Strategi Keamanan Nasional Eropa Perspek

Strategi Keamanan Nasional Eropa :
Perspektif Komparatif Perancis dan Indonesia1

Andar Nubowo
Dosen Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta
Direktur Eksekutif IndoStrategi

Konteks Strategis
Abad ke-20 merupakan abad paling berlumur darah sepanjang sejarah umat manusia.
Dua perang besar yang memengaruhi dan melibatkan seluruh kontinen dan negara
pecah; PD I pada 1914-1918 dan PD II pada 1942-1945. Kedua perang ini mengakibatkan
korban nyawa jutaan manusia dan paling menyedihkan, hilangnya nilai-nilai kemanusiaan
(humanisme) yang lahir dan tumbuh subur di Eropa. Humanisme memandang perang
sebagai perbuatan buruk, dan kejahatan besar. Oleh karena itu, perang dalam bentuk
dan skala apapun adalah tindakan imoral, dan tidak layak dilakukan kecuali oleh pelaku
barbarian dan anakronik. Karena syahwat politik, ekonomi, teritorial dan ego chauvinistik
yang membabi buta, paham humanisme dibungkam dan dibuang dalam pojok gelap
peradaban Eropa.
Perang abad ke-20 yang didukung invensi teknologi kemiliteran dan teknologi ekstraksi
dan produksi minyak dunia, sejatinya, adalah perang modern kaum barbarian yang paling
gila. Jika dulu perang Kaum Barbar pada jaman Yunani-Romawi hanya menggunakan

peralatan perang yang sederhana seperti pedang, kapak, tombak, pelonta batu, panah,
dan batu, perang jaman modern melibatkan teknologi canggih yang dampak
kehancurannya masif dan eskalatif. Perang modern inilah yang oleh August Compte
disebut sebagai “hasrat primitif tak terhindarkan umat manusia menuju tata kehidupan
militer dan tujuan akhirnya menuju sebuah tatanan industrial.”2
Beberapa abad sebelumnya, para pendeta Saint-simonian (pengikut Pendeta Katholik
Saint Simon) telah mengungkap bahwa takdir masyarakat industrial Eropa akan beralih
menjadi masyarakat militer, yang diwarnai eksploitasi alam, dan eksploitasi manusia oleh
manusia. Pandangan filsafat sejarah ini tampaknya---setidak-tidaknya hingga abad ke-20,
menemukan fakta empirisnya. Fakta bahwa setelah Revolusi Industri dan Pencerahan
Eropa, masyarakat Eropa tidak semakin tercerahkan dan tidak terbelenggu oleh ‘nafsu
untuk memiliki apa yang dikehendaki’ (Benjamin Constant). Sebaliknya, penyaluran nafsu
1

Tulisan ini menjadi bagian dari buku yang disunting oleh Hermawan Sulistyo, 2012, Dimensi-Dimensi
Keamanan Nasional, CONCERN: Jakarta
2
Pierre Manent, Cours de philosophie positive, Paris, 1892-1984, 5 vol., t. VI, p. 239

1


tersebut malah semakin canggih dan justru menemukan alasannya yang paling
sempurna: perang untuk menang dan menguasai! Dengan dalih penguasaan ekonomi,
politik, teritorial dan teknologi, perang menemukan bentuknya yang paling anti
kemanusiaan (inhuman).
Setelah PD II berakhir, harapan manusia untuk hidup tentram dalam damai mulai tumbuh
kembali. Gagasan-gagasan humanisme mulai dielaborasi dan dilembagakan sekaligus,
seperti pandangan ‘kejahatan melawan kemanusiaan’, Perserikatan Bangsa-Bangsa,
Deklarasai HAM. Namun, syahwat perang tetap dominan dan selanjutnya dikemas dalam
plastik ideologi yang paling elok. Dunia terbagi dalam dua blok ideologis dominan: Barat
kapitalis atau Timur komunis. Perang Dingin tersebut ditandai oleh kompetisi senjata
nuklir, perebutan pengaruh ideologi di negara-negara non blok –termasuk Indonesia.
Untuk menyebarkan paham masing-masing yang diklaim universal tersebut; Barat
mengkampanyekan demokrasi, sedangkan Timur meyakini komunisme sebagai paham
terakhir dunia. Dunia terperangkap dalam dalam hubungan glasial antar negara. Musim
Dingin ekstrim tak kunjung berganti.
Menyusul melemahnya Uni Soviet, yang dipimpin Presiden Michael Gorbachev, dan
demonstrasi rakyat Jerman Timur, Tembok Berlin runtuh pada 9 November 1989.
Peristiwa yang berlangsung tanpa kekerasan dan disambut dalam pesta itu merupakan
babakan baru dalam sejarah dunia. Demokrasi ditahbiskan sebagai pemenang. Sedang

komunisme dicap sebagai pecundang. Musim Dinginpun berganti Musim Semi. Harapanharapan baru akan nasib dunia yang lebih baik, lebih hangat, lebih damai dan lebih
harmonis membuncah di penjuru dunia. Jerman Barat dan Jerman Timur bergabung
menjadi satu Jerman. Dunia bipolar yang diwakili Amerika Serikat (Barat) dan Uni Soviet
(Timur) menjadi unipolar ditangan Amerika Serikat. Negara-negara besar Eropa seperti
Perancis dan Inggris—bersama Amerika Serikat, tidak lagi menghadapi musuh politik dan
militernya di perbatasan. Batas-batas geografis antar bangsa dan negara Eropa pun
berubah. Terjadi rekonfigurasi peta negara-bangsa Eropa, menyusul luluhlantaknya
Imperium Uni Soviet dan Yugoslavia dalam beberapa negara etniko-relijius di kawasan
Eropa Timur dan Eropa Tenggara (Balkan).
Negara-negara bekas Yugoslavia dan Uni Soviet seperti Bosnia Herzegovina, Serbia,
Kosovo dan Albania jatuh dalam konflik bersenjata. Begitu juga negara-negara ex Uni
Soviet, jika tidak jatuh pada rejim diktatur seperti di Asia Tengah, terjadi konflik
separatisme bersenjata melawan Rusia seperti terjadi di Chehznya. Di luar perbatasan
Eropa, perang, konflik politik juga terjadi di Timur Tengah seperti Perang Teluk antara
Irak dan Kuwait—yang dibantu oleh Pasukan Sekutu Multinasional, konflik politik dan
perbatasan Korea Utara dan Korea Selatan, serta konflik China dan Taiwan. Dus,
runtuhnya Tembok Berlin yang disambut suka cita dan tanpa kekerasan itu tidak serta
merta memutus lingkaran setan konflik antar bangsa dan negara, dalam bentuknya yang
paling halus hingga pertumpahan darah. Peristiwa tersebut sekadar penanda
rekonfigurasi kekuatan dan konflik di dunia.

Tulisan ini bermaksud memaparkan Strategi Keamanan Nasional Perancis yang
termaktub dalam Buku Putih 2008. Kedua buku tersebut merupakan garis dan kebijakan
strategi pertahanan dan keamanan nasional Perancis, yang disusun dalam rangka

2

mengantisipasi perkembangan dan perubahan di level nasional, regional dan
internasional, terutama setelah berakhirnya Perang Dingin dan kemajuan teknologi
informasi, terorisme, dan perubahan lain yang disebabkan arus globalisasi dan kemajian
teknologi informasi.
Dalam konteks Uni Eropa, pemaparan terhadap Buku Putih Perancis penting dilakukan--untuk tidak menafikan peran negara Eropa lainnya, mengingat posisi Perancis yang cukup
penting di kawasan Eropa dan Uni Eropa ; Perancis adalah salah satu inisator sekaligus
pendiri unifikasi bangsa Eropa pasca Perang Dunia II pada tahun 1950-an ; Perancis adalah
salah satu pemimpin negara Eropa yang disegani dalam bidang politik, ekonomi,
keamanan dan pertahanan bersama Inggris Raya dan Jerman ; Perancis adalah negara
industri pertahanan besar yang mendorong industrialiasi Eropa dalam bidang
pertahanan ; Perancis adalah inisiator perlunya pusat studi, kajian strategis di tingkat
Eropa yang memungkinkan partisipasi warga Eropa pada strategi pertahanan dan
keamanan bersama.
Oleh karena itu, pemaparan Buku Putih Perancis ini diharapkan dapat menjadi « celah

masuk » untuk meneropong strategi pertahanan dan keamanan Eropa serta
partisipasinya dalam penciptaan dan pemeliharaan perdamaian dan keamanan dunia.
Untuk sistematika pembahasan, tulisan ini akan memaparkan secara deskriptif isi strategi
dan substansi Buku Putih 1994 yang selanjutnya diikuti pemaparan Buku Putih 2008.
Setelah itu, berpijak pada kedua Buku Putih tersebut, tulisan ini akan membahas secara
komparatif RUU Keamanan Nasional RI yang kini mulai memasuki pembahasan di DPR.
Komparasi ini diharapkan dapat melihat dengan lebih baik strategi dan urgensi RUU
Keamanan Nasional.
Tentu tidaklah fair jika sistem keamanan nasional Perancis dibandingkan dengan
Indonesia, mengingat partikularitas persoalan yang dihadapi keduanya berbeda dan
beragam. Tetapi, paling tidak, kedua negara dalam beberapa hal yang bersifat umum
dipengaruhi oleh persoalan-persoalan globalisasi yang sama, seperti teknologi
informatika, terorisme, krisis ekologi, krisis ekonomi, hingga konflik dan perdamaian
dunia.
Strategi Hankam Perancis Pasca Perang Dingin
Berakhirnya Perang Dingin membawa dua hal penting : jaminan perdamaian yang lebih
baik, sekaligus ketidakpastian keamanan yang ditimbulkan oleh perubahan-perubahan
baru. Reunifikasi Jerman membuncahkan harapan, tetapi kembalinya perang di kawasan
Eropa menimbulkan pertanyaan besar. Dalam hal ini, mengingat pertahanan Perancis
tidak lagi secara langsung tergantung pada pertahanan di daerah-daerah perbatasan

geografisnya, tetapi tergantung pada stabilitas internasional, pencegahan krisis baik di
Eropa ataupun di luar Eropa, maka kebijakan pertahanan dan keamanan nasional
Perancis tidak lagi dilihat dalam kacamata kepentingan nasional belaka, tetapi dalam
konteks regional yakni Eropa.
Sebagai inisiator penyatuan Benua Tertua ini, sikap Perancis untuk disuasi persenjataan
nuklir nasional dapat dipahami dalam kerangka kepentingan yang lebih luas, yakni
3

pertahanan dan keamanan Eropa bersama yang diatur dalam Traktat Uni Eropa.
Perubahan baru akibat hancurnya Uni Soviet dan Yugoslavia melahirkan konflik dan
perang di Eropa di Kosovo, Albania, Bosnia-Herzegovian dan Serbia. Belum lagi negaranegara bekas jajahan Uni Soviet yang sekarang tengah berjuang memerdekakan diri.
Menghadapi instabilitas keamanan regional seperti ini, Uni Eropa terantang untuk
merumuskan dan menetapkan politik dan strategi pertahanan dan keamanan bersama
sebagaimana yang disimbolkan oleh Traktat UE.
Perancis menyusun sebuah Buku Putih 1994 (Livre blanc : defense et securite nationale)
yang disusun dalam konteks euforia kemenangan demokrasi dan kebebasan yang
ditandai runtuhnya Tembok Berlin sekaligus kecemasan dan kekhawatiran baru atas
perubahan-perubahan tata dunia yang berlangsung cepat. Buku ini merumuskan strategi
pertahanan dan keamanan nasional Perancis, dalam konteks berakhirnya Perang Dingin
dan Pakta Warsawa, perubahan Eropa dan internasional, kemajuan teknologi, dan

kehidupan ekonomi.
Sebagaimana yang diungkapkan PM Edouard Balladour, penulisan buku ini didasari pada
alasan-alasan sebagai berikut :
menyadari perubahan-perubahan internasional yang tengah terjadi, memaparkan
tujuan-tujuan politik pertahanan dan strategi yang dipilih Perancis, membangun
kerangka aksi pasukan militer dan juga politik sumberdaya pertahanan Perancis.
Selain dalam konteks Eropa, Buku Putih 1994, tampaknya, juga membangun politik
pertahanannya dalam prespektif pelayanan dan tanggung jawabnya pada keamanan dan
perdamaian dunia. Hal ini dipahami, mengingat Perancis adalah negara yang memiliki
sejarah dan pengaruh kolonial di negara-negara lain, seperti di Afrika dan Pasifik, serta
Mediterania di mana kepentingan-kepentingan Perancis baik langsung maupun tidak
tergantung pada faktor keamanan. Strategi yang ditawarkan Buku Putih 1994 didasarkan
pada konsensus baru : kemampuan adaptasi militer, peran baru pasukan konvensional,
skenario tugas pasukan, postur permanen keamanan, prioritas baru operasional, politik
persenjataan, konsep pembentukan pasukan dan sebagainya.
Globalisasi dan Kerentanan Baru :
Strategi Pertahanan dan Keamanan Nasional Perancis
Kemudian, sejak 1994, dunia mengalami perubahan luar biasa, yang terutama disebabkan
oleh dampak globalisasi. Akselerasi dan penyebaran informasi, lalu lintas manusia antar
negara dan benua telah mengubah struktur ekonomi, sosial dan politik, serta keamanan

nasional dan internasional. Hirarki kekuatan dunia juga mengalami perubahan ; dunia
tidak lagi lebih berbahaya, tetapi ia menjadi lebih tidak stabil, dan tidak bisa diprediksi.
Krisis antar negara, terutama di Asia seperti di Timur Tengah dan Pakistan muncul. Dalam
hal ini, Perancis dan Eropa berada dalam situasi langsung yang paling rentan :
terorisme/jihadisme, serangan balistik, serangan informatika, krisis kesehatan atau

4

ekologi. Dalam konteks inilah, Buku Putih 2008 disusun guna mengelaborasi politik
pertahanan dan keamanan yang baru.
Berbeda dengan Buku Putih 1994, Buku Putih 2008 (Livre blanc : defense et securite
nationale) melakukan analisis kepentingan keamanan dalam perspektif global, tanpa
membatasi diri pada persoalan pertahanan. Ia mendefinisikan sebuah strategi Keamanan
Nasional yang dapat menjawab « seluruh resiko dan ancaman yang membahayakan
kehidupan bangsa ». Keamanan nasional mencakup politik pertahanan, tetapi tidak
terbatas pada itu. Sebab, untuk mempertahankan kepentingan Perancis dan misi
perlindungan rakyatnya, strategi keamanan nasional dilakukan oleh politik keamanan
dalam negeri (tidak terkait dengan keamanan individu (human security) dan barang serta
pemeliharaan tatanan) dan oleh politik keamanan sipil. Sedangkan kebijakan lainnya
seperti politik luar negeri, politik ekonomi juga berkontribusi secara langsung pada

keamanan nasional.
Strategi keamanan nasional mencakup tindakan-tindakan sebagai berikut : pengetahuan
dan antisipasi (connaisance and anticipation), pemeliharaan dan disuasi (order
maintenance and dissuasion), perlindungan dan intervensi (protection and intervention).
Pelaksanaan lima fungsi ini bersifat lunak dan dapat berubah sesuai dengan konteks,
perubahan dan keadaan strategis.
Pengetahuan dan antisipasi merupakan fungsi strategis utama. Menghadapi dunia yang
tidak pasti dan tidak stabil, Perancis menjadikan fungsi ini sebagai garis terdepan
pertahanan. Pengetahian dan antisipasi ini penting sebagai suplai informasi awal atas
berbagai ancaman, serangan dalam bentuk apapun. Untuk itu, penguatan kemampuan
intelijen dalam berbagai dimensi, termasuk dimensi rung angkasa, merupakan kebutuhan
utama bagi pengambil kebijakan, pimpinan militer, penanggung jawab keamanan dalam
negeri dan keamanan sipil.
Perlindungan terhadap rakyat Perancis menjadi jantung strategi pertahanan dan
keamanan nasional, karena munculnya kerentanan baru. Tujuannya adalah melindungi
bangsa dalam menghadapi krisis besar, dengan membangun kapasitas pertahanan diri,
yang didefinsisikan sebagai « kemampuan kekuatan publik dan masyarakat Perancis
untuk menjawab krisis besar dan untuk mengembalikannya ke dalam fungsi-fungsi
normal » Penguatan ini mencakup penguatan cara dan metode pemantauan wilayah
nasional, luas wilayah daratan, lautan, dan udara, dan kapasitas reaksi cepat dan luas

kekuatan publik.
Kemampuan pencegahan konflik dan intervensi dikonsentrasikan pada poros geografi
penting, mulai Atlantik hingga Mediterania, selat Arab-Persia hingga Samudera India.
Poros ini terkait dengan resiko yang mempengaruhi kepentingan Perancis dan Eropa
yang paling penting. Poros ini juga dapat mengawasi perkembangan penting Asia bagi
keamanan internasional dan dapat memudahkan aksi dan kerja sama di kawasan
Samudera India. Begitu juga dapat mengawasi dan mencegah kerentanan yang datang
dari Afrika untuk melawan penyelundupan dan aksi terorisme.
Disuasi nuklir adalah fondasi utama strategi Perancis. Disuasi ini merupakan jaminan
keamanan dan independensianya yang bertujuan untuk « menghalangi agresi yang

5

datang dari negara lain yang menyerang kepentingan-kepentingan vital Perancis. Dalam
menghadapi globalisasi dan dampaknya, kredibilitas disuasi didasarkan pada
kemungkinan Pemimpin negara memiliki secara independen « sejumlah opsi yang
mencukupi dan alat yang cukup beragam ». Hal ini berimplikasi pada modernisasi misil
balistik dan misil jarak jauh. Perancis beranggapan bahwa persenjataan nuklir masih
dibutuhkan bagi keamanannya. Tetapi pada saat yang sama, Perancis terus mengambil
inisiatif dalam program pelucutan senjata nuklir, dan proliferasi senjata nuklir, senjata

biologis, dan kimia.
Dalam menyusun strategi nasional Perancis, kepentingan Eropa adalah prioritas. Yakni
dengan menjadikan Uni Eropa sebagai aktor penting dalam penyelesaian krisis dan
keamanan internasional. Perancis mengharapkan bangsa Eropa memiliki kemampuan
militer dan sipil yang kuat. Dalam hal ini, Perancis mengusulkan beberapa program konret
bagi Uni Eropa :


kemampuan intervensi global sebanyak 60 000 orang, yang diterjunkan di luar
negeri selama satu tahun, dengan komposisi angkatan udara dan maritim.



kemampuan penerjunan untuk jangka waktu lama, dua atau tiga operasi
pemeliharaan dan penciptaan perdamaian, dan operasi-operasi sipil yang kurang
penting lainnya di kawasan yang berbeda-beda.

-

meningkatkan kemampuan Eropa dalam merancang dan melaksanakan operasi
militer dan sipil, sesuai dengan perkembangan intervensi di luar Uni Eropa.



finalisasi industri pertahanan Eropa.

Selain itu, Buku Putih juga menekankan empat domain prioritas bagi perlindungan warga
Eropa: penguatan kerja sama melawan terorisme yang terorganisir, peningkatan
kapasitas Eropa dalam perlindungan sipil, koordinasi pertahanan melawan serangan
informatika dan pengamanan pengilangan energi bahan baku utama strategis. Dengan
demikian, Buku Putih Perancis mendukung Buku Putih Eropa tentang pertahanan dan
keamanan.
Perancis menggarisbawahi Uni Eropa dan Atlantik Utara saling melengkap. Perancis
mendukung pembaruan NATO, terutama pada HUT ke-60 tahun 2009. Sejak keluar dari
komando militer NATO pada 1966, Eropa dan NATO telah banyak berubah. Keduanya
menjadi aktor utama dalam komunitas internasional, dan NATO tetap bertanggung jawab
bagi keamanan kolektif para anggota sekutu dan juga sekaligus berperan aktif dalam misi
perdamaian di Afghanistan dan Kosovo. Keduanya saling melengkapi dalam menghadapi
ancaman dan krisis.
Karena komplementaritas inilah, Perancis tidak bisa tidak harus bergabung kembali
dalam komando militer NATO. Tindakan ini di mata Perancis sesuai dengan misi
penguatan Uni Eropa dalam menangani kriris dan mencari keseimbangan baru antara
Amerika dan Eropa di NATO. Terkait dengan posisi Perancis di NATO, Buku Putih 2008
mengingatkan tiga prinsip, masih dalam semangat Jenderal de Gaulle : independensi
mutlak kekuatan nuklir Perancis ; kebebasan untuk menghormati kebijakan Pemerintah
Perancis (Perancis tidak otomatis bergabung dalam operasi militer Perancis) ; dan

6

kebebasan pengambilan keputusan, di mana tidak ada satupun pasukan Perancis yang
ditempatkan secara permanen, jika dalam keadaan aman.
Perancis mendukung eropanisasi industri pertahanan. Meski demikian, Perancis tetap
menjaga kedaulatan industrinya, yang dipusatkan pada kemampuan untuk memelihara
otonomi strategis dan politik kebangsaannya ; disuasi nuklir, misil balistik, kapal selam
tempur, dan keamanan sistem informasi. Dalam hal ini, Perancis mendukung Uni Eropa
mengembangkan industri di bidang : pesawat tempur, misil penjelajah, satelit, elemenelemen elektronik dsb.
Terkait dengan keamanan masyarakat, Perancis melakukan reorganisasi kekuatankekuatan masyarakat untuk membangun strategi baru keamanan nasional. Dalam hal ini,
Perancis membentuk Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (Conseil dedéfense et
de sécurité nationale), yang diketuai oleh Presiden Republik, yang anggotanya terdiri dari
menteri, pejabat administratif, tokoh masyarakat, intelektual, pengusaha, dan pejabat
militer. Selanjutnya, Perancis menciptakan Dewan Intelijen Nasional (Conseil national du
renseignement) yang pembentukannya dipimpin langsung oleh Perdana Menteri. Selain
itu, peran Parlemen juga akan diperkuat, terutama yang berhubungan dengan intervensi
pasukan Perancis dalam operasi-operasi eksternal, mengawasi perkembangan dan arah
Buku Putih dan kebijakan perjanjian di bidang pertahanan. Keterwakilan nasional melalui
parlemen memainkan peran utama untuk meraih dukungan masyarakat bagi strategi
keamanan nasional.
Buku Putih 2008 memandang bahwa keamanan bangsa Perancis tergantung pada
warganya baik laki-laki maupun perempuan yang memilih untuk mengabdi bagi negara
dan masyarakat. Tujuan dari strategi ini adalah memungkinkan mereka mencapai derajat
profesionalisme yang paling tinggi dalam setiap sektor, sipil dan militer, dan untuk
seluruh kontrak pekerjaan. Mutualisasi pendidikan dan sinergi antara politik rekrutmen di
kementerian yang berbeda-beda akan dilakukan.
Keterlibatan masyararakat dalam strategi keamanan nasional penting dilakukan, yang
dalam hal ini, Perancis melakukan hal-hal sebagai berikut ; formasi bagi anak-anak muda
sebagai wakil rakyat di tingkat lokal, pembaruan wajib militer; pembentukan wajib sipil
(service civique); pembentukan organisasi yang mengumpulkan para relawan yang dapat
dimanfaatkan untuk bela negara Perancis ; pembentukan pusat riset strategis di level
nasional dan Eropa ; pembentukan pondasi bagi kerja sama ilmiah, yaitu École doctorale
européenne; pembentukan program pendidikan dalam bidang pertahanan-hubungan
internasional dan keamanan dalam negeri.
Kritik Paradigmatik terhadap RUU Kamnas
RUU Keamanan Nasional yang diajukan Kementerian Pertahanan pada tahun 2006 dan
telah diajukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 Mei 2011 memiliki
beberapa kesalahan paradigmatik, dalam konteks amanat Reformasi 1998 yang
menjunjung supremasi sipil, demokrasi dan HAM, yakni : mengembalikan peran dan
fungsi militer pada kewenangan keamanan nasional ; lebih menitikberatkan pada
ancaman dari dalam yang bersifat konvensional ; tidak melibatkan strategi keamanan
7

nasional yang komprehensif dengan menguatkan bidang lain seperti parlemen, kebijakan
politik, ekonomi, dan industri, riset dan pendidikan ; menegasikan ancaman dan
kerentanan serta perubahan baru dalam konteks global.
Terkait strategi keamanan nasional, RUU Kamnas dinilai menciptakan benturan
kewenangan TNI dan Polri. Hal ini disebabkan, dalam strategi keamanan nasional, TNI
dinilai diundang kembali untuk masuk dan terlibat dalam keamanan nasional yang
sejatinya selama ini menjadi kewenangan Polri. Sesuai amanat Reformasi 1998, TAP
MPR/VI/2000, telah memandatkan pemisahan TNI dan Polri dengan masing-masing
berada dalam koordinasi Kementerian Pertahanan dan di bawah Presiden secara
langsung. TAP MPR/VII/2000 secara tegasjuga mengatur tugas Polri di bidang keamanan,
sedangkan TNI di bidang pertahanan. Dalam struktur pemerintahan, TNI berada di bawah
Kementerian Pertahanan sedangkan Polri langsung berada di bawah koordinasi Presiden
RI.
Oleh karena itu, RUU Kamnas dinilai bertentangan dengan semangat reformasi TNI dan
Polri. Upaya ini jelas tidak sesuai dengan semangat Reformasi 1998 yang menuntut
berakhirnya Dwi Fungsi ABRI/TNI yang bertanggung jawab pada situasi keamanan dan
politik sepanjang Orde Baru yang bersifat totalitarian dan otoriter. Pemisahan TNI dan
Polri berikut tugas dan kewenangannya, tampaknya, masih menciptakan grey area,
wilayah abu-abu di lapangan sehingga kerap terjadi benturan kepentingan antara TNI dan
Polri dalam menangani persoalan keamanan dan kerentanan baru seperti terorisme yang
tidak saja membawa ancaman dalam skala nasional tetapi juga internasional.
Kegamangan Polri dalam menangani persoalan keamanan yang dipikulnya, karena
lemahnya kapasitas mendorong TNI untuk terlibat dalam kerja-kerja keamanan.
Dalam hal ini, pada Pasal 12 soal Tertib Sipil misalnya disebutkan jika ancaman keamanan
tidak berdampak luas maka dapat diatasi oleh segenap penyelenggara keamanan/instansi
pemerintah terkait. Namun pada disisi lain pada Tertib Sipil ini pula diberi ruang Presiden
untuk mengerahkan unsur TNI (Pasal 34 (2). Pasal ini jelas berpotensi terjadinya politisasi
TNI oleh Presiden sekaligus upaya mengembalikan TNI sebagai aktor utama dalam
keamanan sipil yang menjadi kewenangan Polri/instansi pemerintah terkait. Tambahan
lagi soal kewenangan Gubernur dalam Tertib Sipil dan Darurat Sipil untuk membentuk
Forum Koordinasi Keamanan Nasional Daerah Provinsi yang terdiri dari pimpinan TNI
tertinggi, Kapolda, Kepala Kejaksaan Tinggi, Kapswil BIN Provinsi, Kepala BPBD (Badan
Penanggulangan Bencana Daerah), dan kepala BNNP (Badan Narkotika Nasional
Provinsi). Forum koordinasi ini mirip dengan Kopkamtibda atau Bakortanasda pada masa
Orde Baru yang gemar menetatpkan keadaan darurat.
Jika dibandingkan dengan Perancis, strategi keamanan nasional tampak tidak
menimbulkan benturan kewenangan antara militer dan kepolisian. Hal ini dihasilkan dari
pemisahan kedua institusi berikut tugas dan perannya masing-masing di mana militer
berada dalam koordinasi Kementerian Pertahanan sedangkan aparat kepolisian berada di
bawah Kementerian Dalam Negeri. Di Perancis, kewenangan kedua institusi cukup jelas ;
militer bertanggung jawab pada pertahanan dan intervensi militer dalam fora
internasional, dan dalam kasus seperti penanggulangan terorisme, militer diperbantukan
pada kepolisian untuk menjaga fasilitas dan kepentingan-kepentingan vital Perancis,

8

adapun kepolisian bertanggung jawab secara menyeluruh pada keamanan dalam negeri.
Dalam hal ini, pemisahan TNI dan Polri berikut tugas dan tanggung jawabnya sebenarnya
sudah tepat, namun masih terkendala pada penempatan TNI dan Polri dalam struktur
komando dan struktur pemerintahan.
Paradigma mengatasi ancaman yang dimaksud dalam RUU Kamnas juga masih bersifat
subtil dan cenderung bersifat represif dalam penindakan dan pencegahan dini. Pada
pasal 4 hurup c disebutkan bahwa « tahapan pencegahan dini, peringatan dini,
penindakan dini, penanggulangan dan pemulihan » terhadap « potensi ancaman » pada
pasal 17 ayat (4) yang bersifat “ ancaman yang mungkin terjadi namun belum pernah
tejadi atau sangat jarang terjadi…” Adapun langkah yang dilakukan mencegah potensi
itu dalam penjelasan Pasal 4 hurup c: “dengan upaya yang tepat, cepat dan terukur.”
Pasal-pasal ini dinilai dapat mengundang bentuk tafsir dan represifitas baru, karena
redaksi yang tidak jelas dalam mengenali potensi ancaman dan proses penagnggulannya.
Dan celah ini dapat digunakan kekuasaan untuk mempertahankan kepentingan
politiknya. Apalgi ketika Unsur Keamanan Nasional (Pasal 20) ditingkat pusat dan
kabupaten diberi kewenangan dan kuasa khusus “berupa hak menyadap, memeriksa,
menangkap dan melakukan tindakan paksa sah lainnya…”
Jika diperhatikan, konsep RUU Kamnas tentang potensi ancaman dan cara
penanggulangannya tampak terlihat ahistoris dalam pengertian tidak mengikuti
kerentanan-kerantanan dan perubahan dunia yang begitu dahsyat, misalnya kerentanan
ekonomi, lingkungan hidup, kejahatan informatika dan sebagainya. Perkembangan
ancaman baru tersebut masih luput dari perhatian RUU Kamnas yang masih setia pada
paradigma pertahanan dan keamanan tradisional.
Di Perancis, Buku Putih 2008 jelas sekali memaparkan ancaman-ancaman baru yang
mungkin timbul, sehingga diperlukan solusi yang tepat untuk mengatasi dan
menanggulanginya. Misalnya, ancaman kejahatan informatika diantisipasi dan dicegah
dengan pengadaan formasi pendidikan informatika dan penguatan basis teknologi
informatika pada institusi pertahanan dan keamanan Perancis. Jika RUU Kamnas yang
masih berparadigma lama ini disahkan, dapat dipastikan aparat keamanan akan
mengalami kegamangan hukum dalam menghadapi bentuk-bentuk ancaman baru.
Karena paradigma lama ini, maka persoalan keamanan nasional lebih banyak didekati dari
sudut pandang penanganan keamanan yang bersifat militeristik dan polisional. Dalam hal
ini, RUU Kamnas tampaknya perlu mengadopsi pendekatan politik, ekonomi, sosial,
budaya dan pendidikan. Ancaman terorisme misalnya, bukan hanya semata-mata adanya
orang atau sekelompok orang yang mengganggu ketentraman dan keamanan umum
dengan cara-cara menakut-nakuti atau membunuh orang lain, tetapi mengapa terorisme
itu muncul dan bagaimana menanggulanginya. Pendekatan non militer seperti ekonomi,
politik, pendidikan dan sosial perlu dimunculkan dalam menangani problem terorisme,
bukan semata-mata persoalan « sadap, periksa, tangkap dan paksa ».
Terakhir, sebagai negara maju, anggota NATO, pemimpin UE, dan anggota DK PBB,
Perancis tentu saja memiliki konsep strategi pertahanan dan keamanan berperspektif

9

global, terkait dengan posisi dan perannya. Konteks politik dan sejarah Perancis yang
sekuler dan demokratis, tentu, tidak bisa dilepaskan dari ancaman pihak lain yang
berseberangan dengan ideologi politiknya. Dalam hal ini, strategi keamanan nasional
Perancis lebih ditempatkan dalam perpektif internasional untuk melindungi kepentingankepentingan vital Perancis. Sedangkan, sebaliknya, persoalan politik pertahanan dan
keamanan Perancis yang dipengaruhi persoalan-persoalan dalam negeri seperti terorisme
(akar dan jaringan terorisme tumbuh dan berkembang di Indonesia), separatisme,
kerusuhan sosial dan sebagainya tampaknya turut membangun paradigma keamanan
dalam RUU Kamnas yang bersifat militeristik. Persoalan-persoalan penting seperti krisis
ekonomi, ekologi, dan energi yang turut mempengaruhi keamanan nasional seharusnya
diantisipasi dan dicarikan solusinya. Dan yang lebih penting lagi adalah, RUU Keamanan
Nasional tidak boleh menjadi celah kembalinya otoritarianisme kebijakan pertahanan dan
keamanan nasional.
***

10