Harta yang Paling Berharga dari sajak

Harta yang Paling Berharga
Malam ini. Detik ini. Aku sedang menatapi sebuah benda yang tengah
kugenggam. Sembari duduk manis di sisi ranjang tidurku. Semakin dalam ku
memandangi benda ini, tiba-tiba saja terlukis seberkas ingatan yang begitu saja
terlintas di pikiranku.
‘Ini hadiah dari ayah..’ kata kata terakhir yang beliau ucapkan, sebelum almarhum
meninggalkanku untuk selamanya. Isak tangis kian mengiringiku pada saat itu. Itu
adalah hari dimana aku mendapat benda ini dari sesosok yang sangat kucintai.
Ayahku.
Benda yang beliau beri berupa sebuah liontin beberbentuk wajik berwarna biru safir.
Mungkin beliau berpikir, ini adalah benda yang cukup cocok untuk menggantikan
posisinya. Tidak. Ini hanya benda kenangan.
Sejenak aku merebahkan diri ke tengah ranjang. Memandang langit-langit kamar.
Rasa mengantuk pun mulai menghinoptisku. Lagipula hari sudah larut, tidak baik jika
anak seumuranku – 15 tahun – tidur terlalu malam.

Kicauan burung terdengar syahdu, menuntut diriku untuk terbangun dan melanjuti
rutinitas seperti biasanya. Aku pun beranjak dari ranjangku, lalu membuka tirai
jendela. Suasana pagi dengan lembutnya menyambut diriku. Aku kembali melirik
ranjangku yang tidak terlalu berantakan. Di dekat bantal ku lihat sebuah benda kecil
berkilau, yang tidak lain dan tidak bukan merupakan sebuah liontin. Liontin yang aku

pandangi semalam. Tanpa berpikir dua kali, aku mengambilnya dan meletakkannya di
dalam tas sekolah. Sama seperti hari hari kemarin.

Jam telah menunjukan pukul 06.10. Sudah waktunya bagiku untuk mempersiapkan
diri ke sekolah. Sekolah sudah bagaikan rumah kedua bagi diriku.

“Anak-anak, mungkin segitu dulu yang bisa saya ajarkan. Kita lanjutkan saja pada
pertemuan minggu depan,” ujar seorang guru kepada murid-murid kelasnya.
“Baik!” sahut murid-muridnya serempak.
Lalu guru itu pergi ke luar kelas. Sedangkan, murid-muridnya berhamburan keluar
dari tempat duduknya masing-masing.
“Hei, Nirla, mau ikut ke kantin nggak?” tawar temanku -Rima- kepadaku.

Aku hanya menyahut dengan sebuah anggukan yang berarti ‘Iya’. Lantas aku bangun
dan mengikuti langkahnya menuju kantin.

Sampai disana, aku hanya membeli sebungkus snack dan sekotak minuman
Sementara Rima membeli sebungkus snack dan sekotak minuman pula, tetapi dengan
merek yang berbeda.


Selang beberapa saat kemudian, kami telah tiba di kelas. Tampak seorang gadis
tersenyum hangat seraya melambaikan tangannya ke arahku. Dia adalah Sarah, teman
sebangkuku. Kami pun – aku dan Rima segera mendekati tempat dia berada. Di
bangkuku.
“Sarah, kau tengah senang yah?” tebak Rima begitu sampai.
“Hmn, mungkin iya, mungkin juga tidak,” sahut Sarah dengan alisnya yang dinaikkan
sebelah.
Entah kenapa aku tidak mempedulikan percakapan mereka berdua. Malahan,
sekarang aku sedang sibuk mengobrak-abrik isi tasku. Mencari benda yang paling
berarti bagiku itu.
“Ada-ada saja kau Sarah,” pekik Rima sembari tertawa garing.
“Hn, Sarah, Rima ada liat liontinku?” tanyaku yang sukses mengalihkan perhatian
mereka kepadaku. Mereka hanya bingung sambil memerhatikan satu sama lain.
“Tidak, aku tidak lihat” balas Rima terlebih dulu. Dengan tatapan yang meyakinkan.
“Aku juga tidak melihat, Nir,” jawab Sarah tak lama setelah Rima menjawab tadi.
“Bukannya sudah kubilang, sebaiknya benda beharga seperti itu jangan dibawa ke
sekolah,” nasihat Sarah, seolah tahu apa yang aku pikirkan. Mungkin dia membaca
dari raut wajahku yang sudah panik.
“Tapi.. tapi,” pekikku kehabisan kata-kata.
“Mungkin ketinggalan di rumah!” kata Rima tiba-tiba mengungkap opininya.

“Tidak mungkin, jelas-jelas aku pagi hari tadi meletakannya dalam tas,” bantahku
terhadap masukan dari Rima.
“Kalau begitu, aku tidak tahu-menahu,” ucap Rima dengan kepalanya yang
digelengkan.
“Aku pun,” ikut Sarah.

Aku hanya bisa mendesah kesal dan memalingkan wajah dari kedua sahabatku ini.
“Mungkin masih di rumahmu. Cari-cari saja lagi,” ujar Sarah berusaha
menenangkanku.
“Huft, baiklah,” jawabku mengalah, bisa jadi mereka ada benarnya.

Bel sekolah berbunyi, memanggil seluruh siswa dan guru untuk kembali ke kelas
masing-masing serta melanjutkan aktifitas belajar-mengajar.

Pulang sekolah. Keadaan rumah kosong, dikarenakan ibuku sedang sibuk kerja di
luar. Aku kini duduk di sofa empuk sembari melepas lelah. Kondisiku yang masih
mengenakan seragam sekolah dan tas menempel pada punggungku, membuatku tak
memiliki waktu lama untuk bersantai. Aku pun segera beranjak menuju kamar untuk
mengganti seragam ini dengan baju rumahan biasa.
Pikiranku kembali terbawa oleh ucapan temanku tadi. Mencari liontinnya di rumah.

Tanpa memikirkan hal lain, aku lantas mencari liontin itu ke seluruh penjuru kamar.
Di meja belajar, lemari baju, hingga ruang sempit di bawahan tempat tidur. Selang
beberapa saat, hasilnya nihil, aku tidak menemukannya.
Perasaan panik dan putus asa berkecamuk di dalam diriku. Air mataku menetes
seketika, seolah tak dapat dibendung lagi.

Kulangkahkan kakiku menuju luar, meninggalkan ruangan kamarku yang sudah
bagaikan kapal pecah. Hingga berhenti di sebuah teras belakang rumah. Disana aku
berdiam diri, menatap sendu lingkungan sekitarnya. Lalu duduk bersila di bawah
pohon yang rindang, menghindari terpaan langsung sinar matahari. Desiran suara
pohon akibat angin yang mendayu-dayu kian mengiringi kegalauan diriku.
Di tengah suasana ini, aku mendengar derap langkah kaki dari belakang. Aku
menoleh. Terlihat seseorang – yang sepertinya perempuan mengenakan pakaian biasa
dengan sarung yang hampir menutupi seluruh wajahnya, kecuali mata. Ia tampaknya
tak menyadari keberadaanku disini. Gerak-geriknya yang tampak mencurigakan pun
mengundangku untuk bertanya.
“Hei yang disana! Apa yang kau lakukan?” tanyaku dengan nada ketus. Ia melihat ke
arahku.
“Ti-tidak ada melakukan apa-apa..” sahutnya gugup, suaranya terdengar berat karena
tertutup sarung. Iapun membalikan badan lalu berlari menjauh.


“Tunggu!” panggilku dengan nada tinggi. Ia melirik ke belakang, matanya pun
menatap heran seakan mengatakan ‘Apa?’
Aku lalu berdiri, “Bisakah menemaniku sebentar?” kata-kata itu begitu saja terlontar
dari mulutku, aku pun merutuki diriku sendiri terhadap apa yang baru saja kukatakan.
Aku menunduk malu.
Ia pun melepas sarung yang menutupi wajahnya. Ternyata benar, ia seorang
perempuan. Dia pun berjalan ke arahku.
“Maaf,” katanya menyesal.
Aku pun menatapinya dari kepala sampai kaki. Dia lebih tinggi, kurasa ia umurnya
lebih tua ketimbang aku. Aku memiringkan kepala.
“Maaf… kenapa?” tanyaku pada akhirnya.
“Abaikan saja, kau meminta aku menemanimu sebentar kan?” ia mengulang
pertanyaanku tadi. Aku hanya menggangguk.
“Hmmm… baiklah!” kini ia tersenyum. Aku tak percaya, padahal, kami baru
berkenalan tak sengaja kurang dari tiga puluh menit lalu.
“Kau sendirian di rumah?” tanyanya kemudian, mengawali pembicaraan. Aku
mengangguk, “Iya, aku sendirian di rumah,” sahutku mempertegas anggukan tadi
sambil duduk bersila di bawah pohon rindang ini, seperti yang barusan kulakukan.
“Ayah dan ibumu dimana?” ia juga ikut duduk di sampingku dengan sorot matanya

yang mengarah kepadaku pula.
“Ibu sedang sibuk bekerja di luar, sedangkan ayah…” aku kembali teringat hal
tersebut. Aku meringis, kepala kutundukan. Aku benar-benar tak tahu, kenapa
topiknya sampai beralih kesana.
“Ka.. Kau tidak apa?” tanyanya kembali dengan nada khawatir.
“Tidak, hanya.. teringat pada suatu hal..” lirihku.
Kemudian aku menceritakan semua hal yang terjadi. Apa yang kuingat, kuceritakan
semua, termasuk kejadian di sekolah tadi. Ia mendengarkannya hanya mangutmangut, seakan sudah menyiapkan beberapa saran dari pengalaman yang
kucurhatkan.
“… dan aku kehilangan liontin milik ayah tadi pagi.” raut nada-nada penyesalan
terucap pada kata-kata yang mengakhiri acara curhatku.
“Setiap manusia pasti akan meninggal pada akhirnya,” jedanya, aku menoleh. Kini, ia
tengah menatap kosong keadaan depannya, “Ayahmu memang telah lenyap di dunia

ini, tetapi, ia masih hidup di hatimu,” aku memiringkan kepala, “Aku tahu, jika kita
tak akan melihat orang yang disayangi di samping kita pasti akan meninggalkan
kesedihan yang mendalam. Namun, disanalah kita harus mengenal kata sabar.”
timpalnya lagi.
Aku mencerna tiap ucapan yang ia lontarkan. Ada benarnya juga, aku pun mangutmangut tanda mengerti.
“Dan liontin itu.. hanyalah sebuah benda. Tepatnya benda kenangan dari ayahmu

bukan?”
“Hmph.”
“Kendati demikian, benda hanyalah benda, tak dapat menutup rasa rindumu pada
ayahmu..” sarannya, mengetuk pintu kesadaranku. Rasanya, seolah diriku telah
terhipnotis untuk keluar dari keterpurukan ini.
Aku berdiri kembali. Kulangkahkan kakiku beberapa meter dari tempat semula.
Menghindari pohon rindang tadi yang menghalangiku menatap langit. Sinar matahari
yang lumanyan panas mulai menerpa diriku. Aku menengadah. Sorot mataku
menerawang hamparan laut biru cerah, diikuti dengan kapas-kapas putih lembut yang
melayang menghiasinya. Kuangkat tangan kananku, kucoba meraih langit itu dengan
jemariku, kujinjitkan kakiku.
“Ayah, apa kau ada disana? Disini Nirla lagi bercengkrama sama teman barunya Nirla
lho, namanya…” sejenak, aku baru ingat, aku belum menanyakan siapa namanya.
“Fidaa… namaku Fida!” teriaknya memberitahuku nama dirinya. Tak kusadari, sedari
tadi ternyata ia sudah melihat gerak-gerikku. Aku hanya menoleh seraya melempar
senyum terimakasih.
“Fida.. Kak Fida namanya. Ayah, aku sangat merindukan ayah, bisakah kita nanti
bertemu di dunia mimpi? Biarku tubuhku ini merasakan terakhir kali pelukan ayah!
Ayah, maafin ya kesalahan yang Nirla pernah lakukan, termasuk menghilangkan
liontin itu! Ayah, aku harap ayah mendengarkan kata-kata yang Nirla ucapkan!

Ayah…” aku melampiaskan semua yang terlintas di benakku.
Ku menutup jemariku yang sedari tadi mengembang, tertanda aku telah mengepal
kuat berbagai kalimat yang kulontarkan baru saja. Air mata kembali mengucur.
“Janganlah memendamnya, itu akan menjadi beban bagi diri sendiri. Bicarakan saja,
walaupun akan dianggap orang gila, yang penting beban-beban tersebut akan terasa
lebih ringan.” kesimpulanku berdasarkan apa yang kuperbuat tadi. Ya, kata-kata tadi
memang sudah kupendam sejak lama.

Aku melirik ke Fida. Ia tampak sedang mengusap air matanya, mungkin ia juga
terlarut ke dalam suasana ini. Sesudah itu, pandangan kita bertemu. Ia tersenyum
kembali, mengisyaratkan sebuah kata pujian untukku.
Diriku kembali berlangkah gontai menuju tempat Fida duduk. Tepatnya di bawah
pohon rindang tadi. Tempat yang cukup nyaman untuk berteduh. Sampai disana, aku
duduk sejajar dengannya, sambil mengibas-ngibaskan tanganku, merutuki panasnya
sekarang ini.
Satu menit berlalu hening menyelimuti kita. Tak ada sepatah kata pun. Kita
sepertinya sedang enggan untuk membuka topik terlebih dahulu.
“Hmn, sebenarnya apa tujuan kak Fida kemari?” tanyaku memberanikan diri
membuka pembicaraan. Ia terlihat sangat gelisah aku menanyai hal tersebut. Bagiku,
cukup lama proses berpikirnya untuk menjawab pertanyaanku itu.

“Aku… aku.. sebenernya niatan mencuri kesini,” pengakuannya. Aku pun terbelalak.
“A—” baru saja aku akan mengomentari pengakuannya, ia sudah membungkam
mulutku terlebih dahulu dengan kedua tangannya. Mataku membulat, kaget atas
perlakuannya.
“Maaf, sebenarnya aku ingin pulang ke desa, ibuku sakit keras disana. Sementara,
aku tak memiliki uang yang cukup untuk membiayai obat maupun ongkos kereta
kesana. Oleh karena itu, aku nekat mencuri! Maaf! Aku benar-benar meminta maaf!”
Desahnya disertai raut wajah khawatir tertera jelas, berharap agar aku akan menerima
permintaan maafnya.
Aku mengerti keadaannya, “Ayo, ikuti aku,” responku kemudian. Ia melepaskan
tangannya yang dari tadi menatup di mulutku. Dan mengikutiku berjalan ke tempat
yang kutuju.
Aku percaya pada Fida, ia tak mungkin berbohong. Mengingat banyak kata-kata
mutiara yang ia lontarkan sedari tadi. Menghiburku agar menjauhi duka yang
kurasakan. Mungkin, ini dapat membalas rasa terimakasihnya dengan cara ini.

“Apa segini cukup?” tanyaku seraya memperlihatkan lembaran-lembaran rupiah di
tanganku.
“Iya, ini cukup! Sangat cukup, mungkin lebih!” serunya riang, “Terimakasih, Nirla!
Terimakasih!” Fida pun menerima uang itu dengan perasaan bersyukur.

“Tapi…” sengaja aku menjeda kalimatku. Ia menoleh kemari. Menanti perkataan
selanjutnya yang akan kuucapkan. “Tapi, apakah kita akan dapat bertemu lagi?”

Ia membisu. Tak menyahut sepatah kata pun.
“Pasti! Aku yakin, di suatu hari nanti kita pasti akan bertemu bahkan menjadi teman
yang akrab!” janjinya. Telapak tangannya dikepal kuat-kuat bertanda ia yakin bahwa
akan mengabulkan janji itu di suatu hari nanti.
“Jangan bohong ya,” timpalku. Ia mengagguk mantap. “Ngomong-ngomong, kita
belum berkenalan secara resmi. Perkenakan, namaku Nirmala Ithania, 15 tahun!”
salamku, menjulurkan tangan kanan.
“Namaku Fidani Aria, 19 tahun!” salamnya pula, sambil membalas uluran tanganku.
Benar, rupanya ia memang lebih tua ketimbang aku. Kami tersenyum tipis.
Lalu, aku mengantarnya sampai gerbang depan rumah. Memandanginya pergi dengan
tangan yang dilambaikan. Menatapnya hingga bayangannya hilang dari pelupuk
mata.
Tidak. Aku tak boleh menangis. Ia akan mengunjungiku suatu hari nanti. Aku yakin
itu. Aku yakin, ia pasti tak akan mengingkari janjinya.

Pagi hari telah tiba. Seperti biasa, aku mempersiapkan persiapan untuk sekolah. Tapi,
tidak seperti hari-hari sebelumnya juga, kali ini aku bersekolah lebih pagi. Karena,

sekarang adalah hari dimana aku piket membersihkan kelas.
Tiba di sekolah. Rupanya hanya ada tiga sampai empat orang saja yang berkeliaran di
halaman sekolah, sementara sisanya mungkin sedang ada di dalam kelas masingmasing, atau memang belum sampai ke sekolah. Aku pun berjalan menuju ke kelas
yang tak begitu jauh dari tempatku berada sekarang.
Tak lama, aku sampai di depan jendela kelasku yang masih tertutup oleh gorden.
Bermaksud iseng, aku mengintip dari celah gorden. Tampak dua orang yang sangat
kukenal yaitu Rima dan Sarah. Benar-benar belum ada yang datang, selain mereka
berdua dan aku.
“Rima, kau tau… sebenarnya.. akulah yang mencuri liontin milik Nirla,” terdengar
suara Sarah begitu jelas sampai disini.
Aku tersentak kaget. Pengakuan macam apa itu?, tanpa ingin menguping ulasannya
berikutnya, aku langsung saja lari pontang-panting ke dalam kelas. Mendobrak keras
pintunya.
“APA KAU BILANG?!” seruku diiringi kemarahan. Sarah hanya terkejut lalu
membungkam, menutup kedua mulutnya dengan kedua tangannya. “MENGAPA
KAU MENCURI LIONTINKU??”

“Itu… itu.. karena…” ia kehabisan alasan.
“DAN KENAPA KEMARIN KAU MENCURI LIONTINKU.. TAPI SAAT
KUTANYAKAN, KAU TAK TAHU-MENAHU MENGENAI HAL ITU??!”
bentakku dengan tingkat kemarahan yang melebihi batas. Aku menapakkan kakiku
keras-keras ke arahnya.
“Nirla…” lirihnya -Sarah- menatapku.
“Sudah.. cukup!” jerit Rima tiba-tiba, “Hentikan! kalian pagi-pagi sudah membuat
ribut!” ujarnya mencoba melerai aku dan Sarah.
“Apa kau sadar apa yang kau lakukan Sarah? Cih, aku kira kita adalah seorang
sahabat .. Anggapanku salah, jika kita sahabat, mana mungkin kau akan melakukan
hal seperti ini?, Da—” Belum selesai aku bicara, ia sudah langsung memotong
pembicaraan dinginku.
“Aku.. hanya ingin, hanya ingin,” ia mendadak angkat bicara. “Aku hanya ingin kau
seperti dulu. Apa kau tahu? semenjak ada liontin itu, kau hanya diam meratapinya,
tak terkecuali itu di rumah maupun di sekolah. Dan semenjak itu, kau selalu acuh tak
acuh terhadap teman di sekelilingmu,” tungkasnya. “Aku tak ingin kau seperti itu..
Aku.. Aku mengkhawatirkanmu!” lanjutnya dengan bisikan yang penuh dengan
penekanan pada kata-kata terakhir. Ia pun menundukan kepalanya, tak berani
menatapku.
“Tapi… Sarah..” aku mencoba mengelak kata-katanya tadi. Namun, apa yang harus
kukatakan?. Kakiku perlahan mundur selangkah demi selangkah. Tanpa melihat
belakang. Sampailah aku di dekat ambang pintu, lalu aku berbalik arah dan berlari
keluar dari kelas maupun sekolah.
Ku tak bisa menahan mataku yang sedari tadi berkaca-kaca. Batinku bimbang antara
percaya dan tidak percaya. Mengapa sahabatku sendiri?, bukan itu saja, seribu
pertanyaan lainnya masih menghantui diriku. Aku hanya bisa berlari kali ini, tanpa
arah, tanpa tujuan, sesekalipun aku menendang bebatuan kecil nan tak berdosa. Untuk
pelampiasan kesalku.
“Nirla! Tunggu!” sebuah suara yang tak asing terdengar, memanggil namaku. Aku
melirik belakang sejenak. Rupanya ia adalah Rima, salah satu sahabatku.
Entah sejak kapan, diriku tidak ingin mematuhi pintanya. Aku mengacuhkannyan dan
tetap berlari, tanpa memerhatikan orang-orang sekitar yang sudah heran menatap
kami berdua. Aku kemudian berbelok menuju sebuah gang kecil. Ia juga
mengikutiku. Tak jauh, aku mencapai pengujung dari gang ini. Gang ini buntu.
“Nirla, cepat sekali kau berlari, aku lelah,” keluh Rima begitu sampai di tempatku
berada. Lalu berjongkok mengatur nafas yang sedari tadi terburu-buru.

“Lagipula, siapa yang menyuruhmu untuk mengikutiku?” tukasku, dengan irama
yang ketus.
“Tidak salahkan, jika sahabat sendiri mengikutimu?” pertanyaan itu membuatku
mecibir bibirku, dan mengalihkan pandanganku darinya.
“Ka.. kau mengkhawatirkanku juga?” ucapku tanpa menoleh ke Rima sedikitpun.
“Tentu saja!” sahutnya tegas, “Mana mungkin aku dan Sarah tidak khawatir? kita
sudah berteman sejak SD, mana mungkin kita bisa tak tahu satu sama lain! Asal kau
tahu, sifatmu dulu itu ceria, peduli dengan kita, tidak pemurung seperti sekarang,
tidak mengacuhkan kita seperti sekarang!” jelas Rima dengan penekanan yang
hampir menjiwai seluruh kalimatnya. Aku hanya mendumel tak jelas mendengarnya.
“Dan liontin itu, aku tahu itu pemberian dari almarhum Ayahmu, aku tahu rasanya
seperti apa, pasti nyesek banget. Tapi, sejak kehadiran liontin itu, kau selalu murung,
sama seperti kata Sarah.” ujar Rima lebih kepada argumennya. Ia pun mendekatiku,
“Nirla, kau tahu? sebenarnya, harta yang paling berharga itu bukanlah liontin yang
‘Dia’ berikan, melainkan, harta yang paling berharga itu bagaimana kau menganggap
dirinya masih hidup di hatimu. Karena manusia meninggal tidak sepenuhnya
meninggal, mereka masih hidup di hati orang-orang yang mencintainya,” kata
mutiara yang diucapkan Rima begitu mirip dengan yang disampaikan Fida kemarin,
hanya dalam cara penyampaiannya berbeda.
Aku memandangi bola mata coklat tuanya jelas-jelas, terpancar sebuah aura memelas.
Senyumnya kecut, seakan ingin berkata, ‘semoga kau mengerti, namun, bila kau tak
mengerti, tak apalah.’
Aku menitikan berlian-berlian rapuh dari mataku. Dan reflek memeluknya. “Maafkan
aku, aku terlalu egois, maafkan aku… hikss.. hiks..” pintaku, dengan airmata yang
telah mengucur deras membasahi bahu temanku.
“Itulah gunanya sahabat, selalu ada dan menghibur dalam suka maupun duka.”
lanjutnya seraya membalas pelukanku. Aku tersenyum tipis, sungguh senang rasanya
memiliki sahabat.

3 Hari kemudian
Aku berjalan-jalan di teras belakang rumah. Terpaan lembut angin kian membelai
surai-surai hitam rambutku yang tergerai. Aa, sejuknya. Terkadang aku menari-nari,
lalu berteduh di bawah pohon rindang. Aah, melihat cahaya matahari yang tembus
melalui celah-celah daun dan tangkai itu menyenangkan, yah.

Namun di sisi lain, aku baru mendapat kabar. Kabar buruk. Sebuah kereta kecelakaan.
Dipastikan semua penumpangnya tewas. Yang paling buruk ialah Fida, ia berada
dalam kereta itu.
Saat aku mendapati sebuah koran pagi yang menceritakan jelas kronologisnya, aku
langsung bungkam di tempat. Lidahku kelu. Hatiku pilu. Aku tak menyangka, empat
hari lalu adalah pertemuan pertama dan terakhirku dengan Fida.

Aku mengambil sarung milik Fida yang waktu ini ia tinggalkan di teras rumahku.
Aku menatapi kain sutra ini dalam-dalam. Ingatanku kembali, dimana ia berkata katakata yang dapat menyemangatiku. Seutas senyum menghiasi bibirku.
Setelah itu, aku bangun lalu menjauhi pohon tersebut. Tampaklah langit biru terangbenderang berada di atasku. Dengan kepulan awan bewarna putih suci berarak-arak
dinaungannya. Kepalaku menengadah, menerawang luasnya langit. Sementara
tanganku terangkat mencoba meraih ujung langit. Jemariku mengembang.
“Ayah, apakah sudah bertemu dengan kak Fida? orangnya baik, bukan? Bilang ke kak
Fida, aku berterimakasih kepadanya! karena sudah memberikan berbagai macam
semangat untuk hidup! Ayah, kak Fida! Aku harap kalian dapat mendengar
ucapanku!” Tiupan angin semakin keras hingga menerbangkan banyak lembaran
daun. Cantiknya…

‘Benar kata mereka, walaupun mereka -Ayah dan kak Fida- tak ada di kenyataan,
namun mereka berdua masih utuh di dalam hatiku, untuk selamanya. Yap,
selamanya.’

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISA BIAYA OPERASIONAL KENDARAAN PENGANGKUT SAMPAH KOTA MALANG (Studi Kasus : Pengangkutan Sampah dari TPS Kec. Blimbing ke TPA Supiturang, Malang)

24 196 2

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Isolasi Senyawa Aktif Antioksidan dari Fraksi Etil Asetat Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.

2 95 93

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan manajemen mutu terpadu pada Galih Bakery,Ciledug,Tangerang,Banten

6 163 90

Aplikasi penentu hukum halal haram makanan dari jenis hewan berbasis WEB

48 291 143

Efek ekstrak biji jintan hitam (nigella sativa) terhadap jumlah spermatozoa mencit yang diinduksi gentamisin

2 59 75

Pengaruh Rasio Kecukupan Modal dan Dana Pihak Ketiga Terhadap Penyaluran Kredit (Studi Kasus pada BUSN Non Devisa Konvensional yang Terdaftar di OJK 2011-2014)

9 104 46

Pengaruh Etika Profesi dan Pengalaman Auditor Terhadap Audit Judgment (Penelitian pada Kantor Akuntan Publik di Wilayah Bandung yang Terdaftar di BPK RI)

24 152 62