dalam: Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Mughny 9/562-563 (cet. Dar
‘Alamil Kutub), dan Al-Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah 2/582-585.
Catatan:

Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa perlu diketahui kesungguhan taubat perempuan yang
berzina ini dengan cara dirayu untuk berzina kalau ia menolak berarti taubatnya telah baik.
Pendapat ini disebutkan oleh Al-Mardawy dalam Al-Inshof 8/133 diriwayatkan dari ‘Umar dan
Ibnu ‘Abbas dan pendapat Imam Ahmad. Dan Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/125 kelihatan
condong ke pendapat ini.
Tapi Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 9/564 berpendapat lain, beliau berkata: “Tidak pantas
bagi seorang muslim mengajak perempuan untuk berzina dan memintanya. Karena
permintaannya ini pada saat berkhalwat (berduaan) dan tidak halal berkhalwat dengan
Ajnabiyah (perempuan bukan mahram) walaupun untuk mengajarinya Al-Qur’an maka
bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan dalam merayunya untuk berzina?”
Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya sebagaimana ia bertaubat kalau

melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat:
1. Ikhlash karena Allah.
2. Menyesali perbuatannya.
3. Meninggalkan dosa tersebut.
4. Ber‘azam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahari terbit dari Barat dan sebelum
ruh sampai ke tenggorokan.
Dan bukan disini tempat menguraikan dalil-dalil lima syarat ini. Wallahu A’lam.
Syarat Kedua: Telah lepas ‘iddah.
Para ‘ulama berbeda pendapat apakah lepas ‘iddah, apakah merupakan syarat bolehnya
menikahi perempuan yang berzina atau tidak, ada dua pendapat:
Pertama: Wajib ‘iddah.
Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha’iy, Rabi’ah bin ‘Abdurrahman, Imam Malik, AtsTsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.
Kedua: Tidak wajib ‘iddah.
Ini adalah pendapat Imam Syafi’iy dan Abu Hanifah, tapi ada perbedaan antara mereka berdua
pada satu hal, yaitu menurut Imam Syafi’iy boleh untuk melakukan akad nikah dengan
perempuan yang berzina dan boleh ber-jima’ dengannya setelah akad, apakah orang yang
menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya. Sedangkan Abu
Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh ber-jima’ dengannya,
apabila yang menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang
menikahinya selain orang yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh
ber-jima’ sampai istibro` (telah nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid atau
sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil.
Tarjih
Dan yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib ‘iddah berdasarkan
dalil-dalil berikut ini:
1. Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang Authos:
‫ه‬
‫م ك‬
‫ة‬
‫ض ة‬
‫حنتىَّ ت ل ل‬
‫حاَ ل‬
‫حاَ ل‬
‫حيِ م ل‬
‫ض ل‬
‫ل ل‬
‫ضعه وُلل ل غ ليِ مهر ل‬
‫حنتىَّ ت ل ل‬
‫ل ل‬
‫ل ل ت هوُمط لأ ل‬
‫حيِ م ل‬
‫م ن‬
“Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil
sampai ia telah haid satu kali.” (HR. Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224 AlHakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al-Ausath no. 1973 dan Ibnul Jauzy
dalam At-Tahqiq no. 307 dan di dalam sanadnya ada rowi yang bernama Syarik bin ‘Abdullah

An-Nakha’iy dan ia lemah karena hafalannya yang jelek tapi hadits ini mempunyai dukungan dari
jalan yang lain dari beberapa orang shohabat sehingga dishohihkan dari seluruh jalan-jalannya
oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187)
2. Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam, beliau bersabda:
‫ن ل‬
‫ن لباَللهل لوُال ميِ لوُمم ل امل ل‬
‫ماَلءه ه لزمرع ل غ ليِ مرلهل‬
‫ن ي هؤ م ل‬
‫كاَ ل‬
‫خرل فلل ل ي ل م‬
‫ق ل‬
‫ل‬
‫م ه‬
‫م م‬
‫س ل‬
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya ke
tanaman orang lain.” (HR. Ahmad 4/108, Abu Daud no. 2158, At-Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy
7/449, Ibnu Qoni’ dalam Mu’jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thobaqot 2/114115, Ath-Thobarany 5/no.4482 dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 2137)
3. Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:
‫ل‬
‫أ لنه أ لتىَّ باَ ل‬
‫س ل‬
‫سوُم ه‬
‫قاَ ل‬
‫قاَ ل‬
‫م فل ل‬
‫م ب للهاَ فل ل‬
‫ط فل ل‬
‫ه ع لل ليِ مهل وُلع لللىَّ آل لهل‬
‫طاَ ن‬
‫ه ي هرلي مد ه أ م‬
‫ج ح‬
‫ل لر ه‬
‫ب فه م‬
‫ىَّ الل ه‬
‫وُا ن لعل م‬
‫ن ي هل ل ن‬
‫ل ل لعلل ن ه‬
‫م ل‬
‫ملرأةن ه‬
‫ن ه ل ل م‬
‫ل اللهل ل‬
‫ح ع لللىَّ لباَ ل‬
‫قاَل ه م‬
‫صل ن‬
‫ل‬
‫ل‬
‫ح ل‬
‫ح ل‬
‫خ ه‬
‫ه‬
‫م لل ل‬
‫ست ل م‬
‫ه ل لعمةناَ ي لد م ه‬
‫ه وُلههوُل ل ل ي ل ل‬
‫ه ك ليِ م ل‬
‫ه وُلههوُل ل ل ي ل ل‬
‫ه قلب ملره ه ك ليِ م ل‬
‫تأ م‬
‫ف يل م‬
‫وُل ل‬.
‫ل لل ه‬
‫م ه‬
‫خد ل ه‬
‫ل لل ه‬
‫ف ي هوُلنرث ه ه‬
‫مع ل ه‬
‫ل ل‬
‫ن أل معلن ل ه‬
‫م ه‬
‫م م‬
‫قد م ه ل ل‬
‫سل ن ل‬
Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau
bersabda: “Barangkali orang itu ingin menggaulinya?” (Para sahabat) menjawab: “Benar.” Maka
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda: “Sungguh saya telah berkehendak
untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya
sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal
baginya.”
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah: “Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan
haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia
seorang budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu
atau karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina.”
Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib ‘iddah dan pendapat ini yang
dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah AdDaimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia). Wallahu A’lam.
Catatan:
Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil karena zina tidak boleh
dinikahi sampai melahirkan, maka ini ‘iddah bagi perempuan yang hamil karena zina dan ini juga
ditunjukkan oleh keumuman firman Allah ‘Azza wa Jalla:
‫وُهأوُللت امل لحماَل أ لجل هه ل‬
‫ن‬
‫ن ل‬
‫ن يل ل‬
‫نأ م‬
‫ح م‬
‫ه‬
‫مل لهه ن‬
‫ضع م ل‬
‫م ل ل ل ه ن‬
‫ل‬
“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan
kandungannya.” (QS. Ath-Tholaq: 4)
Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, ‘iddahnya diperselisihkan oleh
para ‘ulama yang mewajibkan ‘iddah bagi perempuan yang berzina. Sebagian para ‘ulama
mengatakan bahwa ‘iddahnya adalah istibro` dengan satu kali haid. Dan ‘ulama yang lainnya
berpendapat: tiga kali haid yaitu sama dengan ‘iddah perempuan yang ditalak.
Dan yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad dalam satu riwayat adalah cukup dengan
istibro` dengan satu kali haid. Dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan
hadits Abu Sa’id Al-Khudry di atas. Dan ‘iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam AlQur’an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya sebagaimana dalam firman Allah
Jalla Sya`nuhu:
‫ة قههروُمنء‬
‫ن ب لأ لن م ه‬
‫مط لل ن ل‬
‫ن ث لل لث ل ل‬
‫ف ل‬
‫قاَ ه‬
‫لوُال م ه‬
‫ت ي لت للرب ن م‬
‫سه ل ن‬
‫ص ل‬
“Dan wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu) selama tiga
kali quru`(haid).” (QS. Al-Baqarah: 228)
Kesimpulan Pembahasan:

1. Tidak boleh nikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua syarat yaitu, bila
perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan telah lepas ‘iddah-nya.
2. Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas ‘iddah adalah sebagai berikut:
• Kalau ia hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai melahirkan.
• Kalau ia belum hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai ia telah haid satu kali semenjak
melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta’ala A’lam.
Lihat pembahasan di atas dalam: Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197, Al-Ifshoh 8/81-84, AlInshof 8/132-133, Takmilah Al-Majmu’ 17/348-349, Raudhah Ath-Tholibin 8/375, Bidayatul
Mujtahid 2/40, Al-Fatawa 32/109-134, Zadul Ma’ad 5/104-105, 154-155, Adwa` Al-Bayan
6/71-84 dan Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Lisyaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/582-585, 847850.
2. Telah jelas dari jawaban di atas bahwa perempuan yang hamil, baik hamil karena
pernikahan sah, syubhat atau karena zina, ‘iddahnya adalah sampai melahirkan. Dan
para ‘ulama sepakat bahwa akad nikah pada masa ‘iddah adalah akad yang batil lagi
tidak sah. Dan kalau keduanya tetap melakukan akad nikah dan melakukan hubungan
suami-istri setelah keduanya tahu haramnya melakukan akad pada masa ‘iddah maka
keduanya dianggap pezina dan keduanya harus diberi hadd (hukuman) sebagai pezina kalau
negara mereka menerapkan hukum Islam, demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam AlMughny 11/242.
Kalau ada yang bertanya: “Setelah keduanya berpisah, apakah boleh keduanya kembali setelah
lepas masa ‘iddah?”
Jawabannya adalah ada perbedaan pendapat di kalangan para ‘ulama.
Jumhur (kebanyakan) ‘ulama berpendapat: “Perempuan tersebut tidak diharamkan baginya
bahkan boleh ia meminangnya setelah lepas ‘iddah-nya.”
Dan mereka diselisihi oleh Imam Malik, beliau berpendapat bahwa perempuan telah menjadi
haram baginya untuk selama-lamanya. Dan beliau berdalilkan dengan atsar ‘Umar bin Khaththab
radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan hal tersebut. Dan pendapat Imam Malik ini juga
merupakan pendapat dulu dari Imam Syafi’iy tapi belakangan beliau berpendapat bolehnya
menikah kembali setelah dipisahkan. Dan pendapat yang terakhir ini zhohir yang dikuatkan oleh
Ibnu Katsir dalam tafsir-nya dan beliau melemahkan atsar ‘Umar yang menjadi dalil bagi Imam
Malik bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar yang serupa dari ‘Umar bin Khaththab
radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan bolehnya. Maka sebagai kesimpulan pendapat yang kuat
dalam masalah ini adalah boleh keduanya menikah kembali setelah lepas ‘iddah. Wal ‘Ilmu
‘Indallah.
Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 1/355 (Darul Fikr).
3. Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam keadaan
keduanya tahu tentang haramnya menikahi perempuan hamil kemudian mereka berdua
tetap melakukan jima’ maka keduanya dianggap berzina dan wajib atas hukum hadd kalau
mereka berdua berada di negara yang diterapkan di dalamnya hukum Islam dan juga tidak ada
mahar bagi perempuan tersebut.
Adapun kalau keduanya tidak tahu tantang haramnya menikahi perempuan hamil maka ini
dianggap nikah syubhat dan harus dipisahkan antara keduanya karena tidak sahnya nikah yang
seperti ini sebagaimana yang telah diterangkan.
Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak mendapatkan maharnya kalau memang
belum ia ambil atau belum dilunasi.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam bersabda:

‫أ ليماَ ا ل‬
‫ل فلن ل ل‬
‫ل فلن ل ل‬
‫ن وُلل ليِ نلهاَ فلن ل ل‬
‫ح ن‬
‫خ ل‬
‫حلهاَ لباَط ل ك‬
‫حلهاَ لباَط ل ك‬
‫حلهاَ لباَط ل ك‬
َ‫جلها‬
‫ن دل ل‬
‫ست ه ل‬
‫ل ل‬
‫ل فلإ ل م‬
‫كاَ ه‬
‫كاَ ه‬
‫كاَ ه‬
‫ملرأةن ن لك ل ل‬
‫ماَ ا م‬
‫ن فلمر ل‬
‫مهمهر ب ل ل‬
‫ل ب للهاَ فلل للهاَ ال م ل‬
‫ح م‬
‫ل ل م‬
‫م م‬
‫ت ب لغليِ مرل إ لذ م ل‬
‫ل‬
‫م‬
‫ل‬
‫ل‬
‫نا م‬
َ‫يِ ل للها‬
‫ل‬
ُ‫و‬
‫ل‬
‫ن‬
‫م‬
ِ‫ي‬
‫ل‬
ُ‫و‬
‫ن‬
َ‫طا‬
‫ل‬
‫س‬
‫فاَل‬
‫وُا‬
‫ر‬
‫ج‬
‫فلإ ل م‬
‫ل‬
‫لل ن‬
‫ه لل ل ل م‬
‫شت ل ل ه م‬
“Perempuan mana saja yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil,
nikahnya batil, dan apabila ia telah masuk padanya (perempuan) maka baginya mahar dari
dihalalkannya kemaluannya, dan apabila mereka berselisih maka penguasa adalah wali bagi
yang tidak mempunyai wali.” (HR. Syafi’iy sebagaimana dalam Munadnya 1/220,275, dan dalam
Al-Umm 5/13,166, 7/171,222, ‘Abdurrazzaq dalam Mushonnafnya 6/195, Ibnu Wahb
sebagaimana dalam Al-Mudawwah Al-Kubra 4/166, Ahmad 6/47,66,165, Ishaq bin Rahawaih
dalam Musnadnya 2/no. 698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalam Musnadnya
1/112, Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no. 1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu
Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo no. 700, Sa’id bin Manshur dalam Sunannya
1/175, Ad-Darimy 2/185, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 3/7, Abu Ya’la dalam
Musnadnya no. 4682,4750,4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4074, Al-Hakim
2/182-183, Ad-Daruquthny 3/221, Al-Baihaqy 7/105,124,138, 10/148, Abu Nu’aim dalam AlHilyah 6/88, As-Sahmy dalam Tarikh Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1654
dan Ibnu ‘Abbil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa`
no.1840)
Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil tidak sah sebagaimana nikah di masa ‘iddah hukumnya
batil tidak sah. Karena itu kandungan hukum dalam hadits mencakup semuanya.
Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.
Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia melahirkan, maka
kembali diwajibkan mahar atasnya berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala:
‫ة‬
‫حل ل ة‬
‫ن نل م‬
‫لوُآهتوُا الن ن ل‬
‫ساَلء ه‬
‫صد للقاَت لهل ن‬
“Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh
kerelaan.” (QS. An-Nisa`: 4)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
‫لفآَتوُهه ه‬
‫ة‬
‫ض ة‬
‫ن فلرلي م ل‬
‫نأ ه‬
‫جوُملرهه ن‬
‫ه م ن‬
“Berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagai suatu kewajiban.” (QS. An-Nisa`: 24)
Dan banyak lagi dalil yang semakna dengannya. Wallahu A’lam.
Lihat: Al-Mughny 10/186-188, Shohih Al-Bukhary (Fathul Bary) 9/494, Al-Fatawa 32/198,200
dan Zadul Ma’ad 5/104-105.
Footnote:
[1] Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar sebagaimana dalam Nailul Author 4/438: “‘Iddah adalah nama
bagi waktu penungguan seorang perempuan dari menikah setelah suaminya meninggal atau
(suaminya) menceraikannya. Apakah dengan melahirkan, quru` (yaitu haid menurut pendapat
yang kuat-pen.) atau dengan beberapa bulan.”
Sumber: http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=45
http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=45&page_order=2
March 4th, 2008 | Category: Fiqh Ibadah, Munakahat & Keluarga, Muslimah

59 comments to Hukum Menikah dalam
Keadaan Hamil



Syahru Ramadhan
March 4, 2008 at 1:25 pm · Reply

3. Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:
Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau
bersabda: “Barangkali orang itu ingin menggaulinya?” (Para sahabat) menjawab: “Benar.” Maka
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda: “Sungguh saya telah berkehendak
untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya
sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal
baginya.”
Mohon agar matan tulisan ini diedit lagi.



Syahru Ramadhan
March 4, 2008 at 1:32 pm · Reply

atau mungkin hasil postingnya memang begitu ya.
Saya coba copy matan hadits /terjemahan diatas yg mana tertulis melaknatnya 2x dan
kuburnya2 kali tapi justru berubah.
`Afwan, kami tidak memahami maksud antum. In syâ’ Allâh artikel ini sesuai aslinya, termasuk
matan hadîts yang dimaksud.


Ramadhan
March 10, 2008 at 12:25 pm · Reply
Mungkin ini penglihatan saya aja.
Ketika saya baca tulisannya tertulis beberapa kata yang double/dua kali ketik. Alhamdulillah
sudah tidak ada lagi.


ugo
November 11, 2009 at 7:28 pm · Reply
pas ne lagi nyari makalah tentang nikah..hahaa


ezas
April 6, 2010 at 11:04 pm · Reply
ijin copas


lacsana
November 17, 2010 at 4:31 pm · Reply

saya mau menanyakan tentang anak yang menikah diusia muda karena married by accident,
kira2 secara islam bagaimana, apakah kalau dinikahkan oleh orang tuanya bagaimana, supaya
hal tersebut untuk menghindari aib dan menyelamatkan si anak dari jurang kehancuran, dan
setelah dinikahkan apakah setelah melahirkan perlu dinikahkan kembali..? terima kasih
ADMIN:
Penjelasan pada artikel di atas insya Allah sudah cukup jelas, intinya HARAM, nikahnya TIDAK
SAH. Menghindari aib itu bukanlah alasan syar’i, bahkan jika dilakukan alasan itu akan
menyebabkan semakin melanggar syariat (karena haramnya menikahi wanita hamil sebab zina).
juga ‘utk menyelamatkan si anak dari jurang kehancuran’ itu pun bukan alasan, karena dia
memang telah masuk ke jurang kehancuran akibat zina yang diperbuatnya, akan tetapi yang
dapat menyelamatkannya adalah dengan taubat yang benar, bukan malah semakin melanggar
syariat dan jatuh 2 kali ke jurang kehancuran dengan menikahi wanita hamil sebab zina (padahal
ini haram) yang mana ini sama saja berarti dia itu akan zina seterusnya (karena nikah yang
seperti ini tidak sah).
Penjelasan tambahan:
Telah ditanyakan kepada as Syaikh Abu Yaasir Khalid Ar Raddadiy (hafidhahumallah)
Pertanyaan Langsung via Telepon
Melalui: al-Ustadz Abu Abdirrahman Muhammad Wildan, Lc.
dari Sekretariat Yayasan Anshorus Sunnah, Batam
tentang Hukum Menikahi Wanita Hamil Karena Berzina
- Tanya :
Apakah sah pernikahan seorang wanita yang hamil karena zina dengan laki-laki yang berzina
dengannya atau dengan selain laki-laki yang berzina dengannya ?
‫ السلم عليِكم‬: ‫س‬
‫ وُعليِكم السلم‬: ‫ج‬
‫ معذرة ياَ شيِخناَ انقطع الخط‬: ‫س‬.
‫ هل يصح نكاَح المرأة الحاَمل من الزناَ بمن زنىَّ بهاَ أوُ بغيِر من زنىَّ بهاَ ؟‬: ‫س‬
‫ هل يصح نكاَح من ؟‬: ‫ج‬
‫ هل يصح نكاَح المرأة الحاَمل من الزناَ باَلرجل الذي زنىَّ بهذه المرأة أوُ بغيِر الرجل الذي زنىَّ بهذه المرأة ؟‬: ‫س‬
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~
- Jawab (Syaikh Kholid ar Raddaadiy) :
Permasalahan ini berkaitan dengan pernikahan seorang laki-laki dengan wanita yang hamil
karena zina, baik itu dengan laki-laki yang menzinainya atau dengan selain laki-laki yang
menzinainya, maka permasalahan ini mengandung hal-hal sebagai berikut:
Pertama:
Bagi wanita yang berzina ini Allah Azza wa Jalla berfirman dalam surat An~Nuur : 3 [‫]سوُرة النوُر‬
‫ة لل ينكحهاَ إنل زا ل‬
‫الزالنيِ لل ينكح إنل زان ليِ ة ل‬
‫م ذ لل ل ل‬
‫شرل ك‬
‫م م‬
‫م م‬
.‫ن‬
‫ة لوُالنزان ليِ ل ه‬
‫شرلك ل ة‬
‫مؤ م ل‬
‫ك وُل ه‬
‫ل ل‬
‫ل ل ه‬
‫ن‬
‫حنر ل‬
‫ك ع لللىَّ ال م ه‬
‫ن أوُم ه‬
‫ة أوُم ه‬
‫ملنيِ ل‬
‫ل ل ه ل ل ل ن‬
Artinya:
Laki-laki yg berzina itu tidak menikahi kecuali wanita yg berzina atau wanita musyrikah. Dan
wanita yang berzina itu tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki yg berzina atau seorang laki-laki yang
musyrik dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang beriman (Surat An-Nuur : 3)
Apabila kita membaca ayat yang mulia ini yang Allah akhiri ayat ini dengan “ dan hal itu
diharamkan bagi orang-orang beriman “, maka kita bisa simpulkan dari hal ini satu hukum, yaitu
HARAMNYA menikahi wanita yang berzina dan HARAMNYA menikahkan laki-laki yang berzina.
Artinya, seorang wanita yang berzina itu tidak boleh bagi orang lain yaitu bagi laki-laki lain untuk
menikahinya dan bahwa seorang laki-laki yang berzina itu tidak boleh bagi seseorang untuk
menikahkan anak perempuannya dengannya.
Dan apabila kita mengetahui hal tersebut dan bahwa hal itu diharamkan bagi orang-orang yang
beriman, maka sesungguhnya orang yang melakukan perbuatan yang keji ini kondisi / keadaanya
tidak terlepas dari keadaan orang yang mengetahui haramnya perbuatan tersebut, namun ia
tetap menikahi wanita itu dikarenakan dorongan hawa nafsu dan syahwatnya, maka pada saat
seperti itu, laki-laki yang menikahi wanita yang berzina itu juga tergolong sebagai seorang pezina
sebab ia telah melakukan akad yang diharamkan yang ia meyakini keharamannya.

Dari penjelasan ini jelaslah bagi kita tentang hukum haramnya menikahi wanita yang berzina dan
tentang haramnya menikahkan laki-laki yang berzina.
Jadi, hukum asal dalam menikahi seorang wanita yang berzina itu adalah tidak boleh dinikahi
kecuali oleh laki-laki yang berzina pula. Iya, ada diantara para ulama yang memfatwakan, apabila
seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita dan laki-laki ini bermaksud untuk menikahi
wanita tersebut, maka wajib bagi keduanya untuk bertobat kepada Allah Azza wa Jalla. Kemudian
hendaknya kedua orang tersebut melepaskan dirinya dari perbuatan yang keji ini dan ia bertobat
atas perbuatan keji yang telah dilakukannya dan bertekad untuk tidak kembali kepada perbuatan
itu serta melakukan amalan-amalan yang shalih.
Dan apabila laki-laki tersebut berkeinginan untuk menikahi wanita itu, maka ia wajib untuk
membiarkan wanita itu selama satu masa haid yaitu 1 bulan, sebelum ia menikahi atau
melakukan akad nikah terhadapnya. Apabila kemudian wanita itu ternyata hamil, maka tidak
boleh baginya untuk melakukan akad nikah kepadanya kecuali setelah wanita tersebut
melahirkan anaknya.
Hal ini berdasarkan larangan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, ” Seseorang untuk menyiramkan
airnya ke sawah atau ladang orang lain”, dan ini adalah bahasa kiasan, yaitu menyiramkan
maninya kepada anak dari kandungan orang lain.
(Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Albani dalam “Shahih Sunan Abu Dawud” hadits nomor 2158)

o
Anonymous
January 10, 2013 at 10:05 am · Reply
saya setuju pendapat imam syafii saja… beliaulah ” hujjatul Muslim “



risa muthmainnah
January 3, 2011 at 8:05 am · Reply

saya mau brtanya tentang pndapat singkat imam syafi’i dan hasan al-bashary ttang hukum
menikahi wanita hamil di luar nikah


Meliza
January 16, 2011 at 3:51 pm · Reply
apakah mahar yang berupa uang boleh di bingkai dan di pajang,,? apa hukumnya?


adiguna
January 19, 2011 at 6:15 pm · Reply
Bila sudah terlanjur menikah, apakah yang harus dilakukan? Apakah harus cerai dulu, kemudian
menikah lagi atau langsung menikah lagi tanpa harus bercerai terlebih dahulu?

o
admin
April 26, 2011 at 7:54 am · Reply

sekalipun sudah terlanjur tetaplah tidak teranggap nikahnya itu, HARAM dan BATIL/TIDAK
SAH. maka harus diulang lagi, tanpa perlu perceraian krna hakikatnya mereka selama ini
berzina bukan dalam ikatan nikah (karena tidak sahnya pernikahan mereka tadi). Caranya:
mereka harus taubat dulu, lalu tunggu iddah si wanita selesai, baru kemudian mereka
menikah lagi, demikian insya Allah sah.


uni mutia
February 9, 2011 at 11:17 am · Reply
asslamuallaikum…kenapa ea wanita sekarang banyak yang mengobral aurat mereka???


Abu Sholihah
February 14, 2011 at 12:25 pm · Reply
Bismillah. Afwan, apakah sudah ada majalah akhwat dalam bentuk Ebook atau File HTML?
Jazakumullohu Khiron
Admin;
afwan kami tidak membuat majalah akhwat dalam bentuk ebook, harga majalah sangat murah
hanya rp.10000 sebulan sekali bisa dibeli di http://www.al-ilmu.com atau agen terdekat.
dengan membeli majalah ini antum telah membantu biaya kegiatan dakwah disini.


M. Syamsul Huda
February 21, 2011 at 2:47 am · Reply
Izin ngopi…. buat khasanah ilmu, puenting nee… Matur nuwun…


umi yani
March 5, 2011 at 4:45 pm · Reply
bismillah,afwan..ana mau tanya,apakah sepasang suami istri yg menikah dlm keadaan hamil
kemudian belum menikah lagi lalu ketika suami mengajak berhubungan badan istri menolak
dengan alasan tak ingin berzina lagi apakah istri tersebut dosa?lalu bagaimana kewajiban
menafkahi nya?

o
admin
April 26, 2011 at 7:51 am · Reply
sampaikan ilmu pada mereka hingga jelas hukum-hukumnya bagi mereka sebagaimana
telah dibahas pd artikel di atas, lalu wajib mereka mengulang nikahnya, tapi sebelum itu
keduanya harus bertaubat dan tunggu si wanita itu lepas iddahnya dulu.



aisyah

April 12, 2011 at 3:22 pm · Reply
Bagaimana bila saat menikah dia tidak mengetahui kalau dia sedang hamil,,,,,

o
admin
April 26, 2011 at 7:48 am · Reply
Silahkan dibaca kembali artikel di atas sudah jelas menjawab pertanyaan anti.
Ana coba jelaskan ulang, bahwa HARAM menikahi wanita hamil, dan nikahnya BATAL/TIDAK
SAH. Sekalipun tidak tau trnyata sudah hamil, tapi dia pasti tau bahwa sebelumnya sudah
berzina, maka syaratnya pezina ini sebelum nikah adalah wajib TAUBAT dulu, lalu wajib
menunggu LEPAS IDDAH.
Tentang iddahnya, setelah zina itu tentu ada 2 kemungkinan keadaan:
1. jika zinanya tidak menjadikannya hamil maka dia akan haidh, tunggu lepas iddahnya
sampai haidh 1 kali. barulah dia halal dinikahi.
2. jika zinanya menjadikan dia hamil maka iddahnya sampai selesai melahirkan.
Dia tau maupun tidak tau kehamilannya maka tetap tidak akan lepas dari 2 kemungkinan di
atas, yang manapun keadaannya telah jelas apa yang harus dilakukannya. wallahu a’lam.
(Admin/Abu Husain Munajat)


umi yani
April 29, 2011 at 6:53 pm · Reply
‘afwan,berarti nikahnya tidak sah ya?berarti tidak wajib menafkahi?lalu bagaimana cara
menjelaskan tentang hukum itu,karena sebelumnya si suami tidak terima?

o
admin
May 4, 2011 at 8:45 am · Reply
Insya Allah sudah jelas di artikel di atas, TIDAK SAH. Maka tentu saja tidak wajib menafkahi
karena dia bukan apa-apanya dan bukan tanggungjawabnya, tapi yang lebih penting dari itu
adalah WAJIB TAUBAT. Cara menjelaskannya tentu si wanita yang lebih tau, dengan ilmiah
dan hikmah, misalnya melalui ortunya atau seorang ustadz. Adapun hidayah adalah dari
Allah semata. Jika si laki-laki/’suami’ tidak terima maka itu tidak ada urusan thd si wanita
karena dia bukan siapa-siapa bagi si wanita. Si wanita berhak pergi darinya, bahkan kami
katakan wajib karena meninggalkan maksiat zina itu wajib hukumnya. Dia bisa kembali ke
orang tuanya dan jelaskan kepada orang tuanya dan mereka bisa mengadukan kepada
pemerintah utk keputusan cerai secara administrasinya. Tapi solusi yang insya Allah lebih
baik menurut kami adalah keduanya bertaubat lalu menunggu iddah selesai lalu menikah
secara sah. Hendaknya kita semua bertakwa kepada Allah dengan menaati hukum-hukumNya. Wallahu a’lam.


dirman
May 14, 2011 at 12:31 am · Reply

apa hukumnya dalam islam apabila mendatangi pernikahan keluarga kita yg menikah karena
telah hamil?


irfan buhar
June 6, 2011 at 11:41 pm · Reply
asllamu alaikum..
sebelum sy bertanya saya menguraikan sebuah kalimat..
dalam hidup manusia bahwa sahnya manusia tidak mngetahui kapan, dimana, sedang apa, siapa
pun atas kematianya,,
dikatakan bahwa wanita yang sedang hamil tidak bisa menikah sblm dia bertobat dan sampai dia
telah melahirkan skalipun yg akan menikahinya adalah orang yang berhubungan dgnya.. bgmna
klau si wanita tersebut telah meninggal,, sblm dia melahirkan atau bertaubat,, apa yg berlaku
pada laki2nya dan wanitanya..


aan agonk
June 18, 2011 at 4:28 am · Reply
maksi infonys…..


airin
June 23, 2011 at 8:40 am · Reply
assalamualaikum
misalkan keduanya sudah benar2 bertobat, seperti yang diterangkan diatas, apakah bisa diambil
kesimpulan bahwa akad nikah dapat dilaksanakan dan sah hukumnya??
jika saat hamil tidak boleh dinikahi, lalu bagaimana status anak menurut islam??
mohon balasannya terimakasih
wass


arie
August 4, 2011 at 9:12 pm · Reply
ass, saya mau tnya. apa hukumnya kalau laki2 menikah dengan wanita yang sedang hamil n
yang menikah dengan wanita tersebut adalah laki2 yang telah menikahinya??..


arie
August 4, 2011 at 9:15 pm · Reply
klarifikasi pertanyaan di atas. maksud saya laki2 yang telah menghamilinya bukan
menikahinya… terimakasih.. tlong di jawab ya!!!


Adawiyah
August 14, 2011 at 12:08 am · Reply
Ass,kalau seorang laki-laki terpaksa menikahi perempuan yang sudah dihamilinya,mereka hidup
selayaknya suami istri setelah pernikahan itu, dan tidak melakukan pernikahan ulang ketika
bayinya sudah lahir, bahkan sekarang mereka memiliki anak kedua, bagaimana hukum status
anak anak itu menurut Islam? Saya pernah mendengar kalau nasabnya tidak bisa dihubungkan
dengan laki-laki yang menikahi wanita yang hamil,atau anak itu adalah anak ibunya dan tidak
bisa mendapat warisan? dan kalau anaknya perempuan tidak bisa diwalikan oleh si lelaki itu?
apakah benar?apakah ada buku atau referensi yang memuat hal tersbt diatas dengan lengkap?
karena si laki-laki sudah pernah diberitahu tentang hal ini tapi sepertinya tidak percaya dan
menganggap remeh.Mhn penjelasannya, syukron.
Admin:
jika melihat pendapat sesuai penjelasan di artikel, pertanyaan anda sudah jelas jawabannya.


novmery
October 24, 2011 at 8:36 pm · Reply
akibat perzinahan hamil 3 bln,terus kami menikah,sampai sekarang sudah 10 th usia pernikahan
kami, pernah satu kx kami memanggil yg paham tentang agama, karena kami sudah melahirkan
Anak perempuan.dan rencana kami mo nikah kembali. tapi jawabannya. tdak perlu nikah lgi
karena pernikahaan pertama itu sah, cuma, apabila anak perempuan kami klau mau menikah,
bapaknya tidak sah menjadi wali buat siAnak. itulah jawabannya.jadi kami sudah mempunyai 3
orang Anak, gimana ni hukumnya? tolong dibantu. Isampai sekarang kami tidak meyadari kalo
pernikahannya selama ini tidak SAH/ HARAM,apakah wajib bagi mereka menikah lagi?..
trim’s
wasalam.
Balas


tity
November 13, 2011 at 10:40 pm · Reply
asslmualaikuumm wr.wb,,,
sy seorang gadis 20th, sama halnya dgn psngan sy 20th.
kami berdua masih kuliah smster 5 di kmpus dan jurusan yg sama pula,,
kami sudah punya niat utk menikah, ttapi belum punya pnghasilan,,,pdhal hbngan kami sdah
brjlan slma 3,5 thun.
kami ingin menikah, krna kami sngat dekat dan hmpir stiap hari bertmu,,
banyak hal yg ditakutkan dalam hubungan yg semakin lama ini..
yg ingin sy tanyakan :
1. apa hukum nikah, jika sikonnya sprti kami ?
2. jika hukumnya boleh2 saja, bagaimana cara meyakinkan ortu akan niat kami tsb ?
3. apakah dlm islam diperbolehkan menikah jika lelaki masih muda dan belum
berpenghasilan/msih kuliah ?
4. jika keluarga dari kedua belah pihak sudah menyetujui untuk menikah, apakah dlm islam
diperbolehkan wali nikah (ayah mempelai wanita) mengucapkan ijab kpda mempelai pria via
telepon ? dalam hal ini wali/keluarga mempelai wanita tidak bisa hadir dalam akad nikah karena

jarak yang memisahkan (kota yg berbeda, selain itu wali/kluarga mmpelai wanita tidak bisa
berkunjung di kota t4 terselenggaranya nikah, disebabkan oleh hal2 lain yg menghalangi mreka
untuk dtg k t4 trsebut).
mohon sarannya ya,,,
thx b4
wassalam


rasyid
December 12, 2011 at 10:26 am · Reply
bagaimana kalau baru mengetahui hukumnya setelah sekian lama menikah dan telah
mempunyai 2 orang anak lagi, berarti tetap harus melakukan pernikahan ulang? dan tiga orang
anak yang dimiliki bagaimana statusnya? mohon di jawab untuk menjawab kondisi saya


Iwan
March 8, 2012 at 10:31 am · Reply
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Adik ipar saya punya temen perempuan yang hamil diluar nikah.
Saat ini dia sudah dinikahi oleh laki2 yang menghamilinya,
tapi hanya untuk mendapatkan akte kelahiran atas anaknya nanti.
Setelah menikah laki2 td tidak mau memberi nafkah dan setelah nanti anak itu lahir, teman adik
sy itu langsung diceraikan oleh suaminya.
Nah adik ipar saya ini punya niatan yang baik untuk menikahi perempuan itu setelah bercerai
dengan suaminya,
Kl saya dan istri setuju saja asalkan sudah ada surat cerai dan surat perwalian atas anak tersebut
dan setelah masa iddah selesai.
Apakah cara saya sudah benar? dan Bagaimn jalan/cara yang terbaik menurut Islam? Atas
Jawabannya sy ucapkan Terima Kasih. Wassalamualaikum.


Aris
July 31, 2012 at 10:54 am · Reply
Bila sudah terlanjur menikah dengan wanita yang dihamili , apakah yang harus dilakukan?
Apakah harus cerai dulu, kemudian menikah lagi atau langsung menikah lagi tanpa harus
bercerai terlebih dahulu?
Admin: Jika berdasarkan pendapat yg dikuatkan dalam artikel, maka mereka tidak perlu cerai
dulu karena sebenarnya mereka itu memang bukan suami istri. Mereka taubat dengan
sebenarnya, lalu melakukan kembali akad nikah dengan ijin wali di hadapan para saksi. Wallahu
a’lam.



abu anas as-syihry
October 20, 2012 at 7:05 am · Reply

afwan ustad,. tlg jelasin lebih detail ttg:
1. hukum menikahi wanita yang difasakh karena akad yang bathil..?
khususnya menurut imam malik yg menyelishi jumhur ‘ulama.
2.apakah atsar ‘Umar bin Khaththab ada di kitab al-Muwwatha’ imam Malik..bagaimana bunyi
atsar Umar bin Khaththab..?
3.tafsir Ibnu Katsir I/355 (Darul Fikr)di surat apa dan ayat berapa..? ana butuh banget
ustad,..jazaakumullahkhoironjazaa…


putrie
November 7, 2012 at 6:45 pm · Reply
asslm..
admin, sy mw tnya..
Sy skrg sdg pacaran dg org luar pulau (ternate),
insyAllah dy mw mngajak sy kprnikahan.. Ttapi, smnjak awal ibu tdk mnyetujui, ttapi dy te2p mw
mlnjutkan.. Alhmdlillah sy dpt kerja d ternate & kami sdh jln 3th ini..
Skrg dy mmutuskan utk menikah, ibu msh blm stuju jg.. Stlh komunikasi dg ibu, akhirnya ibu blg
“iya”, ttapi dg 3 syarat:
1. Mncari pkerjaan utk ka2k sy
2. Mnta mahar yg sederajat d daerah ternate.. Ibu takut dy plh sy karna murah.. Soalnya dri
jawa..
3. Tdk selamanya brada d ternate, suatu saat akan
kmbali ke sby..
Sy sdh sholat istikhoroh, insyAllah sy yakin dg dy..
Sy mohon pncerahannya
-trima kasih, wassalamADMIN:
pertama, ketahuilah bahwa dalam islam yang benar, tidak ada yang namanya pacaran, bahkan
banyak keharaman yang dilakukan dalam pacaran itu. tentunya sebagai seorang muslimah yang
baik dan ingin bertakwa kepada Alloh akan meninggalkan perbuatan keharaman yang bisa
mendatangkan kemurkaan Alloh karena pelanggaran atas larangan-larangannya. hentikan
kegiatan pacaran itu dan bertaubat dari kesalahan itu, lalu segeralah mengurus menuju
pernikahan yang melalui pernikahan itulah yang sesuai syariat.
adapun ttg syarat dari orang tua tersebut sebagai wali maka itu boleh saja dijadikan syarat oleh
orangtua kepada orang yang hendak menikahi putrinya, dan jika menyanggupi syarat itu lalu
menikah maka dia wajib menunaikan janjinya. tapi hendaknya orang tua melihat kemashlahatan
dari persyaratan yang dia ajukan sehingga tidak memberatkan anak-anaknya jika memang ia
benar-benar mencintai anaknya agar bahagia dengan suatu pernikahan. wallohu a’lam


fitri
December 2, 2012 at 9:49 am · Reply
aslmlkm
sya mau brtanya bgaimana hukumnya mnikah dgn wanita yg sdang hamil,dan yg mnikahi adalah
laki2 yg menghamilinya
sya sudah brkonsultasi kmna2 untuk mnanyakan kpastiannya
ada yang brpendapat hrus sgera dlangsungkan akad sblum anak lahir,agar nasabnya si anak itu
ada dan stelah itu tdak harus nikah lgi stelah anak lahir
dan ada jga brpendapat itu haram sblum mlahirkan
tlong di beri pnjelasan
agar sya tdak bngung yang bnar itu yang mana
krna ini benar2 untuk kebenaran dan kembali ke jlan allah yg bnar

trimakasih
tlong dblas
wasslmkm

o
admin
December 8, 2012 at 7:02 am · Reply
wa’alaykumussalaam,
penjelasan di atas insya Allah sudah jelas dan mencukupi.



dina fira
May 14, 2014 at 8:56 am · Reply
masih belum jelas itu min.?


riz
December 5, 2012 at 8:46 pm · Reply
Assalamu’alaikum…
bagaimana seorang suami yang tidak menafkahi istri dan anaknya yang sudah diceraikan,
bolehkah cerai itu dikategorikan sebagai cerai mati..?
anak lelaki luar nikah apabila ingin menikah, anak lelaki tersebut harus di Bin kan siapa, ayahnya
atau ibunya…?
mohon segera jawabanya…


arfandy
January 15, 2013 at 2:16 am · Reply
assalamualaikum ,,,,
maav saya ingin bertanya : bagaimana jika seorang pria di pitnah menzinahi seorang wanita yg
dia tidak pernah lakukan, dan diwajibkan atas dia untuk menikahi wanita tersebut ???
bagaimana hukum islam menikahi wanita tersebut ??
bagaimna cara menyelesaikannya ??


KOSTANTI
July 30, 2013 at 12:52 pm · Reply
Assalamu’alaikum.. Subhanallah Ilmu yang bermanfaat Syukron


atilla
August 15, 2013 at 3:38 pm · Reply

Assalamu’alaikum,
Saya seorang suami dari pernikahan 10 tahun lalu karena zina/hamil diluar nikah, dan anak lelaki
kami sekarang berumur hampir 10th. Sebelum malangsungkan pernikahan kami telah bertaubat.
Selama ini kami tidak tahu hukumnya. Dan baru tahun lalu saya membaca artikel Muslim yang
mana tidak wajib nikah ulang bagi kami (sesuai riwayat Al-Imam Asy-Syafi’i dan Abu Hanifah,
yang membolehkan, dan tidak berlaku masa iddah).
Yang ingin saya tanyakan, apakah haram pernikahan kami? apakah harus menikah ulang?
riwayat/dalil mana yang harus kami ikutin?
kalau diwajibkan nikah ulang, bagaimana persyaratannya (termasuk wali nikah, karena keluarga
istri di luar pulau). Terimakasih, Wassalamu’alaikum

o
admin
August 16, 2013 at 11:46 am · Reply
Wa’alaykumussalaam warahmatullah,
Diantara silang pendapat ulama, insya Allah yang kuat adalah tidak sahnya nikah dalam
keadaan hamil. Karena ketidaktahuan akan hukum itu dan nikah dilakukan setelah taubat,
maka itu termasuk nikah syubhat, dalam nikah syubhat ini hukum anak-anak hasil
pernikahan tsb (setelah taubat) sebagaimana anak dalam nikah yg sah, nisbah kepada
ayahnya. Adapun anak sebelumnya (karena zina) maka nisbah kepada ibunya. Dan
hendaknya melaksanakan akad nikah ulang. Wallohu a’lam.


abdul
August 15, 2013 at 5:07 pm · Reply
Assalamu’alaikum.
saya mau bertanya. Apakah sah nikah seseorang yg sudah cukup umur, tetapi untuk walinya
mengambil wali hakim, karena walinya tidak memberikan izin kepada siapapun untuk
menikahkannya.
mohon jawabannya….
wassalam…

o
admin
August 16, 2013 at 11:42 am · Reply
Wa’alaykumussalaam, wali nikah adalah syarat sah nikah, selama ada wali nikah maka harus
nikah dengan wali. Perwalian itu dari jalur ashabah yang laki-laki:
1. Bapak.
2. Kakek
3. Bapak kakek dst.
4. Saudara kandung.
5. Saudara sebapak.
6. Paman kandung (saudara kandung ayah).
7. Paman sebapak (saudara bapak sebapak beda ibu).
8. Anak paman kandung.
9. Anak paman sebapak.
10. Paman ayah kandung.
11. Paman ayah sebapak.
Hendaknya pihak keluarga bermusyawarah dengan baik agar menemukan solusi atas

permasalahan yang ada, dan hendaknya pihak wali tidak menzholimi perempuan dalam
perwaliannya dengan menahan pernikahan mereka.
Wallohu a’lam.


awan
August 31, 2013 at 7:42 pm · Reply
Assalamualaykum,
Admin, sy mau tanya. Saat ini ada kawan sy yang hamil di luar nikah. Bapak si anak dalam
kandungan ini sebenarnya sudah bersedia bertanggung jawab untuk menikahi teman saya tapi
teman saya tidak mau dengan alasan dia bukan pria baik-baik, dll. Lalu ada yang bersedia
memberikan suaka sampai dia melahirkan untuk menghindari aib masyarakat.
Dia sebenarnya sudah dinasihati untuk sebaiknya menerima saja tawaran si pria, tapi tetap
keukeuh tidak mau. Saat ini dia sedang menjalin hubungan dengan pria lain dan kalau dilihat
tampaknya serius menuju ke pernikahan. Lalu bagaimana hukumnya kalau teman saya ini
menikah setelah melahirkan tapi dia belum bertaubat?
Mohon pencerahannya.
Wassalamualaykum

o
admin
September 18, 2013 at 3:40 pm · Reply
Wa’alaykumussalaam warahmatullah,
Hendaknya dia menunggu hingga kelahiran anaknya, barulah menikah. Dan hendaknya dia
bertaubat dengan benar atas kemaksiatannya yang lalu. Mungkin saja dia melahirkan lalu
menikah, tapi jika dia belum bertaubat maka apakah dia merasa aman dari adzab Allah?


Asy Syamarani
October 19, 2013 at 7:09 pm · Reply
Ijin Mencopy dan Menyebarkan Artikel.
Amir Prambudi Asy-Syamarani


Rina
October 23, 2013 at 11:16 pm · Reply
Salam. Mazhab Syafie sangat berbeza. Adakah patut ikut mazhab syafie? Sebab di Malaysia
ikutannya mazhab syafie. Berdosa tak?

o
admin
October 31, 2013 at 8:31 pm · Reply
wa’alaykumussalaam, yang kita ikuti adalah dalil dalil yg shahih, selama ajaran dari mazhab
Syafii sesuai dalil dalil maka patut diikuti. Jika tidak maka tidak wajib diikuti. Imam Syafii

sendiri telah berkata (secara makna) ” jika perkataanku tidak sesuai sunnah maka
lemparkan saja ke tembok” yaitu maksudnya tidak usah dipakai. Jika tidak mengikuti Imam
Syafii kita ga berdosa, yang berdosa adalah jika tidak mengikuti Alquran dan Sunnah.
Wallohu a’lam.


Fakhruddin
February 9, 2014 at 11:53 am · Reply
Bagaimana jika anak hasil dari perzinahan itu apabila seorang anak laki-laki apakah boleh
menjadi wali nikah bagi anak gadisnya?

o
admin
February 12, 2014