Kimia medisinal adalah ilmu pengetahuan

A.Pengantar kimia farmasi
Kimia : ilmu pengetahuan yang mempelajari materi atau zat dalam hal susunan
,sifat-sifat dan perubahannya.
Farmasi : ilmu yang mempelajari cara membuat ,memformulasikan ,menyimpan dan
menyediakan obat.
Kimia farmasi : ilmu pengetahuan yang mempelajari penemua ,pengembangan
,identifikasi,dan interpretasi obat pada tingkat molekul.
Sediaan farmasi adalah obat,bahan obat,obat tradisional,dan kosmetika pengertian
obat.
Kimia Medisinal (Medicinal Chemistry) disebut pula Kimia Farmasi (Pharmaceutical
Chemistry), Farmakokimia (Farmacochemie, Pharmacochemistry) dan kimia terapi
(Chimie Therapeutique).
B. Absorpsi dan Bioavailabilitas
Kedua istilah tersebut tidak sama artinya. Absorpsi, yang merupakan proses
penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan
proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah obat yang
diberikan. Tetapi secara klinik, yang lebih penting ialah bioavailabilitas. Istilah ini
menyatakan jumlah obat, dalam persen terhadap dosis, yang mencapai sirkulasi
sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini terjadi karena untuk obat-obat tertentu, tidak
semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sestemik.
Sebagaian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding ususpada pemberian oral

dan/atau di hati pada lintasan pertamanya

melalui organ-organ tersebut.

Metabolisme ini disebut metabolisme atau eliminasi lintas pertama (first pass
metabolism or elimination) atau eliminasi prasistemik. Obat demikian mempunyai
bioavailabilitas oral yang tidak begitu tinggi meskipun absorpsi oralnya mungkin
hampir sempurna. Jadi istilah bioavailabilitas menggambarkan kecepatan dan
kelengkapan absorpsi sekaligus metabolisme obat sebelum mencapai sirkulasi
sistemik. Eliminasi lintas pertama ini dapat dihindari atau dikurangi dengan cara
pemberian parenteral (misalnya lidokain), sublingual (misalnya nitrogliserin), rektal,
atau memberikannya bersama makanan.
2.

Distribusi
Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi

darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat
fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di
dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke

organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak.
Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang

perfusinya tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan lemak.
Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke
ruang interstisial jaringan terjadi karena celah antarsel endotel kapiler mampu
melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah larut
dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam otak,
sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel
sehingga distribusinya terbatas terurama di cairan ekstrasel. Distribusi juga dibatasi
oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan
mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh
afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan
obat oleh protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena adanya defisiensi
protein.
3.

Biotransformasi / Metabolisme
Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia


obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat
diubah menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut
dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada
umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam
mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif,
atau tidak toksik. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru diaktifkan
oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih
lanjut dan/atau diekskresi sehingga kerjanya berakhir.
Enzim

yang

berperan

dalam

biotransformasi

obat


dapat

dibedakan

berdasarkan letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam
retikulum endoplasma halus (yang pada isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan
enzim non-mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme ini terutama terdapat
dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel,
saluran cerna, dan plasma.
4.

Ekskresi
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk

metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar
diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru.
Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi disini merupakan

resultante dari 3


preoses, yakni filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli

proksimal, dan rearbsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal.
Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga
dosis perlu diturunkan atau intercal pemberian diperpanjang. Bersihan kreatinin
dapat dijadikan patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat.
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan rambut,
tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran
efek obat. Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar
obat tertentu. Rambut pun dapat digunakan untuk menemukan logam toksik,
misalnya arsen, pada kedokteran forensik
C. SENYAWA OBAT dan SISTEM BIOLOGIK
Hubungan kimia medisinal dengan cabang ilmu lain yaitu:
Kimia Analisis
Kimia Organik
Kimia Fisik
Farmasetika
Biokimia
Biofarmasi
Kimia Medisinal ------------->farmakologi -----------> Kedokteran Klinik

Biologi
Toksikologi
Mikrobiologi
Patologi
Fisiologi
Berdasarkan sumbernya obat digolongkan menjadi tiga, yaitu:
1.
Obat alamiah
Obat yang terdapat di alam.
Pada tanaman, contoh: kuinin dan atropin
Pada Hewan, contoh : minyak ikan dan hormon
Pada mineral, contoh : belerang (S) dan kalium bromida (KBr).
2. Obat semisintetik
Obat hasil sintesis yang bahan dasarnya berasal dari bahan obat yang terdapat di
alam.
Contoh: morfin menjadi kodein dan diosgenin menjadi progesteron.
3. Obat sintetik murni
Obat yang bahan dasarnya tidak berkhasiat, setelah disintesis akan didapatkan
senyawa dengan khasiat farmakologis tertentu .
Contoh: obat-obat golongan analgetik-antipiretik, antihistamin dan diuretika.

Dari 252 obat pada daftar obat esensial yang dikeluarkan oleh WHO(1985), sumbersumber obat dapat dibagi sebagai berikut :
1. Sintesis kimia (48,9%)
2. Semisintetik (9,5%)
3. Mikroorganisme (6,4%)
4. Vaksin (4,32%)
5. Sera (2%)
6. Mineral (9,1%)
7. Tumbuh-tumbuhan (11,1%)
8. Hewan (8,7%)

Sifat-sifat fisika kimia merupakan dasar yang sangat penting untuk menjelaskan
aktivitas biologis obat, oleh karena:
1. Sifat kimia fisika memegang peranan penting dalam pengangkutan obat untuk
mencapai reseptor.
2. Hanya obat yang mempunyai struktur dengan kekhasan tinggi saja yang dapat
berinteraksi dengan reseptor biologi.
3. Hubungan Struktur, Sifat Kimia Fisika dengan Proses Absorpsi, Distribusi dan
Ekskresi Obat.
Setelah masuk ke tubuh melalui cara tertentu (oral, parenteral, anal, dermal, dll)
obat akan mengalami proses absorpsi, distribusi, metanolisme dan ekskresi.

Tiga Fasa yang menentukan terjadinya aktivitas biologis obat adalah :
1. Fasa farmasetik
Meliputi proses pabrikasi, penganturan dosis, formulasi, bentuk sediaan, pemecahan
bentuk sediaan dan terlarutnya obat aktif. Fasa ini berperan dalam ketersediaan
obat untuk dapat diabsorpsi ke tubuh.
2. Fasa Farmakokinetik
Meliputi proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat (ADME). Fasa ini
berperan dalam ketersediaan obat untuk mencapai jaringan sasaran (target) atau
reseptor sehingga dapat menimbulkan respons biologis.
3. Fasa Farmakodinamik
Fasa terjadinya interaksi obat-reseptor dalam jaringan sasaran. Fasa ini berperan
dalam timbulnya respons biologis obat.
Setelah obat bebas masuk ke peredaran darah, kemungkinan mengalami prosesproses sebagai berikut :
1.
Obat disimpan dalam depo jaringan
2. Obat terikat oleh protein plasma, terutama albumin
3. Obat aktif yang dalam bentuk bebas berinteraksi dengan reseptor sel khas dan
menimbulkan respons biologis.
4. Obat mengalami metabolisme dengan beberapa jalur kemungkinan yaitu:
a. Obat yang mula-mula tidak aktif, setelah mengalami metabolisme akan

menghasilkan senyawa aktif, kemudian berinteraksi dengan reseptor dan
menimbulkan respons biologis (bioaktivasi)
b. Obat aktif akan dimetabolisis menjadi metabolit yang lebih polar dan tidak aktif,
kemudian diekskresikan (bioinaktivasi)
c. Obat aktif akan dimetabolisis menghasilkan metabolit yang bersifat toksik
(biotoksifikasi)
5. Obat dalam bentuk bebas langsung diekskresikan.
Setelah masuk ke sistem peredaran darah, hanya sebagian kecil molekul obat yang
tetap utuh dan mencapai reseptor pada jaringan sasaran. Sebagian besar obat
berubah atau terikat pada biopolimer. Tempat dimana obat berubah atau terikat
sehingga tidak dapat mencapai reseptor disebutsisi kehilangan (site of loss).
Contoh sisi kehilangan: protein darah, depo-depo penyimpanan, sistem enzim yang
dapat menyebabkan perubahan metabolisme obat dari bentuk aktif menjadi bentuk
tidak aktif dan proses ekskresi obat baik sebelum maupun sesudah proses
metabolisme.

II . Hubungan Struktur, Sifat Kimia Fisika dengan Proses Absorpsi Obat

Proses absorpsi merupakan dasar yang penting dalam menentukan aktivitas
farmakologis obat. Kegagalan ata kehilangan obat selama proses absorpsi akan

mempengaruhi efek obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan.
1. Absorpsi Obat melalui Saluran Cerna
Pada pemberian secara oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah dan
didistribusikan ke seluruh tubuh, terlebih dulu harus mengalami proses absorpsi
pada saluran cerna.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses absorpsi obat pada saluran cerna
antara lain:
Bentuk sediaan
Sifat kimia fisika
Cara pemberian
Faktor biologis
Faktor-faktor lain seperti umur, diet (makanan), adanya interaksi obat dengan
senyawa lain dan adanya penyakit tertentu.
Absorpsi obat melalui saluran cerna terutama tergantung pada ukuran partikel
molekul obat, kelarutan obat dalam lemak/air dan derajat ionisasi.
2. Absorpsi Obat melalui Mata
Bila suatu obat diberikan secara setempat pada mata, sebagian diabsorpsi melalui
membran konjungtiva dan sebagian lagi melalui kornea. Kecepatan penetrasi
tergantung pada derajat ionisasi dan koefisien partisi obat. Bentuk yang tidak
terionisasi dan mudah larut dalam lemak cepat diabsorpsi oleh membran mata.

Penetrasi obat yang bersifat asam lemah lebih cepat dalam suasana asam karena
dalam suasana tersebut bentuk tidak terionisasinya besar sehingga mudah
menembus membran mata. Untuk obat yang bersifat basa lemah penetrasi lebih
cepat dalam suasana basa.
3. Absorpsi Obat melalui Paru
Obat anestesi sistemik yang diberikan secara inhalasi akan diabsorpsi melalui epitel
paru dan membran mukosa saluran napas. Krena mempunyai luas permukaan
besar maka absorpsi melalui buluh darah paru berjalan dengan cepat.
Absorpsi obat melalui paru tergantung pada:
- Kadar obat dalam alveoli
- Koefisien partisi gas/darah
- Kecepatan aliran darah paru
- Ukuran partikel obat
4. Absorpsi Obat melalui Kulit
Absorpsi obat melalui kulit sangat tergantung pada kelarutan obat dalam lemak
karena epidermis kulit berfungsi sebagai membran lemak biologis.
B. Hubungan Struktur, Sifat Kimia Fisika dengan Proses Distribusi Obat
Setelah masuk ke peredaran sistemik, molekul obat secara serentak didistribusikan
ke seluruh jaringan dan organ tubuh.

Kecepatan dan besarnya distribusi obat dalam tubuh bervariasi dan tergantung pada
faktor-faktor sebagai berikut:
Sifat kimia fisika obat, terutama kelarutan dalam lemak
Sifat membran biologis
Kecepatan distribusi aliran darah pada jaringan dan organ tubuh
Ikatan obat dengan sisi kehilangan
Adanya pengangkutan aktif dari beberapa obat
Masa atau volume jaringan
1. Struktur Membran Biologis
Membran biologis mempunyai dua fungsi utama, yaitu:
Sebagai penghalang dengan sifat permeabilitas yang khas
Sebagai tempat untuk reaksi biotransformasi energi
a. Komponen Membran Sel
- Lapisan Lemak Bimolekul
- Protein
- Mukopolisakarida
b. Model Membran Sel
Model Struktur Membran Davson-Danielli (1935)
Struktur membran sel terdiri daru dua bagian dalam adalah bagian lapisan lemak
bimolekul dan bagian luar adalah satu lapisan protein, yang mengapit lapisan lemak
bimolekul. Protein ini bergabung dengan bagian polar lemak melalui kekuatan
elektrostatik.
Model Struktur Membran Robertson (1964)
Memperjelas model membran biologis Davson-danielli yaitu daerah polar molekul
lemak secara normal berorientasi pada permukaan sel dan diselimuti oleh satu lapis
protein pada permukaan membran.
Model Struktur Membran Singer dan Nicholson (1972)
Disebut model cairan mosaik dimana struktur membran terdiri dari lemak bimolekul
dan protein globular yang tersebar diantara lemak bimolekul tersebut.
2. Hubungan Struktur, Kimia Fisika dengan Proses Distribusi Obat
Pada umumnya distribusi obat terjadi dengan cara menembus membran biologis
melalui proses difusi. Mekanisme difusi dipengaruhi oleh struktur kimia, sifat kimia
fisika obat dan sifat membran biologis.
Proses difusi dibagi menjadi dua yaitu difusi pasif dan difusi aktif.
Difusi pasif
·
Difusi pasif melalui pori
·
Difusi pasif dengan cara melarut pada lemak penyusun membran
·
Difusi pasif dengan fasilitas
Difusi aktif
·
Sistem pengangkutan aktif
·
Pinositosis
·
Interaksi obat dengan biopolimer

C. Hubungan Struktur, Kimia Fisika dengan Proses Ekskresi Obat

1.
Ekskresi obat melalui Paru
Obat yang diekskresikan melalui paru terutama obat yang digunakan secara
inhalasi. Sifat fisik yang menentukan kecepatan ekskresi obat melalui paru adalah
koefisien partisi darah/udara.
2. Ekskresi obat melalui Ginjal
Ekskresi obat melalui Ginjal melibatkan tiga proses:
Penyaringan Glomerulus
Absorpsi Kembali secara Pasif pada Tubulus Ginjal
Sekresi Pengangkutan Aktif pada Tubulus Ginjal
3. Ekskresi Obat melalui Empedu
Obat dengan berat molekul lebih dari 150 dan obat yang telah dimetabolisis menjadi
senyawa yang lebih polar, dapat diekskresikan dari hati, melewati empedu menuju
ke usus dengan mekanisme pegangkutan aktif. Obat tersebut biasanya dalam
bentuk terkonjugasi dengan asam glukuronat, asam sulfat atau glisin. Di usus
bentuk terkonjugat tersebut secara langsung diekskresikan melaui tinja, atau dapat
mengalami proses hidrolisis oleh enzim atau bakteri usus menjadi senyawa yang
bersifat non polar, sehingga diabsorpsi kembali ke plasma darah, kembali ke hati,
dimetabolisis, dikeluarkan lagi melaui empedu menuju ke usus,demikian seterusnya
sehingga merupakan suatu siklus yang dinamakan siklus enterohepatik. Siklus ini
menyebabkan masa kerja obat menjadi lebih panjang.
3. Hubungan struktur dan proses Metabolisme Obat
Proses metabolisme dapat mempengaruhi aktovitas biologis, masa kerja dan
toksisitas obat sehingga pengetahuan tentang metabolisme obat dan senyawa
organik asing lain (xenobiotika) sangat penting dalam bidang kimia medisinal.
Suatu obat dapat menimbulkan respons biologis dengan melalui dua jalur, yaitu:
a.
Obat aktif setelah masuk ke peredaran darah, langsung berinteraksi dengan
reseptor dan menimbulkan respons biologis.
b. Pra-obat setelah masuk ke peredaran darah mengalami proses metabolisme
menjadi obat aktif, berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respons biologis
(bioaktivasi).
Metabolisme obat adalah mengubah senyawa yang relatif non polar, menjadi
senyawa yang lebih polar sehingga mudah dikeluarkan dari tubuh.

A. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Metabolisme Obat
1. Faktor Genetik atau Keturunan
Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-kadang terjadi
dalam sistem kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik atau keturunan
ikut berperan terhadap adanya perbedaan kecepatan metabolisme obat
2. Perbedaan Spesies dan Galur
Pada proses metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan
galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi kadang-kadang ada
perbedaan yang cukup besar pada reaksi metabolismenya. Pengamatan pengaruh
perbedaan dilakukan terhadap tipe resksi metabolik atau perbedaan kualitatif dan
pada kecepatan metabolisme atau perbedaan kuantitatif.
3. Perbedaan Jenis kelamin
Pada beberapa spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin terhadap
kecepatan metabolisme obat.
4. Perbedaan Umur
Bayi dalam kandungan dan bayi yang baru lahir jumlah enzim-enzim mikrosom hati
yang diperlukan untuk memetabolisme obat relatif masih sedikit sehingga sangat
peka terhadap obat.
5. Penghambatan Enzim Metabolisme
Pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu senyawa yang
menghambat kerja enzim-enzim metabolisme dapat meningkatkan intensitas efek
obat, memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan juga meningkatkan efek
samping dan toksisitas.
6. Induksi Enzim Metabolisme
Peningkatan aktivitas enzim metabolisme obat-obat tertentu atau proses induksi
enzim mempercepat proses metabolisme dan menurunkan kadar obat bebas dalam
plasma sehingga efek farmakologis obat menurun dan masa kerjanya menjadi lebih
singkat. Induksi enzim juga mempengaruhi toksisitas beberapa obat karena dapat
meningkatkan metabolisme dan pembentukan metabolit reaktif.
7. Faktor lain-lain
Diet makanan, keadaan kekurangan gizi, ganguan keseimbangan hormon,
kehamilan, pengikatan obat oleh protein plasma, distribusi obat dalam jaringan dan
keadaan patologis hati.
B. Tempat Metabolisme Obat
Perubahan kimia obat dalam tubuh terutama terjadi pada jaringan dan organ-organ
seperti hati, ginjal, paru dan saluran cerna. Hati adalah organ tubuh yang merupakan
tempat utama metabolisme obat oleh karena mengandung lebih banyak enzimenzim metabolisme dibanding organ lain. Setelah pemberian secara oral, obat
diserap oleh saluran cerna, masuk keperedaran darah dan kemudian ke hati melalui
efek lintas pertama. Aliran darah yang membawa obat atau senyawa organik asing
melewati sel-sel hati secara perlahan-lahan dan termetabolisis menjadi senyawa
yang mudah larut dalam air kemudian diekskresikan melalui urin.
C. Jalur Umum Metabolisme Obat dan Senyawa Organik Asing
Reaksi metabolisme obat dan senyawa organik asing ada dua tahap, yaitu:
1. Reaksi fasa I atau reaksi fungsionalisme
2. Reaksi fasa II atau reaksi konjugasi
a.
Reaksi fasa I
1. Reaksi oksidasi:

Oksidasi gugus aromatik, ikatan rangkap, atom C benzilik dan alilik, atom C
dari gugus karbonil dan imin.
Oksidasi atom C alifatik dan alisiklik
Oksidasi sistem C-N, C-O dan C-S
Oksidasi alkohol dan aldehid
Reaksi oksidasi lain-lain
2. Reaksi reduksi
Reduksi aldehid dan keton
Reduksi senyawa azo dan nitro
Reaksi reduksi lain-lain
Reaksi fasa I dapat dicapai dengan :
1. Secara langsung memasukkan gugus fungsional, contoh : hidroksilasi senyawa
aromatik dan alifatik
2. Memodifikasi gugus-gugus fungsional yang ada dalam struktur molekul, contoh :
reduksi gugus keton atau aldehid menjadi alkohol
Fasa I dapat menghasilkan suatu gugus fungsional yang mudah terkonjugasi atau
mengalami reaksi fasa II. Tujuan reaksi fasa II adalah mengikat gugus fungsional
hasil metabolit reaksi fasa I dengan senyawa endogen yang mudah terionisasi dan
bersifat polar.
b.
1.
c.
d.

Reaksi fasa II
Reaksi konjugasi:
Konjugasi asam glukuronat
Konjugasi sulfat
Kinjugasi dengan glisin dan glutamin
Konjugasi dengan glutation atau asam merkapturat
Reaksi asetilasi
Reaksi metilasi

4. Hubungan Struktur, Ikatan Kimia dan Aktivitas Biologis
Respons biologis merupakan akibat interaksi molekul obat dengan gugus fungsional
molekul reseptor. Interaksi ini dapat berlangsung karena kekuatan ikatan kimia
tertentu.
Tipe ikatan kimia yang terlibat dalam interaksi obat reseptor antara lain adalah
ikatan-ikatan kovalen, ion-ion yang saling memperkuat (reinforce ions), ion
(elektrostatik), hidrogen, ion-dipol, dipol-dipol, van der Waal’s, ikatan hidrofob dan
transfer muatan.
a. Ikatan Kovalen
Ikatan kovalen terbentuk bila ada dua atom saling menggunakan sepasang elektron
secara bersama-sama. Ikatan kovalen merupakan ikatan kimia yang paling kuat
dengan rata-rata kekuatan ikatan 1000 kkal/mol. Dengan kekuatan ikatan yang tinggi
ini, pada suhu normal ikatan bersifat ireversibel dan hanya dapat pecah bila ada
pengaruh katalisator enzim tertentu. Interaksi obat-katalisator melalui ikatan kovalen
menghasilkan kompleks yang cukup stabil dan sifat ini dapat digunakan untuk tujuan
pengobatan tertentu.
b. Ikatan ion
Ikatan ion adalah ikatan yag dihasilkan oleh daya tarik menarik elektrostatik antara
ion-ion yang muatannya berlawanan. Kekuatan tarik-menarik akan makin berkurang

bila jarak antar ion makin jauh dan pengurangan tersebut berbanding terbalik
dengan jaraknya.
c. Interaksi Ion-Dipol dan dipol-Dipol
Adanya perbedaan keelektronegatifan atom C dengan atom yang lain seperti O dan
N, akan membentuk distribusi elektron tidak simetrik atau dipol, yang mampu
membentuk ikatan dengan ion atau dipol lain, baik yang mempunyai daerah
kerapatan elektron tinggi maupun yang rendah.
Contoh: turunan metadon
d. Ikatan hidrogen
Ikatan hidrogen adalah suatu ikatan antara atom H yang mempunyai muatan positif
parsial dengan atom lain yang bersifat elektronegatif dan mempunyai sepasang
elektron bebas dengan oktet lengkap seperti O, N, F. Atom yang bermuatan positif
parsial dapat berinteraksi dengan atom negatif parsial dari molekul atau atom lain
yang berbeda ikatan kovalennya dalam satu molekul.
Contoh : H2O
e. Ikatan Van Der Waal’s
Ikatan van der waal’s merupakan kekuatan tarik-menarik antar molekul atau atom
yang tidak bermuatan dan letaknya berdekatan atau jaraknya ± 4-6 Å. Ikatan ini
terjadi karena sifat kepolarisasian molekul atau atom. Meskipun secara individu
lemah tetapi hasil penjumlahan ikatan van del waal’s merupakan faktor pengikat
yang cukup bermakna terutama untuk senyawa-senyawa yang mempunyai berat
molekul tinggi. Ikatan van der waal’s terlibat pada interaksi cincin benzen dengan
daerah bidang datar reseptor dan pada interaksi rantai hidrokarbon dengan
makromolekul protein atau reseptor.
f. Ikatan hidrofob
Ikatan hidrofob merupakan salah satu kekuatan penting pada proses penggabungan
daerah non polar molekul obat dengan daerah non polar reseptor biologis. Daerah
non polar molekul obat yang tidak larut dalam air dan molekul-molekul air
disekelilingnya akan bergabung melalui ikatan hidrogen membentuk struktur quasicrystalline (icebergs).
g. Transfer Muatan
Kompleks yang terbentuk antara dua molekul melalui ikatan hidrogen merupakan
kasus khusus dari fenomena umum kompleks donor-aseptor, yang distabilkan
melaui daya tarik-menarik elektrostatis antara molekul donor elektron dan molekul
aseptor elektron.
Contoh: komplek transfer muatan N-metilpiridinum iodida
5. Hubungan Struktur dan Interaksi Obat-Reseptor
Reseptor obat adalah suatu makromolekul jaringan sel hidup, mengandung gugus
fungsional atau atom-atom terorganisasi, reaktif secara kimia dan bersifat spesifik,
dapat berinteraksi secara reversibel dengan molekul obat yang mengandung gugus
fungsional spesifik, menghasilkan respons biologis yang spesifik pula.
Interaksi obat-reseptor terjadi melalui dua tahap, yaitu:
a. Interaksi molekul obat dengan reseptor spesifik
Interaksi ini memerlukan afinitas

b. Interaksi yang dapat menyebabkan perubahan konformasi makromolekul protein
sehingga timbul respons biologis.
A.Teori Klasik
Crum, Brown dan Fraser (1869), mengatakan bahwa aktivitas biologis suatu
senyawa merupakan fungsi dari struktur kimianya dan tempat obat berinteraksi pada
sistem biologis mempunyai sifat yang karakteristik.
Langley (1878), dari studi efek antagonis dari atropin dan pilokarpin,
memperkenalkan konsep reseptor yang pertama kali dan kemudian dikembangkan
oleh Ehrlich.
Ehrlich (1907), memperkenalkan istilah reseptor dan membuat konsep sederhana
tentang interaksi obat-reseptor yaitu corpora non agunt nisi fixata atau obat tidak
dapat menimbulkan efek tanpa mengikat reseptor.
B. Teori Pendudukan
Clark (1926), memperkirakan bahwa satu molekul obat akan menempati satu sisi
reseptor dan obat harus diberikan dalam jumlah yang berlebih agar tetap efektif
selama proses pembentukan kompleks.
Obat akan berinteraksi dengan reseptor membentuk kompleks obatreseptor. Clark hanya meninjau dari segi agonis saja yang kemudian dilengkapi
oleh Gaddum (1937), yang meninjau dari segi antagonis.
Respons biologis yang terjadi setelah pengikatan obat-reseptor dapat merupakan:
1. Rangsangan aktivitas (efek agonis)
2. Pengurangan aktivitas (efek antagonis)
Ariens (1954) dan Stephenson (1956), memodifikasi dan membagi interaksi obatreseptor menjadi dua tahap, yaitu:
1. Pembentukan kompleks obat-reseptor
2. Menghasilkan respons biologis
Setiap struktur molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas dapat
menunjang afinitas interaksi obat-reseptor dan mempunyai efisiensi untuk
menimbulkan respons biologis sebagai akibat pembentukan kompleks obat reseptor.
Afinitas
Efikasi
O + R ----------> Kompleks O-R -----------> Respons biologis
O + R ----------> O-R ----------> Respons (+) : Senyawa agonis
O-R ----------> Respons (-) : Senyawa antagonis
Kompleks O-R ----------> Respons biologis
Kompleks E-S -----------> Respons biologis
R*