Hubungan antar etnis 1 (1)

Awal pembahasan dalam buku ini dalam pembahasan “akankah etnisitas lenyap dalam
modernisasi” membahas tentang teori struktural-fungsional yang dicoba disandingkan dengan
teori tentang masyarakat plural
Bagi para fungsionalis ketika berbicara tentang etnisitas, menurut pendapat mereka etnisitas
memiliki tiga kelemahan berikut:
1. Hubungan-hubungan etnis begitu terikat dengan kuat untuk melakukan proses modenisasi satu
arah.
2. pendekatan ini terlalu melebih-lebihkan nilai-nilai dan norma-norma melampaui minat-minat
dan keefektifan pada analisis ini atas aksi individu dan group dalam etnis.
3.pendekatan ini tidak dapat untuk menjelaskan bentuk-bentuk dramatis dari perubahan sosial
seperti konflik antar etnis.

Baik kerangka fungsionalis berpegang teguh pada apa yang Durkheim yakini bahwa ‘‘etnisitas
akan menurun sebagai meritokrasi dan masyarakat industri individualis; etnisitas menghilang
sebagai bentuk bentuk asosiasi modern menggantikan bentuk-bentuk seperti indentifikasi dan
penambahan” (Fenton, 1980: 173); meskipun politik etnis banyak digunakan pada era modern
ini, namun para fungsionalisme menganggap bahwa fenomena ini tidak lebih dari relic dari masa
lalu.
Bagi parson, kekhasan dari identitas kelompok etnis adalah fenomena sementara, sebuah
kejanggalan yang disebabkan oleh de-defrensiasi yang sejalan dengan perubahan sosial yang
dramatis. Ketika perubahan sosial telah rampung, proses evolusia akn berlanjut sebagai sistem

sosial yang terus bergerak kearah yang lebih kompleks diferensiasinya dan sebagai bentuk baru
dari solidaritas organik.
Parson cenderung melihat modernisasi akan menggerus adanya kekhasan etnis sama seperti
anggapan bahwa etnisitas akan menjadi bentuk-bentuk asosiasi modern; hampir sama dengan apa
yang diungkapkan Durkheim.

Beranjak dari pendapat pada fungsionalis, Olzak & Nigel tidak menggambarkan proses
modernisasi yang dialami oleh kelompok etnis tak sama dengan durkheim atau parson. Menurut
mereka Etnis ataupun kekhasannya takkan lenya dan menjadi kelompok/ asosiasi modern lain
yang berbasis industri, melainkan etnisitas menjadi sumber daya yang penting dalam
kepentingan politik maupun ekonomi; dengan kata lain modernisasi berimbas pada relasi-relasi
etnis, bukan membuatnya menghilang.
Etnisitas juga merupakan modal simbolik dan modal kultural; hal ini mengindikasikan persepsi
para fungsionalis atas grup etnis sebagai entitas primordial benar-benar keliru.
Grup etnis secara umum mengklaim kelanjutan historis atas moyang mereka, secara sosiologis
mereka menyatakan bahwa mereka merupakan bagian dari asosiasi dengan bentuk yang baru
yang kemudian disebut sebagai “primordial attachment”
Jenkins berpendapat bahwa kelompok-kelompok yang mempertahankan nama-nama dari para
moyang mereka tetapi secara praksis (dalam aksinya ) seringkali begitu berbeda.


Baik struktural-fungsional maupun teori-teori masyarakat plural konsern pada individu dan
terlebih lagi sebagai produk dari kebudayan mereka seperti sistem kultural dan kesatuan etnis.
Baik posisi-posisi yang telah diatur sebagai tujaun eksplisit maupun implisit mereka adalah
inkorporasi dari berbagai etnis yang berbeda secara kolektif kedalam satu sistem nilai tunggal
yang dominan.
Penulis berpendapat bahwa adanya pluralisme mengindikasikan adanya ketakmampuan adanya
sistem nilai tunggal sebagai pemersatu, atau bisa juga karena memang pluralisme merasa bahwa
masyarakat merupakan kumpulan masyarakat yang berbeda yang menyatu secara utuh.