Perubahan Konsep Perkotaan di Indonesia

Perubahan Konsep Perkotaan di Indonesia dan Implikasinya Terhadap Analisis
Urbanisasi
Oleh : Nugraha Setiawan
Universitas Padjadjaran, Bandung, Tahun 2005
Reviewer : Muhammad Fauzan Ramadhan
NIM : 15/379395/GE/08025
Urbanisasi memiliki arti yang sangat beragam dan secara garis besar
berarti urbanisasi adalah sebuah proses bertambahnya suatu penduduk perkotaan.
Yang mana bertambahnya ini disebabkan beberapa hal antara lain migrasi
penduduk dari desa ke kota atau migrasi antar negara, kelahiran di perkotaan, dan
adannya ekspansi wilayah perkotaan. Pengertian Urbanisasi ini berbeda sekali
dengan pengertian migrasi desa-kota. Dewasa ini istilah urbanisasi semakin
berubah, yang mana semakin banyak orang awam yang menganggap urbanisasi
sebagai migrasi desa – kota. Padahal dalam artian sebenarnya tidak hanya migrasi
desa – kota saja tapi juga adanya ekspansi kelahiran di kota. Adanya perubahan
desa menjadi kota (secara yuridis administratif) juga merupakan salah satu
indikasi terjadi urbanisasi. Urbanisasi juga memiliki definisi yang berbeda dalam
setiap negara, sehingga melakukan perbandingan urbanisasi antar negara juga
merupakan masalah yang sering ditemui ketika melakukan analisis urbanisasi. Di
indonesia, pada tahun 1961 – 2000 juga mengalami perubahan konsep perkotaan.
Perubahan konsep perkotaan juga memiliki pengaruh terhadap analisis urbanisasi,

karena hal ini akan menyebabkan analisis menjadi kurang bermakna dan bahkan
menjadi salah. Dengan memahami konsep perkotaan akan menyebabkan hasil
analisis yang baik dan kebijakan (yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang)
akan menjadi lebih baik pula.
Pada tahun 1961 penggolongan desa dan kota di lakukan dengan
komparasi spasial aspek-aspek kependudukan, sosial-budaya, dan ekonomi.
Sehingga perbedaan antara desa dan kota tidak hanya dicirikan dari fisik
lingkungan wilayah, tetapi ditunjukkan pula oleh perubahan karakteristik sosial-

ekonomi penduduk serta aksesibilitas terhadap infrastruktur. Sebuah desa
dinamakan sebagai perkotaan apabila memenuhi salah satu dari tiga kriteria ini
yaitu :
1. Desa tersebut terdapat di kota madya;
2. Desa tersebut terdapat di ibu kota kabupaten, dan;
3. Desa tersebut 80 persen atau lebih penduduknya bekerja pada selain
sektor pertanian, meskipun lokasinya tidak terdapat pada kotamadya
ataupun ibu kota kabupaten
Pada tahun 1961 kategori desa dan perkotaan hanya menggunakan posisi
kewilayahan dan sektor pekerjaan, sedangkan untuk masalah fasilitas dan juga
aksesibilitas belum di pertimbangkan sebagai kriteria dalam mendefinisikan desa

maupun kota.
Konsep pada tahun 1971 telah mengalami penyempuranaan konsep
perkotaan. Dengan ciri telah memasukan keberadaan fasilitas perkotaan di desa
seperti rumah sakit, sekolah, dan listrik mulai masuk dalam pertimbangan apakah
wilayah tersebut merupakan desa atau kota. Tetapi batasannya relatif sederhana.
Terdapat empat kriteria dalam menentukan wilayah tersebut adalah desa atau kota,
apabila memenuhi salah satu kriteria tersebut maka dikatakan wilayah tersebut
adalah perdesaan, yaitu :
1. Desa tersebut terdapat di kota madya;
2. Desa tersebut terdapat di ibu kota kabupaten;
3. Desa tersebut 80 persen atau lebih penduduknya bekerja pada selain
sektor pertanian, dan;
4. Desa tersebut 50 persen atau lebih penduduknya bekerja pada selain
sektor pertanian dan memiliki tiga fasilitas perkotaan ( Rumah sakit,
Sekolah, dan Listrik).
Penyempurnaan konsep perkotaan secara lebih progresif terjadi ketika
sensus penduduk 1980. Karena indikator posisi kewilayahan sebuah desa (seperti
terletak di kotamadya atau ibu kota kabupaten) tidak lagi diperhitungkan. Variabel
kepadatan penduduk mulai digunakan dalam tahun ini, dan digunakan skor
ordinal untuk setiap kelipatan kepadatan tertentu. Variabel fasilitas perkotaan di


perbanyak menjadi 18 macam. Sistem skoring untuk menentukan sebuah desa
atau pun kota menggunakan tiga variabel, yaitu Kepadatan penduduk, persentase
penduduk yang bekerja pada sektor pertanian dan jumlah fasilitas perkotaan.

Terdapat beberapa kriteria pula yang digunakan dalam membedakan desa dan kota
pula, apabila memenuhi salah satu maka dianggap sebagai kota, yaitu :
1. Desa tersebut memiliki akumulasi skor dari tiga variabel (KPD+PRT
+JFU) sebesar 21 atau lebih.
2. Desa tersebut memiliki akumulasi skor dari variabel KPD+PRT+JFU
antara 19 – 21, asal memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Jarak dari desa ke desa terdekat yang tergolong perkotaan kurang dari 5
km, berdasarkan penilaian tim lapangan kondisi desa adalah perkotaan,
dan prospek perkembangan desanya sedang.
b. Jarak dari desa ke desa terdekat yang tergolong perkotaan kurang dari 5
km, berdasarkan penilaian tim lapangan kondisi desa mendekati kondisi
perkotaan, dan prospek perkembangan desanya cepat.
Konsep perkotaan tahun 1980 dan 1990 memiliki konsep yang sama, hal ini
dikarenakan konsep perkotaan dalam tahun 1980 masih dianggap relevan pada
tahun 1990.


Konsep perkotaan pada tahun 2000 hampir sama didalam menetukan desa
atau kota. Perubahan yang mendasar dilakukan pada variabel jumlah fasilitas
perkotaan menjadi keberadaan dan akses terhadap fasilitas perkotaan. Penentukan
jarak yang dianggap mudah untuk mengakses fasilitas perkotaan tidak sama antar
jenis fasilitas, tergantung dari jumlah keberadaan jenis fasilitas tersebut. Sistem
skoring juga di lakukan seperti tiga variabel pada tahun 19980 tetapi memiliki
penilaian yang berbeda.

Sebuah desa di kategorikan sebagai perkotaan apabila bisa memenuhi poin
minimal 10.
Implikasi perubahan konsep perkotaan ini terhadap analisis urbanisasi
adalah tidak bisanya dilakukan perbandingan pada setiap tahunnya karena adanya

perbedaan konsep konsep setiap tahun sensus dilakukan. Apabila ingin
mengetahui tingkat urbanisasi yang terjadi maka perlu dimiliki data lengkap
mengenai desa-desa atau kota yang terklasifikasi pada setiap sensus penduduk
yang berbeda. Sebagai contoh apabila ingin mengetahui tingkat urbanisasi pada
tahun 1990 – 2000 maka perlu diketahui bagian mana saja pada tahun 2000 yang
tidak termasuk desa didalam tahun 1990 begitu pula untuk perkotaan, sehingga

penduduk perkotaan hasil dari tahun 2000 bisa dikurangi dengan penduduk
perkotaan yang baru terklasifikasi pada tahun 2000.
Beragamnya konsep perkotaan pada tahun tahun yang berbeda
menyebabkan analisis urbanisasi secara spasial maupun waktu menjadi sedikit
susah. Konsep perkotaan yang sama ialah hanya pada tahun 1980 dan 1990.
Apabila melakukan analisis secara regional perubahan konsep perkotaan tidak
terlalu memberikan dampak yang besar. Tetapi dalam analisis terhadap waktu
memberikan dampak yang besar karena konsep yang berbeda beda.
Artikel ini melakukan pembahasan di dalam pengertian kota menurut
waktu. Dibuktikan dengan melakukan analisis terhadap pengertian pengertian
yang dilakukan pada setiap waktu sensus dilaksanakan. Terlihat pula setiap
tahunnya konsep dari perkotaan hampir pasti berubah. Tetapi dari pengertian
urbanisasi tidak mengalami sebuah perubahan (dalam hal pemaknaan) sehingga
dalam melakukan kajian urbanisasi pada setiap tahunnya akan memiliki kesulitan
dalam melakukan analisis.
Kekurangan dari artikel ini terlihat dari pengertian perkotaan hanya
menggunakan pembanding waktu, dan tidak menggukan dari pengertian para ahli.
Sehingga menurut saya makna dari perkotaan ini hanya di bandingkan terhadap
perbedaan waktu dengan melihat perbandingan dari pandangan para ahli. Untuk
menjelaskan tentang perkotaan juga sudah terlihat sangat jelas dan bagus,

sehingga meskipun hanya menggunakan definisi dari sensus penduduk, dapat di
peroleh dengan mudah maksud sang penulis. Konsep melakukan analisis
urbanisasi terhadap tahun juga di jelaskan dalam artikel ini, sehingga dapat
memberikan gambaran ketika melakukan analisis urbanisasi terhadap waktu.

DAFTAR PUSTAKA
ANGGLENI, A., Rini Rachmawati, M. T., & Giyarsih, S. R. (2015). KINERJA
PELAYANAN PENGURUSAN KARTU TANDA PENDUDUK ELEKTRONIK
(KTP-el) DI KECAMATAN RAMBANG DANGKU KABUPATEN MUARA ENIM
(Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).
DWIHATMOJO, R., Luthfi Muta'ali, M. T., & Giyarsih, S. R. (2015). Kajian Ruang
Terbuka Hijau di Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan (Doctoral
dissertation, Universitas Gadjah Mada).
Febriyanti, A. D., & Ariastita, P. G. (2013). Optimasi Penggunaan Lahan Perkotaan di
Kawasan Perkotaan Mejayan Kabupaten Madiun. Jurnal Teknik ITS, 2(2), C123C128.
Giyarsih, S. R. (1999). Mobilitas Penduduk Daerah Pinggiran Kota. Majalah Geografi
Indonesia, 13(1999).
Giyarsih, S. R. (2010). URBAN SPRAWL OF THE CITY OF YOGYAKARTA,
SPECIAL REFERENCE TO THE STAGEOF SPATIAL TRANSFORMATION
(Case Study at Maguwoharjo Village, Sleman District). Indonesian Journal of

Geography, 42(1), 49-60.
Giyarsih, S. R. (2011). Gejala Urban Sprawl sebagai Pemicu Proses Densifikasi
Permukiman di Daerah Pinggiran Kota (Urban Fringe Area) Kasus Pinggiran Kota
Yogyakarta. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, 12(1), 39-45.
Giyarsih, S. R. (2015). DAMPAK TRANSMIGRASI TERHADAP TINGKAT
KESEJAHTERAAN WARGA TRANSMIGRAN DI DESA TANJUNG KUKUH
KECAMATAN SEMENDAWAI BARAT KABUPATEN OGAN KOMERING ULU
TIMUR PROVINSI SUMATERA SELATAN (Doctoral dissertation, Universitas
Gadjah Mada).
Giyarsih, S. R. (2015). Pemetaan Kelembagaan dalam Kajian Lingkungan Hidup
Strategis DAS Bengawan Solo Hulu. Jurnal Sains&Teknologi Lingkungan, 2(2).
Giyarsih, S. R. (2016). Koridor Antar Kota Sebagai Penentu Sinergisme Spasial: Kajian
Geografi Yang Semakin Penting. TATALOKA, 14(2), 90-97.
Giyarsih, S. R., & Kurniawan, A. (2015). PERSEPSI DAN TINGKAT KEPUASAN
MASYARAKAT MISKIN TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN DI PUSKESMAS
KELURAHAN 3-4 ULU KOTA PALEMBANG (Doctoral dissertation, Universitas
Gadjah Mada).

Giyarsih, S.R. 2010a. Pola Spasial Transformasi Wilayah di Koridor YogyakartaSurakarta dimuat dalam Jurnal Forum Geografi, Fakultas Geografi UMS, 24(1) :
28-38.


Giyarsih, Sri Rum, and Muhammad Arif Fahrudin Alfana. (2013). "The Role of Urban
Area as the Determinant Factor of Population Growth." Indonesian Journal of
Geography 45.1.

Harini, R., Giyarsih, S. R., & Budiani, S. R. (2005). Analisis Sektor Unggulan dalam
Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah Istimewa Yogyakarta. Majalah Geografi
Indonesia, 19(2005).

Hidayat, O., & Giyarsih, S. R. (2012). Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Universitas
Gadjah Mada Tentang Bahaya Penyakit AIDS. Jurnal Bumi Indonesia, 1(2).
Pristiani, Y. D., & Giyarsih, S. R. (2014). Evaluasi Pelaksanaan Program Business
Coaching Bagi Pemuda Wirausaha Baru Bank Indonesia Dan Implikasinya
Terhadap Ketahanan Ekonomi Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (Studi di
Bank Indonesia Cabang Yogyakarta) (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah
Mada).
Setiawan, Nugraha, 2005, Perubahan Konsep Perkotaan di Indonesia, Universitas
Padjajaran Tahun 2005,
Setyono, J. S., Yunus, H. S., & Giyarsih, S. R. (2016). THE SPATIAL PATTERN OF
URBANIZATION AND SMALL CITIES DEVELOPMENT IN CENTRAL JAVA:

A CASE STUDY OF SEMARANG-YOGYAKARTA-SURAKARTA REGION.
Geoplanning: Journal of Geomatics and Planning, 3(1), 53-66.
Sriartha, I. Putu, and Sri Rum Giyarsih. (2015). "Spatial Zonation Model of Local
Irrigation System Sustainability (A Case of Subak System in Bali)." The
Indonesian Journal of Geography 47.2: 142.
Sriartha, I. Putu, Suratman Suratman, and Sri Rum Giyarsih. 2015. "The Effect of
Regional Development on The Sustainability of Local Irrigation System (A Case of
Subak System in Badung Regency, Bali Province)." Forum Geografi. Vol. 29. No.
1.
SUSANTI, S., M Baiquni, M. A., Giyarsih, S. R., & Si, M. (2015). STRATEGI
PENGHIDUPAN MASYARAKAT KORBAN LUMPUR PANAS SIDOARJO
SETELAH RELOKASI PERMUKIMAN DI DESA KEPATIHAN KECAMATAN
TULANGAN KABUPATEN SIDOARJO (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah
Mada).

Tajuddin, L., Rijanta, R., Yunus, H. S., & Giyarsih, S. R. (2015). MIGRASI
INTERNASIONAL PERILAKU PEKERJA MIGRAN DI MALAYSIA DAN
PEREMPUAN DITINGGAL MIGRASI DI LOMBOK TIMUR. Jurnal Kawistara,
5(3).