Veto Rusia Dalam Pembahasan Krisis Suria

Veto Rusia Dalam Pembahasan Krisis Suriah di Sidang Dewan Keamanan PBB
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) merupakan organisasi internasional terbesar dalam
sistem internasional. PBB lahir setelah Perang Dunia II melalui United Nations Charter yang
ditandatangani oleh 50 negara di San Fransisco pada 26 Juni 1945. PBB memiliki enam
badan utama yaitu Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial, Dewan
Perwalian, Mahkamah Internasional, dan Sekretaris Jenderal. Dalam perkembangannya saat
ini PBB memiliki jumlah anggota 193 negara.
PBB didirikan dengan motivasi mencegah Perang Dunia III. Sesuai dengan tujuan dan
prinsip yang tercantum dalam piagam PBB, yaitu:
1. Untuk menciptakan perdamaian dan keamanan internasional, dengan mengambil langkah
penilaian kolektif yang efektif dalam upaya preventif dan menghilangkan ancaman
terhadap perdamaian, sesuai dengan prinsip keadilan dan hukum internasional.
2. Untuk membangun hubungan bersahabat antar negara berdasarkan prinsip persamaan dan
ketetapan masyarakatnya sendiri untuk mengambil langkah yang tepat dalam membangun
perdamaian universal.
3. Untuk mencapai kerjasama internasional dalam menyelesaikan masalah internasional baik
dalam bidang ekonomi, budaya, kemanusiaan, dan dalam mendorong penghormatan pada
hak asasi manusia, kebebasan tanpa perbedaaan ras, jenis kelamin, bahasa, ataupun agama.
4. Untuk menjadi pusat aksi harmonisasi negara-negara dalam pencapaian hal-hal umum
diatas.
Eksistensi PBB berada di dalam sistem internasional yang anarki, dimana setiap negara

berlomba-lomba mencapai kepentingannya dengan berbagai instrumen tanpa memperhatikan
piagam PBB yang telah disepakati bersama. Negara the Big Five anggota PBB, yaitu
Amerika Serikat, Rusia, Perancis, Inggris dan China seringkali melakukan penyalahgunaan
hak veto untuk kepentingan negaranya. Akumulasi penyalahgunaan tersebut pada akhirnya
berpotensi menciptakan konflik yang besar.
Salah satu kawasan yang menjadi pusat perhatian dalam kurun waktu 5 tahun terakhir
adalah Timur Tengah. Sejak tahun 2010 sampai sekarang, kawasan Timur Tengah bergejolak
karena gelombang aksi menuntut demokrasi begitu luas dan cepat terjadi di kawasan ini.
Berawal dari Tunisia, Aljazair, Mesir sampai ke Suriah. Gelombang aksi menuntut demokrasi
di berbagai negara kawasan Timur Tengah populer disebut Arab Spring. Keinginan rakyat di
kawasan Timur Tengah untuk merasakan demokrasi harus dibayar dengan jatuhnya ribuan
korban jiwa. Dalam kasus Suriah, masyarakat sipil menjadi sasaran institusi militer propemerintah dengan alasan menjaga stabilitas negara. Hal ini menjadi perhatian masyarakat
internasional dan muncul dorongan kepada PBB untuk segera melakukan intervensi
kemanusiaan di Suriah. Dalam prosesnya, keputusan intervensi kemanusiaan terhadap Suriah
belum terselesaikan, the Big Five yang merupakan anggota tetap Dewan Keamanan PBB
terpecah menjadi dua kubu, yaitu kubu pro intervensi kemanusiaan yang dimotori Amerika
Serikat, Prancis dan Inggris serta kubu kontra intervensi kemanusiaan yang dimotori Rusia
dan China.
Dewan Keamanan dan Dinamika Pembahasan Intervensi Militer di Suriah
Dewan Keamanan PBB sebenarnya telah mengecam tindakan tersebut berulang kali

dan menghimbau Presiden Suria, Bashar Al-Assad untuk menghentikan serangan pada rakyat
pro-demokrasi. Dewan Keamanan sendiri telah melakukan pertemuan yang membahas
masalah ini. Tindakan Dewan Keamanan dalam menyelesaikan konflik di Suriah selalu
mengalami konflik internal, terutama pada anggota tetapnya. Jalan buntu sering ditemui pada

perundingan, dan bila resolusi akan dikeluarkan selalu ada bayangan hak veto. 1 Walaupun
dibayang-bayangi oleh veto dari resolusi yang dicanangkan oleh Dewan Keamanan PBB,
dikeluarkannya resolusi Dewan Keamanan PBB pada Februari 2012 merupakan salah satu
bentuk dukungan dari upaya penyelesaian konflik yang dicanangkan oleh Liga Arab
mengenai penggabungan pasukan pemelihara perdamaian Arab-PBB.2 Resolusi yang
mengarah kepada upaya perdamaian ini berisikan tentang tuntutan pemerintahan Suriah agar
segera memberhentikan kekerasan yang telah memakan banyak korban jiwa setiap harinya
akibat kekerasan yang dilakukan kepada warga sipil Suriah. Selain itu, dalam resolusi ini juga
diupayakan agar pemerintah Suriah mau membuka dialog politik yang memungkinkan
tentang hak-hak warganya untuk mengekspresikan pendapat dibalik kebijakan otoriter yang
selama ini dijalankan oleh pemerintahan Suriah.3 Akan tetapi peluang untuk melakukan
intervensi militer seperti di Iraq dan Libya masih kecil kemungkinannya.
Veto Rusia Dalam Pengambilan Keputusan di Dewan Keamanan
Pada 2011 para duta besar negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB menyepakati
sebuah pernyataan untuk mengutuk kekerasan yang dilakukan pemerintah Suriah terhadap

para demonstran anti-pemerintah. Namun, pernyataan tersebut juga menyerukan kepada
pihak yang melakukan aksi protes pada pemerintah untuk menghentikan semua bentuk
kekerasan dan penyerangan terhadap institusi negara. Menurut mereka yang terlibat dalam
pembahasan tentang Suriah di Dewan Keamanan PBB, rancangan pernyataan tersebut secara
prinsip telah disetujui oleh semua anggota dan tinggal menunggu persetujuan akhir sebelum
akan dibacakan sebagai pernyataan resmi Dewan Keamanan PBB pada hari yang sama.
Dalam rancangan pernyataan tersebut disebutkan bahwa Dewan Keamanan PBB mengutuk
meluasnya pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan penggunaan kekuatan militer
terhadap rakyat sipil oleh pihak-pihak berwajib Suriah.4
Pernyataan itu juga mendesak Suriah untuk menghormati hak asasi manusia dan
mematuhi kewajiban mereka di bawah hukum internasional. Dewan Keamanan PBB juga
menyesalkan langkah Presiden Bashar al-Assad yang dipandang kurang berkomitmen untuk
melaksanakan janji reformasi yang pernah disampaikan kepada rakyat Suriah. Namun,
rancangan resolusi itu juga menyerukan penghentian segala bentuk kekerasan dan mendesak
semua pihak untuk saling menahan diri, mencegah tindak balas dendam, termasuk
penyerangan terhadap institusi-institusi negara.5
Kalimat terakhir tersebut merupakan bentuk kompromi dengan keinginan Rusia, Cina,
dan beberapa anggota Dewan Keamanan PBB lainnya, yang menuntut keseimbangan dalam
pernyataan tersebut dan menyalahkan pihak pemerintah maupun demonstran atas pecahnya
kekerasan dalam gelombang protes anti-pemerintahan yang telah berlangsung lima bulan.

Negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan Jerman, sudah
Antaranews, ‘Dewan Keamanan PBB Kecam Penindasan Suriah’, Antaranews (online),
2012,
http://www.antaranews.com/berita/270111/dewan-keamanan-pbb-kecampenindasan-suriah, diakses 16 Desember 2014.
2
Metrotvnews, ‘Suriah Tolak Resolusi Liga Arab’, Metrotvnews (online), 2012,
http://metrotvnews.com/read/news/2012/02/13/81779/Suriah-Tolak-Resolusi-Liga-Arab/7,
diakses 16 Desember 2014.
3
Security Council, ‘Security Council fails to adopt draft resolution condemning Syria’s
crackdown on anti-government protestors, owing to veto by Russian Federation, China’,
United
Nations
(online),
2012,
http://www.un.org/News/Press/docs/2011/sc10403.doc.htm, diakses 16 Desember 2014.
4
Liputan
6,
“Api

Kekerasan
di
Suriah,
Sampai
Kapan?”,
http://berita.liputan6.com/read/393834/api kekerasan disuriah sampai kapan/, diakses 16
Desember 2014
5
Ibid
1

berbulan-bulan mengusulkan resolusi Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan tindak
kekerasan Presiden al-Assad, tetapi ditentang oleh negara-negara BRICS (Brasil, Rusia,
India, Cina, dan Afrika Selatan), yang kebetula menjadi anggota Dewan Keamanan PBB pada
2011.
Negara-negara tersebut telah belajar dari pengalaman negara-negara Barat yang sering
menyalahgunakan resolusi Dewan Keamanan PBB, misalnya dalam kasus Irak dan Libya.
Penyalahgunaan resolusi tersebut bukan membawa perdamaian seperti yang diharapkan,
malah lebih kepada merusak keseimbangan sistem keamanan kawasan. Dalam contoh kasus
di Iraq dan Libya, pasca invasi Amerika Serikat dan NATO, kasus – kasus terorisme dan

konflik etnis semakin banyak serta pergerakan kelompok islam radikal semakin kuat. Rusia
dan Cina yang menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB, bahkan terang-terangan
mengancam akan memveto setiap rencana resolusi menentang Suriah.
Rusia seperti tidak ingin mengulangi kesalahan Barat yang sama dan tidak membiarkan
Barat memutuskan nasib kawasan sesuka hati. Sejauh ini, Rusia telah mengambil langkahlangkah politik dan keamanan untuk menghadapi perang yang dikobarkan Barat di Suriah.
Presiden Vladimir Putin dalam sebuah pernyataannya mengatakan bahwa seluruh upaya
harus dikerahkan sehingga pihak-pihak yang bertikai di Suriah bersedia menerima dialog.
Putin juga menegaskan perlunya mengambil langkah-langkah yang mungkin untuk
menemukan sebuah solusi politik damai.6 Sejak pertama kali pecahnya konflik sipil di Suriah,
Rusia menuntut penyelesaian diplomatik melalui perundingan di antara berbagai kelompok di
Suriah.
Ketegasan Rusia ini juga terlihat dalam pernyataan pejabat diplomatiknya. Dalam
pertemuan dengan Duta Besar Amerika Serikat Michael McFaul pada 2012, Wakil Menteri
Luar Negeri Rusia Mikhail Bogdanov menekankan bahwa Rusia terus bekerja dengan Suriah
dan berbagai kelompok oposisi Suriah dalam upaya untuk mengakhiri krisis. Pihak Rusia
mengungkapkan harapan bahwa Amerika Serikat akan bertindak dengan cara yang sama.
Tidak hanya itu, Rusia menegaskan akan memveto rancangan resolusi PBB yang menyerukan
sanksi lebih terhadap Suriah. Wakil Duta Besar Rusia di PBB Igor Pankin juga mengatakan
bahwa Rusia tidak akan pernah mau membahas soal sanksi terhadap Suriah.
Pada 2011 Dewan Keamanan PBB melakukan sidang pertamanya terkait konflik sipil

Suriah di New York yang diikuti oleh 5 anggota tetap dan 10 anggota tidak tetap Dewan
Keamanan PBB.7 Dalam sidang tersebut, Dewan Keamanan PBB membahas mengenai
rancangan resolusi yang isinya mendukung adanya intervensi militer terhadap pemerintah
Suriah, karena pemerintahan Assad dinilai telah banyak sekali melakukan berbegai
pelanggaran HAM dengan menggunakan kekuatan militernya untuk melawan rakyat sipil.
Hasil sidang Dewan Keamanan PBB tersebut adalah Rusia dan Cina sebagai anggota Dewan
tetap menolak/menveto keputusan tersebut, karena upaya pengeluaran resolusi tersebut akan
membuka peluang pelanggaran kedaulatan Suriah oleh kekuatan asing.
Rancangan resolusi yang tidak menemui titik temu akibat adanya veto dari Rusia dan
Cina menginisiatif Liga Arab untuk turut memberikan rancangan resolusi. Resolusi Liga Arab
tersebut berisi tentang seruan transisi politik Suriah yang harus masuk kedalam sistem yang
lebih demokratis. Liga Arab juga menyerukan kepada pemerintah Suriah untuk menghentikan
kekerasan terhadap warga sipil. Resolusi Liga Arab langsung didukung oleh Dewan
Keamanan PBB. Resolusi tersebut mencerminkan kecaman terhadap segala bentuk kejahatan
yang telah dilakukan oleh rezim Assad pada rakyatnya. Kecaman didasarkan bahwa Suriah
6

United Nation, 2012. “Syria: Ban voice deep regret after Security Council fails to agree
on resolution”< http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=41144> [diakses pada
16 Desember 2014]

7
United Nation News. 4 Oktober 2011. “Russia and China veto rancangan Security
Council resolution on Syria”http://www.un.org/News/Press/docs/2011/sc10403.doc.htm
[diakses pada 16 Desember 2014]

melakukan kekerasan yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan kepada penduduk sipil. 8
Menindaklanjuti usulan resolusi Liga Arab mengenai konflik Suriah, pada 2012 Dewan
Keamanan PBB melaksanakan sidang kedua untuk membahas mengenai resolusi baru, tetapi
Rusia kembali memveto rancangan resolusi tersebut. Menurut Rusia, rancangan baru tidaklah
seimbang karena melibatkan banyak pihak.9 Selain itu, intervensi militer tersebut dianggap
Rusia melanggar piagam PBB yang mengatakan bahwa suatu negara tidak boleh ikut campur
terhadap masalah internal negara lain. Rusia lebih memilih menggelar pertemuan dengan
pihak Suriah di Moskow beberapa hari setelah sidang untuk membahas penyelesaian konflik
dengan cara yang lebih diplomatis tanpa melibatkan pihak asing.
Hak Veto Dewan Keamanan, Sebuah Kelemahan dalam Sistem Keamanan Global
Paul Kennedy, seorang sejarawan Universitas Yale, menyebut hak veto sebagai " The
Catch-22". The Catch-22 merupakan istilah yang sering dipakai untuk menggambarkan
situasi di mana hasil atau solusi yang diinginkan tidak mungkin dan hampir mustahil dapat
dicapai karena seperangkat aturan atau kondisi yang tidak logis dan tidak adil. Sangat sulit
untuk mengharapkan bahwa negara-negara pemegang hak veto akan menggunakannya untuk

kepentingan bersama. Karena secara rasional, negara-negara ini tentu lebih mengutamakan
kepentingan negaranya terlebih dahulu.
Tujuan dari pemberian hak veto pada awalnya ialah untuk melindungi kepentingan para
pendiri PBB, dimana hal tersebut hanya diperuntukkan bagi negara-negara yang
memenangkan Perang Dunia II. Hak veto melekat pada kelima negara tersebut berdasarkan
Pasal 27 Piagam PBB. Selain anggota tetap, Dewan Keamanan PBB juga memiliki anggota
tidak tetap yang berjumlah lima belas negara. Anggota tetap dan tidak tetap berbeda dalam
pemilikan hak veto. Anggota tidak tetap tidak mempunyai hak veto. Masa jabatan anggota
tidak tetap Dewan Keamanan PBB adalah 2 (dua) tahun.
Melihat kondisi saat ini, penggunaan hak veto yang dimiliki oleh anggota tetap Dewan
Keamanan PBB bertentangan dengan tujuan PBB terkait perdamaian dunia. Seringkali
keputusan yang ditetapkan dalam sidang PBB dibatalkan oleh negara pemilik veto. Sebagai
contoh, sudah dua kali hak veto digunakan oleh Rusia dalam kasus Suriah. Sebenarnya, hak
veto tidak menjadi sebuah masalah jika digunakan sebagaimana mestinya. Namun, jika
melihat kondisi saat ini hak veto digunakan untuk menentang prinsip-prinsip keadilan dan
kebenaran.
Sampai saat ini, kontroversi hak veto selalu membayangi legitimasi PBB. Dengan hak
veto, maka setiap anggota dari Dewan Keamanan PBB dapat mempengaruhi terjadinya
perubahan substansi secara besar-besaran dari suatu resolusi. Bahkan, hak veto mampu
mengancam terbitnya resolusi yang mampu mengancam terbitnya resolusi yang dianggap

tidak menguntungkan bagi negara pemegang veto. Inilah sebuah kesalahan fatal dari
penyalahgunaan sistem hak veto. Tidak jarang para perwakilan negara di PBB
mengungkapkan kecenderungan negara pemegang veto untuk saling mengancam
menggunakan vetonya dalam forum tertutup agar kepentingan mereka masing-masing dapat
terpenuhi tanpa sama sekali peduli terhadap negara anggota tidak tetap. Hal inilah yang
terkenal dengan istilah closet veto.
Atas hal – hal tersebut, wacana untuk melakukan reformasi Dewan Keamanan PBB
gencar disuarakan, dengan salah satu poin ketidaksetujuan soal penggunaaan hak veto, hak
8

BBCNews,
19
Maret
2012,
“PBB-Suriah
Teken
Kesepakatan
Awal”,
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/04/120419_syria_un.shtml
[diakses

16
Desember 2014]
9
PBB, 2012. ”Security Council Fails to Adopt Rancangan Resolution Condemning Syria’s”
http://www.un.org/News/Press/docs/2012/sc10536.doc.htm [diakses 16 Desember 2014]

veto sama saja dengan menjamin ekslusifitas dan dominasi peran negara anggota Dewan
Keamanan PBB. Walaupun mereka selalu mengatakan bahwa veto adalah jalan terakhir, tapi
pada kenyataannya mereka beberapa kali menggunakan hak veto secara sembunyi-sembunyi.
Pasca perang dingin, penggunaan hak veto seringkali mengganggu keseimbangan keamanan
kawasan dan global, berturut – turut terlihat dalam kasus Iraq, Libya dan Suriah.
Dari penjabaran di atas, penulis sepakat jika penggunaan hak veto dikaji ulang. Seperti
diketahui, pemberian hak veto bagi anggota tetap Dewan Keamanan tidak terlepas dari faktor
Perang Dunia II dimana negara-negara pemenang perang memiliki hak veto dan dikuatkan
melalui Pasal 27 Piagam PBB. Artinya, pemberian hak veto sedikit banyak merupakan ambisi
negara-negara pemenang perang untuk tetap memiliki kekuatan mengendalikan keamanan
internasional. Kritik paling keras adalah PBB hanya perpanjangan kepentingan dari lima
negara pemegang hak veto yang saling tumpang tindih dalam memperjuangkan kepentingan
nasional negaranya saja. PBB tidak lagi sebagai organisasi internasional yang merunut pada
penjabaran Piagam PBB. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah pengambilan keputusan
PBB menyangkut urusan dalam aspek apapun selalu berada di Majelis Umum sebagai
representasi seluruh anggota tanpa intervensi negara-negara di Dewan Keamanan.