Implementasi Islam dalam ruang lingkup S

Implementasi Islam dalam ruang lingkup Siyasah
Islam adalah agama yang paripurna (syamil) dan diridhai Allah untuk kita. Allah berfirman
yang artinya: “Sesungguhnya agama yang diridhai Allah di sisiNya adalah Islam”.
“Barangsiapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima darinya dan kelak
hari kiamat dia termasuk orang-orang yang merugi“.
Adapun “As-Siayasah” (politik) dialah hakikat Islam, karena makna siyasah sendiri adalah
mengatur kemaslahatan umat dengan hal-hal yang tidak bertentangan dengan kitabullah dan
Sunnah RasulNya. Dalam merealisasikannya dibutuhkan suatu manhaj, ilmu ataupun orangorang yang faham kemaslahatan umat.
Yang mampu memahami kemaslahatan suatu umat setelah para nabi adalah para ulul amri
yakni al-hukkam (para pemimpin) dan ulama, merekalah yang berhak untuk masuk kedalam
kancah perpolitikan ini untuk kemaslahatan umat. Para pemimpin bertugas menjalankan syariat
Allah, sedangkan para ulama bertugas mengarahkan umat dan menunjuki para umara. Yang
berkompeten dalam hal ini adalah orang yang berilmu dan paham dengan hukum syariat, karena
kemaslahatan umat memerlukan pemahaman agama yang sempurna.
Pemahaman Politik Era Sekarang
Adapun kata “politik” yang dipahami pada zaman ini sebenarnya tidak pernah dikenal oleh
Islam, karena pengertian berpolitik di era ini adalah sebatas kemampuan untuk berdebat,
menggerakkan massa, kemampuan berkelit, berubah-ubah warna, kemunafikan dan selalu
mengikuti kemana arah angin bertiup. Islam berlepas diri dari “politik” yang seperti ini karena
tidak akan mendatangkann kemaslahatan kepada umat.
Inilah perbedaan makna “politik” yang diinginkan Allah dengan makna yang dipahami

oleh orang-orang sekarang, yang tidak lain target utamanya agar sampai ketampuk kekuasaan,
karena itu seorang politikus rela untuk bekerja sama dengan segala macam kelompok dan segala
macam mazhab. Demi ambisi ini dia rela untuk ganti-ganti warna, bersikap plin-plan dan berbuat
kemunafikan dengan politikus lainnya, walaupun bertentangan dengan Allah Tuhan alam
semesta.
Adapun siyasah syar’iyyah akan selalu dibawah pimpinan seorang alim yang rabbani, Allah
berfirman: “Tetapi jadilah kalian ulama yang Rabbani dengan apa-apa yang kalian ajarkan dari
alkitab dan dengan apa-apa yang kalian pelajari. Ciri-ciri alim Rabbani adalah seorang yang
mendidik umat dengan masalah-masalah yang sederhana terlebih dahulu sebelum masuk kepada
masalah-masalah yang besar. Dia paham betul apa yang dibutuhkan umat, karena itu, dengan

cara perlahan da’i mendidik umat hingga sampai kepada kesempurnaan dengan izin Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Definisi Politik
Kata politik pada mulanya terambil dari bahasa Yunani dan atau Latin politicos atau
politõcus yang berarti relating to citizen. Keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata politik sebagai “segala urusan dan tindakan
(kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain.”
Juga dalam arti “kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani satu masalah).”
Dalam kamus-kamus bahasa Arab modern, kata politik biasanya diterjemahkan dengan kata

siyasah. Kata ini terambil dari akar kata sasa-yasusu yang biasa diartikan mengemudi,
mengendalikan, mengatur, dan sebagainya. Dari akar kata yang sama ditemukan kata sus yang
berarti penuh kuman, kutu, atau rusak.
Sedangkan, Pengertian politik (as-siyasah) dalam fikih Islam menurut ulama Hanbali
adalah sikap, perilaku, dan kebijakan kemasyarakatan yang mendekatkan pada kemaslahatan
sekaligus menjauhkan dari kemafsadahan, meskipun belum pernah ditentukan oleh Rasulullah
Saw. Ulama Hanafiyah memberikan pengertian lain, yaitu mendorong kemaslahatan makhluk
dengan memberikan petunjuk dan jalan yang menyelamatkan mereka fid Daroin. Sedangkan
menurut ulama Syafi’iyyah, politik harus sesuai dengan syari’at Islam, yaitu setiap upaya, sikap,
dan kebijakan untuk mencapai tujuan umum prinsip syariat.
Dari pengertian itu, Islam memahami politik bukan hanya soal yang berurusan dengan
pemerintahan saja, terbatas pada politik struktural formal belaka, melainkan juga menyangkut
kulturisasi politik secara luas. Jadi, politik bukan hanya perjuangan menduduki posisi eksekutif,
legislatif, maupun yudikatif. Lebih dari itu, ia meliputi serangkaian kegiatan yang menyangkut
kemaslahatan umat dalam kehidupan jasmani maupun rohani, dalam hubungan kemasyarakatan
secara umum dan hubungan masyarakat sipil dengan lembaga kekuasaan. Bangunan politik
semacam ini harus didasarkan pada kaidah fikih yang berbunyai, tasharruf al-imam manuthun
bil mashlahah (kebijakan pemimpin harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat atau
masyarakat).
Relasi Politik dengan Islam di Nusantara

Satu hal yang patut kita sadari, bahwa politik merupakan hal yang melekat pada lingkungan
hidup manusia. Politik hadir dimana-mana, di sekitar kita. Mau tidak mau diakui atau tidak,
politik ikut mempengaruhi kehidupan kita, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari
kelompok masyarakat. Hal itu berlangsung sejak kelahiran sampai dengan kematian, tidak peduli
apakah kita ikut mempengaruhi proses atau tidak. Karena politik mempengaruhi kehidupan

semua orang. Maka dari itu, Aristoteles pernah mengatakan, politik merupakan master of
science; pengetahuan tentang politik merupakan kunci untuk memahami lingkungan.
Islam sebagai agama samawi yang komponen dasarnya akidah dan syari’at, punya korelasi
erat dengan politik dalam arti yang luas. Sebagai sumber motivasi masyarakat, Islam berperan
penting menumbuhkan sikap dan perilaku sosial politik. Implementasinya kemudian diatur
dalam syari’at, sebagai katalog lengkap dari perintah dan larangan Allah, pembimbing manusia,
dan pengatur lalu lintas aspek-aspek kehidupan manusia yang kompleks. Ikatan Islam dengan
politik bisa dirasakan erat bila keduanya dipahami sebagai sarana menata kebutuhan hidup
manusia secara kaffah; Islam tidak hanya dijadikan kedok untuk mencapai kepercayaan dan
pengaruh dari masyarakat semata, dan politik juga tidak hanya dipahami sekadar sebagai sarana
menduduki posisi dan otoritas formal dalam struktur kekuasaan sebagaimana keterangan di atas.
Dalam konteks Indonesia, relasi Islam dan politik juga menjadi jelas dalam penerimaan
Pancasila sebagai satu-satunya asas. Ini bukan berarti menghapus cita-cita Islam dan
melenyapkan unsur Islam dalam peraturan politik di tanah air. Sejauh mana unsur Islam mampu

memberikan inspirasi dalam percaturan politik, bergantung pada sejauh mana kalangan muslimin
mampu tampil dengan gaya baru yang dapat mengembangkan kekayaan pengetahuan sosial dan
politik, untuk memetakkan dan menganalisis transformasi sosial.
Secara historis, Penyebaran Islam di Indonesia dapat disimak melalui pendekatan politik
kultural dengan bantuan –atau sekurang-kurangnya toleransi- penguasa. Kemudian dengan
proses islamisasi yang relatif cepat, terbentuklah pemerintahan yang murni berlandaskan Syariat
Islam, yaitu kerajaan Demak (1401-1405 M) kemudian disusul kerajaan Cirbon dan Banten
sampai pada tahun 1579 M. Namun yang mengherankan adalah kita tahu dengan pasti akan
kapasitas ulama’ dan cendekiawan muslim yang ada pada awal kemerdekaan tetap tidak atau
belum mampu melegitimasikan hukum Islam dengan mengegolkan sepenggal kalimat dalam satu
poin diantara poin-poin Piagam Jakarta hanya kerena alasan mempertahankan nasionalisme dan
menjaga persatuan padahal kalau hal tersebut berhasil mungkin kehidupan umat muslim di
Indonesia bahkan bangsa Indonesia lebih terjamin dan menempatkannya pada posisi terhormat
dan persatuan dan kesatuan bangsa tetap terjamin karena Islam sendiri melindungi hak-hak
pemeluk agama lain. Akhirnya dalam sejarah kontemporer, perkembangan politik Islam melalui
pemimpin-pemimpinnya menegaskan, negara atau kekuatan politik struktural hanya diperlukan
sebagai instrumen untuk menjamin pelaksanaan ajaran-ajarannya dalam kehidupan berbangsa
dan bermasyarakat meski tanpa poin tersebut dan dicukupkan dengan pancasila.
Memang dari sudut pandangan ajaran formalnya, Islam sering –tidak selalu- mendapati
dirinya dalam kondisi ambivalen di negeri. Di satu pihak, ajaran formal Islam tidak menjadi

sumber tunggal dalam penetapan kebijakan kehidupan negara, karena memang negara ini tidak
mengatasnamakan dirinya negara Islam –walaupun penduduk mayoritasnya muslim bahkan

terbesar di seluruh dunia. Tetapi negara ini juga bukan negara sekular, yang memisahkan antara
urusan pemerintahan dan keagamaan.
Dalam keadaan demikian, setidaknya ada dua aliran Islam terkait aktualisasi ajaran formal
Islam; mereka yang menolak –tidak mengharuskan- negara Islam atau integrasi resmi Islam ke
dalam negara, dan mereka yang menuntut amalgasi Islam ke dalam negara dan kekuasaan politik
struktural. Aliran pertama lebih memfungsikan ajaran formal Islam dalam kehidupan ini melalui
jalur kultural (pendidikan, komunikasi massa, kesenian, dan seterusnya) dengan tanpa melalui
politik struktural. Bagi mereka, Jalur ini memungkinkan, karena kekayaan Islam yang hendak
ditampilkan dalam kehidupan bernegara tidak semata-mata ditawarkan sebagai sesuatu yang
islami saja, tetapi juga berwatak nasional. Sedangkan aliran kedua lebih memilih terjun langsung
ke kancah politik struktural. Bagi kelompok kedua, kondisi Indonesia yang demikian
memungkinkan penerapan syariah dengan kekuatan negara. Menurut argumen mereka, tanpa
kekuatan negara, maka penerapan syariah tidak akan efektif. Bagi mereka, penerapan syariah
merupakan alternatif satu-satunya bagi pemecahan berbagai masalah yang dihadapi negaranegara Muslim, termasuk Indonesia. Andai saja kedua kelompok ini bisa bergandeng tangan
meski terdapat perbedaan sudut pandang, lakana Ahsan. Misal saja, kelompok pertama terfokus
ke seting kebudayaan Indonesia dengan mendukung gerakan kelompok kedua yang berusaha
melakukan berbagai upaya agar negara dapat secara resmi mengadopsi syariah. Keduanya saling

menghargai dan saling mendukung demi mencapai Indonesia yang berperadaban.
Sudah sewajarnya sebagai sumber budaya yang penting di Indonesia, nilai-nilai Islam
menjadi faktor menentukan dalam membentuk budaya politik, tata nilai, keyakinan, persepsi, dan
sikap mempengaruhi perilaku individu dan kelompok dalam suatu aktivitas dan sistem politik.
Indikasi yang paling menonjol dalam hal ini adalah bahwa kelima sila dari pancasila yang telah
disepakati menjadi ideologi politik, semuanya bernapaskan nilai-nilai islami. Bagaimana
implementasi nilai Islam dalam budaya politik yang pancasilais, bergantung pada kekuatan nilainilai itu mempengaruhi proses politik itu sendiri. Bila terjadi kemerosotan pengaruh nilai-nilai
keagamaan Islam budaya politik, sesungguhnya yang terjadi adalah sekularisasi kultur politik.
Ini yang banyak dikhawatirkan. Sebab sekularisasi kultur politik apalagi sampai terbentuk
Negara Sekular lebih membahayakan dan lebih ruwet masalahnya.
Meskipun di Indonesia tidak akan terjadi sekularisasi fungsional struktur pemerintahan dan
keagamaan secara tegas, namun sekularisasi kultur politik tidak mustahil dapat terjadi.
Kemungkinan terjadinya hal ini cukup besar, seiring dengan perubahan sistem nilai, akibat
kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi,dan industrialisasi. Dan ini pada gilirannya juga akan
mempengaruhi perilaku politik formal-struktural. Disinilah perlu diupayakan adanya
keseimbangan antara proses kulturisasi politik dengan proses politik struktural, agar tidak ada
kesenjangan antara dua proses itu.

A. Pembagian Fiqih Siyasah Dauliyah dan Ruang Lingkupnya
Dauliyah bermakna tentang daulat, kerajaan, kekuasaan, wewenang. Sedangkan Siyasah

Dauliyah bermakna sebagai kekuasaan Kepala Negara untuk mengatur negara dalam hal
hubungan Internasional, masalah territorial, nasionalitas, ektradisi, tahanan, pengasingan
tawanan politik, pengusiran warga negara asing. Selain itu, juga mengurusi masalah kaum
dzimmi, perbedaan agama, akad timbal balik dan sepihak dengan kaum dzimmi, hudud dan
qishash. Atau dapat dikatakan yang mengatur hubungan antar Negara tersebut (Politik Hukum
Internasional).
Dasar-dasar Siyasah Dauliyah, diantaranya sebagai berikut:
1. Kesatuan Umat Manusia
Meskipun manusia ini berbeda suku berbangsa-bangsa, berbeda warna kulit, berbeda tanah air
bahkan berbeda agama, akan tetapi merupakan satu kesatuan manusia karena sama-sama
makhluk Allah, sama bertempat tinggal di muka bumi ini, sama-sama mengharapkan hidup
bahagia dan damai dan sama-sama dari Adam. Dengan demikian, maka perbedaan-perbedaan
diantara manusia harus disikapi dengan pikiran yang positif untuk saling memberikan kelebihan
masing-masing dan saling menutupi kekurangan masing-masing.
2. Al-‘Adalah (Keadilan)
Ajaran islam mewajibkan penegakan keadilan baik terhadap diri sendiri, keluarga, tetangga,
bahkan terhadap musuh sekalipun kita wajib bertindak adil. Banyak ayat-ayat yang berbicara
tentang keadilan antara lain:
‫عنلى أ نن قكفبسك كقم أ نبو ال قنوالبندي قبن نوال قأ نققنرببينن‬
‫نيا أ ني لكنها ال ل نبذينن آنمكنوا ككوكنوا نق ل نوابمينن ببال قبققسبط كشنهندانء لبل ل نبه نول نقو ن‬

Artinya:Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum
kerabatmu
3. Al-Musawah (Persamaan)
Manusia memiliki hal-hal kemanusiaan yang sama, untuk mewujudkan keadilan adalah mutlak
mempersamakan manusia dihadapan hukum. Demikian pula setiap manusia adalah subyek
hukum, penanggung hak dan kewajiban yang sama.
4. Karomah Insaniyah (Kehormatan Manusia)
Karena kehormatan manusia inilah, maka manusia tidak boleh merendahkan manusia lainnya.
Kehormatan manusia berkembang menjadi kehormatan terhadap satu kaum atau komunitas dan
bisa dikembangkan menjadi suatu kehormatan suatu bangsa atau negara.
5. Tasamuh (Toleransi)
Allah mewajibkan menolak permusuhan dengan tindakan yang lebih baik, penolakan dengan
lebih baik ini akan menimbulkan persahabatan bila dilakukan pada tempatnya setidaknya akan
menetralisir ketegangan.

6. Kerja Sama Kemanusiaan
Kerjasama kemanusiaan ini adalah realisasi dari dasar-dasar yang telah dikemukakan di atas,
kerja sama di sini adalah kerja sama di setiap wilayah dan lingkungan kemanusiaan. Kerja sama
ini diperlukan karena ada saling ketergantungan baik antara individu maupun antara negara di

dunia ini.
7. Kebebasan, Kemerdekaan/Al-Huriyah
Kemerdekaan yang sesungguhnya dimulai dari pembebasan diri dari pengaruh hawa nafsu serta
mengendalikan dibawah bimbingan keimanan dan akal sehat. Dengan demikian, kebebasan
bukanlah kebebasan mutlak, akan tetapi kebebasan yang bertanggung jawab terhadap Allah,
terhadap keselamatan hidup manusia di muka bumi, kebebasan bisa diperinci seperti kebebasan
berfikir, kebebasan baragama, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan menuntut ilmu,
kebebasan memiliki harta.
8. Perilaku Moral yang Baik (Al-Akhlakul Karimah)
Prilaku yang baik merupakan dasar moral di dalam hubungan antara manusia, antara umat dan
antara bangsa di dunia ini selain itu prinsip ini juga diterapkan terhadap seluruh makhluk Allah
di muka bumi termasuk flora dan fauna.
1. Hubungan-hubungan Internasional Diwaktu Damai
Damai adalah asas hubungan Internasional. Selain kewajiban suatu negara terhadap negara lain,
yakni tentang menghormati hak-hak negara lain yang bertetangga dengan negara yang ditempati
dan mengadakan perjanjian-perjanjian Internasional.
Menurut Abdul Wahab Khalaf bahwa hukum asal hubungan Internasional ada dua pendapat,
pendapat yang pertama mengacu pada ayat-ayat perang (al-Baqarah:216, an-Nisa`:74, alAnfal:65, at-Taubah:29), dan sabda Nabi: saya diperintahkan untuk memeragi manusia sampai
merreka mengucapkan syahadat, melaksanakan sholat, dan mengeluarkan zakat. Kesimpulan dari
kelompok pertama adalah inti hukum asal dalam hubungan internasional adalah perang.

Pendapat yang ke dua adalah sebaliknya bahwa hukum asal dalam hubungan internasional adalah
adalah damai. Alasannya perang itu diperkenankan karena ada sebabnya, yaitu menolak
kedzaliman, menghindari fitnah dalam rangka mempertahankan diri sebagaimana dijelaskan
dalam al-Quran. Adapun hadits nabi di atas menurut kelompok ini, berlaku bagi orang atau
kelompok yang merasuki atau memerangi islam untuk menolak kdzaliman mereka. Selain itu,
pemaksaan di dalam memeluk agama pun tidak diperkanankan.
2. Hubungan-hubungan Internasional Diwaktu Perang
Sebab terjadinya perang:
a. Mempertahankan Diri
Dari kitab-kitab sejarah tarikh, cara Nabi Mohammad saw menhimpun kekuatan dan
mempertahankan negeri madinah dari serangan-serangan musuhnya orang kafir kuraisy. Dalam
perang badar, bukan Nabi yang menyerang akan tetapi mush nabi yang menyerang ka Madinah.
Adapan waktu fathu Makkah, rasulullah datang ke Makkah bukan sebagai perang atau penakluk,
meainkan sebagai pemberi amnesti umum disertai tetap menghormati harga diri tokoh-tokoh

mekkah, seperti Abu Sofyan yang pada waktu itu masih kafir.
b. Dalam Rangka Dakwah
Perang juga bisa terjadi di dalam rangka menjamin jalannya dakwah. Artinya, dakwah kepada
kebenaran dan keadilan serta pada prinsip-prinsip yang mulia tidak boleh dihalangi dan ditindas
oleh penguasa manapun. Telah dijelaskan bahwa Islam tidak menghendaki pemaksaan beragama.

Apabila penguasa memaksakan agamanya dan menindas kepada orang-orang muslim, penguasapenguasa itu dikualifikasikan kepada penguasa yang dzalim. Prilaku seperti itulah yang
dipertontonkan oleh penguasa Persia dan Romawi pada waktu itu yaitu tidak memberikan
kebebasan kapada rakyatnya untuk memeluk agama yang diyakininya.
c. Etika dan Aturan Perang di dalam Siyasah Dauliyah
1) Dilarang membunuh anak.
2) Dilarang membunuh wanita yang tidak berperang.
3) Dilarang membunuh orang tua yang tidak ikut perang.
4) Tidak memotong dan merusak tanaman, sawah dan ladang.
5) Tidak membunuh binatang ternak
6) Tidak menghancurkan tempat ibadah.
7) Dilarang mencincang mayat musuh.
8) Dilarang membunuh pendeta dan pekerja.
9) Bersikap sabar, berani dan ikhlas.
10) Tidak melampaui batas.
B. Pembagian Negara Islam
Jumhur ulama membagi negara kepada dua bagian, yaitu dar al-Islam/ dar al-waqf (Syiah
Zaidiyah)/ dar al-tauhid (Khawarij sekte Ibadiyah ) dan dar al-harb/ dar al-fasiq (Syiah
Zaidiyah)/ dar al-syirk (Khawarij sekte Ibadiyah). Sementara ulama Syafi’iyah menambahkan
kategori dar al-‘ahd atau dar al-aman disamping keduanya. Dar al-‘ahd adalah negara-negara
yang berdamai dengan dar al-Islam, dengan peranjian tersebut, maka semua penduduk dar
al-‘ahd tidak boleh diganggu jiwanya, hartanya, dan kehormatan kemanusiaannnya. Meskipun
penduduknya tidak beragaa Islam, mereka diperlakukan seperti orang Islam dalam arti dilindungi
hak-haknya.
Sedangkan menurut A. Djazuli, pembagian dunia pada masa sekarang adalah:
1. Al-Alam al-Islami (dunia Islam) yang terdiri dari:
a. Dawlah Islamiyah (negara Islam/Islamic States).
b. Baldah Islamiyah (negeri muslim/negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama
Islam/Muslim Countries).
2. Al-Alam al-‘Ahd: negara-negara yang berdamai dengan negara Islam.
1. Kriteria Dar al-Islam
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan identitas suatu negara apakah termasuk dar alIslam. Diantara mereka ada yang melihat dari sudut hukum yang berlaku di negara tersebut. Ada

pula yang memandang dari sisi keamanan warganya menjalankan syari’at Islam. Semantara ada
juga yang melihat dari sisi pemegang kekuasaan tersebut.
a. Dari sudut hukum yang berlaku di negara tersebut
Imam Abu Yusuf, tokoh terbesar madzhab Hanafi berpendapat bahwa suatu negara disebut dar
al-Islam bila berlaku hukum Islam di dalamnya, meskipun mayoritas warganya tidak muslim.
Sementara dar al-harb, menurutnya adalah negara yang tidak meberlakukan hukum Islam,
meskipun sebagian besar penduduknya beragama Islam.
Dalam pemikiran modern, pandangan demikian dianut oleh Sayyid Quthb. Ia memandang bahwa
negara yang menerapkan hukum islam adalah dar al-Islam, tanpa mensyaratkan penduduknya
harus muslim. Pendapat ini berbeda dengan Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang mensyaratkan
penduduknya harus mayoritas muslim.
b. Dari sisi keamanan warganya menjalankan syariat Islam
Imam Abu Hanifah membedakan dar al-Islam dan dar al-harb berdasarkan rasa aman yang
dinikmati penduduknya. Bila umat Islam merasa aman dalam menjalankan aktivitas keagamaan
mereka, maka negara tersebut termasuk dar al-Islam. Sebaliknya, bila tidak ada rasa aman, maka
negara tersebut termasuk dar al-harb.
c. Dari sisi pemegang kekuasaan negara tersebut
Menurut al-Rafi’i (salah seorang tokoh madzhab Syafi’i), suatu negara dipandang sebagai dar alIslam apabila dipimpin oleh seorang muslim.
Menurut Javid Iqbal, dar al-Islam adalah negara yang pemerintahannya dipegang umat Islam,
mayoritas penduduknya beragama Islam dan menggunakan hukum Islam sebagai undangundangnya. Karena kekuasaan mutlak berada pada Allah, maka dar al-Islam harus menjunjung
tinggi supremasi hukum Islam; selanjutnya, karena masyarakat muslim harus diperintah menurut
hukum Islam, maka pemimpin pemerintahannya juga harus muslim agar mereka dapat
melaksanakan hukum Islam.
Dalam perkembangan dunia modern, kriteria ini telah bergeser. Suatu negara disebut dar al-Islam
bila penduduknya mayoritas beragama Islam, meskipun negara tersebut tidak sepenuhnya
menjalankan hukum Islam contohnya Indonesia dan Mesir. Di samping itu, kriteria penerapan
hukum Islam dalam suatu negara tentu merupakan hal terpenting dalam menentukan suatu
negara disebut dar al-Islam, meskipun tidak sepenuhnya penduduknya beragama Islam,
contohnya Iran, Malaysia, dan Pakistan. Kedua kriteria inilah yang digunakan oleh Organisasi
Konperensi Islam (OKI) dalam menetapkan hukum Islam.
2. Pembagian Dar al-Islam
Berdasarkan tingkat kesucian wilayah dan hak non-muslim untuk menetap di wilayah Dar alIslam, maka dar al-Islam terbagi dalam 3 bagian, yaitu: tanah suci, Hijaz, dan selain keduanya.
a. Tanah suci (Kota Mekah dan wilayah sekitarnya).
Menurut jumhur ulama kota Madinah termasuk dalam wilayah ini. Di kedua wilayah ini nonmuslim tidak boleh menetap. Bahkan untuk kota Mekah, di sekitar al-Masjid al-Haram, nonmuslim sama sekali tidak boleh memasukinya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, kafir dzimmi
dan kafir mu’ahid boleh memasuki Makkah tidak untuk menetap di dalamnya.
b. Wilayah Hijaz

Wilayah ini boleh dimasuki non-muslim dengan mendapat jaminan keamanan dari pemerintahan
Islam. Tetapi mereka tidak boleh menetap di wilayah ini melebihi 3 hari. Ketentuan ini
berdasarkan keputusan Khalifah ‘Umar bin Khaththab yang mengijinkan orang-orang Yahudi
tinggal di Hijaz selama 3 hari untuk urusan dagang. Dalam al-Ahkam al-Shulthaniyah dijelaskan
bahwa jika mereka bertempat tinggal di salah satu tempat di Hijaz lebih dari 3 hari, maka mereka
dikenakan ta’zir jika mereka tidak diberi izin sebelumnya.
c. Wilayah dan negara-negara Islam lainnya
Di wilayah ini, pemerintah Islam boleh melakukan akad dzimmah dengan non-muslim. Mereka
boleh masuk dan menetap di wilayah ini untuk sementara waktu berdasarkan perjanjian yang
disetujui kedua belah pihak.
3. Pembagian Dar al-Harb
Muhammad Iqbal dalam bukunya menjelaskan bahwa dar al-harb dibedakan menjadi 3 kategori:
a. Negara yang di dalamnya tidak terpenuhi unsur pokok dar al-Islam, yaitu pemberlakuan
hukum Islam dan kekuasaan politik yang berada di tangan non-muslim.
b. Negara yang hanya memenuhi salah satu unsur pokok dar al-Islam, meskipun tidak utuh.
Wilayahnya dikuasai non-muslim dan hukum yang berlaku bukan hukum Islam, namun umat
Islam yang menetap dinegara tersebut diberi kelonggaran untuk melaksanakan sebagian hukum
Islam.
c. Negara yang dikategorikan sebagai dar al-harb. Wilayah ini dikuasai oleh pemerintahan nonmuslim dan tidak memberlakukan hukum Islam. Penduduk Muslim yang menetap di sini tidak
mendapat kesempatan untuk menjalankan ajaran agamanya. Dar al-harb dalam bentuk ini terbagi
menjadi dua, yaitu Dar al-harb yang menjadi tempat harbiyyun dan tidak terikat perjanjian atau
hubungan diplomatik dengan negara Islam; dan Dar al-Muwada’ah atau dar al-Muhadanah
C. Pembagian Penduduk
Dengan berlandaskan pada agama yang diyakini seseorang, mempertimbangkan Negara yang
menjadi tempat tinggalnya dan ada atau tidaknya ikatan perjanjian dengan pemerintahan Islam,
para ulama fiqih membagi kewarganegaraan seseorang menjadi muslim dan non-muslim. Orang
non-muslim terdiri dari ahl al-zimmi, musta’min, dan harbiyun. Penduduk Dar al-islam terdiri
dari muslim, ahl al-zimmi dan musta’min, sedangkan penduduk dar al-harb terdiri dari muslim
dan harbiyun.
1. Muslim
Berdasarkan tempat menetapnya, muslim dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya.
Pertama mereka yang menetap di dar al-Islam dan mempunyai komitmen yang kuat untuk
mempertahankan dar al-Islam. Termasuk kedalam kelompok ini adalah orang Islam yang
menetap sementara waktu di dar al-Islam sebagai musta’min dan tetap komitmen kepada Islam
serta mengakui pemerintahan Islam.
Kedua, muslim yang tinggal menetap di dar al-harb dan tidak berkeinginan untuk hijrah ke dar
al-Islam. Status mereka, menurut Imam Malik, SYafi’i dan Ahmad, sama dengan muslim lainnya
di dar al-Islam. Harta benda dan jiwa mereka tetap terpelihara. Namun menurut Abu Hanifah,

mereka berstatus sebagai penduduk harbiyun, karena berada di negara yang tidak dikuasai Islam.
Konsekuensinya, harta benda dan jiwa mereka tidak terjamin.
2. Ahl al-Zimmi
Kata dzimmah berarti perjanjian, atau jaminan dan keamanan. Disebut demikian karena mereka
mempunyai jaminan perjanjian (‘ahd) Allah dan Rasul-Nya, serta jamaah kaum Muslim untuk
hidup dengan rasa aman di bawah perlindungan Islam dan dalam lingkungan masyarakat Islam.
Mereka (orang-orang kafir ini) berada dalam jaminan keamanan kaum Muslim berdasarkan akad
dzimmah.
Implikasinya adalah, mereka termasuk ke dalam warga negara Darul Islam. Akad dzimmah
mengandung ketentuan untuk membiarkan orang-orang non muslim tetap berada dalam
keyakinan/agama mereka, disamping menikmati hak untuk memperoleh jaminan keamanan dan
perhatian kaum Muslim. Syaratnya adalah mereka membayar jizyah serta tetap berpegang teguh
terhadap hukum-hukum Islam di dalam persoalan-persoalan publik. Landasan adanya penarikan
jizyah dari ahl al-zimmi yaitu dalam Surat At Taubah ayat 29.
Unsur-unsur seseorang dikatakan ahl al-zimmi yaitu: Non-muslim, baligh, berakal, laki-laki,
bukan budak, tinggal di dar al-Islam dan mampu membayar jizyah.
Yang dikatakan non-muslim adalah ahl al-Kitab, murtad, dan orang musyrik.
a. Sebagaimana pendapat Abu Bakar ibnu Ali al-Jashshash yang dikutip oleh Dr. Muhammad
Iqbal dalam bukunya Fiqih Siyasah, ahl al-Kitab yang tergolong ahl al-zimmi yaitu Yahudi dan
Nasrani, serta Majusi.
b. Mayoritas ulama sepakat mengenai ketidakbolehan orang-orang murtad melakukan akad
zimmah dengan pemerintahan Islam, berdasarkan firman Allah QS. Al-Fath, 48:16, yang artinya:
Kamu perangi mereka, atau mereka sendiri menyerah masuk Islam.
c. Ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan menerima orang musyrik sebagai ahl al-zimmi.
Mazhab Syafi’i, Hambali, Zahiri, dan Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa pemerintahan Islam
tidak boleh menerima orang musyrik yang bukan ahl al-Kitab sebagai ahl al-zimmi dan
memungut jizyah mereka. Mereka berlandaskan pada QS. Al-Taubah, 9:5: Perangilah orangorang musyrik dimana pun kamu bertemu dengan mereka. Sedangkan Imam Malik, al-Auza’i
dan Ibn Qayyim al-Jauziyah berpendapat bahwa jizyah boleh diambil dari orang non-muslim
mana pun, tanpa memandang mereka sebagai ahl al-Kitab atau bukan.
3. Musta’min
Menurut Ahli Fiqih, musta’min adalah orang yang memasuki wilayah lain dengan mendapat
jaminan keamanan dari pemerintah setempat, baik ia muslim maupun harbiyun. Menurut alDasuki yang dikutip oleh Muhammad Iqbal dalam bukunya Fiqih Siyasah, antara musta’min dan
mu’ahid mempunyai pengertian sama. Mu’ahid adalah orang non muslim yang memasuki
wilayah Dar al-Islam dengan memperoleh jaminan keamanan dari pemerintah Islam untuk tujuan
tertentu, kemudian ia kembali ke wilayah Dar al-Harb.
Para Ulama berbeda pendapat mengenai masa berlakunya perjanjian jaminan keamanan bagi
musta’min. Menurut Mazhab Syafi’i tidak boleh melebihi empat bulan. Menurut Mazhab Maliki
yaitu jika perjanjian tersebut tidak dibatasi oleh waktu, maka dalam waktu empat bulan berakhir
dengan sendirinya. Sedangkan jika dibatasi oleh waktu, maka perjanjian berakhir sesuai

kesepakatan. Menurut Mazhab Hanafi dan Syi’ah Zaidiyah, maksimal selama satu tahun.
Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal menentukan paling lama, yaitu empat tahun.
4. Harbiyun
Kafir Harbi adalah setiap orang kafir yang tidak tercakup di dalam perjanjian (dzimmah) kaum
Muslim, baik orang itu kafir mu’ahid atau musta’min, atau pun bukan kafir mu’ahid dan kafir
musta’min.
Ditinjau dari aspek hukum, kafir harbi dibagi menjadi dua, yaitu (1) kafir harbi hukman, artinya
secara de jure (secara hukum) kafir harbi, dan (2) kafir harbi fi’lan atau kafir harbi haqiqatan (de
facto) yakni orang-orang kafir yang tengah berperang/memerangi kaum Muslim.