59433498 Kontribusi Media Massa Terhadap Pencitraan Tokoh Politik Edit

Peran Media dalam Kegiatan Komunikasi Politik: Pencitraan Seorang Tokoh
Politik Melalui Personal branding Menggunakan Media Foto

PENDAHULUAN
Media massa saat ini merupakan media massa yang memiliki kekuatan
strategis dalam mempengaruhi dan menggiring opini masyarakat terhadap sebuah
objek. Sebuah media massa mampu memberikan berbagai ruang publik, sebagai
ruang ekspresi yang dapat digunakan untuk dilakukannya sebuah strategi politik.
Perubahan tatanan politik di Indonesia telah membawa perubahan dalam proses
demokratisasi di Indonesia. Melalui pilkada. rakyat bisa memilih secara langsung
siapa yang akan memimpin daerahnya. Perubahan tersebut juga memunculkan
fenomena baru di kalangan politisi, terutama para calon kepala daerah yang akan
maju dalam pilkada, yakni membangun citra diri melalui media massa dengan cara
menjalin hubungan baik dengan media (media relations). Hal tersebut dilakukan
karena media massa dengan fungsi-fungsi yang dimilikinya dianggap memunyai
peran yang cukup strategis dan memunyai kekuatan untuk memengaruhi publik.
Popularitas calon kepala daerah akan terangkat jika terus menerus diekspos oleh
media massa. Oleh karena itu, saat ini banyak para pelaku politik yang berlombalomba dalam memanfaatkan media massa untuk membentuk sebuah citra positif di
mata masyarakat, untuk memenangkan sebuah kekuasaan politik.
Pencitraan karakter dari seorang tokoh politik merupakan sebuah strategi
pemasaran politik yang dilakukan dengan mengemas citra dari sosok seorang tokoh

politik, sebagai kegiatan politik pencitraan (politics of image). Pencitraan yang
dilakukan di media massa tersebut dilakukan untuk membentuk sebuah opini publik
yang positif di mata masyarakat oleh seorang tokoh politik. Melalui media massa,
sebuah narasi yang dibangun dan dipoles sedemikian rupa dengan bahasa, tidak
sekedar untuk melukiskan suatu fenomena atau lingkungan, tetapi juga dapat

1

mempengaruhi cara melihat lingkungan masyarakat. Di dalam dunia politik, kegiatan
pencitraan selalu berkaitan dengan pemanfaatan kekuatan media massa tersebut.
Pencitraan selalu menjadi mesin politik yang dianggap efektif dalam mempengaruhi
persepsi, emosi, perasaan, kesadaran, simpati, dan opini publik, sehingga masyarakat
dapat digiring ke sebuah pilihan dan keputusan politik yang mengarah kepada
seorang tokoh politik.
Sebuah pencitraan sebagai strategi politik, merupakan satu kekuatan utama
dalam mengendalikan dan membentuk wacana politik masyarakat. Sebuah citra yang
positif dari seorang tokoh politik yang mencalonkan diri, akan membuat masyarakat
memberikan dukungan kepada tokoh politik tersebut, dan pada akhirnya akan
memenangkan kekuasaan politik di pemerintahan. Untuk membangun sebuah citra
positif, dibutuhkan sebuah strategi yang mampu memunculkan sosok dan karakter

dari seorang tokoh politik yang didambakan oleh masyarakat. Salah satu teknik
pencitraan tersebut dapat dilakukan melalui personal branding yang memanfaatkan
media foto. Sebuah foto dapat memberikan pesan komunikasi politik yang efektif
dalam pembentukan citra seseorang. Sebuah foto dapat dihadirkannya kembali
kenyataan dalam bentuk visual berperan besar pada pembentukan opini publik.
Sebuah propaganda dan komunikasi politik bahkan terkadang lebih memilih
menggunakan media foto untuk disampaikan kepada target audiensnya. Hal tersebut
disebabkan karena dihadirkannya kembali sebuah realitas kedalam suatu bentuk
visual sangat berperan besar dalam pembentukan opini publik.

2

PEMBAHASAN
Saat Indonesia memasuki masa kampanye pemilihan umum, baik itu pilkada,
pemilihan anggota DPD, ataupun pemilihan presiden, banyak terpajang gambargambar atau foto dari para tokoh politik yang mencalokan diri di berbagai jenis
media. Gambar foto tersebut terpajang mulai dari di dalam jenis media elektornik,
media cetak, ataupun yang terdapat di di berbagai ruas jalan dan sudut kota di
Indonesia. Dimana sebuah ruang-ruang promosi yang sebelumnya penuh dengan
promosi event dan produk-produk, kini mulai terisi dengan iklan-iklan promosi
tokoh-tokoh politik yang mencalonkan diri dalam kursi politik di pemerintahan.

Adanya pemasangan gambar dan foto dari seorang tokoh politik terebut dilakukan
untuk tujuan kampanye politik, yaitu menginformasikan kepada masyarakat
mengenai seseorang yang mencalonkan diri dalam kursi politik, dan mempersuasi
masyarakat agar memilih tokoh politik tersebut.
Politik sering menempatkan media sebagai senjata utama dalam membangun
kekuatan politik di masyarakat. Hal ini dimungkinkan ketika media memiliki
kekuatan penuh untuk memutuskan informasi mana yang seharusnya diketahui atau
tidak diketahui publik. Kondisi ini menempatkan media sebagai pembentuk citra baru
bagi individu atau lembaga. Hal ini menjadikan berita terus mengalami redefinisi
sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Konsekuensinya adalah fakta bisa berubah
menjadi entitas yang bisa diciptakan, sehingga berita yang tercipta kini berada di
antara wilayah fiksi dan non fiksi. Fakta juga kini telah berubah menjadi komoditas
yang mudah dikemas, didaur ulang dan dimaknai kembali.
Pada dasarnya, strategi dalam sebuah komunikasi politik yang menggunakan
peranan media adalah dengan membangun sebuah image positif di mata masyarakat
melalui konsep pencitraan. Melalui konsep pencitraan tersebut, seorang tokoh politik
dapat membentuk simpati dari masyarakat agar mau memilihnya. Konsep pencitraan
(self imaging) tersebut biasanya dilakukan dengan strategi komunikasi politik melalui
personal branding. Personal branding merupakan sebuah strategi yang dapat
mengkomunikasikan sebuah citra diri seseorang kepada masyarakat sesuai dengan

3

karakteristik image yang ingin dibangun dalam seseorang tersebut. Pembentukan
pencitraan karakteristik melalui personal branding tersebut dilakukan untuk
mengomunikasikan tujuan, jati diri dan hasrat untuk hidup dari seseorang kepada
masyarakat.
Media visual biasanya sering menjadi sebuah medium yang sering digunakan
oleh seorang tokoh politik dalam membangun sebuah konsep citra (self image)
kepada masyarakat. Dalam kaitannya dengan strategi personal branding, sebuah foto
bisa menjadi media visual yang ampuh untuk mempresentasikan citra diri dari
seseorang. “Photographs are understood to have a causal link with the physical
world - a ‘being thereness” (Barthes 1977). Sebuah perpaduan antara foto dan media
massa menjadi satu strategi yang cukup efektif dalam kegiatan komunikasi politik
untuk memperoleh simpati dari masyarakat. Keefektivitasan foto sebagai media
komunikasi visual di media massa tersebut semakin besar karena adanya
kecenderungan masyarakat Indonesia yang tidak gemar membaca dan lebih menyukai
pesan yang disajikan dalam media-media visual. Oleh karena itu, sebuah foto yang
dipasang di media massa, merupakan strategi yang cukup efektif dalam membangun
citra seorang tokoh politik melalui personal branding.
1. Fungsi komunikasi politik dalam membangun citra positif dalam opini

publik.
Seseorang atau sebuah lembaga yang memutuskan untuk terjun kedalam
dunia politik, selanjutnya diharuskan membangun sebuah aliran komunikasi politik
kepada masyarakat sekitar lingkungannya, baik itu dalam dunia politik atau kepada
masyarakat umum. Adanya kegiatan komunikasi politik tersebut akan menjaga
kekuatan dan posisi politik seseorang atau lembaga dalam persaingan di dunia
politik. Melalui kegiatan komunikasi politik, para pelaku politik dapat menjaga
dukungan politiknya dari berbagai pihak, terutama dari masyarakat. Pada dasarnya,
sebuah kegiatan komunikasi politik dilakukan untuk tujuan pembentukan opini yang
positif. Opini tersebut dibangun dengan menanamkan pandangan bahwa seorang
tokoh politik mempunyai track record yang positif di mata masyarakat dan dunia
politik. Untuk mendapatkan opini positif dan dukungan tersebut, seorang tokoh
4

politik harus dapat melakukan sebuah komunikasi politik yang efektif, dimana
pesan-pesan politik mengenai dirinya dapat dipahami oleh target audiens sesuai
dengan tujuan perumusan pesan politik tersebut, sebagai hasilnya adapalah
terbentuknya opini publik yang positif kepada tokoh politik tersebut. Salah satu
strategi untuk mendapatkan opini positif tersebut adalah dengan membuat pencitraan
diri (self image) yang positif di dunia politik kepada masyarakat. Oleh karena itu,

untuk dapat bertahan dan sukses di persaingan politik, para pelaku politik harus
mampu menciptakan sebuah komunikasi politik yang efektif, dimana pesan-pesan
politiknya dapat membangun opini yang sesuai dengan yang diharapkan oleh para
pelaku politik tersebut.
Komunikasi politik sendiri merupakan sebuah kegiatan yang bertujuan untuk
membangun sebuah opini publik mengenai sesuatu hal yang terkait dalam bidang
politik. Biasanya kegiatan komunikasi politik identik dengan kegaitan kampanye,
dimana didalamnya terdapat aliran pesan informasi yang disampaikan oleh tokoh
politik sebagai komunikator, dan masyarakat sebagai komunikan (target audiens).
Kampanye sendiri adalah kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan dampak
tertentu pada sejumlah besar orang dalam jangka waktu tertentu melalui satuan
kegiatan komunikasi (komunikasi politik) yang terorganisir dengan baik (Rogers &
Storey, 1987: 821). Informasi yang disampaikan dalam kegiatan kampanye tersebut
dilakukan melalui sebuah kegiatan komunikasi politik. Penyampaian pesan informasi
melalui

komunikasi

politik


tersebut

dilakukan

secara

terorganisir

untuk

mempengaruhi kepercayaan dan pandangan masyarakat, perilaku politik, ataupun
sikap dan simpati dari masyarakat terhadap sebuah obyek politik melalui peran media
massa ataupun media-media komunikasi lainnya (Devine & Hirt, 1989: 230). Untuk
menjelaskan mengenai definisi komunikasi politik sendiri, McQuail dalam Swanson
mengatakan:
“Komunikasi

politik

adalah


sebuah

studi

yang

interdisiplinari yang dibangun atas berbagai macam disiplin
ilmu,

terutama

dalam

hubungannya

antara

proses


komunikasi dan proses politik. Ia merupakan wilayah
5

pertarungan dan dimeriahkan oleh persaingan teori,
pendekatan, agenda dan konsep dalam membangun jati
dirinya. Oleh karena itu pula, komunikai yang membicarakan
mengenai politik kadang diklaim sebagai sebuah studi aspekaspek politik dari komunikasi publik, dan seirng dikaitkan
sebagai komunikasi kampanye Pemilu karena mencakup
masalah persuasi terhadap pemilih, debat antar kandidat,
dan

penggunaan

media

massa

sebagai

alat


kampanye”(Cangara, 2009: 16).
Jadi, berdasarkan pada pengertian diatas, dapat dipahami bahwa sebuah
komunikasi politik terdiri atas disiplin ilmu komunikasi dan ilmu politik yang
bahasannya sering dikaitkan dengan komunikasi dalam kegiatan kampanye.
Komunikasi yang terjadi dalam kegiatan kampanye tersebut mencakup permasalahan
mengenai persuasi terhadap pemilih, debat antar kandidat, dan penggunaan media
massa sebagai alat kampanye.
Kegiatan komunikasi politik sendiri pada dasarnya berfungsi sebagai
jembatan penghubung antara suprastruktur dan infrastruktur yang bersifat
interpendensi dalam ruang lingkup negara. Strategi komunikasi politik sendiri dapat
dilakukan dengan mendasarkan pada siapa yang menjadi target audiensnya, bisa
kepada struktur pemerintahan (dunia politik) ataupun kepada struktur masyarakat.
Kedua target audiens tersebut diharuskan membutuhkan strategi-strategi (pendekatan)
dan pencapaian tujuan yang berbeda-beda dalam pelaksanaannya. Menurut Sumarno
(1993: 28), fungsi komunikasi politik dapat dibedakan menjadi dua bagian. Pertama,
fungsi komunikasi politik yang berada pada struktur pemerintah (suprastruktur
politik) atau the govermental political sphere. Pada fungsi komunikasi politik ini, isi
pesan informasi berupa isu mengenai kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan oleh
pemerintah. Isi komunikasi ditujukan kepada upaya untuk mewujudkan loyalitas dan

integritas nasional untuk mencapai tujuan negara yang lebih luas. Kedua, adalah
fungsi yang berada pada struktur masyarakat (infrastruktur politik), yang disebuat
6

dengan istilah socio political sphere. Fungsi komunikasi politik yang kedua ini
merupakan agregasi kepentingan dan artikulasi kepentingan, dimana kedua fungsi
tersebut sebagai proses komunikasi yang berlangsung di antara kelompok asosiasi
dan proses penyampaian atau penyaluran isi komunikasi terhadap pemerintah dari
hasil agregasi dan artikulasi tersebut.
Jadi pada dasarnya, sebuah komunikasi politik dilakukan untuk membangun
loyalitas dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait, baik itu dalam struktur politik
pemerintahan ataupun dari masyarakat. Adanya dukungan dari kedua pihak terebut,
posisi politik dari seseorang dapat menjadi aman dan masih kuat untuk berada di
kursi percaturan dunia politik. Salah satu strategi untuk mendapatkan dukungan,
kepercayaan, dan loyalitas tersebut adalah menciptakan opini yang positif dari kedua
pihak tersebut, terutama dalam masyarakat. Di dalam dunia perpolitikan yang saat ini
dapat dikatakan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, dukungan dari masyarakat
merupakan sebuah nilai positif tersendiri untuk mempertahankan kursi kekuasaan
politik. Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat tersebut, seorang tokoh politik
harus mempunyai reputasi yang bersih. Adanya reputasi yang bersih tersebut,
selanjutnya akan menimbulkan sebuah opini yang positif mengenai tokoh politik
tersebut, lalu menjadi sebuah simpati, dan akhirnya menghasilkan sebuah dukungan
dan loyalitas dari masyarakat sebagai pemegang hak pilih politik terbesar.
2. Kekuatan media massa sebagai media komunikasi politik.
Media dan politik saat ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Dunia politik membutuhkan media massa untuk melakukan kegiatan komunikasi
politik, terutama yang ditujukan kepada masyarakat luas. Meskipun pada dasarnya
media massa mempunyai fungsi sebagai pengawas pemerintahan dan kontrol sosialpolitik (dog watcher), terkadang media massa dimanfaatkan oleh para pelaku politik
untuk sekedar berkampanye ataupun melegitimasi kebijakan politik yang diambil
oleh para pelaku politik tersebut kepada masyarakat. Oleh karena itu, dengan adanya
kekuatan media massa yang mampu mempengaruhi masyarakat melalui berita
informasi didalamnya tersebut, para tokoh politik sering memanfaatkan kekuatan
media tersebut untuk melakukan komunikasi politik dan membangun opini publik
7

yang positif terhadap mereka. Selain itu, karena kekuatannya, media massa
mempunyai pengaruh yang cukup kuat dalam pembentukan karir politik seseorang,
apakah karir politik seseorang tersebut dapat dibuat cemerlang ataupun malah
menurun (Cangara, 2009: 117-118).
Menurut Hamad (2004: 37), studi tentang pemanfaatan dan efek media dalam
komunikasi politik merupakan bentuk lain yang paling banyak dilakukan. Studi-studi
tersebut berasumsi bahwa media adalah saluran komunikasi politik yang efektif.
Media massa dinilai memiliki kekuatan agenda setting yang besar dalam
menyebarluaskan pesan-pesan politik, melalui sosialisasi politik, dan pembentukan
opini publik. Menurut Firmanzah (2007: 19), media memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi opini publik dan juga perilaku dalam masyarakat. Oleh karena itu,
media dianggap memiliki peran yang sangat penting dalam mentransmisi dan
menstimulasi permasalahan politik. Media massa mempunyai peran yang penting
dalam kegiatan komunikasi politik. Menurut Hasrullah (2001: 31), di dalam kegiatan
komunikasi politik, media massa dianggap mempunyai kekuatan yang hebat
(powerfull) dalam menyalurkan pesan-pesan politik, sehingga keperkasaan media
massa sering dijadikan saluran utama dalam mempengaruhi opini publik.
Pada dasarnya, fungsi dari media massa adalah sebagai alat untuk
menyalurkan pesan informasi kepada masyarakat. Pesan informasi tersebut disusun
oleh seorang wartawan, dan selanjutnya disampaikan melalui media massa kepada
masyarakat dengan mendasarkan kepada nilai-nilai kenetralitasan dan juga nilai-nilai
realitas. Jadi, dalam penyampaian informasinya, sebuah media massa tersebut
menyampaikan suatu peristiwa atau kejadian, memang itulah yang terjadi, itulah
realitas yang sebenarnya, tidak ditambah, dan tidak dikurangi. Selain itu, media
massa juga tidak hanya sekedar penyalur pesan informasi kepada masyarakat, tetapi
media massa juga dapat berperan sebagai subjek yang mengkonstruksi sebuah
realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan kepemihakan dari media tersebut. Di
dalam mengkonstruksi, dan menyampaikan realitas berbentuk informasi kepada
masyarakat tersebut, media massa selanjutnya disebut sebagai agen konstruksi sosial
yang mendefinisikan realitas kepada masyarakat. Oleh karena itu, terkadang sebuah
8

pesan informasi yang berasal dari sumber yang sama, dapat disampaikan dalam
kemasan yang berbeda oleh media-media yang berbeda-beda. Hal terebut disebabkan,
dalam kegiatannya, media massa banyak dipengaruhi oleh berbagai pihak dan
kepentingan, seperti pemilik modal ataupun dari pengaruh penguasa atau kepentingan
politik yang terdapat di sekitar lingkungan media massa tersebut.
Saat ini media memiliki posisi yang cukup strategis dalam kehidupan
masyarakat, baik kehidupan sosial ataupun politik. Posisi strategis dari media massa
tersebut disebabkan karena adanya fungsi-fungsi dari media yang membuat
masyarakat saat ini membutuhkan kehadiran media di sekitar lingkungan interaksi
komunikasi mereka. Beberapa fungsi dari media massa yang membuat sebuah media
mempunyai kedekatan dan pengaruh yang cukup tinggi kepada masyarakat antara
lain;
1) Sebagai alat untuk menyampaikan informasi (to inform),
Media massa berfungsi untuk menyampaikan segala sesuatu yang
terjadi dalam masyarakat, baik itu fenomena sosial ataupun politik dalam
bentuk informasi. Saat ini masyarakat membutuhkan informasi mengenai
segala sesuatu yang terjadi di sekitar lingkungan mereka, dan untuk
mendapatkan informasi tersebut, masyarakat akan mencarinya melalui media
massa, baik elektronik ataupun cetak.
2) Sebagai alat untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat (to educate),
Melalui informasi-informasi yang disampaikannya, media massa
memberikan pendidikan kepada masyarakat dengan menambah wawasan
masyarakat melalui informasi tersebut. Selain itu, media massa juga
memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, dengan menyadarkan
masyarakat akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam bidang
politik.
3) Sebagai media untuk memberikan informasi berupa hiburan kepada
masyarakat (to entertain),
Informasi-informasi yang disampaikan didalam media massa tidak
sepenuhnya informasi yang bersifat hardnews, tetapi terkadang media massa
9

mampu menyajikan berbagai informasi yang ringan dan bersifat menghibur.
Informasi yang menghibur tersebut dapat berupa mengenai kehidupan
selebritis, artikel humor, ataupun semacam kuis.
4) Untuk membentuk dan mempengaruhi opini publik dan sikap masyarakat
terhadap sesuatu (to influence).
Media massa mempunyai peranan yang kuat dalam berbagai bidang di
masyarakat, baik itu sosial maupun politik. Melalui kedekatannya dengan
masyarakat, media massa mampu mempengaruhi dan membentuk cara
pandang serta opini publik masyarakat mengenai sesuatu hal, salah satunya
mengenai dunia perpolitikan.
Fungsi-fungsi dari media massa tersebut yang membuatnya dibutuhkan oleh
masyarakat, media massa saat ini menjadi media yang vital sebagai alat penyampai
komunikasi politik dari para pelaku politik. Melalui media massa, para pelaku politik
berharap dapat juga dekat dengan masyarakat, yang selanjutnya akan mempengaruhi
dan membentuk opini publik dari masyarakat, dan menghasilkan adanya dukungan
dan loyalitas dari masyarakat kepada seorang tokoh politik tersebut.
a. Konstruksi realita sosial media massa.
Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak bisa
terlepaskan dari bangunan teoritik yang telah dikemukakan oleh Peter L. Berger dan
Thomas Luckmann. Menurut mereka melalui bukunya yang berjudul The Social
Construction of Reality: A Treatise in The Sociological of Knowledge, realitas sosial
dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Konstruksi
sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingankepentingan (Bungin, 2008: 192). Bagi kaum konstruktivisme, realitas (berita) itu
hadir dalam keadaan subjektif. Realitas tercipta lewat sebuah konstruksi, sudut
pandang dan ideologi dari wartawan yang disampaikan melalui media massa.
Sehingga dapat dikatakan bahwa semua yang terdapat dalam media tidak sepenuhnya
berdasarkan pada sebuah realitas, tetapi terdapat pengaruh dari konstruksi realitas
dalam media massa tersebut.

10

Adanya sifat dari media massa dalam penyampaian informasi yang
berlangsung cepat dan masif, maka konstruksi realitas sosial tersebut dapat
berlangsung dengan cepat dan sebarannya merata dalam kehidupan masyarakat.
Selanjutnya realitas media massa yang terkonstruksi terebut akan membentuk sebuah
opini publik berdasarkan apa yang dikonstruksi oleh media massa tersebut (Bungin,
2008: 203). Menurut perspektif tersebut, terdapat tahapan-tahapan dalam proses
kontruksi realita sosial media massa, yaitu; tahap menyiapkan materi konstruksi;
tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan konstruksi; dan tahap konfirmasi
(Bungin, 2008: 188-189).
1) Tahap menyiapkan materi konstruksi.
Terdapat tiga hal penting dalam tahapan ini, yaitu; keberpihakan media
massa kepada kapitalisme; keberpihakan semu kepada masyarakat; dan
keberpihakan kepada kepentingan umum.
2) Tahap sebaran konstruksi.
Prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua
informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan pada agenda
media. Apa yang dipandang penting oleh media, menjadi penting pula bagi
pemirsa atau pembaca.
3) Tahap pembentukan konstruksi realitas.
Pembentukan konstruksi berlangsung melalui; (1) konstruksi realitas
pembenaran; (2) kedua kesediaan dikonstruksi oleh media massa; (3) sebagai
pilihan konsumtif.
4) Tahap Konfirmasi.
Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun penonton
memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat
dalam pembetukan konstruksi.
Pada kenyataanya, realitas sosial itu berdiri sendiri tanpa kehadiran individu
baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial memiliki makna disaat
realitas sosial tersebut dikonstruksi dan dimaknai secara subyektif oleh individu lain
sehingga memantapkan realitas itu secara obyektif. Individu mengkostruksi realitas
11

sosial dan merekonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu
berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya.
b. Pembentukan citra melalui media massa.
Citra (image) dapat diartikan sebagai kesan yang diperoleh seseorang
berdasarkan pengetahuan dan pengertiannya tentang fakta-fakta atau kenyataan
(Soemirat dan Elvinaro Ardianto, 2007: 114). Citra seseorang terhadap suatu objek
dapat diketahui dari sikapnya terhadap objek tersebut. Solomon dalam Rakhmat
menyatakan semua sikap bersumber pada organisasi kognitif, terutama pada
informasi dan pengetahuan (frame of references) yang kita miliki. Tidak akan ada
teori sikap atau aksi sosial yang tidak didasarkan pada penyelidikan tentang dasardasar kognitif. Efek kognitif dari komunikasi sangat memengaruhi proses
pembentukan citra seseorang. Citra (image) terbentuk berdasarkan pengetahuan dan
informasi-informasi yang diterima seseorang.
Menurut Bill Canton dalam Sukatendel (1990) mengatakan: “image: the
impression, the feeling, the conception which the public has of a company; a
conciouss/y created impression of an object, person or organization”. Citra adalah
sebuah kesan, perasaan, gambaran diri publik terhadap perusahaan, yang dengan
sengaja diciptakan dari sebuah objek, orang, ataupun organisasi tertentu (Soemirat
dan Elvinaro Ardianto, 2007: 112). Sebuah citra dari seseorang ataupun lembaga
biasanya dibangun untuk merepresentasikan sesuatu yang bernilai positif. Karena
sebuah citra dapat mempengaruhi bagaimana masyarakat memandang dan beropini
terhadap sesuatu. Citra (image) dapat juga diartikan sebagai kesan seseorang atau
individu tentang sesuatu yang muncul sebagai hasil dari pengetahuan dan
pengalamannya (Jefkins, 2004: 56). Jadi dapat dikatakan bahwa citra adalah kesan
yang diperoleh seseorang berdasarkan pengetahuan dan pengertiannya tentang faktafakta atau kenyataan. Pada dasarnya membangun citra merupakan bagian dari praktik
public relations, di mana fungsinya adalah menumbuhkan hubungan baik antara
segenap komponen pada suatu organisasi pemerintahan dalam rangka rnemberikan
pengertian, menumbuhkan motivasi dan partisipasi. Semua itu bertujuan untuk

12

mengembangkan goodwill publiknya serta memperoleh opini publik yang
menguntungkan (Ardianto, 2002: 12).
Jika dikaitkan dengan dunia politik, pembangunan citra positif dimata
masyarakat merupakan sesuatu yang sangat penting untuk dapat mempertahankan
posisi politik dari seseorang. Pencitraan tersebut merupakan sebuah komunikasi
politik yang dilakukan oleh seorang tokoh politik melalui peran media massa.
Kegiatan pencitraan melalui media massa dapat berlangsung lebih efektif
dibandingkan media jenis lain, karena melalui media massa, seorang tokoh politik
dapat menyampaikan pesan-pesan politiknya kepada masyarakat secara cepat dan
masif (merata), dengan demikian tokoh politik terebut akan lebih dikenal masyarakat
luas. Pencitraan melalui media massa merupakan sebuah solusi atas hambatan untuk
dilakukannya komunikasi politik secara luas dan merata yang dilakukan secara
langsung (face to face). Oleh karena itu, media massa merupakan sebuah akat yang
sangat efektif untuk menjangkau masyarakat luas untuk dilakukan komunikasi
politik, yang tidak bisa dijangkau secara langsung.
Jika dilihat dari perspektif konstruksi sosial media massa, pembentukan citra
melalui media massa masuk dalam tahapan pembentukan konstruksi realitas. Dalam
konstruksi sosial media massa terdapat dua tahap, yakni: tahap pembentukan
konstruksi realitas dan pembentukan citra (Bungin,. 2006: 208). Dalam pembentukan
konstruksi realitas terdapat tiga tahapan. Pertama, konstruksi pembenaran. Suatu
bentuk konstruksi media massa yang terbangun di masyarakat yang cenderung
membenarkan apa saja yang ada (tersaji) di media massa sebagai sebuah realitas
kebenaran. Kedua, kesediaan dikonstruksi oleh media massa. Pilihan seseorang untuk
menjadi pembaca dan pemirsa media massa karena pilihannya sendiri. Ketiga,
menjadikan konsumsi media massa sebagai pilihan konsumtif. Media massa adalah
bagian kebiasaan hidup yang tidak bisa dilepaskan oleh masyarakat dari kehidupan
informasi mereka.
Sementara itu pembentukan konstruksi citra adalah bangunan yang diinginkan
oleh tahap konstruksi, di mana bangunan konstruksi citra yang dibangun oleh media
massa terbentuk dalam dua model, yaitu model good news, dan model bad news.
13

Model good news adalah sebuah konstruksi yang cenderung mengonstruksi suatu
pemberitaan sebagai pemberitaan yang baik. Pada model ini objek pemberitaan
dikonstruksi sebagai sesuatu yang memiliki citra baik sehingga terkesan lebih baik
dari sesungguhnya. Sedangkan model bad news adalah sebuah konstruksi yang
cenderung mengonstruksi kejelekan atau cenderung memberi citra buruk pada objek
pemberitaan itu sendiri.
Membangun citra melalui media massa memang merupakan sesuatu hal yang
sangat penting dilakukan untuk mencari popularitas, meraih suara dan simpati dari
masyarakat. Memanfaatkan peranan media massa untuk membangun citra positif
merupakan salah satu cara efektif untuk membentuk opini publik yang positif. Jika
opini publik sudah terbentuk, sangat dimungkinkan publik akan memberikan
suaranya, dan politik pencitraan tersebut dianggap cukup ampuh untuk meraih suara.
3. Personal branding: sebuah pencitraan sebagai strategi komunikasi politik
melalui media massa yang menggunakan media foto.
Masa kampanye pemilu 2009 yang sudah dimulai sejak Juli 2008, membuat
persaingan partai politik dan calon kandidatnya menjadi hal yang menarik. Dalam
konteks pemilihan umum yang dicitrakan bukanlah partai politiknya melainkan
kandidat yang akan dipilih. Menurut Nimmo (2000: 185), citra kandidat terbentuk
dari atribut politik dan gaya personal seorang kandidat politik, seperti yang dipersepsi
oleh pemberi suara. Donsbach (dalam Malik, 1999:56), banyak studi yang
menunjukan bahwa perilaku pemilih bukan ditentukan oleh isu yang ditawarkan
kandidat untuk menyelesaikan persoalaan bangsa, akan tetapi ditentukan oleh citra
dan personalitas pribadi kandidat.
a. Pencitraan melalui media foto untuk membentuk opini publik dalam nilai
realitas dan kebudayaan visual
Sebuah foto termasuk kedalam salah satu media komunikasi yang
menyampaikan pesan secara simbolik. Pesan komunikasi tersebut disampaikan
melalui unsur visual. Meskipun pada praktek penyampaian pesannya, foto selalu
dikombinasikan dengan tulisan, tetapi inti dari pesan tersebut terdapat dalam visual
foto itu sendiri, unsur tulisan hanya sekedar unsur pendukung dari foto tersebut. Foto
14

menjadi media komunikasi politik yang efektif, karena foto mempunyai fungsi yang
sangat luas. Selain sebagai sebuah karya seni, foto juga bisa menyampaikan pesanpesan yang diinginkan oleh para calon legislatif. Pesan-pesan tersebut biasanya
disampaikan melalui personal branding yang dibalut dalam kemasan visual foto.
Dimana sebuah foto digunakan dalam dasar personal branding, karena sebuah foto
dapat menciptakan realitas tersendiri yang dapat mempengaruhi opini dalam
masyarakat. Realitas yang dapat dibentuk melalui foto tersebut dikarenakan dalam
sebuah foto, didalamnya terdapat nilai-nilai budaya visual, yang terbentuk dan di
konvensi oleh kebudayaan dan pemikiran dari manusia.
Kebudayaan sendiri merupakan rangkaian dari aktivitas yang berulang-ulang
sehingga pada akhirnya membentuk kebiasaan yang membentuk pola dalam
masyarakat, pola dalam masyarakat itu meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, dan adat istiadat. Selo Soemarjan dan Soleiman Soemardi
mendefinisikan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari kegiatan yang berpola inilah, kemudian menghasilkan wujud-wujud dalam
kebudayaan. Wujud dari kebudayaan ini merupakan hasil karya, rasa dan cipta dari
masyarakat yang berupa benda-benda atau pola-pola perilaku.
J.J. Hoenigman membedakan wujud kebudayaan menjadi tiga, yaitu gagasan,
aktivitas dan artefak. Gagasan (wujud ideal) adalah kebudayaan sifatnya abstrak
berupa ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan peraturan; tidak dapat diraba,
atau disentuh. Aktivitas adalah wujud kebudayaan yang sering disebut dengan sistem
sosial, sifatnya konkret karena dapat diamati dan didokumentasikan. Artefak adalah
wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari gagasan dan aktivitas manusia dalam
masyarakat berupa benda-benda yang dapat diraba, dilihat dan didokumentasikan.
Menurut Koentjaraningrat, Suatu sistem kelakuan khas dari kelakuan berpola
(wujud dari kebudayaan yang berupa aktivitas/kelakuan) beserta komponenkomponennya, ialah: sistem norma (wujud ideal dari kebudayaan) dan peralatannya
(wujud fisik dari kebudayaan) ditambah dengan manusia atau personel yang
melaksanakannya kelakuan berpola, merupakan suatu pranata atau institution. Pranata
atau institution inilah membuat kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaannya.
15

Bagan komponen-komponen dari pranata Sosial

Bagan diatas menjelaskan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, semua
wujud-wujud kebudayaan tidak bisa terpisahkan dan saling berkaitan. wujud
kebudayaan yang berupa aktivitas/kelakuan mengaitkan semua wujud kebudayaan
dengan manusia yang kemudian membentuk sistem nilai yang membuat suatu
kelakuan yang berpola dalam masyarakat.
Keterkaitan komponen-komponen tersebut dalam kebudayaan modern
sekarang sangat terkait dengan pembentukan budaya visual dalam kehidupan manusia
modern. Karena budaya visual merupakan salah satu wujud kebudayaan yang berupa
konsep (nilai) dan materi (artefak/benda) yang ditangkap oleh panca indera visual
manusia kemudian dapat dipahami sebagai tautan pikiran untuk meningkatkan
kualitas hidupnya. Wujud dari kebudayaan visual yang berupa artefak inilah yang
diapresiasikan manusia kemudian membentuk sebuah aktivitas komunikasi nonverbal yang akhirnya memunculkan pemaknaan-pemaknaan terhadap artefak tersebut.
Dalam studi ilmu komunikasi (Mulyana, 2003:380), artefak adalah benda apa saja
yang dihasilkan kecerdasan manusia. Benda-benda yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia dan dalam interaksi manusia, sering mengandung maknamakna tertentu. Dengan demikian, budaya visual meliputi berbagai aspek dalam
wujud kebudayaan yang berupa gagasan yang kemudian menciptakan wujud akhir
16

yang berupa karya atau benda, Karya atau benda-benda sebagai wujud akhir budaya
visual meliputi berbagai bentuk media komunikasi visual seperti foto, film, iklan,
siaran televisi, media cetak hingga mode pakaian; karya desain dan karya senirupa.
Benda-benda dalam kebudayaan visual tersebut memiliki kekuatan-kekuatan
tersendiri, sehingga kebudayaan visual menjadi sangat dinamis. Karena budaya visual
merupakan budaya yang bermuatan nilai, serta amat terpengaruh oleh situasi sosial
yang terjadi di zamannya.
Media komunikasi visual yang berupa foto dapat dipandang sebagai budaya
visual yang sangat fungsional serta telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari di
masyarakat. Di dalam kehidupan masyarakat modern foto merupakan hasil
kebudayaan yang menyentuh sisi kehidupan manusia tentang arti dan makna dalam
sebuah kehidupan. Foto merupakan wujud dari pencapaian kreatifitas serta
kecerdasan manusia yang dapat segera diserap secara visual oleh panca indera
manusia. Oleh karena itu foto merupakan fenomena visual yang mengalami
perkembangan teknologi cukup pesat. Kehadiran fotografi disebut sebagai alat
perekam dan penghadir ulang sebuah kenyataan yang ampuh. Fotografi disebut-sebut
mempunyai

kepekaan

dalam

merekam

detail

membuat

manusia

modern

mengagungkannya sebagai kemajuan manusia dalam merekam kenyataan yang ada,
baik dari sejarah sampai dengan foto-foto yang sifatnya dokumentasi sampai dengan
foto-foto yang bersifat komersial. Serbuan budaya populer membuat fotografi
menggiring pada anggapan sebagai media penghadir kenyataan yang objektif.
Dengan perkembangan masyarakat modern yang membutuhkah kecepatan dan
ketepatan informasi membuat fotografi menjadi salah satu media yang paling handal.
“What is true of the pen is equally true of the camera.”(Don Slater, 1999:289).
Sebuah foto biasanya menggambarkan sebuah realitas yang sebenarnya kedalam
bentuk gambar. Dan karena fungsi itulah, banyak masyarakat menggunakan foto
kedalam berbagai aktivitas mereka sehari-hari. Sebagian besar masyarakat saat ini
telah mengenal kamera dan foto dan menjadikannya sebagai satu kegiatan dalah
kehidupan mereka masing-masing. Banyak masyarakat memanfaatkan fungsi kamera
dan foto untuk mengabadikan atau merekam berbagai kegiatan dan momen-momen
17

penting mereka, mulai dari kelahiran, wisata, kegiatan rutinitas, ataupun saat
menghabiskan waktu dengan keluarga. Sehingga dapat dikatakan bahwa foto telah
masuk kedalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Fotografi sudah menjadi bagian yang sangat penting bagi masyarakat.
Penelitian yang diadakan di Inggris tentang jumlah orang yang mempunyai kamera
bisa menjadi representasi bagi masyarakat di dunia. Ini menunjukan bagaimana
kebudayaan visual dalam bidang fotografi membuat pola dalam perilaku masyarakat.
Walaupun sebenarnya mereka hanya menggunakan fotografi sebagai keperluan
dokumentasi, tetapi penelitian ini menunjukan bahwa foto dan fotografi sangat dekan
dengan kehidupan masyarakat. Ada anggapan bahwa kepercayaan pada budaya visual
yang berasal dari budaya lensa ini lahir pada abad ke-19 ketika kamera ditemukan.
Saat Revolusi Industri dengan teknologinya tengah marak, tatanan masyarakat
kapitalisme di Barat tentu mulai mengenal dan terpengaruh budaya baru ini. Tetapi
anggapan tadi sesungguhnya terlalu sederhana. Sebab jauh sebelumnya, di tahun
1285, telah ditemukan kaca pembesar sederhana yang mengawali wawasan baru pada
pandangan ilmuwan.1 Sekitar tahun 1550, Girolamo Cardano tercatat sebagai orang
pertama yang memasang lensa yang memungkinkan adanya bukaan (aperture) pada
camera obscura (kamera lubang jarum). Lensa dari kaca--berbentuk bikonveks
seperti butir buah lentil (miju-miju), sebuah kata yang menyebabkan kita
menyebutnya lensa--yang dipasang pada kotak kedap cahaya (kamera lubang jarum)
telah menjadi alat bantu sangat penting bagi para pelukis di zaman itu.2
Penggunaan fotografi dan media visual lainnya banyak digunakan untuk
propaganda politik oleh berbagai pihak yang berebut pengaruh. Berbagai macam
bentuk propaganda visual digunakan dalam kampanye pro demokrasi dan sosialis kiri
melawan fasisme dan Nazi di Eropa. Propaganda visual itu dikemas dalam berbagai
macam, baik secara artistik dengan menggunakan montase seperti John Heartfield
1 “Lentil Soup: A Meditation on Lens Culture”, dalam A. D. Coleman, Depth of Field: Essays on
Photography, Mass Media and Lens Culture (Albuquerque, NM: University of New Mexico Press,
2000). Lihat juga “Dimulai dari Mengintip: tentang Kronologi Teknologi Fotografi,” Kompas, 25
Oktober 2002.
2 M. Firman Ichsan. “Manusia Modern dan Citra Fotografis di Media Massa”, sumber
jurnalkalam.org/index-php/articles/view/57

18

atau Hanna Hoch maupun jurnalistik-dokumenter seperti Robert Capa, CartierBresson, Centelless, dan teman-temannya. Mereka membuat karya-karya foto yang
membawa berbagai macam akibat, baik karena citra yang dirancang dengan penuh
kesadaran maupun hal-hal yang terjadi di luar kehendak mereka.
Sebuah foto dapat dihadirkannya kembali kenyataan dalam bentuk visual
berperan besar pada pembentukan opini publik. Sebuah propaganda dan komunikasi
politik bahkan terkadang lebih memilih menggunakan media foto untuk disampaikan
kepada target audiensnya. Hal tersebut disebabkan karena dihadirkannya kembali
sebuah realitas kedalam suatu bentuk visual sangat berperan besar dalam
pembentukan opini publik. Para fotografer jurnalistik maupun fotografer seni dalam
dunia sosialis sangat meyakini bahwa fotografi dapat berperan dan bertanggung
jawab dalam pembentukan masyarakat yang ideal. David Ogilvy, seorang tokoh besar
di dunia periklanan, sejak awal 1940-an menyatakan bahwa untuk mempengaruhi
masyarakat, lebih baik menggunakan foto daripada seribu sketsa gambar tangan.
Meskipun itu kiri atau kanan, ideal atau komersial, dapat disadari foto memiliki daya
pengaruh yang begitu besar untuk membentuk opini masyarakat.
Menurut Susan Sontag (1999:87): “Photography, which has so many
narcissitic uses, is also a powerful instrument for depersonalizing our relation to the
world; and the two uses are complementary….In the real world, something is
happening and no one knows what is going to happen. In the image-world, it has
happened, and it will forever happen in that way.” Fotografi selain mempunyai
kegunaan dalam kegiatan narsisme diri, fotografi juga mampu menjadi sebuah alat
yang mengurangi karakter hubungan kita dengan lingkungan sosial, dan kedua
peranan fotografi tersebut merupakan sesuatu yang saling melengkapi satu sama lain.
Karena saat kita masuk kedalam dunia fotografi, hidup kita akan semakin terpisahkan
dengan realitas yang sedang terjadi karena kita hanya melihat pada realitas yang
terbentuk didalam sebuah gambar foto dan makna yang terdapat pada realitas dalam
foto dan dunia nyata dapat dikatakan berbeda. Dalam dunia nyata, saat sebuah
fenomena sedang berjalan, tak seorangpun tahu akan apa yang terjadi kedepannya
atas fenomena tersebut. Sedangkan pada dunia gambar foto, realitas yang terdapat
19

didalamnya merupakan sebuah realitas yang telah terjadi sebelumnya dan akan selalu
terjadi seperti yang terdapat pada gambar tersebut.
Sebuah kisah menarik ketika Roland Barthes membawa skandal fotografis
dalam peristiwa Komune Paris. Berawal dari sebuah foto yang menampilkan sosoksosok yang berjajar dengan pose bangga di depan kamera. Kemenangan baru saja
mereka raih. Mereka berhasil menguasai salah satu sudut Paris, merebutnya dari
tangan kaum borjuis konservatif. Teori telah dipraktekkan, dan mereka melihat masa
depan realisasi sebuah ideologi. Dalam pose itu, setiap pribadi begitu mengemuka,
penuh dengan cita-cita. Setiap wajah mengguratkan kehendak dan keberanian dalam
kekhasan ekspresi masing-masing. Tanpa mereka sangka, justru karena foto inilah
hidup mereka berakhir. Ketika sebuah foto lain berhasil membangkitkan amarah
warga Paris pada para anggota Komune Paris itu. Foto yang menampilkan mayat
polisi bergelimpangan, dengan keterangan mereka dibantai para pejuang revolusioner
itu. Foto itu membuat warga Paris berubah pikiran dan memberi mandat kepada polisi
untuk menghukum kaum revolusioner itu sesuai dengan perbuatan mereka. Dari foto
kemenangan itu, masing-masing orang itu dikenali, kemudian satu demi satu
ditembak mati, hampir semuanya. Namun, warga Paris tidak tahu bahwa mayatmayat yang bergelimpangan yang mereka lihat itu, bangkit kembali setelah sesi
pemotretan selesai.3
Skandal fotografis Roland Barthes di Paris menunjukan fotografi dalam
sebuah kebudayaan menunjukan nilai tersendiri yaitu free value. Free value
merupakan sebuah nilai bebas atau mempunyai banyak arti. Nilai ini terlihat ketika
pada saat foto bisa menunjukan arti dan makna yang berbeda bagi setiap orang yang
melihatnya. Bagi kaum revolusioner Paris, foto yang diambil Rolan Barthes
merupakan foto kejayaan dan kemenangan. Di lain pihak bagi kaum borjuis
koservatif di Paris, foto yang diambil Barthes merupakan foto yang membuat mereka
malu dan mereka melihat tokoh-tokoh di balik pemberontakan dari foto itu.
Kebebasan dalam memaknai foto inilah akhirnya bisa menjadi kelemahan sebuah foto
3 Alex Supartono. “Pengantar: Fotografi dan Budaya Visual”, sumber:
http://jurnalkalam.org/edisi/2007/fotografi_pengantar.html

20

saat orang tidak tahu bagaimana cara memaknainya dan jatuh ke tangan orang yang
bertentangan opini. Baik atau buruknya makna yang dibawa oleh foto tergantung
dengan kepentingan yang digunakan seseorang saat mempublikasikan foto tersebut.
Di Indonesia keberadaan budaya visual sangat bisa dirasakan. Mulainya
periode pemilu di tahun 2009 membuat banyak politisi dan partai-partai
menggunakan media komunikasi visual untuk mempengaruhi masyrakat agar saat
pemilihan nanti masyarakat memilih mereka. Media-media visual yang banyak dilatar
belakangi foto-foto tokoh atau aktivitas-aktivitas yang pernah mereka lakukan
membentuk opini tersendiri di masyarakat tentang pandangan calon pemimpinnya.
Kesadaran akan sebuah kebudayaan visual di Indonesia membuat para pelaku
marketing politik berlomba-lomba mencitrakan tokoh politik atau partai politik
melalui visualisasi menggunakan media massa. budaya visual yang ada di Indonesia
sebenarnya sudah ada sejak masa lalu, di mana siswa-siswi di sekolah diperlihatkan
foto-foto bung Karno dan bung Tomo pada masa perebutan kemerdekaan. Dengan
adanya foto-foto tersebut akhirnya masyarakat dapat menyadari betapa berwibawanya
para pemimpin-pemimpin kita pada masa perebutan kemerdekaan.
Berkembangnya teknologi membuat media-media komunikasi yang ada
dalam budaya visual menjadi berkembang dan sangat beragam. Di mulai dari media
yang hanya mempunyai sisi visual saja seperti foto, sampai dengan media yang
mempunyai sisi audio dan visual yang biasa disebut dengan film. Perbandingan kedua
kekuatan media ini sangatlah menarik, karena foto hanya mempunyai kekuatan visual
saja dibandingkan dengan film. Jika dibandingkan secara linear kekuatan foto
memang kalah dibandingkan dengan kekuatan yang dimiliki oleh film. Film dengan
kekuatan audio visualnya lebih mudah mempengaruhi masyarakat. Kekuatan audio
visualnya bisa membentuk atmosfer tersendiri di benak masyarakat dan makna yang
disampaikannya menjadi lebih jelas, karena ada kekuatan audio dan visual.
Kekuatan yang dimiliki oleh film memang menjadikan film lebih unggul
dalam membentuk retorika di masyarakat. Akan tetapi, untuk memproduksi sebuah
film haruslah dengan biaya yang sangat mahal dibanding memproduksi sebuah foto.
Sifat-sifat yang dimiliki oleh film tidak
21

se-fleksibel foto ketika ingin

mempublikasikannya.

Film

tidak

memiliki

sifat

spaceless,

karena

untuk

mempublikasikannya dibutuhkan peralatan khusus yang bisa menayangkannya.
Walaupun sudah memasuki era multimedia, foto masih mempunyai ruang tersendiri
dalam kebudayaan visual. Di mana foto dan film mempunyai dan bergerak di ruang
masing-masing untuk mempengaruhi masyarakat.
Kekuatan foto dalam kebudayaan visual dapat dibuktikan dengan banyaknya
konsumsi masyarakat terhadap kamera foto. Dalam melihat hasil foto tidak
dibutuhkan sebuah peralatan khusus, seperti saat masyarakat ingin melihat hasil yang
diproduksi dari kamera video. Foto bisa dilihat setiap saat dan di mana saja. Ini yang
menjadikan media komunikasi yang disebut dengan foto ini mempunyai sifat
timeless. Foto merupakan media komunikasi yang tidak akan lekang oleh waktu,
karena tidak membutuhkan perawatan yang khusus untuk menyimpan dokumendokumen yang berbentuk foto. Sifat foto yang sangat fleksible membuat media ini
banyak digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu di media massa.
Pada abad ke-19 para ilmuwan mengira bahwa apa yang ditangkap pancaindra
kita sebagai sesuatu yang nyata dan akurat. Para psikolog menyebut mata sebagai
kamera dan retina sebagai film yang merekam pola-pola cahaya yang jatuh di
atasnya. Para ilmuan modern menantang asusmsi itu: kebanyakan percaya bahwa apa
yang kita amati dipengaruhi sebagian oleh citra retina mata dan terutama kondisi
pikiran pengamat (Zannes, 1982:27). Oleh karena itu gambar-gambar dalam media
visual tersebut mengkonstruksi pikiran manusia melalui suatu proses aktif dan kreatif
yang biasa disebut presepsi. Presepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita
memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan
proses tersebut akhirnya mempengaruhi perilaku kita (Baron, Paulus, 1991:34). Pada
akhirnya kebudayaan visual melalui pencitraan fotografis mempunyai pengaruh yang
sangat kuat dalam kehidupan kebudayaan visual manusia dalam kerangka
pembentukan realitas dalam opini masyarakat.
Sebuah realitas dapat dikonstruksikan melalui sebuah media foto. Dimana
didalamnya berbagai unsur visual disusun, mulai dari komposisi warna, pose, angle,
set background, untuk menyusun sebuah pesan komunikasi yang ditujukan untuk
22

membuat pesan yang mampu membentuk opini masyarakat terhadap objek yang
terdapat dalam foto tersebut. Sebuah foto merupakan bentuk an institutional activity
yang berkaitan erat dengan aktivitas sosial, yaitu sebuah hubungan dengan realitas
dan berada dalam kondisi kultural dan mempunyai fungsi untuk mengintegrasikan
manusia (Barthes, 1977:31). Dalam bahasa lain, sebuah foto merupakan
representational realism, merepresentasikan kenyataan sosial untuk dihadirkan ke
dalam publik (Slater dalam Jenk, Ed, 1995:222). Foto sebagai sebuah media
komunikasi visual juga mempunyai the function of art, seperti dikemukakan oleh
Alan Gowans dalam buku The Unchanging Art: New Form for the traditional
function of Art in Society, yang mengatakan bahwa sebuah karya seni harus selalu
menunjukan empat unsur, yaitu; realitas kedua; pengilustrasian; persuasif; dan
pengindahan. Slater (Jenk-ed, 1995:223) menempatkan foto pada tiga realitas yang
disebutnya sebagai trivial realism yang meliputi:
1) Representational Realism, yang memaparkan kenyataan realis yang
dijabarkan pada kode-kode representasi realistis yang dimuat di berbagai
media.
2) Ontological atau Existential Realism, yang menyatakan bahwa eksistensi
sebuah gambar dalam sebuah foto tergantung pada eksistensi realitas obyek
dalam dunianya.
3) Mechanical Realism, bahwa teknologi fotografi telah membawa modernitas
ke dalam bentuk representasi.
Ketiga realitas ini menempatkan sebuah foto sebagai gambar yang
berinteraksi dan memunculkan penafsiran secara kontekstual, karena foto juga tidak
sekedar gambar yang mewakili realitas sosialnya.
Milgram, seorang psikologi sosial, berpendapat bahwa sebuah foto tidak
hanya merefleksikan realitas tetapi juga memberikan efek pada sebuah realitas,
(society, November/December 1976:12): “…The official photograph is not only a
reflection of the political reality, but itself solidifies that reality and becomes an
element in it...” Sebuah foto dapat dikatakan sebagai suatu hasil gambar yang yang
merepresentasikan keadaan realitas disekitar kita, karena sebuah foto dapat
23

menghasilkan gambar tentang apa yang terdapat dan terjadi pada lingkungan sekitar
kita secara real. Bahkan sebuah foto juga tidak hanya merefleksikan tentang realitas
politik saja, tetapi sebuah foto tersebut dapat juga menjadikan sebuah realitas sebagai
bagian dari gambar foto dan menjadi salah satu elemen didalam foto. Jadi sebuah foto
itu tidak selamanya berperan sebagai cermin kenyataan, tetapi dalam sebuah foto kita
bisa membuat sebuah konstruksi realitas seperti yang di inginkan oleh si pembuat
foto tersebut. Perkembangan fotografi digital membuat perubahan drastis tentang
makna sebuah foto karena realitas dari sebuah foto bisa dikonstruksikan dengan apa
yang akan dibuat dalam sebuah foto itu sendiri.
b. Pencitraan karakter tokoh politik melalui personal branding
Dwijowijoto (2004:16), menyatakan dalam dunia politik dikenal sebuah
ungkapan “politics is about image and image is reality”. Akhirnya citra menjadi
sebuah faktor penentu daripada kenyataan itu sendiri. Citra kandidat yang ditunjukan
oleh tokoh politik tersebut biasa disebut dengan personal brand. Personal brand
merupakan identitas pribadi yang mampu menciptakan sebuah respon emosional
terhadap orang lain mengenai kualitas dan nilai yang dimiliki orang tersebut. Untuk
mendapatkan personal brand yang impresif, dibutuhkan strategi personal branding
yang kuat. Menurut Peter Montoya, personal branding adalah sebuah proses yang
melibatkan kemampuan, personalitas, dan karakter unik seseorang