komponen bioaktif tumbuhan mangrove sonneratia alba

2.1 Habitat Mangrove dan Karateristik Biologi S.alba

Mangrove adalah tumbuhan halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis (Aksornkoae, 1993 dalam Oktavianus, 2013). Dengan demikian secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Oktavianus, 2013).

Berdasarkan zonasi mangrove, jenis S. alba mendominasi areal yang benar- benar dipengaruhi oleh air laut. Dimana jenis ini tidak toleran terhadap air tawar dalam periode yang lama. S. alba yang memiliki komposisi floristik dari komunitas di zona terbuka ini sangat bergantung pada jenis substrat yang ada, dimana substrat yang dibutuhkan oleh jenis ini adalah cendrung pada daerah tanah yang bercampur lumpur dan pasir. Selain itu, jenis mangrove S. alba Sering ditemukan di lokasi pesisir yang terlindung dari hempasan gelombang, juga di muara dan sekitar pulau- pulau lepas pantai (Noor, 2012).

Mangrove jenis S. alba hidup pada tanah yang rendah kandungan asamnya, hal ini disebabkan bentuk akarnya yang tumpul dan memiliki akar napas Mangrove jenis S. alba hidup pada tanah yang rendah kandungan asamnya, hal ini disebabkan bentuk akarnya yang tumpul dan memiliki akar napas

C (Saparinto, 2007 dalam Kurniaji, 2014).

Klasifikasi tumbuhan mangrove (S. alba) menurut Ruslia (2006) dalam Kurniaji (2014) sebagai berikut:

Kingdom : Plantae Phyllum

: Magnoliophyta Class

: Magnoliopsida Order

: Myrtales Family

: Sonneratiaceae Genus

: Sonneratia Species

: Sonneratia alba

Gambar 1. Manggrove Sonneratia alba Sumber : Dokumentasi Pribadi

Menurut Tjitrosoepomo (2009), S.alba memiliki kulit kayu berwarna putih hingga coklat. Akar berbentuk kabel di bawah tanah dan muncul ke permukaan sebagai akar nafas yang berbentuk kerucut tumpul dan tingginya mencapai 25 cm. Daun S.alba berbentuk bulat ukuran panjang 5-10 cm. Bunga biseksual; gagang bunga tumpul panjangnya 1 cm; terletak di ujung atau pada cabang kecil. Buah S.alba seperti bola, ujungnya bertangkai dan bagian dasarnya terbungkus kelopak bunga. Buah mengandung banyak biji (150-200 biji) dan tidak akan membuka pada saat telah matang. Mangrove S.alba dapat mencapai ketinggian hingga 20 meter dengan diameter 40 cm, memiliki sistem perakaran akar napas, seperti biji, kokoh, lancip, diameter pangkal akar mencapai 5 cm. S.alba umumnya tumbuh di daerah pertemuan antar sungai dan muara atau teluk berlumpur dalam.

pertanian dan kolam garam, melindungi ekosistem pantai secara global, keindahan bentang darat, tempat pendidikan dan pelatihan. Berdasarkan beberapa fungsi yang ada, dapat dikatakan mangrove sangat bermanfaat bagi masyarakat sekitar, masyarakat luas serta fauna laut (Puspayanti, 2013).

Tumbuhan mangrove terdiri dari buah, daun dan batang. Buah dari jenis mangrove ini telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tepung yang akan digunakan untuk produk olahan makanan. Dalam pembuatan tepung, buah mangrove tersebut harus direbus terlebih dahulu karena pada buah tersebut mengandung senyawa tanin yang dapat menyebabkan rasa sepat pada tepung (Perdana, 2012). Pemanfaatan daun mangrove jenis S.alba hanya menjadi pakan ternak dan batang mangrove hanya untuk dimanfaatkan sebagai tiang dalam pembuatan rumah, tangga dan kayu bakar untuk dibuat arang tanpa menggunakan kulitnya. Kulit batang mangrove S.alba dianggap sebagai limbah yang tak berguna dan belum dimanfaatkan hanya sebagian kecil saja digunakan untuk bahan bakar (Hamidah, 2006).

Beberapa penelitian tentang mangrove menunjukkan bahwa pada buah, daun dan kulit batang memiliki senyawa kimia yaitu flavonoid, saponin dan tanin yang dapat digunakan sebagai antioksidan dan juga sebagai antibakteri. Dari hasil penelitian Liya dkk (2006) tentang mangrove jenis Pongamia pinnata, menunjukan bahwa pada akar, batang, bunga, daun dan buah mengandung senyawa flavonoid. Menurut Herawati (2011), flavonoid dalam tubuh manusia berfungsi sebagai

Flavonoid dalam tubuh manusia berfungsi sebagai antioksidan, sehingga sangat baik untuk pencegahan kanker. Manfaat lain flavonoid antaranya melindungi struktur sel, meningkatkan efektifitas Vitamin C, anti inflamasi, mencegah keropos tulang, dan sebagai Antibiotik (Herawati, 2011). Menurut Shah dan Hossain (2014), flavonoid dapat melindungi membran lipid dari oksidasi.

Flavonoid juga berperan secara langsung sebagai antibiotik dengan mengganggu fungsi dari mikroorganisme seperti bakteri atau virus. Menurut Jawetz et al (2001) dalam Darminto dkk (2009), pertumbuhan bakteri yang terhambat atau kematian bakteri akibat suatu zat antibakteri dapat disebabkan oleh penghambatan terhadap sintesis dinding sel, penghambatan terhadap fungsi membran sel, penghambatan terhadap sintesis protein, atau penghambatan terhadap sintesis asam nukleat. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Dewi dkk (2014) yang menunjukan bahwa, flavonoid dari ekstrak etanol biji terong belanda (Solanum betaceum) memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai IC50 1.162,60 ppm dalam menghambat reaksi peroksidasi lemak pada plasma darah tikus wistar. Selanjutnya hasil penelitian dari Sukadana (2010) menunjukkan bahwa, flavonoid dari akar awar-awar (Ficus septica) mempunyai aktivitas sebagai antibakteri terhadap Vibrio cholera dengan diameter zona hambat pada kosentrasi 100 ppm sebesar 6,0 mm dan Eschericia coli dengan diameter zona hambat pada kosentrasi 100 ppm sebesar 8,0 mm. Selain itu, flavonoid mampu mencegah proses oksidasi dari Low

dan Hossain (2014), flavonoid dapat melindungi membran lipid dari oksidasi. Flavonoid juga berperan secara langsung sebagai antibiotik dengan mengganggu fungsi dari mikroorganisme seperti bakteri atau virus. Menurut Jawetz et al (2001) dalam Darminto dkk (2009), pertumbuhan bakteri yang terhambat atau kematian bakteri akibat suatu zat antibakteri dapat disebabkan oleh penghambatan terhadap sintesis dinding sel, penghambatan terhadap fungsi membran sel, penghambatan terhadap sintesis protein, atau penghambatan terhadap sintesis asam nukleat. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Dewi dkk (2014) yang menunjukan bahwa, flavonoid dari ekstrak etanol biji terong belanda (Solanum betaceum) memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai IC50 1.162,60 ppm dalam menghambat reaksi peroksidasi lemak pada plasma darah tikus wistar. Selanjutnya hasil penelitian dari Sukadana (2010) menunjukkan bahwa, flavonoid dari akar awar-awar (Ficus septica) mempunyai aktivitas sebagai antibakteri terhadap Vibrio cholera dengan diameter zona hambat pada kosentrasi 100 ppm sebesar 6,0 mm dan Eschericia coli dengan diameter zona hambat pada kosentrasi 100 ppm sebesar 8,0 mm. Selain itu, flavonoid mampu mencegah proses oksidasi dari Low Density Lipoproteins (LDL) dengan cara menangkap radikal bebas dan menghelat ion logam transisi (Waji dan Sugrani, 2009).

mangrove yaitu alkaloid, tannin, flavonoid, steroid, fenolat dan terpenoid. Senyawa-senyawa bahan alam ini digolongkan berdasarkan empat kriteria yang berbeda yaitu; struktur kimia, keaktifan fisiologis, taksonomi dan biogenesis (Harborne, 1987 dalam Ummah, 2010). Jika ditinjau secara umum, tanaman mangrove merupakan tumbuhan yang kaya akan senyawa bioaktif. Menurut Bandaranayake (2002) dalam Herawati (2011), metabolit sekunder yang ditemukan pada tumbuhan mengrove meliputi senyawa golongan alkaloid, tannin, fenolat, steroid, flavonoid, dan terpenoid. Hasil penelitian Darminto dkk (2009), tentang identifikasi metabolit sekunder pada jenis mangrove avicennia sp menunjukkan adanya kandungan golongan senyawa metabolit sekunder alkaloid, terpenoid, steroid dan flavonoid pada tumbuhan mangrove.

Senyawa metabolit adalah senyawa yang digolongkan berdasarkan biogenesisnya, artinya berdasarkan jalur biosintesisnya. Terdapat 2 jenis senyawa metabolit yaitu metabolit primer dan sekunder. Metabolit primer (polisakarida, protein, lemak dan asam nukleat) merupakan penyusun utama makhluk hidup, sedangkan metabolit sekunder meski tidak sangat penting bagi eksistensi suatu makhluk hidup tetapi sering berperan menghadapi spesies-spesies lain, misalnya zat kimia untuk pertahanan, penarik seks atau feromon. Contoh dari senyawa metabolit sekunder adalah alkaloid, saponin, triterpen dan tanin (Rustaman, 2000).

Senyawa tanin merupakan zat organik yang sangat kompleks dan terdiri dari senyawa fenolik. Istilah tanin pertama sekali diaplikasikan pada tahun 1796 oleh Seguil. Tanin terdiri dari sekelompok zat-zat kompleks terdapat secara meluas dalam dunia tumbuh-tumbuhan berpembuluh, antara lain terdapat pada bagian kulit kayu, batang, daun dan buah-buahan.

Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk polimer yang tidak larut dalam air. Tanin merupakan senyawa metabolit sekunder yang berasal dari tumbuhan yang terpisah dari protein dan enzim sitoplasma. Senyawa tanin tidak larut dalam pelarut non polar, seperti eter, kloroform dan benzena tetapi mudah larut dalam air, dioksan, aseton dan alkohol serta sedikit atau bahkan tidak larut dalam etil asetat (Harborne, 1987 dalam Ummah, 2010).

Gambar 1. Struktur Tanin

Sumber: Harborne (1987)

Secara struktural tanin adalah suatu senyawa fenol yang memiliki berat molekul besar yang terdiri dari gugus hidroksi dan beberapa gugus yang bersangkutan seperti karboksil untuk membentuk kompleks kuat yang efektif dengan protein dan beberapa makromolekul (Horvartrf, 1981). Sebagai salah satu tipe dari senyawa metabolit sekunder, tanin mempunyai karakteristik sebagai berikut (Giner-Chavez, 2001):

- Senyawa oligomer dengan satuan struktur yang bermacam-macam dengan gugus fenol bebas - Berat molekul 500-20.000 - Larut dalam air, dengan pengecualian beberapa struktur yang mempunyai

berat molekul besar - Mampu berikatan dengan protein dan terbentuk kompleks tanin-protein yang larut dan tidak larut.

Senyawa tanin pada tumbuhan dibagi menjadi dua golongan yaitu tanin terkondensasi (tanin katekin) dan tanin terhidrolisiskan (tanin galat). Tanin Senyawa tanin pada tumbuhan dibagi menjadi dua golongan yaitu tanin terkondensasi (tanin katekin) dan tanin terhidrolisiskan (tanin galat). Tanin

3.3 Senyawa Flavonoid

Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan di alam. Menurut Waji dan Sugrani (2009) senyawa-senyawa fenol ini merupakan zat warna merah, ungu dan biru, dan sebagian zat warna kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan. Flavonoid mempunyai kerangka besar karbon yang

terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua cincin benzene (C 6 ) terikat pada suatu rantai propena (C 3 ) sehingga membentuk suatu susunan C 6 -C 3 -C 6. (Markham, 1988 dalam Hanifa dkk, 2015).

Cincin Benzene

Cincin Benzene

Rantai Propena

Gambar 2. Struktur Dasar Flavonoid Sumber : Hanifa (2015)

daun, sedangkan isoflavon seringkali ditemukan pada kacang-kacangan (legume) terutama kacang kedelai. Isoflavon berbeda dengan flavon hanya pada penempatan cincin benzene. Isoflavon umumnya dikenal karena aktivitas estrogeniknya. Seperti halnya flavanon, flavonol umumnya juga mengandung gula. Flavonoid yang paling mudah ditemukan (ubiquitious) dalam makanan adalah kuersetin yang termasuk dalam kelas flavonol. Flavan adalah flavonoid yang mempunyai struktur kimia paling kompleks. Beberapa flavonoid yang termasuk dalam kelas flavan adalah catechin, procyanidin, theaflavin dan flavonoid polimerik lainnya seperti thearubigin (Gafur dkk, 2014).

Gambar 3 Struktur Sub Kelas Flavonoid Sumber : Gafur dkk (2014)

Flavonoid termasuk senyawa fenol alam yang terdapat di hampir semua tumbuhan. Menurut Rahmat (2009), flavonoid terdapat pada seluruh bagian tanaman, termasuk buah, tepung sari, dan akar. Namun, menurut Waji dan Sugrani (2009) senyawa-senyawa flavonoid terdapat pada semua bagian tumbuhan tinggi, seperti bunga, daun, ranting, buah, kayu, kulit kayu dan akar. Akan tetapi, senyawa tertentu seringkali terkonsentrasi dalam suatu jaringan tertentu, misalnya antoisianidin adalah zat warna dari bunga, buah dan daun. Pada umumnya flavonoid di alam ditemukan dalam bentuk glikosida, dimana unit flavonoid terikat pada suatu gula (Herawati, 2011). Flavonoid merupakan senyawa polar karena memiliki sejumlah gugus hidroksil yang tidak tersubstitusi. Pelarut polar seperti etanol, metanol, etilasetat, atau campuran dari pelarut tersebut dapat digunakan untuk mengekstrak flavonoid dari jaringan tumbuhan (Rijke, 2005 dalam Hanifa dkk, 2015).

kelarutannya terhadap dua cairan tidak saling larut yang berbeda. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam senyawa non polar. Secara umum ekstraksi dilakukan secara berturut-turut mulai dengan pelarut non polar lalu pelarut yang kepolarannya menengah kemudian pelarut yang bersifat polar (Harborne, 1987). Ekstraksi digolongkan ke dalam dua bagian besar berdasarkan bentuk fase yang diekstraksi yaitu ekstraksi cair-cair dan ekstraksi cair padat, ekstraksi cair padat terdiri dari beberapa cara yaitu maserasi, perkolasi dan ekstraksi sinambung (Sa’adah, 2010).

Tanin merupakan senyawa polar dengan gugus hidroksi, sehingga untuk mengekstraksinya diperlukan senyawa-senyawa polar seperti metanol, etanol, air dan aseton. Senyawa non polar yang tidak dapat melarutkannya adalah karbon tetraklorida dan dietil eter sehingga dapat digunakan untuk melarutkan pengotor dan diperoleh tanin yang lebih murni. Pengekstraksi tanin yang baik adalah campuran air dengan pelarut organik misalnya metanol , etanol dan aseton berair yang mengandung asam askorbat 0,1%. Penambahan asam askorbat dalam pelarut adalah untuk meminimumkan oksidasi tanin selama ekstraksi. Hal ini disebabkan Tanin merupakan senyawa polar dengan gugus hidroksi, sehingga untuk mengekstraksinya diperlukan senyawa-senyawa polar seperti metanol, etanol, air dan aseton. Senyawa non polar yang tidak dapat melarutkannya adalah karbon tetraklorida dan dietil eter sehingga dapat digunakan untuk melarutkan pengotor dan diperoleh tanin yang lebih murni. Pengekstraksi tanin yang baik adalah campuran air dengan pelarut organik misalnya metanol , etanol dan aseton berair yang mengandung asam askorbat 0,1%. Penambahan asam askorbat dalam pelarut adalah untuk meminimumkan oksidasi tanin selama ekstraksi. Hal ini disebabkan

Dalam metode ekstraksi bahan alam, dikenal suatu metode maserasi. Maserasi merupakan metode ekstraksi yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam sampel dalam pelarut organik. Pelarut organik akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif sehingga zat aktif akan larut. Adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Keuntungan metode ekstraksi ini, adalah metode dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan (Cheong, et al, 2005).

Maserasi merupakan metode ekstraksi dingin yaitu proses pengekstrakan simplisia dilakukan dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada

dinding sel dan masuk kedalam rongga sel yang mengandung zat aktif sehingga zat aktif akan larut, karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan dengan zat aktif di dalam sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Pelarut yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol, atau pelarut lain. Keuntungan cara ekstraksi ini, adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Kerugian penggunaan metode ini adalah waktu pengerjaannya lama (Ahmad, 2006).

Maserasi merupakan salah satu metode ektraksi bahan alam yang menggunakan lemak panas, akan tetapi lemak-lemak panas itu telah diganti dengan pelarut-pelarut organik yang mudah menguap. Penekanan utama pada maserasi adalah tersedianya waktu kontak yang cukup antara pelarut dan jaringan yang diekstraksi (Guether, 1987).

Pemilihan pelarut untuk ekstraksi harus mempertimbangkan banyak faktor. Pelarut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: murah dan mudah diperoleh, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, selektif dan tidak mempengaruhi zat berkhasiat (Ahmad, 2006).

larut dalam lemak dan minyak. Titik didih metanol berada pada 64,7 o

C dengan panas pembentukan (cairan) -239,03 kJ/mol pada suhu25 o

C. Metanol mempunyai panas fusi 103 J/g dan panas pembakaran pada 25 o C sebesar 22,662 J/g. Tegangan

permukaan metanol adalah 22,1 dyne/cm sedangkan panas jenis uapnya pada 25 o C sebesar 1,370 J/(gK) dan panas jenis cairannya pada suhu yang sama adalah

2,533J/(gK) (Marduansyah, 2013). Menurut sejarahnya, metanol disebut alkohol kayu (Fessenden dan Fessenden, 1997). Hasil penelitian Akroum et al. (2009) tentang aktifitas antimikrobia beberapa ekstrak tanaman, menunjukkan bahwa pelarut metanol merupakan pengekstrak yang baik untuk mengekstrak senyawa antimikroba pada tumbuhan teh (Widiati,2011).

Metanol merupakan bentuk alkohol paling sederhana. Pada keadaan atmosfer metanol berbentuk cairan yang ringan, mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar, dan beracun dengan bau yang khas (berbau lebih ringan daripada etanol). metanol digunakan sebagai bahan pendingin anti beku, pelarut, bahan bakar dan sebagai bahan aditif bagi etanol industri.

Aseton memiliki gugus karbonil yang mempunyai ikatan rangkap dua karbon- oksigen terdiri atas satu ikatan σ dan satu ikatan π.

3. Air Air merupakan pelarut yang baik untuk senyawa ion seperti garam, karena daya tarik antara komponen ion dari molekul dan dipolar air cukup untuk mengatasi tarikan antara ion-ion itu sendiri. Senyawa polar non-ion, seperti gula dan alkohol sederhana juga sangat larut dalam air. Gugusan fungsional polar seperti gugus hidroksil, dari senyawa non-ionik dengan mudah mengikat hidrogen dengan molekul air. Sifat fisik air berbeda sekali dari pelarut lain.

Etanol merupakan pelarut yang serbaguna, dapat menyatu dengan air dengan sebagian besar bahan organik yang bersifat cair termasuk zat cair, termasuk zat cair nonpolar seperti hidrokarbon alifatik. Etanol juga digunakan sebagai pelarut dalam melarutkan bahan obat-obatan. Etanol (etil alkohol) mempunyai rumus kimia

0 C2H5OH, mudah terbakar, memiliki titik cair -114,3 0 C dan titik didih 78,4 C (Anonim, 2000 dalam Widiati, 2011).

dengan Et mewakili gugus etil dan OAc mewakili asetat. Etil asetat diproduksi dalam skala besar sebagai pelarut. Etil asetat adalah pelarut polar menengah yang volatile (mudah menguap), tidak beracun, dan tidak higroskopis. Etil asetat merupakan penerima ikatan hidrogen yang lemah, dan bukan suatu donor ikatan hidrogen karena tidak adanya proton yang bersifat asam (yaitu hidrogen yang terikat pada atom elektronegatif seperti flor, oksigen, dan nitrogen. Etil asetat dapat melarutkan air hingga 3%, dan larut dalam air hingga kelarutan 8% pada suhu kamar. Kelarutannya meningkat pada suhu yang lebih tinggi. Namun demikian, senyawa ini tidak stabil dalam air yang mengandung basa atau asam.

4.1.1 Identifikasi Senyawa Tanin

A. Identifikasi dengan Uji Fitokimia

Uji tanin yang paling dikenal adalah pengendapan gelatinnya. Larutan tanin ditambahkan kedalam larutan gelatin 0,5% yang volumenya sama. Semua tanin menimbulkan endapan sedikit atau banyak. Soebagio (2007) menguji tanin dari ekstrak umbi bawang merah dengan melarutkan sedikit aquades kemudian

(Widowati, 2006).

B. Identifikasi dengan Kromatografi

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dapat digunakan untuk uji identifikasi senyawa baku. Parameter pada KLT yang digunakan untuk identifikasi adalah nilai Rf. Dua senyawa dikatakan identik jika mempunyai nilai Rf yang sama jika diukur pada kondisi yang sama (Rohman, 2007). Olivia, (2005) mengidentifikasi senyawa tanin dari kulit batang daun salam dilakukan dengan kromatografi kertas Whatman No.1 pengembang yang digunakan adalah n-butanol-asam asetat-air (4:1:5). Pola kromatogram menunjukkan 2 bercak berwarna merah muda dan jingga pada Rf 0,39 dan 0,53. Isolasi larutan merah tua dilakukan pada kromatografi kertas Whatman No.3 dan pengembang n-butanol-asam asetat-air (4:1:5). Isolat zat warna coklat dari kulit batang salam mengandung prodelfinidin (tanin terkondensasi) dan antosianidin. Yuliani (2003) dalam penelitiannya mengidentifikasi dan menganalisa ekstrak tanin dari daun jambu biji secara visual dan kromatografi lapis tipis.

pendeteksi menggunakan ferri Sulfat, dari hasil pengamatan terhadap hasil KLT dari ekstrak jambu biji diketahui bahwa ketiga tipe daun jambu biji mempunyai jumlah bercak yang berbeda.

4.1.2 Penentuan Kadar Tanin

A. Penentuan Kadar Tanin dengan Metode Lowenthal-Procter

Prinsip penentuan kadar tanin dengan metode Lowenthal-Procter berdasarkan jumlah gugus fenol pada tanin. Tanin termasuk golongan senyawa yang memiliki gugus fenol, sehingga jumlah gugus fenol ini diasumsikan mewakili jumlah tanin secara keseluruhan. Titrasi dengan larutan kalium permanganat, gugus fenol pada tanin akan teroksidasi. Jumlah gugus fenol berbanding lurus dengan jumlah kalium permanganat yang diperlukan untuk titrasi. Sebagai indikator redoks digunakan larutan indigokarmin dan warna yang dihasilkan adalah kuning emas. Penentuan kadar tanin dengan menggunakan persamaan berikut (Sudarmadji, 1997 dalam Ummah, 2010).

senyawa tanin dan B merupakan senyawa non tanin)

S : Berat sampel

B. Penentuan Kadar Tanin dengan Metode Stiansy test

Metode kuantitatif untuk tanin salah satunya adalah Stiansy test. Reaksi yang terjadi didasarkan pada kereaktifan struktur flavonoid dari tanin terkondensasi terhadap formaldehid. Hasil reaksi ini akan membentuk endapan sehingga secara kuantitatif dapat diketahui adanya tanin terkondensasi (Giner, 1997). Linggawati (2002) dalam penelitianya menentukan kadar tanin dengan metode stiansy test yaitu sebanyak 0,5 gram contoh tanin dilarutkan dalam 175 ml aquades, ditambahkan 28,5 ml HCl 0,28 N dan 1 ml formaldehid 37%. Larutan diaduk selama 5 menit dan disimpan selama 5 jam. Endapan yang terbentuk dibilas dengan aquades, endapan dikeringkan dalam oven dan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Kadar tanin terkondensasi dihitung berdasarkan gravimetri.

maserasi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada

Istiqomah, 2013). Menurut Yuliatiningrum (2008) dalam Wibisono (2012), simplisia adalah bahan baku alamiah yang digunakan untuk membuat ramuan obat yang belum mengalami pengolahan atau dapat juga telah melalui proses pengeringan. Simplisia dapat berupa tumbuhan, hewani dan simplisia mineral. Penggunaan pelarut sangat berpengaruh untuk mendapatkan senyawa yang diinginkan. Pernyataan ini didukung oleh Sucianti dkk. (2012), penggunaan pelarut dalam metode ekstraksi maserasi didasarkan pada tingkat kepolaran masing-masing pelarut, yakni polar, semi polar dan pelarut non polar. Dari pernyataan diatas maka pemilihan pelarut sangat penting untuk menarik lebih banyak jumlah metabolit sekunder. Suryanto dan Wehantouw (2009), menunjukkan bahwa pelarut metanol mampu menarik lebih banyak jumlah metabolit sekunder yaitu senyawa fenolik, flavonoid, dan tanin dalam daun Artocarpus altilis bila dibandingkan dengan pelarut etanol.

4.2.1 Identifikasi Senyawa Flavonoid

A. Metode Fitokimia

Tujuan utama dari metode fitokimia adalah menganalisis tumbuhan untuk mengetahui kandungan bioaktif yang berguna untuk bahan obat-obatan. Pendekatan dengan metode fitokimia meliputi analisa kualitatif kandungan dalam tumbuhan atau bagian dalam tumbuhan (akar, batang, daun, bunga, buah dan biji) Tujuan utama dari metode fitokimia adalah menganalisis tumbuhan untuk mengetahui kandungan bioaktif yang berguna untuk bahan obat-obatan. Pendekatan dengan metode fitokimia meliputi analisa kualitatif kandungan dalam tumbuhan atau bagian dalam tumbuhan (akar, batang, daun, bunga, buah dan biji)

B. Metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Teknik kromatografi yang paling umum untuk analisis pendahuluan ekstrak tumbuhan untuk menguji adanya flavonoid adalah kromatografi kertas. Namun analisis dengan KLT memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan kromatografi kertas, diantaranya kesebangunan dari plat KLT, kecepatan saat proses migrasi, serta sensitivitasnya sehingga dengan sampel yang sedikit sudah mampu memberikan hasil yang baik (K.R. Markham, 1988 dalam Pambudi dkk, 2014).

Hasil yang diperoleh dari analisis menggunakan KK atau KLT adalah warna bercak dan nilai Rf untuk menduga jenis senyawa yang terkandung dalam suatu sampel bahan. Nilai Rf didefinisikan sebagai kecepatan suatu senyawa saat bermigrasi dalam proses kromatografi. Nilainya dapat ditentukan dengan membagi jarak yang ditempuh suatu senyawa (jarak titik awal ke suatu bercak) dengan jarak yang ditempuh oleh garis depan pengembang (jarak titik awal ke garis akhir) (Zulharini dkk, 2013). Nilai Rf suatu senyawa spesifik, sehingga dengan mengetahui nilai Rf dapat diketahui jenis senyawa yang terkandung dalam suatu sampel. Selain warna bercak dan nilai Rf, sebagai konfirmasi dapat dilakukan pula pengukuran

maksimum menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Tiap senyawa memiliki serapan maksimum yang khas pada panjang gelombang tertentu (Windriyati dkk, 2011).

panjang

gelombang

serapan

jumlah flavonoid golongan flavon dan flavonol. Prinsip penetapan flavonoid dengan metode kolorimetri AlCl 3 adalah terbentuknya kompleks antara AlCl 3 dengan gugus keto pada atom C-4 dan juga dengan gugus hidroksi pada atom C-3 atau C-4 yang bertetangga dari flavon dan flavonol. Pada pembuatan kurva kalibrasi digunakan kuersetin sebagai pembanding dimana kuersetin merupakan flavonoid golongan flavonol yang mempunyai gugus keto pada C-4 dan memiliki gugus hidroksi pada atom C-3 atau C-5 yang bertetangga dari flavon dan flavonol (Chang et al, 2002). Metode kolorimetri alumuninum klorida menggunakan alat spektrofotometer UV-Vis untuk menghitung absorbansi. Menurut Huda (2001), spektrofometer UV-Vis adalah alat yang umum digunakan di laboratorium kimia. Alat ini biasa digunakan untuk analisa kimia semi kualitatif. Prinsip kerja spektrofotometer UV-Vis didasarkan pada fenomena penyerapan sinar oleh spesi kimia tertentu di daerah lembayung (ultra violet) dan sinar tampak (visible). Spektrofotometer UV-tampak atau UV-visibe (UV = 200 –400 nm, sedangkan visible = 400 –800 nm) berhubungan dengan eksitasi elektronik antara beberapa tingkat energi dari orbital molekul dari sistem senyawa yang dianalisis (Bismo, 2006).

B. Metode 2,4 dinitrofenilhidrazin

Pada penentuan jumlah flavonoid dengan metode kolorimetri 2,4- dinitrofenilhidrazin, prinsipnya adalah reaksi antara 2,4-dinitrofenilhidrazin, suatu senyawa yang mengandung gugus NH 2 dengan gugus aldehid dan gugus keton

Pada saat pembuatan kurva kalibrasi naringenin, panjang gelombang maksimum yang dihasilkan adalah 494 nm (Hidayat, 2005 dalam Desmiaty dkk, 2009).

Alat yang digunakan untuk proses ekstraksi, identifikasi tanin dan penentuan kadar tanin dalam penelitian ini adalah kertas saring, seperangkat alat gelas, corong pisah, rotary evaporator dan buret.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun, buah dan kulit batang mangrove Sonneratia alba yang berdiameter 15cm. Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitiaan ini adalah metanol p.a, kloroform p.a, etil

asetat p.a, FeCl 3 , larutan gelatin, larutan indigokarmin, Km n O 4 , NaCl.

Prosedur Kerja

Sampel yang digunakan yaitu daun muda, buah tanpa biji dan kulit batang mangrove S.alba. Sampel dicuci sampai bersih menggunakan air mengalir kemudian diangin-anginkan dan dikeringkan dengan pengering mekanik kemudian dihaluskan lalu diekstraksi. Pelarut pengekstraksi tanin yang digunakan adalah pelarut polar yaitu metanol. Hasil ekstrak diuji menggunakan metode fitokimia kemudian dilanjutkan dengan metode Lowenthal-Protecter. Tahapan meliputi preparasi sampel, ekstraksi tanin dengan metode maserasi, identifikasi dengan Sampel yang digunakan yaitu daun muda, buah tanpa biji dan kulit batang mangrove S.alba. Sampel dicuci sampai bersih menggunakan air mengalir kemudian diangin-anginkan dan dikeringkan dengan pengering mekanik kemudian dihaluskan lalu diekstraksi. Pelarut pengekstraksi tanin yang digunakan adalah pelarut polar yaitu metanol. Hasil ekstrak diuji menggunakan metode fitokimia kemudian dilanjutkan dengan metode Lowenthal-Protecter. Tahapan meliputi preparasi sampel, ekstraksi tanin dengan metode maserasi, identifikasi dengan

a. Buah: dicuci dengan air mengalir kemudian dipotong kecil-kecil dan biji

buah dipisahkan. Kemudian sampel dikeringkan dengan pengering mekanik pada suhu 60ºC selama 6 jam, selanjutnya diangin-anginkan dan dihaluskan menggunakan blender sampai menjadi serbuk halus.

b. Daun: dicuci bersih dengan air mengalir kemudian dikeringkan menggunakan pengering mekanik selama 6 jam pada suhu 60ºC. Sampel yang telah kering diangin-anginkan dan kemudian dihaluskan dengan blender sehingga diperoleh serbuk halus.

c. Kulit batang: dicuci bersih dengan air mengalir kemudian dipotong kecil- kecil dan selanjutnya diangin-anginkan. Kemudian sampel dikeringkan menggunakan pengering mekanik selama 7 jam pada suhu 60ºC. Sampel yang telah kering kemudian dihaluskan dengan blender sehingga diperoleh serbuk dan diayak menggunakan ayakan 100 mesh.

kembali dengan 50 ml kloroform menggunakan corong pisah sehingga terbentuk dua lapisan dan dilakukan pengulangan 3 kali. Lapisan bawah (kloroform) dipisahkan dan lapisan air diekstraksi dengan etil asetat sebanyak 50 ml sehingga terbentuk dua lapisan. Lapisan etil asetat (atas) dipisahkan dan lapisan air (bawah) dipekatkan kembali dengan menggunakan rotary evaporator, sehingga diperoleh ekstrak tanin (Nuraini, 2002).

Identifikasi Tanin Dengan Metode Fitokimia

Uji tanin pada penelitian ini menggunakan FeCl 3 dimana ekstrak direaksikan dengan FeCl 3 . Jika larutan mengandung senyawa tanin akan menghasilkan warna hijau kehitaman atau biru tua (Widowati, 2006).

Penentuan Kadar Tanin Dengan Metode Lowenthal-procter

Prinsip penentuan kadar tanin dengan metode Lowenthal-Procteradalah berdasarkan jumlah gugus fenol pada senyawa tanin. Titrasi dengan larutan kalium permanganat, gugus fenol pada tanin akan teroksidasi. Jumlah gugus fenol berbanding lurus dengan jumlah kalium permanganat yang diperlukan untuk titrasi.Tanin termasuk golongan senyawa yang memiliki gugus fenol, sehingga

Ekstraksi (metode maserasi)

Pelarut metanol

Identifikasi senyawa tanin (metode fitokimia) Uji kadar tanin

(Lowenthal-Procter)

Analisis Data (Deskriptif kualitatif dan kuantitatif)

Gambar 6 Prosedur Kerja

Prosedur Analisa Identifikasi Tanin (Metode Fitokimia)

Ekstrak mangrove dari masing-masing sampel diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Ekstrak direaksikan dengan 1 ml larutan FeCl 3 , jika larutan mengandung senyawa tanin akan menghasilkan warna hijau kehitaman atau biru tua (Widowati, 2006).

turut 5 ml larutan gelatin, 10 ml larutan NaCl jenuh, 1 gram serbuk kaolin kemudian dikocok selama beberapa menit dan dicampur dengan larutan

indigokarmin sebanyak 2 ml dan selanjutnya titrasi dengan Km n O 4 0,1 N (B ml) (Sudarmadji, 2007).

Kadar Tanin

Keterangan:

Perhitungan : 1 ml Km n O 4 0,1 N = 0,00416 g tanin

(A dan B) : Banyaknya Km n O 4 yang diperlukan untuk titrasi (A merupakan

senyawa tanin dan B merupakan senyawa non tanin)

S : Berat sampel sebuah kesimpulan yang bersifat umum.

2001 dalam Risnasari, 2012). Sampel dicuci dengan air mengalir dan selanjutnya dikeringkan menggunakan pengering mekanik. Sampel buah dan daun dikeringkan selama 6 jam sedangkan kulit batang dikeringkan selama 7 jam menggunakan alat pengering mekanik. Proses pengeringan pada kulit kayu cukup lama disebabkan oleh perbedaan ketebalan sampel. Sampel kulit kayu mangrove S.albalebih tebal bila dibandingkan dengan buah dan daun. Menurut Norman (2010), cara pengeringan yang salah dapat mengakibatkan terjadinya Face hardening yakni bagian luar bahan sudah kering sedangkan bagian dalamnya masih basah. Hal ini dapat disebabkan oleh bahan yang akan dikeringkan terlalu tebal atau suhu yang terlalu tinggi sehingga menyebabkan penguapan air pada permukaan bahan jauh lebih cepat daripada air dari dalam. Proses pengeringan ini dilakukan agar mempermudah proses penghalusan. Selain itu, proses pengeringan juga bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam sampel agar mudah dalam proses ekstraksi dan juga mencegah terjadinya perubahan kimia (daun dan buah cepat busuk sehingga

Daun mangrove setelah dikeringkan menjadi warna coklat dan memiliki tekstur kering. Kulit batang mangrove S.albasetelah dikeringkan tetap memiliki warna yang sama seperti yang sebelum dikeringkan dan memiliki tekstur yang kering dan keras.

Sampel yang telah kering dihaluskan menggunakan blender sehingga menghasilkan serbuk. Penghalusan sampel bertujuan untuk memperluas permukaan serta membantu pemecahan dinding dan membran sel, sehingga mempermudah dalam proses ekstraksi (Sa’adah, 2010). Sampel yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 6 berikut.

Pengambilan Sampel

Pemotongan Sampel Pengeringan Sampel

Penghalusan Sampel Serbuk buah, daun dan kulit batang Mangrove

pemisahan satu atau lebih komponen yang terdapat dalam suatu bahan menggunakan pelarut yang sesuai. Tanin dapat diperoleh dari proses ekstraksi dengan cara maserasi. Maserasi merupakan proses perendaman bahan dalam suatu pelarut, tujuannya untuk mengekstrak senyawa-senyawa aktif yang ada dalam sampel. Proses ekstraksi ini tidak dilakukan dengan metode Soxhletasi karena dikhawatirkan ada golongan senyawa tanin yang tidak tahan panas, selain itu senyawa tanin mudah teroksidasi pada suhu yang tinggi yaitu 98,89-101,67 .

Sampel yang digunakan adalah buah, daun dan kulit batang mangrove S.alba yang telah dihaluskan menggunakan blender dan diayak menggunakan ayakan 100mesh.

Masing-masing serbuk buah, daun dan kulit batang mangrove S.alba sebanyak 250 gram dimaserasi dengan 1,5 L metanol selama 24 jam. Pelarut metanol digunakan dalam maserasi karena bersifat universal yang dapat mengikat semua komponen kimia yang terdapat dalam tumbuhan alam baik yang bersifat polar dan non polar. Selama perendaman sampel, akan terjadi proses pemecahan membran sel, sehingga senyawa-senyawa metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan senyawa akan terekstraksi

evaporasi adalah untuk menguapkan pelarut yaitu metanol sehingga yang tersisa hanya senyawa aktif atau ekstrak kental.Hukmah, (2007) dalam penelitiannya menyebutkan jika sampel tidak dipekatkan terlebih dahulu tidak akan terbentuk dua lapisan setelah difraksinasi dengan kloroform, karena jumlah pelarut masih terlalu banyak sehingga terbentuknya dua fase tidak terlihat. Ekstrak yang diperoleh dari masing-masing bagian tumbuhan mangrove S.alba memiliki warna yang sama. Hasil dari ekstrak buah, daun dan kulit batang mangrove S.alba dapat dilihat pada Gambar 7 berikut.

Ekstraksi Maserasi

Proses evaporasi

Fraksinasi kloroform buah, daun dan kulit batang mangrove

Hasil ekstrak tanin

Tabel 1. Warna dari ekstrak buah, daun dan kulit batang mangrove S.alba

Tumbuhan Mangrove

Warna

Buah

Coklat kehitaman

Daun

Coklat kehitaman

Coklat kehitaman Dalam ekstrak metanol masih terdapat berbagai kelompok senyawa

Kulit batang

metabolitr sekunder sehingga perlu dilakukan pemisahan senyawa melalui proses fraksinasi. Maka pada penelitian ini, fraksinasi dengan menggunakan corong pisah. Penambahan kloroform menyebabkan terbentuknya dua fase yaitu fase air dan fase kloroform karena keduanya memiliki berat jenis dan tingkat kepolaran yang berbeda. Ekstrak dimasukkan kedalam corong pisah kemudian ditambahkan metanol sebanyak 50 ml, air 100 ml dan kloroform 50 ml. Tujuan penambahan metanol dan air yaitu untuk mengencerkan ekstrak yang kental. Penambahan kloroform sebanyak 50 ml diulang 3 kali untuk memaksimalkan proses metabolitr sekunder sehingga perlu dilakukan pemisahan senyawa melalui proses fraksinasi. Maka pada penelitian ini, fraksinasi dengan menggunakan corong pisah. Penambahan kloroform menyebabkan terbentuknya dua fase yaitu fase air dan fase kloroform karena keduanya memiliki berat jenis dan tingkat kepolaran yang berbeda. Ekstrak dimasukkan kedalam corong pisah kemudian ditambahkan metanol sebanyak 50 ml, air 100 ml dan kloroform 50 ml. Tujuan penambahan metanol dan air yaitu untuk mengencerkan ekstrak yang kental. Penambahan kloroform sebanyak 50 ml diulang 3 kali untuk memaksimalkan proses

Fase air yang diperoleh dipekatkan dengan menggunakan vacum rotary evaporator pada suhu 30-45°C untuk memisahkan pelarutnya yaitu etil asetat yang terlarut dalam ekstrak dan air, sehingga diperoleh ekstrak tanin. Warna dari masing-masing ekstrak dapat dilihat pada lampiran 3.

Tabel 1 Warna ekstrak tanin dari buah, daun dan kulit batang Mangrove S.alba

Tumbuhan Mangrove Sonneratia

Kulit batang

Coklat

Warna ekstrak dari masing-masing sampel didominasi oleh warna coklat. Hal ini dimungkinkanadanya senyawa tanin. (Robinson dalam Ummah, Warna ekstrak dari masing-masing sampel didominasi oleh warna coklat. Hal ini dimungkinkanadanya senyawa tanin. (Robinson dalam Ummah,

Uji Fitokimia senyawa Tanin

Gambar 8. Uji Fitokimia menggunakan FeCl 3 Berdasarkan hasil uji fitokimia dengan FeCl 3 ekstrak buah, daun dan kulit batang menunjukkan hasil positif mengandung senyawa tanin, hal ini ditandai Gambar 8. Uji Fitokimia menggunakan FeCl 3 Berdasarkan hasil uji fitokimia dengan FeCl 3 ekstrak buah, daun dan kulit batang menunjukkan hasil positif mengandung senyawa tanin, hal ini ditandai

Gambar 9 Reaksi dugaan antara FeCl 3 dengan Tanin

Sumber: Ummah, (2010)

Berdasarkan hasil identifikasi tanin menggunakan FeCl 3 , tanin positif ditemukan pada buah, daun dan kulit batang mangrove S.alba yang diekstrak menggunakan pelarut metanol yang ditandai dengan warna hijau kehitaman. Terbentuknya warna hijau kehitaman pada ekstrak setelah ditambahkan dengan

Tabel 2 Hasil uji fitokimia tanin menggunakan FeCl 3

Tumbuhan

Hasil uji dengan

Kulit batang

Keterangan: Tanda + : Terkandung senyawa tanin

4.2 Uji Kuantitatif Senyawa Tanin dengan Metode Lowenthal-procter

Uji kuantitatif senyawa tanin dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui sampel yang memiliki senyawa tanin dengan kadar tertinggi. Metode yang digunakan untuk uji kuantitatif senyawa tanin adalah metode Lowenthal-procter. Metode ini menggunakan metode titrasi oksidasi yaitu dengan menggunakan senyawa pengoksidasi kalium permanganat. Penentuan kadar tanin dalam metode ini adalah berdasarkan jumlah gugus fenol pada senyawa tanin. Titrasi dengan larutan kalium permanganat, gugus fenol pada tanin akan teroksidasi. Jumlah gugus fenol berbanding lurus dengan jumlah kalium permanganat yang diperlukan untuk titrasi. Proses uji tersebut dapat dilihat pada Gambar 10 berikut.

Proses Titrasi Km n O 4

Hasil titrasi Km n O 4 pada buah

Hasil titrasi Km n O 4 pada daun

Hasil titrasi KM n O 4 pada Batang Gambar 10. Penentuan kadar Tanin menggunakan metode Lowenthal-procter

Ekstrak dari buah, daun dan kulit batang mangrove S.alba diambil sebanyak 0,5 gram dan dilarutkan dalam 100 ml aquades. Senyawa tanin bersifat polar, sehingga setiap ekstrak sangat mudah larut dalam air. Masing-masing ekstrak diambil 50 ml dan ditambahkan larutan indigokarmin kemudian dititrasi dengan kalium permanganat sampai warna kuning keemasan kemudiaan dicatatbanyaknya

Km n O 4 yang digunakan. Banyaknya Km n O 4 yang digunakan untuk menentukan senyawa tanin dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 3 Hasil titrasi senyawa tanin dengan Km n O 4 (A ml)

Tumbuhan

Volume Km n O 4 yang digunakan

Rata-rata Mangrov S.alba

Ulangan I

Ulangan II

1,4 Kulit batang

1,4

1,4

0,6

0,6

0,6

selain tanin misalkan flavonoid yang masih terdapat dalam sampel. Penambahan garam pada suasana asam adalah untuk mengendapkan tanin terkondensasi, sedangkan penambahan larutan gelatin adalah untuk mengendapkan senyawa tanin yang terdapat dalam ekstrak. Banyaknya Km n O 4 yang digunakan untuk menentukan senyawa non tanin dapat dilihat pada Tabel 5 dan hasil perhitungan kadar tanin menggunakan metode Lowenthal-procter dapat dilihat pada penjelasan berikut.

Perhitungan kadar tanin menggunakan metode Lowenthal-procter

A. Buah mangrove S.alba

Kadar tanin =

C. Kulit Batang Mangrove S.alba

Kadar tanin =

Tabel 5 Hasil perhitungan kadar tanin dengan metode Lowenthal-procter. Cara perhitungan dapat dilihat pada lampiran 1.

Tumbuhan Mangrove Kadar tanin (%) Sonneratia alba

Kulit batang

4,16

Berdasarkan hasil penelitian perhitungan kadar tanin dengan menggunakan metode Lowenthal-procter menunjukkan bahwa dari 50 ml larutan ekstrak buah mangrove S.alba memiliki kadar tanin 41,6%, daun 29,12% dan kulit batang 4,16%. Buah mangrove S.alba memiliki presentase tertinggi bila dibandingkan daun dan kulit batang. Hal ini sesuai dengan teori Lisdawati, dkk (2008), yang menyatakan bahwa buah tanaman pada umumnya memiliki kandungan metabolit sekunder yang lengkap dalam jumlah yang banyak bila dibandingkan dengan bagian tanaman lainnya.

Tanin yang terdapat pada ekstrak daun mangrove S.alba masih tergolong tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Makkar & Becker, (1998)

oleh ukuran diameter pohon yang dijadikan sampel penelitian karena semakin besar diameter pohon maka semakin lama proses pertumbuhan telah berlangsung, sehingga kulit yang telah dibentuk juga semakin banyak atau tebal dengan demikian tanin yang dibentuk juga semakin banyak. Menurut penelitian Hamidah (2007), diameter pohon berpengaruh sangat nyata terhadap kadar tanin. Semakin besar diameter pohon maka kadar tanin semakin meningkat, disebabkan meningkatnya diameter pohon diikuti oleh bertambahnya ketebalan kulit sehingga pada pohon yang berdiameter besar lebih banyak mengandung sel parenkim. Haygreen & Bowyer, (1989) dalam Hamidah, (2007), menyatakan bahwa diantara xylem(jaringan kayu) dan floem (jaringan kulit kayu), terdapat kambium yang membelah berulang-ulang membentuk jaringan xylem dan floem baru. Dengan demikian pada pohon berdiameter besar akan menghasilkan lebih banyak jaringan floem yang mengandung sel-sel parenkim, karena sel-sel parenkim merupakan salah satu komponen yang menyusun floem. Semakin banyak sel-sel parenkim berarti tanin yang ada juga semakin banyak.

Secara ekonomisjika ditinjau dari kadar tanin yang dihasilkan oleh buah dan daun mangrove S.albacukup besar. Maka buah dan daun mangrove S.albadapat dijadikan sebagai sumber tanin. Hal ini sesuai dengan pendapatSoenardi, (1985)dalam Hamidah, (2007) yang menyatakan bahwa kadar tanin hanya ekonomisapabila kadar tanin yang diperoleh lebih dari 5%. Kadar tanin yang didapat pada buah dan daun mangrove S.albaini jauh lebihtinggi dari nilai yang dipersyaratkan.

kolorimetri alumunium klorida adalah seperangkat alat gelas, vacum rotary evaporator (Eyela water bath 58-650), timbangan analitik PW 214, termometer, oven, stopwatch, toples, spektrofotometer UV-Vis T80.

Bahan yang digunakan pada penelitian penentuan total flavonoid pada buah, daun dan kulit batang mangrove S.alba menggunakan metode fitokimia dan kolorimetri alumunium klorida adalah buah, daun dan kulit batang mangrove (S.alba) berdiameter 15 cm. Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian

ini adalah metanol 75%, AlCl 3 10%, NaOH 10%, H 2 SO 4 0.25N, HCl pekat, kuersetin, serbuk magnesium. Bahan penunjang yang digunakan adalah kertas saring, alumunium foil, kapas dan tisu.

Prosedur Kerja

Sampel yang digunakan yaitu daun muda, buah tanpa biji dan kulit batang mangrove S. alba. Sampel dicuci sampai bersih menggunakan air mengalir kemudian diangin-anginkan dan dikeringkan menggunakan pengering mekanik

pada suhu 50-60 o

C, kemudian dihaluskan lalu diekstraksi. Pelarut pengekstraksi flavonoid yang digunakan adalah pelarut polar (metanol). Hasil ekstrak diuji keberadaan flavonoid menggunakan metode fitokimia kemudian dilanjutkan dengan penentuan total flavonoid metode kolorimetri alumunium klorida.

Pekerjaan dilakukan dalam empat tahap, yaitu preparasi sampel, ekstraksi flavonoid dengan metode maserasi, identifikasi flavonoid dengan metode fitokimia dan penentuan total flavonoid menggunakan metode kolorimetri alumunium klorida.

suhu dan waktu pengeringan yaitu :

d. Buah: dicuci dengan air mengalir kemudian dipotong kecil-kecil dan biji buah dipisahkan. Kemudian sampel dikeringkan dengan pengering mekanik pada suhu 50-60ºC selama 6 jam, selanjutnya diangin-anginkan dan dihaluskan menggunakan blender sampai menjadi serbuk halus.

e. Daun: dicuci bersih dengan air mengalir kemudian dikeringkan menggunakan pengering mekanik selama 6 jam pada suhu 50-60ºC. Sampel yang telah kering diangin-anginkan dan kemudian dihaluskan dengan blender sehingga diperoleh serbuk halus.

f. Kulit batang: dicuci bersih dengan air mengalir kemudian dipotong kecil- kecil dan selanjutnya diangin-anginkan. Kemudian sampel dikeringkan menggunakan pengering mekanik selama 7 jam pada suhu 50-60ºC. Sampel yang telah kering kemudian dihaluskan menggunakan blender

sehingga diperoleh serbuk dan diayak menggunakan ayakan 100 mesh.

B. Ekstraksi Metode Maserasi

Sebanyak 250 gram serbuk sampel buah, daun dan kulit batang mangrove S. alba direndam menggunakan 1,5 L pelarut metanol 75% didiamkan selama 24 jam dan dilakukan dua kali pengulangan kemudiaan disaring. Ekstrak yang diperoleh dipekatkan dengan menggunakan vacum rotary evaporator, sehingga diperoleh ekstrak kulit, daun, dan buah mangrove S. alba (Nuraini, 2002).

Sampel Kering Kulit Batang Mangrove

S.alba

- Dihaluskan Menggunakan Blender Serbuk Kulit Batang Mangrove S.alba

b. Preparasi Sampel Daun Daun Mangrove S.alba

- Dicuci Sampai Bersih - Dikeringkan Menggunakan Pengering Mekanik

Sampel Kering Daun

Mangrove S.alba

- Dihaluskan Menggunakan Blender

Serbuk Daun Mangrove S.alba

c. Preparasi Sampel Buah Buah Mangrove S.alba

- Dicuci Sampai Bersih - Dipotong Kecil-kecil

- Dikeringkan Menggunakan Pengering Mekanik

Sampel Kering Buah

Mangrove S.alba

- Dihaluskan Menggunakan Blender

Serbuk Buah Mangrove S.alba

Residu

Filtrat

Dipekatkan dengan

suhu 40-45 O C

Dibuang

Ekstrak Kental Daun Mangrove S.alba

Ekstrak Kental Buah Mangrove S.alba

Ekstrak Kental Kulit Batang Mangrove

S.alba

Gambar 11. Diagram Alir Ekstraksi Metode Maserasi

Sumber : Nuraini (2002)

Dokumen yang terkait

Analisis resiko organisme pengganggu tumbuhan ( pest Risk Analysis ) pada polong kacang tanah ( Arachis hypogaea L. ) di impor dari India

0 4 67

Visualisasi tiga dimensi proses fotosintesis tumbuhan menggunakan particle system (efek partikel) (studi kasus SDN Kebayoran lama Selatan 13 Pagi)

1 44 187

Biotransformasi berberin oleh jamur endofit dari tumbuhan akar kuning (arcangelisia flave (L.) merr: menispermaceae

3 14 64

Analisis pengaruh komponen keahlian internal auditor terhadap pendeteksian dan pencegahan kecurangan (fraud) di inspektorat jendral kementerian perdagangan republik indonesia

4 52 171

Pengaruh kandungan informasi komponen laporan arus kas, tingkat inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap return saham (capital gain) dan dividen tunai : studi pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di bursa efek indonesia

0 3 121

Identifikasi miskonsepsi siswa dengan menggunakan metode certainty of response index (cri) pada konsep fotosintesis dan respirasi tumbuhan

3 43 8

Pengaruh metode role playing terhadap hasil belajar biologi siswa pada konsep gerak pada tumbuhan : kuasi eksperimen di smp muhammadiyah 4 tangerang

2 22 73

Pengaruh rasio lancar dan marjin laba kotor terhadap pertumbuhan laba bersih perusahaan dan ban pada sektor otomotif dan komponen yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

1 5 1

Pembangunan aplikasi pengenalan rangka manusia dan bagian tumbuhan menggunakan teknologi augmented reality

4 24 148

pembangunan aplikasi pembelajaran pada komponen kendaraan mobil berbasis android (Studi Kasus di SMK Karnas Kuningan)

0 15 118